Ceritasilat Novel Online

Mutiara Hitam 8


Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo Bagian 8



Kwi Lan memegang kedua tangan pemuda itu.

   "Siangkoan Li, kalau begitu.. yang menolong aku dan Berandal keluar dari sumur itu.. engkaulah orangnya?"

   Siangkoan Li menundukkan mukanya yang menjadi merah.

   "Aku seorang pengkhianat kotor.. aku.. aku akan menebus dosa, akan menanti sampai Gwa-kong kembali.."

   Hidup bagiku sudah memuakkan, lebih baik menyusul Ayah Ibu.."

   "Siangkoan Li, mengapa seorang gagah seperti kau ini bisa mengucapkan kata-kata pengecut seperti itu? Orang yang bosan hidup, yang mengharapkan kematian, adalah seorang pengecut yang tidak berani menentang kesulitan hidup, demikian kata Guruku. Biarpun semua orang menganggapmu sebagai seorang tokoh dunia hitam, akan tetapi aku, Kam Kwi Lan, menganggapmu seorang sahabat yang baik dan gagah"

   "Kam Kwi Lan? Itukah namamu, Nona..?"

   Kwi Lan terkejut. Karena merasa kasihan, ia sampai memperkenalkan namanya secara tak sadar. Karena sudah terlanjur, ia lalu berkata,

   "Benar, itulah namaku. Nama julukan Mutiara Hitam adalah pemberian Si Berandal."

   "Si Berandal? Pemuda tampan yang datang bersamamu? Dia tampan dan lihai sekali. Di mana dia sekarang?"

   "Dia pergi mencari Ibu kandungnya. Siangkoan Li, kau tadi mengatakan bahwa kau akan menebus dosa menanti kembalinya Sin-seng Losu. Apa yang hendak kau lakukan?"

   Dalam percakapan tadi ketika Si Nona memperkenalkan nama, pada wajah yang tampan itu tampak sedikit cahaya gembira, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, kembali wajahnya menjadi muram. Sejenak ia tidak menjawab, melainkan memandang ke arah pohon-pohon yang mulai tampak karena tanpa mereka sadari, sang malam telah mulai diusir oleh sinar matahari pagi. Kicau burung menyambut datangnya fajar.

   "Aku harus mengakui perbuatanku di depan mereka, harus berani menebus dosaku dan menerima hukuman."

   "Ah, mengapa begitu? Tinggalkan saja Thian-liong-pang dan mereka yang hidup bergelimang kejahatan"

   Teriak Kwi Lan penasaran. Tiba-tiba Siangkoan Li melompat bangun.

   "Tidak"

   Tak mungkin Thian-liong-pang adalah perkumpulan yang didirikan oleh mendiang Ayahku. Ayah Ibuku telah menyerahkan nyawa mereka untuk Thian-liong-pang. Masa aku harus melarikan diri? Meninggalkan Thian-liong-pang? Tidak, Kwi Lan. Aku takkan mundur biarpun harus menghadapi kematian."

   "Tapi, orang tuamu mati untuk Thian-liong-pang dalam membela Hou-han, mereka mati sebagai pahlawan-pahlawan utama. Akan tetapi kau.., kau hendak menyerahkan nyawa sebagai seorang pengkhianat Thian-liong-pang? Selagi Thian-liong-pang dikuasai orang-orang jahat?"

   Siangkoan Li menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Betapapun juga, masih ada Sin-seng Losu di situ dan kau harus ingat, dia adalah Gwakong (Kakek Luar) bagiku. Andaikata tidak ada dia, tentu aku sudah akan mengadu nyawa dengan Cap-ji-liong untuk membasmi mereka dari Thian-liong-pang"

   "Marilah kita berdua sekarang juga menghadapi mereka. Siangkoan Li, kau percayalah, kita berdua akan dapat menghancurkan mereka. Kulihat kepandaianmu jauh lebih tinggi daripada Cap-ji-liong.."

   Siangkoan Li mengangguk.

   "Memang, terhadap Cap-ji-liong aku tidak takut. Biarpun mereka itu terhitung Suheng-suhengku sendiri karena aku pun mendapat pelajaran ilmu silat dari Gwakong, akan tetapi aku masih mempunyai dua orang Guru yang ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaian Gwakong."

   "Siapakah mereka itu?"

   Kwi Lan bertanya kagum. Siangkoan Li menggeleng kepala.

   "Tidak boleh kusebut, sungguhpun andaikata kukatakan juga, kau takkan mengenalnya. Agaknya antara gurumu dan guruku ada persamaan keanehan dalam hal nama ini. Kau bilang gurumu tidak terkenal sama sekali. Akan tetapi kurasa gurumu masih jauh lebih terkenal daripada guruku yang benar-benar tak ada seorang pun mengenalnya."

   Tiba-tiba Siangkoan Li memandang ke depan dan wajahnya menegang. Kemudian ia memegang tangan Kwi Lan, menggenggam tangan yang kecil halus itu sejenak sambil berkata,

   "Sudahlah, Kwi Lan. Mereka sudah datang. Selamat berpisah. Kau percayalah, pertemuan ini merupakan satu-satunya hal yang paling menyenangkan hatiku selama hidupku dan sampai mati pun aku tidak akan melupakan kebaikanmu."

   Setelah berkata demikian, Siangkoan Li melepaskan pegangan tangannya dan dengan langkah lebar ia pergi meninggalkan Kwi Lan.

   Kwi Lan berdiri di depan guha dengan hati bimbang. Biarpun pemuda itu sudah dua kali menolongnya, akan tetapi pemuda itu bukan apa-apanya. Orang lain yang kebetulan bertemu di situ. Urusan pribadi pemuda itu tiada sangkut-pautnya dengan dirinya. Kalau pemuda itu begitu setia kepada Thian-liong-pang dan begitu bodoh untuk menyerahkan diri minta dihukum, peduli apakah dengan dia? Berpikir demikian, Kwi Lan juga mulai berjalan meninggalkan tempat itu. Ia masih gemas kala mengingat kuda hitamnya yang hilang. Matikah kuda itu? Hanyut dan tenggelam? Ataukah terampas para bajak?

   Pemuda yang aneh, kembali ia berpikir tentang diri Siangkoan Li. Tidak mudah baginya untuk melupakan pemuda itu begitu saja. Masih terngiang di telinganya ucapan pemuda itu ketika hendak berpisah, ucapan yang agak gemetar. Pertemuan yang paling menyenangkan hatinya selama hidupnya. Sampai mati pun pemuda itu takkan melupakannya. Hemmm, Kwi Lan merasa betapa mukanya menjadi panas. Jantungnya berdebar aneh, seperti ketika Hauw Lam si Berandal menyatakan cinta kasihnya kepadanya di dalam sumur.

   Siangkoan Li merupakan pemuda yang aneh. Akan tetapi ada perbedaan mencolok dalam sikap mereka. Hauw Lam selalu gembira dan jenaka, nakal dan lucu. Sebaliknya, Siangkoan Li selalu muram dan sedih. Mengenangkan Hauw Lam menimbulkan kegembiraan. Mengenangkan Siangkoan Li menimbulkan keharuan. Akan tetapi keduanya sama baiknya. Sama tampan, sama lihai dan keduanya sama amat baik kepadanya. Hauw Lam sedang pergi mencari ibu kandungnya, dan Siangkoan Li.. pergi mencari maut. Ah, tidak boleh begini. Ia harus melarangnya, harus mencegahnya.

   Kwi Lan lalu pergi mengejar. Siangkoan Li sudah tak tampak lagi bayangannya akan tetapi karena waktu itu matahari telah mulai muncul mengusir kegelapan, ia dapat lebih mudah mencari pemuda itu. Ia mendapatkan pemuda itu di tepi Sungai Huang-ho dalam keadaan.. terbelenggu kedua tangannya dan sedang dimaki-maki oleh Sin-seng Losu, disaksikan oleh seorang di antara Cap-ji-liong dan seorang kakek kurus berjenggot lebat.

   Siangkoan Li hanya menundukkan mukanya dengan kening berkerut, kelihatan berduka sekali. Melihat keadaan pemuda ini, darah Kwi Lan sudah bergolak saking marahnya. Di situ hanya terdapat tiga orang Thian-liong-pang, biarpun yang seorang adalah tokoh terbesar, Sin-seng Losu. Andaikata Cap-ji-liong lengkap berada di situ sekalipun, ia tidak akan gentar menghadapi mereka untuk menolong Siangkoan Li. Pemuda itu telah dua tiga kali menolongnya, tidak hanya menolongnya daripada bahaya maut, bahkan dari bahaya yang lebih hebat dari pada maut.

   "Sin-seng Losu tua bangka jahat. Hayo bebaskan Siangkoan Li"

   Bentaknya sambil muncul dari belakang batang pohon dengan pedang di tangan. Seorang di antara Cap-ji-liong yang memakai mutiara kuning di dahi seperti Siangkoan Li, menoleh dan mukanya menjadi marah sekali ketika ia mengenal Kwi Lan. Bagaikan kilat cepatnya, tangan kirinya bergerak dan pada saat itu Siangkoan Li berseru,

   "Thio-suheng.. jangan.., Nona Kam, jangan turut campur.."

   Namun terlambat. Tiga buah Sin-seng-piauw sudah menyambar ke arah tubuh Kwi Lan, akan tetapi gadis ini menggerakkan pedang menyampok runtuh tiga batang Sin-seng-piauw sedangkan tangan kirinya sudah menyebar jarumnya ke arah anggauta Cap-ji-liong itu.

   Orang she Thio ini cepat meloncat untuk mengelak, namun kurang cepat karena Kwi Lan melepas jarum secara luar biasa sekali. Ia melepas dengan gerakan sekaligus, namun ternyata jarum-jarum di tangannya telah terpecah menjadi dua rombongan. Rombongan pertama menyerang cepat sekali sedangkan rombongan kedua, biarpun disambitkan dalam waktu yang sama, lebih lambat dan merupakan jarum penutup jalan keluar sehingga ke mana pun juga lawan mengelak, tentu akan disambut oleh jarum-jarum rombongan ke dua ini. Anggauta Cap-ji-liong itu kaget namun terlambat. Pahanya tertusuk sebatang jarum yang amblas sampai tidak tampak menembus celana, kulit dan dagingnya. Seketika tubuhnya menjadi kaku dan ia roboh pingsan.

   "Wuuuttt.. singgg.."

   Masih untung bahwa Kwi Lan mempunyai kegesitan yang mengagumkan dan gerakan yang aneh. Otomatis tubuhnya mencelat ke kiri sampai hampir menyentuh tanah untuk mengelak sambaran pedang yang amat luar biasa itu. Ketika ia berjungkir balik memandang, kiranya yang menyerangnya adalah orang kurus berjenggot lebat. Diam-diam Kwi Lan terkejut juga. Gerakan pedang orang ini hebat sekali, jauh lebih hebat daripada orang-orang Cap-ji-liong. Padahal Cap-ji-liong adalah orang-orang Thian-liong-pang yang menduduki tingkat satu. Kalau begitu orang itu tentu bukan orang Thian-liong-pang.

   Ia memandang penuh perhatian. Orang itu tinggi kurus mukanya pucat kehijauan, tanda bahwa dia telah melatih semacam ilmu Iweekang yang aneh dan dalam. Rambut dan jenggotnya awut-awutan tak terpelihara, juga kotor seperti seorang pengemis terlantar. Namun pakaiannya bukan seperti pakaian pengemis. Agaknya seorang pertapa yang sudah tidak peduli akan kebersihan dirinya lagi. Mukanya kurus tak berdaging, hanya kulit pembungkus tengkorak. Tentu usianya sudah tua sekali. Orang ini
(Lanjut ke Jilid 08)
Mutiara Hitam (Seri ke 04 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 08
berdiri memandangnya dengan muka seperti kedok, sedikit pun tidak membayangkan perasaan sesuatu, juga mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata.

   "Susiok, harap jangan layani dia. Nona Kam, kau pergilah.."

   Kalimat terakhir itu ditujukan kepada Kwi Lan dengan pandang mata penuh kedukaan. Makin tidak tega hati Kwi Lan, maka ia menghadapi kakek berpedang itu sambil mengejek,

   "Kalian bebaskan dia atau.. pedangku harus bicara?"

   "Sute (Adik Seperguruan), kau wakili aku hajar siluman ini"

   Sin-seng Losu berkata.

   Kini tahulah Kwi Lan bahwa kakek kotor ini adalah adik seperguruan Sinseng Losu, pantas saja Siangkoan Li menyebutnya paman guru. Ia melihat betapa orang itu menggetarkan pedangnya di tangan kanan sedangkan tangan kirinya tergetar hebat lalu menjadi kaku dengan jari-jari membentuk cakar garuda. Kemudian tubuh orang itu menubruk ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang sedangkan tangan kirinya mencakar ke arah mukanya. Sukar dikatakan mana yang lebih berbahaya, pedang itu ataukah jari-jari tangan kiri itu. Keduanya mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan amat kuatnya.

   Sambutan Kwi Lan atas serangan dahsyat dan aneh ini tidak kalah luar biasanya. Gerakan Kwi Lan memang aneh dan tidak terduga-duga. Bahkan sudah menjadi inti daripada ilmu silat Kam Sian Eng bahwa setiap serangan lawan merupakan pintu yang terbuka dan merupakan kesempatan untuk dibalas serangan yang mematikan. Tanpa mempedulikan keselamatan sendiri, Kwi Lan sudah meloncat tinggi ke atas sehingga pedang lawan lewat di bawah kedua kakinya dan berbareng pedang Siang-bhok-kiam di tangannya bergerak menyambar ke bawah membabat tangan kiri lawan yang mencakarnya tadi.

   Kakek itu membelalakkan mata dan agaknya hanya gerakan mata ini sajalah yang menyatakan bahwa ia merasa kaget sekali karena bagian muka yang lain tetap seperti kedok. Namun ternyata ia lihai sekali. Karena tidak keburu menarik kembali lengan kirinya yang kini menjadi sasaran pedang lawan, ia segera membuang diri ke belakang sehingga roboh terlentang sambil memutar pedang di depan dada dan bergulingan. Secepat kilat ia sudah bangun kembali dan kini mereka sudah berhadapan lagi. Keduanya sama maklum bahwa lawan adalah seorang yang lihai. Namun Kwi Lan tetap tersenyum mengejek, menanti serangan lawan. Kakek itu kini menerjang kembali sambil memutar pedang dengan gerakan dahsyat sekali. Pedangnya membacok-bacok secara bertubi, kiri kanan atas bawah, diselang-seling namun tak pernah berhenti, mengikuti bayangan dan gerakan lawan.

   Kwi Lan memperlihatkan kegesitannya, terus mengelak dengan sedikit miringkan tubuh sehingga pedang lawan menyambar-nyambar di samping tubuhnya, bahkan kadang-kadang kelihatan seperti sudah menyerempetnya"

   Makin lama makin gencar serangan aneh dan hebat ini. Pedang itu seakan-akan digerakkan oleh mesin, tak pernah berhenti menyerang dan setiap bacokan disertai tenaga dahsyat. Setelah dua puluh jurus lewat Kwi Lan hanya menghadapinya dengan elakan-elakan segesit burung walet, gadis ini lalu berseru nyaring dan pedang Siang-bhok-kiam berubah menjadi sinar hijau bergulung-gulung yang makin lama makin luas lingkarannya dan betapa pun lawannya memutar pedang setelah lewat lima puluh jurus, sinar hijau mulai menggulung dan melibat sinar pedang kakek itu.

   Kakek ini sebenarnya bukan orang sembarangan. Dia bernama Yo Cat, murid dari tokoh besar Siauw-bin Lo-mo paman guru Sin-seng Losu. Di dalam dunia hitam, ia sudah menduduki tingkat tinggi, sejajar dengan Sin-seng Losu. Karenanya jarang ia bertemu tanding. Siapa kira, hari ini, selagi ia ikut dengan suhengnya itu untuk mempersiapkan tempat istirahat bagi gurunya yang akan datang berkunjung ke Yen-an, ia bertemu seorang gadis muda belia yang tidak hanya mampu menandinginya, bahkan kini mendesaknya dengan ilmu pedang yang hebat dan luar biasa, dimainkan dengan sebatang pedang kayu pula.

   "Auuuggghhhh.."

   Hebat sekali pekik yang keluar dari dalam perut melalui kerongkongan Yo Cat ini, bukan seperti suara manusia lagi, dahsyat dan liar, lebih mirip suara binatang buas atau suara iblis. Kwi Lan adalah seorang gadis gemblengan yang telah mempelajari pelbagai ilmu yang aneh-aneh dengan cara yang aneh pula. Namun menghadapi Yo Cat yang terlatih puluhan tahun lamanya dan sudah menjadi ahli sebelum gadis ini terlahir, apalagi menghadapi ilmu hitam Koai-houw Ho-kang (Auman Harimau Iblis) ini, jantungnya tergetar dan tubuhnya menggigil. Gerakan pedangnya kacau dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Lebih hebat lagi, setelah mengeluarkan ilmu menggereng yang dahsyat itu, Yo Cat terus menerjang maju dan melakukan tekanan-tekanan berat.

   Ada satu hal yang menguntungkan Kwi Lan, yaitu wataknya yang tabah dan hatinya yang tidak pernah mau kenal apa artinya takut. Kalau ia merasa takut, celakalah ia karena kelemahan orang menghadapi ilmu semacam Koai-houw Ho-kang itu adalah perasaan takut. Kalau hati merasa gentar, makin hebat pengaruh ilmu itu sehingga mungkin tanpa bertanding lagi orang sudah bertekuk lutut. Karena hatinya sama sekali tidak gentar, pengaruh gerengan dahsyat itu sebentar saja dan Kwi Lan sudah dapat menetapkan perasaannya lagi. Pedangnya mulai memperhebat lagi gerakannya dan dalam waktu singkat saja kembali ia telah mengurung dan mendesak. Yo Cat boleh jadi lihai dan banyak pengalamannya, namun menghadapi ilmu pedang tingkat tinggi yang dilatih di bawah bimbingan seorang jago wanita gila, tentu saja ia menjadi bingung sekali, tak dapat menduga-duga bagaimana perubahan pedang itu sehingga menjadi mati kutu.

   "Eh, budak cilik, kau kurang ajar sekali"

   Seruan ini keluar dari mulut Sin-seng Losu yang sudah melompat ke depan dan sekali tangan kirinya bergerak, tampak sinar berkilauan menyambar ke arah Kwi Lan. Sinar ini adalah senjata rahasia Sin-seng-piauw, namun jauh bedanya dengan piauw yang dilepas oleh semua anak murid Thian-liong-pang. Piauw ini memang bentuknya seperti bintang, akan tetapi terbuat daripada perak berkilauan dan karena kakek ini yang menciptakan senjata rahasia itu, tentu saja cara menggunakannya pun hebat luar biasa.

   "Gwakong (Kakek Luar), jangan.."

   Terdengar Siangkoan Li berseru kaget.

   Kwi Lan maklum bahwa ia diserang dengan senjata rahasia. Karena ia masih menghadapi pedang Yo Cat yang tak boleh dipandang ringan, maka perhatiannya kurang sepenuhnya terhadap datangnya serangan Sin-eng-piauw. Ketika ia melirik, ia kaget sekali melihat sinar-sinar berkeredepan menyambarnya dari kanan kiri bawah dan atas, sinar-sinar yang menyambar tanpa mengeluarkan bunyi akan tetapi yang kecepatannya menyilaukan mata.

   Celaka, Kwi Lan berseru kaget dalam hati. Ia cepat meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya, namun bagaikan ada matanya, piauw-piauw perak itu melejit dan menyambar seperti gila. Ketika ia berseru keras dan meloncat tinggi, semua piauw lewat di bawah kakinya kecuali sebuah yang secara aneh telah menancap betis kaki kirinya. Untung baginya bahwa tadi Kwi Lan sudah bersiap-siap dan begitu merasa kakinya disambar ia telah menutup jalan darah dan mengerahkan Iwee-kang sehingga senjata rahasia itu hanya separuhnya saja menancap di daging betisnya. Pada saat tubuhnya masih di udara, Yo Cat menerjang maju dengan tusukan pedangnya, dan lebih hebat lagi, Sin-seng Losu sudah mengerahkan sin-kang di lengan kanannya dan mengirim pukulan jarak jauh yang amat hebat dan sukar ditangkis.

   "Auhhhh.. hehhh.. kau berani.. berani..?"

   Terdengar Sin-seng Losu terengah-engah dan tubuhnya terdorong mundur dan terhuyung-huyung. Kiranya pukulannya telah ditangkis oleh kedua tangan Siangkoan Li yang terbelenggu. Melihat ini, Kwi Lan yang tubuhnya masih di udara dan menghadapi terjangan Yo Cat, mengeluarkan lengking tinggi dan tiba-tiba tubuhnya bagaikan seekor ular raja menggeliat aneh di udara namun pedang lawan menyelinap di bawah ketiak kirinya, langsung ia kempit dan pedangnya sendiri menyambar ke lengan kanan lawan.

   "Iihhh.."

   Suara ini keluar dari mulut Yo Cat yang cepat melepaskan pedangnya dan menarik lengannya, namun kurang cepat sehingga lengannya dekat siku terkena serempetan pedang, terluka dan darahnya bercucuran Si Muka Mayat ini meloncat ke belakang dan memegangi lengan kanan, agaknya khawatir kalau-kalau gadis yang perkasa itu mendesaknya dengan serangan maut. Akan tetapi Kwi Lan menengok ke arah Siangkoan Li yang sudah menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.

   "Gwakong.. kau tak boleh membunuhnya.. tak boleh.."

   Pemuda itu mengeluh berkali-kali.

   "Anak keparat, cucu durhaka.. hehhehhh.. berani kau.. huh-huhh.. kubunuh kau.."

   Sekali meloncat, tubuh Kwi Lan berkelebat dan ia sudah berdiri menghadang di depan Siangkoan Li, mulutnya tersenyum dan matanya memandang kakek itu dengan penuh ancaman. Akan tetapi kekhawatirannya hilang ketika ia melihat betapa kakek itu berdiri dengan muka pucat, dengan napas senin kamis dan di ujung mulutnya menetes-netes darah segar. Diam-diam Kwi Lan terkejut sekali dan kagum. Jelas bahwa Sin-seng Losu bukan seorang lemah. Sambitannya Peluru Bintang Sakti tadi sudah amat berbahaya, kemudian pukulannya jarak jauh juga hebat. Mengapa sekali ditangkis oleh Siangkoan Li, kakek itu menderita luka dalam yang tidak ringan? Sampai di manakah tingkat kepandaian pemuda yang berkali-kali menolongnya ini?

   "Kalian ini dua orang tua bangka yang bosan hidup. Hari ini nonamu akan mengantar kalian ke neraka"

   Kwi Lan menyerbu dengan pedangnya, akan tetapi tiba-tiba lengan kirinya dipegang orang dari belakang. Ternyata Siangkoan Li yang memegangnya dan pemuda itu berkata dengan nada sedih.

   "Jangan, Kwi Lan. Dan lekas kau keluarkan obat pemunah jarummu untuk Suhengku. Lekaslah, harap, kau sudi melihat mukaku dan menolongnya."

   Kwi Lan melongo. Pemuda aneh sekali. Jelas bahwa ia diperlakukan tidak baik, mengapa masih nekad hendak menolong mereka? Akan tetapi mengingat bahwa sudah berkali-kali ia ditolong, tidak enaklah hatinya untuk menolak permintaan itu. Dengan bersungut-sungut tak puas ia mengeluarkan sebungkus kecil obat bubuk dan berkata,

   "Robek kulitnya, keluarkan jarum dan pakai obat ini pada lukanya."

   Siangkoan Li menerima bungkusan itu, memberikan kepada suhengnya.

   "Thio-suheng, kau pakailah ini"

   Akan tetapi suhengnya membuang muka dan menghardik.

   "Tutup mulutmu, pengkhianat"

   Siangkoan Li mengerutkan keningnya lalu meletakkan bungkusan di dekat kaki suhengnya yang masih rebah tak dapat bangun. Kemudian ia menghampiri Kwi Lan dan berkata.

   "Nona Kam, harap engkau sekarang segera pergi dari sini. Kalau sampai para suhengku datang, engkau tentu akan celaka dan aku tidak akan mampu menolongmu lagi."

   Kwi Lan mengeluarkan suara mendengus di hidungnya.

   "Huh, kau tidak takut mati, apa kau kira aku pun takut mati? Biarlah mereka membunuhku kalau mereka mampu."

   "Nona.., Kwi Lan.., aku tidak ingin melihat kau mati karena aku"

   "Aku pun tidak ingin melihat kau mati. Aku mau pergi kalau engkau pun mau pergi bersama meninggalkan tempat ini"

   "Jahanam besar kau, Siangkoan Li. Kau membikin mayat Ayahmu membalik di dalam kuburnya. Berani main cinta-cintaan dengan seorang musuh perkumpulan. Hah, bocah macam apa ini"

   Sin-seng Losu sudah memaki-maki lagi.

   "Kwi Lan, aku seorang anak Thian-liong-pang, harus tunduk dan setia. Aku sudah berdosa, biarlah aku menerima hukuman. Akan tetapi kau orang luar, kau pergilah dan jangan membikin aku mati penasaran karena kau menderita celaka."

   Kini Kwi Lan menjadi marah. Dengan pedang di tangan ia membentak,

   "Siangkoan Li, Engkau ini pemuda macam apa begini lemah dan buta? Memang benar kau adalah orang Thian-liong-pang, akan tetapi Ayahmu dahulu adalah seorang patriot sejati, seorang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan bukan golongan orang jahat. Terhadap perkumpulan seperti ketika dipimpin Ayahmu itu, aku tidak akan merasa heran apabila engkau mengambil sikap seperti ini, bersetia sampai mati. Siangkoan Li, engkau melihat sikap Ciam Goan? Nah, dialah orang gagah sejati, yang melihat betapa Thian-liong-pang menjadi busuk di bawah pimpinan Gwakongmu yang berjiwa kotor ini rela meninggalkan Thian-liong-pang dan kalau perlu memusuhinya. Bukan memusuhi perkumpulannya, melainkan orang orangnya yang menyeleweng daripada kegagahan. Siangkoan Li, aku tidak bisa bicara banyak dan pengetahuanku pun sedikit. Akan tetapi karena kau seorang yang sudah melepas budi berkali-kali kepadaku, aku harus membelamu dengan taruhan nyawaku. Pernah Guruku bilang bahwa orang hidup tentu akhirnya mati. Akan tetapi kematian yang paling memalukan adalah kematian seorang pengecut yang tidak berani menentang kelaliman. Demi untuk kebenaran, jangankan hanya perkumpulan atau teman-teman, biar orang tua sendiri kalau perlu boleh saja dilawan"

   Hebat kata-kata ini, apalagi kalimat yang terakhir. Pada jaman itu, kebaktian merupakan kebajikan mutlak dan nomor satu. Tidak ada kejahatan yang buruk daripada kemurtadan anak terhadap orang tua demi membela kebenaran"

   Ini hanya dapat diucapkan oleh seorang yang otaknya tidak waras.

   "Dengar.., Dengar itu omongan iblis betina. Omongan perempuan gila. Siang koan Li, kau berani murtad terhadap Kakekmu?"

   Sambil berlutut Siangkoan Li berkata,

   "Tidak, Gwakong, aku tidak berani.."

   Kemudian ia menoleh ke arah Kwi Lan.

   "Kwi Lan, kau pergilah. Lekas mereka telah datang.."

   "Biarkan mereka datang. Biar aku mati aku tidak mau pergi tanpa kau ikut pergi. Kau sudah menolong nyawaku, aku harus membalasnya sedikitnya satu kali"

   Kata Kwi Lan dengan suara tetap.

   "Celaka.., Kwi Lan, kau tahu, siapa kakek itu?"

   Ia menuding ke arah kakek yang terluka lengan kanannya.

   "Dia itu susiok Yo Cat, dia itu murid sucouw yang akan datang pula bersama Cap-ji-liong. Biar ada lima orang engkau dan aku belum tentu akan dapat melawannya."

   Akan tetapi Kwi Lan hanya tersenyum saja. Makin lama Siangkoan Li makin bingung dan kini dari jauh tampak layar beberapa buah perahu. Siangkoan Li meloncat bangun, menghampiri Kwi Lan, memegang lengannya dan berseru.

   "Kalau begitu, demi keselamatanmu, kita pergi.."

   Kwi Lan ikut berlari, membiarkan dirinya ditarik. Siangkoan Li. Tak lama kemudian ia berseru,

   "Eh, eh, kenapa lari ketakutan? Mari kita lawan bersama."

   "Hushhh.. diamlah. Aku tahu jalan rahasia yang tak mungkin dapat mereka kejar dan cari. Mari.."

   Mereka lari memasuki sebuah hutan yang gelap dan memang pemuda itu tidak bohong. Ia melalui jalan menyusup-nyusup yang amat sukar, bukan jalan manusia lagi dan kalau bukan orang yang sudah mengenal jalan tentu amat sukar memasuki hutan melalui jalan ini. Akhirnya setelah lari setengah hari lamanya Siangkoan Li nampak tenang dan mengajak gadis itu duduk di pinggir sebuah sungai kecil dalam hutan. Keadaan di situ teduh dan sejuk sekali. Sinar matahari yang amat terik ditangkis oleh daun-daun pohon yang lebat.

   "Mari kuputuskan belenggu."

   Kata Kwi Lan sambil menarik tangan Siangkoan Li. Akan tetapi pemuda itu merenggut kembali tangannya.

   "Untuk apa? Setelah menyelamatkan engkau, aku akan kembali menyerahkan diri."

   Kwi Lan marah sekali. Ia meloncat bangun dari tempat duduknya dan menudingkan telunjuknya kepada Siangkoan Li.

   "Engkau boleh berkepala batu, aku pun berhati baja. Akan tetapi engkau berkeras secara ngawur. Siangkoan Li, engkau seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi, mengapa begini lemah? Kalau kau memang amat mencinta Thian-liong-pang, mengapa kau tidak mengumpulkan orang-orang seperti Ciam Goan untuk membersihkan Thian-liongpang dari oknum-oknum macam Ma Kiu dan lain-lain? Kalau kau lakukan itu dan Thian-liong-pang menjadi perkumpulan orang gagah kembali, barulah kau seorang yang berbakti kepada mendiang Ayahmu, menjujung tinggi nama baik orang tua dan perkumpulan. Yang kau lakukan sekarang ini hanya membuktikan bahwa kau pengecut dan picik. Baiklah, kalau kau berkukuh hendak menyerahkan diri, aku pun berkukuh hendak membasmi Thian-liong-pang sendirian saja. Kita akan sama-sama mati, akan tetapi matiku seribu kali lebih berharga daripada matimu yang seperti kematian seekor kacoa"

   Pucat wajah Siangkoan Li mendengar ini. Ia meloncat bangun, sejenak ia memandang dengan mata melotot. Kedua orang muda itu saling pandang untuk beberapa lama. Kemudian Siangkoan Li menarik napas panjang.

   "Aku bingung dan ragu-ragu.. agaknya engkau benar.. biarlah akan kutemui kedua orang Suhuku dan minta nasihat mereka.., Thian-liong-pang, untuk sementara ini aku Siangkoan Li menjadi pengkhianat"

   Setelah berkata demikian, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara keras dan.. belenggu besi itu rontok semua dan putus-putus"

   Kwi Lan tersenyum girang dan kagum. Tak salah dugaannya, pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, yang jelas adalah tenaganya yang istimewa. Pantas saja kekeknya yang sudah tua itu sekali ditangkis terluka.

   "Bagus Siangkoan Li. Begitu barulah seorang gagah sejati. Akan tetapi aku masih belum percaya betul. Bagaimana kalau kau lakukan ini hanya untuk mengelabuhi aku? Sebelum aku yakin akan keputusan hatimu, aku hendak mengikuti sepak terjangmu beberapa lama. Sekarang engkau hendak ke mana?"

   "Ucapan-ucapanmu mulai membekas di hatiku, Kwi Lan. Akan tetapi aku masih bimbang ragu. Karena itu, jalan satu-satunya adalah bertanya kepada kedua orang Guruku. Aku hendak mengunjungi mereka."

   "Kedua orang Gurumu tentu orang-orang luar biasa. Aku pun ingin bertemu dengan mereka. Aku ikut"

   "Eh, tidak bisa, Kwi Lan. Mereka itu orang-orang luar biasa sekali dan tidak suka bertemu dengan orang lain. Kecuali itu, juga tempatnya amat sukar didatangi orang, bagaimana aku bisa mengajakmu ke sana?"

   Kwi Lan tersenyum.

   
Mutiara Hitam Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Kata-katamu makin membuat aku curiga. Siangkoan Li, sudah kukatakan tadi. Engkau telah berkali-kali menolongku, maka aku sudah mengambil keputusan, sebelum kau yakin akan kekeliruanmu mengenai sikapmu terhadap Thian-liong-pang, aku tidak akan meninggalkanmu. Kalau kau bisa mengunjungi mereka, mengapa aku tidak? Marilah kita berangkat"

   Siangkoan Li mengerutkan keningnya. Gadis ini amat keras hati dan ia tahu bahwa Kwi Lan tentu akan melakukan apa yang diucapkannya.

   "Baiklah, Kwi Lan. Akan tetapi kau sudah kuperingatkan. Jangan persalahkan padaku kalau kau terbawa-bawa ke dalam lembah hitam karena kau pergi bersama aku yang sejak kecil bergelimang dalam dunia yang kotor."

   Berangkatlah dua orang itu melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama Siangkoan Li bedanya sejauh bumi dengan langit kalau dibandingkan dengan perjalanan bersama Hauw Lam.

   Perjalanan di samping Hauw Lam merupakan perjalanan yang penuh tawa dan gurau, gembira karena pemuda itu memandang dunia dari sudut yang terang dan lucu. Akan tetapi sebaliknya, Siangkoan Li adalah seorang pemuda yang pendiam dan wajah yang tampan itu hampir selalu muram diselimuti awan kedukaan. Di sepanjang jalan, dua orang yang melakukan perjalanan cepat ini jarang sekali bicara. Kalau tidak diajak bicara, Siangkoan Li tak pernah membuka mulut. Akan tetapi Kwi Lan tidak merasa kecewa. Ia maklum akan isi hati pemuda ini dan sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya, penuh perasaan, sudah cukup baginya. Sinar mata pemuda ini tiada bedanya dengan sinar mata Hauw Lam di waktu menatapnya. Ada sesuatu dalam sinar mata kedua pemuda itu yang mendatangkan kehangatan di hatinya.

   Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun Pegunungan Lu-liang-san, masuk keluar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya ditinggali beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali.

   "Kita sudah sampai."

   Kata Siangkoan Li.

   "Apa? Di dusun ini?"

   Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan.

   "Di puncak sana itu."

   Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangunan-bangunan kuno.

   "Bangunan apakah itu?"

   Tanya Kwi Lan.

   "Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini."

   "Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwesio-hwesio yang tinggal di sana?"

   Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.

   "Apakah dugaanku keliru?"

   Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang.

   "Kedua orang Guruku adalah.. orang-orang hukuman di kuil itu.."

   "Apa..?"

   Kwi Lan benar-benar kaget karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya.

   "Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?"

   "Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.. entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah mereka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi menghadap kedua orang Guruku."

   Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar,

   "Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?"

   Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu bercerita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.

   "Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah."

   Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan. Sebagai seorang anak kecil berusia tiga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang.

   Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang terdapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkinkan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi Siangkoan Li ternyata bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebarnya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan. Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum terpenuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang.

   Dicarinya sebatang bambu dan dengan bantuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia, di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur. Ia berjalan terus ke atas pegunungan kecil dan setelah tiba di puncak, tiba-tiba tubuhnya menginjak lubang yang tertutup rumput alang-alang. Tubuhnya terjeblos dan melayang ke bawah. Dia seorang anak pemberani dan karena ketika terbanting di dasar lubang ia tidak mengalami cedera, juga tidak terlalu nyeri karena dasar lubang juga berlumpur, ia tidak berteriak minta tolong. Malah di dalam gelap, ia meraba-raba dan terus berjalan maju ketika mendapatkan bahwa lubang itu mempunyai terowongan. Akhirnya setelah melalui terowongan yang berliku-liku, tibalah ia di ruangan bawah tanah dan melihat dua orang kakek di balik kerangkeng besi.

   Dua orang kakek yang bukan seperti manusia lagi. Mereka itu sudah tua dan pakaian mereka compang-camping penuh tambalan. Yang seorang berwajah seperti seekor harimau, rambutnya kasar riap-riapan, demikian pula cambang dan kumisnya. Orang ke dua kurus sekali sehingga kaki dan tangan yang tak terbungkus pakaian itu merupakan tulang tulang terbungkus kulit belaka. Kepalanya botak, hanya bagian atas telinga dan atas tengkuk saja ditumbuhi rambut panjang. Akan tetapi jenggotnya, lebat dan panjang. Keduanya sama tua dan sama liar, dan perbedaan yang mencolok di antara mereka selain rambut itu, juga pada muka mereka. Si Wajah Harimau itu mukanya merah sekali sedangkan yang botak itu wajahnya pucat seputih tembok.

   "Heh-heh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih), kau bilanglah. Apakah kita sekarang sudah mampus dan berada di neraka berjumpa seorang iblis cilik?"

   Si Muka Merah berkata sambil terkekeh-kekeh.

   "Huh, sebelum lewat tujuh tahun lagi mana aku mau mati?"

   Kata Si Muka Putih dengan nada dingin dan mengejek. Melihat keadaan mereka dan mendengar kata-kata itu, biarpun Siangkoan Li seorang anak yang pemberani, ia merasa serem juga. Akan tetapi di balik rasa takutnya terselip rasa kasihan melihat dua orang kakek dikurung macam binatang-binatang buas saja, maka ia memberanikan hati dan menghampiri kerangkeng. Setelah memandang penuh perhatian dan jelas bahwa dua orang itu benar-benar manusia yang sangat tua, ia lalu bertanya.

   "Kakek berdua, siapakah dan mengapa dikerangkeng di sini?"

   Dua orang- kakek itu saling pandang, yang muka merah tertawa ha-hah-he-heh sedangkan yang muka putih bersungut-sungut.

   "Kau bocah dari mana? Mengapa berani masuk ke sini? Apakah kau kacung Lu-liang-pai?"

   Tanya yang muka putih. Siangkoan Li terkejut. Suara itu seakan-akan menyusup ke dalam dadanya dan membuat jantungnya berhenti berdetik dan terasa dingin sekali sampai-sampai ia menggigil dan mukanya pucat. Cepat ia menggeleng kepala.

   "Bukan. Aku bernama Siangkoan Li dan bersama Ayahku berkunjung kepada para Losuhu di Lu-Lang-pai. Aku berjalan-jalan sampai ke sini dan terjeblos ke lubang."

   Kemudian ia menceritakan siapa ayahnya dan bagaimana ia sampai ke tempat itu.

   "Ayahmu Siangkoan Bu Ketua Thian-liong-pang? Ha-ha-ha"

   Kakek muka merah itu tiba-tiba bergerak maju dan.. menyusup keluar dari kerangkeng. Juga kakek muka putih berjalan maju dan tubuhnya menyusup keluar dari kerangkeng dengan amat mudahnya, seakan-akan kerangkeng itu merupakan pintu lebar. Padahal besi-besi kerangkeng itu amat sempit. Seorang anak seperti Siangkoan Li saja tak mungkin dapat lolos keluar. Bagaimana dua orang kakek itu dapat meloloskan diri tanpa banyak susah? Siangkoan Li adalah putera seorang pangcu (ketua) dan tentu saja sejak kecil ia sudah dilatih silat. Melihat keadaan ini, sungguhpun ia tidak mengerti dan terheran-heran, namun ia kini sudah tahu bahwa dua orang kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Maka serta-merta ia lalu menjatuhkan diri berlutut.

   "Harap suka memaafkan teecu yang berani bersikap kurang ajar. Kiranya Jiwi Locianpwe adalah orang-orang sakti. Teecu masuk tidak sengaja, mohon maaf"

   Si Muka Merah tertawa tergelak.

   "Ha-ha-ha. Apa artinya Ilmu Sia-kut-hoat (Ilmu Lepas Tulang Lemaskan Tubuh) seperti itu? Kau putera Siangkoan Bu? Bagus. Eh, bocah, maukah engkau menjadi murid kami?"

   Siangkoan Li kaget, dan juga girang sekali. Sudah seringkali ia mendengar dari ayahnya tentang orang-orang sakti di dunia persilatan dan seringkali mimpi betapa akan senangnya kalau dapat menjadi murid orang-orang sakti. Kini tanpa disengaja ia berhadapan dengan dua orang sakti yang ingin mengangkatnya menjadi murid. Ia menjadi girang sekali dan tentu ayahnya juga akan girang kalau mendengar akan hal ini. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengangguk-anggukkan kepala,

   "Teecu akan merasa girang dan bahagia sekali, Ji-wi Suhu (Guru Berdua)"

   "Ang-bin Siauwte (Adik Muka Merah), mudah saja engkau menetapkan dia sebagai murid kita, bagaimana kalau kelak ternyata salah pilih?"

   Tegur Si Muka Putih.

   "Heh-heh-heh"

   Dia ini keturunan seorang patriot dan ketua perkumpulan besar. Mana bisa salah pilih? Kalau kelak ternyata dia menyeleweng, apa susahnya kita mengambil nyawanya? Eh, Siangkoan Li, kau sendiri sudah menetapkan menjadi murid kami. Seorang murid tak boleh membantah perintah guru. Mulai detik ini, kau tinggal di sini menemani kami sambil belajar"

   Siangkoan Li terkejut sekali.

   "Tapi.. tapi.. teecu belum memberitahukan hal ini kepada Ayah.."

   Bantahnya dengan muka pucat. Si Muka Putih mengeluarkan suara mendengus di hidungnya. Si Muka Merah tersenyum lebar.

   "Hah, boleh kau coba pergi dari sini. Sebelum keluar dari lubang, nyawamu akan lebih dulu melayang"

   Siangkoan Li takut sekali akan tetapi akhirnya ia mengambil keputusan untuk mati hidup mentaati kedua orang gurunya. Mulai saat itu dia digembleng oleh kedua orang gurunya yang aneh. Setiap hari dari lubang itu turun makanan yang ternyata dikirim oleh hwesio-hwesio Lu-liang-pai.

   "Demikianlah, Kwi Lan. Sampai empat tahun aku dilatih ilmu oleh kedua orang Guruku itu."

   Siangkoan Li melanjutkan penuturannya kepada Kwi Lan yang mendengarkan dengan muka amat tertarik.

   "Selama itu belum pernah kedua orang, suhu itu memberitahukan nama mereka. Dan ketika aku diperkenankan keluar, yaitu dua tahun yang lalu, aku segera pulang ke Yen-an akan tetapi ternyata Ayah telah meninggal dunia dan Thian-liong-pang telah dipegang oleh Gwakong. Karena aku tidak mempunyai ayah ibu lagi, Gwakong menjadi pengganti orang tuaku dan aku harus tunduk dan berbakti kepadanya, juga kepada Thian-liong-pang di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Bagaimana aku dapat mengkhianati Thian-liong-pang dan bagaimana aku berani melawan Gwakong?"

   Kini Kwi Lan mulai mengerti akan keadaan hati Siangkoan Li. Ia menjadi kasihan dan berkata,

   "Memang sudah paling tepat kalau engkau menemui kedua orang Gurumu itu untuk minta pertimbangan dan nasihat mereka. Aku berani bertaruh bahwa mereka tentu lebih cocok dengan pendapatku, yakni bahwa kau harus mengumpulkan orang-orang gagah yang telah mengundurkan diri dari Thian-liong-pang, kemudian melakukan pembersihan di perkumpulan itu dan mendirikan kembali Thian-liong-pang yang sudah runtuh nama baiknya itu, Cap-ji-liong harus dibasmi. Kakekmu harus diinsyafkan. Dan selain itu, aku ingin sekali bertemu dengan kedua orang aneh yang menjadi gurumu. Maka aku akan ikut denganmu, Siankoan Li."

   "Eh, jangan"

   Berbahaya sekali.."

   Kwi Lan mencibirkan bibirnya.

   "Berbahaya? Kalau kau bisa, kenapa aku tidak mampu? Kita boleh lihat saja"

   "Bukan, bukan itu maksudku. Kepandaianmu hebat, tentu saja kau dapat sampai ke tempat itu tanpa diketahui para hwesio Lu-liang-pai. Akan tetapi.. kedua orang Guruku itu wataknya aneh sekali. Siapa tahu mereka akan marah kalau melihatmu."

   "Betapa pun anehnya mereka, belum tentu seaneh Guruku. Dan aku tidak takut. Kalau mereka itu begitu gila untuk marah-marah kepadaku tanpa sebab, biarkan mereka marah, aku tidak takut"

   Siangkoan Li habis daya. Berbantahan dengan gadis ini ia merasa tak sanggup menang. Pula dia telah melakukan hal yang amat hebat, telah berkhianat terhadap Thian-liong-pang, semua gara-gara gadis ini. Sekarang, kalau mereka berdua akan mengalami malapetaka bersama sekalipun, apalagi yang disesalkan? Tidak ada paksaan dalam hal ini, semua dilakukan oleh mereka dengan sukarela. Diam-diam ia malah merasa jantungnya berdebar girang. Tak salah dugaannya bahwa gadis jelita ini pun suka kepadanya seperti rasa suka di hatinya? Mencintanya seperti rasa cinta di hatinya?

   Dengan ilmu kepandaian mereka, dengan mudah sekali Siangkoan Li dan Kwi Lan melompati tembok yang mengurung Lu-lian-pai dan memasuki daerah mereka itu dari tembok belakang. Menurut keterangan Siangkoan Li, jalan satu-satunya menuju ke tempat tahanan di bawah tanah itu harus melalui kebun bunga di belakang Kuil Lu-liang-pai. Berindap-indap mereka berjalan sambil menyusup-nyusup dan bersembunyi di balik pepohonan.

   "Siangkoan Li, apakah para hwesio Lu-liang-pai yang menghukum kedua orang gurumu?"

   Tanya Kwi Lan ketika mereka menyusup-nyusup di taman bunga.

   "Entah, kedua orang Guruku tak pernah mau bercerita tentang diri mereka."

   "Kalau benar demikian, tentu hwesio-hwesio Lu-liang-pal lihai luar biasa."

   "Memang aku masih ingat cerita Ayah bahwa pimpinan Lu-liang-pai memiliki ilmu tinggi, akan tetapi aku tidak percaya mereka mampu mengalahkan kedua orang Guruku. Buktinya, kalau kedua orang Guruku menghendaki, apa susahnya bagi mereka untuk keluar dari kerangkeng? Agaknya memang sengaja kedua orang Guruku tidak mau keluar."

   "Aneh sekali. Benar-benar aneh dan lucu"

   Tiba-tiba terdengar desir angin. Mereka cepat menyelinap di balik serumpun pohon kembang. Dua batang piauw (senjata rahasia) menyambar di atas kepala mereka. Dua orang hwesio muda muncul di dekat tempat mereka bersembunyi. Mereka memandang ke sekeliling dengan pedang siap di tangan.

   "Aneh sekali. Bukankah tadi jelas bayangan dua orang itu di tempat ini?"

   Kata seorang di antara mereka.

   "Benar sekali, Sute (Adik Seperguruan). Agaknya orang-orang jahat yang datang menyelundup. Kau ingat pesan Suhu (Guru)? Tahun ini hukuman dua orang musuh besar kita telah habis, maka Suhu berpesan agar kita semua menjaga dengan hati-hati. Siapa tahu kakek jahat itu masih belum kehilangan kebuasannya dan menjelang habisnya hukuman, teman-temannya yang jahat datang untuk menimbulkan kekacauan. di sini."

   "Kau benar, Suheng (Kakak Seperguruan). Kata Suhu mereka itu lihai bukan main. Gerakan dua bayangan tadi pun amat lihai. Jelas piauw kita mengenai sasaran, mengapa mereka tidak roboh malah lenyap seperti setan? Lebih baik kita lekas-lekas melaporkan kepada Suhu agar dapat dikerahkan tenaga untuk mengepung dan mencari mereka"

   Mendadak saja kedua orang hwesio itu roboh terguling. Pedang mereka terlempar dan tubuh mereka lemas dan lumpuh karena jalan darah mereka telah tertotok oleh sambaran dua butir kerikil. Siapa lagi kalau bukan Siangkoan Li yang melakukan hal ini. Memang pemuda ini memiliki keahlian menyambit dengan kerikil menotok jalan darah, seperti pernah ia pergunakan untuk membebaskan dan menolong Kwi Lan di dalam guha yang terancam kehormatannya oleh tiga orang anak buah Thian-liong-pang. Setelah merobohkan dua orang hwesio itu, Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan dan cepat-cepat mengajaknya berlari keluar dari taman itu menuju ke sungai yang melintang di belakang.

   "Terpaksa kutotok mereka agar jangan melapor sehingga usahaku menemui kedua Suhuku terhalang."

   Kata Siangkoan Li.

   Berbeda dengan enam tahun yang lalu ketika Siangkoan Li melompati sungai itu harus dibantu sepotong bambu panjang, kini dengan amat mudahnya ia bersama Kwi Lan melompati sungai yang melintang. Dengan cepat Siangkoan Li mengajak gadis itu mendaki bukit kecil yang penuh dengan rumpunalang-alang. Ia khawatir kalau-kalau kedua orang suhunya sudah pergi. Bukankah dua orang hwesio tadi mengatakan bahwa sekarang ini sudah tiba saatnya, kedua orang suhunya bebas? Entah hari apa, akan tetapi tentu sekitar hari ini.

   Dengan mudah Siangkoan Li mendapatkan sumur yang tertutup alang-alangitu. Ia memberi isyarat kepada Kwi Lan untuk mengikutinya kemudian ia melompat masuk. Dengan ilmu meringankan tubuh seperti yang ia kuasai sekarang ini, tentu saja tidak sukar baginya untuk melompat masuk ke dalam sumur itu. Demikian pula Kwi Lan. Setelah gadis itu mengikutinya dengan lompatan ringan dan keduanya tiba di dasar sumur, Siangkoan Li lalu menggandeng tangan Kwi Lan dan sambil meraba-raba ke depan ia memasuki terowongan di bawah tanah.

   Ketika mereka tiba di sebuah tikungan terowongan dan dari jauh sudah tampak kerangkeng besi itu, tiba-tiba mereka merasai sambaran angin dahsyat dari depan disertai suara maki-makian keras. Cepat Siangkoan Li menarik tangan Kwi Lan ke bawah dan keduanya lalu bertiarap di atas tanah sambil memandang ke depan.

   Kiranya dua orang kakek yang seperti orang tak waras ingatannya itu sudah keluar dari kerangkeng dan kini mereka mencak-mencak seperti dua orang menari-nari. Akan tetapi luar biasa hebatnya sambaran tangan mereka. Dinding batu pecah-pecah dan hawa pukulan yang meluncur lewat memasuki terowongan menimbulkan angin hebat. Tampak kakek muka putih hanya bersungut-sungut dan melotot sambil memukul-mukulkan kedua tangan, akan tetapi kakek muka merah sambil memukul-mukul juga memaki-maki. Dan mereka berdua itu menujukan pandang mata ke arah Siangkoan Li dan Kwi Lan. Akan tetapi ternyata maki makiannya bukan ditujukan kepada dua orang muda ini.

   "Heh, Bu Kek Siansu, tua bangka menjemukan. Apakah engkau sudah mampus? Kalau sudah mampus kami tantang rohmu agar datang ke sini dan memenuhi janji. Hayo, biar engkau masih hidup ataupun sudah mampus, engkau harus datang menemui kami. Kami Pak-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Utara) dan Lam-kek Sian-ong (Raja Sakti Kutub Selatan) bukanlah orang-orang yang tidak pegang janji dan takut padamu. Lima belas tahun sudah menebus kekalahan dengan berdiam di neraka ini, hanya untuk menunggu kedatanganmu. Hari ini tepat lima belas tahun. Hayo muncullah orangnya atau rohnya untuk mengadu kepandaian. Apakah engkau takut, Bu Kek Siansu?"

   Suara kakek yang bernama Lam-kek Sian-ong ini hebat sekali, membuat seluruh terowongan tergetar, bahkan Kwi Lan dan Siangkoan Li yang bertiarap di lantai terowongan itu merasa betapa lantai tergetar hebat.

   Kini mengertilah mereka bahwa dua orang kakek itu bukan marah-marah kepada mereka berdua, dan mungkin tidak melihat kedatangan mereka karena mereka berdua datang dari tempat gelap sedangkan tempat kedua orang kakek itu terang, menerima cahaya matahari yang menerobos masuk dari lubang dan celah-celah di atas. Kehebatan gerakan dan suara kedua orang kakek sakti itu benar-benar mengejutkan mereka dan membuat mereka tak berani sembarangan bergerak-gerak. Bahkan Kwi Lan yang tak kenal takut juga kini maklum betapa saktinya dua orang guru Siangkoan Li ini. Akan tetapi mereka bingung tidak mengerti mengapa ke dua orang kakek itu menantang seorang lawan yang tidak tampak? Siapakah itu Bu Kek Siansu yang mereka tantang?

   Nama Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, pada puluhan tahun yang lalu adalah nama-nama yang amat terkenal sebagai tokoh-tokoh sakti yang luar biasa. Kedua orang kakek ini memang aneh sepak terjangnya. Bahkan dengan dua orang saja mereka pernah membikin geger Kerajaan Khitan dengan membunuh Raja Khitan, yaitu Raja Kubakan dengan niat merampas kerajaan. Akan tetapi maksud hati mereka itu gagal karena mereka dihalangi oleh Suling Emas, Kam Lin atau Yalina yang kini menjadi Ratu di Khitan, dan banyak orang gagah. Kalau tidak di keroyok, agaknya dua orang kakek ini akan tercapai niat hatinya menjadi sepasang raja di Khitan. Tidak ada orang di dunia ini yang mereka takuti kecuali seorang, yaitu Bu kek Siansu.

   Siapakah Bu kek Siansu? Jarang ada orang pernah bertemu dengan manusia setengah dewa ini, walaupun namanya menjadi kembang bibir semua tokoh dunia kang-ouw. Diantara para pendekar terdapat kepercayaan bahwa siapa yang dapat bertemu dengan Bu Kek Siansu adalah orang yang bernasib baik sekali karena kabarnya kakek setengah dewa itu amat murah hati dan tak pernah menolak permintaan seorang untuk minta petunjuk dalam ilmu silat. Akan tetapi juga menjadi kepercayaan semua tokoh dunia hitam bahwa bertemu Bu Kek Siansu merupakan hal yang mencelakakan, karena kakek sakti itu tidak terlawan oleh siapapun juga. Bu Kek Siansu tidak mempunyai tempat tinggal tertentu atau lebih tepat, tak seorangpun tahu dimana adanya kakek setengah dewa ini yang sewaktu-waktu muncul pada saat yang tak disangka-sangka.

   Lima belas tahun yang lalu, setelah Pek-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong terusir dari Khitan oleh Suling Emas dan kawan-kawannya (baca cerita CINTA BERNODA DARAH ). sepasang kakek sakti ini tiba di Luliang-san. Melihat keadaan bukit ini, mereka suka sekali dan timbul keinginan hati mereka untuk merampas kuil dan mengangkat diri mereka sendiri menjadi pemimpin Lu-liang-pai. Tentu saja niat buruk ini ditentang oleh para hwesio Luliang-san dan akibatnya, ketua Lu-liang-pai berikut beberapa tokohnya tewas di tangan Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong.

   Dua orang kakek ini tentu akan menyebar maut lebih banyak lagi kalau tidak secara tiba-tiba muncul Bu Kek Siansu. Sekali menggerakkan tangan, kakek setengah dewa ini membuat mereka berdua lumpuh tak dapat berdiri. Kemudian setelah memberi wejangan, Bu Kek Siansu membuat mereka berjanji untuk menjalani hukuman di dalam kerangkeng di bawah tanah di belakang Lu-liang-pai untuk menebus dosa. Hari itu tepat sekali lima belas tahun telah lewat, yaitu masa hukuman mereka seperti yang ditentukan dalam janji mereka dengan Bu Kek Siansu. Maka itu mereka lalu memanggil-manggil dan memaki-maki karena menganggap Bu Kek Siansu tidak memegang janji.

   "Hayo, Bu Kek Siansu, benarkah kau tidak berani muncul? Apakah Bu Kek Siansu seorang pengecut?"

   Kini terdengar Pak-kek Sian-ong berseru, dan berbeda dengan suara Lam-kek Sian-ong yang nyaring keras menimbulkan hawa panas, adalah suara kakek ini dalam namun menimbulkan hawa dingin yang mengerikan.

   Tiba-tiba terdengar suara yang-khim (kecapi) yang merdu sekali. Suara ini memasuki terowongan itu di luar, suaranya halus dan merdu perlahan-lahan namun amat jelas terdengar. Kwi Lan dan Siangkoan Li yang masih bertiarap mendengar suara ini menjadi tenang hatinya. Rasa ngeri dan takut terusir lenyap, namun mereka masih bersikap hati-hati, tidak berani bangkit dan masih bertiarap sambil menanti perkembangan keadaan yang menenangkan itu.

   "Heh-heh-heh, engkau benar datang, Bu Kek Siansu?"

   Kata Lam-kek Sian-ong.

   "Hoh, ke sinilah biar kami dapat menebus penderitaan lima belas tahun dengan kematianmu, tua bangka"

   Kata pula Pak-kek Sian-ong.

   Tidak ada jawaban. Hanya suara yang-khim makin jelas dan pengaruhnya juga makin besar, mendatangkan rasa tenang dan damai sehingga maki-makian kedua orang kakek itu makin lama makin mereda dan akhirnya mereka pun seperti Siangkoan Li dan Kwi Lan mendengarkan suara yang-khim penuh perhatian dan seakan-akan juga menikmati suara yang-khim itu yang berlagu merdu. Kini suara yang-khim makin lama makin lambat dan lirih sampai akhirnya berhenti sama sekali. Namun, seakan-akan oleh mereka terdengar gema suaranya memenuhi telinga, dan suasana tenang damai dan tenteram masih terasa menyelubungi hati.

   "Siancai, siancai (damai, damai).., Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, aku girang sekali melihat Ji-wi (Kalian) memegang teguh perjanjian. Kerbau diikat hidungnya, manusia diikat janjinya. Itulah yang membedakan manusia daripada kerbau.."

   Suara ini halus lembut, ramah dan menyenangkan. Seperti juga suara yang-khim tadi, suara orang ini memasuki terowongan dan terdengar di mana-mana.

   Siangkoan Li dan Kwi Lan yang masih tiarap, tiba-tiba mendengar desir angin lewat di atas kepala mereka. Maklumlah mereka berdua bahwa seorang yang luar biasa saktinya lewat di atas mereka memasuki terowongan itu. Benar saja dugaan mereka karena tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tua sekali rambut dan jenggotnya sudah putih semua, halus seperti benang sutera, pakaiannya juga putih dan sebuah yang-khim berada di punggungnya. Melihat datangnya kakek ini, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong sudah memasang kuda-kuda dan bersikap menyerang. Akan tetapi kakek yang baru datang itu, yang bukan lain adalah Bu Kek Siansu sendiri mengangkat kedua tangannya ke atas dan aneh sekali, sikap hendak menyerang itu urung dengan sendirinya.

   "Dengarlah, sahabat berdua. Kita ini, kakek-kakek yang sudah amat tua, mengapa harus bertanding menjadi tontonan dan bahan tertawaan? Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, Ji-wi tinggal sampai lima belas tahun di tempat ini, sungguh merupakan kenyataan yang mengagumkan, tanda bahwa Ji-wi benar-benar tahan uji. Lima belas tahun bukan hukuman, melainkan tempaan dan gemblengan sehingga aku percaya bahwa kini Ji-wi telah memperoleh hasil yang amat berharga."

   

Suling Emas Eps 33 Suling Emas Eps 30 Cinta Bernoda Darah Eps 19

Cari Blog Ini