Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 5


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 5



"Aha, kiranya masih sepaham. Nona yang gagah perkasa, ketahuilah bahwa kami adalah anak buah Pak-sin-ong.."

   "Tidak peduli siapa itu Pak-sin-ong"

   Bentak Kwi Lan tidak sabar lagi. Akan tetapi Hauw Lam sudah menjadi kaget sekali dan bertanya,

   "Apa? Kalian ini anak buah Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia) yang juga disebut Pak-sin-ong (Raja Sakti dari Utara)?"

   Si Ompong berseri wajahnya, akan tetapi jadi menyeringai buruk karena wajahnya masih pucat dan masih tertempel rumput.

   "Betul.., betul"

   Nona, agaknya Nona belum mengenal nama besar Tai-ong kami yang juga memusuhi Ratu Khitan dan.."

   "Bedebah.."

   Bentakan ini keluar dari mulut Kwi Lan, disusul berkelebatnya sinar kehijauan dan terciumlah bau yang harum. Akan tetapi tujuh orang Khitan itu menjerit, darah muncrat dan di lain saat Kwi Lan sudah berdiri tegak kembali, sikapnya keren dan mulutnya membentak,

   "Lekas pergi dari sini"

   Hauw Lam melongo. Sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu saja ia dapat melihat gerakan gadis itu yang luar biasa cepatnya. Ia melihat betapa gadis itu mencabut sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan mengeluarkan ganda harum semerbak, melihat pula betapa dengan gerakan yang amat aneh, dahsyat dan secepat kilat pedang di tangan gadis berkelebat dan dengan persis membabat putus telinga kanan ketujuh orang Khitan itu sebelum mereka mampu mengelak atau melawan. Melihat pula betapa dengan gerakan yang masih sama cepatnya gadis itu telah menyimpan kembali pedangnya sebelum darah yang muncrat dari pinggir kepala tujuh orang itu menyentuh tanah. Sebuah gerakan yang luar biasa sekali, yang aneh, dahsyat akan tetapi juga ganas dan kejam.

   Tujuh orang Khitan yang tadinya kegirangan karena mengira bahwa mereka itu sefihak dengan nona ini dalam hal memusuhi Ratu Khitan, tentu saja menjadi kaget dan kesakitan. Sambil menutupi telinga kanan yang sudah tak berdaun lagi, mereka memandang dengan wajah pucat dan mata terbelalak, sejenak lupa akan rasa perih dan nyeri pada telinganya.

   "Kami telah menerima pengajaran,"

   Kata Si Ompong sambil meringis.

   "harap Nona suka memberitahukan nama agar tidak mudah kami melupakannya.."

   "Eh-eh, masih banyak tingkah lagi?"

   Hauw Lam yang khawatir kalau-kalau nona itu makin marah dan membunuh mereka, memotong.

   "Dia ini bernama Mutiara Hitam, apakah kalian buta? Dan aku adalah Berandal. Hayo pergi dan jangan membuka mulut busuk lagi"

   Tujuh orang Khitan itu melompat ke atas kuda, sekali lagi mereka menoleh dengan pandang mata penuh kebencian dan sakit hati, kemudian membalapkan kuda mereka pergi dari tempat itu. Kuda hitam ditinggalkan begitu saja dan kuda ini kelihatan tenang makan rumput, kendalinya terlepas dan terseret di atas tanah. Hauw Lam cepat mengambil kendali itu dan kini kuda itu diam saja ketika ditepuk-tepuk lehernya. Agaknya kuda itu tahu bahwa siapa yang memegang kendali adalah majikannya.

   "Kuda bagus, kuda hebat.."

   Hauw Lam menepuk-nepuknya dan membawanya dekat kepada Kwi Lan.

   "Pilihanmu tepat, Mutiara Hitam. Julukanmu Hitam maka tepatlah kalau kau menunggang kuda hitam ini."

   "Siapa yang menginginkan kuda? Aku hanya minta kuda ini agar ada alasan mengunjungi Thian-liong-pang.

   "Apa? Bagaimana maksudmu?"

   Kwi Lan tersenyum mengejek.

   "Bodoh"

   Kalau kita datang ke sana dan membawa kuda ini sebagai barang sumbangan, bukankah namanya sekali tepuk mendapatkan dua ekor lalat? Maksud Si Raja Algojo yang kau sebut-sebut itu mempersembahkan kuda kepada Thian-liong-pang tak berhasil, berarti dia sudah kalah satu nol melawan kita. Ke dua, dengan hadiah ini, masa kita tidak akan diterima sebagai tamu agung oleh Thian-liong-pang?"

   Hauw Lam membelalakkan matanya kemudian berjingkrak dan bertepuk tangan,

   "Wah, bagus. Kau ternyata pintar sekali. Tapi sesungguhnya sayang kalau kuda sebaik ini dilepaskan kembali kepada orang lain."

   "Hal ini dapat diputuskan nanti. Kalau kulihat Thian-liong-pang tidak berharga memiliki kuda ini, bisa saja kita ambil kembali."

   Diam-diam Hauw Lam merasa khawatir. Gadis ini memang harus diakui memiliki ilmu kepandaian hebat. Akan tetapi terlalu ceroboh, terlalu sembrono dan terlalu memandang rendah orang lain.

   "Ahh, Mutiara Hitam. Engkau benar-benar belum banyak mengenal orang. Engkau tidak tahu siapa dia. Jin-cam Khoa-ong."
(Lanjut ke Jilid 05)

   Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 05
"Siapa sih Algojo itu?"

   "Aku sendiri belum pernah bertemu dengan tokoh menyeramkan itu, akan tetapi sepanjang pendengaranku, dia tidak kalah terkenalnya daripada, Bu-tek Siu-lam sendiri. Kabarnya dia datang dari daerah Mongol, paling suka membunuh orang. Semua orang yang pernah bentrok dengan dia tidak akan dapat keluar hidup-hidup, semua itu, betapapun gagahnya, tewas di bawah senjatanya yang mengerikan, yaitu berbentuk gergaji berkait. Dia mengangkat diri dengan sebutan Pak-sin-ong untuk memperkenalkan asalnya dari utara, akan tetapi karena kekejamannya yang melewati batas, di dunia kangouw dia dijuluki orang Jin-cam Khoa-ong si Raja Algojo Manusia"

   "Huh, makin besar julukannya, makin kosong melompong. Aku tidak takut"

   "Dan Thian-liong-pang sungguh tidak boleh dibuat permainan. Bahkan kini merupakan perkumpulan yang paling besar, paling berpengaruh dan paling banyak anggautanya untuk golongan hitam. Karena itulah, para tokoh golongan hitam yang tidak mempunyai perkumpulan besar, masih memandang kepada Thian-liongpang.."

   "Sudahlah. Kalau engkau takut, tidak perlu kau banyak mengoceh lagi. Aku pun tidak mengajak engkau. Kau kira aku takut untuk pergi sendiri?"

   Sambil berkata demikian, Kwi Lan menyambar kendali kuda dari tangan Hauw Lam, lalu pergi menuntun kuda hitam itu meninggalkan Hauw Lam yang berdiri melongo. Akan tetapi karena selama hidupnya Kwi Lan belum pernah mempunyai kuda, apalagi menunggang kuda, ia canggung sekali dan kuda hitam itu agaknya juga dapat merasakan hal ini. Kuda itu mulai meronta dan mogok jalan. Kwi Lan menarik-narik kendali kuda sambil membentak,

   "Kau juga hendak mogok? Kuda sialan. Kupenggal lehermu nanti, kubawa bangkaimu ke Thian-liong-pang, hendak kulihat apakah kau berani mogok lagi"

   "Wah-wah-wah.., kenapa kau begini galak, Mutiara Hitam? Apa kau marah kepadaku? Aku sama sekali tidak takut, hanya aku heran menyaksikan keberanianmu menentang semua tokoh-tokoh besar. Mari, biarlah kita pergi bersama. Dan kuda itu.. kenapa repot-repot amat? Lebih baik kau tunggangi dia, kan enak?"

   Watak Kwi Lan memang aneh, agaknya ia tiru dari Sian Eng. Ia keras sekali kalau perlu, akan tetapi bisa juga menjadi lunak, bisa gembira dan jenaka, akan tetapi tidak pernah mengenal duka maupun takut. Melihat pemuda itu menghampiri dan wajahnya sungguh-sungguh, ia tersenyum.

   "Aku belum pernah menunggang kuda"

   Katanya. Kembali Hauw Lam terheran. Seorang gadis yang begini tinggi ilmunya, belum pernah menunggang kuda? Benar-benar luar biasa sekali ini.

   "Belum pernah? Kalau begitu berbahaya, dong. Kau harus belajar dulu. Seekor kuda yang baik selalu akan memberontak kalau ditunggangi orang yang takut-takut menunggang kuda."

   "Aku memang belum pernah menunggang kuda, akan tetapi siapa bilang aku takut? Kau lihat saja"

   Sekali menggerakkan tubuhnya, Kwi Lan sudah meloncat dan duduk di atas punggung kuda, dengan kedua kaki di samping kiri perut kuda itu. Canggung dan kaku sekali. Benar saja, kuda hitam itu tidak memberontak, karena kuda itu hanya memberontak apabila yang menunggangnya takut-takut, sedangkan Kwi Lan tidak takut.

   "Ah, keliru kalau begitu menunggangnya. Mana bisa tahan lama kalau kuda itu membalap?"

   "Siapa bilang tidak bisa? Kau lihat"

   Kwi Lan menarik kendali kuda dan kuda hitam itu meloncat ke depan lalu lari cepat. Kwi Lan terangkat-angkat dari atas punggung kuda dan karena duduknya miring, maka hampir saja ia jatuh. Cepat ia berseru keras dan tubuhnya sudah meloncat ke atas kemudian turun di atas punggung kuda dalam keadaan berdiri. Hauw Lam sudah mengejar dan memegang kendali kuda, mengeluarkan suara menyuruh berhenti. Setelah kuda berhenti, ia menggeleng-geleng kepala.

   "Wah-wah, memang kau hebat sekali, Mutiara Hitam. Akan tetapi mana ada di dunia ini orang naik kuda dengan berdiri di atas punggungnya? Engkau akan menjadi tontonan orang di sepanjang jalan, dan juga keadaan itu amat melelahkan. Beginilah cara menunggang kuda. Lihat, kuberi contohnya"

   Karena memang Kwi Lan seorang yang sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka pelajaran menunggang kuda ini dapat ia kuasai sebentar saja. Berangkatlah kedua orang muda itu melakukan perjalanan menuju Yen-an. Kwi Lan menunggang kuda sedangkan Hauw Lam berjalan kaki sambil meniup sulingnya. Kadang-kadang Kwi Lan yang meloncat turun dan berjalan kaki, menyuruh pemuda itu berganti menunggang kuda. Kalau Hauw Lam menolak, ia tentu akan marah. Begitu pula, kadang-kadang gadis yang berhati polos itu menyuruh Hauw Lam duduk di belakangnya di atas punggung kuda. Hauw Lam juga menuruti kehendaknya sehingga dalam waktu beberapa hari saja melakukan perjalanan, keduanya telah menjadi sahabat yang amat akrab dan diam diam Kwi Lan makin merasa cocok dan suka kepada putera bibi pengasuhnya ini.

   Kota Yen-an terletak di kaki Pegunungan Lu-liang-san sebelah barat, di Propinsi Shen-si. Kota ini cukup besar dan ramai dan dahulu merupakan daerah Kerajaan Hou-han yang kini sudah ditaklukkan oleh Kerajaan Sung dan menjadi wilayah Kerajaan Sung. Kerajaan Hou-han dahulu terkenal sebagai kerajaan yang kecil tapi amat kuat. Terutama sekali ketika seorang di antara panglima perangnya adalah mendiang Jenderal Kam Si Ek yang amat pandai mengatur siasat perang. Setelah jenderal ini mengundurkan diri keadaan kerajaan mengalami kemunduran pula. Akan tetapi keadaannya masih amat kuat karena beberapa tahun kemudian di dalam istana kerajaan terdapat Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian, seorang wanita sakti yang menjadi "tante girang"

   Di dalam istana mengumbar nafsu dengan para pangeran dan para panglima muda yang tampan,

   Di samping Tok-siauw-kwi (ibu kandung Suling Emas) ini terdapat pula selir raja yang juga amat lihai, yang kemudian berjuluk, Siang-mou Sin-ni Coa Kim Bwee. Akan tetapi semenjak kedua orang wanita sakti ini tidak ada kerajaan makin mundur dan akhirnya penyerbuan bala tentara Kerajaan Sung menjatuhkan kerajaan kecil ini. Tokoh-tokoh yang dikalahkan biasanya kalau tidak dipakai lagi tenaganya lalu berkumpul dan merupakan kelompok yang menentang si Pemenang secara diam-diam. Demikian pula keadaan di bekas Kerajaan Hou-han ini. Orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lalu mengadakan persatuan dan bersembunyi di balik papan nama perkumpulan menjadi golongan dunia hitam yang diam-diam mencari kesempatan untuk melawan atau setidaknya merongrong pemerintahan yang tak disukainya.

   Di antara perkumpulan-perkumpulan semacam itu, Thian-liong-pang merupakan perkumpulan terbesar, bahkan boleh dibilang menjadi semacam induk perkumpulan. Hal ini adalah karena bekas para panglima dan tokoh Kerajaan Hou-han banyak yang menggabungkan diri dalam perkumpulan ini. Namun karena kesempatan untuk melawan pemerintahan Sung tidak ada, apalagi setelah para panglima yang benar-benar berjiwa patriotik meninggal dunia, jiwa perkumpulan Thian-liong-pang mengalami perubahan hebat. Dasar yang semula patriotik tadinya terdorong setia kepada kerajaan berubah, berubah menjadi dasar dunia hitam, dan tujuan yang menyeleweng jauh terdorong oleh nafsu angkara murka untuk menguasai dunia, harta benda, nama besar dan kemenangan mengandalkan kekuatan.

   Sisa para panglima Hou-han melihat ini sebanyak yang mengundurkan diri dan hidup bersunyi di dusun-dusun dan pegunungan menanti maut datang menjemput. Semenjak Thian-liong-pang seluruhnya dikuasai oleh tokoh-tokoh dunia hitam. Yang menjadi Ketua Thian-liong-pang adalah seorang bekas pendeta yang berjuluk Sin-seng Losu (Kakek Bintang Sakti). Pendeta yang berasal dari barat ini selain sakti, juga amat terkenal di dunia hitam dan biarpun jahat, namun ternyata ia pandai memimpin sehingga di bawah asuhannya, Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang amat kuat. Semua anggauta Thian-liong-pang rata-rata di gembleng ilmu silat tinggi. Apalagi murid kakek itu sendiri, benar-benar terdiri dari orang-orang yang gagah perkasa.

   Murid-murid kepala sebanyak dua belas orang sedemikian terkenalnya di dunia kang-ouw sehingga tokoh-tokoh yang besar sekalipun tidak akan berani memandang rendah Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) dari Thian-liong-pang. Dua belas orang murid kepala yang menjadi murid kesayangan Kakek Sin-seng Losu ini telah mewarisi kepandaian kakek itu menurut bakat masing-masing. Dan yang menambah ketenaran mereka adalah senjata rahasia Sin-seng-ci (Peluru Bintang Sakti). Oleh karena Kakek Sin-seng Losu sudah terlalu tua dan pikun, juga sudah mulai lemah karena tuanya, maka sebagai penggantinya ditunjuk muridnya yang paling tua, seorang laki-laki tinggi besar bercambang bauk yang bertenaga besar seperti gajah, dan sesuai dengan tenaganya, ia berjuluk Thai-lek-kwi (Setan Tenaga Besar) bernama Ma Kiu.

   Ma Kiu ini dulunya seorang jagal babi, kemudian pernah tinggal di selatan dan menjadi anggauta Beng-kauw. Semenjak muda suka belajar ilmu silat, maka ketika menjadi anggauta Beng-kauw ia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi. Karena penyelewengan peraturan, ia takut akan bayangan sendiri dan takut pula akan hukuman dari para pimpinan Beng-kauw yang terkenal keras, maka ia melarikan diri ke utara. Di Yen-an ia memasuki Thian-liong-pang, berhasil menarik hati ketuanya dan menjadi muridnya. Karena memang tingkatnya sudah tinggi, maka ia segera menduduki seorang diantara murid kepala yang lihai, bahkan kemudian terpilih menjadi murid nomor satu dan kemudian malah ditunjuk sebagai pengganti gurunya yang sudah tua, yaitu menjadi ketua baru Thian-liong-pang.

   Gedung besar yang menjadi markas Thian-liong-pang terletak megah di ujung kota Yen-an. Agak janggal nampaknya bahwa jalan besar dimana gedung ini berdiri kelihatan sunyi, bahkan gedung itu jauh dari tetangga. Namun orang tidak akan merasa heran kalau mendengar bahwa para tetangga yang tadinya tinggal dekat gedung itu berangsur-angsur diri sehingga rumah-rumah kosong di sekitar jalan itu merupakan daerah yang dianggap tidak aman bagi penduduk Yen-an. Hal ini dipergunakan oleh Thian-liong-pang untuk memperluas markas mereka dengan membeli murah secara paksa rumah-rumah dan pekarangan yang ditinggalkan.

   Pada hari pengangkatan ketua baru Thian-liong-pang, keadaan di situ lebih ramai diripada biasanya. Banyak tamu hilir mudik mengunjungi Thian-liong-pang dan para penduduk Yen-an hari itu merasa ketakutan selalu karena di kota Yen-an berkeliaran banyak orang-orang aneh dan sikapnya menyeramkan. Karena itu biarpun tidak tahu pasti, namun sudah dapat menduga bahwa para tamu luar kota yang hari itu mengunjungi Yen-an, tentulah tamu dari Thian-liong-pang dan tentulah terdiri dari bukan orang baik-baik. Memang dugaan ini tepat. Sebagian besar yang datang mengunjungi Thian-liong-pang adalah orang-orang dari dunia hitam, golongan liok-lin dan kang-ouw (hutan lebat dan sungai telaga), yaitu para perampok, bajak, gerombolan-gerombolan yang mengabdi kepada hukum rimba mengandalkan kekuatan untuk melakukan perbuatan apa saja yang mereka kehendaki.

   Hari itu semenjak pagi sekali telah banyak orang-orang yang dan danannya aneh-aneh memasuki kota Yen-an. Menjelang siang hari, orang-orang yang dengan hati berdebar tidak enak menonton keramaian dan iring-iringan tamu ini, tertarik sekali melihat dua orang muda yang keadaannya tidak kalah anehnya daripada orang-orang yang menyeramkan lainnya, akan tetapi dua orang muda ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan. Bahkan sebaliknya, dara remaja yang menunggang kuda hitam itu, biarpun pinggangnya digantungi pedang dan gagang pedang indah, namun harus diakui cantik jelita, menarik hati dan sama sekali tidak menyeramkan, melainkan amat mengagumkan hati setiap orang pria yang memandangnya. Adapun temannya, seorang pemuda remaja pula, juga berwajah tampan dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum. Bahkan ketika memasuki kota Yen-an, pemuda ini dengan wajah berseri lalu meniup suling sambil berjalan di samping kuda hitam.

   Sebatang golok besar dengan sarung pedang aneh, tidak kelihatan menyeramkan sebaliknya malah tampak lucu, seakan-akan, pemuda itu sengaja membadut dan menggantungkan golok untuk main-main saja. Wajah Kwi Lan, dara yang menunggang kuda hitam, kelihatan gembira pula. Setelah beberapa pekan lamanya melakukan perjalanan bersama Hauw Lam, ia benar-benar mengenal watak pemuda ini sebagai seorang pemuda yang selalu gembira, jenaka, ugal-ugalan namun pada dasarnya gagah perkasa, tak kenal takut, berbudi dan.. selalu mengalah kepadanya. Harus dimengerti bahwa sejak kecil Kwi Lan jarang bergaul dengan orang lain, apalagi dengan orang mudanya.

   Teman satu-satunya hanyalah Suma Kiat, dan ia tidak suka kepada suheng ini, yang kadang-kadang memperlihatkan sikap terlalu manis berlebih-lebihan kepadanya akan tetapi kadang-kadang juga pemarah dan tak acuh. Tidak mengherankan apabila Kwi Lan merasa suka sekali kepada Hauw Lam dan dalam waktu yang tidak lama itu mereka telah menjadi sahabat yang akrab. Sukar bagi seseorang untuk tidak ikut bergembira apabila melakukan perjalanan dengan Hauw Lam. Apalagi seorang seperti Kwi Lan yang pada dasarnya memang lincah, jenaka dan suka bergembira. Melihat betapa temannya memasuki kota Yen-an sambil meniup suling dan dengan lenggang dibuat-buat seperti seorang penari atau seperti orang berbaris, Kwi Lan tersenyum geli.

   Ia maklum bahwa kedatangan mereka ke Yen-an bukanlah sekedar pelesir, melainkan untuk mencari pengalaman dan lebih mendekati petualangan karena yang akan mereka masuki adalah sarang penjahat atau dunia hitam yang amat berbahaya. Akan tetapi melihat pemuda itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut, ia menjadi kagum dan juga menjadi gembira. Banyak penduduk Yen-an, terutama orang-orang mudanya yang tertarik melihat sepasang muda-mudi yang elok ini, mengikuti dari belakang sambil memandang kagum dan tersenyum-senyum. Akan tetapi melihat bahwa dua orang itu menuju ke markas Thian-liong-pang di pinggir kota, sebelum dekat mereka yang mengikuti sudah berhenti dan membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.

   Setelah tiba di depan rumah gedung besar yang dihias arca singa batu dan papan nama perkumpulan itu, Kwi Lan menghentikan kudanya dan Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya. Dari luar gedung saja sudah terdengar suara banyak orang di sebelah dalam. Beberapa orang penjaga menyambut mereka dengan menjura dan di antara mereka terdapat seorang laki-laki yang mukanya penuh cambang bauk dan yang kelihatan terkejut sekali melihat dua orang muda itu. Akan tetapi wajahnya yang tadinya terkejut itu berubah merah dan ia segera menjura dan berkata.

   "Ah, kiranya Nona Mutiara Hitam dan Tuan. Berandal yang datang berkunjung, Silakan masuk.."

   Melihat sikap Si Brewok ini, teman-temannya juga cepat memberi hormat kepada Kwi Lan dan Hauw Lam, dan mendengar nama julukan pemuda tampan itu, diam-diam mereka merasa geli.

   "Ha-ha-ha, Kiranya Si Ouw Kiu. Engkau masih hidup? Syukurlah kalau panjang umur. Kami datang memenuhi janji hendak menonton keramaian sekalian menyampaikan sumbangan kepada ketua baru Thian-liong-pang"

   Teman-teman Ouw Kiu tercengang mendengar ucapan dan menyaksikan sikap pemuda ini.

   Bicaranya begitu seenaknya seperti kepada seorang sahabat baik saja. Mereka makin heran melihat betapa Ouw Kiu yang terkenal jagoan di antara mereka, begitu menaruh hormat yang berlebihan terhadap seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang masih amat muda. Kalau semua temannya terheran, adalah Ouw Kiu yang menjadi merah mukanya. Peristiwa di dalam hutan dua pekan yang lalu hanya ia ceritakan kepada para pimpinan Thian-liong-pang dan para anak buah tidak ada yang boleh mendengar karena hal itu merendahkan nama besar perkumpulan. Oleh karena itulah maka ketika tadi ia menyebut nama Mutiara Hitam dan Berandal, teman-temannya tidak tahu bahwa dua orang inilah yang membunuh seorang anak murid Thian-liong-pang. Dengan menahan kemarahan Ouw Kiu lalu berkata lagi.

   "Ah, Ji-wi ternyata memegang janji. Silakan masuk. Nona, biarlah orang-orang kami merawat kuda Nona itu. Silakan turun dan masuk ke dalam"

   "Mana bisa barang sumbangan ditinggalkan di luar?"

   Kwi Lan berkata.

   "Barang sumbangan..? Apakah maksud Nona..?"

   Kwi Lan tersenyum.

   "Justeru kuda inilah barang sumbangannya untuk disampaikan kepada Ketua Thian-liong-pang"

   "Ah.. kuda bagus.. kuda hebat.."

   Ouw Kiu tiba-tiba memuji setelah tahu bahwa kuda yang besar dan memang hebat ini akan dipersembahkan kepada ketuanya. Kiranya dua orang muda yang lihai ini telah merendahkan diri dan hendak menyenangkan hati ketuanya dengan hadiah seekor kuda pilihan, pikirnya. Akan tetapi jangan kira bahwa kalian akan dapat lolos dari sini, biarpun telah menyogok dengan seekor kuda. Melihat Ouw Kiu memuji-muji sambil menjura.. seorang lain memberi isyarat dengan kedua tangan mempersilakan mereka dan yang lain-lain juga menjura. Kwi Lan lalu berkata,

   "Hayo, Berandal kita masuk saja. Hek-ma (Kuda Hitam) ini pun tentu suka mencicip arak wangi Thian-liong-pang"

   "Hayo, tunggu apa lagi?"

   Hauw Lam berkata sambil tertawa, kemudian ia menempelkan suling pada mulutnya dan melangkah maju sambil meniup suling. Adapun Kwi Lan tanpa mempedulikan gerak protes mulut, mata, dan tangan para penjaga sudah menarik kendali dan memaksa kuda hitamnya untuk menaiki anak tangga, terus menjalankan kudanya memasuki ruangan depan menuju ke dalam. Tentu saja para penjaga kaget dan bergerak hendak mencegah, akan tetapi Ouw Kiu berbisik kepada teman-temannya dan kagetlah mereka, berdiri dengan wajah sebentar pucat karena gentar dan sebentar merah karena marah. Baru sekarang mereka tahu bahwa dua orang itulah yang membunuh seorang kawan mereka.

   "Jangan sembarangan bergerak, mereka lihai sekali"

   Bisik Ouw Kiu.

   "Biarkan Pangcu yang membereskan mereka"

   Setelah berkata demikian, melalui pintu samping Ouw Kiu mendahului masuk dan diam-diam melaporkan kepada pimpinan Thian-liong-pang.

   Pada waktu itu, Kakek Sin-seng Losu masih duduk di kursi ketua sambil melenggut mengantuk. Akhir-akhir ini, kakek yang sudah tua renta dan pikun ini sering kali melenggut dan banyak mengantuk. Kini ia telah mengenakan pakaian khusus untuk upacara. Jubahnya baru dan indah di bagian dadanya terdapat gambar sebuah timbangan. Inilah tanda bahwa dia sudah meninggalkan kedudukan ketua dan kini menjadi penasihat yang mempertimbangkan dan memutuskan segala macam perkara yang tak dapat diputuskan oleh ketua baru. Di sebelah kanannya duduk Thai-lek-kwi Ma Kiu, murid kepala bekas tukang jagal babi itu. Wajah murid kepala yang usianya sudah lima puluh tahun ini keren, apalagi jenggot dan kumisnya kaku seperti kawat, matanya melotot lebar seakan-akan selalu mengeluarkan sinar mengancam.

   Di sebelah kanan Thai-lek-kwi Ma Kiu calon ketua baru ini duduk atau berdiri sebelas orang adik-adik seperguruannya yang terdiri dari bermacam-macam orang. Ada Hwesio gundul, ada tosu, ada yang seperti petani, ada yang tua dan ada yang muda. Di belakang kursi kakek Sin-seng Losu berdiri seorang petugas yang membawa bendera Thian-liong-pang, bergambar naga terbang. Para tamu yang lebih lima puluh itu semuanya sudah memenuhi ruangan, duduk di bangku-bangku memutari meja bundar yang sudah disediakan. Pelayan-pelayan sibuk melayani mereka dengan minuman dan makanan. Saat itu, upacara sudah hendak dilakukan, akan tetapi Thai-lek-kwi Ma Kiu mencari-cari dengan pandang matanya, kelihatan tak senang hatinya. Kemudian ia berbisik kepada suhunya yang masih melenggut, setengah tidur setengah bersamadhi.

   "Suhu, tamu sudah lengkap, Apakah tidak lebih baik dilakukan sekarang upacaranya?"

   "Hemmm..?"

   Kakek itu membuka mata malas-malasan, kemudian menoleh ke arah kirinya, di mana terdapat sebuah bangku yang kosong.

   "Dia belum datang?"

   Ma Kiu mengerutkan kening dan menggeleng kepalanya.

   "Suhu, sudah sejam lebih kita menanti, akan tetapi Siauw-te (Adik Seperguruan Kecil) masih juga belum muncul. Dia, suka pergi berburu binatang, suka pergi bermain-main, siapa tahu dia tidak akan datang karena lupa akan urusan hari ini."

   "Kita tunggu sebentar lagi."

   Bantah Si Kakek.

   "Betapapun juga, Siangkoan Li adalah anak tunggal mendiang puteraku, dia cucuku satu-satunya. Sebagai wakil ayahnya yang sudah tidak ada, sepatutnya dia menyaksikan upacara penting hari ini."

   Biarpun di dalam hatinya merasa mendongkol sekali terhadap Siangkoan Li yang memperlambat upacara pengangkatannya menjadi Ketua Thian-liong-pang namun Ma Kiu tidak berani membantah kehendak gurunya. Siangkoan Li adalah cucu Sin-seng Losu, semenjak kecil anak ini sudah ditinggal mati ayah bundanya yang tewas dalam pertandingan. Kemudian ia dididik oleh kakeknya dan biarpun ia cucu kakek ini, namun ia juga murid, maka dua belas orang murid kepala atau lebih terkenal Dua Belas Naga Thian-liong-pang itu memanggil dia sute (adik seperguruan). Padahal Siangkoan Li masih amat muda, baru dua puluh tahun usianya.

   Pada saat itulah Ouw Kiu si Brewok datang melapor. Karena Sin-seng Losu sudah melenggut lagi di atas kursinya, Ouw Kiu lalu melapor kepada Thai-lek-kwi Ma Kiu tentang kedatangan dua orang muda tadi. Tentu saja Thai-lek-kwi Ma Kiu marah sekali, mendengar bahwa dua orang muda yang mengaku berjuluk Mutiara Hitam dan Berandal dan telah membunuh seorang anggauta Thian-liong-pang berani muncul. Akan tetapi oleh karena saat pengangkatannya sebagai ketua sudah tiba, ia tidak ingin urusan yang amat penting artinya bagi dirinya itu terganggu atau terkacau keributan, maka ia menyabarkan hatinya yang panas. Apalagi ketika mendengar laporan Ouw Kiu bahwa dua orang itu datang untuk menonton upacara dan membawa hadiah seekor kuda yang bagus. Maka dia segera berdiri dan menyambut. Melihat kakak tertua ini bangkit, otomatis sebelas orang adik seperguruan itu bergerak pula dan mengikutinya menyambut.

   Terdengar suara nyaring kaki kuda menginjak-injak lantai dan para tamu serentak menengok, disusul suara mereka riuh membicarakan tamu yang baru muncul. Tentu saja cara Kwi Lan memasuki ruangan sambil menunggang seekor kuda yang tinggi besar berbulu hitam, amat menarik perhatian dan selain mendatangkan kaget, juga heran. Akan tetapi disamping ini, sebagian besar mata para tamu terbelalak kagum karena tidak saja kuda itu amat indah dan gagah, namun penunggangnya lebih menarik lagi, cantik jelita dengan mata bersinar-sinar dan pipi kemerahan, bibir manis tersenyum simpul. Hauw Lam menghentikan tiupan sulingnya, lalu menjura ke arah tuan rumah, diam-diam ia memperhatikan Ma Kiu dan sebelas orang adik seperguruannya. Biarpun belum pernah bertemu dengan mereka, namun jumlah ini menimbulkan dugaan di hati bahwa tentu inilah yang disebut Cap-ji-liong yang ditakuti orang itu. Ia tersenyum dan berseru dengan suara nyaring.

   "Kami, Dewi Mutiara Hitam dan Dewa Berandal.."

   Sampai di sini Hauw Lam menoleh kepada Kwi Lan yang tersenyum pula lalu melirik kepada semua tamu yang mengeluarkan seruan heran mendengar sebutan dewa dan dewi tadi, kemudian melanjutkan setelah keadaan menjadi sunyi senyap karena semua orang memasang telinga penuh perhatian untuk mendengarkan apa yang ia katakan selanjutnya.

   "... secara kebetulan lewat di Yen-an dan mendengar nama besar Thian-liong-pang yang katanya hendak mengadakan upacara pengangkatan ketua baru. Maka kami ingin sekali menonton keramaian dan Sang Dewi Mutiara Hitam ini berkenan memberi hadiah kuda hitamnya untuk Thian-liong-pang"

   Mendengar dirinya disebut-sebut sebagai Sang Dewi Kwi Lan mengerutkan alisnya dan cemberut, melompat turun dari kuda dan berkata,

   "Harap jangan dengarkan obrolan Berandal ini"

   Kuda ini memang hendak kusampaikan kepada Thian-liong-pang, akan tetapi bukan hadiah dariku, melainkan hadiah dari Khitan untuk Thian-liong-pang"

   Mendengar ucapan Kwi Lan berubah air muka dua belas orang "naga"

   Dari Thian-liong-pang itu. Ma Kiu segera berkata, suaranya berubah ramah,

   "Ah, kiranya Ji-wi adalah utusan dari Pak-sin-ong? Sungguh merupakan penghormatan besar sekali terhadap Thian-liong-pang dan salah paham yang terjadi beberapa pekan yang lalu adalah kesalahan anak buah kami, mohon Ji-wi sudi memaafkan."

   "Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan."

   Kata Kwi Lan setelah bertukar pandang dengan Hauw Lam.

   "Akan tetapi yang jelas, kuda ini bukan sembarangan kuda, melainkan kuda keturunan kuda pribadi Ratu Khitan. Harap Thian-liong-pang suka menerima. anugerah dari Ratu Khitan ini."

   Kwi Lan bicara sejujurnya, karena di dalam hati ia tetap condong untuk membela Ratu Khitan yang menurut penuturan guru dan bibinya adalah ibu kandungnya sendiri. Akan tetapi Ma Kiu mendengar ini, mengangguk-angguk dan bertukar pandang dengan sebelas orang saudaranya.

   "Kami mengerti.. kami mengerti dan terima kasih banyak.. katanya. Tentu saja Kwi Lan tidak mengerti apa yang ia maksudkan, akan tetapi melihat Hauw Lam berkedip kepadanya, ia pun diam saja. Ia lalu melompat turun dari kudanya dan memberikan kendali kuda kepada Ma Kiu. Calon ketua itu menggapai seorang anggauta Thian-liong-pang yang tinggi besar.

   "Bawa kuda ini ke kandang dan pelihara baik-baik beri makan minum secukupnya"

   Orang tinggi besar itu memberi hormat dan menerima kendali. Akan tetapi begitu ia menarik kendali, kuda hitam itu yang mencium bau orang baru dan merasai tarikan keras, segera meringkik, membuka mulut dan menerjang orang tinggi besar itu. Si Tinggi Besar terkejut dan berusaha mengelak, namun terlambat, pundaknya kena digigit sehingga ia berkaok-kaok kesakitan dan ketika kuda itu melepaskan gigitannya, daging pundak berikut baju sudah robek dan darah membasahi semua bajunya. Tentu saja anggauta ini menjadi kaget dan melepaskan kendali kudanya. Hauw Lam tertawa bergelak.

   "Sudah kuberitahu, kuda ini bukan kuda sembarangan"

   "Hemm, memang kuda pilihan. Twa-suheng, biarlah aku yang membawanya ke kandang."

   Seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun, bertubuh kecil kurus, melangkah maju,

   Dia ini adalah seorang di antara Cap-ji-liong dan begitu Ma Kiu menganggukkan kepala, Si Kurus sudah menyambar kendali kuda, lalu tubuhnya melayang naik ke punggung kuda hitam. Kuda itu meringkik-ringkik dan meronta-ronta, namun dengan menjepitkan kedua kaki ke perut kuda, Si Kecil Kurus tetap duduk dengan tenang, bahkan lalu membetot-betot kendali kuda. Kuda hitam makin marah, melonjak-lonjak dan meloncat-loncat tinggi menggerak-gerakkan punggungnya. Kalau orang biasa tentu akan terlempar dari punggung kuda, akan tetapi ternyata Si Kecil Kurus itu lihai sekali. Tubuhnya mendoyong ke sana ke mari, namun ia dapat duduk tegak dan tetap. Akhirnya, setelah hidung dan bibir kuda mengeluarkan darah karena tertarik kendali, baru kuda hitam itu kelelahan dan menurut saja disuruh berjalan keluar dari dalam ruangan tamu. Ma Kiu lalu mempersilakan dua orang tamu mudanya untuk duduk di bagian depan. Hauw Lam berbisik.

   "Mereka mengira bahwa kita ini tokoh-tokoh kepercayaan Jin-cam Khoa-ong dan memang biasanya orang-orang Pak-sin-ong ini melakukan perjalanan sambil menyamar dan merahasiakan diri, karena selalu menjadi incaran orang pemerintahan Khitan. Tentu Si Brewok tadi mengira kita berpura-pura menghadapi banyak tamu, maka ia bilang mengerti. Pemuda itu tertawa dan Kwi Lan juga tertawa geli. Pelayan datang dengan cepat membawa minuman arak wangi dan masakan-masakan lezat dan mahal. Karena memang sudah lapar dan sudah lama tidak bertemu makanan lezat, Hauw Lam dan Kwi Lan tidak sungkan-sungkan lagi. Kiranya pemuda jenaka itu adalah seorang ahli makanan. Sambil mencoba dan mencicipi belasan macam masakan yang datang membanjir. meja mereka Hauw Lam tiada hentinya mengoceh untuk memperkenalkan tiap masakan kepada Kwi Lan.

   "Ini kodok goreng istimewa. Kodok macam ini hanya terdapat dalam rawa-rawa dan daerah selatan saja, dagingnya empuk, gurih dan harum sedap. Maka harganya pun amat mahal. Sayang ini yang jantan, kalau yang betina lebih lezat. Akan tetapi kodok betina jarang disembelih orang karena dibutuhkan telurnya. Hanya Kaisar yang suka menyuruh buatkan kodok betina goreng"

   Memang luar biasa masakan kodok goreng itu. Berbeda dengan swike biasa, kodok ini digoreng berikut kulitnya yang loreng-loreng, akan tetapi justeru kulitnya itu yang enak, kemripik seperti krupuk udang. Juga berbeda dengan swike biasa, tulangnya enak pula dimakan, tidak keras.

   "Wah, ini sop buntut menjangan namanya. Dimasak sop dengan campuran kacang polong dan jamur kuning. Hebat, Tapi kalau terlalu banyak membuat badan panas dan darah mengalir cepat. Sedikit cukup untuk menghangatkan tubuh. Dan ini masak tim kaki burung raja air. Kau tahu apa itu burung raja air? Bebek. Ini tim kaki bebek. Enak kenyil kenyil dan gurih. Wah, yang di sana itu panggang ayam angkasa. Sedap"

   Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Apa itu ayam angkasa?"

   Kwi Lan bertanya, gembira oleh penjelasan yang lucu ini.

   "Ayam angkasa? Masa tidak tahu? Burung dara. Enak juga, cobalah."

   Sampai kenyang sekali perut Kwi Lan karena pandainya Hauw Lam memperkenalkan setiap masakan sehingga tak dapat ia bertahan untuk tidak mencicipinya.

   "Eh, ini masakan apa? Mengapa dagingnya bundar-bundar tapi bukan bakso? Licin.."

   Hauw Lam mengulur leher menjenguk, lalu mengorek dengan sumpit untuk memeriksa.

   "Ini..? Waaahh.. gila amat. Ini.. ini bukan makanan wanita. Celaka, yang begini dikeluarkan. Sialan benar"

   Ia mengomel panjang pendek tanpa menjawab pertanyaan Kwi Lan. Gadis itu tentu saja menjadi tertarik sekali,

   "Masakan apa sih? Kenapa bukan makanan wanita?"

   Heran sekali. Tiba-tiba muka Hauw Lam menjadi merah dan ia tampak gagap-gugup dalam menjawab. Padahal biasanya pemuda ini paling pandai bicara.

   "Masakan.. waaahhh, bagaimana ini..? Ini masakan.. masakan..hemmmm.."

   Karena mereka berdua tadi bicara keras tanpa mempedulikan orang lain, tentu saja percakapan terakhir ini pun terdengar pula oleh para tamu yang duduk berdekatan. Mereka mulai tertawa-tawa geli menyaksikan sikap Hauw Lam ini.

   "Ih, kenapa kau? Sudah mabokkah? Masa menjawab masakan saja begitu sukar? Kalau tidak mengenal, bilang saja terus terang, mengapa susah-susah amat?"

   Kwi Lan menegur.

   "Siapa bilang aku tidak mengenal masakan ini? Semua masakan di dunia pernah kumakan. Aku pernah memasuki dapur kaisar, pernah ikut dalam perjamuan Beng-kauw di selatan, Ini masakan.. daging kambing saus tomat"

   "Uhh, hanya daging kambing saja kenapa tidak dari tadi menyebutnya? Kau bohong agaknya. Kalau benar hanya daging kambing, mengapa bentuknya bulat seperti ini? Dan mengapa pula tadi kau bilang ini bukan makanan wanita?"

   "Ha-ha-ha-ha. Itu bukan daging kambing, melainkan.. peluru kambing. Ha-ha-ha"

   Riuh rendah suara ketawa itu.

   Hauw Lam dan Kwi Lan menengok. Sejak tadi mereka sudah tahu bahwa tidak jauh dari meja mereka, dalam jarak lima meter, terdapat enam orang anggauta pengemis baju bersih yang duduk mengelilingi meja dan sejak tadi memperhatikan mereka berdua. Enam orang pengemis itu rata-rata sudah berusia enam puluh tahun lebih, hanya yang dua inilah mereka masih muda dan kini dua orang inilah yang tertawa-tawa oleh ucapan seorang di antara mereka tadi. Pada saat itu, Kwi Lan dengan sumpitnya telah menusuk dua potong daging kambing itu yang memang berbentuk bundar telur sebesar telur ayam.

   "Hanya kambing jantan yang memiliki peluru itu, kambing betina tentu saja tidak punya. Akan tetapi keliru kalau orang bilang wanita tidak boleh memakannya, malah sebetulnya itu makanan wanita, apalagi wanita cantik.., Ha-ha-ha-ha"

   Komentar pengemis muda yang ke dua dan kembali dua orang yang duduknya menghadap kepada meja Kwi Lan tertawa-tawa sambil terang-terangan memandang kepada gadis itu.

   Akan tetapi, mendadak dua orang pengemis muda yang sedang tertawa berkakakan itu terhenti ketawanya setelah mengeluarkan suara "ha-haaauupp"

   Dan mata mereka mendelik, tangan kiri mencekik leher dan tangan kanan menunjuk-nunjuk kebingungan ke arah mulut mereka yang ternganga. Tanpa diketahui orang lain saking cepatnya gerakan tangan Kwi Lan, dua buah daging bulat yang tadi berada di ujung sepasang sumpitnya kini telah menyusup masuk ke tenggorokan dua orang itu melalui mulut yang tadi terbuka lebar-lebar.

   Empat orang pengemis lain yang mengira bahwa dua orang temannya ini, tersedak makanan sibuk menolong, menepuk-nepuk punggung mereka dengan keras sambil bertanya-tanya. Akan tetapi dua orang itu hanya dapat mengeluarkan suara seperti orang gagu karena kerongkongannya tersumbat. Akhirnya seorang di antara mereka terbatuk dan meloncat keluarlah daging bulat seperti telur ayam itu, sedangkan seorang lagi, karena daging itu belum keluar dan ia merasa napasnya hampir putus, dengan nekat lalu memasukkan sumpit ke mulutnya dan mendorong daging di kerongkongannya itu terus masuk. Akal ini menolong juga dan terhindarlah ia daripada bahaya maut tercekik.

   Kwi Lan yang telah memberi hukuman kepada dua orang pengemis muda yang berani mentertawakannya itu, kedua pipinya menjadi merah. Tidak hanya karena marah, juga karena jengah setelah ia mendengar apa sebetulnya daging bulat-bulat itu. Diam-diam ia memaki tuan rumah yang mengeluarkan hidangan macam itu. Gadis ini memang masih asing dengan segala masakan-masakan kota, apalagi masakan-masakan yang begitu mewah. Semenjak kecil ia hanya makan masakan sederhana yang dibuat Bibi Bi Li. Kini untuk mengalihkan perhatian dari masakan yang dianggapnya tidak pantas itu, lalu bertanya kepada Hauw Lam yang masih tertawa-tawa, mentertawakan keadaan dua orang pengemis tadi.

   "Dan ini, apakah ini? Untuk apa? Kelihatannya seperti darah."

   "Bukan darah. Itu namanya kecap, untuk bumbu menambah asin atau manis masakan."

   Sementara itu, dua orang pengemis muda yang sudah bebas daripada daging-daging bulat, kelihatan marah-marah, berdiri dan memandang ke arah meja Kwi Lan sambil melotot. Empat orang kawannya yang lebih tua juga sudah menengok semua dan mereka bicara berbisik-bisik satu kepada yang lain, wajah mereka mengancam. Agaknya mereka sedang mempertimbangkan apa yang akan mereka lakukan terhadap dua orang muda itu tanpa mengganggu jalannya pesta. Mereka berenam hanyalah tokoh-tokoh biasa saja yang datang mewakili pengemis golongan hitam, maka tentu saja mereka segan untuk membuat gaduh dan kacau dalam pesta perayaan pengangkatan Ketua Thian-liong-pang.

   Akhirnya mereka mengambil keputusan untuk menanti sampai upacara berakhir, barulah akan memberi hajaran kepada dua orang muda kurang ajar itu. Pada saat itu terdengar ribut-ribut di luar, bentakan suara laki-laki mengiringi tangis wanita. Semua tamu menengok dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berjubah seperti pendeta, akan tetapi rambutnya panjang riap-riapan dan mukanya seperti seekor singa, matanya lebar dan bersinar liar. Laki-laki berusia lima puluhan tahun ini memegang sebatang cambuk panjang dan dengan cambuk ini ia menggiring dua belas orang wanita muda-muda dan cantik-cantik seperti seorang penggembala menggiring ternak saja.

   Beberapa orang di antara wanita inilah yang mengeluarkan suara tangisan, dan yang lain berjalan dengan muka pucat dan mata penuh kecemasan. Begitu memasuki ruangan itu, kakek ini tertawa dan wajahnya menjadi makin menyeramkan. Rambutnya yang riap-riapan dan terhias bunga-bunga cilan, semacam bunga yang wangi, bergerak-gerak ketika ia tertawa. Melihat tamu ini, Thai-lek-kwi Ma Kiu berubah air mukanya, menjadi girang dan segera turun sendiri menyambut dan menjura.

   "Wah, kiranya sahabat Ci-lan Saikong yang datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar bagi kami."

   "Huah-ha-ha-ha. Thian-liong-pang terkenal dengan Cap-ji-liong (Dua Belas Ekor Naga) yang sungguh gagah perkasa. Kini yang tertua di antaranya akan menjadi ketua, benar-benar menambah keangkeran Thian-liong-pang. Pinceng (aku) datang. untuk memberi hormat kepada Sin-seng Losuhu, dan memberi selamat kepada Thian-liong-pang dengan ketua barunya, dan karena pinceng seorang miskin yang hanya suka mengumpulkan bunga-bunga harum maka pinceng hanya dapat memberi sumbangan dua belas tangkai bunga harum ini untuk hiasan kamar Dua Belas Naga dari Thian-liong-pang sehingga kamar mereka menjadi harum dan membuat mereka enak tidur. Ha-ha-ha"

   Kemudian kakek itu membunyikan cambuknya di atas kepala dua belas orang gadis tawanannya sambil membentak.

   "Hayo kalian lekas berlutut di depan majikan-majikan baru kalian"

   Karena agaknya sudah tahu akan kekejaman kakek itu, dua belas orang gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menundukkan muka.

   Para tamu yang hadir terdiri dari orang-orang golongan hitam, maka peristiwa ini tidaklah mengherankan hati mereka, malah banyak di antara mereka. tertawa-tawa dan terdengar komentar di sana-sini memuji dua belas orang gadis itu dan menyatakan betapa senangnya menerima sumbangan benda hidup seperti itu. Juga Thai-lek-kwi Ma Kiu dan adik-adik seperguruannya serta para anggauta Thian-liong-pang menganggap hal ini biasa dan sewajarnya saja. Akan tetapi karena saat itu adalah saat yang penting dan di situ terdapat banyak tamu, Ma Kiu merasa malu dan jengah juga. Ia kembali menjura dan berkata.

   "Ah, Saudara Ci-lan Sai-kong mengapa begitu sungkan? Kami tidak mengharapkan sumbangan. Kedatanganmu saja sudah cukup menggirangkan hati kami"

   Sungguhpun tidak menolak secara berterang, namun kata-kata ini menyatakan ketidaksenangan hati dengan sumbangan itu, karena diberikan bukan pada saatnya yang tepat.

   "Ha-ha-ha-ha"

   Kakek itu tertawa sambil mengelus jenggotnya yang kaku.

   "Sudah kukatakan tadi, pinceng orang miskin dan hanya suka mengumpulkan cilan. Karena mendengar bahwa para pimpinan Thian-liong-pang mempunyai kesukaan yang sama dengan pinceng maka pinceng membawa dua belas tangkai kembang ini. Jangan Sicu (Tuan yang Gagah) khawatir, bunga-bunga ini masih murni, datang dari keluarga baik-baik dan sengaja kupilih untuk Sicu sekalian"

   Pada saat itu, Si Tua Renta Sin-seng Losu yang tadinya duduk melenggut mengantuk di atas kursi, kini tiba-tiba nampak segar, dan tidak mengantuk lagi. Ia duduk tegak di kursinya, matanya yang setengah lamur itu dilebar-lebarkan untuk memandangi dua belas orang gadis yang berlutut di atas lantai. Kemudian seperti seorang mimpi ia berkata,

   "Sumbangan paling berharga diberikan orang, kenapa banyak rewel? Kalau tidak suka, boleh giring semua ke kamarku"

   "Huah-ha-ha-ha"

   Ci-lan Sai-kong tertawa bergelak sambil berdongak sehingga perutnya yang besar bergerak-gerak turun naik.

   "Sin-seng Losu benar-benar mengagumkan sekali. Orang boleh tua tapi hati harus tetap muda. Kalau Losuhu menghendaki, lain kali boleh pinceng kirim beberapa tangkai bunga yang lebih muda, lebih cantik dan lebih harum"

   "Heh-heh, terima kasih.. ini sudah cukup.. banyak .."

   Biarpun dia sendiri seorang yang tidak pantang melakukan segala macam maksiat, namun sebagai calon ketua perkumpulan besar, Ma Kiu merasa malu juga mendengar percakapan kasar ini. Maka untuk mencegah agar suhunya yang sudah pikun dan jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) Ci-lan Sai-kong itu tidak mengeluarkan omongan-omongan yang tidak patut lagi, ia segera menjura.

   "Banyak terima kasih atas sumbanganmu, kami persilakan duduk dan menikmati hidangan sekadarnya"

   Sambil menyuruh adik-adik seperguruannya membawa para gadis itu ke belakang, ia sendiri lalu mengantar tamu ini ke tempat duduknya. Hauw Lam mengerutkan alisnya, mukanya yang tampan dan biasa bergembira itu berubah sama sekali, sepasang matanya memancarkan sinar kemarahan Kwi Lan melihat hal ini dan merasa heran. Mengapa pemuda, ini marah-marah?

   "Kau kenapa?"

   Ia bertanya lirih.

   "Kenapa? Hemm, tidakkah kau lihat mereka tadi..?"

   Hauw Lam menjawab dengan pertanyaan pula.

   "Ci-lan Sai-kong itu, jai-hwa-cat terkutuk.."

   "Apa itu jai-hwa-cat?"

   Dalam kemarahannya, Hauw Lam berubah gemas dan mengomel.

   "Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa. Tidak mengenal masakan masih tidak aneh, akan tetapi seorang dara dengan kepandaian seperti kau ini yang patut menjagoi dunia kang-ouw, tidak tahu apa itu jai-hwa-cat benar-benar bikin hati mendongkol. Sekan-akan kau mempermainkan aku dan pura-pura tidak tahu"

   Kwi Lan makin heran melihat pemuda ini bertambah kemarahannya.

   "Eh, kau kenapa sih? Mabok agaknya, ya? Aku benar-benar tidak tahu, kau marah-marah. Hayo jelaskan, apa sih yang dinamakan jai-hwa-cat itu? Kakek itu menjemukan, buruk kasar dan menjijikkan, tapi ia seperti seorang pendeta. Apakah jai-hwa-cat itu seorang pendeta? Setahuku, pendeta suka memetik daun-daun dan menggali, akar-akar untuk obat. Memetik bunga (jai-hwa) untuk apa?"

   "Kau benar bodoh, Mutiara Hitam. Pendeta itu hanya berkedok pendeta, akan tetapi di balik kedoknya, ia penjahat yang sejahat-jahatnya. Yang dimaksudkan bunga adalah seorang gadis atau seorang wanita muda. Dia bukan memetik bunga biasa, melainkan tukang culik dan ganggu gadis-gadis muda, Kau lihat dua belas gadis itu.."

   "Hemm, mereka itu orang-orang tidak punya guna. Mereka mau saja dijadikan barang sumbangan. Perlu apa dipikirkan boneka-boneka hidup itu?"

   "Mereka dipaksa"

   "Ih, aku tidak melihat mereka dipaksa. Mereka berjalan dengan sukarela sama sekali tidak melawan."

   "Mereka orang-orang lemah, bagaimana berani melawan?"

   Kwi Lan mengangkat kedua pundak. Ia tetap tidak mengerti dan tidak mempedulikan nasib dua belas orang wanita tadi. Hauw Lam makin mendongkol. Gadis aneh yang telah merampas hatinya ini agaknya selain berwatak luar biasa, juga, hatinya keras dan tidak mempedulikan nasib orang lain.

   Tiba-tiba terjadi keributan kembali dan masuklah dari ruangan depan seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih tinggi kurus dan wajahnya tampan, sikapnya agung dan pakaiannya biarpun tidak baru, namun bersih dengan potongan pakaian pelajar. Di pinggang orang ini tergantung sebatang pedang. Begitu masuk, semua orang tahu bahwa pelajar tua ini sedang marah, sepasang matanya yang tajam mengeluarkan sinar. Ia langsung melangkah lebar ke dalam ruangan tamu, berhenti di depan Sin-seng Losu lalu menudingkan telunjuknya dan berteriak.

   "Sin-seng Losu"

   Bagaimana pertanggunganjawabmu terhadap Thian-liong-pang? Kulihat betapa Thian-liong-pang berubah menjadi perkumpulan iblis yang jahat dan yang mengotorkan nama kami para patriot Hou-han. Tadinya melihat muka mantumu, Siangkoan Bu yang gagah perkasa dan dapat membawa Thian-liong-pang ke jalan benar, aku masih bersabar menyaksikan sepak terjangmu. Akan tetapi setelah Siangkoan Bu meninggal, kau dan murid-muridmu makin merajalela melakukan kejahatan-kejahatan yang keji, menyeret nama bersih Thian-liong-pang sebagai tempat perkumpulan para patriot Hou-han menjadi perkumpulan bangsat-bangsat dan penjahat-penjahat"

   Mendengar ucapan ini Ma Kiu melompat bangun diturut sebelas orang adik seperguruannya.

   "Heh, orang she Ciam. Engkau dahulu memang tokoh Thian-liong-pang, akan tetapi dengan kehendakmu sendiri kau pergi mengundurkan diri sehingga kalau tidak ada Suhu kami, tentu Thian-liong-pang sudah bubar dan hancur diperhina orang lain. Kini Thian-liong-pang menjadi perkumpulan yang besar, dihormati orang di dunia kangouw, dan kau berani datang bersikap kurang ajar terhadap Suhu? Apakah kau sudah bosan hidup?"

   "Ciam-sicu, mengingat engkau masih bekas pemimpin Thian-liong-pang dan mengingat akan hubungan kita yang lalu, biarlah kumaafkan kata-katamu yang kasar tadi."

   Terdengar Sin-seng Losu berkata tenang.

   "Akan tetapi katakanlah mengapa datang-datang kau memaki dan marah-marah? Bukankah anak buahku sudah pula memberi kabar kepadamu dan memberi undangan?"

   "Aku tidak peduli akan upacara pengangkatan ketua baru, asal saja Thian-liong-pang dibawa ke jalan benar. Akan tetapi, aku sedang mengejar Ci-lan Sai-kong Si Penjahat Pemetik Bunga yang terkutuk, yang telah menculik belasan orang gadis. Siapa kira, dua belas orang gadis itu diculiknya untuk diantarkan ke sini. Hayo menyangkallah kalau bisa. Bukankah Sai-kong keparat itu mengantarkan mereka ke sini sebagai sumbangan? Beginikah wataknya para pimpinan Thian-liong-pang sekarang? Begini rendah dan bejat?"

   "He-heh, Ciam-sicu. Apa pun yang dipersembahkan orang, kalau itu merupakan sumbangan, tidak baik untuk ditolak. Menolaknya berarti menghina dan tidak menghargai maksud baik orang lain. Memang kami telah menerima sumbangan Ci-lan Sai-kong. Akan tetapi kalau kau menghendaki mereka, biarlah kuberikan mereka kepadamu,"

   Kembali Ketua Thian-liong-pang itu berkata penuh kesabaran.

   Ia sebetulnya tidak takut terhadap orang she Ciam itu, akan tetapi mengalah karena mengingat akan perhubungan mereka yang lalu. Ciam Goan ini dahulu adalah seorang di antara pimpinan Thian-liong-pang dan terkenal aktif serta setia terhadap perkumpulan. Baru sepuluh tahun yang lalu, karena makin tidak suka akan sepak terjang pimpinan baru ia mengundurkan diri dan tidak pernah mencampuri Thian-liong-pang. Baru sekarang ia tiba-tiba muncul dan marah-marah karena melihat betapa penjahat pemetik bunga yang dikejar-kejarnya itu memberikan gadis-gadis culikannya sebagai sumbangan kepada pimpinan Thian-liong-pang.

   "Sin-seng Losu. Kau masih mempunyai rasa malu, itu bagus. Lekas bebaskan dua belas orang gadis itu dan selanjutnya aku tidak akan mencampuri urusan Thian-liong-pang lagi karena semenjak saat ini, aku bersumpah takkan sudi lagi menginjak lantai ini"

   Mendengar kata-kata ini, Sin-seng Losu menoleh ke arah dua belas orang muridnya. Sikapnya jelas hendak mengalah dan gerakan mukanya merupakan perintah agar murid-muridnya membebaskan dua belas orang gadis sumbangan Ci-lan Sai-kong.

   Di dalam hatinya Ma Kiu dan adik-adiknya merasa mendongkol dan marah sekali. Mereka memang suka dengan wanita-wanita cantik, akan tetapi bagi mereka amat mudah mendapatkan wanita cantik, baik dengan mengandalkan uang, kedudukan, maupun kepandaian dan tentu saja mereka tidak begitu kukuh,untuk menahan dua belas orang gadis tadi. Akan tetapi, sikap Ciam Goan amat merendahkan mereka dan kalau mereka mengalah, mereka merasa malu kepada para tamu. Selain itu, mereka pun tahu bahwa gurunya mengalah hanya karena mengingat bahwa Ciam Goan ini dahulu bekas pemimpin Thian-liong-pang. Soal kepandaian, sungguhpun Ciam Goan cukup lihai, namun mereka tidak gentar menghadapinya. Karena inilah, Ma Kiu menjadi ragu-ragu untuk menyetujui sikap gurunya yang mengalah. Pada saat itu, terdengar suara ketawa keras dan Ci-lan Sai-kong sudah melompat bangun menghadapi Ciam Goan. Sambil bertolak pinggang orang tinggi besar itu tertawa dan berkata.

   "Huah-ha-ha-ha, Cacing kurus yang bicara besar dan sombong. Engkau bilang mengejar dan mencari pinceng? Dua belas tangkai bunga itu adalah pinceng yang menyumbangkan kepada dua belas orang gagah Thian-liong-pang, dan karena pinceng masih berada di tempat ini, masih menjadi tanggung jawab pinceng"

   "Bagus. Memang aku akan membunuhmu, jai-hwa-cat"

   Bentak Ciam Goan dengan marah.

   Bekas tokoh Hou-han ini tidak peduli akan semua tamu lain karena kemarahannya sudah meluap-luap. Yang membuat marah sekali bukan hanya melihat penjahat cabul penculik gadis-gadis remaja itu, melainkan terutama sekali karena melihat betapa Thian-liong-pang yang tadinya menjadi harapan para patriot Hou-han untuk membangun kembali kerajaan yang sudah runtuh, kini ternyata menyeleweng menjadi sarang penjahat kejam terkutuk. Maka kini dengan kemarahan meluap ia mencabut pedangnya dan langsung menerjang Sai-kong itu dengan tusukan kilat ke arah dada, Harus diketahui bahwa Ciam Goan ini adalah putera tunggal mendiang Ciam-ciangkun seorang panglima Kerajaan Hou-han dan dalam hal ilmu pedang,

   Ia telah digembleng oleh seorang pamannya, adik ibunya, juga seorang panglima, yaitu Panglima Giam Siong yang terkenal jagoan. Ilmu pedangnya bersumber kepada ilmu pedang Kun-lun-pai, maka mengutamakan kecepatan gerak dan perubahan. Mendengar suara angin pedang berdesing dan melihat serangan yang cepat ini, Ci-lan Sai-kong tidak berani memandang rendah. Sambil berseru keras ia sudah meloncat mundur sambil mengibaskan lengan bajunya yang lebar dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya sudah menghunus keluar sebatang golok tipis yang mengkilap saking tajamnya.

   Ujung pedang di tangan Ciam Goan sudah datang lagi dengan tusukan kearah leher. Kini Ci-lan Sai-kong menggerakkan goloknya menangkis sambil mengerahkan tenaganya. Sai-kong ini adalah seorang ahli gwa-kang (tenaga luar) sehingga tenaganya amat besar. Terdengar bunyi nyaring ketika dua senjata beradu. Diam-diam Ciam Goan terkejut sekali. Untung tadi sudah menduga akan besarnya tenaga lawan, sehingga ia telah mengerahkan Iwee-kang dan ketika pedangnya ditangkis, ia dapat menghadapi tenaga keras dengan tenaga lemas. Dengan cara ini, walaupun tertangkis keras, pedangnya tidak terpental melainkan menempel pada golok sehingga tidak ada bahaya terlepas atau rusak.

   Selagi Sai-kong itu terkejut karena tangkisannya yang keras tidak berhasil membuat pedang lawan terpukul jatuh, Ciam Goan sudah membuat pedangnya meleset dan langsung dengan gerakan nyerong pedangnya itu menyambar ke arah lengan kanan lawan. Inilah jurus ilmu pedang Kun-lun yang bernama Hunin-toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung), amat berbahaya karena yang diserang bukan bagian tubuh lain melainkan lengan kanan yang memegang golok"

   

Suling Emas Eps 22 Cinta Bernoda Darah Eps 10 Cinta Bernoda Darah Eps 33

Cari Blog Ini