Suling Emas 6
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Pada senja hari itu Kwee Seng berdiri di ruangan belakang rumah penginapan, memandang sinar matahari yang mulai lenyap, hanya tampak sinar merah kekuningan menerangi angkasa barat. Tangan kanannya memegang sebuah tempat arak terbuat daripada kulit labu kering. Ia bersandar kepada langkan, memandangi angkasa barat yang berwarna indah sekali sambil sekali-kali meneguk arak dari tempat itu. Teringat ia akan sajak karangan Li Tai Po, maka sambil mengangkat muka dan menggerak-gerakan tempat arak di depannya, Kwee Seng lalu menyanyikan sajak itu :
Kunikmati arak hingga tak sadar akan datangnya senja
rontokan daun bunga memenuhi lipatan bajuku
mabok kuhampiri anak sungai mencerminkan bulan
ohhh, burung terbang pergi, sunyi dan rawan
Kwee Seng berhenti bernyanyi dan meneguk araknya. Biarpun hawa arak sudah memenuhi kepalanya, membuat kepalanya serasa ringan dan hendak melayang-layang namun sebagai seorang ahli silat yang sakti, telinganya menangkap suara langkah kaki orang. Sambil minum terus dan arak menetes-netes dari bibirnya, Kwee Seng melirik kesebelah kanan. Ia masih berdiri bersandarkan langkan.
"Heh-heh-heh, matahari pergi tentu terganti munculnya bulan..."
Ia berkata-kata seorang diri akan tetapi diam-diam ia memperhatikan orang-orang yang baru datang. Mengapa ada orang datang dari belakang rumah penginapan? Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang pemuda dan seorang gadis, ia tidak berani memandang langsung, melainkan mengerling dan memperhatikan dari sudut matanya. Alangkah herannya ketika ia mengenal wanita itu. Bukan lain adalah gadis baju putih, Lai Kui Lan, suci (kakak seperguruan) dari Jenderal Kam Si Ek! Pakaiannya masih sutra putih seperti pagi tadi, wajahnya masih terang dan manis seperti tadi, akan tetapi ada keanehan pada diri gadis ini.
Kalau pagi tadi Lai Kui Lan amat peramah dan sinar matanya bening terang, kini gadis itu sama sekali tidak menengok kearahnya, seakan-akan tidak mengenalnya atau tidak melihatnya, padahal tak mungkin tidak melihatnya karena ditempat itu tidak ada orang lain. Dan sinar mata gadis itu, seperti kehilangan semangat, tidak sewajarnya! Apalagi lengan kiri gadis itu digandeng dengan erat oleh Si Pemuda yang memandang penuh curiga kepadanya. Kwee Seng membalikkan tubuh, menggoyang-goyang kepalanya seperti seorang pemabokan dan mengangkat tempat arak kearah pemuda itu dengan gerakan menawarkan. Akan tetapi diam-diam ia memperhatikan Si Pemuda. Seorang pemuda sebaya dengannya, berwajah cukup tampan akan tetapi membayangkan keanehan dan kekejaman, sepasang alisnya yang tebal hitam itu bersambung dari mata atas kiri ke atas mata kanan. Kepalanya kecil tertutup kain penutup kepala yang bentuknya lain daripada biasa.
Pada muka itu terbayang sesuatu yang asing, seperti terdapat pada wajah orang-orang asing. Tubuhnya tidak berapa besar namun membayangkan kekuatan tersembunyi yang hebat, sedangkan sinar matanya pun membayangkan tenaga dalam yang kuat. Diam-diam Kwee Seng terkejut dan menduga-duga siapa gerangan pemuda ini, dan mengapa pula Lai Kui Lan ikut dengan pemuda ini dengan sikap seolah-olah seekor domba yang dituntun ke penjagalan. Seekor domba yang dituntun kepenjagalan! Kalimat ini seakan-akan berdengung ditelinga Kwee Seng, membuatnya termenung lupa akan araknya ketika dua orang itu sudah memasuki kamar tengah, mendengar suara Si Pemuda yang berat dan parau minta kamar dijawab oleh pengurus rumah penginapan. Kemudian, masih lupa akan araknya, Kwee Seng berjalan perlahan menuju ke kamarnya sendiri, kalimat tadi masih terngiang ditelinganya.
Mungkin, bisik hatinya. Mungkin sekali Lai Kui Lan menjadi domba dan pemuda itu kiranya patut pula menjadi seorang penyembelih domba, seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul). Kalau tidak demikian, mengapa sikap Lai Kui Lan begitu aneh seperti orang terkena sihir? Seperti seorang yang melek akan tetapi tidak sadar? Makin gelap keadaan cuaca diluar hotel, makin gelap pula pikirnya Kwee Seng menghadapi teka-teki itu. Hatinya pernah penasaran, biarpun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa kehadiran Lai Kui Lan bersama seorang pemuda itu sama sekali bukan urusannya dan bahwa tidak patut mengintai keadaan muda-mudi yang mungkin sedang di lautan madu asmara, namun kecurigaannya mendesak-desaknya sehingga tak lama kemudian, di dalam kegelapan malam, Kwee Seng sudah melayang naik ke atas genteng hotel dan melakukan pengintaian.
Hal ini ia lakukan dengan guci arak masih di tangan, karena untuk melakukan pekerjaan yang berlawanan dengan kesusilaan ini ia harus menguatkan hati dengan minum arak. Akan tetapi ketika ia mengintai ke dalam kamar dua orang itu, hampir saja ia terjengkang saking marah dan kagetnya. Tak salah lagi apa yang dikuatirkan hatinya! Ia melihat Lai Kui Lan terbaring telentang diatas pembaringan dalam keadaan lemas tak dapat bergerak, mukanya yang pucat itu basah oleh air mata, terang bahwa gadis itu tertotok hiat-to (jalan darah) di bagian thian-hu hiat dan mungkin juga jalan darah yang membuat gadis itu menjadi gagu! Akan tetapi air mata itu menceritakan segalanya! Menceritakan bahwa keadaan gadis seperti itu bukanlah atas kehendak Si Gadis sendiri, melainkan terpaksa dan karena tak berdaya. Adapun pemuda tadi, duduk ditepi pembaringan sambil berkata lirih membujuk-bujuk.
"Nona yang baik, mengapa kau menangis?"
Dengan gerakan halus dan mesra pemuda itu mengusap-usap kedua pipi yang penuh air mata.
"Aku tertarik oleh kecantikanmu, dan andaikata aku tidak tahu bahwa kau adalah suci dari Jenderal kam Si Ek, tentu aku tidak akan berlaku sesabar ini! Aku ingin kau menyerahkan diri kepadaku berikut hatimu, ingin kau membalas cintaku dan kau akan kuajak ke Khitan, menjadi isteriku, isteri seorang panglima! Dengan ikatan ini, tentu adik seperguruanmu akan suka bersekutu dengan kami. Nona, kau tinggal pilih, menyerah kepadaku dengan sukarela, ataukah kau ingin menjadi orang terhina karena aku menggunakan kekerasan? Kau tidak ingin dinodai seperti itu, bukan? Aku Bayisan, panglima terkenal di Khitan, tidak kecewa kau menjadi kekasihku..."
Pemuda itu menundukkan mukanya hendak mencium muka gadis yang tak berdaya itu. Tiba-tiba pemuda yang bernama Bayisan itu meloncat bangun, membatalkan niatnya mencium karena tengkuknya terasa panas dan sakit. Matanya jelalatan kesana ke mari, cuping hidungnya kembang kempis karena ia mencium bau arak. Ia meraba tengkuknya yang ternyata basah dan ketika ia
(Lanjut ke Jilid 06)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
mendekatkan tangannya kedepan hidung, ia berseru kaget.
"Keparat, siapa berani main-main dengan aku?"
"Penjahat cabul jahanam! Ditempat umum kau berani melakukan perbuatan biadab, sekarang bertemu dengan aku tak mungkin kau dapat mengumbar nafsu iblismu!"
Terdengar suara Kwee Seng dari atas genteng. Bayisan bergerak cepat sekali, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang keluar dari jendela kamar dan beberapa menit kemudian ia sudah meloncat naik keatas genteng. Akan tetapi ia tidak melihat orang diatas genteng yang sunyi itu! Bayisan celingukan, napasnya terengah-engah karena menahan amarah, sebatang pedang sudah berada ditangan kanannya.
"Heeeei! Jahanam cabul, aku disini. Mari kita keluar dusun kalau kau memang berani!"
Tahu-tahu Kwee Seng suah berada agak jauh dari tempat itu, melambai-lambaikan guci araknya ke arah Bayisan. Tentu saja orang Khitan ini makin marah dan sambil berseru keras ia mengejar. Kwee Seng lari cepat dan terjadilah kejar-kejaran di malam gelap itu, menuju keluar dusun. Di luar dusun inilah Kwee Seng menantikan lawannya. Mereka berhadapan. Kwee Seng tenang dan ketika lawannya datang ia sedang meneguk araknya. Bayisan marah sekali, mukanya merah matanya jalang, pedang ditangannya gemetar. Ketika mengenal pemuda pelajar pemabokan itu, ia makin marah.
"Eh, kiranya kau, pelajar jembel tukang mabok! Kau siapakah dan mengapa kau lancang dan mencampuri urusan pribadi orang lain?"
Bayisan membentak menahan kemarahannya karena ia maklum bahwa yang berdiri didepannya bukan orang sembarangan sehingga ia harus bersikap hati-hati dan mengenal keadaan lawan lebih dulu. Bayisan terkenal sebagai seorang pemuda yang selain tinggi ilmunya. Juga amat cerdik dan keji. Di Khitan ia terkenal sebagai seorang panglima muda yang tangguh dan pandai. Kwee Seng tertawa.
"Aku orang biasa saja, tidak seperti engkau ini, Panglima Khitan merangkap penjahat cabul! Aku mendengar tadi namamu Bauw I San? Belum pernah aku mendengar nama itu! Pernah aku mendengar nama Kalisani sebagai tokoh Khitan yang dipuji-puji, akan tetapi nama Bouw I San (Bayisan) tukang petik bunga (penjahat cabul) aku belum pernah!"
"Hemm, manusia sombong! Aku memang bernama Bayisan Panglima Khitan, kau mendengarnya atau belum bukan urusanku. Aku suka gadis itu dan hendak mengambilnya sebagai kekasih, kau mau apa? Apakah kau iri? Kalau kau iri, apakah kau tidak bisa mencari perempuan lain? Tak tahu malu engkau, hendak merebut perempuan yang sudah menjadi tawananku!"
"Heh-heh-heh, Bayisan hidung belang! Jangan samakan aku dengan engkau! Kau suka mengganggu wanita, aku tidak! Kau penjahat cabul, aku justeru membasmi penjahat cabul! Aku Kwee Seng selamanya tidak memaksa perempuan yang tidak cinta kepadaku!"
Kalimat terakhir ini tanpa ia sadari keluar dari mulutnya dan diam-diam Kwee Seng meringis karena ia teringat akan Liu Lu Sian yang tidak cinta kepadanya. Dilain pihak, Bayisan kelihatan terkejut dan marah mendengar disebutnya nama ini.
"Akhh, keparat! Jadi kau ini Kwee Seng, pelajar jembel tak tahu malu itu? Kau telah terlepas dari tangan maut Suhuku Ban-pi Lo-cia, sekarang kau tak mungkin terlepas dari tanganku!"
Setelah berkata demikian, Bayisan menyerang hebat dengan pedangnya. Pedang itu digerakkan keatas akan tetapi dari atas menyambar kebawah dengan bacokan kearah kepala, kemudian disusul gerakan menusuk dada. Hebat serangan ini, karena sekaligus dalam satu gerakan saja telah menjatuhkan dua serangan yaitu membacok kepala dan menusuk dada! Akan tetapi Kwee Seng menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya mencelat kebelakang sejauh dua meter sambil meneguk araknya. Sekaligus dua serangan itu gagal sama sekali!
"Aih... aihhh... jadi kau ini murid Ban-pi Lo-cia? Pantas... pantas.... Gurunya hidung belang, muridnya mata keranjang!"
Akan tetapi dengan gerakan kilat Bayisan sudah menerjang maju dan permainan pedangnya benar-benar hebat. Kiranya Bayisan bukanlah sembarang murid dari Ban-pi Lo-cia, agaknya sudah menerima gemblengan dan mewarisi ilmu silat bagian yang paling tinggi, disamping ilmu silat yang dipelajarinya dari orang-orang pandai didaerah utara dan barat.
Pedang ditangannya berkelebatan berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan angin yang ditimbulkan mengeluarkan bunyi berdesingan mengerikan. Diam-diam kwee seng kagum juga. Sayang sekali, pikirnya. Jarang ada orang muda dengan ilmu kepandaian sehebat ini, maka amatlah sayang kepandaian begini baik jatuh pada diri seorang pemuda yang bermoral rendah. Orang dengan kepandaian seperti ini tentu akan dapat menjunjung tinggi nama besar suku bangsa Khitan yang memang terkenal sejak dulu sebagai suku bagsa yang kuat dan pengelana yang ulet. Menghadapi pedang Bayisan yang tak boleh dipandang ringan ini, terpaksa Kwee Seng mengeluarkan kipasnya dan dengan kipas di tangan kir, barulah ia menghalau semua ancaman bahaya dari pedang itu. Sebaliknya, Bayisan kaget sekali.
Gurunya pernah bercerita bahwa di dunia kang-ouw muncul jago muda bernama Kwee Seng yang berjuluk Kim-o-eng. Akan tetapi gurunya tidak bicara tentang kehebatan pemuda itu, maka sungguh kagetlah ia ketika melihat betapa pemuda itu hanya dengan kipas ditangan mampu menghadapi pedangnya, malah kini semua jalan pedangnya serasa buntu, lubang untuk menyerang tertutup sama sekali! Celaka, pikirnya, andaikata ia dapat menangkan sastrawan muda itu, hal yang amat meragukan, tentu akan makan waktu lama sekali. Pertandingan melawan sastrawan ini tidak penting baginya, lebih penting lagi diri Lai Kui Lan yang ia tinggalkan dalam kamar hotel. Pengaruh totokannya tidak akan tahan lama, apalagi gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah. Kalau ia terus melayani sastrawan ini dan Lai Kui Lan dapat membebaskan diri daripada totokan, tentu akan terlepas dan lari. Kalau sudah lari kembali ke benteng, sukarlah untuk menangkapnya lagi.
Ia akan menderita! rugi dua kali, pertama, kehilangan calon korban yang begitu menggiurkan, kedua, rencananya menarik Jenderal Kam Si Ek sebagai sekutu Khitan akan gagal sama sekali. Berpikir demikian, pemuda Khitan yang cerdik ini lalu mengeluarkan seruan keras dan tinggi hampir merupakan suara lengking memekakkan telinga, kemudian pedangnya bergerak menusuk-nusuk seperti datangnya belasan batang anak panah. Kwee Seng terkejut. Lengking tadi hampir mencapai tingkat yang dapat membahayakan lawan. Kalau pemuda Khitan ini tekun berlatih dan menerima bimbingan orang pandai, tentu akan berhasil memiliki ilmu pekik semacam Saicu-ho-kang (Auman Singa) yang dapat melumpuhkan lawan hanya dengan pengerahan suara saja! Apalagi lengking itu disusul serangan pedang sehebat itu.
Benar-benar pemuda Khitan ini mengagumkan dan berbahaya. Kwee Seng cepat memutar kipasnya dan karena ia kuatir kipasnya akan rusak menghadapi hujan tusukan itu, ia mengalah dan meloncat ke belakang. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Bayisan untuk menggerakan tangan kirinya. Benda-benda hitam menyambar dan Kwee Seng mencium bau yang amat tidak enak ketika ia mengelak dan jarum-jarum hitam itu lewat didepan mukanya. Jarum-jarum beracun yang lebih jahat daripada jarum beracun milik Liu Lu Sian! Untuk menghilangkan bau tidak enak, ia meneguk araknya. Akan tetapi Bayisan meloncat pergi sambil berkata.
"Jembel busuk, Tuanmu tidak ada waktu lagi untuk...
"
Hanya sampai disini kata-kata Bayisan karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tubuhnya lemas! Kiranya secepat kilat Kwee Seng tadi telah menyemburkan dari mulutnya dan menyusulkan sebuah totokan dengan ujung kipasnya. Gerakannya melompat seperti kilat menyambar dengan cepatnya sehingga tidak terduga-duga oleh Bayisan yang lebih dulu sudah tersembur arak pada punggungnya. Robohlah tokoh Khitan itu, terguling telentang. Ia berusaha bangkit namun tak berhasil dan roboh lagi. Di ain saat Kwee Seng sudah berdiri di dekatnya dan menudingkan gagang kipas pada dadanya. Kini suara Kwee Seng keren berpengaruh.
"Bayisan? Kau terhitung apa dengan Kalisani?"
Bayisan orangnya cerdik sekali. Kalau perlu ia sanggup bersikap pengecut untuk menyelamatkan diri. Seketika ia mengerti bahwa nyawanya tergantung pada jawabannya ini. Tanpa ragu-ragu ia berkata,
"Dia Kakak Misanku, tunggu saja kau akan pembalasannya karena kau berani menghinaku!"
Kwee Seng tertawa bergelak dan melangkah mundur.
"Ho-ho-ha-ha! Kau hendak menggunakan nama Kalisani untuk menakut-nakuti aku? Aha, lucu! Justeru karena engkau saudara misannya, justeru karena memandang mukanya, aku mengampuni jiwamu yang kotor, bukan sekali-kali karena aku takut kepadanya. Huh, manusia rendah yang mencemarkan nama besar orang-orang gagah Khitan!"
Kwee Seng meludah, mengenai muka Bayisan, lalu pemuda ini meninggalkan Bayisan, berlari cepat ke dusun.
Ketika ia memasuki kamar lewat jendela, ia melihat Lai Kui Lan masih telentang diatas pembaringan, air matanya bercucuran, akan tetapi kini gadis itu sudah dapat mulai bergerak-gerak lemah. Kwee Seng cepat menggunakan ujung kipasnya menotok jalan darah dan terbebaslah Kui Lan. Gadis ini meloncat bangun, mukanya membayangkan kemarahan besar. Ia bersikap seperti orang hendak bertempur, kedua tangannya yang kecil mengepal, matanya berapi-api memandang ke sana ke mari, mencari-cari.
"Mana dia? Mana jahanam terkutuk itu? Aku hendak mengadu nyawa dengan jahanam itu!"
"Tenanglah, Nona. Bayisan sudah pergi kupancing dia keluar dusun dan dia sekarang terbaring disana, tertotok gagang kipasku. Untung bahaya lewat sudah, Nona, dan kiranya tak baik menimbulkan gaduh di hotel ini sehingga memancing datang banyak orang dan akan timbul pertanyaan-pertanyaan yang amat tak baik bagi nama Nona..."
Tiba-tiba Lai Kui Lan memandang Kwee Seng dan menjatuhkan diri didepan pemuda itu sambil menangis. Kwee Seng kebingungan dan menyentuh pundak gadis itu dengan halus.
"Ah, apa-apaan ini Nona? Mari bangkit dan duduklah, kalau hendak bicara, lakukanlah dengan baik, jangan berlutut seperti ini."
Lai Kui Lan menahan isaknya, lalu bangkit dan duduk diatas kursi. Kwee Seng tetap berdiri dan menenggak araknya yang tidak habis-habis itu.
"Kwee-taihiap, kau telah menolong jiwaku..."
"Ah, kau tidak terancam bahaya maut, bagaimana bisa bilang aku menolong jiwamu?"
"Kwee-taihiap bagaimana bisa bilang begitu? Bahaya yang mengancamku di tangan jahanam itu lebih hebat daripada maut..."
Gadis itu menangis lagi lalu cepat menghapus air matanya dengan saputangan.
"Sampai mati aku Lai Kui Lan tidak dapat melupakan budi Taihiap..."
Tiba-tiba sepasang pipinya menjadi merah dan sinar matanya menatap wajah Kwee Seng penuh rasa terima kasih. Melihat sinar mata itu, Kwee Seng membuang muka dan menenggak araknya lagi.
"Lupakanlah saja, Nona, dan berterima kasih kepada Tuhan bahwa kejahatan selalu pasti akan hancur."
"Ah, dimana dia? Aku harus membunuhnya!"
"Dia tertotok diluar dusun?"
Setelah berkata demikian, gadis itu cepat keluar dan berlari didalam gelap. Kwee Seng menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang Bayisan patut dibunuh, akan tetapi ia merasa tidak enak kepada Kalisani, tokoh Khitan yang dikagumi semua orang dunia kang-ouw. Maka ia tidak menghendaki nona itu membunuh Bayisan, dan diam-diam ia mengikuti Lai Kui Lan dari jauh. Akan tetapi hatinya lega ketika ia melihat bahwa ketika Lai Kui Lan tiba diluar dusun, Bayisan sudah tak tampak lagi bayangannya. Kembali ia merasa kagum. Pemuda Khitan itu benar-benar luar biasa, dapat membebaskan diri dari totokan sedemikian cepatnya.
Ketika dengan hati kecewa Kui Lan kembali ke kamar itu, ia tidak melihat Kwee Seng, hanya melihat sehelai kertas bertulis diatas meja. Ia memungutnya dan membaca tulisan yang rapi dan bagus.
Para pelayan telah melihat nona datang bersama dia, tidak baik bagi nona tinggal lebih lama ditempat ini, lebih baik kembali.
Surat itu tak bertanda tangan, akan tetapi Kui Lan maklum siapa orangnya yang menulisnya. Dengan helaan napas panjang, lalu meloncat keluar lagi dan berlari-lari menuju benteng sutenya. Gadis ini tidak tahu bahwa diam-diam dari jauh Kwee Seng mengikutinya untuk menjaga kalau-kalau gadis ini bertemu lagi dengan Bayisan. Setelah gadis itu memasuki benteng, barulah ia berjalan perlahan kembali ke hotelnya, memasuki kamar lalu tidur dengan nyenyak.
Pada keesokan malamnya, Kwee Seng berjalan perlahan mendaki bukit Liong-kui-san. Baiknya malam hari itu angkasa tidak terhalang mendung sehingga bulan yang masih besar menyinar terang, menerangi jalan setapak yang amat sukar dilalui. Diam-diam pemuda ini kagum akan keadaan gunung yang tak dikenalnya ini, bergidik menyaksikan jurang-jurang yang amat dalam, dan ia merasa menyesal mengapa ia kemarin minta supaya Lu Sian datang ke tempat seperti ini. Kalau ia tahu gunung ini begini berbahaya, tentu ia memilih tempat lain. Akan tetapi karena sudah terlanjur, dan ia maklum pula bahwa Lu Sian cukup pandai untuk untuk dapat mendaki gunung ini, ia melanjutkan pendakiannya. Tepat pada tengah malam ia tiba di puncak bukit.
Puncak ini merupakan tempat datar yang luasnya lima belas meter persegi, ditumbuhi rumput tebal, dan disebelah selatan dan barat merupakan tempat pendakian yang sukar, adapun disebelah utara dan timur tampak jurang ternganga, jurang yang tak dapat dibayangkan betapa dalamya karena yang tampak hanya warna hitam gelap mengerikan. Jauh sebelah bawah, agaknya di jurang sebelah timur, terdengar suara air gemericik, akan tetapi tidak tampak airnya. Ketika tiba di tempat itu, Kwee Seng menengok ke belakang dan menarik napas panjang. Sejak tadi ia tahu bahwa ada orang mengikutinya, dan tahu pula bahwa orang itu bukan lain adalah Lai Kui Lan. Ketika tiba di bagian yang sukar dan banyak batunya tadi, diam-diam ia menyelinap dan mengambil jalan lain turun lagi maka ia melihat bahwa orang yang membayanginya tadi itu adalah Lai Kui Lan.
Ia diam saja dan tidak menegur, lalu melanjutkan perjalanannya, malah menjaga agar ia tidak mengambil jalan terlalu sukar agar nona yang membayanginya itu dapat mengikutinya dengan aman. Ia menduga-duga apa maksud nona itu dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa nona itu tentu ingin pula melihat kelanjutan daripada urusannya dengan Lu Sian. Tiba-tiba ia teringat, Lu Sian seorang yang aneh wataknya. Kalau diketahui bahwa ada orang ketiga hadir, tentu akan marah, bukan tak mungkin timbul keganasannya dan menyerang Kui Lan. Oleh karena inilah maka Kwee Seng tidak jadi naik, cepat ia berlari turun lagi menyongsong Kui Lan. Dapat dibayangkan betapa kaget hati Kui Lan ketika melihat Kwee Seng secara tiba-tiba berdiri didepannya, tak jauh dari puncak. Mereka berdiri berhadapan saling pandang, dan Kui Lan menjadi makin gugup.
"Eh... ah... Kwee-taihiap....aku... aku ingin bercerita kepadamu tentang... tentang mengapa aku sampai datang bersama... jahanam itu. Karena aku tidak bisa menjumpai Taihiap disana, aku... aku lalu datang kesini karena aku tahu bahwa malam ini Taihiap tentu akan datang disini."
Kata-kata ini diucapkan tergesa-gesa dan tergagap sehingga Kwee Seng merasa kasihan, tidak mau menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mendesak.
"Kau aneh sekali, Nona Lai. Mengapakah kau hendak menceritakan hal itu? Akan tetapi biarlah, karena kulihat bahwa orang yang hendak kujumpai disini belum datang di puncak, baiklah kau bercerita. Nah, sekarang aku bertanya, bagaimana kau bisa bertemu dan tertawan oleh Bayisan? Duduklah biar enak kita bicara."
Lai Kui Lan bernapas lega, lalu ia duduk diatas sebuah batu, berhadapan dengan Kwee Seng yang duduk diatas tanah.
"Kemarin, setelah Taihiap meninggalkan aku di hutan itu."
Ia mulai bicara, suaranya menggetar.
"aku tak dapat menahan hatiku yang merasa kasihan dan kagum kepada Taihiap. Aku kecewa karena Taihiap tidak sudi menerima undanganku, kami sesungguhnya membutuhkan petunjuk-petunjuk orang sakti seperti Taihiap. Aku tidak putus asa dan berusaha mengejar Tahiap yang menunggang kuda."
Ia berhenti sebentar untuk melihat dan menunggu reaksi dari Kwee Seng, akan tetapi pemuda ini diam saja maka ia melanjutkan ceritanya.
"Setelah keluar dari hutan itu, tiba-tiba muncul Bayisan. Dia menyatakan kehendaknya, yaitu bermaksud untuk membujuk sute untuk bersekutu dengan orang-orang Khitan. Tentu saja aku menjadi marah dan memaki lalu kami bertempur dengan kesudahan aku kalah dan tertawan. Dia lihai bukan main,orang Khitan keparat itu. Demikianlah, dalam keadaan tak berdaya aku dibawa ke rumah penginapan itu. Untung Tuhan melindungi diriku sehingga dapat bertemu dengan Taihiap. Kwee-taihiap, kuulangi lagi permohonanku, sudilah kiranya Taihiap berkunjung ke benteng, berkenalan dengan Suteku dan kami mohon petunjuk-petunjuk dari Tahiap dalam suasana yang kacau balau ini. Kami seakan-akan hampir kehilangan pegangan, Taihiap, demikian banyaknya muncul raja-raja yang membangun kerajaan-kerajaan kecil sehingga sukar bagi kami untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk."
Didalam hatinya Kwee Seng memuji. Nona ini, seperti juga Kam Si Ek, adalah seorang yang amat cinta kepada negara, orang-orang berjiwa patriot yang akan rela mengorbankan jiwa raga demi negara dan bangsa. Tak enaklah kalau menolak terus.
"Baiklah, Nona Lai. Setelah selesai urusanku disini, aku akan singgah di benteng Jenderal Kam."
"Terimakasih, Taihiap, terimakasih...!"
Dengan suara penuh kegembiraan Kui Lan menjura, berkali-kali.
"Ssttt, ada orang di puncak. Nona Lai, karena kau sudah terlanjur berada disini, aku pesan, kau bersembunyilah dan jangan sekali-kali kau keluar, jangan sekali-kali memperlihatkan diri, apapun juga yang terjadi. Maukah kau memenuhi permintaanku ini?"
Lai Kui Lan dapat mengerti isi hati Kwee Seng, dengan muka sedih ia mengangguk. Akan tetapi karena muka itu tertutup bayangan, Kwee Seng tidak melihat kesedihan ini, Kwee Seng lalu bangkit dan meninggalkan Kui Lan, mendaki puncak. Benar saja dugaannya, ketika ia tiba di puncak, di sana telah berdiri Liu Lu Sian. Bukan main jelitanya gadis ini. Dibawah sinar bulan yang tak terhalang sesuatu, gadis ini seperti seorang dewi dari khayangan. Sinar bulan membungkus dirinya, rambutnya mengeluarkan cahaya, matanya seperti bintang.
"Kiranya kau tidak lupa akan janjimu. Kwee Seng, aku sudah berada disini, siap menerima ilmu seperti yang kau janjikan dahulu."
Kata Liu Lu Sian, akan tetapi suaranya amat tidak menyenangkan hati, karena terdengar dingin, alangkah jauh bedanya dengan pribadinya yang seakan-akan menciptakan kehangatan dan kemesraan. Ia tahu bahwa gadis itu selain tidak membalas cinta kasihnya, juga mendendam kepadanya. Karena itu, ia pun tidak mau menggunakan sebutan moi-moi (adinda), karena kuatir kalau-kalau hal itu akan menambah kemarahan Si Gadis dan akan menimbulkan cemoohan terhadap dirinya yang sudah terang tergila-gila kepada Lu Sian.
"Lu Sian, sebetulnya ilmu yang kupergunakan untuk menandingimu dahulu itu hanyalah Ilmu Silat Pat-sian-kun biasa saja."
"Tak perlu banyak alasan, Kwee Seng. Kalau ada ilmu yang hendak kau turunkan kepadaku seperti janjimu, lekas beri ajaran!"
Kwee Seng menggigit bibirnya, lalau berkata,
"Kau lihatlah baik-baik. Inilah ilmu silat itu."
Ia lalu bersilat dengan gerakan lambat dan memang ia mainkan Ilmu Silat Pat-sian-kun-hwat dengan tangan kosong, akan tetapi jelas bahwa gerakan-gerakan ini diperuntukkan senjata pedang. Sebetulnya ilmu silat ini ada enam puluh jurus banyaknya. Akan tetapi ketika Kwee Seng menerima petunjuk dari Bukek Siansu Si Manusia Dewa, ia hanya meringkasnya menjadi seperempatnya saja, jadi hanya enam belas jurus inti yang sudah meliputi seluruhnya dan mencakup semua gerak kembang atau gerak pancingan, gerak serangan atau gerak pertahanan. Setelah mainkan enam belas jurus itu, Kwee Seng berhenti dan memandang kepada Lu Sian sambil berkata.
"Nah, inilah ilmu silatku yang hendak kuajarkan kepadamu, Lu Sian, Sudahkah kau memperhatikan gerakannya? Harap kau coba latih, mana yang kurang jelas akan kuberi penjelasan."
"Ah, kau membohongi aku!"
Lu Sian berseru marah.
"Ilmu silat macam itu saja, dilihat dari gerakannya jauh kalah lihai daripada Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Ayah! Mana bisa kau kalahkan aku dengan ilmu itu? Kwee Seng, aku tahu, setelah kau tidak bisa mendapatkan cintaku, kau hendak membalasnya dengan menyuguhkan ilmu silat pasaran untuk menghinaku!"
Gemas hati Kwee Seng, dan perih perasaannya. Gadis ini terlalu kejam kepada orang yang tidak menjadi pilihan hatinya.
"Lu Sian, sipa membohongimu? Ketika aku menghadapimu dahulu, aku tidak menggunakan ilmu lain kecuali ini!"
"Aku tidak percaya! Coba kau sekarang jatuhkan aku dengan ilmu itu!"
"Baiklah. Biar kugunakan ini sebagai pedang."
Kwee Seng mengambil sebuah ranting pohon yang berada di tempat itu.
"Kau mulailah dan lihat baik-baik, aku hanya akan menggunakan Pat-sian-kun!"
Lu Sian mencabut pedangnya, lalu menerjang dengan gerakan kilat, mainkan jurus berbahaya dari ilmu pedang ciptaan ayahnya, yaitu Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Iblis) yang memang diciptakan untuk menghadapi Pat-sian-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa). Melihat pedang nona itu berkelebat menusuk kearah dadanya dengan kecepatan luar biasa, Kwee Seng menggeser kakinya kekiri lalu ranting di tangan kanannya melayang dari samping menempel pedang dari atas dan menekan pedang lawan itu kebawah disertai tenaga sin-kang. Pedang Lu Sian tertekan dan tertempel seakan-akan berakar pada ranting itu! Betapapun Lu Sian berusaha melepaskan pedang, sia-sia belaka.
"Nah, tangkisan ini dari jurus keempat yaitu pat-sian-khat-bun (Delapan Dewa Buka Pintu) dan dapat dilanjutkan dengan serangan jurus kedelapan Pat-sian-hian-hwa (Delapan Dewa Serahkan Bunga), pedang menyambar sesuka hati, boleh memilih sasaran, akan tetapi untuk contoh aku hanya menyerang bahu."
Tiba-tiba ranting yang tadinya menekan pedang itu lenyap tenaga tekannya dan selagi pedang Lu Sian yang telepas dari tekanan ini meluncur keatas, ranting cepat melesat dan menyabet bahu kanan Lu Sian! Lu Sian meringis, tidak sakit, akan tetapi amat penasaran.
"Coba hadapi ini!"
Teriaknya dan pedangnya membuat lingkaran-lingkaran lebar, dari dalam lingkaran itu ujung pedang menyambar-nyambar laksana burung garuda mencari mangsa, mengancam tubuh bagian atas dari lawan.
"Seranganmu ini kuhadapi dengan jurus kelima yang disebut Pat-sian-hut-si (Delapan Dewa Kebut Kipas) untuk melindungi diri."
Kata Kwee Seng dan tiba-tiba ranting ditangannya berputar cepat merupakan segunduk sinar bulat melindungi tubuh atasnya dan dilanjutkan dengan serangan jurus ke empat belas yang disebut Delapan Dewa Menari Payung!"
Tiba-tiba gulungan sinar bulat itu berubah lebar seperti payung dan tahu-tahu dari sebelah bawah, ranting telah meluncur dan menyabet paha Lu Sian sehingga mengeluarkan suara
"plak!"
Keras. Kalu saja ranting itu merupakan pedang tentu putus paha gadis itu!
"Aduh ...!"
Lu Sian menjerit karena pahanya yang disabet terasa pedas dan sakit.
"Kwee Seng, kau kurang ajar...!"
"Maaf, bukan maksudku menyakitimu. Sudah percayakah kau sekarang?"
"Tidak! Kau akali aku! Aku minta kau ajarkan ilmu-ilmu silatmu yang terkenal, seperti Lo-hai-san-hoat (Ilmu Kipas Menaklukan Lautan), atau Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang), atau Ilmu Pukulan Bian-sin-kun (Tangan Sakti Kapas)!"
Kwee seng terkejut. Bagaimana nona ini bisa tahu akan ilmu-ilmu silat rahasia simpanannya itu? Ia menjadi curiga. Kalau Pat-jiu Sin-ong mungkin tahu, akan tetapi nona ini? Suaranya keren berwibawa ketika ia menjawab.
"Liu Lu Sian, harap kau jangan minta yang bukan-bukan. Aku hanya hendak mengajarkan kau Pat-sian-kun, dan kau harus menerima apa yang hendak kuberikan kepadamu."
"Kau hendak melanggar janji?"
"Sama sekali tidak. Aku berjanji kepada ayahmu hendak mengajarkan ilmu yang dapat mengalahkan ilmu pedangmu itu, dan kurasa Pat-sian-kun yang dapat menjadi Pat-sian Kiam-hoat dapat mengalahkan ilmu pedangmu Pat-mo Kiam-hoat!"
"Hoa-ha-ha-ha! Kau menggunakan akal untuk menipu anak kecil, Kwee-hiante. Sungguh keterlaluan sekali!"
Kwee Seng kaget dan cepat menengok. Kiranya Pat-jiu Sin-ong sudah berdiri disitu, tinggi besar dan bertolak pinggang sambil tertawa. Cepat Kwee Seng memberi hormat sambil berkata,
"Ah, kiranya Beng-kauwcu telah berada disini!"
Akan tetapi didalam hatinya ia tidak senang dan tahulah ia sekarang mengapa Lu Sian mengenal semua ilmu simpanannya, tentu sebelumnya telah diberi tahu oleh orang tua ini yang hendak mempergunakan puterinya untuk menjajaki kepandaiannya dan kalau mungkin mempelajari ilmu simpanannya.
"Beng-kauwcu, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku menggunakan akal untuk menipu puterimu?"
"Ha-ha-ha! Kau bilang tadi bahwa Pat-sian-kun dapat menangkan Pat-mo Kiam-hoat! Tentu saja kau dapat menangkan Lu Sian karena memang tingkat kepandaianmu agak lebih tinggi daripada tingkatnya."
Dengan ucapan "agak lebih tinggi"
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ini terang orang tua itu memandang rendah kepada Kwee Seng, akan tetapi pemuda itu mendengarkan dengan tenang dan sabar.
"Andaikata aku yang mainkan Pat-mo Kiam-hoat, apakah kau juga masih berani bilang dapat mengalahkannya dengan Pat-sian-kun?"
"Orang tua yang baik, mana aku yang muda berani main-main denganmu? Kita sama-sama tahu bahwa ilmu silat sama sekali bukan merupakan syarat mutlak untuk menangkan pertandingan, melainkan tergantung daripada kemahiran seseorang. Betapa indah dan sulitnya sebuah ilmu kalau si pemainnya kurang menguasai ilmu itu, dapat kalah oleh seorang ahli mainkan sebuah ilmu biasa saja dengan mahir. Puterimu dahulu kuhadapi dengan Pat-sian-kun, hal ini kau sendiri tahu. Aku berjanji hendak menurunkan ilmu yang kupakai mengalahkan dia, malam ini kuturunkan kepadanya Pat-sian-kun, apalagi yang harus diperbincangkan?"
"Orang muda she Kwee! Dua kali kau menghina kami keluarga Liu!"
Si Ketua Beng-kauw membentak, suaranya mengguntur sehingga bergema diseluruh punucak, membikin kaget burung-burung yang tadinya mengaso dipohon. Dari jauh terdengar auman binatang-binatang buas yang merasa kaget pula mendengar suara aneh ini.
"Pa-jiu Sin-ong, aku tidak mengerti maksudmu."
Jawab Kwee Seng, tetap tenang.
"Dengan setulus hati aku menjatuhkan pilihanku kepadamu, aku akan girang sekali kalau kau menjadi suami anakku. Akan tetapi kau pura-pura menolak ketika berada disana. Ini penghinaan pertama. Kemudian kau mengadakan perjalanan dengan puteriku, kuberi kebebasan karena memang aku senang mempunyai mantu engkau. Dalam perjalanan ini kau jatuh cinta kepada Lu Sian, sikapmu menjemukan seperti seorang pemuda lemah. Ini masih kumaafkan karena memang kukehendaki kau mencintainya dan menjadi suaminya. Akan tetapi Lu Sian melihat kelemahanmu dan tidak mau membalas cintamu, melainkan mengharapkan ilmumu. Dan sekarang, kau yang katanya mencintainya mati-matian, ternyata hanya hendak menipunya, karena kalau betul mencinta, mengapa tidak rela mewariskan ilmu simpananmu? Inilah penghinaan kedua!"
Panas hati Kwee Seng. Terang sudah sekarang bahwa orang tua ini secara diam-diam mengawasi gerak-geriknya. Ia menjadi malu sekali mengingat akan kebodohan dan kelemahannya. Akan tetapi orang tua ini terang berlaku curang dan tak tahu malu.
"Pat-jiu Sin-ong! Sama kepala lain otak, sama dada lain hati! kau menganggap aku menipu, aku menganggap kau dan puterimu yang hendak mendesakku dan bahkan kau hendak menggunakan rasa hatiku yang murni terhadap puterimu untuk memuaskan nafsu tamakmu akan ilmu silat. Tidak, beng-kauwcu aku tetap dengan pendirianku, karena Pat-sian-kun yang mengalahkan Pat-mo-kun yang dipergunakan puterimu, maka sekarang aku hanya dapat menurunkan Pat-sian-kun saja."
"Singgg!!!"
Tiada menduga, kilat menyambar. Kiranya kilat itu keluar dari pedang di tangan Pat-jiu Sing-ong yang telah dihunusnya secara cepat sekali sehingga seperti main sulap saja, tahu-tahu ditangannya sudah ada sebatang pedang yang kemilau. Inilah Beng-kong-kiam (Pedang Sinar Terang) yang sudah puluhan tahun menemani tokoh ini merantau sampai jauh kebarat, pedang yang minum entah berapa banyaknya darah manusia.
"Kalau begitu, kau cobalah hadapi Pat-mo-kiam dengan begitu Pat-sian-kiam!"
Teriaknya. Terkejutlah Kwee Seng. Menghadapi seorang tokoh seperti Pat-jiu Sin-ong, bukanlah hal main-main, karena berarti merupakan pertempuran selama dua hari dua malam melawan Ban-pi Lo-cia berkesudahan seri, tiada yang kalah atau menang. Ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya kepandaian kakek ini, dan sekarang kakek ini mengajak ia bertanding pedang! Dia tidak mempunyai pedang, biasanya ia menggunakan suling sebagai pengganti pedang. Akan tetapi sulingnya tidak ada lagi! Namun Kwee Seng adalah seorang pemuda gemblengan yang telah memiliki batin yang kuat sekali. Kalau baru-baru ini batinnya tergoncang dan lemah oleh asmara, hal ini tidaklah aneh karena ia masih muda, tentu saja menghadapi Dewi Asmara ia tidak akan kuat bertahan! Dengan sikap tenang Kwee Seng mengambil ranting yang tadi ia lepaskan di atas tanah lalu menghadapi kakek itu sambil berkata.
"Pat-jiu Sin-ong, aku tidak mempunyai senjata lainnya selain ini. Kalau kau bertekad hendak memaksaku, silakan."
"Ha-ha-ha-ha, Kwee Seng. Coba kau keluarkan Pat-sian-kun yang kau agung-agungkan itu menghadapi Pat-mo-kun! Lu Sian, mundur kau jauh-jauh dan jangan sekali-kali campur tangan!"
Lu Sian meloncat mundur, menonton dari pinggir jurang. Pat-jiu Sin-ong memutar-mutar pedangnya diatas kepala sambil tertawa bergelak. Hebat sekali kakek ini. Pedangnya yang diputar diatas kepala itu berdesingan mengaung-ngaung seperti suara sirene dan lenyaplah bentuk pedang, berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang melebihi sinar bulan terangnya.
"Kwee Seng, inilah jurus ketiga dari Pat-mo-kun, sambutlah!"
Teriak pat-jiu-Sin-ong, disusul dengan men yambarnya sinar terang kearah Kwee Eng. Karena Pat-mo Kiam-hoat ini sengaja dicipta untuk menghadapi Pat-sian Kiam-hoat, maka tentu saja gerakannya ada persamaan dan Kwee Seng mengenal baik gaya serangan ini, akan tetapi ia maklum bahwa jurus ini kalau dimainkan oleh pat-jiu Sin-ong amatlah jauh bedanya dengan permainan Lu Sian.
Jurus apa saja kalau diperagakan oleh tangan kakek Ketua Beng-kauw ini merupakan jurus maut yang amat hebat dan berbahaya. Sekali pandang ia tahu bahwa jurus lawannya ini harus ia hadapi dengan Pat-sian-kun, jurus kesebelas. Setiap jurus Pat-sian-kun yang sudah ia ringkas itu dapat menghadapi empat macam jurus lawan. Sambil mengerahkan tenaganya ia menggerakkan ranting ditangan kanannya, memutar-mutar ranting itu seperti gerakan seekor ular berenang. Dengan tepat rantingnya berhasil menangkis pedang.
"Krakkkk!"
Ranting itu patah menjadi dua. Pat-jiu Sin-ong menarik pedangnya sambil tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kau sungguh tak memandang mata kepadaku, Kim-mo-eng! Apa kau kira dapat mempermainkan aku hanya dengan sepotong ranting saja seperti yang kau lakukan kepada Lu Sian?"
"Kau tahu bahwa aku tidak memiliki senjata pedang, Pat-jiu Sin-ong."
Jawab Kwee Seng dengan sikap tenang, akan tetapi diam-diam ia senang juga karena ternyata Ketua Beng-kauw ini biarpun wataknya aneh dan kadang-kadang kejam ganas, namun masih memiliki kegagahan seorang tokoh besar sehingga tadi menarik kembali pedangnya karena senjata lawan yang tak berimbang kekuatannya itu patah.
"Lu Sian, kau pinjamkan pedangmu kepadanya, biar dia mencoba membuktikan omongannya bahwa Pat-sian-kun dapat mengalahkan Pat-mo-kun kita."
Lu Sian mengeluarkan suara ketawa mengejek mencabut pedangnya dan melontarkannya ke arah Kwee Seng. Jangan dipandang ringan lontaran ini, karena pedang itu bagaikan anak panah terlepas dari busurnya terbang ke arah Kwee Seng.Ahli silat biasa saja tentu akan "termakan"
Oleh pedang terbang ini. Akan tetapi dengan tenang Kwee Seng mengulur tangan dan tahu-tahu ia telah menangkap pedang itu dari samping tepat pada gagangnya.
"Ha-ha-ha, sekarang kau sudah bersenjata pedang. Kalau kalah jangan mencari alasan lain. Awas, sambut ini jurus ketujuh Pat-mo-kun!"
Kata Pat-jiu Sin-ong sambil menggerakkan pedangnya membabat kearah iga kiri Kwee Seng dilanjutkan dengan putaran pedang membalik keatas menusuk mata kanan. Diam-diam Kwee Seng mendongkol. Terang bahwa Ketua Beng-kauw ini sengaja mengejek dan memandang rendah kepadanya sehingga setiap menyerang menyebut urutan nomor jurus Pat-mo-kun.
Kalau ia tidak memperhatikan kelihaiannya, kakek yang sombong ini akan menjadi semakin sombong, pikirnya. Maka ia cepat memutar pedang pinjamannya itu, pedang yang amat ringan dan enak dipakai. Tahu bahwa pedang Toa-hong-kiam ini merupakan pedang pusaka yang ampuh juga, hatinya besar dan cepat ia mainkan Pat-sian Kiam-sut dengan pengerahan tenaga sin-kangnya. Dua kali serangan lawan dapat ia tangkis dengan meminjam tenaga lawan kemudian pedangnya terpental seperti terlepas dari tangannya, padahal sebetulnya terpentalnya pedang itu terkendali sepenuhnya oleh tenaga sin-kangnya, maka dapat ia atur sehingga pedang itu terpental dengan ujungnya mengarah tenggorokan lawan yang sama sekali tidak menyangkanya.
Pat-jiu Sin-ong diam-diam kaget juga,karena ia tidak mengira bahwa serangan pertamanya itu seakan-akan malah dijadikan batu loncatan oleh Kwee Seng sehingga bukan merupakan serangan lagi melainkan merupakan tenaga bantuan bagi lawan untuk balas menyerang dengan tenaga sedikit namun dapat mematikan! Ketika Pat-jiu Sin-ong menarik kembali pedangnya dan menangkis sambil menggetarkan pedangnya untuk membuka kesempatan serangan balasan, kembali pedang Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung membabat leher! Kaget sekali hati Pat-jiu Sin-ong. Bukan kaget menghadapi serangan ini baginya mudah saja menghindari diri daripada babatan. Akan tetapi yang mengejutkan hatinya adalah menyaksikan perubahan jurus-jurus Ilmu Silat Pat-sian-kun ini.
Ia mengenal bahwa semua gerakan Kwee Seng adalah benar-benar Pat-sian-kun dimainkan seperti ini sehingga menjadi ilmu silat yang lihai sekali dan benar-benar ia melihat bahwa kalau ia melanjutkan serangan-serangan dengan Pat-mo-kun, ia selalu akan terserang oleh Kwee Seng karena setiap kali ia menangkis dengan jurus Pat-mo-kun, pedang di tangan Kwee Seng yang tertangkis itu terpental dan langsung menjadi jurus lain yang melanjutkan serangan! Pat-jiu Sin-ong mengeluarkan seruan keras, lengking suaranya hebat sekali, seakan-akan menggetarkan bumi yang berada dibawah kaki, gemanya sampai panjang susul-menyusul di kanan kiri puncak. Kwee Seng cepat mengerahkan sin-kangnya karena jantungnya berguncang mendengar lengking tinggi ini. Diam-diam ia makin kagum. Kakek ini bukan main hebatnya, dan lengking tadi tak salah lagi tentulah Ilmu Coan-im-I-hun-to (Ilmu Kirim Suara Pengaruhi Semangat Lawan) yang terkenal sekali dari Ketua Beng-kauw.
Kalau saja sin-kangnya tidak sudah amat kuat, tentu ia akan menjadi setengah lumpuh mendengar seruan ini, bahkan ia percaya mereka yang tidak memiliki ilmu tinggi, mendengar lengking ini bisa jantungnya dan tewas seketika! Ia dapat melindungi jantung dan perasaannya daripada pengaruh lengking tadi, sedangkan permainan pedangnya tetap tenang dan selalu menggunakan kesempatan melanjutkan serangan-serangan yang terus ia dasarkan pada Ilmu Silat Pat-sian-kun. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang satria perkasa, sekali berjanji hendak menggunakan Pat-sian-kun, ia akan terus menggunakan ini, biar andaikata ia terancam bahaya maut sekalipun! Setelah gema suara lengking itu mereda, Kwee Seng sambil menusukkan pedangnya kearah pusar lawan dengan jurus Pat-sian-lauw-goat (Delapan Dewa Mencari Bulan) berkata,
"Orang tua, apakah begitu perlu Pat-mo-kun harus kau bantu dengan Coan-im-kang (Tenaga Mengirim Suara) untuk mengalahkan pat-sian-kun?"
Merah wajah Pat-jiu Sin-ong. Ia mengerahkan tenaga menangkis tusukan kearah pusar sambil menjawab.
"Pat-mo Kiam-sut belum kalah, jangan kau banyak tingkah dan menjadi sombong!"
Akan tetapi ketika pedang Kwee Seng tertangkis pedang itu kembali sudah terpental dan membentuk jurus Pat-sian-ci-lou (Delapan Dewa Menunjuk Jalan) yang menusuk kearah leher. Gerakan Kwee Seng begitu cepat dan susulan serangannya secara otomatis sehingga lawannya tiada kesempatan untuk membalas. Karena jelas bahwa Pat-mo-kun selalu "tertindih"
Oleh Pat-sian-kun, makin lama makin panaslah hati Pat-jiu Sin-ong, yang membuat dadanya serasa akan meledak!
Ia menggereng dan kini Pat-mo Kiam-sut ia mainkan cepat sekali dalam usahanya untuk mendobrak dan membobol garis kurungan Pat-sian-kun. Pedangnya bergulung-gulung merupakan sinar terang, berubah-ubah bentuknya, kadang-kadang merupakan sinar bergulung-gulung membentuk lingkaran-lingkaran. Hebat sekali memang Pat-mo Kiam-sut yang diciptakan oleh kakek sakti itu. Namun Kwee Seng sudah mengetahui rahasia Pat-mo-kun, karena sesungguhnya Pat-mo-kun diciptakan dengan dasar Pat-sian-kun dan Kwee Seng adalah seorang ahli Pat-sian-kun. Maka pemuda sakti ini dapat menggerakkan pedangnya yang selalu mengatasi gerakan lawan, selalu mengurung dan selalu menindih, sebagian besar dia yang menyerang. Lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh gulungan sinar pedangnya lebih luas dan lebih lebar, seakan-akan "menggulung"
Lingkaran sinar Pat-jiu Sin-ong!
Dua jam lebih mereka bertanding dan selama ini Pat-jiu Sin-ong selalu mainkan Pat-mo-kun sedangkan dilain pihak Kwee Seng mainkan Pat-sian-kun. Biarpun Kwee Seng juga tidak pernah dapat menyentuh lawan dengan pedangnya, namun dalam pertandingan selama dua jam ini, jelas bahwa Pat-sian-kun lebih unggul karena delapan puluh prosen Kwee Seng menyerang sedangkan lawannya selalu harus mempertahankan diri dengan sekali waktu membalas serangan yang tiada artinya. Makin lama pat-jiu Sin-ong makin marah. Bukan marah kepada Kwee Seng melainkan panas perutnya karena benar-benar Pat-mo Kiam-sut tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun. Memang watak ketua Beng-kauw ini aneh sekali, tidak mau ia dikalahkan. Ia sebenarnya amat suka kepada Kwee Seng, bahkan ia akan merasa gembira sekali kalau puteri tunggalnya dapat menjadi isteri Kwee Seng ini yang ia kagumi. Akan tetapi kalau ia harus kalah, nanti dulu! Watak ini pula agaknya yang menurun kepada Lu Sian.
"Kwee Seng! Kalau Pat-mo-kun tidak dapat mengatasi Pat-sian-kun, itupun belum cukup menjadi alasan untukmu menurunkannya kepada anakku! Apa artinya Pat-sian-kun yang biarpun sedikit lebih unggul dan dapat mengalahkan ilmuku yang lain, bukan hanya Lu Sian, aku sendiri akan membuang semua ilmu silatku dan hanya mempelajari satu macam ilmu saja, yaitu Pat-sian-kun!"
Setelah berkata demikian, kakek itu kini memutar pedangnya sedemikian hebatnya sehingga gulungan sinarnya bergelombang datang hendak menelan Kwee Seng! Di samping gelombang gulungan sinar pedang itu, masih terdengar angin menderu menyambar ketika tangan kiri kakek itu ikut menerjang dengan dorongan-dorongan jarak jauh yang mengandung angin pukulan kuat sekali!
"Hei...hei...! Orang tua, apakah kepalamu kebakaran? Hati boleh panas kepala harus tetap dingin!"
Kwee Seng sibuk sekali memutar pedangnya untuk melindungi diri sambil mengucapkan kata-kata memperingatan.
"Ha-ha-ha, orang muda, kau mulai takut?"
Kata-kata takut adalah pantangan bagi semua orang gagah, tak terkecuali Kwee Seng. Mendengar ia disangka takut, hatinya panas sekali.
"Siapa takut?"
Bentaknya dan pandangnya berkelebat-kelebat dalam usaha membalas serangan. Namun, Pak-sian Kiam-sut kurang lengkap kalau harus melayani gelombang serangan ilmu pedang itu apalagi masih dibantu dengan sambaran angin pukulan tangan kiri yang demikian ampuhnya. Kwee Seng masih terus mempertahankan dengan permainan Pat-sian Kiam-hoat, dan biarpun ia mampu membendung gelombang serangan, namun ia terdesak dan harus mundur-mundur kearah jurang hitam!
"Ha-ha-ha, Kim-mo-eng! Begini sajakah kepandaianmu? Apakah kau hanya mengandalkan Pat-sian-kun untuk menjagoi dan mengangkat nama sebagai seorang pendekar sakti? Ha-ha-ha, sungguh lucu!"
Pat-jiu Sin-ong tertawa bergelak.
Kwee Seng biarpun sudah menerima gemblengan semenjak kecil, namun ia tetap masih seorang pemuda yang kalau dibandingkan dengan pat-jiu Sin-ong, tentu saja kalah pengalaman dan kalah cerdik. Ia tidak mengira sama sekali bahwa kakek itu memang sengaja menyerangnya dengan ilmu silat pilihan untuk mendesaknya dan sengaja pula memanaskan hatinya agar ia suka menggunakan ilmu simpanannya. Kakek yang haus akan ilmu silat itu menggunakan semua ini untuk memancing keluar ilmu-ilmu simpanannya! Kwee Seng tidak menduga akan hal ini, maka mendengar ejekan itu ia lalu berseru keras dan tiba-tiba angin yang mengeluarkan suara bersiutan menyambar dari tangan kirinya yang sudah mengeluarkan kipasnya! Kini ia merasa dirinya lengkap! Tangan kanan memegang pedang mainkan Pat-sia Kiam-hoat sedangkan tangan kiri memegang kipas mainkan Ilmu Kipas Lo-hai-san-hoat! Bukan main hebatnya.
Namun pasangan ilmu pedang dan ilmu kipas yang selama ini mengangkat namanya sehingga ia dijuluki Kim-mo-eng, hanya dapat membendung gelombang penyerangan Pat-jiu Sin-ong saja, tanpa dapat banyak membalas. Karena ia tidak ingin terdesak terus kepinggir jurang yang hanya tinggal tiga meter dibelakangnya, terpaksa Kwee Seng merobah gerakan pedangnya dan kini pedangnya mulai main Ilmu pedang Cap-jit-seng-kiam yang jarang ia keluarkan karena ilmu pedang ini merupakan ilmu pedang rahasia yang menjadi inti sari daripada ilmu pedang simpanannya. Melihat pemuda itu mengeluarkan ilmu pedang simpanannya, diam-diam hati Pat-jiu Sin-ong menjadi girang sekali. Ia tahu bahwa mengalahkan pemuda ini bukan merupakan hal mudah dan memang maksudnya untuk dapat mengalahkannya cepat-cepat sebelum menguras dan mempelajari ilmu-ilmu pemuda ini yang benar-benar merupakan ilmu pilihan.
Hebat pertandingan itu dan diam-diam Kwee Seng harus mengakui bahwa selama hidupnya, baru kali ini ia menemui tanding yang luar biasa kuatnya. Bahkan harus ia akui bahwa kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, ketua Beng-kauw ini lebih kuat sedikit. Biarpun ia telah mengerahkan kepandaian dan tenaganya, tetap saja ia tidak mampu mendesak ke tengah. Apalagi ketika tiba-tiba ia teringat akan watak gila kakek ini yang ingin mengumpulkan semua ilmu hebat di dunia sehingga Kwee Seng yang sadar bahwa ia sedang dipancing, cepat-cepat mengacaukan gerakan Cap-jit-seng-kiam itu dengan ilmu silat lainnya. Melihat perubahan ini, hati Pat-jiu Sin-ong yang tadinya kegirangan menjadi kecewa dan timbullah kemarahannya sehingga ia memperhebat permainannya untuk mendesak dan menekan Kwee Seng agar pemuda itu terpaksa mengandalkan Cap-jit-seng-kiam lagi.
Sekarang waktu sudah berjalan tiga jam lebih dan subuh mulai membayang. Pada saat Kwee Seng terdesak hebat, tiba-tiba pemuda ini berseru keras dan terhuyung-huyung kebelakang. Tadi ketika ia sedang sibuk mempertahankan diri menghadapi gelombang serangan, tiba-tiba telinganya menangkap bunyi mendesir dari arah kiri. Ia terkejut sekali, maklum bahwa ada senjata rahasia yang amat halus menghujaninya, cepat ia mengebutkan kipasnya dan berhasil menyampok banyak sekali jarum-jarum halus, akan tetapi sebatang jarum masih berhasil memasuki pundaknya, mendatangkan rasa sakit sekali. Pundaknya seketika menjadi kaku dan setengah lumpuh, juga rasa gatal membuktikan bahwa jarum itu mengandung racun jahat. Kwee Seng terhuyung kebelakang dan terpaksa melepaskan pedang ditangan kanannya yang sudah menjadi lumpuh dan pada saat itu, kembali ia dihujani jarum yang lebih banyak lagi.
Dalam keadaan terhuyung ini, Kwee Seng yang maklum bahwa jarum-jarum itu amat berbahaya, menyampok dengan kipasnya sambil melompat mundur, akan tetapi ia lupa bahwa ketika ia terhuyung-huyung kebelakang tadi ia telah mendekati jurang sehingga jarak satu meter. Maka ketika ia melompat kebelakang sambil menyampok kipasnya, memang ia dapat membebaskan diri daripada penyerangan jarum-jarum rahasia, namun tak dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus kedalam jurang dan melayang-layang ke bawah tanpa dapat ditahannya! Terdengar jerit mengerikan dari belakang semak-semak dan muncullah Lai Kui Lan yang lari ke tepi jurang sambil menangis.
"Pengecut keparat!"
Bentak Pat-jiu Sin-ong sambil lari dan menghantamkan pedangnya kearah bayangan hitam yang tadi menyerangkan jarum-jarum rahasianya kearah Kwee Seng.
"Locianpwe, saya membantumu..."
Bayangan itu yang bukan lain adalah Bayisan si Orang Khitan, mengelak sambil memprotes. Akan tetapi pat-jiu Sin-ong Liu Gan tidak mempedulikan protes ini.
"Siapa butuh bantuanmu? Kau pengecut curang patut mampus!"
Pedangnya menyambar lagi akan tetapi alangkah herannya ketika bayangan hitam itu kembali dapat mengelak. Dua kali serangannya dapat dielakkan! Ini tandanya bahwa orang muda ini bukanlah orang sembarangan.
"Siapa kau?"
Bentaknya, menahan serangannya karena gerakan pemuda itu menarik perhatiannya, membuatnya ingin tahu siapa gerangan pemuda yang dapat mengelak sampai dua kali ini.
"Saya bernama Bayisan dari Khitan musuh besar Kwee Seng..."
"Keparat orang Khitan! Kau telah bersikap pengecut!"
Kembali pat-jiu Sin-ong menyerang, kali ini lebih hebat. Bayisan gelagapan dan maklum bahwa ia tidak boleh main-main menghadapi kakek ini, maka ia cepat melompat kebelakang dan melarikan diri dalam gelap, Pat-jiu Sin-ong mengejar sambil memaki-maki.
Sementara itu, Liu Lu Sian yang pucat mukanya menyaksikan Kwee Seng terjerumus kedalam jurang hitam yang hanya dapat berarti maut, merasa heran melihat seorang gadis pakain putih lari ke tepi jurang sambil menangis dan ketika ia mendekat, ia tekejut mengenal wanita itu sebagai wanita pakaian putih yang ia hadapi diatas genteng gedung dalam benteng Jenderal Kam Si Ek, gadis yang menjadi suci (kakak seperguruan) Kam Si Ek! Pada saat itu, Lai Kui Lan membalikkan tubuhnya dengan pipi basah air mata ia mendamprat Lu Sian. Lu Sian yang ingat bahwa gadis itu adalah kakak seperguruan Kam Si Ek yang dikaguminya, menjawab halus,
"Cici yang baik, kalau memang sejak tadi kau mengintai, tentu kau maklum bahwa bukan aku maupun ayahku yang membuat Kwee Seng terjerumus kedalam jurang, melainkan seorang yang mengaku bernama Bayisan dan yang sekarang dikejar-kejar ayah. Akan tetapi, engkau, bagaimana kau mengenal Kwee Seng dan mengapa pula kau menangisinya?"
Tiba-tiba wajah Kui Lan menjadi merah sekali. Dia seorang gadis yang jujur, maka dengan menabahkan hati ia berkata,
"Kwee-taihiap telah menolongku daripada Si Laknat Bayisan. Aku berhutang budi, berhutang nyawa dan kehormatan kepada Kwee-taihiap! Biarpun kau telah menyia-nyiakan cinta kasihnya, berlaku kejam kepadanya namun aku.. aku.. ah..."
Ia menangis lagi.
"Cici! Kau cinta padanya?"
Perasaan Lu Sian tersinggung dan ia merasa kasihan juga pada gadis ini.
Tangan Geledek Eps 5 Bu Kek Siansu Eps 12 Tangan Geledek Eps 24