Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 19


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 19



Ma Kiu dan sute-sutenya terkejut dan memandang lebih teliti. Kiranya pengemis muda ini adalah Pangcu dari Khong-sim Kai-pang. Tentu saja mereka sudah mendengar akan sepak terjang pangcu baru ini, betapa Khong-sim Kai-pang di bawah pimpinan pangcu muda ini telah membasmi golongan pengemis baju bersih yang tadinya menguasai kai-pang-kai-pang (perkumpulan pengemis) di daerah Kang-hu. Karena para pengemis golongan baju bersih adalah sekutu Thian-liong-pang, maka tentu saja dua belas orang Cap-ji-liong ini menganggap Yu Siang Ki sebagai musuh.

   "Ah, kiranya engkau jembel muda pengacau itu? Bagus kau datang menyerahkan diri"

   Ma Kiu membentak dan sepasang pedangnya berkelebat menyambar, Siang Ki yang sudah siap cepat menggerakkan tongkat, sekaligus menangkis sepasang pedang itu dan membalikkan tongkat mengirim serangan dengan tusukan ke arah perut yang gendut. Ma Kiu meloncat ke kanan dan pada saat itu, sebelas orang sutenya yang menyaksikan gerakan cepat Siang Ki, segera maju mengeroyok.

   "Dua belas ekor cacing Thian-liong-pang tak tahu malu"

   Terdengar bentakan Kwi Lan disusul sinar hijau pedang Siang-bhok-kiam. Gadis ini sudah melompat maju dan begitu ia memutar pedangnya, empat batang pedang lawan telah dapat tertolak mundur berikut pemiliknya. Akan tetapi pada saat itu anak buah yang bertubuh tinggi besar dan mereka ini adalah bekas-bekas bajak sungai yang sudah takluk kepada Siauw-bin Lomo, kini maju mengepung Kwi Lan.

   "Bagus, makin banyak makin baik."

   Memang pedangku sudah haus darah"

   Teriak gadis itu sambil membabat ke sekelilingnya. Hebat bukan main gerakan Kwi Lan ini dan lebih-lebih karena para pengeroyoknya yaitu para bajak, hanya mengandalkan tenaga besar dan kekasaran saja, maka dalam sekejap mata terdengar teriakan kesakitan dan lima orang sudah roboh mandi darah. Kalau Kwi Lan dengan enaknya membabati para pengeroyoknya, adalah Yu Siang Ki yang benar-benar menghadapi pengeroyokan berat.

   Cap-ji-liong terdiri dari orang-orang pandai dan mereka ini bergerak bukan sembarangan, melainkan menurut aturan dalam bentuk barisan yang amat rapi dan kuat. Tingkat kepandaian Yu Siang Ki sudah tinggi dan andaikata Cap-ji-liong maju seorang demi seorang, biarpun Ma Kiu sendiri takkan dapat menangkan pemuda ini. Akan tetapi begitu Cap-ji-liong maju bersama dalam bentuk barisan yang mengurung rapat, Siang Ki menjadi repot sekali dan terdesak hebat. Dua belas orang itu menggunakan bermacam-macam senjata sehingga gerakan mereka itu bagi Siang Ki amat kacau-balau dan sukar diduga. Karena itulah, maka pemuda ini hanya dapat memutar tongkat melindungi tubuhnya dari hujan senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki tenaga lwee-kang cukup besar.

   Biarpun ia sedang mengamuk, Kwi Lan tidak melepaskan perhatiannya terhadap Siang Ki yang ia tahu menghadapi pengeroyokan Cap-ji-liong yang lihai. Maka ia dapat melihat betapa pemuda itu betapa pun lihainya, repot sekali menyelamatkan diri dari ancaman senjata-senjata lawan. Maka ia lalu berseru keras, merobohkan dua orang pengeroyok terdepan lalu sekali meloncat ia sudah tiba di luar barisan Cap-ji-liong yang mendesak Siang Ki. Pedangnya berkelebat menyerbu barisan Cap-ji-liong dari belakang sehingga tiga orang anggauta barisan terpaksa membalikkan tubuh dan menangkis, kemudian secara teratur sekali mereka bergerak diikuti teman-temannya dan di lain saat Kwi Lan telah terkurung pula bersama Siang Ki.

   "Siang Ki, mari kita basmi cacing-cacing yang menjemukan ini"

   Seru Kwi Lan marah sambil memutar pedangnya menerjang kepungan. Akan tetapi barisan itu teratur rapi sekali dan betapapun lihainya pedang Kwi Lan, karena sekaligus ditangkis oleh sedikitnya tiga senjata secara berbareng, ia kalah tenaga dan berbalik ia pun dijadikan sasaran hujan senjata.

   "Kwi Lan, kita berdua beradu punggung"

   Siang Ki berseru dan Kwi Lan yang maklum akan maksud temannya segera membelakangi pemuda itu dan kini mereka berdiri saling membelakangi.

   Dengan demikian, kedudukan mereka lebih kuat dan tidak perlu lagi mereka membagi perhatian ke belakang karena bagian belakang masing-masing telah terlindung sehingga perhatian dapat dicurahkan ke depan. Bahkan kanan kiri dapat terjaga oleh kedua orang muda perkasa ini. Benar saja, setelah beradu punggung, dua orang muda ini dapat melawan lebih ringan dan biarpun kadang-kadang para pengepungnya berlari-lari memutari mereka, kedua orang muda ini tidak usah ikut berlari-lari takut diserang dari belakang lagi. Mereka melayani dengan tenang dan kini mendapat kesempatan untuk balas menyerang, sungguhpun serangan mereka kurang berhasil karena selalu ditangkis oleh banyak lawan. Diam-diam Siang Ki menjadi gelisah karena balasan lawan benar-benar hebat.

   Andaikata dia dan Kwi Lan dapat bertahan mengandalkan kegesitan, tenaga dan ilmu silat mereka yang lebih tinggi tingkatnya, namun sampai berapa lama mereka mampu bertahan? Di luar barisan dua belas orang Thian-liong-pang ini masih terdapat puluhan orang anak buah mereka. Ma Kiu yang memimpin sute-sutenya ketika melihat betapa barisannya tidak berdaya menghadapi dua orang muda yang benar-benar lihai itu, menjadi penasaran dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa Ketua Khong-sim Kai-pang yang masih muda ini ternyata juga amat lihai sehingga diam-diam ia harus meragukan kepandaiannya sendiri apakah ia akan sanggup menghadapi orang muda itu satu lawan satu. Ia lalu memberi aba-aba dalam bahasa rahasia perkumpulannya. Mendengar aba-aba ini dua belas orang Cap-ji-liong itu lalu berlari-lari mengelilingi dua orang muda itu dan makin lama lingkaran itu menjadi makin jauh.

   "Awas.."

   Siang Ki berseru keras dan Kwi Lan yang sudah menduga segera memutar pedangnya, melindungi tubuhnya dari sambaran senjata-senjata rahasia mereka, yaitu Sin-seng-piauw yang berbentuk bintang. Juga Siang Ki memutar tongkatnya sehingga sebentar saja di sekitar mereka berdiri berserakan senjata rahasia musuh. Hebatnya, tidak hanya Sin-seng-piauw yang menyambar bagaikan hujan, kini banyak anak panah yang dilepas oleh anak buah bajak. Sibuk sekali Siang Ki dan Kwi Lan menghadapi hujan serangan senjata rahasia ini.

   "Kwi Lan.. kau larilah.. lekas serbu sayap kiri. aku membantu dan melindungimu, kau harus lari.."

   Terdengar Siang Ki berkata dengan napas memburu. Ketika Kwi Lan melirik tanpa menghentikan putaran pedangnya, ia terkejut melihat pemuda itu terluka pundak kirinya sehingga mengeluarkan darah.

   "Huh, enak kau bicara"

   Kau kira aku pengecut yang takut mampus? Kau lihat"

   Sambil berkata demikian, tangan kiri Kwi Lan bergerak menyambitkan jarum-jarumnya ke sebelah kanan. Sinar hitam menyambar dan terdengarlah jerit-jerit kesakitan disusul robohnya lima anggauta bajak yang menjadi korban sambaran jarum-jarum hijau beracun. Akan tetapi gerakan ini hampir mencelakakan Kwi Lan juga karena dengan gerak serangannya ini, putaran pedangnya kurang kuat dan kalau ia tidak cepat meloncat ke kiri, tentu ia menjadi korban sambaran sebuah di antara puluhan senjata rahasia.

   "Tiada guna.. mereka terlalu banyak dan lihai. Lekas kau lari selagi ada kesempatan Kwi Lan."

   "Ih, kalau kau takut, kau larilah. Aku tidak takut, akan kulawan sampai mampus"

   "Aku tidak takut, aku ingin kau menyelamatkan diri, jangan pikirkan diriku.."

   "Eh, orang bernama Yu Siang Ki. Apakah kau mau menjadi orang gagah sendiri dan aku harus menjadi pengecut? Tidak, kalau kita lari, harus lari bersama, kalau melawan terus harus berdua"

   Jawab Kwi Lan dengan kukuh dan suaranya jelas memperdengarkan kemarahan.

   "Ah, kau bodoh"

   Kata Siang Ki sambil memutar tongkat dan mengebutkan lengan baju lalu melompat tinggi. Biarpun sudah terluka ternyata ia masih gesit sekali.

   "Bukan berani atau takut, melainkan kita harus gunakan otak. Kalau melawan terus dan keduanya mati, siapa akan tolong? Kau lari dulu, kalau aku tertawan, masih ada kau yang menolongku. Kenapa nekat? Hayo lekas serbu ke sayap kiri, aku bantu kau melarikan diri"

   Kwi Lan menjadi gemas sekali. Sambil memutar pedang menangkis senjata rahasia, ia berhasil menangkap sebuah peluru bintang dan cepat mengembalikannya dengan sambitan kuat. Kembali terdengar jerit seorang anggauta bajak roboh dan tewas.

   "Aku punya rencana. Hayo kau lindungi aku"

   Bentaknya kepada Siang Ki, kemudian tanpa memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk membantah, ia sudah meloncat dan menyerbu, bukan ke kiri melainkan ke kanan. Yang mengurung di sebelah kiri adalah anggauta-anggauta termuda Cap-ji-liong dan ketika bertempur tadi Siang Ki sudah dapat melihat bahwa sayap kiri ini yang paling lemah. Akan tetapi gadis ini sekarang malah menyerbu sayap kanan di mana terdapat Ma Kiu, Ketua Thian-liong-pang yang tentu saja paling kuat di antara adik-adiknya. Karena melihat Kwi Lan sudah menyerbu, tentu saja ia pun tak dapat mencegah cepat ia melindungi gadis itu dari dekat.

   Ma Kiu terkejut dan cepat ia bersama adik-adiknya menyambut serangan Kwi Lan dan sekaligus tiga orang menangkis sedangkan tiga orang lain membalas dengan serangan dari kanan kiri. Akan tetapi Kwi Lan tidak peduli akan serangan ini, bahkan ia terus menerjang maju ke arah Ma Kiu dengan tikaman dan sabetan pedang bertubi-tubi. Melihat ini, tiga orang anggauta Cap-ji-liong menjadi girang dan mengira bahwa serangan mereka tentu akan mengenai sasaran.

   "Trang-trang-trang.."

   Tangkisan tongkat Siang Ki amat kerasnya sehingga golok dan pedang yang mengancam Kwi Lan itu sampai terpental dari tangan pemegangnya. Akan tetapi karena Siang Ki sudah terluka dan dalam tangkisan ini ia mempergunakan terlalu banyak tenaga maka ketika ruyung di tangan Cap-ji-liong ke empat menyambar punggung, ia tidak dapat menghindar lagi sehingga punggungnya kena hantaman ruyung. Siang Ki mengeluh dan cepat memutar tubuh menggerakkan tongkat. Robohlah orang Cap-ji-liong pemegang ruyung itu dan pingsan karena perutnya terkena sodokan tongkat. Akan tetapi Siang Ki yang menjadi gelap pandang matanya oleh hantaman ruyung di punggungnya tadi juga roboh karena pada saat itu, dua buah peluru bintang yang mengandung racun telah menyambar dan mengenai dada dan lehernya. Siang Ki roboh pingsan dengan tongkat masih terpegang erat-erat.

   Pada saat yang hampir berbareng, Kwi Lan yang menyerang Ma Kiu juga telah berhasil. Dengan gerakan seperti burung walet terbang miring, gadis itu melompat menghindarkan sambaran sepasang pedang Ma Kiu, Kemudian dari samping atas tangan kirinya bergerak dan tanpa dapat dicegah lagi jari-jari tangannya yang kecil halus namun kuat dan cekatan itu telah menotok tengkuk Ma Kiu. Ma Kiu mengeluarkan jeritan parau dan roboh, kedua pedangnya terlepas. Sebelum adik-adik seperguruannya mampu menolongnya, Kwi Lan sudah meloncat turun, menginjakkan kaki kirinya pada tubuh Ma Kiu yang pingsan itu, menodongkan pedangnya ke dada Ketua Thianliong-pang ini sambil membentak.

   "Mundur semua atau kurobek perut Ketua Thian-liong-pang"

   Ancaman yang dikeluarkan dengan suara nyaring penuh amarah ini berhasil. Orang-orang Thian-liong-pang yang tadinya sudah menggerakkan senjata hendak membunuh Siang Ki yang sudah tak berdaya itu menarik kembali senjata masing-masing, juga mereka yang hendak menyerbu Kwi Lan kini terpaksa melangkah mundur. Akan tetapi sepuluh orang Cap-ji-liong yang belum terluka masih mengurung tubuh Siang Ki yang sudah pingsan. Mereka bukan orang bodoh dan melihat kepala mereka terjatuh di tangan gadis itu, mereka pun mengurung dan menawan Siang Ki.

   "Bebaskan kawanku itu, baru aku akan membebaskan Ketua Thian-liong-pang"

   Kembali Kwi Lan membentak dan pedangnya masih ditodongkan ke arah dada Ma Kiu.

   Seorang di antara sepuluh anggauta Cap-ji-liong yang bertubuh kurus bermuka pucat, melangkah maju mewakili teman-temannya. Ia melihat betapa banyaknya anak buah bajak yang roboh menjadi korban nona perkasa itu, dan melihat pula betapa nyawa ketuanya terancam bahaya maut. Akan tetapi ia pun melihat betapa bulu mata Ma Kiu bergerak-gerak, tanda bahwa ketuanya itu tidak pingsan. Memang dalam hal ini Kwi Lan kurang menghargai kepandaian lawan. Ia tidak tahu bahwa Ma Kiu berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar), memiliki gwa-kang yang bukan main kuatnya sehingga jalan darah di tubuhnya seakan-akan terlindung oleh otot-otot baja dan kulit besi. Tadi ketika terkena totokan, Ketua Thian-liong-pang ini hanya puyeng sebentar akan tetapi jalan darahnya tidaklah terhenti seperti yang disangka Kwi Lan. Ia hanya setengah pingsan sebentar saja dan kini ia sudah sadar kembali. Akan tetapi dasar ia cerdik, ia diam saja karena maklum bahwa sedikit saja ia bergerak, tentu gadis yang sakti ini akan curiga dan menusuk dadanya.

   "Hemm, Mutiara Hitam."

   Kata anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat tadi.

   "keadaanmu tidak menguntungkan akan tetapi kau masih membuka mulut besar. Kau boleh mengancam ketua kami akan tetapi kami pun dapat mengancam nyawa kawan baik dan kekasihmu ini. Ha-ha-ha"

   Wajah Kwi Lan menjadi merah sekali, pandang matanya melotot dan ia membentak,

   "Baik, kau boleh bunuh dia, akan tetapi selain ketuamu ini kubunuh, juga semua orang Thian-liong-pang takkan kubiarkan hidup"

   Tiba-tiba anggauta Cap-ji-liong yang bermuka pucat itu bersuit nyaring dan mereka berbareng menerjang maju pada saat Ma Kiu menggerakkan tubuh bergulingan menjauhi Kwi Lan. Gadis itu kaget sekali. Kalau ia menghadapi penyerbuan mereka, tentu Ketua Thian-liong-pang itu terlepas dari tangannya. Sebaliknya kalau ia mengejar dan menyerang Ma Kiu yang bergulingan, tentu ia akan menjadi korban serbuan sepuluh orang Cap-ji-liong.

   Tentu saja yang terpenting adalah menyelamatkan dirinya sendiri, karena kalau ia roboh, berarti Siang Ki takkan dapat tertolong lagi. Dengan geram ia memutar pedangnya menyambut serbuan sepuluh orang anggauta Cap-ji-liong itu. Demikian hebat gerakan pedangnya yang dirangsang kemarahan sehingga tubuhnya berkelebat lenyap dan gerakan pedang yang aneh itu tidak saja dapat menangkis senjata yang mengancamnya, juga ia berhasil pula merobohkan dua orang pengeroyok. Sungguhpun pedangnya tidak mengenai tepat, hanya menyerempet saja namun dua orang anggauta Cap-ji-liong itu roboh karena terluka dekat leher. Segera Kwi Lan dikurung oleh sisa anggauta Cap-ji-liong dan anak buah Thian-liong-pang yang amat banyak. Terdengar suara Ma Kiu marah sekali,

   "Seret ketua jembel itu dan bawa pergi"

   Siapkan barisan Am-gi (Senjata Rahasia), keroyok iblis betina ini"

   Makin bingung dan gelisah hati Kwi Lan mendengar perintah yang dikeluarkan Ketua Thian-liong-pang ini. Ia masih dan belum berpengalaman seperti Siang Ki. Andaikata ia menurut nasihat Yu Siang Ki dan menyelamatkan diri, agaknya tidak terlalu sukar bagi Kwi Lan untuk meloloskan diri di dalam kegelapan malam. Namun gadis ini luar biasa beraninya dan juga tak dapat menahan kemarahannya. Melihat betapa temannya terancam bahaya maut, ia tidak pedulikan lagi akan keselamatan diri sendiri, terus saja mengamuk seperti seekor naga sakti.

   Namun Ma Kiu yang maklum akan kelihaian gadis ini dan menghendaki agar gadis ini ditawan dalam keadaan hidup, lalu mengatur barisan. Mereka lalu mengeluarkan tambang-tambang yang diayun-ayun untuk menyerimpung kedua kaki Kwi Lan, di samping itu hujan senjata rahasia membuat Kwi Lan sibuk bukan main. Selain ia harus menghindarkan diri dari hujan senjata, ia pun harus berloncatan karena kakinya diancam oleh ayunan tambang-tambang yang dipegangi para pengeroyok dari depan dan belakang serta kiri kanan. Kini ia terkepung rapat dan andaikata ia mempunyai maksud hati untuk melarikan diri sekalipun sudah tak mungkin lagi, sudah terlambat.

   Sementara itu, Ma Kiu yang cerdik dan banyak siasat, diam-diam sudah mengambil jaring yang berada di tepi sungai, jaring para nelayan dijemur di tepi sungai. Diam-diam Ketua Thian-liong-pang ini mengatur siasat dan alangkah kaget hati Kwi Lan ketika tiba-tiba banyak sekali jaring melayang dari atas menyelimutinya. ia berusaha memutar pedang membela diri. Banyak jaring yang robek oleh pedangnya, akan tetapi tiba-tiba kakinya terasa sakit tertusuk senjata rahasia anak panah, sehingga ia terhuyung-huyung. Pada saat itu, beberapa buah jaring menutup tubuhnya, dan ada tambang melibat kakinya dan menjegalnya. Betapa pun kuatnya Kwi Lan, ia tidak dapat mempertahankan diri lagi dan roboh terguling. Para anggauta Thian-liong-pang bersorak-sorak dan sebentar saja tubuh Kwi Lan sudah dilibatlibat jaring.

   Ia tertawan dalam libatan jaring-jaring itu dan hanya mampu memaki-maki akan tetapi sama sekali tidak dapat meronta lagi. Ma Kiu memimpin orang-orangnya membawa pergi Kwi Lan dan Yu Siang Ki sebagai dua orang tawanan penting. Masih untung bagi dua orang muda itu. Kwi Lan adalah gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang akan tetapi juga mengaku sebagai utusan Pak-sin-ong mengirim kuda hitam, maka ia bukan orang biasa dan oleh Ma Kiu akan dibawa dan dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo yang kini hendak mengadakan hubungan dengan barisan Hsi-hsia. Adapun Yu Siang Ki adalah Ketua Khong-sim Kai-pang yang menjadi musuh besar Bu-tek Siu-lam karena pemuda ini berani memusuhi para pengemis baju bersih, maka juga merupakan orang penting yang patut dihadapkan kepada Siauw-bin Lo-mo untuk diambil keputusan nasibnya.

   Selain ini, juga Ma Kiu yang melihat kecantikan Kwi Lan, merasa sayang kalau membunuh gadis ini secara begitu saja. Rombongan orang Thian-liong-pang ini lalu pergi meninggalkan desa Ci-chung sebagian naik kuda dan ada yang berjalan kaki mendorong dua buah kereta kecil, yaitu kereta tawanan yang bentuknya seperti kurungan binatang buas di mana menggeletak Yu Siang Ki yang pingsan dan Kwi Lan yang memaki-maki di sepanjang jalan.

   Lembah Sungai Nu-kiang yang meluncur turun dari lereng Gunung Kao-likung-san memang merupakan tempat yang selain amat indah, juga amat strategis untuk dijadikan tempat persembunyian para pendeta Tibet yang memimpin sisa pasukan Hsi-hsia. Lembah ini penuh dengan hutan-hutan liar, tanahnya amat subur dan selain banyak tetumbuhan yang dapat menjadi bahan makanan, juga di situ banyak terdapat binatang hutan. Di samping ini semua, keadaan daerah pegunungan yang amat sukar didatangi orang itu merupakan daerah sunyi dan tidaklah mudah bagi musuh untuk datang menyerbu. Karena tempat itu dijadikan markas untuk Bouw Lek Couwsu tokoh pendeta jubah merah dari Tibet bersama anak buahnya dan pasukan Hsi-hsia, maka di situ telah dibangun pondok-pondok darurat yang cukup besar.

   Sisa pasukan yang menyerbu Nan-cao dan gagal karena dapat dipukul mundur, sebagian besar sudah mengalihkan rencana ke utara untuk memasuki dan mengganggu perbatasan Kerajaan Sung. Akan tetapi Bouw Lek Couwsu yang suka dengan markas baru ini, hanya menyerahkan penyerbuan atau pengacauan itu kepada anak buahnya, sedangkan ia sendiri beristirahat di markas baru ini, ditemani Siang-mou Sin-ni yang biarpun tua namun masih kelihatan cantik dan menyenangkan hatinya, apalagi kalau diingat bahwa hadirnya iblis betina ini disampingnya merupakan pembantu yang amat boleh diandalkan ilmu kepandaiannya menghadapi musuh. Dan kakek berkepala gundul yang wajahnya masih tampan ini maklum bahwa setelah ia berhasil merusak dan membunuh tokoh-tokoh Beng-kauw, tentu akan banyak lawan tangguh yang mencarinya.

   Biarpun usahanya menyerbu Nan-cao gagal dan pasukan Hsi-hsia dipukul mundur, namun hati Bouw Lek Couwsu tidaklah terlalu kecewa. Pertama, ia memang tidak terlalu ingin menaklukkan Nan-cao karena yang ia incar adalah Kerajaan Sung. Ke dua, ia telah berhasil membunuh Ketua Beng-kauw dan para tokohnya sehingga ia dapat membalas kekalahannya dahulu. Ke tiga, anak buahnya juga sudah cukup puas karena dalam penyerbuan itu mereka merampas banyak harta benda dan menculik banyak wanita muda. Untuk kakek pendeta yang hanya menggunakan kependetaannya sebagai kedok belaka ini saja disediakan belasan orang gadis rampasan yang tercantik, sehingga sambil beristirahat di Lembah Nu-kiang kakek ini akan dapat bersenang-senang sepuas hatinya.

   Juga Siang-mou Sin-ni yang tidak ambil pusing akan apa yang dilakukan bekas kekasihnya, menjadi amat girang ketika ia dapat menculik Kam Han Ki, putera bungsu Kam Bu Sin. Ia melihat bahwa selain anak berusia sebelas tahun ini amat tampan dan berwatak gagah, juga memiliki darah murni dan tulang bersih sehingga terpenuhilah kebutuhannya untuk menyempurnakan ilmunya Hun-beng-to-hoat. Siang-mo Sin-ni memesan kepada para penjaga untuk menjaga tawanan anak kecil ini baik-baik dan setiap hari supaya diberi makan minum secukupnya, bahkan diberi hidangan lezat yang sudah ia campuri obat untuk memperkuat keadaan tubuh anak itu sebelum ia "pergunakan"

   Untuk keperluan ilmunya.

   Akan tetapi tidaklah mudah membujuk dan membohongi Kam Han Ki. Anak ini semenjak diculik dan dibawa ke dalam rimba lalu dijebloskan ke dalam kamar tahanan, selalu memperlihatkan sikap melawan dan menentang. Sedikit pun anak ini tidak pernah menangis lagi sejak ditangkap, namun tidak mengenal takut dan selalu menolak apabila diberi makan. Setidaknya, ia menerima makanan dengan sikap menentang dan baru mau makan sedikit kalau tidak ada penjaga melihatnya, ini pun hanya untuk menjaga agar ia tidak kelaparan saja, sedangkan sisanya ia lemparkan ke lantai dan minuman yang lezat dan berlebihan, ditunggu sampai satu dua pekan tubuh Han Ki tidak makin segar, melainkan makin kurus dan pucat.

   Setengah bulan kemudian, pada pagi hari itu Siang-mou Sin-ni sendiri datang memasuki kamar tahanan Han Ki yang berpintu jeruji besi dan terkunci dari luar. Melihat masuknya wanita cantik berpakaian mewah dengan rambut terurai panjang yang mengeluarkan bau wangi memabokkan itu, sepasang mata Han Ki sudah bersinar-sinar seperti mengeluarkan kilat. Wanita inilah yang bersama pendeta gundul berkaki buntung, yang membunuh ayah bundanya dan wanita inilah yang telah menculiknya, menotok dan memondongnya sambil berlari seperti terbang cepatnya ke tempat ini.

   Melihat wanita ini memasuki kamar tahanan yang bersih dan tidaklah seburuk kamar tahanan biasa, Han Ki melangkah mundur sampai kedua kakinya menyentuh tempat tidur, lalu ia duduk di pembaringannya. Matanya tak pernah berkedip memandang wanita ini, jantungnya berdebar karena di samping kemarahan dan kebenciannya, ia dapat menduga bahwa wanita ini tak mungkin berniat baik terhadap dirinya. Sejenak Siang-mou Sin-ni memandang dengan matanya yang genit, kemudian ia tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata, suaranya halus dan manis.

   "Anak baik, namamu Kam Han Ki, bukan? Ah, mengapa kau mengecewakan hatiku? Kau tidak mau makan dengan baik-baik, sehingga tubuhmu makin kurus. Kenapa kau menyiksa dirimu? Aku sayang padamu, Han Ki."

   "Kalau sayang kenapa kaubunuh Ayah bundaku? Tidak, kau jahat dan biarkan aku pergi dari sini"

   Sambil berkata demikian, Han Ki yang melihat betapa pintu tahanan yang kokoh kuat itu kini sudah terbuka, lalu mengerahkan tenaga dan melompat ke arah pintu untuk melarikan diri.

   Betapapun juga ia adalah putera suami isteri pendekar, sejak kecil sudah menerima gemblengan dasar-dasar ilmu silat sehingga gerakannya cepat dan sebentar saja ia sudah lari keluar menerobos pintu. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terbetot ke belakang, bahkan melayang kembali ke dalam kamar. Han Ki meronta dan kaget sekali melihat betapa tubuhnya sudah terbelit rambut yang hitam dan harum memabokkan, kemudian ia mendengar suara tertawa merdu yang amat dibencinya itu.

   "Hi-hi-hik, Kam Han Ki, kau tampan dan nyalimu besar. Bagus"

   Han Ki hendak meronta, namun sia-sia. Rambut itu seperti hidup, membelit dan mengikatnya, membuat kaki tangannya tak dapat bergerak. Ia tahu-tahu telah berada di atas dada wanita itu seperti dipegangi rambut yang amat kuat.

   Kedua tangan iblis betina itu mulai membelai-belainya, mengelus-elus kepala, meraba-raba muka, dan dagu dan leher, mengurut-urut dada dan punggung penuh kasih sayang. Namun sentuhan-sentuhan ini menimbulkan rasa dingin dan ngeri di hati Han Ki, seakan-akan bukan kedua tangan, melainkan ratusan ekor ular yang menggeliat-geliat dan merayap-rayap di sekujur tubuhnya. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak, hanya menatap wajah yang amat dekat itu dengan mata terbelalak. Karena wajah wanita itu amat dekat dengan wajahnya, ia merasa betapa hawa panas keluar dari mulut dan hidung wanita itu menyentuh pipinya, dan ia melihat betapa wajah itu sebenarnya penuh gurat-gurat halus tersembunyi di balik bedak dan yanci. Ia makin serem dan ngeri.

   "Hi-hi-hik, anak baik, anak tampan dan ganteng. Engkau tampan dan ganteng seperti Kam Bu Sin, Ayahmu. Hi-hik Ayahmu dahulu pernah menjadi kekasihku, tahukah kau anak baik? Dia amat cinta kepadaku.. hi-hik"

   "Bohong.."

   Han Ki tidak begitu mengerti akan arti ucapan wanita ini akan tetapi mendengar bahwa ayahnya mencinta iblis betina ini, mana ia mau percaya?

   "Hi-hi-hik, siapa bohong? Kau lebih tampan dari dia, hem.. kulitmu lebih halus, darahmu lebih bersih dan murni.. hemmm.."

   Tiba-tiba wanita itu mencium dahinya, pipinya hidungnya, bahkan kemudian mulut yang merah itu mencium mulutnya.

   Han Ki gelagapan hampir pingsan, mengira bahwa wanita itu akan menggigiti dan seperti seekor serigala akan memakannya. Ia merasa ngeri, jijik, takut dan terutama sekali marah. Ketika Siang-mo Sin-ni mencium mulutnya seperti orang gila, atau lebih mirip dengan seekor kucing yang hendak menggerogoti tubuh tikus, Han Ki merasa betapa dada di mana tubuhnya menempel itu terengah-engah, merasa betapa mulut yang mencium bibirnya itu panas terengah dan betapa rambut yang membelit tubuhnya mengendur. Saking takut, jijik dan marahnya, ia menggunakan kesempatan selagi rambut yang membelitnya itu mengendur, ia meronta sekuat tenaga sambil menarik mukanya ke belakang.

   Gerakannya yang tiba-tiba membuat ia merosot dan cepat kedua tangannya merangkul pundak dan leher Siang-mou Sin-ni, kemudian dengan buas dan terdorong kemarahan meluap-luap, Han Ki membuka mulutnya dan.. menggigit ternggorokan Siang-mou Sin-ni. Mulutnya bertemu kulit leher yang halus, terus saja ia menggunakan giginya yang kuat menggigit sekuat tenaga, bertekad untuk menggigit dan tidak akan melepaskan gigitannya biarpun ia dipukul sampai mati.

   "Aiihhh.."

   Siang-mou Sin-ni menjerit lirih. Dia adalah seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan jarang ada tokoh kang-ouw yang dapat menandinginya. Dialah seorang di antara Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit) yang tersohor puluhan tahun, yang bahkan dialah satu-satunya orang di antara Enam Iblis yang masih hidup. Ilmu kepandaiannya amat hebat bahkan mengerikan bagi banyak tokoh kang-ouw. Baru ilmunya mempergunakan rambut panjang saja sudah sukar dicari jagoan yang mampu menghadapinya, belum lagi ilmunya yang disebut Tok-hiat-hoat-lek, yaitu semacam pukulan darah beracun, bukan main kejinya.

   Akan tetapi karena dalam detik-detik tadi ketika ia mencium Han Ki, ia dikuasai oleh nafsu binatang karena mengilar akan kemurnian darah dan kebersihan tulang anak itu, maka ia berada dalam keadaan seorang mabok dan pada detik-detik itu, semua tenaga sakti seakan-akan melayang meninggalkan raganya yang dikuasai oleh nafsu binatang dan semua pikiran dan perasaannya hanya ditujukan akan kenikmatan menguasai darah dan sumsum bocah itu untuk menyempurnakan ilmu yang sedang dilatihnya. Inilah sebabnya mengapa gigitan Han Ki dengan tepat mengenai sasaran, bahkan kulit tenggorokannya robek oleh gigitan itu. Padahal dalam keadaan biasa, bukan kulit lehernya yang robek, melainkan gigi anak itu yang rontok.

   Betapapun juga, sebagai seorang berilmu tinggi, hanya sedetik Siang-mou Sinni terkejut. Kalau saja ia bukan orang yang memiliki kesaktian luar biasa, agaknya dalam kaget dan marah ia tentu sekali menggerakkan jari tangan membunuh anak itu. Namun ia cukup sadar bahwa ia amat membutuhkan bocah ini, maka ia tidak menurunkan tangan maut, melainkan menggunakan tangan mengetuk perlahan tengkuk Han Ki. Bocah itu mengeluh dan gigitannya terlepas, lalu roboh di atas pembaringannya karena dilemparkan, dalam keadaan pingsan. Siang-mou Sin-ni meraba tenggorokannya dan tersenyum memandang anak itu.

   "Hebat,"

   Bisiknya.

   "kulit leherku sampai pecah-pecah terluka."

   Ia lalu melangkah keluar dan memanggil penjaga yang datang berlarian.

   "Jaga baik-baik anak ini dan mulai sekarang, semua hidangan dariku untuknya harus dia makan, kalau perlu dijejalkan ke dalam mulutnya secara paksa."

   Ketika malam hari itu Han Ki siuman dari pingsannya, ia bergidik ngeri dan jijik teringat akan peristiwa pagi hari tadi. Ia merasa beruntung masih hidup, dan semalam itu ia duduk termenung memikirkan pengalamannya. Yang selalu terngiang di telinganya adalah pengakuan Siang-mou Sin-ni bahwa mendiang ayahnya dahulu adalah kekasih iblis betina itu. Ia tidak sudi untuk mempercepat hal ini, akan tetapi entah bagaimana, ucapan itu selalu teringat olehnya.

   Tentu saja anak ini sama sekali tidak mau percaya karena ia menjunjung tinggi kepada mendiang ayahnya, seorang pendekar dan menantu Ketua Beng-kauw. Padahal, apa yang diucapkan iblis betina itu memang ada benarnya. Pernah Kam Bu Sin menjadi kekasih iblis betina ini dahulu akan tetapi kekasih paksaan karena Kam Bu Sin melayani semua kehendak dan nafsu iblis Siang-mou Sin-ni dalam keadaan tidak sadar karena telah dicekoki obat perampas semangat. (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Pada keesokan harinya, seperti biasa, pagi-pagi sekali orang sudah mengantar makanan lezat untuknya. Akan tetapi bedanya, kali ini yang datang mengantar makanan adalah seorang hwesio jubah merah yang bermuka bengis.

   "Kau makan ini, kalau tidak mau akan kujejalkan ke mulutmu secara paksa."

   Hwesio itu mengancam sambil menyeringai, tampak giginya yang besar-besar dan berwarna kuning dekil. Melihat gigi besar-besar kuning dekil dan mencium bau memuakkan dari mulut hwesio yang didekatkan di mukanya itu saja sudah membuat Han Ki mual perutnya dan tidak ada nafsu makan sama sekali biarpun perutnya lapar. Apalagi karena ia masih marah terhadap Siang-mou Sin-ni. Wajah yang cukup bengis itu tidak mendatangkan rasa takut pada hati anak pemberani ini.

   "Aku tidak sudi. Kau makan sendiri"

   Ia menjawab sambil membuang muka.

   "Ha-ha-ha, memang kuharapkan kau akan menolak, biar puas hatiku menjejalkan makanan ini di mulutmu, bocah bandel"

   Bentak hwesio itu dan secepat kilat tangan kirinya yang penuh bulu hitam itu meraih, mencengkeram pundak Han Ki dan menarik naik anak ini mendekat. Ia tidak pedulikan Han Ki meronta-ronta, mendudukkan anak itu dipangkuannya dan menelikung kedua lengan anak itu. Tangan kirinya lalu membuka mulut Han Ki secara paksa. Tentu saja amat mudah bagi hwesio yang memiliki tenaga besar dan berkepandaian tinggi ini untuk memaksa Han Ki membuka mulut, kemudian ia menjejalkan makanan itu dalam mulut Han Ki.

   Bocah ini tersedak-sedak, terengah-engah dan karena makanan itu dijejalkan sampai menutup leher dan menghalangi jalan pernapasannya, mau tak mau ia terpaksa harus menelannya. Percuma saja ia meronta-ronta, dan percuma saja ia berusaha untuk tidak menelan makanan, karena hal ini tidak mungkin. Akhirnya semua makanan semangkok penuh itu terjejal ke mulut dan memasuki perutnya. Masakan ini memang lezat dan hal ini sudah diketahui Han Ki yang kadang-kadang makan pula, akan tetapi dijejal seperti ini lenyaplah rasa lezatnya. Ketika hwesio itu selesai menjejalkan makanan dan melemparkan tubuh Han Ki kembali ke atas ranjang, dua butir air mata meloncat keluar dari mata Han Ki yang melotot dan hinggap di atas keduapipinya. Ia memandang hwesio itu dengan mata melotot penuh kebencian. Akan tetapi hwesio itu mengebut-ngebutkan bajunya dan berkata.

   "Aku masih ingin sekali menjejalkan makanan beberapa kali sampai perutmu penuh dan bibirmu robek. Ha-ha-ha"

   Setelah berkata demikian, hwesio itu keluar dari kamar. Penjaga segera datang, mengambil mangkok dan menutup pintu lalu menguncinya.

   Setelah berada seorang diri, Han Ki duduk terlongong. Hampir ia menangis menggerung-gerung kalau saja hatinya tidak menahannya. Ia tidak mau menangis, apalagi di depan hwesio itu. Ia tidak mau memberi kesenangan pada musuh-musuhnya dengan tangisnya. Akan tetapi Han Ki seorang anak yang cerdik. Ia pun maklum bahwa kalau ia tidak mau makan, tentu hwesio itu memenuhi ancamannya dan kalau sampai dijejali lagi, berarti ia mengalami penghinaan dan agaknya hal itu menyenangkan hati Si Hwesio bengis. Inilah sebabnya maka mulai saat itu, setiap kali hwesio itu membawa masakan, ia segera memakannya dengan sukarela sampai habis. Luar biasa sekali hasilnya. Dalam waktu sepekan saja tubuh Han Ki menjadi gemuk, dagingnya penuh, kedua pipinya kemerahan dan sepasang matanya bersinar-sinar tajam.

   Inilah hasil obat kuat dalam masakan-masakan yang dibuat oleh Siang-mou Sin-ni sendiri. Obat yang mengandung hawa panas, memanaskan darah dan menguatkan tulang, menambah sumsum. Han Ki merasa sehat dan kuat, hanya ia seringkali kepanasan sampai sering ia membuka bajunya di waktu siang, tidak kuat karena merasa tubuhnya seolah-olah terbakar. Dan kini yang membawa datang makanan bukan lagi hwesio bengis. Agaknya karena Han Ki tidak pernah menolak untuk makan hidangan, Siang-mou Sin-ni tidak mau lagi menggunakan hwesio untuk mengancam, dan kini masakan dibawa datang oleh penjaga biasa. Penjaga itu seorang Hsi-hsia, biarpun cukup kuat dan galak, akan tetapi tidak mempunyai watak sadis (suka menyiksa) seperti hwesio itu. Malam itu Si Penjaga kembali datang membawa makanan untuk Han Ki.

   "Mungkin malam ini yang terakhir kau di sini."

   Kata Si Penjaga sambil lalu. Berdebar jantung Han Ki mendengar ini.

   "Mengapa? Aku hendak diapakan?"

   Tanyanya. Penjaga itu tertawa mengejek.

   "Apa lagi? Kau anak musuh, tidak disembelih sejak dulu sudah untung. Ha-ha, agaknya Sin-ni suka kepadamu. Entah bagaimana aku tidak tahu.. heh-heh, menurut pikiranku, kau masih terlalu kecil, mana bisa melayaninya?"

   Tentu saja Han Ki tidak mengerti maksudnya, akan tetapi ia dapat menduga bahwa tentu akan terjadi hal-hal yang tidak baik atas dirinya. Harus sekarang kulaksanakan, pikirnya. Untung atau buntung. Hidup atau mati, tidak ada pilihan lagi.

   "Paman yang baik, apa pun yang akan terjadi, sampai mati aku tidak akan melupakan kebaikanmu."

   Han Ki sengaja terisak-isak seperti bocah terharu dan menangis. Belasan hari lamanya, Si Penjaga diam-diam amat kagum menyaksikan Han Ki. Bocah berusia sebelas tahun menjadi tawanan, namun tak pernah menangis, tak pernah mengeluh, tak pernah ketakutan. Maka kini melihat Han Ki menangis di depannya dan menyatakan tidak melupakan kebaikannya, ia tentu saja terheran-heran.

   "Huh? Apa maksudmu?"

   "Selama ini kau telah menjaga diriku, Paman. Aku tidak punya apa-apa, hanya ini kubawa dari rumah orang tuaku, akan kutinggalkan kepadamu sebagai kenang-kenangan dan balas budi.."

   Dari balik bajunya, Han Ki mengeluarkan sebuah benda yang macamnya seperti sehelai tambang, akan tetapi sesungguhnya adalah baju dalamnya yang terbuat daripada sutera putih dan yang selama ini ia pilin-pilin menjadi seperti tali. Tadinya ia melepas baju dalam ini karena merasa tubuhnya panas, akan tetapi ketika ia bermain-main dan memilin-milinnya, timbullah gagasan untuk menyelamatkan diri dengan tali istimewa ini.

   "Huh? Apa ini..?"

   Orang Hsi-hsia yang belum banyak mengerti tentang benda-benda milik orang kota, memandang heran.

   "Inilah kalung jimat para bangsawan di Nan-cao, Paman. Sebagai cucu Ketua Beng-kauw, aku selalu memakai kalung ini. Kau diamlah, biar aku memakaikannya kepadamu, Paman, dan kau akan tahu nanti bagaimana besar manfaatnya."

   Tanpa menanti jawaban. Han Ki memutari tubuh penjaga itu dan berdiri di belakangnya. Orang Hsi-hsia itu terlampau heran dan ingin tahu, maka ia hanya tersenyum menanti.

   "Beginilah pakainya, Paman."

   Han Ki lalu menggunakan kedua tangan memegangi kedua ujung tali sutera itu, mengalungkan secepatnya di leher penjaga, kemudian ia membelit-belit kedua ujung pada lengannya dan menarik sekuat tenaga. Orang Hsi-hsia itu terkejut, meronta hebat, namun Han Ki sekarang sudah menempelkan tubuh pada punggungnya seperti seekor lintah, kedua kakinya mengempit pinggang, kedua tangan sekuat tenaganya menarik ujung tali. Semenjak kecil Han Ki telah digembleng orang tuanya maka ia telah memiliki dasar tenaga dalam.

   Namun, andaikata ia tidak kebetulan diberi makan obat yang dicampurkan dalam masakan oleh Siang-mou Sin-ni, kiranya tenaga anak berusia sebelas tahun ini belum tentu akan dapat mencekik Si Penjaga yang kuat. Kebetulan sekali, pengaruh obat Siang-mou Sin-ni luar biasa hebatnya, membuat tenaga dalam anak itu bertambah kuat beberapa kali lipat. Beberapa menit lamanya orang Hsi-hsia yang tak dapat berteriak dan tak dapat bernapas itu meronta-ronta, bergulingan, namun tubuh anak itu tetap lengket di punggungnya dan akhirnya ia berkelojotan dan matanya mendelik, lidahnya terjulur keluar. Setelah penjaga itu tidak berkutik lagi, barulah Han Ki melepaskan cekikan talinya lalu meloncat menjauhi. Seluruh tubuhnya berpeluh, bukan hanya karena hawa panas yang menyelubungi tubuhnya, juga karena tegang dan tadi mengerahkan tenaga. Ia memegangi kedua kaki penjaga itu dan menyeretnya. Ia sendiri merasa heran mengapa tubuh penjaga itu demikian ringan.

   Ia tidak tahu bahwa bukan tubuh Si Penjaga yang ringan, melainkan tenaganya yang kini menjadi amat kuat. Diseretnya mayat itu ke bawah pembaringannya dan ditariknya tilam pembaringan ke bawah sehingga menutupi kolong pembaringannya. Kemudian ia mengatur letak guling bantal, ditutupnya dengan selimut sehingga sepintas lalu tampak seolah-olah ia tidur dan berselimut dari kaki sampai menutupi kepala. Setelah itu, dengan cepat namun hati-hati ia keluar dari pintu, menutupkan pintu dan mengancingkannya dari luar. Ia tidak tahu sama sekali bahwa tempat ia ditahan itu merupakan kamar belakang dari bangunan yang menjadi tempat tinggal Bouw Lek Couwcu dan Siang-mou Sin-ni. Bangunan ini biarpun dibuat secara darurat, namun amat luas. Di sinilah Bouw Lek Couwsu tinggal ditemani gadis-gadis rampasan yang menempati beberapa buah kamar-kamar besar ini, Sian-mou Sin-ni tinggal terpisah.

   Karena dari kamar tahanan itu tidak ada jalan keluar kecuali melalui ruangan belakang dan yang pertama-tama menembus ke kamar Siang-mou Sin-ni yang selalu ingin berdekatan dengan kamar tahanan calon korbannya, maka ketika Han Ki menyelinap keluar dan berjalan melalui lorong dalam rumah itu, ia makin mendekati kamar Siang-mou Sin-ni seperti seekor kelinci mendekati sarang macan. Tiba-tiba suara ketawa cekikikan membuat ia berhenti bergerak dan merasa jantungnya seakan-akan copot karena suara ketawa itu ia kenal sebagai suara Siang-mou Sin-ni. Suara itu keluar dari jendela yang tepat berada di pinggir kepalanya, jendela kamar Siang-mou Sin-ni. Dengan jantung berdebar Han Ki lalu mengintai dari celah-celah daun jendela, menahan napas. Untung bahwa ia bertelanjang kaki sehingga tapak kakinya tidak menerbitkan suara. Sedikit saja ada suara, tentu takkan terlepas dari telinga Siang-mou Sin-ni dan Bouw Lek Couwsu yang berada di kamar itu.

   "Hi-hi-hik, kau bajul buntung tua bangka tak bermalu"

   Terdengar suara Siang-mou Sin-ni. Han Ki yang mengintai kini melihat kakek yang kaki kirinya buntung dan bertubuh tinggi besar berjubah merah,
(Lanjut ke Jilid 19)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19

   Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
sedang duduk bersila di atas pembaringan yang indah. Kakek ini tersenyum-senyum dan wajahnya yang tampan itu masih kelihatan muda dan sehat. Tangan kanannya memegang sebuah cawan emas yang besar. Siang-mou Sin-ni rebah dengan kepala di atas pangkuan Bouw Lek Couwsu, rambutnya yang panjang terurai sampai ke lantai. Wanita ini tertawa-tawa dengan sikap genit dan manja, lalu menyambung kata-katanya.

   "Kau sudah tua bangka akan tetapi hatimu lebih muda daripada orang yang paling muda. Masih kurangkah perempuan muda yang kau keram di sini? Masa kau menginginkan pula dua orang dara itu?"

   Bouw Lek Couwsu yang sudah mendekatkan cawan emas pada bibirnya, menunda minumnya dan memandang wajah yang menengadah di atas pangkuannya, tersenyum dan berkata.

   "Kim Bwee, setua ini kau masih cemburu?"

   Ia tertawa bergelak. Siang-mou Sin-ni cepat bangkit duduk dan matanya mendelik.

   "Tua bangka menyebalkan. Aku cemburu padamu? Huh, memalukan. Kau tahu aku tidak cemburu, aku tidak peduli kau akan mengumpulkan ribuan perempuan seperti juga kau tidak cemburu dan peduli kalau aku mengumpulkan ribuan pemuda-pemuda tampan. Akan tetapi, dua orang dara itu adalah puteri Kam Bu Sin, mereka itu adalah cucu-cucu Ketua Beng-kauw yang sudah berhasil kita bunuh. Mereka tadinya, dapat lolos, sekarang dapat tertawan oleh murid-muridmu, itu baik sekali. Kenapa tidak lekas bunuh mereka? Makin lama mereka dibiarkan hidup, makin banyak pula kesempatan bagi mereka untuk lolos. Lebih baik kita singkirkan bahaya di hari depan kita."

   "Hemmm, omonganmu selalu benar, Kim Bwe. Akan tetapi, aku merasa sayang untuk membunuh mereka begitu saja. Seperti juga bocah laki-laki yang akan kau ambil darah dan sumsumnya, dua orang dara itu adalah keturunan orang pandai, mereka memiliki tulang yang baik dan darah bersih, juga.. hemm, amat cantik jelita. Malam ini, aku janji padamu, mereka akan kutundukkan mau atau tidak mau, dan besok masih belum terlambat untuk membunuh mereka."

   "Huh, dasar mata keranjang. Akan kulihat besok, kalau kau belum bunuh mereka, aku sendiri yang akan turun tangan"

   Bouw Lek Couwsu mendekatkan mukanya dan mencium pipi Siang-mou Sin-ni sambil tertawa ia mendekatkan cawan emas pada bibirnya, tetapi kembali ia menunda karena Siang-mou Sin-ni berkata mencela.

   "Kau akan mencelakai dirimu dengan minuman seperti itu"

   "Ha-ha-ha, mana bisa celaka? Darah ular salju amat besar khasiatnya, tentu saja terutama sekali kepadaku. Kau tahu, aku ahli Im-kang aku membutuhkan racun dingin untuk memperkuat tenagaku, tidak seperti kau yang suka akan yang panas-panas, ha-ha-ha"

   Pada saat itu terdengar pintu terketok dari luar. Han Ki yang sejak tadi mengintai dan mendengarkan dengan wajah pucat dan tubuh menggigil saking gelisahnya mendengar dua orang kakak perempuannya juga tertawan, menjadi makin kaget dan cepat-cepat ia menarik kepalanya, mendekam di bawah jendela yang gelap. Ia hanya mendengarkan sambil menahan napas. Akan tetapi ternyata bahwa yang datang memasuki kamar itu adalah seorang pendeta jubah merah anak buah Bouw Lek Couwsu dan mereka bicara dalam bahasa Tibet yang sama sekali tidak dimengerti Han Ki. Kemudian terdengar Bouw Lek Couwsu memaki-maki, juga Siang-mou Sin-ni berseru marah.

   "Mari kita lihat bagaimana macamnya iblis itu"

   Terdengar mereka meninggalkan kamar. Setelah keadaan di situ sunyi, barulah Han Ki berani menggerakkan lehernya mengintai. Kamar itu kosong. Hatinya berdebar. Kedua orang kakaknya tertawan pula. Di mana? Dengan hati-hati ia lalu naik ke atas jendela, lalu memasuki kamar itu. Tubuhnya masih gemetar dan jantungnya masih berdebar. Lehernya seperti dicekik, amat kering dan haus. Keadaan sudah amat sunyi dan agaknya ia akan dapat melarikan diri, akan tetapi ia mendengar bahwa dua orang kakaknya tertawan, lenyaplah keinginan hatinya untuk melarikan diri. Ia lama menyelidiki dan mencari dimana kedua orang kakaknya ditahan dan ia akan berusaha menolongnya.

   Bau harum sedap menarik perhatiannya. Cawan emas itu masih di atas meja dan isinya penuh. Agaknya Bouw Lek Couwsu tidak sempat meminumnya, keburu datang pelapor yang membuatnya marah-marah dan meninggalkan kamar. Mencium bau sedap dan melihat isi cawan yang kuning kemerahan dan jernih, makin kering rasa tenggorokannya. Sebagai putera pendekar yang dilatih silat sejak kecil Han Ki tidak asing dengan arak, karena seringkali ia diharuskan minum arak obat untuk memperkuat tulang-tulangnya dan membersihkan darahnya. Dalam keadaaan gelisah ia menjadi haus sekali melihat arak dalam cawan emas itu tak dapat ia menahan keinginan hatinya. Tanpa banyak pikir lagi ia lalu menyambar cawan emas dan menuang isinya ke mulut. Sedap dan manis. Rasa enak membuat ia minum terus sampai cawan itu kosong.

   Ketika ia melempar kembali cawan ke atas meja, ia mengeluh dan terhuyung-huyung ke kanan kiri. Tubuhnya terasa aneh sekali, sebentar terasa panas yang selama ini memenuhi tubuhnya menjadi makin panas seperti terbakar, akan tetapi di lain saat menjadi dingin sampai giginya atas bawah saling beradu dan tubuhnya menggigil. Selain ini, di dalam dada dan seluruh tubuhnya terjadi tarik menarik antara dua macam tenaga raksasa yang membuat tubuh anak itu terhuyung-huyung dan kemudian robohlah Han Ki dalam keadaan pingsan di atas lantai dalam kamar Siang-mou Sin-ni.

   Apakah yang terjadi pada anak ini? Dia menjadi korban pengaruh dua macam obat yang bertentangan. Mula-mula ia dijejali makanan yang mengandung hawa panas luar biasa, yang membuat darahnya seolah-olah mendidih dan tubuhnya menjadi panas sekali. Kemudian, tanpa ia ketahui, ia minum obat dalam cawan emas, obat yang disangkanya arak biasa. Padahal obat itu adalah milik Bouw Lek Couwsu, obat yang mengandung hawa dingin luar biasa karena terbuat daripada darah ular salju. Dengan demikian, dua macam obat berbahaya, yang memiliki daya kekuatan luar biasa, panas dan dingin, bertemu di dalam tubuhnya, diserap oleh darahnya yang menjadi medan pertempuran antara dua kekuatan. Darahnya keracunan secara hebat sekali. Ketika akan roboh pingsan, dari mulut anak ini keluar bisikan.

   "Aku harus menolong kedua enciku (kakak perempuanku).. harus kutolong mereka.."

   Seperti kita ketahui atau dapat menduga, dua orang enci anak ini, Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui, telah lenyap ketika mereka sedang menonton pertandingan antara Siauw-bin Lo-mo melawan Kiang Liong. Pada saat Siauw-bin Lo-mo meledakkan senjata rahasianya yang mengeluarkan asap tebal, dua orang gadis itu secara tiba-tiba roboh tertotok.

   Mereka kaget dan heran sekali karena tidaklah sembarang orang mampu merobohkan mereka begitu mudah dengan serangan gelap dari belakang. Akan tetapi ketika mereka melihat bahwa yang mengempit tubuh mereka dengan kedua lengan adalah searang pendeta gundul jubah merah yang berkaki satu, tahulah mereka bahwa nyawa mereka terancam maut. Mereka terjatuh ke dalam tangan musuh besar mereka, Bouw Lek Couwsu yang sakti, yang telah membunuh ayah bunda dan kakek mereka"

   Ketika kakek itu tidak segera membunuh mereka dan menjebloskan mereka ke dalam kamar tahanan, dibelenggu dan dijaga oleh hwesio-hwesio jubah merah, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa nasib yang lebih mengerikan daripada maut sendiri yang tengah menanti mereka. Namun mereka tidak berdaya sama sekali, hanya mengambil keputusan bahwa setiap kesempatan akan mereka pergunakan untuk mengamuk dan mengadu nyawa.

   "Ke sini jalannya,"

   Po Leng In berbisik sambil menarik tangan Kiang Liong yang digandengnya. Mereka menyusup di antara pohon-pohon kecil, setengah merunduk dan mendaki naik lereng gunung itu.

   "Sekeliling puncak terjaga kuat, hanya bagian ini yang tidak terjaga karena sukar dilewati."

   Setelah berbisik demikian, karena muka mereka saling berdekatan, Po Leng In merangkul leher dan mencium.

   "Sudah, bukan saatnya bersenang-senang"

   Kiang Liong mencela sambil menjauhkan mukanya. Po Leng In menarik napas panjang.

   "Liong-koko..,"

   Bisiknya dengan suara mesra dan manja.

   "Aku.. aku cinta padamu.., selamanya aku tak ingin berpisah dari sampingmu.."

   "Huh, cukuplah. Kita bertemu dan bersenang-senang, cukup sudah. Kau berjanji untuk membantuku menolong Siang Kui, Siang Hui, dan Han Ki. Jalan hidup kita bersimpang, setelah selesai tugasku, kita berpisah sebagai sahabat."

   "Tapi.."

   "Cukup sudah. Tidak ada cinta di antara kita, tidak ada kecocokan dalam jalan hidup. Asal kelak kita tidak saling bertentangan dalam jalan hidup masing-masing, hatiku akan lega. Nah, ke mana sekarang jalannya?"

   Wajah yang cantik itu menjadi muram, mulutnya yang tadinya tersenyum bahagia itu kini menjadi pahit.

   "Aku tahu.. aku harus tahu diri.."

   Po Leng In menahan isak yang keluar dari dalam dada, kemudian menudingkan telunjuknya ke depan.

   "Lewat lereng berbatu-batu itu dan kita akan berada di wilayah kediaman mereka. Lihat itu Sungai Nu-kiang sudah tampak."

   Kiang Liong memandang ke kanan yang ditunjuk wanita itu. Di bawah sana tampak air sungai yang berliku-liku, berwarna putih dan di sebelah depan, masih remang-remang di senja hari itu, tampak puncak Kao-likung-san yang menjadi markas para pendeta jubah merah. Di sanalah kedua orang gadis dan adik mereka ditawan dan diam-diam Kiang Liong berdoa semoga tiga orang itu masih dalam keadaan selamat. Tiba-tiba Po Leng In memegang lengannya.

   "Sst, Koko, lihat.."

   Tempat mereka berdiri merupakan lereng yang tinggi dan dari situ mereka dapat melihat pemandangan terbuka di sebelah timur Gunung Kao-likung-san. Kiang Liong dapat melihat serombongan orang mendaki bukit itu, gerakan mereka cepat dan tangkas dan di tengah-tengah rombongan terdapat dua buah kereta tahanan yang didorong-dorong naik. Po Leng In mengeluarkan suara melengking tinggi, mengagetkan Kiang Liong. Pemuda itu memegang lengannya erat-erat dan membentak lirih.

   "Apa yang kau lakukan?"

   "Aku memberi peringatan kepada para penjaga dan semua yang berada di atas."

   "Eh, apa maksudmu? Bukankah hal itu membuat mereka siap dan akan menyukarkan aku menolong anak-anak mendiang Paman Bu Sin?"

   Po Leng In menggeleng kepalanya.

   "Sebaliknya malah. Jika para penjahat melihat rombongan orang asing itu tentu mereka akan turun dan semua perhatian akan dicurahkan terhadap rombongan itu. Di dalam keributan, apalagi di waktu malam, penjagaan di atas menjadi kurang diperhatikan dan kau dapat bergerak leluasa."

   Kiang Liong mengangguk-angguk dan melepaskan lengan gadis, itu.

   "Marilah kita lanjutkan perjalanan ke atas."

   Po Leng In menggeleng kepalanya.

   "Jangan, kau menanti di sini sampai gelap. Aku harus pergi dulu."

   Kembali tangan pemuda ini memegang lengannya.

   "Leng In, apa sebetulnya kehendakmu?"

   Pertanyaan ini disertai pandang mata penuh selidik dan curiga.

   "Aih, Liong-koko, kau masih belum percaya kepadaku, kepada orang lain, mungkin aku akan melakukan pengkhianatan atau aku akan membunuhnya, habis perkara. Akan tetapi tidak mungkin terhadapmu. Kau tahu, setelah aku mengeluarkan suaraku tadi, Guruku dan yang lain-lain akan tahu bahwa aku telah datang. Kalau aku tidak lekas-lekas menemui mereka, apa kau kira mereka takkan menjadi curiga? Aku harus segera naik ke sana, dan akan kuusahakan agar mereka semua turun puncak menghadapi rombongan. Kalau sudah gelap, kau boleh merayap terus, melalui lereng berbatu itu. Kemudian setelah kau melihat bangunan-bangunan di puncak, carilah bangunan yang paling besar di tengah. Di sanalah dua orang gadis itu ditawan, sedangkan adik mereka itu ditawan dalam bangunan di samping kanannya, tempat tinggal Guruku. Kurasa, hanya penjaga-penjaga lemah saja yang akan menghalangimu."

   "Maafkanlah kecurigaanku tadi, Leng In. Baiklah aku menurut petunjukmu."

   Po Leng In tiba-tiba merangkulnya.

   "Koko, kau.. kau takkan melupakan Po Leng In, bukan..?"

   Kiang Liong menggeleng kepalanya, akan tetapi lalu menyambung lirih.

   "Aku akan tetap mengenangmu sebagai sahabat, kecuali.. kecuali kalau kelak kita saling jumpa dalam keadaan lain. Kalau jalan kita bersimpang, terpaksa aku menentang kau dan Gurumu."

   Po Leng In terisak, melepaskan rangkulannya lalu lari ke depan, menuju ke puncak.

   "Gadis yang hebat,"

   Kiang Liong berkata seorang diri.

   "sayang terjerumus menjadi murid iblis betina itu."

   Ia duduk terlindung pohon-pohon kecil dan dari tempat ia duduk, ia dapat memandang ke bawah, ke sebelah timur. Dari tempat ia berada, ia tak dapat melihat siapa adanya rombongan orang yang gerakannya tangkas itu, juga tidak tahu siapa yang berada di dalam dua buah kerangkeng tahanan. Akan tetapi ia mengenal kakek yang kurus, yang berjalan di depan rombongan itu. Kakek itu menggendong bambu di punggung, pinggangnya dilingkari dompet-dompet tempat senjata-senjata rahasianya yang aneh. Kakek itu adalah Siauw-bin Lo-mo. Teringat akan ini, Kiang Liong terkejut dan ia mengerahkan ketajaman pandang matanya untuk menembus cuaca senja yang remang-remang untuk melihat lebih jelas siapa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu.

   Tidak tampak jelas, namun hatinya berdebar. Siapa mereka? Ada dua orang dalam dua buah kerangkeng itu. Kiang Liong tak dapat menduga bahwa yang berada di dalam kereta kerangkeng itu, yang seorang adalah Mutiara Hitam. Memang, Kwi Lan dan Yu Siang Ki yang berada di dalam kereta kerangkeng itu. Rombongan itu adalah orang-orang Thian-liong-pang yang dipimpin oleh Cap-ji-liong. Setelah mereka ini herhasil menawan Yu Siang Ki dan Kwi Lan, mereka lalu melanjutkan perjalanan seperti yang telah diperintahkan oleh Siauw-bin Lo-mo. Ke Gunung Kao-likung-san. Di kaki gunung ini Siauw-bin Lomo telah menanti dan betul saja seperti dugaan Ma Kiu dan adik-adiknya, kakek ini menjadi gembira sekali melihat dua orang tawanan itu.

   

Suling Emas Eps 11 Cinta Bernoda Darah Eps 30 Suling Emas Eps 22

Cari Blog Ini