Mutiara Hitam 11
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 11
"Be.. betul.., ada apakah, Taihiap..?"
Diam-diam Suling Emas geli juga mendengar, Si Pemilik Kedai menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada anggauta Khong-sim Kai-pang itu.
"Huh, engkau benar-benar memandang rendah kepada kami, ya? Ketika kemarin seorang anggauta rendahan kami datang minta derma sepuluh tail, kenapa hanya kau beri uang kecil? Engkau berani menghina kami?"
"Ah, tidak sama sekali.., mana saya berani? Ketahuilah, harap Ji-wi suka mempertimbangkan. Perdagangan sekarang sepi, dan pula keuntungannya habis dipakai bayar pajak pemerintah, bagaimana saya sanggup menderma sepuluh tail perak? Harap Ji-wi sudi mempertimbangkan.."
"Tidak laku, ya? Sepi kau bilang? Begini banyak tamu kau bilang sepi"
Bentak pengemis ke dua.
"Benar, ada juga yang datang berbelanja namun keuntungannya tipis sekali.."
"Banyak alasan. Kalau kau naikkan harganya setiap mangkuk, bukankah kau mendapatkan banyak untung dan tidak berat menyumbang sepuluh tail? Pendeknya, tak usah banyak cerewet. Kami Khong-sim Kai-pang bukannya orang-orang yang boleh dihina. Kalau kau sekarang tidak mengeluarkan sepuluh tail, jangan harap kau akan dapat membuka lagi kedaimu ini"
Sambil berkata demikian, seorang di antara para pengemis itu menggerakkan tongkatnya ke bawah dan..
"ceppp.."
Tongkat itu amblas masuk ke dalam lantai sampai setengahnya lebih. Si Pemillk Kedai menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil. Dengan suara bercampur isak ia berkata,
"Kalau begini.. bakal bangkrut.."
"Kau pilih saja. Bangkrut atau mampus"
Keadaan sudah memuncak dan pada saat itu terdengar orang menggebrak meja sambil berseru,
"Bangsat tak tahu malu. Dari mana datangnya pengemis-pengemis yang begini kurang ajar"
Ternyata yang menggebrak meja dan marah-marah ini adalah tiga orang piauwsu tadi yang kini sudah bangkit berdiri dan menghampiri dua orang pengemis yang berdiri di luar pintu. Piauwsu setengah tua bermuka merah tadi kini menudingkan telunjuknya kepada dua orang pengemis sambil membentak,
"Kalian ini golongan apakah? Melihat sikap dan pakaian seperti pengemis-pengemis yang biasanya mencari sisa makanan di kedai-kedai atau minta sedekah kepada orang yang lewat. Akan tetapi ternyata kalian lebih rendah daripada pengemis maupun perampok. Pengemis tidak minta secara paksa sedangkan perampok tidak akan berkedok pengemis"
Dua orang pengemis itu saling pandang, kemudian mereka memandang piauwsu itu dengan mata melotot lebar.
"Apa kamu mencari mampus berani mencampuri urusan kami dua orang anggauta Khon-sim Kai-pang?"
Sebutan Khong-sim Kai-pang ini dikatakan oleh seorang di antara pengemis itu dengan keras-keras, agaknya ia hendak mempergunakan pengaruh nama ini untuk mendatangkan kesan.
"Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong) semestinya mempunyai anggauta-anggauta yang berhati kosong tanpa pamrih akan tetapi kalian ini perampok-perampok berkedok pengemis amat menjemukan. Kami adalah tamu-tamu yang sedang makan di kedai ini, memang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan pemilik kedai. Akan tetapi kami sedang makan kalian berani datang mengganggu. Huh, melihat saja membuat perut kami muak dan tidak ada nafsu makan. Hayo enyah dari sini"
Bentak piauwsu setengah tua muka merah. Dua orang piauwsu muda di kanan kirinya juga bersikap galak. Malah seorang di antara dua orang muda ini segera mengulur tangan ke depan, menggunakan dua buah jari menjepit tongkat yang tertancap di lantai kemudian sekali berseru keras, tongkat itu sudah tercabut keluar dari lantai.
"Phuhh, Yang macam ini dipakai menakut-nakuti orang? Menyebalkan"
Katanya sambil melempar tongkat itu sehingga tongkat besi itu jatuh berkerontangan di atas lantai. Semua tamu kedai itu terkejut dan kagum. Sebaliknya dua orang pengemis itu menjadi marah sekali. Pemilik tongkat sudah menyambar tongkatnya, kemudian mereka berdua meloncat mundur lalu berdiri di jalan sambil menantang.
"Pengacau dari mana begitu buta matanya berani memusuhi Khong-sim Kai-pang?"
Piauwsu setengah tua sudah meloncat maju pula diikuti dua orang piauwsu muda.
"Tak tahu malu, menggunakan nama perkumpulan yang begitu muluk, kiranya Khong-sim Kai-pang hanyalah sarang sekumpulan manusia jahat. Kami datang dan pergi tak pernah menyembunyikan nama. Di selatan kami terkenal piauwsu-piauwsu yang paling, benci terhadap penjahat-penjahat berkedok pengemis, seperti srigala-srigala berkedok domba. Aku Lim Kiang atau Lim-piauwsu, dan ini kedua orang puteraku. Lekas kalian enyah dari sini, atau perlukah kalian kuusir dengan gebukan seperti orang mengusir anjing-anjing rendah."
Dua orang pengemis itu marah bukan main.
"Keparat she Lim. Kau dan anak-anakmu sudah bosan hidup rupanya. Majulah, hendak kami lihat sampai di mana hebatnya kepandaianmu, apakah sehebat mulutmu yang lebar itu?"
"Ayah, biarkan kami menghajar dua penjahat ini"
Seru dua orang muda sambil meloncat ke depan dan pedang mereka sudah berada di tangan. Sang Ayah yang agaknya cukup percaya akan kepandaian putera-puteranya, lalu mengangguk dan tersenyum mengejek, mundur berdiri sambil bertolak pinggang.
Dua orang pengemis itu sudah berseru nyaring sambil memutar tongkat besi mereka, menyerang dua orang piauwsu muda yang sudah menangkis dengan pedang mereka pula. Terjadilah pertandingan yang seru, di atas jalan raya di depan kedai bakmi"
Mereka yang tadinya enak-enak makan bakmi, kini sudah keluar pula dari kedai untuk menonton, wajah mereka tegang dan khawatir karena semua orang di Kang-hu tahu belaka akan pengaruh Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berlaku sewenang-wenang. Tentu saja diam-diam mereka mengharapkan kemenangan bagi piauwsu-piauwsu asing dari selatan itu.
Pengharapan mereka itu ternyata terkabul. Dua orang piauwsu muda dari selatan ini memiliki ilmu pedang yang hebat. Tidak sampai lima puluh jurus mereka berempat bertanding dan dua orang pengemis Khong-sim Kai-pang itu sudah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang dan tongkat mereka runtuh. Suling Emas yang ikut menonton menjadi terkejut ketika melihat ilmu pedang dua orang piauwsu itu yang segera ia kenali. Itulah ilmu pedang Beng-kauw. Tak disangsikan lagi bahwa piauwsu-piauwsu itu adalah anak murid Beng-kauw dan melihat sepak terjang mereka, ia menjadi bangga, Mereka ini murid-murid Bengkauw yang baik, bukan hanya terbukti dari sikap mereka memberi hajaran dua orang pengemis jahat, juga melihat betapa dua orang piauwsu muda itu hanya melukai pundak lawan, tidak membunuhnya. Beberapa orang di antara penonton yang tadi makan bakmi segera menghampiri tiga orang piauwsu itu sambil berbisik,
"Sam-wi harap lekas-lekas pergi dari sini. Kalau terlambat, bisa celaka. Khong-sim Kai-pang bermarkas di luar kota ini dan selain anggautanya banyak, juga mereka mempunyai pemimpin-pemimpin yang pandai dan amat kejam. Lekas, Sam-wi (Tuan Bertiga) pergilah dari sini."
Piauwsu tua mengerutkan alisnya dan berkata lantang,
"Kami bukan golongan pengecut yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Kami memberi hajaran kepada dua orang pengemis ini karena kelakuan mereka yang jahat. Kalau teman-temannya datang menuntut balas, biarlah kami hadapi mereka itu dengan pedang kami."
Ucapan ini dikeluarkan dengan nada marah akan tetapi sama sekali tidak membayangkan kesombongan.
Banyak orang yang sudah tahu akan kekejaman orang-orang Khong-sim Kai-pang yang akhir-akhir ini berubah banyak sekali, membujuk-bujuk agar mereka bertiga lekas pergi saja karena kalau tidak, mana mungkin mereka dapat melawan banyak anggauta Khong-sim Kai-pang. Namun bujukan-bujukan itu sia-sia belaka. Si Piauwsu Tua bersama dua orang puteranya bahkan menyatakan hendak mendatangi markas besar Khong-sim Kai-pang dan mengancam perkumpulan itu agar jangan berbuat sewenang-wenang kepada penduduk Kang-hu. Tiba-tiba terdengar suara orang yang amat jelas mengatasi semua suara orang yang sedang membujuk-bujuk,
"Ah, orang yang sudah mabok kemenangan mana bisa dibujuk-bujuk? Kalau mereka sudah bosan hidup, biarkanlah mereka mati"
Semua orang menoleh dan ketika orang-orang di situ melihat bahwa yang mengucapkan kata-kata nyaring ini adalah seorang berpakaian pengemis bertopi butut dengan muka bagian bawah tertutup sehelai kain, mereka menjadi kaget sekali dan cepat-cepat menyingkir. Ada suara bisikan-bisikan terdengar.
"Nah, mereka sudah mulai datang.."
Piauwsu setengah tua dan dua orang puteranya she Lim cepat membalikkan tubuh dan memandang Suling Emas dengan tajam. Melihat pakaian orang ini tentu seorang di antara pemimpin-pemimpin Khong-sim Kai-pang, maka Lim Kiang segera melangkah maju dan hendak menegur. Akan tetapi Suling Emas sudah menghampiri mereka sambil mendorong-dorong dengan tangan kirinya dan menegur,
"Kalian ini orang-orang apa berani hendak mengancam Khong-sim Kai-pang? Kalau ada satu dua orang pencuri di kota ini, apakah bisa dikatakan semua orang kota ini pencuri belaka? Kalau ada satu dua orang piauwsu menyeleweng, apakah boleh dibilang bahwa semua piauwsu adalah penjahat belaka? Demikian pula, kalau ada seorang dua orang Khong-sim Kai-pang menyeleweng, apakah benar kalau dikatakan bahwa Khong-sim Kai-pang perkumpulan orang jahat? Setelah memperoleh kemenangan berlaku merendah dan waspada, tidak mabok akan kemenangannya, Itulah sikap seorang bijaksana. Kalian bertiga tidak lekas pergi, mengandalkan apakah? Hayo pergi.. pergi.. pergi.."
Ia mendorong-dorong sehingga jari-jari tangannya menyentuh pundak dan punggung tiga orang piauwsu itu.
Lim Kiang adalah seorang anak murid Beng-kauw yang menjunjung tinggi kebenaran dan kegagahan. Untuk membela yang tertindas dan menghadapi yang jahat, ia tidak ragu-ragu bertindak dan tidak akan ragu-ragu mengorbankan nyawanya. Juga dua orang puteranya mewarisi watak gagah ini. Melihat Suling Emas dan mendengarkan ucapannya, tentu saja beranggapan bahwa pengemis ini adalah seorang tokoh Khong-sim Kai-pang yang membela perkumpulan itu, akan tetapi ia pun dapat menduga bahwa pengemis ini bukan orang sembarangan. Karena itulah, ia memberi tanda kepada dua orang puteranya untuk mundur, kemudian ia sendiri tersenyum dan berkata.
"Setiap orang manusia tentu mencari kebenarannya sendiri. Betapapun jahatnya Khong-sim Kai-pang, tentu seorang anggautanya akan melihatnya sebagai perkumpulan yang baik. Sahabat, kalau kau merasa penasaran karena dihajarnya dua orang temanmu, kau majulah"
Sambil berkata demikian Lim Kiang meraba gagang pedangnya.
"Aihh.."
Ia berseru kaget dan tangannya meraba-raba pinggang, kemudian ia menunduk untuk melihat ke arah pinggangnya. Namun tetap saja ia tak dapat menemukan gagang pedangnya karena pedang itu sudah lenyap, yang ada hanya sarung pedangnya saja. Dua orang piauwsu muda itu pun berteriak kaget. Muka mereka menjadi pucat dan mereka saling pandang dengan mata terbelalak.
"Pe.. pedangku.."
Mereka berkata lirih dan tahulah piauwsu setengah tua itu bahwa pedang kedua orang puteranya juga sudah lenyap.
"Adakalanya orang tidak dapat mengandalkan pedangnya."
Suling Emas berkata lagi.
"Tapi lebih tepat mempergunakan akal dan kewaspadaan. Alangkah bodohnya menganggap bahwa ketajaman pedang akan selalu membawa kemenangan. Sam-wi mencari inikah?"
Tiga orang piauwsu itu melongo ketika melihat pengemis yang mukanya ditutupi saputangan itu mengangsurkan tiga batang pedang mereka. Cepat mereka menyambut pedang mereka dan tidak berani sembarangan bergerak. Orang yang sudah dapat merampas pedang mereka bertiga tanpa mereka ketahui sama sekali, adalah orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa sekali dan bukanlah lawan mereka. Betapapun juga, Lim Kiang adalah seorang gagah yang tidak mau menyerah kepada orang jahat sebelum ia dikalahkan.
"Boleh jadi engkau seorang yang memiliki kesaktian luar biasa, akan tetapi jangan kira bahwa kami takut untuk coba-coba memberantas kejahatanmu"
Setelah berkata demikian, Lim Kiang menggerakkan pedangnya hendak menyerang, demikian pula dua orang puteranya sudah bergerak hendak menerjang Suling Emas.
Pada saat itu berkelebat dua bayangan hitam. Gerakan mereka ini cepat bukan main, padahal keduanya hanya dua orang kakek pengemis yang sudah amat tua, bahkan yang seorang bertubuh bongkok kurus. Namun Si Bongkok ini sekali sambar sudah mencengkeram leher baju Lim Kiang yang dilemparkannya ke belakang sehingga piauwsu itu terhuyung-huyung. Sedangkan kakek pengemis ke dua sudah pula melemparkan dua orang piauwsu muda dengan sama mudahnya.
"Hemm, kalian ini piauwsu-piauwsu cilik berani bersikap kurang ajar terhadap Ketua Khong-sim Kai-pang kami, Yu Kang Tianglo yang mulia?"
Bentak Si Pengemis Bongkok yang bukan lain adalah Gak-lokai. Adapun pengemis ke dua adalah Ciam-lokai. Lim Kiang adalah seorang piauwsu yang sudah banyakpengalaman. Ia terkejut dan maklum bahwa dua orang pengemis tua itu pun lihai bukan main. Akan tetapi ia makin kaget ketika mendengar disebutnya nama Yu Kang Tianglo. Ia memandang terbelalak kepada Suling Emas lalu berkata.
"Locianpwe ini.. Yu Kang Tianglo..? Akan tetapi.. mereka itu.."
Ia menoleh kepada dua orang pengemis yang tadi dihajar dua orang puteranya dan masih rebah merintih-rintih di atas, tanah. Suling Emas
(Lanjut ke Jilid 11)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 11
mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan kepada Lim Kiang dan dua orang puteranya.
"Terima kasih kami ucapkan atas pengajaran Sam-wi piauwsu kepada dua orang penyeleweng itu. Memang di antara anggauta Khong-sim Kai-pang ada yang menyeleweng, namun itu bukan berarti bahwa Khong-sim Kai-pang telah menjadi sebuah perkumpukan penjahat, Harap Sam-wi menjadi puas dan sampaikanlah hormatnya Yu Kang Tianglo kepada para tokoh Beng-kauw di selatan yang amat kami hormati"
Diam-diam Lim Kiang terkejut dan heran. Ia memang lama mendengar nama besar Yu Kang Tianglo akan tetapi sama sekali tak pernah disangkanya bahwa tokoh pengemis itu pasti dapat mengenal gerakan pedang putera-puteranya sehingga tahu bahwa mereka bertiga memiliki ilmu pedang dari Beng-kauw. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut, diturut kedua orang puteranya.
"Mohon maaf bahwa kami berani bersikap kurang hormat kepada Locianpwe."
Setelah berkata demikian, Lim Kiang cepat-cepat mengajak kedua orang puteranya pergi meninggalkan Kang-hu.
"Kalian sudah datang? Bagus. Bagaimana kalian dapat membiarkan dua orang jahat itu melakukan hal yang amat memalukan Khong-sim Kai-pang?"
Suling Emas menegur Gak-lokai dan Ciam-lokai.
"Maaf, Pangcu. Panjang ceritanya. Marilah kita keluar kota, di sana para anggauta yang setia sudah menanti. Akan saya ceritakan kepada Pangcu."
Kata Gak-lokai, sedangkan Ciam-lokai mengambilkan kuda Suling Emas. Ketiganya lalu pergi dari situ. Suling Emas menunggang kuda, Ciam-lokai menyeret dua orang pengemis yang terluka tadi sedangkan Gak-lokai sibuk menuturkan apa yang terjadi di Khong-sim Kai-pang selama ini.
Sementara itu, berita tentang munculnya Yu Kang Tianglo seperti tadi terdengar oleh beberapa orang penonton, telah tersiar luas dan orang-orang di Kang-hu menjadi girang sekali. Mereka menaruh kepercayaan bahwa setelah tokoh besar itu muncul, Khong-sim Kai-pang akan bersih dari oknum-oknum jahat dan tidak lagi ada penggangguan di kota Kang-hu dan sekitarnya. Mendengar penuturan Gak-lokai, Suling Emas menjadi marah. Ternyata bahwa kaum sesat yang menyelundup di Khong-sim Kai-pang telah berhasil memecah belah perkumpulan itu, bahkan sebagian besar anggautanya kena mereka bujuk dan menjadi anak buah mereka. Hal ini tidak mengherankan karena oknum-oknum jahat itu menjanjikan hal-hal yang menyenangkan seperti hidup mewah, makan enak dan lain kesenangan dunia.
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang melihat gejala-gejala buruk ini, maklum bahwa kalau mereka berdua berkeras, tentu akan terjadi perang di antara para anggauta sendiri yang akan mengorbankan banyak nyawa. Padahal, mereka yang kini terbujuk bukanlah orang-orang yang pada dasarnya jahat, melainkan karena tergoda oleh bujukan-bujukan menyesatkan. Di samping itu, ada lima orang kaum sesat yang kini terpilih menjadi pemimpin mereka yang menyeleweng, dan lima orang itu memiliki ilmu kepandaian yang lihai sehingga dua orang kakek ini tidak berani turun tangan secara serampangan dan menanti datangnya Yu Kang Tianglo yang mereka andalkan.
"Mereka yang menyeleweng kini menduduki markas karena para anggauta yang setia rela mengikuti kami mengundurkan diri bersembunyi di tempat-tempat sunyi sambil menanti kedatangan Pangcu."
Gak-lokai menutup ceritanya.
"Mereka kini mengganti pakaian mereka dengan baju-baju bersih dan tongkat bambu mereka dengan tongkat besi. Hanya dengan menundukkan para pimpinan mereka yang jumlahnya dua puluh orang lebih maka anggauta-anggauta yang menyeleweng akan dapat disadarkan kembali."
Ketika mereka keluar dari Kang-hu melalui pintu gerbang sebelah timur, pandang mata Suling Emas yang tajam melihat bayangan-bayangan yang cepat berkelebat menyelinap di antara pohon-pohon mendahului mereka. Ia dapat menduga bahwa itu tentulah mata-mata golongan sesat yang kini menguasai markas Khong-sim Kai-pang. Ketika mereka bertiga sambil membawa dua orang pengemis terluka itu tiba di depan kuil besar yang semenjak dahulu menjadi markas besar partai pengemis Khong-sim Kai-pang, mereka melihat betapa dari belakang mereka datang berbondong-bondong puluhan orang pengemis yang berpakaian butut dan membawa tongkat bambu. Jumlah mereka ada empat puluh orang lebih dan begitu Suling Emas menghentikan kudanya untuk menengok, mereka serentak menjatuhkan diri berlutut dan seperti dikomando saja mereka berseru.
"Hidup Yu Kang Tianglo, Pangcu kita"
Kemudian tampak dari dalam kuil keluar beberapa orang yang diikuti barisan pengemis pula, pengemis dengan pakaian bersih dan bersenjata tongkat besi. Melihat ini Suling Emas berkata kepada pengikut Gak-lokai dan Cam-lokai suaranya nyaring.
"Saudara-saudara semua tidak boleh sembarangan bergerak. Kita tidak berniat memerangi golongan sendiri, hanya ingin menyadarkan mereka dan menghalau oknum-oknum jahat yang mengotori kai-pang"
Demikianlah, empat puluh orang pengemis itu disuruh menanti di luar, sedangkan Suling Emas dengan diantar Gak-lokai dan Ciam-lokai, memasuki ruangan kuil dan kini berjalan masuk dengan langkah tenang. Kuda kurusnya ditinggalkan di luar pekarangan.
Ia memandang ke depan dan melihat bahwa yang memimpin barisan pengemis baju bersih yang jumlahnya ada lima puluh orang lebih itu adalah tujuh orang. Lima di antara mereka yang usianya rata-rata sudah lima puluh tahun memakai pakaian pengemis tambal-tambalan dan berkembang-kembang, di tangan mereka tampak senjata tongkat yang berat dan jelas bukan tongkat bambu, entah logam apa. Dua orang yang tidak berpakaian pengemis, melainkan berpakaian pendeta, dan agaknya mereka berdua itu adalah tosu-tosu pengembara yang usianya sudah enam puluh lebih. Suling Emas memandang tajam namun tidak mengenal tujuh orang ini.
Dari pekarangan, ia naik anak tangga yang tingginya ada dua meter, menyambung ke ruangan depan yang cukup luas. Tempat inilah yang biasanya dipakai untuk pertemuan umum para anggauta, di udara terbuka dan letaknya di depan kuil. Lima orang pengemis berpakaian penuh kembang-kembang itu melangkah maju dan berdiri tegak dengan sikap angkuh, sedangkan dua orang pendeta berdiri di belakang mereka. Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu melemparkan dua orang pengemis terluka pundaknya itu ke depan sehingga dua orang itu jatuh tersungkur ke depan kaki lima orang kepala pengemis baru.
"Siapakah yang bertanggung jawab atas perbuatan jahat dua orang anggauta Khong-sim Kai-pang ini?"
Terdengar suara Suling Emas memecah kesunyian. Suaranya halus, namun penuh wibawa.
"Mereka yang merasa bersalah, sudah menyelewengkan Khong-sim Kai-pang ke jalan sesat, hayo lekas maju mengaku agar menerima hukuman"
Seorang di antara lima pimpinan pengemis itu, yang matanya juling, dan agaknya ia yang tua di antara mereka, sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Suling Emas.
"Siapakah kau? Apa hubunganmu dengan perkumpulan kami sehingga kau berani mengucapkan kata-kata kurang ajar? Apakah engkau ini sekutu para pengkhianat macam dua orang jembel tua bangka itu?"
Ia menudingkan telunjuknya kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. Gak-lokai tak dapat menahan kemarahannya.
"Sungguh kalian ini tak tahu diri. Kalian adalah orang-orang baru di Khong-sim Kai-pang, namun kalian seperti buta. tidak mau membuka mata, seperti tuli tak mau membuka telinga. Kalian berhadapan dengan Yu Kang Tianglo, seorang tokoh terbesar dari golongan Khong-sim Kai-pang. Hayo lekas kalian berlutut"
Lima orang itu agaknya sudah mendengar laporan maka mereka tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum-senyum. Akan tetapi di antara lima puluh lebih anggauta Khong-sim Kai-pang yang sudah dibawa menyeleweng, ada yang sudah menjatuhkan diri berlutut dan ada yang menjadi pucat mukanya, menggigil tubuhnya. Kawan-kawannya yang percaya kepada pemimpin baru segera menyeret mereka itu berdiri lagi.
"Ha-ha-ha, bagus sekali. Puluhan tahun Yu Kang Tianglo tidak memperlihatkan diri, membiarkan Khong-sim Kai-pang dalam keadaan terlantar dan hampir bangkrut. Setelah kami muncul dan mengangkat keadaan kai-pang, tiba-tiba engkau muncul dan berlagak seperti seorang kawakan yang berkuasa. Cih, sungguh tidak tahu malu. Pada saat ini memang Khong-sim Kai-pang belum ada ketuanya, dan untuk sementara ini kami lima oranglah yang berkuasa sampai diadakan pemilihan ketua pada pertemuan antara kai-pang-kai-pang di seluruh daerah. Adakah engkau ini Yu Kang Tianglo atau bukan, bukan urusan kami, juga apakah engkau ini seorang tokoh kawakan Khong-sim Kai-pang atau bukan, kami tidak peduli. Engkau tidak ada sangkut pautnya dengan kami, lebih baik lekas pergi jangan membadut di sini"
Merah wajah Gak-lokai dan Ciam-lokai, namun Suling Emas memberi isyarat dengan tangan agar mereka diam. Ia sendiri lalu melangkah maju dan dengan sikap tenang ia berkata.
"Yu Kang Tianglo bukan seorang yang haus akan kedudukan ketua kai-pang. Semenjak Ayahku menjadi Pangcu di sini, Khong-sim Kai-pang terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah yang membela orang-orang terlantar dan jembel-jembel kelaparan, membimbing mereka kembali ke dalam masyarakat terhormat dan mengangkat derajat mereka, paling anti akan kejahatan. Siapa dia boleh menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang dan siapa pun dia orangnya boleh menjadi anggauta, asal saja mereka itu orang baik-baik dan wataknya sesuai dengan jalan yang selama puluhan tahun ditempuh Khong-sim Kai-pang. Aku pun tidak akan muncul di sini sekiranya keadaan Khong-sim Kai-pang masih sebaik dan sebersih biasanya. Akan tetapi sayang sekali, Khong-sim Kai-pang diselewengkan, dengan mata kepala, sendiri aku menyaksikan dua orangmu melakukan pemerasan seperti perampok. Melihat ini, mau tidak mau Yu Kang Tianglo harus bertindak membersihkan kai-pang dari orang-orang jahat"
Mendengar ini, banyak di antara para anggauta Khong-sim Kai-pang yang kini berbaju kembang-kembang dan memegang tongkat besi, menjadi ketakutan. Melihat ini lima orang pengemis yang memimpin mereka itu meloncat maju mengurung Suling Emas dan Si Juling membentak.
"Keparat busuk, enak saja kau mengobrol di sini"
Kami yang berkuasa di Khong-sim Kai-pang dan kami yang berhak menentukan bagaimana cara kami mengumpulkan dana demi kemajuan perkumpulan dan kebahagiaan semua anggauta kami. Kau berani datang menghina, berarti engkau mencari mampus sendiri"
Sambil berkata demikian, Si Juling dan empat orang adik seperguruannya mengangkat tinggi tongkat-tongkat mereka. Ada yang memegang tongkat besi, ada tongkat baja, kuningan bahkan ada yang memegang tongkat dari perak murni.
"Hemm.. hemm.. semenjak dahulu Khong-sim Kai-pang mengutamakan kebenaran dan selalu mengambil jalan halus, maka bawaannya pun hanya sebatang tongkat bambu yang butut sebagai lambang mencari jalan benar agar jangan menyeleweng. Akan tetapi kalian ini pemimpin-pemimpin murtad bermewah-mewahan dan berlumba memegang tongkat yang membayangkan kekerasan dan kekejaman. Sungguh menyeleweng sekali"
"Tak usah banyak cakap. Satu di antara syarat menjadi pimpinan Khong-sim Kai-pang, dia harus mempunyai kepandaian yang paling tinggi itu di antara para anggauta. Beranikah engkau melawan kami berlima?"
"Eh, kiranya kalian masih mengenal juga akan peraturan itu? Bagus, hanya sayangnya, kalian memperlihatkan kecurangan dengan maju bersama. Bagiku, sama saja, maju bersama atau ditambah lagi dua orang sekutumu itu, boleh saja. Gak-lokai tolong beri pinjam tongkatmu"
Kata Suling Emas, menoleh kepada dua orang tokoh lama itu.
"Harap Pangcu pakai saja tongkat ini. Tongkat bambu ini dahulu adalah hadiah dari mendiang Yu Jin Tianglo."
Kata Ciam-lokai sambil menyerahkan tongkatnya, sebatang tongkat bambu yang sudah amat tua.
Yu Jin Tianglo adalah Ketua Khong-sim Kai-pang puluhan tahun yang lalu, ayah Yu Kang Tianglo, maka tentu saja semua anggauta yang tahu akan hal ini menjadi terharu dan juga gelisah. Mereka semua tahu betapa lihainya lima orang pimpinan baru itu sehingga kedua kakek pengemis Gak-lokai dan Ciam-lokai sendiri tidak berani sembrono turun tangan menantang mereka. Bagaimana kalau Yu Kang Tianglo kalah oleh pengeroyokan mereka berlima? Namun Suling Emas dengan langkah lebar dan tenag sudah berdiri di tengah-tengah lapanganyang tinggi dan luas itu, menanti datangnya lawan. Ia melihat betapa Si Juling berbisik-bisik kepada dua orang pendeta, akan tetapi kemudian Si Juling bersama empat orang kawannya meloncat dan sekaligus mengurung.
"Yu Kang Tianglo, engkau terlalu sombong, Sesungguhnya kami berniat untuk memperkuat Khong-sim Kai-pang menjadi perkumpulan yang paling hebat di antara semua kai-pang. Maksud baik kami ini kiranya malah kau hina. Sungguh kau mencari mati sendiri."
Suling Emas tertawa di balik saputangannya.
"Kalian ini pengemis-pengemis macam apa? Pakaiannya saja berlumba mewah. Terang bahwa kalian ini dahulunya tentu orang-orang golongan sesat yang hendak menyelundup ke kai-pang-kai-pang mencari anak buah dan kedudukan. Hayo majulah karena hari ini tamat riwayat kalian"
"Manusia sombong"
Lima orang itu membentuk barisan mengurung Suling Emas yang masih berdiri tegak tanpa memasang kuda-kuda, berdiri seenaknya dan tongkat bambu itu malah ia panggul di pundaknya. Itu sama sekali bukan sikap seorang jago silat menghadapi lawan. Tongkat dipanggul di pundak, berdiri seenaknya dan pandang mata tidak acuh sama sekali.
Diam-diam Gak-lokai Ciam-lokai, dua orang ahli silat kelas berat, menjadi khawatir sekali. Akan tetapi lima orang pengemis baju kembang itu menjadi girang. Mereka terus bergerak mengitari Suling Emas dan mulai tertawa-tawa mengejek. Tiba-tiba Si Mata Juling yang menjadi pimpinan mereka berteriak keras dan serentak lima batang tongkat logam yang keras dan bermacam-macam itu berubah menjadi gulungan sinar yang menerjang Suling Emas secara dahsyat sekali. Gak-lokai dan Ciam-lokai menahan napas. Tepat seperti dugaan mereka, lima orang pengemis baju kembang itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi, jelas terbukti dari serangan mereka yang seperti kilat cepatnya, dan amat berat sehingga terdengar angin bersiutan. Betapa mungkin ketua mereka yang berdiri enak-enak itu dapat menghindarkan diri dari hantaman lima batang tongkat dari semua penjuru ini?
"Singgggg.., Krak-krak-krak-krakkrak.."
Semua orang kaget dan berdongak melihat lima batang tongkat yang kini terbang di udara dan jatuh jauh dari tempat itu. Ketika mereka memandang ke depan lima orang pengemis baju kembang itu sudah roboh tak berkutik lagi sedangkan Suling Emas masih berdiri enak-enak seperti tadi memanggul tongkatnya.
Sampai lama keadaan menjadi sunyi. Pihak lawan tak berani bersuara saking kaget dan gentar, sebaliknya pihak kawan juga sampai tak dapat bersuara saking heran dan kagum. Kemudian meledaklah sorak-sorai penuh kegembiraan dari beberapa puluh orang pengemis anggauta Khong-sim Kai-pang yang setia, sedangkan para anggauta Khong-sim Kai-pang yang menyeleweng atau setidaknya telah takluk kepada lima orang ketua baru itu kini menjadi pucat mukanya dan makin banyak pula kini yang menjatuhkan diri berlutut.
"Yu Kang Tianglo, kau terlalu sombong"
Bentakan ini keras sekali dan kiranya dua orang berpakaian tosu tadi telah maju, yang seorang menghadapi Suling Emas, sedangkan yang kedua dengan gerakan tak acuh menggunakan kakinya melemparkan mayat lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang itu ke bawah panggung. Perbuatan yang kejam ini disambut suara berbisik dari mereka yang pro dan anti di golongan anggauta, baik yang kini sudah berpakaian bersih maupun yang masih berpakaian butut.
"Trakk"
Trakk"
Trakk"
Suara ini nyaring sekali sehingga menyakitkan telinga. Melihat betapa kedua telapak tangan pendeta yang menghampiri Suling Emas ditepuk-tepukkan menerbitkan suara nyaring itu, semua orang yang tadinya berisik menjadi diam dan memandang penuh keheranan dan kekaguman. Betapa dua telapak tangan dari kulit dan daging dapat mengeluarkan bunyi seperti itu?
"Sahabat-sahabat pengemis dengarlah baik-baik. Pinto (aku) berdua hanyalah tamu-tamu dari kelima pangcu (ketua) yang telah terbunuh secara keji oleh manusia sombong yang mengaku Yu Kang Tianglo ini. Pinto berdua adalah orang-orang sebawahan Locianpwe Bu-tek Siu-lam, bagaimana mungkin menyaksikan tuan rumah dihina orang tanpa turun tangan? Telah kita ketahui semua betapa para anggauta kai-pang di bawah pimpinan orang-orang lama yang mengaku suci dan bersih, hidup sengsara, kekurangan makan dan pakaian, bahkan kadang-kadang mengalami kelaparan. Kemudian golongan kami sebagai pimpinan baru telah mengangkat nasib para jembel sehingga mereka dapat memakai pakaian baik dan makan sekenyangnya setiap hari. Tak perlu dibicarakan panjang lebar siapa yang lebih patut menjadi pemimpin kai-pang. Sudah terbukti pula betapa kelima orang kai-pang yang terbunuh berjasa besar terhadap saudara-saudara semua. Kini muncul manusia sombong ini yang akan merampas kedudukan dan akan menyeret kembali saudara-saudara ke dalam lembah kesengsaraan."
Mendengar ini, terbangun semangat mereka yang tadinya berlutut ketakutan. Mereka teringat betapa dahulu, semenjak dipimpin oleh Yu Jin Tianglo dan oleh Gak-lokai serta Ciam-lokai, para anggauta hidup di bawah tekanan peraturan-peraturan keras sekali, bahkan mereka itu diharuskan hidup seadanya dan sederhana, sesuai dengan pendapatan serta hasil sumbangan para dermawan. Kemudian setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai diusir dan pimpinan dipegang oleh lima orang ketua baru, uang mengalir masuk dengan berlebihan sehingga mereka dapat hidup jauh lebih baik, bahkan dapat pula bermewah-mewahan. Maka ketika mendengar ucapan tosu itu, mereka lalu saling bicara dan keadaan menjadi berisik kembali.
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suling Emas tercengang ketika melihat tosu yang membunyikan kedua telapak tangan tadi. Ia maklum bahwa tosu itu bukan sembarang orang, telah memiliki kepandaian tinggi dan tentu seorang ahli Tiat-ciang-kang (Ilmu Tangan Besi) yang telah melatih kedua telapak tangannya sehingga menjadi kuat dan keras laksana baja. Apalagi mendengar tosu itu mengaku sebagai orang sebawahan Bu-tek Siu-lam, ia menjadi tertarik. Memang selama perantauannya, ia mendengar akan munculnya seorang tokoh besar berjuluk Bu-tek Siu-lam ini. Akan tetapi sebelum Suling Emas menjawab, tiba-tiba terdengar suara Gak-lokai berteriak keras.
"Sungguh tamu-tamu yang tak tahu malu mencampuri urusan dalam Khong-sim Kai-pang"
Kemudian tubuh dua orang kakek pengemis kurus yaitu Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah melayang dan meloncat ke depan Suling Emas menghadapi dua orang tosu itu. Ciam-lokai menghampiri Suling Emas dan berkata halus,
"Mohon Pangcu sudi membiarkan kami berdua memberi hajaran kepada tosu-tosu lancang ini."
Suling Emas cepat membisikkan nasihatnya.
"Baiklah, Ciam-lokai, kau nanti hadapi Si Hidung Besar itu dan awaslah terhadap telapak tangannya. Dia ahli Tiat-ciang-kang dan jangan sampai mengadu telapak tangan, akan tetapi serang kedua jalan darah di belakang sikunya."
Karena bisikan ini dilakukan seperti tanpa menggerakkan bibir, hanya dengan pengerahan, tenaga khikang yang sempurna, maka yang mendengar hanya Ciam-lokai seorang. Kakek bertongkat butut ini mengangguk-angguk. Ia percaya penuh akan kelihaian ketuanya yang sakti. Sementara ini, Gak-lokai Si Kakek Pengemis yang bertubuh bongkok, sudah melangkah maju, mengerahkan khi-kang dan berkata lantang sehingga suaranya mengatasi suara berisik para anggauta Khong-sim Kai-pang yang seketika menjadi tenang dan mendengarkan penuh perhatian.
"Sejak kapankah Khong-sim Kai-pang mempunyai penasihat-penasihat segala macam hidung kerbau? Urusan kai-pang adalah urusan dalam dan tidak boleh sama sekali dicampuri oleh orang luar. Hal ini sudah menjadi peraturan kai-pang sejak dipimpin oleh mendiang Yu Jin Tianglo dahulu. Sekarang ada tamu-tamu tak diundang yang berani lancang mencampuri urusan dalam, hal ini tak lain berarti sebuah tantangan"
Dua orang tosu itu menjadi merah mukanya. Tosu yang alisnya putih melangkah maju dan membentaki
"Jembel busuk. Tak tahukah kau siapa kami berdua? Kami adalah utusan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Berani kau menghina utusan beliau?"
Gak-lokai menjura dan menjawab suaranya tegas dan nyaring.
"Kami sama sekali tidak menghina siapapun juga, apalagi seorang tokoh besar seperti Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sebaliknya kalian inilah yang sudah menghina ketua kami. Kalian sebagai orang luar mana tahu peraturan dan sifat Khong-sim Kai-pang kami? Perkumpulan kami bukanlah perkumpulan segala macam jembel yang kelaparan dan yang hanya memikirkan tentang makanan dan pakaian belaka. Akan tetapi, kai-pang kami adalah perkumpulan orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan, orang-orang yang bertugas membela kebenaran dan keadilan tanpa pamrih, cukup dengan hidup sederhana atas kerelaan dan belas kasihan orang yang lebih mampu. Kalian bicara tentang hidup serba kecukupan dan menganggap penyelundup-penyelundup itu menjunjung tinggi derajat perkumpulan kami? Huh, bahkan merendahkan derajat, karena perbaikan nasib itu dilakukan dengan cara yang keji dan dengan cara yang lebih jahat daripada perampok-perampok hina"
"Setan kelaparan. Gak-lokai dan Ciam-lokai, pinto sudah tahu bahwa kalianlah yang menjadi penyakit dalam Khong-sim Kai-pang. Kalian mengandalkan apa berani bicara seperti itu di depan pinto?"
Bentak tosu hidung besar dengan marah.
"Pergilah, kalian terlalu rendah untuk berurusan dengan pinto. Biarkan orang yang sombong Yu Kang Tianglo bicara dengan kami"
"Heh-heh-heh. Hidung kerbau macam kalian ini mana ada harga untuk dilayani oleh Pangcu kami yang mulia. Kalau kalian hendak menantang, cukup kami yang akan melayaninya. Rekan Gak, kau minggirlah, biarkan tongkat bututku menghajar anjing hidung besar ini"
Gak-lokai tertawa lalu meloncat ke pinggir, lalu tubuhnya melayang ke bawah dan tahu-tahu ia telah menyelinap ke dalam ruangan depan kuil dan sebelum lain orang berani mencegah, ia sudah meloncat kembali membawa tiga buah bangku. Ia mempersilakan Suling Emas duduk di atas bangku, kemudian ia sendiri duduk di sebelah kiri Suling Emas. Bangku kosong ke tiga adalah diperuntukkan Ciam-lokai.
"Ha-ha, Tosu Alis Putih. Kami tidak tahu kau siapa, karena kau tamu tak diundang, silakan kau berdiri saja di sudut situ"
Kata Gak-lokai kepada tosu ke dua. Tosu ini marah sekali, mengepal tinju dan mendelik.
"Eh-eh, sabar dulu. Giliran kita belum tiba. Nanti setelah Saudara Ciam membereskan temanmu Si Hidung Kerbau, barulah kita boleh saling tonjok"
Kata pula Gak-lokai. Tosu Alis Putih itu hanya membuang ludah melampiaskan marahnya, kemudian ia memandang ke tengah panggung di mana Ciam-lokai sudah berhadapan dengan kawannya. Ciam-lokai dengan menggerak-gerakkan tongkat bambunya yang butut, yang tadi ia pinjamkan kepada Suling Emas, menghadapi tosu hidung besar, tersenyum lebar dan berkata, suaranya lantang.
"Eh, tosu yang tak tahu diri. Engkau mengaku tamu, akan tetapi kau telah tahu akan namaku dan rekan Gak, berarti kalian ini bukan sembarang tamu, melainkan tamu yang menyelidiki keadaan Khong-sim Kai-pang. Setelah kau mengetahui namaku, sudah sepatutnya kau mengaku siapa sebenarnya kau ini agar aku tahu pula siapa nama orang yang nanti roboh di tanganku"
Ucapan ini diucapkan halus dan sewajarnya, akan tetapi tetap saja membikin panas telinga karena sifatnya tekebur. Tosu yang hidungnya besar itu usianya sudah tua, mungkin hanya beberapa tahun lebih muda daripada Ciam-lokai, akan tetapi wajahnya masih gagah dan kulit mukanya kemerahan, rambutnya masih hitam. Ia menekan kemarahan hatinya dan tersenyum mengejek lalu berkata.
"Jembel tua bangka yang sudah mau mampus, dengarlah baik-baik. Pinto bernama Bu Keng Cu, sedangkan dia itu adalah Suhengku bernama Bu Liang Cu. Kami berdua adalah anak murid Im-yang-kauw di perbatasan dunia barat. Kedatangan kami di Khong-sim Kai-pang ini adalah mewakili Bengcu (Pimpinan) kami yaitu Locianpwe Bu-tek Siu-lam untuk memenuhi undangan pimpinan Khong-sim Kai-pang. Sekarang pimpinan Khong-sim Kai-pang yang menjadi sahabat kami dan tuan rumah, telah tewas di tangan Yu Kang Tianglo, tentu saja pinto berdua takkan dapat tinggal diam. Kalau kau sudah bosan hidup hendak mewakili Yu Kang Tianglo, silakan. Akan tetapi jangan lupa bahwa pinto sudah menasihatimu supaya kau mundur saja karena kau bukanlah lawan pinto, jembel tua"
Wajah Ciam-lokai menjadi pucat sekali. Memang Ciam-lokai ini mempunyai keadaan yang aneh. Orang lain kalau marah akan merah sekali mukanya, akan tetapi Ciam-lokai menjadi pucat. Ia marah karena merasa kalah bicara. Siapa kira, tosu ini pandai berdebat dan kini ia yang tadinya hendak menyombong, oleh tosu yang lemas lidah itu seakan-akan diseret turun menjadi terbalik keadaannya. Selagi ia memutar-mutar otak untuk mencari jawaban yang tepat dan tak kalah pedasnya, tosu itu sudah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha. Nah, mukamu sudah pucat seperti mayat, jembel tua. Pinto khawatir kau akan roboh pingsan dan tewas karena takut. Lebih baik sebelum terlambat, kau mundurlah dan biarkan Yu Kang Tianglo saja yang melayani pinto"
Ciam-lokai makin pucat, mulutnya bergerak-gerak namun tidak dapat mengeluarkan suara saking marahnya. Ia tahu bahwa terhadap tosu ini, ia kalah bicara dan memang dalam hal kepandaian berdebat, rekannya Gak-lokai lebih pandai, maka ia hanya dapat menoleh ke arah Gak-lokai dengan muka masih pucat dan sinar mata minta bantuan.
"Heh-heh-heh, Saudara Ciam yang baik. Mengapa kau terheran-heran mendengar tosu hidung kerbau Bu Keng Cu itu bernyanyi semerdu ini? Apakah kau lupa bahwa seekor burung gagak sekalipun kalau hampir mampus dapat bernyanyi merdu? Akan tetapi Si Hidung Besar ini suaranya mengandung hawa busuk beracun, maka lebih baik lekas kau usir dia pergi"
Muka Ciam-lokai yang tadi pucat kini menjadi merah kembali. Ia menghadapi Bu Keng Cu sambil menyeringai lebar.
"Nah, kau sudah mendengar sendiri. Masih tidak mau pergi? Besar-benar muka tebal"
Bu Keng Cu marah sekali. Tanpa bicara lagi kembali ia menggosok-gosok kedua telapak tangannya dan terdengarlah suara nyaring seperti dua buah benda keras digosok. Kemudian secara tiba-tiba dan dengan dahsyat sekali, tosu itu sudah menerjang maju, kedua tangannya terbuka, yang kanan memukul ke arah kepala, yang kiri mencengkeram ke arah dada. Telapak tangannya berwarna hitam mengkilap dan ketika ia menerjang, sambaran angin pukulannya dahsyat sekali. Ciam-lokai terkejut dan cepat ia mengelak sambil meloncat ke kiri dan tongkat bututnya bergerak secara aneh, berkelebat cepat dan terdengarlah suara
"Plak-plak"
Dua kali disusul seruan Bu Keng Cu yang tubuhnya terhuyung-huyung ke depan.
Gak-lokai bersorak, diikuti oleh para pengemis bawahannya. Memang lucu sekali pertandingan dalam gebrak pertama itu. Bu Keng Cu kelihatan amat dahsyat dan ganas serangannya tadi, sedangkan gerakan Ciam-lokai amat cepat dan aneh dan dalam gebrakan pertama saja tongkat bambunya sudah berhasil menggebuk punggung lawan dua kali dan mendorong pantat satu kali. Sayang bahwa gebukan-gebukan itu dilakukan terlalu cepat sehingga tak bertenaga sehingga tidak cukup hebat untuk dapat merobohkan lawan sekuat tosu itu. Memang ilmu tongkat yang dipergunakan oleh Ciam-lokai tadi amat luar biasa. Itulah ilmu tongkat Go-bwee-tung (Tongkat Ekor Buaya) ciptaan mendiang Yu Jin Tianglo.
Gerakan-gerakannya aneh sekali dan ilmu tongkat ini sanggup untuk "mencuri"
Beberapa gebukan walau menghadapi ilmu silat yang amat tinggi sekalipun, karena sifat-sifatnya seperti ekor buaya yang dapat menyabet dari belakang tanpa diduga-duga lawan. Hanya sayangnya, Yu Jin Tianglo dahulu menciptakan ilmu tongkat ini hanya untuk menghukum dan menghajar anak buah yang dahulu menyeleweng, maka semua pukulannya bukan merupakan pukulan maut. Dan karena Yu Jin Tianglo melihat bakat baik pada Ciam-lokai untuk menjadi pimpinan pengemis maka ia sengaja menurunkan ilmu ini kepadanya. Karena sifatnya hanya untuk menghukum, bukan membunuh, maka ilmu tongkat Go-bwee-tung ini tentu saja tidak banyak paedahnya kalau dipergunakan dalam pertandingan sungguh-sungguh di mana kedua lawan berusaha keras untuk merobohkan dan kalau perlu saling membunuh.
Betapapun juga, melihat bahwa dalam gebrakan pertama saja pengemis tua itu sudah berhasil menggebuk lawannya, para pengemis yang pro kepada Ciam-lokai bersorak-sorai gembira. Sebaliknya Bu Keng Cu menjadi kaget sekali dan tak berani menganggap rendah lawannya yang ternyata memiliki ilmu tongkat yang hebat itu. Ia berseru keras dan menepuk-nepuk kedua telapak tangannya sehingga terdengar suara nyaring, dan kini di antara kedua telapak tangannya itu tampak asap. Itulah puncak kehebatan penyaluran tenaga Tiat-ciang-kang. Kemudian tosu itu kembali menyerang, kali ini terjangannya jauh lebih hebat daripada tadi, juga pukulannya cepat dengan kedua tangan bergerak-gerak secara aneh, yang kanan lambat-lambat akan tetapi yang kiri cepat-cepat.
Ciam-lokai bukan seorang bodoh. Sudah banyak pengalamannya dalam bertempur, dan ia maklum pula akan kelihaian tosu ini. Ia tidak berani lagi main-main dan mengandalkan Go-bwee-tung, maka ia cepat menggeser kaki ke kanan dan merendahkan tubuhnya, menghindarkan. pukulan kiri lawan yang amat cepat datangnya itu. Akan tetapi siapa kira, begitu tubuhnya merendah tahu-tahu pukulan tangan kanan yang tadinya bergerak lambat, sudah tiba dan dari atas menghantam ke arah kepalanya. Ia kaget sekali dan cepat-cepat ia mengangkat tongkat menangkis sambil mengerahkan kedua tangannya yang memegang kedua ujung tongkatnya.
"Krakk"
Tongkat itu patah menjadi dua. Ciam-lokai meloncat ke belakang dan wajahnya menjadi pucat. Bukan saja ia menderita malu, juga ia merasa sayang sekali bahwa tongkat pusaka pemberian mendiang Yu Jin Tianglo itu kini patah menjadi dua.
Segera terdengar sorakan para pengemis baju bersih yang berpihak kepada dua orang tosu ini, karena keadaan kini berubah untuk keuntungan Si Tosu. Ciam-lokai menggigit bibir dan ia menerjang maju dengan dua batang tongkat pendek di kedua tangan. Kini ia menyesal mengapa tadi ia tidak segera menggunakan siasat yang dibisikkan ketuanya kepadanya. Maka kini begitu menerjang, ia segera menggunakan dua batang tongkat pendeknya untuk menghujani kedua siku tangan lawan dengan totokan-totokan cepat.
"Aiihhh.."
Bu Keng Cu berseru kaget dan sibuklah ia meloncat ke sana kemari untuk menghindarkan totokan itu. Di dalam hatinya, ia terkejut bukan main. Bagaimana kakek jembel ini dalam dua gebrakan saja sudah dapat mengetahui kelemahan Ilmu Tiat-ciang-kang yang dipergunakannya? Sampai tiga puluh jurus lebih, Ciam-lokai mendesak lawannya dengan totokan-totokan maut yang dipusatkan pada kedua siku tangan lawan. Bu Keng Cu mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk menghindarkan totokan-totokan itu, kemudian secara tiba-tiba gerakannya berubah.
Sejurus gerakannya kasar dan keras, pada jurus berikutnya berubah halus lembek, kemudian berubah lagi. Dalam lima enam jurus saja Ciam-lokai sudah hampir terkena tusukan jari tangan yang sekeras baja, dan untung ia masih sempat membuang tubuh ke belakang sehingga hanya ujung bajunya yang bolong ketika tercium ujung jari Bu Keng Cu. Jari menusuk ujung baju bisa bolong menyatakan bahwa jari-jari itu cukup kuat untuk menusuk bolong logam keras. Setelah Bu Keng Cu menjalankan ilmu silat aneh yang sebentar lembek sebentar keras, cepat dan lambat berganti-ganti dan selalu berubah, Ciam-lokai menjadi terdesak hebat. Kini sukar baginya untuk mengancam kedua siku lawan, karena kedua tangan lawan itu melakukan gerakan-gerakan yang selalu berubah sifatnya sehingga sukar diduga dan sukar pula dilayani.
Suling Emas yang menyaksikan jalannya. pertandingan sejak tadi, diam-diam harus mengakui keunggulan tosu itu atas kepandaian Ciam-lokai. Apalagi ketika tosu itu mainkan ilmu silat yang dikenalnya sebagai Ilmu Silat Im-yang-kun, ia tahu bahwa kalau dilanjutkan, Ciam-lokai akan kalah dan mungkin akan tewas dalam pertempuran ini. Maka ia lalu mengerahkan tenaga khi-kangnya, mulutnya berkemak-kemik tanpa mengeluarkan suara. Akan tetapi, Ciam-lokai yang sedang sibuk menghadapi desakan lawan yang lihai, tiba-tiba mendengar suara ketuanya itu berbisik jelas sekali di pinggir telinganya.
"Hantam lutut kanannya, totok pundak kirinya"
Ciam-lokai yang sedang terdesak hebat dan sibuk menyelamatkan diri itu, mendengar suara ketuanya, secara membuta lalu mentaati anjuran ini.
Ia menggerakkan kedua tangan secara beruntun, menghantamkan tongkat kiri ke arah lutut kanan lawan sedangkan tongkat kanannya menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di pundak kiri. Bu Keng Cu terkejut setengah mati. Memang pada saat itu, biarpun ia sedang mendesak lawan, bagian lutut kanan dan pundak kiri inilah yang terbuka, sedangkan perubahan gerak jembel tua itu benar-benar aneh dan tidak terduga, begitu langsung menyerang dua bagian yang lemah ini. Hampir saja lutut kanannya kena dihajar, maka cepat ia mencelat ke belakang lalu menerjang maju lagi dengan kemarahan meluap.
"Hantam pelipis kirinya dan totok lambung kanannya"
Kembali Ciam-lokai mentaati bisikan ini dengan hati girang setelah melihat betapa petunjuk pertama tadi hampir berhasil. Kembali Bu Keng Cu kaget setengah mati dan hanya dengan susah payah ia mampu membebaskan diri dari bahaya maut. Ia terheran-heran dan makin penasaran dan marah.
Jelas bahwa ia menang unggul dan ia sudah yakin akan memperoleh kemenangan, akan tetapi mengapa dalam keadaan terdesak, jembel itu secara tiba-tiba merobah gerakan secara begitu aneh, kadang-kadang berlawanan dengan gerakan pertama, bukan seperti gerakan orang bermain silat lagi, akan tetapi selalu tepat menyerang bagian-bagian tubuhnya yang tak terjaga? Apakah jembel ini mempunyai "mata ke tiga"
Yang dapat melihat bagian-bagian terbuka itu? Hal seperti ini hanya dapat dan mungkin dilakukan oleh orang yang sudah mengenal ilmu silatnya Im-yang-kun. Akan tetapi andaikata Si Jembel Tua ini mengenal bahkan ahli dalam ilmu silat Im-yang-kun, mengapa gerakan-gerakannya begitu tiba-tiba dan seperti dipaksakan?
"Injak kaki kirinya dan tusuk perutnya, kalau ia membalik, tendang pantatnya"
Kembali bisikan itu diturut oleh Ciam-lokai dengan taat. Pada saat itu Bu Keng Cu sedang mendesaknya dengan tendangan kaki kanan dan ia baru saja menyelinap ke kiri untuk mengelak, maka secepat kilat ia lalu mengangkat kakinya menginjak secara tiba-tiba dan keras ke arah kaki kiri tosu itu, berbareng ia menusukkan tongkatnya ke arah pusar lawan.
"Hayaaaa.."
Bu Keng Cu terkejut dan cepat ia memutar tubuh untuk menghindarkan dua serangan berbahaya ini. Akan tetapi siapa duga baru saja tubuhnya terputar, sebuah tendangan tepat mengenai pantatnya sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi, tubuhnya terlempar ke bawah panggung. Tepuk sorak riuh-rendah menyambut kemenangan Ciam-lokai ini, sebaliknya para pengemis pengikut kaum sesat menjadi pucat wajahnya. Kiranya tosu yang menyombongkan diri sebagai utusan Bu-tek Siu-lam itu ternyata hanya sebuah gentong kosong belaka, kalah oleh Ciam-lokai yang tua dan kurus kering.
Pada saat itu, di antara riuh-rendahnya para pengemis yang menjagoi Ciam-lokai bersorak-sorak, berkelebat bayangan Bu Liang Cu, dan begitu berhadapan dengan Ciam-lokai, ia langsung mengirim serangan bertubi-tubi, mengeluarkan jurus-jurus paling lihai dari Im-yang-kun. Kiranya tosu yang menjadi suheng Bu Keng Cu ini tadi juga menyaksikan keanehan terjadi dalam pertandingan itu. Ia yakin bahwa Im-yang-kun mengatasi ilmu silat Ciam-lokai, akan tetapi mengapa pada saat-saat tertentu jembel itu merubah gerakannya dan begitu tepat mengisi lowongan yang melemahkan pertahanannya? Oleh karena inilah, dengan hati penasaran ia lalu maju dan langsung menggunakan jurus-jurus Im-yang-kun untuk mencoba apakah benar-benar Ciam-lokai paham dan ahli Ilmu Silat Im-yang-kun. Hebat bukan main terjangan Bu Liang Cu karena ia lebih pandai dari pada sutenya.
Karena kejadian ini tak terduga-duga dan tiba-tiba, maka Ciam-lokai tak dapat mengharapkan bisikan-bisikan ketuanya, maka cepat ia memutar kedua tongkat dan meloncat ke belakang. Akan tetapi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghindarkan serangan tangan kanan Bu Liang Cu, ia kurang cepat menghindar ketika tangan kiri tosu itu bergerak cepat sekali menyambar pergelangan tangan kanannya. Jari-jari tosu itu sudah menyentuh kulit lengannya. Ciam-lokai terkejut, menarik tangannya. Akan tetapi ia tidak dapat mencegah lagi tongkatnya yang di tangan kanan terampas sedangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Keadaannya berbahaya sekali karena jika tosu itu melanjutkan serangannya, celakalah ia.
"Heh, tosu bau, jangan main curang kau."
Tiba-tiba Gak-lokai sudah melayang maju menghadapi Bu Liang Cu.
"Lawanmu adalah aku karena rekanku Ciam-lokai sudah mengalahkan kawanmu"
Tosu itu berdongak dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha. Siapa yang curang? Suteku tidak pernah kalah oleh jembel busuk itu. Ada kecurangan tak tahu malu di pihakmu"
"Benar. Mari kita hadapi mereka, Suheng. Hayo majulah dan biar kita lihat bersama apakah benar kalian berdua dapat mengalahkan kami"
Bu Keng Cu berseru dan ia pun sudah melompat lagi, ke atas panggung, berdiri dekat suhengnya. Ia memang tidak terluka. Kini kedua orang tosu itu berdiri berdampingan dan memasang kuda-kuda Im-yang-kun. Ilmu silat Im-yang-kun ini memang hebat, akan tetapi kalau dimainkan oleh dua orang, lebih ampuh lagi. Gak-lokai yang tidak tahu akan bantuan yang dilakukan diam-diam oleh Suling Emas kepada Ciam-lokai, menjadi marah sekali.
"Saudaraku Ciam, mari kita hajar dua orang tosu kerbau ini"
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus Suling Emas.
"Tahan dulu Gak-lokai dan Ciam-lokai, kalian mundurlah. Aku hendak bicara dengan mereka."
Karena ketua mereka yang memberi perintah, biarpun ogah-ogahan, kedua orang kakek pengemis itu lalu mundur. Suling Emas lalu melangkah maju dengan langkah perlahan dan tenang, menghadapi dua orang tosu yang sudah siap-siap untuk mengadu nyawa. Biarpun ia menyamar sebagai ketua kai-pang namun Suling Emas tak dapat menyembunyikan sikapnya yang halus dan sopan terhadap golongan pendeta. Maka ia segera menjura dengan hormat dan berkata.
"Ji-wi Toyu, sudah lama sekali saya mendengar tentang Im-yang-kauw sebagai sebuah perkumpulan agama yang besar di perbatasan barat, bahkan pernah saya mendapat kehormatan beramah-tamah dengan Kauwcu (Ketua Agama) Sin-hong Locianpwe. Menurut pendapat saya, jalan hidup yang ditempuh golongan Ji-wi (Tuan Berdua) dan golongan kai-pang tidaklah banyak bedanya. Namun, dalam urusan partai masing-masing, tidak selayaknya kalau kedua pihak saling mencampuri. Harap Ji-wi sudi mendengar alasanku ini dan persilakan Ji-wi menghentikan semua kesalahpahaman ini."
Dua orang tosu itu saling pandang, kemudian Bu Liang Cu yang beralis putih segera berkata, lagaknya angkuh,
"Yu Kang Tianglo, bagaimana pinto berdua dapat bicara dengan orang yang hanya mengaku bernama Yu Kang Tianglo akan tetapi yang menutupi mukanya?"
Suling Emas menarik napas panjang.
"Sesungguhnya saya sudah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi mendengar betapa kai-pang-kai-pang dicemarkan oleh penyelundup-penyelundup sesat, terpaksa saya turun tangan. Hanya karena kepentingan kai-pang saya turun tangan, bukan kepentingan pribadi, maka apa perlunya saya memperkenalkan muka? Harap Ji-wi Toyu suka memandang perkenalan saya dengan Sin-hong Locianpwe Kauwcu dari Im-yang-kauw dan menghabiskan permusuhan yang tiada sebabnya ini."
Tiba-tiba kedua orang tosu itu tertawa mengejek dan kini Bu Keng Cu yang berkata dengan suara nyaring, agaknya dengan maksud agar didengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
"Ha-ha. Perkenalanmu dengan Sinhong Locianpwe tak perlu kau sombongkan. Kakek itu sudah tewas karena kesalahan terhadap Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Kini Locianpwe Bu-tek Siu-lam yang memimpin kami, bahkan beliau pula yang akan memimpin semua kai-pang di dunia. Engkau ini berani lancang tangan membunuh lima orang pimpinan Khong-sim Kai-pang dan mengangkat diri sendiri menjadi bengcu di sini tanpa perkenan Locianpwe Bu-tek Siu-lam. Sungguh tak tahu diri"
Cinta Bernoda Darah Eps 29 Cinta Bernoda Darah Eps 29 Suling Emas Eps 6