Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 24


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 24



Kalau ia tidak melawan ia hanya akan luka ringan oleh hawa dingin ini yang biarpun kuat, namun tidak ada pendorongnya, mengingat Han Ki belum pandai menggunakan hawa ini dan dalam keadaan tertotok pula. Akan tetapi begitu ia melawan, ia yang tadi dalam keadaan kosong terpukul oleh pengerahan tenaganya sendiri membuat ia pening dan hampir pingsan. Bukan itu saja akibatnya, bahkan pengerahan hawa saktinya itu melalui jarum menjalar kedalam tubuh Han Ki dan seakan-akan merupakan bantuan yang tak disangka-sangka oleh anak ini. Han Ki sedang berusaha mengerahkan tenaga untuk menguasai peperangan hawa di dalam pusar. Kini, tiba-tiba hawa panas memasuki tubuhnya dan tenaga ini amat kuat sehingga mendadak menerobos jalan darahnya, melenyapkan pengaruh totokan dan membuatnya dapat bergerak lagi. Akan tetapi, pengaruh dua hawa yang berlainan tadi masih membuat ia pening dan seperti mabok.

   Betapapun juga, karena dia masih kanak-kanak dan berdarah bersih, ia lebih dulu sadar daripada Siang-mou Sin-ni dan anak kecil ini berhasil membunuh musuh besarnya dengan jarum Si Iblis Betina itu sendiri. Namun karena Siang-mou Sin-ni lihai luar biasa, biarpun sudah tertembus jarum jantungnya, pukulan jari-jari tangannya masih mampu mematahkan beberapa tulang iga anak itu. Sunyi di dalam pondok itu. Hawa pagi yang sejuk menerobos masuk diantar angin yang menggerakkan ujung atap daun di atas jendela yang terbuka. Suara burung berkicau di antara dahan-dahan pohon yang tadinya riang gembira, kini seolah-olah menjadi tangis duka, agaknya menangisi kelakuan manusia yang saling menyakiti dan saling membunuh tanpa sebab yang penting. Sinar matahari pagi yang tadinya menerobos masuk, melalui jendela menjadi agak suram mengurangi seri wajah bumi yang tadinya cerah.

   Akan tetapi, lengking maut yang tadi keluar dari kerongkongan Siang-mou Sin-ni dalam kemarahan, kesakitan dan pergulatan melawan maut, agaknya bukan tidak ada yang mendengar sama sekali. Kecuali burung-burung dan binatang-binatang hutan yang mendengarnya, juga terdengar oleh seorang kakek tua renta yang berjalan perlahan di dalam hutan. Kini kakek tua renta yang berpakaian serba putih bersih dan sederhana, berjenggot dan berambut panjang juga sudah putih semua dan halus seperti sutera, masih kelihatan berjalan, melangkah seenaknya. Akan tetapi yang hebat, biarpun ia kelihatan melangkah biasa, tubuhnya berkelebat laksana burung terbang saja dalam waktu singkat telah memasuki pondok yang sunyi itu. Sejenak kakek itu berdiri memandang mayat Siang-mou Sin-ni dan tubuh Han Ki yang keduanya menggeletak tak bergerak. Kemudian kakek ini menarik napas panjang, berdongak dan mengelus jenggot putihnya sambil berbisik halus.

   "Aahhhhh.. yang pintar maupun yang bodoh, yang kaya atau yang miskin, yang menang maupun yang kalah, akan berakhir dalam keadaan yang sama. Mati. Kehidupan apakah yang takkan disusul kematian? Semua orang tahu akan saat terakhir baginya yang pasti datang menjemputnya, akan tetapi.. mengapa selagi hidup banyak tingkah, tidak mengisi dengan hal yang berguna, baik, bagi orang lain maupun bagi diri sendiri? Manusia.."

   Kakek tua renta itu maju, membungkuk dan mengangkat tubuh Han Ki, memeriksanya sebentar lalu memondongnya keluar dari pondok. Ia masih melangkah biasa, namun kini lebih cepat lagi daripada tadi, pergi menghilang ke dalam rimba. Dilihat dari belakang, tampak sebuah alat musik yang-kim butut tergantung di punggungnya.

   Kakek ini bukanlah manusia biasa. Jarang sekali ada manusia dapat bertemu dengan kakek ini. Dia bukan lain adalah Bu Kek Siansu. Kakek sakti dan dianggap manusia dewa oleh dunia persilatan, yang saking tuanya tidak ada lagi yang dapat menaksir berapa usianya. Kalau Tuhan menghendaki, maka pagi hari itu Han Ki dapat tertolong oleh kakek sakti ini, seperti ayahnya pada belasan tahun yang lalu juga ditolong Bu Kek Siansu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Hanya bedanya, kalau mendiang Kam Bu Sin hanya menerima sedikit petunjuk dari kakek ini yang membuat dia menjadi seorahg pendekar, adalah Kam Han Ki dibawa terus oleh Bu Kek Siansu dan sampai belasan tahun tidak seorang pun manusia tahu ke mana anak ini dibawa pergi. Maka dalam cerita ini, kita tidak akan berjumpa kembali dengan Kam Han Ki yang kelak akan muncul di dalam cerita lain.

   Beberapa pekan kemudian, mayat Siang-mou Sin-ni ditemukan beberapa orang tukang kayu yang kebetulan sampal di puncak Tai-liang-san, dan mereka itu segera mengubur mayat yang tinggal tulang-tulang itu. Siang-mou Sin-ni lenyap dari dunia persilatan tanpa ada yang mengetahui ke mana perginya dan di mana tempat kuburnya.

   Kota Lok-yang adalah sebuah kota yang besar dan ramai, terletak di sebelah barat kota raja Kerajaan Sung. Selain menjadi kota indah yang banyak dikunjungi pelancong dan pelajar dari daerah-daerah yang ingin memperdalam ilmu kesusasteraan di kota ini, juga Lokyang ramai dikunjungi pedagang. Bahkan di kota ini banyak terdapat pengunjung dari utara, yaitu bangsa-bangsa Khitan, Mongol, dan lain-lain yang datang untuk berdagang kulit dan bulu dan berbelanja kebutuhan-kebutuhan hidup yang tak dapat mereka temukan di utara. Ada pula yang datang untuk mengunjungi kota basar ini yang namanya sudah terkenal sampai ke pedalaman di utara. Tentu saja bangsa Khitan yang paling banyak datang berkunjung, karena memang pada waktu itu, Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan

   Akan tetapi pada pagi hari itu, penduduk kota Lok-yang dibikin kagum oleh sepasang orang muda yang berpakaian serba indah gemerlapan, menunggang dua ekor kuda yang besar dan diberi pakaian indah pula, dikawal oleh dua losin tentara Khitan, Si Pemuda berusia sembilan belas tahun, amat tampan dan gagah, alisnya tebal hitam, pandang matanya tajam berkilat, senyumnya manis akan tetapi penuh wibawa, pakaiannya seperti seorang panglima muda dengan pedang panjang berukir indah tergantung di pinggang. Topinya dihias naga emas berkliauan dan anehnya, di pinggang pemuda ini terselip sebatang suling. Adapun dara remaja yang menunggang kuda di sebelahnya amatlah menarik perhatian orang saking cantik jelitanya. Wajahnya khas orang Khitan, dengan sepasang mata lebar, senyum terbuka dan anting-antingnya besar, manis bukan main. Pinggangnya ramping, tubuhnya padat berisi dan dari cara ia menunggang kuda, jelas tampak bahwa gadis ini pun bukan orang sembarangan serta memiliki ketangkasan yang mengagumkan.

   Semua orang yang melihat sepasang orang muda ini bertanya-tanya dan menduga bahwa dua orang muda itu tentulah bangsawan-bangsawan tinggi di Kerajaan Khitan. Dugaan mereka itu memang tidak keliru, akan tetapi jarang di antara mereka dapat mengenal bahwa Si Pemuda itu bukan lain adalah Putera Mahkota Kerajaan Khitan, yaitu Pangeran Talibu. Adapun dara remaja berusia tujuh belas tahun yang amat cantik jelita itu adalah Puteri Mimi. Puteri dari Panglima Kayabu yang sudah dikenal sebagai adik kandung Sang Pangeran oleh seluruh rakyat Khitan. Semua orang Khitan tahu bahwa Putera Mahkota itu sesungguhnya adalah putera kandung Panglima Kayabu, atau kakak kandung Sang Puteri itu, yang semenjak berusia lima tahun diangkat putera oleh Sang Ratu.

   Akan tetapi semenjak beberapa pekan yang lalu Pangeran Talibu sendiri tidak mempunyai anggapan demikian. Ia telah mengetahui rahasia dirinya dan dengan hati girang kini ia memandang wajah Puteri Mimi yang cantik jelita, dengan pandang mata yang lain daripada biasanya. Sikapnya lebih mesra dan sungguhpun hal ini amat mengherankan hati Mimi, namun puteri itu pun menjadi gembira karena sesungguhnya ia amat mencinta kakak kandungnya yang menjadi pangeran mahkota ini. Talibu meninggalkan Khitan beberapa, hari setelah Suling Emas pergi. Keinginannya untuk pergi ke selatan dan mencari adik kembarnya tak dapat ditahan lagi oleh Ratu Yalina.

   Dan akhirnya berangkatlah pangeran ini bersama Mimi yang berkeras hendak ikut, dikawal oleh dua losin tentara pengawal pilihan. Ratu Yalina membolehkan puteranya pergi karena selain ia tahu akan kelihaian puteranya yang tentu dapat menjaga diri,juga karena kerajaannya bersahabat dengan Kerajaan Sung sehingga kiranya tidak ada bahaya mengancam keselamatan puteranya. Selain itu, Mimi sendiri juga seorang puteri yang memiliki kepandaian tinggi, ditambah dengan dua losin pengawal pilihan. Biarpun perjalanan Pangeran itu tidak resmi, akan tetapi di sepanjang jalan, mereka dielu-elukan oleh penduduk dan pembesar setempat yang mengenal mereka.

   Pagi hari itu, rombongan Pangeran Talibu tiba di kota Lok-yang. Pangeran itu bersama Puteri Mimi menahan kuda di depan sebuah losmen yang sudah dipesan lebih dulu oleh kusir pasukan pengawal. Beberapa orang pengawal membantu dua orang muda bangsawan itu menahan kuda mereka yang besar-besar. Dengan wajah gembira Talibu melompat turun. Matanya yang berpemandangan tajam itu melihat empat orang laki-laki berpakaian pengemis yang berteduh di bawah sebuah rumah butut di pinggir losmen. Seperti juga terdapat di lain-lain kota, di Lok-yang terdapat banyak rumah-rumah kecil butut di samping rumah-rumah besar dan megah, seperti rumah kecil dan busuk ini di sebelah kanan losmen yang besar. Talibu maklum bahwa empat orang pengemis itu bicara tentang dia. Mata mereka semua ditujukan kepadanya, bahkan seorang di antara mereka yang berjenggot menudingkan telunjuknya secara terang-terangan kepadanya. Talibu tersenyum ramah kepada mereka.

   Biarpun ia seorang Pangeran Khitan, namun ia banyak tahu akan kehidupan kang-ouw di selatan ini. Ibunya banyak bercerita tentang orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh di selatan yang akan ia temui di antara rombongan pengemis kotor, pendeta dan pelajar. Melihat gerak-gerik empat orang pengemis itu, Talibu dapat menduga bahwa mereka bukanlah pengemis-pengemis biasa. Akan tetapi ia heran melihat betapa pandang mata mereka itu mengeluarkan sinar kebencian atau kemarahan. Ketika senyumnya tidak dibalas, ia lalu tak mengacuhkan mereka, apalagi pada saat itu, Mimi sudah melompat turun pula dari atas kuda. Sambil bercakap-cakap dan tersenyum-senyum kedua orang muda bangsawan ini memasuki losmen, disambut oleh pemilik losmen dan anak buahnya.

   Pembesar di Lok-yang ketika mendengar akan kunjungan Putera Mahkota Khitan, menjadi kaget dan sibuk sekali, serta-merta mengirim undangan makan malam. Akan tetapi Talibu menolak dengan halus, mengirim pesan bahwa dia dan Puteri Mimi melakukan kunjungan tidak resmi, hanya ingin melancong dan karenanya minta supaya diperlakukan sebagai pelancong biasa, bukan sebagai tamu. Biarpun merasa tidak enak hati dan takut kalau-kalau terdengar oleh Kaisar dan mendapat teguran, namun para pembesar itu tidak dapat berbuat apa-apa, hanya diam-diam memperingatkan semua penduduk dan pedagang agar bersikap ramah dan hormat kepada tamu agung ini.

   Penyambutan penduduk dan pembesar Lok-yang ini membuat Talibu menjadi jengkel sekali. Ia ingin bebas, ingin merantau seperti burung di udara dalam usahanya mencari adik kembarnya. Ia ingin mencari adiknya dan menghadapi pengalaman-pengalaman tegang seperti yang sering ia dengar dari penuturan ibunya. Akan tetapi penyambutan dan sikap penduduk yang selalu membungkuk-bungkuk dan menghormatinya secara berlebih-lebihan itu membuat ia merasa tidak leluasa dan tidak enak. Malam itu juga ia memanggil komandan pengawalnya dan memberi perintah.

   "Mulai saat ini, aku tidak mau dikawal lagi. Aku akan melakukan perjalanan seorang diri dan besok pagi kalian harus mengawal Sang Puteri kembali ke Khitan."

   Tentu saja komandan. pengawal itu kaget sekali.

   "Akan tetapi Pangeran.."

   "Tidak ada tapi. Ini perintahku, mengerti? Mau membantah?"

   Komandan itu tentu saja tidak berani membantah, mengangguk-angguk lalu diperkenankan keluar untuk membubarkan pengawalan mulai saat itu juga. Talibu sama sekali tidak tahu bahwa perintahnya ini diam-diam terdengar oleh Puteri Mimi dari balik jendela ketika puteri ini hendak mengunjungi kamarnya. Puteri Mimi yang mendengar perintah ini terkejut, cepat kembali ke kamarnya dan termenung. Akan tetapi puteri yang remaja dan lincah ini lalu tersenyum dan mengangguk-angguk seorang diri, sudah mengambil keputusan sendiri. Malam hari itu juga Talibu sudah melepaskan pakaian pangerannya, mengenakan pakaian biasa, menyamar sebagai seorang pelajar dan lolos dari dalam losmen, menggunakan Ilmu kepandaiannya melompat keluar dari jendela dan pergl melalui genteng rumah. Pada keesokan harinya, para pengawal tidak saja kehilangan Sang Pangeran, bahkan dengan kaget mereka tidak lagi melihat adanya Puteri Mimi yang sudah lenyap pula dari dalam kamarnya.

   Ketika memeriksa ke seluruh kota, sama sekali tidak ada jejak Sang Puteri. Tentu saja para pengawal menjadi bingung dan gelisah, akan tetapi mereka tak dapat berbuat lain kecuali berusaha mencari. Komandan pengawal sudah cepat menyuruh dua orang anak buahnya kembali ke Khitan menyampaikan laporan tentang hilangnya Puteri Mimi dan tentang perintah Sang Pangeran yang melarang mereka mengawal karena Sang Pangeran berkenan melakukan perjalanan seorang diri. Talibu adalah seorang pemuda yang amat berani dan ilmu kepandaiannya bukan lemah. Ia menerima gemblengan langsung dari ibunya sendiri, yaitu Ratu Yalina yang di waktu mudanya mewarisi ilmu kesaktian yang amat rahasia, simpanan tokoh pendiri Beng-kauw yaitu ilmu silat yang hanya terdiri dari tiga belas jurus, bernama Cap-sha Sin-kun (Kepalan Sakti Tiga Belas Jurus).

   Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi kalau Ratu Yalina yang mainkan, kiranya tokoh-tokoh kang-ouw jarang yang akan dapat menandinginya. Talibu tentu saja tidak sematang dan sekuat ibunya, namun dengan ilmu ini ia pun menjadi orang muda paling lihai di seluruh kerajaan ibunya. Dengan bekal ilmu kepandaiannya, kini pemuda bangsawan yang merupakan orang paling penting sesudah ratu ini sekarang melakukan perjalanan seorang diri, diam-diam meninggalkan losmen, lolos dengan pakaian seorang pelajar. Ketika tubuhnya berkelebat keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, karena ia bermaksud pergi ke kota raja yang berada di sebelah timur Lok-yang, ia melihat berkelebatnya bayangan beberapa sosok tubuh di sebelah belakangnya. Talibu boleh jadi gagah perkasa, namun ia kurang pengalaman dan tidak mengenal keadaan dunia kang-ouw.

   Maka ia tidak menaruh curiga dan dengan lapang ia melanjutkan perjalanan keluar dari kota Lok-yang. Malam itu amat indah dengan bulan bersinar penuh tanpa gangguan awan. Ia kini tidak lari lagi melainkan berlenggang seenaknya melalui jalan yang sunyi di tepi sawah ladang. Suara banyak katak membentuk perpaduan musik yang indah dan amat menarik hatinya. Sambil tersenyum-senyum Pangeran ini berjalan, pertama kali selama hidupnya merasa sebagai seorang yang benar-benar bebas, tidak terikat oleh segala macam peraturan, tidak terganggu oleh hadirnya para pengawal. Ia pada saat itu merasa benar-benar sebagai seorang pendekar muda perantau seperti yang sering ia dengar didongengkan ibunya. Sambil tersenyum ia meraba gagang pedangnya.

   "Berhenti.."

   Bentakan ini membuat Talibu menahan kaki dan memasang kuda-kuda. Ia dapat mencium bahaya, apalagi ketika ia mengenal empat orang berpakaian pengemis yang pagi hari tadi memandangnya dengan pandang mata penuh kemarahan ketika ia turun dari atas kudanya, di depan losmen. Kini empat orang pengemis yang berpakaian tambal-tambalan namun bersih ini berdiri menghadapinya dengan sikap mengancam. Namun Talibu memiliki keberanian yang luar biasa. Tidak percuma ia menjadi putera Ratu Yalina yang di waktu mudanya merupakan seorang wanita seperti naga betina yang tak pernah mengenal takut"

   Ia bersikap tenang, namun sedikit pun tidak merasa takut. Bahkan bibirnya yang merah itu tersenyum ketika ia bertanya.

   "Kalian ini siapakah? Apakah golongan orang gagah dari kai-pang? Dan apa kehendak kalian malam-malam mengganggu perjalanan orang?"

   "Menyerahlah menjadi tawanan kami dan kami takkan menggunakan kekerasan."

   Kata seorang di antara empat pengemis ini, yang berjenggot panjang.

   "Eh-eh, apakah kalian tidak salah mengenal orang? Aku adalah seorang pelajar yang melakukan perantauan, sama sekali tidak pernah mempunyai permusuhan dengan orang lain, apalagi dengan golongan kai-pang. Mengapa tanpa sebab kalian hendak menawan aku?"

   "Harap kau tidak banyak membantah. Kami tahu bahwa kau adalah Pangeran Mahkota dari Khitan."

   Kata Si Jenggot Panjang. Talibu membusungkan dadanya.

   "Kalau sudah tahu aku Pangeran Mahkota Khitan, mengapa menggangguku? Kerajaan Khitan bersahabat dengan negara ini dan tak tahukah kalian bahwa jika kalian menggangguku maka hal ini bukan hanya membikin marah Negara Khitan, bahkan juga negara kalian sendiri? Apakah kalian ini pengkhianat-pengkhianat kerajaan yang memusuhi kerajaan?"

   Sebagai Putera Mahkota Khitan, tentu saja Talibu maklum akan keadaan kedua kerajaan itu. Ucapannya yang tepat dan bengis membuat empat orang pengemis itu berubah. Akan tetapi kelirulah kalau Talibu mengira bahwa ucapannya akan mengundurkan mereka. Tidak sama sekali, mereka itu malah maju mengurung dan Si Jenggot berkata.

   "Kami hanya menjalankan perintah. Harap Sang Pangeran suka menyerah saja"

   "Hemm, penjahat-penjahat rendah. Kalian kira aku Talibu takut menghadapi empat ekor tikus seperti kalian?"

   Empat orang pengemis ini menubruk maju, akan tetapi mereka disambut tendangan dan pukulan tangan yang membuat mereka roboh terguling-guling. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian akan tetapi begitu Talibu menggerakkan kaki tangannya, mereka sudah roboh jatuh bangun. Hal ini adalah karena empat orang pengemis baju bersih ini sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran bangsa Khitan yang mereka anggap sebagai bangsa kasar, akan dapat bergerak sebagai seorang ahli silat pilihan"

   Mereka menjadi marah dan kini mereka sudah mencabut keluar senjata mereka, yaitu tongkat berbentuk ular yang berwarna hitam. Senjata ini menandakan bahwa mereka ini adalah tokoh-tokoh perkumpulan pengemis Hek-coa Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Ular Hitam).

   "Bagus, kalian hendak mencoba kelihaianku. Majulah"

   Pangeran Talibu mencabut pedangnya dan tampak sinar gemerlapan ketika pedang pusaka yang panjang itu tertimpa sinar bulan purnama. Pedang itu mengeluarkan cahaya kemerahan. Itu bukanlah pedang biasa, melainkan sebuah pedang pusaka dari Kerajaan Khitan. Begitu empat orang pengeroyoknya menyerbu, Talibu menggerakkan pedangnya membabat. Sinar merah menyilaukan mata dan angin sambaran pedang membuat dua orang pengemis cepat menarik kembali tongkatnya. Akan tetapi dua pengemis yang sudah terlanjur menyerang tak dapat menghindarkan bentrokan senjata.

   "Trang.. trang.."

   Dua orang pengemis ini mengeluarkan seruan kaget dan melompat mundur, tongkat mereka tinggal sepotong karena tengahnya terbabat buntung oleh pedang bersinar merah.

   Marahlah mereka dan segera mereka mengurung dari empat penjuru, kini menjaga agar tongkat mereka tidak bentrok lagi dengan pedang Si Pangeran. Biarpun tongkat mereka tinggal sepotong, namun dua orang pengemis itu masih lihai gerakannya. Talibu mewarisi ilmu dari ibunya sendiri, karena ilmunya hebat. Sayang sekali bahwa pemuda ini kurang pengalaman. Kalau ia sudah matang ilmunya, agaknya dalam sepuluh gebrakan saja ia akan mampu merobohkan empat orang lawannya tanpa pedang. Sesungguhnya, ilmunya tangan kosong Cap-sha Sin-kun merupakan ilmu yang jarang bandingnya, akan tetapi pemuda yang belum berpengalaman ini merasa ngeri untuk menghadapi pengeroyokan empat lawan bersenjata dengan tangan kosong.

   Justeru karena ia berpedang, maka ia malah tidak dapat merobohkan lawan dalam waktu singkat. Betapapun juga, karena dasar ilmu silatnya memang lebih tinggi, tenaga sinkangnya lebih kuat dan ditambah pedangnya adalah benda pusaka yang ampuh, tidak sampai empat puluh jurus kemudian, empat orang pengemis itu sudah roboh terluka semua. Akan tetapi Pangeran itu bukanlah seorang kejam. Hal ini terbukti bahwa empat orang pengemis itu hanya terluka goresan pedang di pundak, lengan atau paha saja. Tentu saja kalau ia mau, luka di pundak bisa menjadi pemenggalan leher, luka di lengan bisa menjadi tusukan di dada, dan luka di paha bisa menjadi babatan di pinggang. Sambil melintangkan pedang di depan dadanya, Pangeran yang perkasa itu membentak.

   "Sekarang mengakulah, siapa pimpinan kalian yang menyuruh kalian mencoba untuk menangkap aku?"

   "Kami tidak berani mengaku"

   Kata seorang di antara mereka dan seterusnya mereka membungkam tidak berani bicara lagi hanya mengeluh karena kesakitan.

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu dari tempat gelap muncullah sesosok bayangan. Ketika Talibu memandang, ternyata di depannya telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar bertubuh ramping padat, rambutnya panjang dan ketawanya seperti wanita bahkan kemudian orang itu lalu menyanyi-nyanyi dengan suara kecil merdu. Orang ini bukan lain adalah Bu-tek Siu-lam. Akan tetapi Talibu tidak mengenal orang aneh ini maka ia lalu bertanya dengan hormat karena munculnya orang aneh ini menimbulkan dugaan bahwa dia tentu bukan orang sembarangan.

   "Maaf, siapakah Tuan dan mengapa datang ke tempat ini menjumpai saya?"

   "Ha-ha-hi-hi-hik. Pemuda tampan, Pangeran Mahkota Khitan. Aku disebut Bu-tek Siu-lam dan Pangeran menjadi tamu agung. Harap saja kau suka ikut bersamaku. Maafkan sikap jembel-jembel yang tidak sopan ini, dan saya persilakan Pangeran menjadi tamu kami secara terhormat."

   Talibu biarpun belum banyak pengalaman, namun dapat mengenal orang pandai. Menurut ibunya, orang-orang sakti amat banyak di dunia kang-ouw dan sikap mereka memang aneh-aneh. Orang ini sukar ditaksir, laki-laki atau wanita. Pakaiannya aneh dan jelas adalah pakaian pria, namun lagaknya amat genit, bicaranya seperti wanita dan suara serta ketawanya jelas suara wanita. Maka ia lalu menjura dengan hormat dan menjawab.

   "Saya memang Pangeran Mahkota Khitan, akan tetapi pada saat ini saya sedang merantau sebagai orang biasa. Saya tidak mempunyai hubungan dengan Tuan, maka harap Tuan jangan mengganggu dan maafkan penolakanku."

   "Hi-hik. Kalau para pembesar yang mengundang boleh saja Paduka menolak, akan tetapi Bu-tek Siu-Lam adalah seorang di antara Bu-tek Ngo-sian, dan dalam hal ini undangan bukan hanya datang dari saya pribadi, melainkan juga dari Bouw Lek Couwsu pemimpin bangsa Hsi-hsia. Kami perlu memperundingkan sesuatu yang amat penting dengan Paduka. Apakah Paduka tidak memandang mata kepada kami?"

   Talibu seorang pemuda cerdik. Mendengar bahwa orang aneh ini sekutu pimpinan bangsa Hsi-hsia, ia terkejut sekali. Dan pada saat itu ia pun sudah melihat munculnya puluhan orang di sekitar tempat itu, sebagian besar hwesio-hwesio berjubah merah. Teringatlah ia akan cerita tentang penumpasan Beng-kauw dan ia maklum bahwa melawan pun akan sia-sia belaka. Maka ia lalu menjawab.

   "Undangan resmi dari bangsa Hsi-hsia untuk Pangeran Mahkota bangsa Khitan tentu saja tak dapat saya tolak. Saya pun tidak percaya bahwa bangsa Hsi-hsia yang gagah akan menyalahgunakan undangan ini. Marilah, Tuan, saya menerima undangan terhormat itu."

   Kembali Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh, kemudian dengan lagak genit ia mempersilakan Pangeran itu berjalan di sampingnya. Pergilah mereka ke barat dan mendaki sebuah bukit. Menjelang pagi barulah mereka tiba di puncak bukit dan ternyata di situ terdapat bangunan-bangunan darurat dari bambu yang dijadikan tempat persembunyian Bouw Lek Couwsu dan anak buahnya. Pangeran Talibu disambut dengan penuh kehormatan oleh Bouw Lek Couwsu dan murid-muridnya. Hwesio tinggi besar berkaki buntung ini menjura penuh hormat sambil menyambut di depan pintu.

   "Selamat datang, Pangeran Mahkota Talibu dari Khitan. Kunjungan Paduka Pangeran ini merupakan sebuah kehormatan besar sekali dan membuktikan bahwa bangsa Khitan adalah bangsa yang besar dan mempunyai keinginan baik terhadap bangsa Hsi-hsia. Juga membuktikan kesetiaan orang gagah Bu-tek Siu-lam terhadap kami, ha-ha-ha"

   Pangeran Talibu balas memberi hormat dan berkata, suaranya tenang dan sikapnya agung.

   "Sudah lama kami mendengar akan bangkitnya bangsa Hsi-hsia yang dimulai dari Tibet dan kami merasa kagum bahwa bangsa yang kecil itu dapat bangkit menjadi bangsa yang kuat. Akan tetapi saya tidak melihat hubungan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi Losuhu untuk mengundang saya menjadi tamu pimpinan bangsa Hsi-hsia." Sebagai putera kandung seorang panglima besar, tentu saja Pangeran Talibu ini pandai pula dalam hal siasat, dan diplomasi. Di dalam kata-katanya ia memuji-muji bangsa Hsi-hsia, akan tetapi di lain pihak ia pun membanting dan menganggap bangsa Hsi-hsia sebuah bangsa yang kecil dan tidak ada hubungannya dengan Khitan yang besar.

   "Ha-ha-ha"

   Pangeran Talibu dari Khitan benar tinggi hati. Justeru pertemuan antara kita inilah yang menjadi jembatan penyambung hubungan itu. Pangeran Talibu, silakan duduk dan mari kita berunding seperti dua pihak pimpinan bangsa yang besar dan yang memiliki kepentingan bersama."

   Talibu mengikuti Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam memasuki ruangan besar dan duduk menghadapi meja yang bulat telur dan panjang. Pelayan-pelayan wanita muda dan cantik segera datang membawa arak hangat dan hidangan.

   Para pelayan ini amat menghormati Bouw Lek Couwsu dan keadaan di situ tiada ubahnya dengan ruangan istana raja. Diam-diaLm Talibu merasa heran mengapa pendeta ini bermata demikian genit penuh nafsu dan mengapa pula seorang pendeta, biarpun dia pemimpin suku bangsa Hsi-hsia, mempunyai pelayan-pelayan wanita yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sebagai seorang tamu yang tahu akan tata susila dan peraturan istana, ia diam saja, melirik pun tidak untuk menyembunyikan perasaan herannya. Namun diam-diam ia merasa bahwa ia berada di dalam keadaan bahaya, maka ia bersikap hati-hati. Setelah mereka makan minum, ditemani Bu-tek Siu-lam yang menjadi makin genit sikapnya terhadap dirinya, Talibu tak sabar lagi lalu bertanya,

   "Losuhu, kalau saya tidak keliru menduga, Losuhu ini tentulah Bouw Lek Couwsu, pimpinan para hwesio Tibet yang menggerakkan orang-orang Hsi-hsia, yang terkenal sampai ke Khitan."

   "Pandang mata Pangeran Talibu amat tajam dan dugaan itu tepat sekali. Pinceng adalah Bouw Lek Couwsu yang merasa tidak tega menyaksikan kemiskinan bangsa Hsi-hsia, maka sengaja memimpin mereka untuk memperjuangkan perbaikan nasib mereka."

   Pangeran Talibu mengangguk-angguk.

   "Setelah saya memenuhi undangan Losuhu yang disampaikan oleh Bu-tek Siu-lam ini, harap Lo-suhu suka memberi penjelasan, apakah yang akan Losuhu bicarakan dengan saya."

   "Ha-ha-ha. Pangeran Mahkota Khitan sungguh gagah dan bicara seperti laki-laki."

   Pendeta ini memberi isyarat dan semua pelayan lalu mengundurkan diri, meninggalkan mereka bertiga di dalam ruangan itu. Setelah mengisi cawan arak tamunya dan mempersilakan minum, Bouw Lek Couwsu berkata.

   "Pangeran Talibu, memang tepat. Urusan harus diutamakan, kesenangan baru nanti menyusul, kita rayakan. Terus terang saja, kami mengundang Paduka Pangeran dengan maksud untuk mengikat tali persahabatan dan membicarakan urusan antara bangsa kita dalam menghadapi Kerajaan Sung."

   Talibu cukup cerdik. Segera ia dapat menduga sedalamnya apa yang terkandung di hati pendeta dengan senyum yang memikat dan pandang matanya yang tajam itu. Ia sudah mendengar akan serbuan Hsi-hsia ke Beng-kauw, sudah mendengar pula bahwa sejak lama bangsa Hsi-hsia mulai dengan gangguan-gangguan di tapal batas sebelah barat Kerajaan Sung.

   Jelas bahwa bangsa ini tidak mempunyai maksud baik terhadap Sung dan sekarang pendeta ini bicara tentang persahabatan. Tentu saja tidak bisa lain daripada maksud mengulurkan tangan, mengajak bersekutu dengan bangsa Khitan untuk memusuhi Sung. Padahal pada waktu itu, Kerajaan Khitan bersahabat dengan Kerajaan Sung dan betapa pun bangsanya banyak yang tidak suka kepada Kerajaan Sung, namun ibunya sebagai Ratu Khitan selalu mencegah bangsanya bermusuhan dengan Kerajaan Sung. Ia maklum bahwa tak mungkin ia dapat menerima persekutuan dengan Hsi-hsia, apalagi atas nama bangsanya. Namun sebaliknya, biarpun ia dianggap tamu agung, namun ia telah berada di sarang Hsi-hsia, sehingga penolakannya akan membahayakan keselamatannya.

   "Membicarakan urusan kepentingan bangsa bukanlah soal remeh, Couwsu. Sungguhpun saya Putera Mahkota Khitan, namun saya tidak mempunyai kekuasaan untuk memutuskan urusan pemerintahan. Apalagi pada saat ini saya hanya sebagai seorang pelancong bagaimana saya dapat merundingkan urusan besar ini? Setidaknya haruslah seorang utusan khusus dari Sang Ratu di Khitan."

   "Hi-hi-hik. Pangeran Mahkota Khitan yang tampan gagah kenapa seperti seorang gadis kemalu-maluan saja? Mengapa harus bersembunyi di bawah jubah Sang Ratu? Mengecewakan betul"

   Kata Bu-tek Siu-lam sambil terkekeh. Talibu bangkit berdiri, jari tangan kanan meraba gagang pedang, sikapnya menantang.

   "Apakah ini sebuah penghinaan?"

   Bu-tek Siu-lam terkekeh makin geli dan Bouw Lek Couwsu segera bangkit lalu melerai.

   "Ah, Paduka Pangeran mengapa belum dapat mengenal watak Bu-tek Siu-lam? Sahabatku ini sama sekali tidak menghina, akan tetapi suka bicara secara terus terang dan sejujurnya. Apa yang dikatakan memang tidaklah terlalu salah. Paduka adalah seorang Pangeran Mahkota, demi untuk kebaikan bangsa tentu saja berhak mengambil keputusan. Secara kebetulan kita bertemu di Lok-yang, bukankah ini sudah menjadi kehendak Thian bahwa di antara kedua bangsa kita memang sudah ditakdirkan menjadi sekutu?"

   Pangeran Talibu duduk kembali dan menarik napas panjang.

   "Hemm, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang mencinta bangsanya, tentu saja saya selalu siap bicara tentang kebaikan bangsaku. Bouw Lek Couwsu, bicaralah agar dapat kupertimbangkan apakah aku berhak memutuskan atau tidak."

   Bouw Lek Couwsu tertawa lega dan tidak mempedulikan Bu-tek Siu-lam yang tertawa ha-ha-hi-hi.

   "Bagus, memang inilah sikap yang pinceng harapkan dari Paduka sebagai Pangeran Mahkota calon raja besar bangsa Khitan. Bangsa Hsi-hsia dan bangsa Khitan adalah dua bangsa yang besar gagah perkasa, mempunyai kepentingan yang sama dan musuh yang sama pula, yaitu Kerajaan Sung yang selalu menganggap kami sebagai bangsa biadab. Kami bangsa biadab? Huh, bangsa Han yang lemah itu harus dihajar. Kerajaan Sung harus dirampas dan kami bangsa Hsi-hsia ingin membagi keuntungannya dengan bangsa Khitan. Dalam keadaan bangsa Sung lemah sekarang ini, kalau Khitan bergerak dari utara dan Hsi-hsia menyerbu dari barat, menaklukkan Sung sama mudahnya dengan membalik telapak tangan saja. Kami mengulurkan tangan kepada bangsa Khitan untuk bekerja sama dan menjadi bangsa besar bersama yang memiliki wilayah kekuasaan sampai ke tepi laut timur dan selatan"

   "Agaknya Couwsu lupa bahwa biarpun Kaisarnya lemah, Sung masih mempunyai banyak panglima yang pandai dan pasukan-pasukan yang kuat."

   "Ha-ha-ha. Hal ini sudah pinceng selidiki, akan tetapi jangan Paduka khawatir. Pinceng telah mempunyai hubungan dengan banyak pejabat dan panglima di kota raja Kerajaan Sung. Mereka akan mengadakan pergerakan dari dalam dan membantu kita pada saat kita bergerak menyerbu. Juga banyak sekali orang gagah di dunia kang-ouw yang menjadi anak buah Bu-tek Ngo-sian siap membantu kita."

   "Bu-tek Ngo-sian? Siapakah mereka?"

   Pangeran Talibu banyak mendengar dari ibunya tentang orang-orang sakti di dunia kang-ouw, bahkan pernah mendengar dari ibunya tentang Thian-te Liok-koai yang sudah dihancurkan oleh Suling Emas, ayah kandungnya itu, dan orang-orang gagah lainnya. Akan tetapi belum pernah ia mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian ini.

   "He-heh-heh, tidak heran kalau Paduka Pangeran yang tampan dan gagah belum mendengar tentang Bu-tek Ngo-sian. Aku Bu-tek Siu-lam adalah orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Seluruh kai-pang menjadi anak buahku dan mereka merupakan pasukan-pasukan yang amat kuat. Orang ke dua adalah Thai-lek Kauw-ong, raja monyet raksasa itu. Ke tiga adalah Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong yang tentu Paduka sudah kenal karena banyak orang Khitan menjadi anak buahnya pula di samping orang-orang Mongol. Ke empat adalah Siauw-bin Lo-mo yang menguasai semua perampok dan bajak, sedangkan ke lima adalah Sian-toanio, iblis betina yang aneh dan memiliki kepandaian mengerikan."

   "Apa yang dituturkan Bu-tek Siu-lam tentu sudah jelas betapa kuatnya kedudukan kita, Pangeran Talibu. Karena itu, pinceng harap Paduka tidak ragu-ragu lagi untuk membuat persekutuan dengan kami."

   "Bouw Lek Couwsu, aku hanya seorang Pangeran dan urusan amat penting ini tidak mungkin dapat kuputuskan sendiri. Apakah yang harus kulakukan sekarang?"

   "Paduka menjadi tamu agung kami dan harap Paduka suka menulis surat tentang persekutuan ini kepada Sang Ratu di Khitan, membujuk agar Ratu Khitan menyetujuinya."

   "Kalau Ibuku menolak..?"

   "Ha-ha-ha, tidak mungkin menolak melihat kemungkinan besar bagi Kerajaan Khitan terutama selama Paduka menjadi tamu agung kami.."

   Pada saat itu terdengar suara ribut-ribut di sebelah luar dan tak lama kemudian, seorang kakek kurus tua yang tertawa-tawa gembira melangkah masuk sambil menggiring lima orang gadis muda yang cantik-cantik. Begitu tiba di ruangan itu, Si Kakek tua mendorong mereka ke depan. Lima orang gadis cantik itu jatuh berlutut dan menundukkan muka menahan tangis. Mereka kelihatan bingung, sedih dan ketakutan. Namun harus diakui hahwa kedua orang gadis itu amat cantik jelita.

   "Bouw Lek Couwsu, aku datang untuk menebus kesalahanku dan membayar hutang kepadamu"

   Kakek itu berkata sambil berdiri tanpa memberi hormat.

   "Aku tidak berhasil menangkap kembali Mutiara Hitam, akan tetapi sebagai gantinya, lima orang gadis paling cantik yang kutemui di sepanjang perjalanan ke sini, kuhadiahkan kepadamu. Eh, Siu-lam si genit, kau sudah berada di sini? Bagus. Dan kudengar tadi kalian menjamu Pangeran Mahkota Khitan. Dia inikah orangnya? Ha-ha-ha, bagus, bagus. Wah, kebetulan sekali kalau begini. Untung aku membawa lima orang gadis cantik, Couwsu, kau menjamu tamu agung tanpa suguhan wanita cantik, sungguh kurang ramah"

   Melihat kedatangan Siauw-bin Lo-mo, hati Bouw Lek Couwsu girang. Memang ia membutuhkan sekali tenaga bantuan Bu-tek Ngo-sian, apalagi setelah ia kehilangan bantuan Siang-mou Sin-ni yang entah ke mana perginya itu. Ia tertawa bergelak.

   "Bagus, terima kasih, Siauw-bin Lomo. Pangeran Talibu, Paduka sebagai tamu kehormatan, silakan memilih di antara lima orang dara ini. Hayo kalian bangkit berdiri dan layani Pangeran Talibu"

   Perintahnya kepada lima orang gadis yang masih berlutut. Karena sudah mengalami siksaan apabila tidak menurut perintah Siauw-bin Lo-mo, lima orang gadis itu seperti kehilangan semangat untuk melawan lagi.

   Kini mendengar perintah pendeta tinggi besar yang kelihatan lebih galak daripada Siauw-bin Lo-mo yang menculik mereka, mereka makin takut dan cepat mereka bangkit berdiri. Wajah mereka yang cantik itu menjadi agak terang ketika mereka melihat siapa yang harus mereka layani. Kalau disuruh melayani seorang pemuda demikian tampan dan gagahnya, apalagi yang disebut Pangeran, kiranya tanpa dipaksa mereka akan sungkan, untuk menolak. Terutama sekali melihat bahwa ada kemungkinan mereka tidak terpilih oleh Si Pangeran sehingga harus melayani Siauw-bin Lo-mo atau Si Pendeta yang biarpun tampan akan tetapi sudah tua dan berkaki buntung, atau juga laki-laki tinggi yang memiliki wajah tampan akan tetapi aneh dengan dandanan seperti orang gila,

   Kini lima orang gadis itu seperti berlumba menghampiri Pangeran Talibu hendak merebut perhatiannya. Talibu hampir tak dapat mengendalikan kemarahan hatinya. Ketika ia tadi mendengar Bu-tek Siu-lam memperkenalkan Pak-sin-ong sebagai seorang di antara lima orang sakti yang membantu Bouw Lek Couwsu, ia sudah marah sekali. Tokoh jahat Pak-sin-ong itu adalah musuh besar ibunya, merupakan seorang pengkhianat Khitan, mana mungkin Khitan dapat bekerja sama dengannya? Akan tetapi ia masih dapat menahan perasaannya. Kini lima orang gadis itu berdiri dan menghampirinya dengan langkah lemas dan pandang mata penuh harap, bibir kepucatan dipaksa senyum.

   Ia merasa seolah-olah sebagai seekor kucing yang tertangkap, kini musuh-musuhnya melepas lima ekor anjing untuk menerkam dan mengeroyoknya. Ia memandang dan hatinya dipenuhi rasa iba. Lima orang gadis cantik itu sama sekali tidak menimbulkan benci di hatinya. Sebaliknya, mereka itu bukan lima ekor anjing ganas, melainkan lima ekor kelinci yang ketakutan dan hampir mati karena sedih. Pandang mata mereka membuat hatinya merasa tertusuk. Mereka pun menjadi korban kebiadaban orang-orang yang memusuhinya ini. Tak dapat pula ia menahan kemarahannya, dan ia segera bangkit berdiri, menggerakkan tangannya dengan halus sambil berkata.

   "Nona berlima saya bebaskan, silakan keluar dari sini dan pergi kembali ke rumah masing-masing."

   Lima orang gadis itu kelihatan bingung, saling pandang, meragu dan seperti tidak percaya kepada telinga mereka sendiri. Mereka melirik ke arah Siauw-bin Lo-mo yang masih duduk sambil tertawa. Melihat ini serentak timbul harapan mereka bahwa mereka benar-benar dibebaskan seperti yang dikatakan pemuda tampan itu. Otomatis mereka menjatuhkan diri berlutut menghadap Talibu, mengangguk-anggukkan kepala lalu bangkit dan tergesa-gesa mereka berjalan menuju pintu. Mendadak berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu-tek Siu-lam sudah meloncat melalui lima orang gadis itu, berdiri di tengah pintu mengembangkan kedua lengannya yang panjang sambil tertara-tawa.

   "Hi-hi-hik, Nona-nona manis mau ke mana? Kalau Pangeran Talibu tidak suka kepada kalian, masih ada aku dan yang lain-lain yang membutuhkan hiburan dan pelayanan kalian. Ha-ha, mari kembali dan duduk minum arak, temani kami Nona-nona cantik. Aku memilih yang dua ini."

   Sekali rangkul, ia telah menangkap dan memondong dua orang gadis, sambil tertawa-tawa ia menciumi muka mereka bergantian. Dua orang gadis yang usianya kurang lebih enam belas tahun itu menjadi pucat wajahnya dan tubuhnya menggigil ketakutan. Tiga yang lain juga menggigil dan dengan kaki lemas mereka digiring kembali ke meja oleh Bu-tek Siu-lam.

   "Tahan"

   Talibu membentak dengan suara marah sekali. Muak hatinya menyaksikan perbuatan Bu-tek Siu-lam dan hatinya penuh iba kepada lima orang gadis itu.

   "Bouw Lek Couwsu, engkau sudah menyerahkan gadis-gadis itu untuk melayaniku dan aku berhak melakukan apa saja terhadap mereka. Setelah kubebaskan dia, kenapa dihalangi? Apakah aku tidak dipandang sebelah mata di sini?"

   "Eh-eh, orang muda. Aku yang membawa datang anak-anak ini, dan hanya akulah yang berhak membebaskan mereka. Kenapa kau lancang hendak membebaskan mereka? Kau berani memandang rendah Siauw-bin Lo-mo?"

   Kakek kurus itu sudah bangkit berdiri sambil tertawa-tawa mengejek. Talibu marah sekali, akan tetapi ia tidak mempedulikan Siauw-bin Lo-mo, sebaliknya ia menghadapi Bouw Lek Couwsu dan berkata lagi suaranya keras dan marah.

   "Bouw Lek Couwsu, engkaulah tuan rumah di sini, maka aku tidak sudi melayani yang lain. Kau mau membebaskan lima orang wanita ini ataukah tidak?"

   Bouw Lek Couwsu tertawa dan sekali tangannya meraih, tiga orang wanita muda yang lain sudah ia tarik keras-keras ke arahnya. Tiga orang gadis itu menjerit lirih dan ketika dua tangan Bouw Lek Couwsu bergerak, seorang telah jatuh di atas pangkuannya, yang dua orang lagi ia peluk pinggang mereka dan ia dudukkan di kanan kirinya.

   "Pangeran Talibu, sebagai seorang tamu agung, engkau tak tahu sopan menolak hidanganku untuk menikmati wanita-wanita ini. Sebagai seorang tawanan, engkau sombong dan berani menjual lagak. Ha-ha-ha, apa kau kira pinceng tidak tahu isi hatimu? Engkau pura-pura bersikap baik dan bersahabat, padahal di dalam hatimu engkau benci kepada kami. Ujian dengan dara-dara ini membuka rahasiamu. Coba katakan, maukah engkau menulis surat kepada ibumu Ratu Khitan? Engkau belum memperlihatkan jasa sedikitpun juga, sudah hendak bersikap sebagai raja di sini. Ha-ha-ha. Coba jawab, maukah engkau menulis surat itu sekarang juga?"

   "Hi-hi-hik, Bouw Lek Couwsu seperti anak-anak saja. Tentu saja dia tidak mau. Ketika tadi aku menyebut nama Pak-sin-ong, apakah Couwsu tidak melihat perubahan mukanya? Sudah kuduga, Pangeran cilik ini takkan menurut kalau tidak dipaksa."

   Kata Bu-tek Siu-lam sambil membelai-belai tubuh dua orang dara yang dirangkulnya secara tak tahu malu.

   "Couwsu, serahkan saja bocah ini kepadaku. Mau dia mati? Atau setengah mati? Atau menangkapnya saja? Tanggung dalam berapa jurus ia akan bertekuk lutut di depanmu."

   Kata pula Siauw-bin Lo-mo yang rupa-rupanya amat bernafsu untuk mencari muka terhadap pimpinan bangsa Hsi-hsia ini dan untuk menebus kesalahannya telah bentrok dengan para hwesio jubah merah. Bouw Lek Couwsu hanya tersenyum lebar, matanya memandang tajam ke arah wajah Pangeran Talibu. Melihat betapa Talibu memandang Bu-tek Siulam yang membelai-belai dan meremas-remas tubuh dua orang gadis yang menggigil pucat dengan pandang mata penuh kebencian, tiba-tiba ia mendorong tiga orang gadis yang dirangkulnya sambil membentak,

   "Hayo kalian bertiga buka pakaian"

   Tiga orang gadis itu terkejut lalu menjatuhkan diri berlutut. Seorang di antara mereka berkata dengan suara gemetar,

   "Ampunkan kami.. ampunkan kami.."

   Sedangkan yang dua orang lainnya menangis.

   "

   Masih belum memenuhi perintah?"

   Bouw Lek Couwsu membentak lalu mengerling ke arah Talibu yang memandang ke arah tiga orang wanita itu dengan wajah berubah merah, kemudian ia tertawa, kedua lengannya yang besar berbulu menyambar ke depan, sepuluh jari tangannya mencengkeram dan merenggut. Terdengar suara "brett, brett, brett.."

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Di antara jerit lirih dan seluruh pakaian tiga orang gadis itu robek semua sehingga dalam sekejap mata mereka bertiga telah telanjang bulat.

   Mereka hanya dapat menangis dan berlutut, berusaha menutupi dada dengan kedua lengan. Bouw Lek Couwsu tertawa bergelak, memandang wajah Talibu yang menjadi pucat, kemudian dengan sengaja ia meraih dan merenggut tubuh tiga orang gadis yang sudah tak berpakaian lagi itu ke arahnya, dipangku dan dirangkul seperti tadi"

   Bu-tek Siu-lam tertawa ha-ha-hi-hi, dan terdengar pula suara pakaian cabik-cabik diseling jerit tangis dua orang gadis dalam pelukannya yang dalam waktu beberapa detik sudah telanjang pula seperti teman-teman senasib mereka.

   "Ha-ha-ha, bagaimana Pangeran Talibu? Maukah kau sekarang juga menulis surat itu? Kalau kau mau, biarlah pinceng mengalah dan rela memberikan tiga dara jelita ini kepadamu"

   Bouw Lek Couwsu berkata penuh ejekan.

   Pangeran Talibu maklum bahwa dia diuji secara hebat. Bouw Lek Couwsu sengaja melakukan semua itu untuk mengujinya, untuk melihat apakah dia dapat diajak bersekutu dan apakah dia dapat dipercaya. Akan tetapi darahnya bergolak mendidih saking marahnya. Ia maklum juga bahwa apa pun yang terjadi, sampai mati tak mungkin ia mau bersekutu dengan manusia-manusia macam ini, dan bahwa ibunya pun tak mungkin sudi bersekutu dengan bangsa Hsi-hsia untuk memusuhi Kerajaan Sung. Maka dengan kemarahan meluap ia lalu mencabut pedangnya dan membentak nyaring.

   "Jahanam berkedok pendeta"

   Siapa sudi mendengar omonganmu? Orang-orang macam kalian patut dibasmi"

   Ia menyerbu ke depan untuk menyerang Bouw Lek Couwsu. Akan tetapi tiba-tiba sebuah lengan kurus menyelonong dari samping, menyambar ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang. Sambaran tangan itu cepat sekali dan mendatangkan angin pukulan yang kuat. Talibu kaget, cepat menarik kembali pedangnya dan melompat ke samping sambil membalikkan tubuhnya. Kiranya Siauw-bin Lomo sudah berdiri di depannya, tertawa-tawa dan berkata.

   "Couwsu, apakah kau ingin dia mampus?"

   "Jangan, cukup asal kau tangkap dia Lo-mo."

   "Kau lihat aku menangkap tikus ini"

   Siauw-bin Lo-mo terkekeh dan tubuhnya menubruk maju. Pangeran Talibu tidak gentar biarpun ia dapat menduga akan kelihaian lawannya.

   Pedangnya berkelebat, memapaki datangnya tubuh lawan dengan tusukan kilat. Namun tubuh lawan
(Lanjut ke Jilid 24)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 24
yang kurus kering itu tiba-tiba meliuk ke kanan dan tangan yang berkuku panjang menyambar tangan kanannya, Talibu kaget dan cepat menarik pedang memutar pergelangan tangannya sehingga pedangnya berkelebat ke kanan menyambar leher Siauw-bin Lo-mo. Kakek ini tertawa menyembunyikan kekagetannya dan menundukkan kepala miringkan tubuh membiarkan pedang lewat di dekat leher. Diam-diam ia harus mengakui kelihaian Pangeran Khitan ini dan karena ia maklum bahwa Ratu Khitan memiliki kepandaian tinggi, apalagi setelah menyaksikan gerakan Talibu, kakek ini tidak berani main-main lagi.

   Kini tubuh Siauw-bin Lo-mo bergerak cepat dan aneh. Suara ketawanya tak pernah berhenti sehingga Talibu menjadi bingung. Ia melihat tubuh kakek itu berubah menjadi bayangan yang berkelebatan, seolah-olah ia dikeroyok empat lima orang lawan yang kesemuanya tertawa terkekeh-kekeh. Namun ia tidak menjadi gentar, bahkan segera memutar pedangnya, menyambarkan pedang ke arah bayangan yang berkelebatan. Pedangnya mengeluarkan suara berdesingan dan berubah menjadi sinar merah yang bergulung-gulung menyilaukan mata.

   Lima orang gadis yang tak berpakaian lagi itu kini agak terbebas dari siksaan karena Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam menonton pertandingan sehingga untuk sementara seperti melupakan mereka. Mereka tak berani berkutik, bahkan ikut pula menonton dengan jantung berdebar-debar, mengharap kemenangan bagi Si Pemuda Tampan yang mereka tahu bertanding karena membela mereka. Namun Siauw-bin Lo-mo adalah seorang lawan yang jauh terlalu lihai bagi Talibu yang belum berpengalaman.

   Memang harus diakui bahwa ilmu pedang Talibu amat cepat dan tangkas dan bahwa jarang dapat ditemui seorang pemuda, apalagi pemuda Khitan, sepandai dia mainkan pedang. Namun menghadapi Siauw-bin Lo-mo, ia hanya mampu bertahan selama dua puluh jurus saja. Ketika sebuah bacokannya dapat terelakkan lawan tiba-tiba pada saat pedangnya kembali menusuk bayangan yang berada di depannya, bayangan itu lenyap dan dari sebelah kanannya, bayangan yang lain telah berhasil mengetuk pergelangan tangan kanannya. Tangannya seketika menjadi lumpuh saking nyerinya dan pedangnya terlepas, jatuh berkerontangan di atas lantai. Talibu cepat membuang diri bergulingan di lantai menjauhi lawan.

   Lima orang gadis itu seperti dikomando saja menjerit. Jeritan ini mencelakakan mereka karena seolah-olah menyadarkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam bahwa mereka berdua tadi melupakan korban-korban mereka. Kini mereka sambil tertawa-tawa membelai dan menciumi mereka sehingga lima orang gadis itu kembali merintih-rintih penuh kengerian. Mendengar jeritan dan rintihan mereka, semangat Talibu bangkit kembali. Ia lupa akan urusan lain. Satu-satunya yang memenuhi perasaannya hanya berusaha membasmi orang-orang jahat ini dan membebaskan lima orang gadis yang bernasib malang dan terancam mala petaka itu. Ia berseru keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan tangan kosong. Mula-mula kaki tangan Talibu bergerak lambat sambil maju karena tadi ia menggulingkan tubuh sampai jauh.

   Dengan geseran-geseran kaki lambat ia maju menghampiri Siauwbin Lo-mo yang tertawa terkekeh-kekeh. Gerakan pemuda itu aneh sekali dan belum pernah ia melihat gerakan macam ini. Siauw-bin Lo-mo yang dengan mudah dapat menangkap pemuda ini ketika tadi mainkan pedang, tentu saja sekarang memandang rendah, apalagi gerakan pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kelihaian dan garis pertahanannya lemah sekali. Ia yakin dalam segebrakan akan dapat merobohkan dan menangkap pemuda ini. Makin dekat, gerakan Talibu makin cepat dan kini gerakannya luar biasa sekali karena kakinya bergerak membawa tubuhnya maju sambil berputaran. Siauw-bin Lo-mo yang tadi terkekeh, kini mulai menyangsikan kewarasan otak Pangeran Mahkota Khitan ini. Mana ada ilmu silat berputar-putar seperti itu?

   Menghadapi pengeroyokan banyak orang sambil memainkan pedang, memang ada gerakan memutar-mutar tubuh ini, akan tetapi kalau hanya berhadapan dengan seorang lawan, apalagi bertangan kosong, apa gunanya berputaran? Yang pasti membuat kepala menjadi pening sendiri. Ia makin memandang rendah dan setelah tubuh yang berputaran itu datang dekat, ia cepat menerjang maju dan dalam sekali gerak ia telah menotok tiga jalan darah di tubuh lawan, disusul cengkeraman untuk menangkap. Hebat bukan main serangan ini dan agaknya sukarlah bagi seorang muda seperti Talibu untuk dapat menghindarkan diri. Akan tetapi, hal yang amat aneh terjadi. Semua totokan Siauw-bin Lo-mo meleset, juga cengkeramannya, bahkan dari dalam putaran itu datang menyambar pukulan tangan kanan Talibu yang mengenai dadanya, membuat tubuh Siauw-bin Lo-mo terguling roboh.

   Lima orang gadis itu sejenak melupakan kesengsaraan tubuh mereka yang dipermainkan Bouw Lek Couwsu dan Bu-tek Siu-lam ketika melihat bahwa pemuda pujaan dan penolong mereka dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Akan tetapi alangkah kecewa hati mereka ketika melihat kakek itu meloncat bangun lagi sambil berseru marah, namun mulutnya masih terkekeh ketawa. Kembali mereka berlima harus menderita di bawah penghinaan jari-jari tangan yang kurang ajar. Siauw-bin Lo-mo kini berhati-hati sekali. Kembali ia teringat bahwa Ratu Khitan memiliki ilmu kesaktian yang tinggi. Maka ia dapat menduga bahwa ilmu silat tangan kosong Pangeran ini lihai bukan main, malah jauh lebih lihai daripada ilmu pedangnya. Tanpa pedang pemuda ini malah merupakan lawan yang lebih tangguh.

   Dugaannya memang tepat. Setelah kehilangan pedangnya, tanpa ia sadari sendiri, Talibu menjadi lebih berbahaya. Ia kini mainkan Ilmu Cap-sha sin-kun (Tiga Belas Pukulan Sakti) yang biarpun belum dapat ia mainkan dengan sempurna, namun kesaktian ilmu ini ternyata dapat merobohkan Siauw-bin Lo-mo. Ketika berputaran tadi, Talibu telah mainkan jurus dari Cap-sha-sin-kun yang disebut Soan-hong-ci-tian (Angin Puyuh Menyambarkan Kilat). Dalam berputaran, semua geraknya mengandung daya tahan yang kokoh kuat, dengan gerakan yang selalu dapat mengelak setiap pukulan dan serangan lawan. Tidak mengherankan apabila totokan-totokan dan cengkeraman tangan Siauw-bin Lo-mo meleset semua. Kemudian, sesuai dengan nama jurus itu, dari dalam pusaran tubuh yang seperti gasing itu menyambar pukulan kilat yang tak tersangka-sangka munculnya sehingga seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo sampai kena dirobohkan.

   Karena Siauw-bin Lo-mo bersikap hati-hati dan terutama sekali karena latihan Talibu belum masak benar, maka kini setelah Siauw-bin Lo-mo maju lagi, jurus Soan-hong-ci-tian yang dipergunakan Talibu tidak berhasil. Ketika Talibu melancarkan beberapa pukulan, tangannya hampir saja dapat ditangkap lawan. Mulailah pemuda ini terdesak. Tubuhnya masih berputaran, namun kini gerakannya berputar itu sambil mundur untuk menghindarkan pukulan-pukulan Siauw-bin Lo-mo yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang sehingga membobolkan daya pertahanan jurusnya yang ampuh. Ia maklum bahwa sekali kena pukul, ia tentu akan roboh. Siauw-bin Lo-mo mulai tertawa-tawa lagi melihat pemuda lawannya mundur-mundur dan ia terus mendesak dengan pukulan-pukulan yang kuat untuk menghancurkan jurus pertahanan lawan dan mencari lowongan merobohkan Pangeran itu.

   Talibu sudah mulai lelah dan pening. Jurus Soan-hong-ci-tian sesungguhnya tidak boleh dimainkan terlalu lama karena hal ini akan melelahkan diri sendiri. Biasanya, dimainkan sebentar saja sudah dapat merobohkan lawan. Akan tetapi kali ini tidak ada hasilnya. Kakek kurus itu makin mendesak dan pada saat perputaran tubuh Talibu berkurang kecepatannya, sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lo-mo mencengkeram kedua pundak Talibu. Pangeran Khitan itu menggigit bibir, membiarkan pundaknya dicengkeram jari-jari kurus yang kuat seperti baja, akan tetapi cepat sekali kedua kakinya bergerak menendang bergantian, pertama ke arah anggauta rahasia lawan kemudian disusul tendangan ke lutut kanan.

   "Aihhhh.."

   Siauw-bin Lo-mo sampai berseru keras saking kagetnya. Kembali ia hampir menjadi korban kelihaian ilmu silat aneh dari Pangeran ini. Tendangan pertama dapat ia elakkan sehingga hanya menyerempet paha kirinya, akan tetapi tendangan susulan biarpun ia elakkan masih mengenai tulang kering kakinya, membuat ia mengaduh dan meloncat mundur terpincang-pincang.

   "Hi-hi-hik, Lo-mo dapat dipermainkan anak kecil. Sungguh lucu"

   Bu-tek Siu-lam tertawa mengejek. Mulut Siauw-bin Lo-mo masih tertawa ha-ha-he-he, akan tetapi pandang matanya yang ditujukan ke arah Talibu menyinarkan pandangan maut.

   "Kau lihat saja, Siu-lam, kau lihat kuhancurkan Pangeran cilik ini. Ditambah seorang engkau lagi, aku tetap akan dapat menghancurkannya"

   Melihat sinar mata dari mata kakek itu, Bouw Lek Couwsu cepat berkata.

   "Ingat, Lo-mo. Aku tidak menghendaki dia mati"

   Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Tentu ia ingat akan hal itu. Kini ia melangkah maju, perlahan-lahan seperti seekor singa menghampiri calon mangsanya.

   

Suling Emas Eps 22 Cinta Bernoda Darah Eps 18 Cinta Bernoda Darah Eps 14

Cari Blog Ini