Cinta Bernoda Darah 19
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo Bagian 19
Ucapan It-gan Kai-ong ini bergema di tengah-tengah kesunyian para tamu yang mendengarnya. Kata-kata itu agaknya termakan betul di hati mereka. Hanya utusan Kerajaan Sung yang menjadi pucat lalu merah mukanya, tanda bahwa mereka terkejut dan marah. Selama ini, mereka menganggap It-gan Kai-ong sebagai tokoh sakti yang tidak memusuhi Sung, karena semua tahu belaka bahwa kakek ini adalah guru dari Suma Boan, seorang putera Pangeran Sung. Siapa kira, di tempat ini, disaksikan oleh para utusan dari semua pelosok, kakek pengemis ini mengeluarkan kata-kata seperti itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disambung berkelebatnya bayangan yang gesit sekali. Sukar diikuti pandang mata gerakan ini dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita berambut panjang, cantik jelita, rambutnya riap-riapan. Siapa lagi kalau bukan Siang-mou Sin-ni"
Dari rambutnya yang panjang terurai ini tersebar bau harum semerbak.
"Aku setuju dengan ucapan It-gan Kai-ong. Hi-hik, baru kali ini selamanya aku cocok dengan pendapat kakek gembel busuk ini. Kerajaan Hou-han selalu menyambut setiap uluran menghadapi Sung"
Makin tegang keadaan di situ, terutama di antara para utusan Sung. Mereka ini diam-diam memperhatikan wajah para tamu, dan tentu saja mereka mengharapkan agar tidak banyak yang menyetujui ucapan permusuhan yang dicetuskan oleh It-gan Kai-ong terhadap Sung itu.
"Ho-ho-heh-heh, bagus sekali, dewi cantik Siang-mou Sin-ni juga telah setuju. Nah, Cui-beng-kui, mau tunggu apa lagi kau? Di antara Thian-te Liok-koai, sudah ada empat tokoh yang setuju. Aku yakin yang ke lima, yaitu Hek-giam-lo, tentu akan setuju pula. Orang-orang Khitan selamanya tidak menaruh hati suka terhadap Sung Utara"
Hati Ouwyang Swan Panglima Sung yang menjadi utusan kerajaannya, makin gelisah. Bukan gelisah karena nasib dia dan rombongannya, melainkan sebagai seorang panglima dan patriot sejati, ia gelisah akan nasib negaranya. Kalau cetusan permusuhan terhadap Sung ini berhasil, negaranya akan dikeroyok dari segenap penjuru. Ia tahu bahwa kalau Enam Iblis itu membantu fihak lawan, akan berbahaya sekali. Otomatis pandang matanya mencari-cari Suling Emas. Ia tahu bahwa pendekar sakti ini amat baik hubungannya dengan para casan Kerajaan Sung.
"It-gan Kai-ong, jangan membuka mulut kotor di sini"
Tiba-tiba Suling Emas berkata dengan suara nyaring.
"Nan-cao dengan Beng-kauw mengadakan peringatan dan mengundang semua tamu tanpa memandang perbedaan, tidak nanti para pimpinan Beng-kauw yang bijaksana mendengar ocehanmu yang berbisa"
Kemudian pendekar ini menghadapi Cui-beng-kui dan dengan suara hormat ia berkata,
"Locianpwe, harap jangan mendengarkan obrolan mulut berbisa It-gan Kai-ong. Semua itu adalah rencana gembel busuk itu dengan muridnya, Suma Boan, yang mempunyai rencana memukul Kerajaan Sung dari dalam dan merampas kekuasaan. Hanya orang-orang bodoh saja yang dapat diperalat oleh It-gan Kai-ong dengan rencana busuknya. Locianpwe sebagai bekas panglima ketua dapat memaklumi rencana busuk seperti itu."
Hening sejenak mengikuti ucapan Suling Emas yang lantang ini. Kemudian terdengar It-gan Kai-ong terkekeh.
"Ho-ho-heh-beh, Cui-beng-kui tokoh besar Thian-te Liok-koai, mana bisa dibujuk seorang bocah dengan lidah tak bertulang? Cui-beng-kui, kau tentu tahu siapa dia? Dialah yang disebut Suling Emas, bocah sombong yang mengandalkan kepandaian yang diwarisinya dari Kim-mo Tai-su menurunkan beberapa ilmu. Tapi, kau tentu tidak menduga bahwa dia ini sebetulnya bernama Kam Bu Song, keturunan satu-satunya dari bekas kekasihmu Liu Lu Sian dan Kam Si Ek. Heh-heh, dia ini anak musuh besarmu, dialah buah daripada percintaan antara kekasihmu dan jenderal itu."
Mendadak Cui-beng-kui mengeluarkan suara melengking tinggi dan serta-merta ia menubruk Suling Emas dengan serangan maut dari kuku-kuku jari tangannya.
Suling Emas sendiri kaget setengah mati mendengar betapa It-gan Kai-ong membuka rahasianya. Ia tidak tahu bahwa kakek itu mendengar rahasia ini dari Suma Boan yang bersama Sian Eng telah dapat mengetahui rahasia Suling Emas. Kini hal itu dijadikan senjata oleh It-gan Kai-ong untuk membakar hati Cui-beng-kui dan berhasillah usahanya karena Cui-beng-kui yang merasa amat sakit hati terhadap mendiang Kam Si Ek yang merampas kekasihnya, kini marah sekali mendengar bahwa Suling Emas adalah anak jenderal itu bersama kekasihnya, Liu Lu Sian. Namun Suling Emas bukanlah seorang lemah. Jauh daripada itu, ia malah seorang sakti yang memiliki ilmu tinggi, menghadapi serangan mendadak yang amat dahsyat itu ia berlaku tenang, cepat kakinya menendang bumi dan tubuhnya melayang ke belakang menghindari terjangan hebat.
"Locianpwe, sabarlah. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Pertama karena.."
Terpaksa ia menghentikan kata-katanya karena pada saat itu Cui-beng-kui sudah menubruk dengan tangan kanan memukul ke arah dada sedangkan tangan kiri dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala. Hebatnya bukan kepalang serangan ini, apa lagi dibarengi bentakan yang demikian nyaringnya sehingga banyak tamu yang kurang kuat roboh lemas.
Suling Emas terkejut. Ia sendiri merasa betapa jantungnya tergetar oleh bentakan ini dan maklumlah ia bahwa mungkin selama puluhan tahun bersembunyi di dalam peti mati telah mendatangkan semacam tenaga gaib yang amat mujijat dalam bentakan mayat hidup itu. Ia maklum bahwa kalau ia mengadu tenaga menangkis, tenaga sin-kangnya akan berkurang oleh suara bentakan yang melengking tinggi mengerikan itu. Kembali ia meloncat ke samping menghindarkan diri sambil mencabut sulingnya. Begitu ia menggerakkan sulingnya, terdengarlah suara melengking ke dua yang jauh bedanya. Kalau suara melengking yang keluar dari kerongkongan Cui-beng-kui terdengar kasar seakan-akan hendak mencopot jantung memecahkan anak telinga, adalah lengking yang keluar dari suling Suling Emas terdengar lemah gemulai, halus lembut dan merdu, namun juga mengandung tenaga mujijat yang seakan-akan mencopoti semua urat syaraf dalam tubuh. Kembali banyak tamu terguling roboh, merintih-rintih, merasa seluruh tubuh seperti ditusuk-tusuk jarum.
".. karena kau adalah tokoh Nan-cao,"
Suara Suling Emas terdengar jelas mengatasi dua suara melengking.
"Ke dua, karena kesetiaanmu terhadap ibuku sehingga kau rela hidup menderita.."
Kembali ia menghentikan kata-katanya karena serangan Cui-beng-kui makin dahsyat. Gerakan kedua lengan tangan Ciu-beng-kui merupakan lingkaran-lingkaran yang mematikan semua jalan keluar, tak mungkin kali ini Suling Emas mengelak lagi. Terpaksa pendekar sakti ini mengerahkan tenaga, menangkis dengan sulingnya sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka didorongkan ke depan menyambut pukulan tangan kanan lawan. Lengking suara Cui-beng-kui berubah menjadi pekik kemarahan dan kesakitan ketika tangan kirinya terpukul suling dari samping. Agaknya ia merasa sakit, maka dengan kemarahan besar ia memusatkan tenaganya pada tangan kanan yang disambut tangan kiri Suling Emas.
"Desssss.."
Telapak tangan Suling Emas bertemu dengan tangan Cui-beng-kui. Pertemuan dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan ini akibatnya luar biasa. Sejenak keduanya seakan-akan tertahan dan tangan mereka saling tempel melekat, akan tetapi beberapa detik kemudian, keduanya terhuyung ke belakang. Suling Emas tak dapat menahan dirinya, terjungkal dengan muka pucat, sedangkan Cui-beng-kui terhuyung-huyung dan berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya menggigil. Bu Sin dan Sian Eng cepat menghampiri kakak mereka itu, membantunya bangun. Suling Emas meramkan mata sebentar, kemudian tersenyum, membuka mata dan menggoyang-goyangkan kepalanya.
"Mundurlah kalian.. aku tidak apa-apa.."
Katanya, siap untuk menghadapi Cui-beng-kui yang ganas. Dengan wajah penuh kekhawatiran, Bu Sin dan Sian Eng mundur. Suling Emas sudah berdiri dan kini dia merasa penasaran. Mayat hidup itu tidak tahu diri, pikirnya. Tidak tahu bahwa ia sebagai orang muda sudah mengalah banyak.
Ia berlaku sungkan karena mengingat akan ibunya, ingat bahwa orang ini adalah seorang yang sengsara hidupnya karena cinta kasihnya terhadap ibunya. Inilah sebabnya mengapa ia masih berlaku sabar sungguhpun ia tahu bahwa orang ini adalah pembunuh ayahnya. Ia sudah banyak mengalah. Siapa kira, Cui-beng-kui malah menggunakan kesempatan selagi ia mengalah itu untuk mencelakainya, dengan melontarkan pukulan tadi. Ia dapat menduga, itulah pukulan maut yang kata orang disebut Cui-beng-ciang (Pukulan Pengejar Roh), yang selalu menjadi buah percakapan para tokoh tingkat tinggi dengan hati kagum karena selama ini, belum pernah ada yang sanggup mengatasi pukulan maut itu. Dengan pukulan ini pula Cui-beng-kui mengangkat namanya menjadi seorang di antara Enam Iblis. Dan sekarang iblis itu telah menggunakan pukulan ini terhadapnya.
"Iblis tua, kau tidak tahu dihormat orang muda"
Katanya perlahan dan timbul niat untuk memberi hajaran kepada Cui-beng-kui. Akan tetapi tiba-tiba ia berhenti dan memandang tajam. Tidak hanya Suling Emas yang tertegun heran, juga para tokoh besar yang hadir di situ tertegun karena telinga mereka yang terlatih mendengar suara yang terlampau tinggi untuk dapat ditangkap telinga biasa. Suara ini makin lama makin kuat dan sudah tampak banyak orang di kalangan tamu yang roboh pingsan. Tidak hanya yang berkepandaian rendah, bahkan yang cukup pandai pun tidak kuat menahan getaran yang tiba-tiba menguasai seluruh tubuh mereka itu. Sebentar saja, puluhan orang tamu menggeletak pingsan.
Hal ini mengejutkan semua orang sakti yang berada di situ. Ketua Beng-kauw sendiri tampak duduk tak bergerak mengerutkan keningnya, kelihatan mengerahkan tenaga batin untuk menolak pengaruh seperti pembawaan iblis ini. Namun diam-diam ia bertukar pandang dengan sutenya, Kauw Bian Cinjin, karena timbul dugaan di dalam hatinya. Kiranya Kauw Bian Cinjin juga merasai hal yang sama dan mempunyai dugaan sama pula, ternyata dari pandang matanya. Mereka itu sebagai tokoh-tokoh tertinggi Beng-kauw, hanya pernah mendengar mendiang Pat-jiu Sin-ong, suheng mereka, mendongeng tentang guru besar Beng-kauw yang memiliki kesaktian sebagai dewa-dewa di langit.
Di antara kesaktian-kesaktian itu, kata Pat-jiu Sin-ong, yang pernah dilihat oleh ketua Beng-kauw pertama itu adalah ilmu yang disebut Coan-im-i-hun-to, yaitu ilmu mengirim suara gaib merampas semangat. Ilmu ini merupakan cabang daripada ilmu Sin-gan-i-hun-to, semacam ilmu merampas semangat melalui pandang mata (Hypnotism?), hanya bedanya, yang pertama menggunakan khi-kang yang disalurkan melalui getaran suara dalam untuk mempengaruhi orang lain, sedangkan yang ke dua lebih menggantungkan kepada kekuatan yang disalurkan melalui pandang mata. Menurut dongeng yang diceritakan mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, guru besar Beng-kauw dapat mempergunakan Coan-im-i-hun-to sedemikian hebatnya sehingga dengan suara itu dapat meruntuhkan burung-burung yang sedang terbang dan dapat menundukkan dan memanggil datang semua binatang buas di dalam hutan.
Kini mereka mendengar suara bernada begitu tinggi dengan getaran aneh yang amat kuat, tentu saja timbul dugaan apakah ini gerangan yang disebut Coan-im-i-hun-to. Kalau benar demikian, siapakah orangnya yang sanggup menggunakannya? Mendiang Pat-jiu Sin-ong sendiri menurut pengakuannya hanya dapat menggunakan sepersepuluh bagian saja, suara yang dikeluarkannya masih didengar telinga biasa dan daya serangannya pun tidak begitu kuat. Akan tetapi yang sekarang menggunakan ilmu itu, sekaligus dapat membikin puluhan orang tamu yang semua ahli silat belaka, roboh pingsan. Kalau dua orang tokoh Beng-kauw itu menduga-duga, maka tokoh-tokoh lain, termasuk orang-orang sakti seperti It-gan Kai-ong, Toat-beng Koai-jin, Tok-sim Lo-tong, Siang-mou Sin-ni, Suling Emas dan lain-lain, menjadi terkejut dan terheran-heran. Akan tetapi tentu saja dengan sin-kang yang amat kuat, mereka tidak terpengaruh terlalu hebat oleh getaran suara itu. Tiba-tiba terdengar suara merdu halus, mengambang di atas getaran tadi.
"Ma-susiok, berani kau mengganggu anakku?"
Suling Emas sedang sibuk mengurut dan menotok jalan darah di belakang pundak dan tengkuk Sian Eng yang juga roboh pingsan oleh suara tadi, sedangkan Bu Sin di dekat Sian Eng duduk bersila meramkan mata mengerahkan tenaga dalam seperti yang ia pelajari dari kakek sakti sehingga ia terbebas daripada pengaruh Coan-im-i-hun-to. Ketika mendengar suara ini, Suling Emas menjadi pucat mukanya, cepat ia melompat berdiri dan memandang dengan mata terbelalak dan.. kedua kaki pendekar ini menggigil.
Kini semua mata tertuju ke arah pintu dalam ruangan sembahyang karena dari dalam pintu itu keluarlah seorang wanita, langkahnya perlahan dan ringan seakan-akan tidak menginjak lantai. Munculnya wanita ini mengakhiri suara dan getaran tadi. Langkahnya ringan, sikapnya agung dan pribadinya mendatangkan kesan yang bermacam-macam. Ia sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya, namun masih cantik jelita mengagumkan. Bentuk mukanya yang manis berkulit putih, memerah dadu di kedua pipinya, hidungnya kecil mancung, mulutnya kecil dengan bibir merah dan indah bentuknya, seperti gendewa terpentang. Sepasang matanya menyaingi mata burung hong yang sedang berahi, dihias bulu mata panjang hitam melentik, dilindungi sepasang alis kecil panjang menjungat ke atas di bagian ujungnya, dagunya meruncing dan sedikit pun tidak tampak tanda-tanda keriput. Hanya ada rambutnya terdapat tanda usia tua.
Rambutnya tebal dan panjang terurai sampai ke lutut, menutupi seluruh tubuh bagian belakang, akan tetapi rambut itu sudah tampak berwarna dua karena banyaknya rambut putih terselip di sana-sini. Hanya tiga orang saja di seluruh ruangan itu yang mengetahui dengan pasti siapa wanita ini. Pertama adalah Beng-kauwcu Liu Mo, karena kakek ini memang tahu bahwa keponakannya yang selama puluhan tahun lenyap dari dunia ramai, beberapa tahun yang lalu ini telah kembali dan bersembunyi di lorong-lorong rahasia yang merupakan terowongan di bawah tanah. Juga Liu Hwee, puteri ketua Beng-kauw, tahu akan hal ini dan seperti pernah diceritakan di bagian depan ketika melarikan diri bersama Bu Sin, Liu Hwee mengajak Bu Sin melalui bagian di mana bersembunyi wanita itu. Orang ke tiga yang tahu akan wanita ini adalah Cui-beng-kui, karena wanita ini adalah kekasihnya dan merupakan satu-satunya orang yang paling ia cinta, ia segani dan ia takuti di seluruh dunia ini.
Masih ada seorang lagi yang hanya menduga-duga, dengan ragu-ragu dan dengan jantung berdebar keras serta kedua kaki menggigil, yaitu Suling Emas sendiri. Inikah ibu kandungnya? Ia memeras ingatannya. Ketika ia berusia kurang lebih sembilan tahun, ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya. Pergi tanpa pamit dan tidak ada yang tahu ke mana perginya, malah semenjak itu sampai saat ini belum pernah ia bertemu muka. Ia ingat bahwa dahulu ibunya seorang wanita cantik jelita. Ketika pada saat itu tercium olehnya bau harum semerbak yang juga tercium oleh semua orang pada saat wanita itu muncul, teringatiah Suling Emas. Tak salah lagi, inilah ibu kandungnya. Bau wangi seperti ini pula yang tak pernah ia lupakan, bau ibunya dulu (baca cerita SULING EMAS).
Akan tetapi ia menahan perasaannya sehingga lidahnya yang sudah bergerak, bibirnya yang sudah gemetar hendak meneriakkan panggilan itu ia tahan. Matanya memandang sayu, penuh keharuan, penuh kedukaan, dan penuh kehausan kasih sayang ibu. Wanita itu memang bukan lain adalah Tok-siauw-kui Liu Lu Sian, yang pada tiga puluhan tahun yang lalu menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya yang ganas, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dan dengan kecantikannya yang luar biasa. Selama berpisah atau bercerai dari Kam Si Ek, dunia kang-ouw tidak mendengar lagi namanya, namun bagi mereka yang berurusan dengannya, tentu saja tidak akan dapat melupakan wanita hebat ini.
Kini semua orang memandangnya, yang sudah mengenalnya terkejut, yang belum mengenalnya menduga-duga siapa gerangan wanita yang dapat menggunakan ilmunya sedemikian hebat sehingga dengan suaranya saja dapat membikin pingsan puluhan orang. Liu Lu Sian melangkah maju terus, langkahnya lambat akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan tersembunyi di balik kecantikannya, di balik langkah yang lemah gemulai, di balik sikap yang agung. Sepasang matanya menyapu para tamu dengan tak acuh, dan kedua kakinya terus melangkah menghampiri Cui-beng-kui. Iblis yang biasanya menyeramkan hati setiap orang itu kini berdiri dengan kedua kaki menggigil, sinar matanya mengandung takut yang amat hebat, punggungnya membungkuk-bungkuk dan dari bibir mayatnya itu keluar ucapan lemah tersendat-sendat,
"Tidak.. tidak.. Lu Sian.. jangan kau benci padaku.. ah, ampunkanlah aku.. jangan benci.."
"Berani kau menggunakan Cui-beng-ciang mencoba membunuhnya?"
Kembali Liu Lu Sian berkata lirih, terus melangkah mendekati.
"Ti.. tidak.. Lu Sian.. aku benci karena dia.. dia putera Si Ek. Jangan.. jangan pandang aku seperti itu.. Lu Sian.. kau ampunkan aku.. kau bunuh aku.. tapi jangan benci.."
Semua orang melongo. Benar-benar sebuah adegan yang aneh, lucu, juga mengharukan. Kiranya iblis itu bukan takut akan keselamatannya, melainkan takut kalau-kalau wanita yang dicintanya itu membencinya. Dari adegan itu sudah dapat dibayangkan betapa besar dan mendalam cinta kasih iblis itu terhadap Liu Lu Sian. Cui-beng-kui mundur-mundur, terus diikuti Liu Lu Sian dan akhirnya mereka berdiri berhadapan, saling menentang pandang. Wanita itu tersenyum dan semua orang tersirap darahnya. Senyum itu masih manis luar biasa karena semua giginya masih utuh, akan tetapi entah bagaimana, di balik senyum ini terbayang sesuatu yang tidak semestinya, yang membikin orang bergidik, yang meremangkan bulu roma, seperti senyum seorang siluman.
"Tidak, Ma Thai Kun, betapa aku dapat membencimu? Dahulu aku memang benci padamu karena kau mendesak-desakku dengan cinta kasihmu yang membikin aku gemas dan benci karena rupamu buruk. Aku lebih baik memilih Kam Si Ek yang tampan dan gagah, dan memilih pria-pria lain yang tampan. Akan tetapi cinta kasih mereka itu semua palsu belaka, hanya cinta kasihmu yang murni, Ma Thai Kun. Kalau dahulu aku memilihmu, tidak akan terjadi seperti sekarang ini, hidupku penuh pahit getir dan kekecewaan. Ma Thai Kun, biarlah orang-orang tiada guna ini semua menyaksikan bahwa sekarang aku menerima cintamu, aku menerima cinta kasihmu yang suci murni"
Semua orang melongo. Benar-benar adegan yang luar biasa di mana seorang wanita tua menyatakan cinta kasih kepada kakek yang seperti iblis. Adegan roman yang tidak romantis, bahkan lucu dan menyeramkan. Ingin mereka itu tertawa, namun tidak ada yang berani membuka mulut. Mereka tetap melongo dan mulut mereka terbuka makin lebar ketika melihat betapa Cui-beng-kui menangis. Iblis itu menangis, melangkah maju dan merangkul Liu Lu Sian, di antara tangisnya terdengar ia berkata,
"Terima kasih.. terima kasih Lu Sian, aku cinta padamu.."
Wanita cantik jelita itu kemudian menyambut muka mayat hidup itu dengan sebuah ciuman mesra, terdengar kata-katanya,
"Aku menciummu sebagai tanda penerimaan cinta kasihmu, akan tetapi aku harus membunuhmu karena kau telah mengganggu anakku.."
Ucapan ini disusul ciuman, akan tetapi ciuman ini merupakan ciuman maut bagi Cui-beng-kui karena tiba-tiba tubuhnya berkelojotan kaku dan ketika wanita itu melepaskan rangkulannya, ia roboh terguling miring dengan mata melotot. Darah keluar dari semua lubang di tubuhnya, yang tampak mengerikan keluar dari lubang hidung, mulut, dan kedua telinganya. Di punggungnya, di mana tadi kedua tangan Liu Lu Sian memeluknya, tampak tanda tapak tangan dengan sepuluh jari, jelas sekali bekas jari-jari itu terbenam di punggung, meninggalkan cap tangan seperti baru saja punggung itu dicap dengan gambar tangan besi dibakar merah.
"Wah, Thian-te Liok-koai kurang seorang"
Terdengar It-gan Kai-ong mengeluh dan membanting ujung tongkatnya di atas tanah.
"Tok-siauw-kui, kau boleh menggantikan kedudukannya. Heh-heh, dengan tingkat kepandaianmu, kau cukup berharga menjadi Iblis Dunia dan kehadiranmu menggantikan Cui-beng-kui membuat Thian-te Liok-koai lengkap kembali. Ho-ho-he"
Memang seorang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong ini memiliki watak yang aneh juga cerdik. Ia maklum bahwa baru saja Tok-siauw-kui Liu Lu Sian memamerkan kepandaiannya sehingga semua orang menjadi kagum. Hal ini akan merendahkan nama besar Thian-te Liok-koai, apalagi setelah seorang di antara Liok-koai terbunuh oleh wanita itu. Oleh karena inilah maka ia sengaja mengeluarkan ucapan itu sehingga timbul kesan bahwa bagi It-gan Kai-ong dan anggauta Liok-koai lainnya, kepandaian Tok-siau-kui itu hanya setingkat dengan kepandaian mereka.
"Tikus busuk, jangan menjual lagak di sini. Pergi"
Liu Lu Sian berkata sambil menggerakkan kaki melayang ke depan dan tangan kanannya bergerak mendorong.
Gerakannya kelihatan lambat saja, akan tetapi entah bagaimana, tak dapat diikuti oleh pandangan mereka, tahu-tahu ia telah berada di sebelah atas pundak kanan It-gan Kai-ong dan kedua tangannya dengan jari tangan terbuka menghantam kepala dan punggung. Hebat bukan main serangan ini. It-gan Kai-ong merasa seakan-akan diserang gelombang ombak dari belakang dan depan. Namun sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, tentu saja ia tidak mau menyerah mentah-mentah. Tongkatnya sudah berkelebat ke atas menangkis kedua tangan lawan. Ia berhasil menangkis tangan yang menghantam kepala, akan tetapi tangan yang menampar pundak, biarpun dapat ia elakkan sehingga tidak tepat mengenai tempat berbahaya, namun masih saja menyerempetnya.
"Plakkk.. brettt"
Keduanya melompat mundur.
Dalam segebrakan saja sudah tampak kesudahannya yang mengerikan. Untung keduanya memiliki ilmu tinggi, kalau tidak tentu keduanya sudah roboh dan tewas. Lengan kiri Liu Lu Sian tampak berjalur merah akibat tangkisan tongkat, akan tetapi kakek pengemis itu lebih hebat penderitaannya. Baju pada pundaknya bolong besar seperti terbakar dan kulit pundaknya melepuh. Untung sin-kangnya amat kuat sehingga ia berhasil menolak hawa pukulan maut tadi sehingga hanya terluka pada kulitnya saja. Kalau kurang kuat, tentu di pundaknya sudah terdapat "cap"
Lima jari merah terbakar dan nyawanya melayang. Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong sudah melangkah maju, sikap mereka jelas hendak membantu It-gan Kai-ong. Akan tetapi kakek pengemis itu menggunakan kedua lengannya mencegah mereka, lalu menghadapi Liu Lu Sian sambil berkata.
"Bagus, kau memang patut menjadi seorang di antara Thian-te Liok-koai. Akan tetapi adu kepandaian di antara Liok-koai, bukan di sini tempatnya. Untuk menentukan siapa lebih unggul, kau diharapkan ikut datang pada bulan lima malam ke lima belas di puncak Thai-san. Yang tidak datang dianggap kalah dan diberi tingkat paling rendah. Ho-ho-heh-heh"
"Kai-ong, apakah tidak diberi hajaran sedikit dia agar jangan sombong terhadap kita?"
Tok-sim Lo-tong berkata sambil "sentrap-sentrup"
Menyedot isi hidungnya yang mau keluar saja.
"Jangan, Lo-tong. Dia masih terhitung orang dalam dari Beng-kauw, tidak enak kita sebagai tamu membikin ribut. Nah, Beng-kauwcu, selamat tinggal. Tok-siauw-kwi, kalau nanti go-gwe-cap-go (bulan lima tanggal lima belas) kau tidak datang, berarti kau menjadi Liok-koai yang paling bawah tingkatnya"
Setelah berkata demikian, It-gan Kai-ong menggapai muridnya, Suma Boan, diajak pergi dari tempat itu, diikuti oleh Toat-beng Koai-jin dan Tok-sim Lo-tong. Berturut-turut para wakil dari Kerajaan Wu-yueh juga berpamitan, karena setelah kakek pengemis yang mereka andalkan itu pergi, otomatis mereka merasa kedudukan mereka amat lemah dan tidak ada perlunya berada di situ lebih lama lagi. Bu Sin merasa heran dan kaget, juga gemas ketika melihat Suma Boan mendekati tempat mereka dan berkata kepada Sian Eng,
"Eng-moi-moi, kau tunggulah, aku pasti akan pergi mengunjungi Kui Lan Nikouw di Cin-ling-san."
Betapa herannya hati Bu Sin melihat adiknya itu mengangguk dengan muka merah. Setelah Suma Boan pergi, Bu Sin memegang tangan adiknya dan bertanya lirih, setengah berbisik, akan tetapi suaranya mengandung tuntutan keterangan,
"Eng-moi, apa artinya ini? Apa hubunganmu dengan keparat itu dan mau apa ia mengunjungi Sukouw?"
Merah sekali muka Sian Eng. Lama ia tidak mampu menjawab, hanya menundukkan muka. Akhirnya ia berkata juga,
"Dia.. dia hendak melamarku.."
Bu Sin meloncat kaget seperti disengat lebah.
"Apa..?"
Wajahnya jelas membayangkan tidak percaya.
"Mengapa kau kaget, Koko? Bukankah itu hal yang biasa saja?"
"Kau bilang biasa? Ah, Moi-moi, mana akalmu yang sehat? Apakah.. agaknya kau telah menyetujuinya..?"
"Sudahlah, Koko. Ini bukan urusan kita, terserah keputusan Sukouw saja.."
"Tidak"
Kau tidak boleh berjodoh dengan keparat itu. Dia jahat, dia.. dia.. ah, Eng-moi, bagaimana kau.."
"Sssttttt, Koko. Kita menjadi perhatian orang. Lihat itu, ada keributan lagi.."
Sian Eng mencegah, merasa bahwa bukan pada tempatnya kalau ia membicarakan soal hubungannya dengan Suma Boan di tempat itu. Bu Sin menengok dan benar saja. Semua tamu yang tadinya agak kacau oleh keberangkatan beberapa rombongan, kini tenang kembali dan memandang ke arah rombongan tuan rumah karena di situ terjadi hal yang menarik sekali.
"Kita akan bicara tentang ini nanti.."
Katanya perlahan dan Bu Sin dengan muka keruh terpaksa mengalihkan perhatiannya. Apakah yang terjadi? Kiranya Liu Lu Sian tadi menoleh ke arah Siang-mou Sin-ni dan berkata ketus.
"Kau masih di sini dan tidak lekas angkat kaki?"
Siang-mou Sin-ni melesat dari tempat duduknya dan kini ia berhadapan dengan Liu Lu Sian. Amat menarik melihat dua orang wanita ini berdiri saling berhadapan. Keduanya sama cantiknya, biarpun Siang-mou Sin-ni tentu saja lebih muda daripada Liu Lu Sian. Keduanya memiliki rambut yang sama panjangnya dan keduanya mengurai rambut di belakang tubuh. Heranlah semua orang ketika dengan sikap amat menghormat, Siang-mou Sin-ni menjura di depan Liu Lu Sian dan berkata.
"Beruntung sekali dapat berjumpa dengan Suthai di sini setelah bertahun-tahun saling berpisah. Semoga Suthai dalam keadaan baik saja."
Tentu saja semua orang terheran. Sebutan suthai (ibu guru) biasanya hanya ditujukan kepada seorang pendeta wanita atau kepada seorang guru. Bagaimanakah iblis wanita Siang-mou Sin-ni menyebut suthai kepada Liu Lu Sian? (baca cerita SULiNG EMAS).
"Kim Bwee, sejak kapan aku menjadi gurumu? Apakah karena satu dua ilmu yang kuberikan kepadamu itu kau lalu boleh menganggap aku sebagai guru? Tidak"
Jangan kira kau akan dapat membujukku, mengangkat menjadi gurumu lalu kau ingin aku membantu cita-citamu menguasai Hou-han? Huh, perempuan tak tahu malu. Pergi kau"
Muka Siang-mou Sin-ni menjadi merah sekali, dan rambutnya yang halus itu tiba-tiba menjadi kaku. Tiba-tiba sikapnya yang menghormat itu lenyap, terganti sikap menantang. Ia mengangkat kedua tangan ke pinggangnya, dengan tangan kanan menolak pinggang dan tangan kiri menudingkan telunjuk, ia berkata.
"Karena menerima ilmu darimu, aku selamanya mengurai rambut dan berterima kasih, menghormatmu sebagai guru. Akan tetapi kau memandang rendah kepadaku. Hemmm, benar-benar kau orang tua yang tidak ingin dihormat"
Liu Lu Sian tersenyum, lalu melangkah maju sampai dekat sekali dengan Siang-mou Sin-ni.
"Bocah. Sekali menggerakkan tangan, aku mampu melempar nyawamu ke neraka. Akan tetapi mengingat beberapa orang di Hou-han, aku masih mengampunimu. Nah, kau mau apa? Mau menyerangku dengan rambutmu? Boleh, lakukanlah"
Tantangan yang menghina sekali.
"Wanita tak kenal budi. Di Hou-han kami memperlakukan kau sebagai orang mulia, menyuguhkan pria-pria yang paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah untukmu. Tapi kau membalas dengan penghinaan"
Jangan kira Siang-mou Sin-ni masih seperti sepuluh tahun yang lalu. Terimalah ini"
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni menggerakkan kepalanya dan rambutnya yang gemuk hitam dan panjang itu menyambar, merupakan puluhan pecut yang luar biasa kuat dan lihainya. Setiap pecut yang terbuat dari puluhan sampai ratusan helai rambut itu mengarah jalan darah mematikan di tubuh Liu Lu Sian. Perlu diketahui bahwa meskipun Siang-mou Sin-ni memang sejak kecil melatih diri dengan ilmu silat tinggi, namun ilmu menggunakan rambut ini ia dapat dari Liu Lu Sian. Tentu saja ilmu ini biarpun amat berbahaya bagi orang lain, namun bagi Liu Lu Sian bukan apa-apa lagi. Wanita ini tiba-tiba merendahkan tubuhnya, dari mulutnya keluar lengking tinggi mengerikan, kedua tangannya bergerak-gerak ke depan dan.. pecut-pecut rambut itu berkibar-kibar membalik dan menghantam Siang-mou Sin-ni sendiri.
"Ayaaaaa"
Siang-mou Sin-ni kaget dan cepat ia melompat ke atas dan berjungkir balik beberapa kali untuk melenyapkan daya serangan membalik tadi. Ketika ia turun di atas tanah, ternyata sebagian rambutnya yang panjang telah bodol dan berhamburan di atas tanah. Wajahnya berubah pucat, giginya berkerut, matanya mendelik.
"Liu Lu Sian, Kau besar hati karena berada di tempat sendiri. Andaikata aku dapat mengalahkanmu, tentu aku akan menghadapi perlawanan anakmu si Suling Emas dan orang-orang Beng-kauw. Aku tunggu nanti Go-gwe Cap-go di puncak Thai-san"
Setelah berkata demikian, Siang-mou Sin-ni berkelebat cepat menghilang dari situ. Tentu saja para utusan Hou-han menjadi sibuk, cepat meninggalkan tempat itu pula tanpa sempat berpamit lagi.
"Bu Song, Ke sini kau.."
Liu Lu Sian kini menoleh kepada Suling Emas dan memanggil dengan suara halus lembut.
Suling Emas berdiri terkesima. Sejak tadi pelbagai perasaan mengaduk hatinya dan teringatlah ia akan masa dahulu di waktu ia masih kecil. Sering kali ayah ibunya saling cekcok. Ketika ibunya pergi, diam-diam ia merasa sedih sekali, karena betapapun juga, ia lebih cinta ibunya daripada ayahnya. Oleh karena itulah, ketika ayahnya menikah lagi, timbul rasa bencinya kepada ayahnya dan rasa sayangnya terhadap ibunya makin menghebat. Di dalam hatinya timbul perasaan bahwa antara ibu dan ayahnya, ayahnyalah yang salah (baca cerita SULING EMAS). Oleh karena itu ia minggat meninggalkan ayahnya yang telah menikah lagi.
Pada waktu ibunya pergi meninggalkan ayahnya, ia masih terlalu kecil untuk dapat mengerti sebab-sebabnya. Sekarang, setelah iblis wanita yang mengerikan dan mengaku ibunya itu muncul, ia menjadi kecewa dan duka bukan main. Beginikah wanita yang menjadi ibu kandungnya? Kejam, aneh, mengerikan, dan tidak malu? Apalagi kalau ia teringat akan ucapan Siang-mou Sin-ni tadi di depan ibunya. Ibunya di Hou-han diperlakukan sebagai orang mulia, disuguhi pria-pria paling tampan, jejaka-jejaka paling gagah? Memuakkan. Dan ucapan itu oleh Siang-mou Sin-ni diucapkan dengan lantang di depan demikian banyak orang tokoh kang-ouw. Dan ibunya tidak membantahnya"
"Bu Song, anakku, ke sinilah. Aku Ibumu, aku rindu kepadamu"
Ucapan ini mengagetkan hatinya, menyeret ia turun daripada lamunannya. Hatinya seperti diawut-awut, kecewa, sedih, terharu. Bagaikan seorang terkena pesona, kedua kakinya melangkah maju di luar kehendak hatinya, maju menghampiri wanita tua cantik jelita yang bertahun-tahun ini menjadi lamunannya, menjadi bayangan yang dirindukannya. Liu Lu Sian memeluk pundaknya yang lebar.
"Bu Song anakku.. ah, kau sudah begini gagah perkasa"
Hi-hi, kau pria paling gagah di seluruh Nan-cao, di seluruh dunia. Kaulah yang patut memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar di Nan-cao, dan aku yang akan memimpin Beng-kauw. Dengan kau sebagai kaisar dan aku sebagai Beng-kauwcu, Nan-cao akan menjadi negara terkuat di dunia."
"Ahhhhh.."
Suling Emas terkejut sekali dan tanpa disengaja ia merenggutkan dirinya terlepas dari pelukan ibunya, memandang terbelalak.
Liu Lu Sian menyambar lengan Suling Emas, ditariknya mendekat lalu ia menciumi pipi pemuda itu dengan hidung dan mulutnya sampai mengeluarkan suara berkecupan. Suling Emas menjadi bingung dan sedih, karena perbuatan ibunya itu disaksikan oleh sekian banyak orang dan tampak tidak patut sekali, akan tetapi keharuan hatinya yang amat besar membuat ia tak mampu bergerak dan di hati kecilnya ada perasaan bahagia melihat kasih sayang ibunya yang demikian besar terhadap dirinya.
"Hi-hik, anakku yang gagah perkasa, yang tampan, kepandaianmu hebat juga. Kau patut menjadi Kaisar Nan-cao."
Tiba-tiba ia melepaskan puteranya dan melangkah lebar menghadap Beng-kauwcu dan Kaisar Nan-cao yang duduk dengan muka berubah dan kedua tangan memegangi lengan kursi masing-masing dengan hati tegang.
"Paman Liu Mo, kursi yang kau duduki itu adalah kursiku. Kau orang tua benar-benar keterlaluan dan tak tahu malu sekali. Kapankah ayah mewariskan kedudukan Beng-kauwcu kepadamu? Akulah yang berhak mewarisi kedudukan ketua Beng-kauw, bukan kau. Kau telah merampas hal lain orang"
Muka Beng-kauwcu Liu Mo sebentar merah sebentar pucat, kedua tangannya yang terletak di atas lengan kursi tampak menggetar. Akan tetapi setelah menarik napas panjang tiga kali, ia berhasil menekan perasaannya dan dengan suara tenang penuh kesabaran ia berkata.
"Lu Sian, tidak ada yang merampas kedudukan Beng-kauwcu. Kedudukan itu tidak pernah dijadikan perebutan di antara kita. Dahulu kau pergi meninggalkan kami, betapapun kami mencarimu, tidak juga berhasil. Ayahmu meninggal dunia dan kau tidak berada di sini. Hanya aku yang berada di sini dan aku dipilih menggantikan kedudukan Kauwcu, sama sekah bukan merampas. Kalau sekarang kau menghendakinya, aku pun tidak akan kukuh mempertahankan kursi kedudukan itu, Lu Sian."
"Hi-hi-hik, tentu saja harus kau berikan kepadaku, suka maupun tidak. Andaikata tidak kau berikan, apa sih sukarnya merampas kembali dari tangan kau orang tua? Aku harus menjadi Kauwcu dan dengan kekuasaanku, aku mengangkat puteraku Bu Song menjadi kaisar di Nan-cao"
"Enci Lu Sian, kau terlalu menghina Ayah"
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Liu Hwee sudah melompat ke depan Liu Lu Sian sambil menyerangnya dengan senjatanya yang luar biasa, yaitu sepasang cambuk lemas yang ujungnya diberi bola kecil.
"Hi-hik, bocah ingusan mau kurang ajar? Satu kali aku beri ampun di terowongan ketika kau bermain gila dengan laki-laki, sekarang aku tidak mau memberi ampun"
Teriak Liu Lu Sian, tubuhnya berkelebatan dan di lain saat ia telah berhasil menjambret sebuah di antara sepasang cambuk itu dan sekali renggut cambuk itu pindah tangan. Dengan sikap mengejek ia melempar cambuk ke samping, kemudian melihat cambuk ke dua menyambarnya, ia menangkap ujungnya lagi dan menarik. Liu Hwee mempertahankan, akan tetapi ia tidak kuat dan tubuhnya terhuyung-huyung. Sambil tertawa-tawa Liu Lu Sian menarik-narik cambuk itu ke sana ke mari dan ke manapun juga ia menarik, tubuh Liu Hwee terbawa, terhuyung-huyung. Terlambat gadis ini ketika hendak melepaskan cambuknya karena entah bagaimana, cambuk itu sudah melibat pergelangan tangannya dan ia terpaksa terseret ke sana ke mari ketika cambuknya ditarik-tarik.
"Lepaskan dia, wanita jahat"
Terdengar bentakan dan Bu Sin sudah menerjang dengan pukulan kedua tangannya yang diarahkan punggung Liu Lu Sian. Pemuda ini tidak dapat menahan kemarahannya ketika melihat betapa Liu Hwee, gadis yang telah merampas hatinya itu, dibuat permainan oleh Liu Lu Sian, malah agaknya keselamatannya terancam bahaya.
Cinta Bernoda Darah Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hi-hik, laki-laki ini sudah tergila-gila kepadamu, Liu Hwee"
Wanita berambut panjang itu terkekeh dan tangannya bergerak hendak menangkap lengan Bu Sin.
"Ihhhh.."
Liu Lu Sian berseru kaget ketika tangannya tergetar dan terpental tak berhasil menangkap lengan Bu Sin. Ini adalah karena pemuda itu mempergunakan tenaga sakti yang ia pelajari dari kakek di air terjun. Namun hanya segebrakan saja tenaga saktinya dapat mengagetkan Liu Lu Sian karena di lain saat, segumpal rambut menyambar dan memukul pinggangnya. Bu Sin merasa seakan-akan terpukul sebatang toya yang terbuat daripada baja. Pinggangnya sakit dan ia terpelanting roboh.
"Kau kejam"
Liu Hwee berseru, menyerang lagi dengan cambuknya yang tadi dilepaskan Liu Lu Siang namun kembali rambut kepala wanita tua itu bergerak dan robohlah Liu Hwee terjungkal dekat Bu Sin.
"Hi-hi-hik, bocah-bocah cilik sudah main cinta-cintaan, biarlah kalian mati bersama agar menjadi dewa-dewi di kahyangan"
Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam berkelebat dan rambut kepala yang sudah menyambar ke arah tubuh Bu Sin dan Liu Hwee itu buyar seperti tertiup angin keras. Liu Lu Sian kaget, akan tetapi ketika melihat bahwa yang berdiri di depannya adalah Suling Emas, wajahnya berseri-seri dan tertawa kagum.
"Bagus. Kau hebat sekali, anakku"
"Ibu,"
Kata Suling Emas dengan suara berat. Memang dalam keadaan seperti itu, mulutnya serasa berat menyebut ibu kepada wanita ini,
"Harap jangan turun tangan membunuhi orang."
"Ha-ha-hi-hi-hik"
Paman Liu Mo, kau dengar ucapan anakku itu? Begitu gagah perkasa dia, begitu tampan, dan begitu bijaksana. Dia patut menjadi kaisar di Nan-cao, dan aku ketua Beng-kauw. Kau akan kuangkat menjadi penasihat, dan kaisar boneka ini biarlah menjadi perdana menteri anakku"
Hebat ucapan ini dan semua orang menjadi tegang. Para tamu diam-diam merasa tegang gembira karena mengharapkan menyaksikan peristiwa yang hebat. Akan tetapi para anggauta Beng-kauw memandang bingung. Mereka merasa serba susah. Betapapun juga, wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, pendiri dan tokoh utama Beng-kauw.
"Ibu, tidak boleh kau bilang begitu.."
Suling Emas berseru dengan suara penuh kesedihan.
"Eh, apa kau bilang?"
Liu Lu Sian membentak sambil memandang dengan matanya yang bening tajam. Ketika bertemu pandang dengan ibunya, diam-diam Suling Emas terkejut dan berduka. Sinar mata ibunya itu, sinar mata yang keluar dari sepasang mata yang amat bening dan indah, bukanlah sinar mata manusia yang sehat jiwanya.
"Ibu, harap kau jangan mengganggu kedudukan Kakek Liu Mo. Dan aku.. aku tidak mau menjadi kaisar. Sri Baginda yang sekarang menjadi kaisar sudah cukup bijaksana dan tepat.."
"Apa? Jangan kau ikut-ikut, Kau anak kecil tahu apa? Hayo minggir"
Wanita itu membuat gerakan mengancam, seakan-akan seorang ibu mengancam dan menakut-nakuti anaknya yang masih kecil. Suling Emas menarik napas panjang dan melangkah minggir dengan muka merah. Ia merasa malu dan sedih. Terasa ada orang menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia melihat Bu Sin memandangnya dengan pandang mata penuh iba. Ia menarik kembali tangannya dan membuang muka, lalu meramkan kedua matanya.
Bu Sin tidak berani lagi mengganggu. Pemuda ini tadi telah terlepas dari bahaya maut bersama Liu Hwee dan cepat mereka sudah mengundurkan diri. Luka pukulan segumpal rambut pada punggungnya tidak berat dan ia bersyukur bahwa Suling Emas tadi keburu datang menolong, kalau tidak, dia dan Liu Hwee tentu akan tewas di tangan wanita iblis itu. Kini semua mata memandang ke tengah lapangan. Kauw Bian Cinjin sudah melangkah maju dengan pecut di tangannya. Langkahnya lebar dan lambat, sikapnya tenang berwibawa, namun tarikan dagu mengeras dan sinar mata tajam berkilat membayangkan kemarahannya. Setelah berhadapan dengan Liu Lu Sian, kakek ini berkata, suaranya lantang berpengaruh.
"Liu Lu Sian, ingatlah siapa kau dan siapa kami. Urusan di antara orang sendiri apa perlunya dipertontonkan orang lain? Tunggu sampai semua tamu pulang, baru kita bereskan urusan pribadi kita"
Liu Lu Sian memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia tersenyum, masih manis seperti dahulu senyumnya sehingga diam-diam Kauw Bian Cinjin terharu juga. Teringat ia betapa dahulu di waktu Liu Lu Sian masih kecil dan ia sendiri masih muda, gadis cilik itu sering kali ia ajak bermain-main dan kalau menangis ia gendong"
"Hi-hik, kau Susiok Kauw Bian Cinjin. Kau orang baik dan Ayah amat sayang kepadamu, memang kau pintar dan tenagamu amat berguna. Kau akan tetap menjadi pengurus utama di Beng-kauw kalau aku sudah menjadi Kauwcu. Hanya pakaianmu ini harus diganti yang baik, jangan seperti pakaian penggembala begitu. Eh, Susiok, kalau aku sudah menjadi kauwcu dan puteraku menjadi kaisar, dengan kau sebagai pembantu utama, hi-hik, apa sih sukarnya menundukkan kerajaan-kerajaan gurem seperti Wu-yue, Hou-han, dan lain-lain? Malah kita akan menyerbu dan menundukkan Kerajaan Sung Utara, dan terus merampas Khitan"
"Lu Sian"
Kauw Bian Cinjin membentak, disusul cambuknya meledak di udara "tar-tar-tar". Sesaat ia tak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya, kemudian ia berkata.
"Lepaskan semua niatmu yang tidak sehat itu. Lekas kau berlutut dan minta ampun kepada Suheng, kepada Beng-kauwcu kita, kalau tidak, aku sebagai paman gurumu terpaksa akan memberi hajaran kepadamu."
Sejenak Liu Lu Sian melebarkan matanya seperti orang terheran-heran. Kemudian wajahnya menjadi muram dan ia berkata,
"Susiok, biar kau sendiri, kalau hendak menghalangi niatku, terpaksa akan kubunuh."
"Aaahhhhh.."
Kaow Bian Cinjin lalu lari ke depan peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, berlutut dan sampai lama ia berdiam diri, bibirnya berkemak-kemik. Kemudian ia menambah kayu wangi pada pedupaan sehingga asap wangi mengebul tebal dan tinggi, bergulung-gulung di sekitar peti mati.
"Twa-suheng, mohon ampun, hari ini siauwte terpaksa melawan puterimu"
Setelah berkata demikian, sekali lagi ia menjura, kemudian dengan langkah lebar dan tenang ia kembali menghampiri Liu Lu Sian yang melihat semua perbuatannya tadi sambil tersenyum-senyum.
Suasana menjadi tegang kembali ketika dua orang itu saling berhadapan. Yang paling tegang dan bingung adalah Suling Emas sendiri. Ingin ia mencegah pertempuran ini, akan tetapi apa dayanya? Tak sampai hati ia kalau harus menjadi musuh ibu kandungnya yang puluhan tahun dirindukannya. Sebaliknya, tak mungkin ia membantu ibunya yang dalam hal ini terang telah melakukan perbuatan yang sesat. Saking bingungnya, ia hanya berdiri dengan muka pucat.
"Liu Lu Sian, biarpun kau merupakan puteri tunggal mendiang Twa-suheng Liu Gan yang kuhormati, akan tetapi saat ini kau merupakan orang yang akan merusak kerajaan dan perkumpulan agama yang kami cintai. Oleh karena itu, aku berdiri di hadapanmu sebagai penentang dan siap melawanmu. Arwah mendiang Twa-suheng pasti akan membenarkan sikapku ini."
"Orang tua keras kepala. Kau kira akan dapat memenangkan aku? Hi-hik, aku bukanlah Tok-siauw-kwi tiga puluh tahun yang lalu"
"Kalah menang bukan soal, yang penting aku harus membela Nan-cao dan Beng-kauw dengan taruhan nyawa"
Jawab Kauw Bian Cinjin gagah sambil melintangkan cambuknya di depan dada. Liu Lu Sian tiba-tiba mengeluarkan suara melengking tinggi. Suara ini luar biasa sekali pengaruhnya dan kalau saja Kam Bian Cinjin yang "diserang"
Suara ini bukan tokoh besar Beng-kauw, kiranya ia akan roboh tanpa disentuh lagi. Cepat Kauw Bian Cinjin berseru keras dan memutar cambuknya sehingga berbunyi angin bersuitan yang melawan pengaruh suara lengking itu.
"Serahkan nyawamu"
Bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya lenyap berubah menjadi bayangan yang cepat sekali, didahului gulungan sinar hitam dari rambutnya yang mengurung tubuh Kauw Bian Cinjin.
Kakek ini kembali berseru keras dan memutar cambuk, maka terjadilah pertempuran yang amat hebat. Lebih hebat daripada pertempuran-pertempuran tadi, karena sekarang yang bertempur adalah dua orang tokoh Beng-kauw. Betapapun juga, masing-masing sudah mengenal gerakan lawan sehingga dapat menandinginya. Ilmu cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin amat lihai sehingga di waktu mudanya ia mendapat julukan Cambuk Halilintar. Memang, melihat kakek ini memainkan cambuk, membuat orang yang kurang tingi kepandaiannya menjadi ngeri dan jerih. Cambuk itu berubah menjadi gulungan sinar yang melingkar-lingkar, bersiutan anginnya dan meledak-ledak di udara disusul sinar memanjang menyambar-nyambar. Hebatnya, tiap lecutan ujung cambuk ini sudah cukup kuat untuk merenggut nyawa lawan.
Betapapun juga ilmu cambuk Kauw Bian Cinjin ini tentu saja satu sumber dengan ilmu kepandaian mendiang Pat-jiu Sin-ong dan tentu saja Liu Lu Sian mengenal sari ilmu cambuk ini. Apalagi sekarang wanita itu telah memperdalam ilmunya secara hebat, yaitu semenjak ia minggat dari ayahnya sambil membawa pergi kitab-kitab pusaka. Selama puluhan tahun ini secara sembunyi Liu Lu Sian telah memperdalam ilmunya, malah ia telah berhasil menguasai ilmu gaib Coan-im-i-hun-to dan penggunaan rambut kepalanya merupakan permainan "ilmu cambuk"
Yang mujijat karena rambut itu dapat dipakai menjadi puluhan batang cambuk yang bergerak secara berbareng dari jurusan-jurusan yang berlawanan.
Kauw Bian Cinjin dapat menduga akan hal ini. Ketika tadi ia melihat sepak terjang Liu Lu Sian dalam menghadapi It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni, lalu melihat tapak tangan merah yang membunuh Cui-beng-kui, ia sudah menduga bahwa puteri suhengnya ini telah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Ia pun maklum tidak akan mampu menandinginya, akan tetapi, untuk membela Beng-kauw yang terang-terangan hendak dikacau Liu Lu Sian, ia menjadi nekat. Apalagi kalau diingat bahwa suhengnya, Liu Mo bersikap mengalah terhadap Liu Lu Sian. Hanya dia seorang yang dapat mencegah Lu Sian merampas kedudukan Beng-kauwcu, karena kalau ia biarkan dan suhengnya memberikan kedudukan itu kepada Liu Lu Sian, tentu Beng-kauw akan dibawa masuk jurang kehancuran. Keponakannya ini seperti orang yang tidak waras otaknya, yang sakit jiwanya.
Setelah saling serang dengan hebat sampai puluhan jurus lamanya, tiba-tiba terdengar lengking tinggi dari mulut Liu Lu Sian, disusul gerengan marah Kauw Bian Cinjin. Mereka secara tiba-tiba tidak bergerak lagi dan ketika semua mata yang tadi menjadi kabur dan silau oleh gerakan-gerakan cepat memandang, ternyata cambuk di tangan Kauw Bian Cinjin sudah saling libat sampai menjadi seperti benang ruwet dengan rambut Liu Lu Sian. Hebatnya, tidak hanya cambuk itu yang terlibat, melainkan juga lengan kanan, pundak dan leher kakek Bengkauw itu.
(Lanjut ke Jilid 19)
Cinta Bernoda Darah (Seri ke 03 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 19
"Kauw Bian Cinjin, mengingat hubungan perguruan, aku ampunkan kau asal kau mau menyerah dan menjadi pembantuku"
Terdengar suara Liu Lu Sian, ramah dan halus.
"Liu Lu Sian, kau sadarlah dan jangan lanjutkan niatmu mengacau Beng-kauw, dan kau menjadi murid keponakanku yang baik dan akan menerima berkah dan doaku.."
Jawab Kauw Bian Cinjin, suaranya tetap lantang berwibawa.
"Tua bangka keras kepala. Dibunuh sayang, tidak dibunuh menjengkelkan. Kau perlu dihajar.."
Tiba-tiba tubuh Kauw Bian Cinjin terangkat naik dan di lain saat tubuhnya telah terbanting ke atas tanah setelah Liu Lu Sian menggerakkan tangan kanannya. Kakek itu terbanting dan pingsan, pipi kanannya terdapat tanda tapak tangan merah.
"Liu Lu Sian, tak perlu kau berlaku kejam terhadap keluarga Beng-kauw sendiri"
Tiba-tiba terdengar Liu Mo berkata sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Hemmm, Paman Liu Mo, apakah kau juga hendak menghalangi aku? Ingat, karena kau yang merampas kedudukan Kauwcu, aku tidak akan berlaku lunak seperti terhadap Kauw Bian Cinjin kepadamu"
Wajah Liu Mo tetap terang dan bibirnya tersenyum.
"Keponakanku, aku sama sekali tidak hendak menghalangimu dan aku sama sekali tidak merampas kedudukan Kauwcu, karena sesungguhnya ayahmu sendiri yang memberikan kepadaku. Oleh karena ayahmu yang menyerahkan kedudukan Kauwcu, kalau kau hendak memintanya, kau harus minta ijin ayahmu lebih dulu"
Berkata demikian, Liu Mo menoleh ke arah peti mati Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Kalau aku sudah minta ijin kepada ayah, kau suka menyerahkan kedudukan Kauwcu kepadaku?"
"Tentu saja, kalau Suheng mengijinkan"
Ucapan ini tentu saja membikin semua orang yang hadir menjadi tercengang. Mana bisa orang mati memberi ijin? Akan tetapi Liu Lu Sian segera menghampiri peti mati ayahnya, lalu membungkuk sebagai penghormatan. Hal ini saja sudah membuat para tokoh yang hadir di situ mengerutkan kening. Penghormatan terhadap orang tua merupakan hal yang amat penting, karena hal ini menjadi tanda akan kebaktian seseorang dan karenanya menjadi dasar untuk mengetahui watak seseorang. Liu Lu Sian tidak berlutut, hanya menjura, hal ini tentu saja tidak sepatutnya dan dapat dinilai betapa kasar dan berandalan watak wanita itu.
"Ayah, aku minta ijin padamu untuk menggantikan kedudukan kauwcu dari agama kita Beng-kauw, dan puteraku menjadi kaisar di Nan-cao"
Suara ini lantang dan terdengar semua orang yang hadir.
Suasana menjadi sunyi sekali setelah Liu Lu Sian mengucapkan permintaannya ini. Tak seorang pun berani mengeluarkan suara, bahkan banyak yang menahan napas untuk menyaksikan apa selanjutnya yang akan terjadi. Apakah Beng-kauw yang sudah demikian tersohor itu akan berganti kauwcu (kepala agama) secara demikian sederhana dan juga kasar? Apakah Kaisar Nan-cao akan "dicopot"
Dan diganti begitu saja di depan banyak tamu dari seluruh pelosok dunia? Apakah Nan-cao dan Beng-kauw akan diserahkan kepada seorang wanita berwatak iblis seperti Tok-siauw-kui yang kini lebih patut disebut Tok-kui-bo (Biang Iblis Beracun) itu? Kalau hal ini terjadi, akan gegerlah dunia, karena tadi wanita itu sudah berjanji akan memerangi dan menundukkan semua kerajaan. Dan dengan ilmu kepandaiannya yang demikian hebatnya, hal itu benar-benar merupakan bahaya besar.
Tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh suara ledakan keras dan semua orang menjadi pucat, mulut ternganga dan mata terbelalak memandang ke arah peti mati yang mendadak meledak keras itu. Tutup peti mati pecah berantakan dan.. sesosok tubuh yang tinggi besar bangkit dari dalam peti mati, langsung berdiri tegak. Tubuh tinggi besar berpakaian serba putih, bermuka pucat tapi tetap dapat dikenal sebagai muka Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mata yang terbelalak lebar hampir keluar dari pelupuknya itu seperti bukan mata manusia, dan suaranya terdengar berkumandang seperti suara dari dunia lain ketika mulutnya yang tertarik keras itu bergerak.
"Tiga tahun aku menanti datangnya saat ini.. Lu Sian.. aku dapat menduga akan hal ini setelah kau mencuri Sam-po-cin-keng (Kitab Tiga Pusaka) dan minggat.. hanya aku yang dapat menahanmu. Mari kau ikut aku meninggalkan dunia yang banyak penderitaan ini.."
Sejenak Liu Lu Sian terhenyak kaget, mundur dua langkah dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia agaknya dapat menahan gelora hatinya yang terkejut, karena ia melangkah maju lagi tiga langkah dengan gerakan tenang. Kemudian suaranya terdengar lantang, juga mengandung kumandang seperti terdengar dari dunia lain karena ia juga mempergunakan ilmu mujijat Coam-im-i-hun-to seperti yang dipergunakan ayahnya tadi.
"Tidak, Ayah. Aku masih ingin hidup, ingin menguasai dunia, ingin memperkembangkan Beng-kauw sehingga seluruh manusia di permukaan bumi ini menjadi penganut Beng-kauw semua"
"Bodoh"
Agama yang dipaksakan dengan kekerasan akan hancur sendiri karena para penganutnya akan menjadi penganut palsu. Mari, ikut dengan aku"
"Ayah, kenapa kau tidak mati sendiri? Aku tidak mau ikut"
Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang disangka telah mati selama tiga tahun lebih itu tertawa, suara ketawanya bergelombang dan kumandangnya datang susul menyusul. Lebih separoh jumlah tamu jatuh bergulingan, tidak kuat menahan getaran suara ketawa bergelombang ini yang seakan-akan membetot semangat mereka sehingga mereka roboh pingsan. Hanya tokoh-tokoh besar saja yang sanggup menahan sehingga tidak roboh terguling, akan tetapi mereka tetap saja harus mengerahkan sin-kang dan tergoyang-goyang di atas tempat duduk masing-masing.
"Kau hendak memaksa, Ayah? Aku melawan"
Bentak Liu Lu Sian dan tubuhnya bergerak ke depan, melancarkan pukulan dengan kedua tangannya, dibantu rambut kepalanya. Karena maklum bahwa di dunia ini agaknya hanya ayahnya yang merupakan lawan terberat, maka sekaligus Liu Lu Sian mengeluarkan seluruh tenaganya untuk merobohkan ayahnya yang disangkanya telah mati itu. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan masih tertawa keras ketika ia mengulur kedua tangannya ke depan. Dua pasang tangan bertemu di udara, sepasang mata Liu Gan makin melotot keluar dan ia tampak kaget sekali, mulutnya mengeluarkan suara
"Uhhhhh"
Dan darah segar tersembur keluar dari mulutnya. Akan tetapi dari mulut Liu Lu Sian keluar jerit mengerikan, lalu terdengar suara gaduh ketika tubuh dua orang itu roboh menabrak dan menggulingkan peti mati berikut meja sembahyang.
Keduanya roboh miring dengan sepasang tangan masih saling menempel, akan tetapi ketika Beng-kauw Liu Mo dan yang lain-lain mendekati, mereka mendapat kenyataan bahwa kedua orang ayah dan anak ini telah putus napasnya. Pat-jiu Sin-ong Liu Gan telah memenuhi kehendaknya, yaitu mengajak puterinya bersama-sama meninggalkan dunia. Sebetulnya hanya Liu Mo seorang yang tahu bahwa suhengnya itu tiga tahun yang lalu belum mati, melainkan minta supaya dimasukkan peti dan dianggap mati karena sesungguhnya suhengnya itu bermaksud menyembunyikan diri dan bertapa, menanti munculnya Liu Lu Sian karena kakek ini sudah dapat membayangkan bahwa puterinya yang binal itu setelah berhasil mencuri Sam-po-cin-keng, di kemudian hari pasti akan menggegerkan dunia
Bu Kek Siansu Eps 25 Suling Emas Eps 6 Suling Emas Eps 11