Suling Emas 12
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 12
Akan tetapi hanya kedua orang panglima itu yang memiliki ilmu silat dari selatan dan barat. Adapun Ban-pi Lo-cia biarpun terkenal, namun tidaklah langsung membantu pergerakan bangsanya. Dia adalah guru dari Panglima Muda Bayisan, namun jarang ia tinggal terlalu lama di Khitan, lebih suka merantau ke selatan, ke dunia yang lebih ramai dan lebih banyak terdapat kesenangan-kesenangan yang sesuai dengan selera nafsunya. Dasar watak manusia jantan, di mana-mana sama saja. Asalkan melihat wanita cantik, tentu mereka itu saling berebutan. Yang kasar yang halus, ya begitu juga, hanya yang kasar itu mengeluarkan perasaan hatinya melalui kata-kata kasar atau pandang mata kurang ajar, sedangkan yang halus diam-diam menyimpan di hati.
Namun hakekatnya, sama juga. Di antara sekian banyaknya pemuda Khitan yang jatuh hati terhadap Puteri Tayami, termasuk juga Bayisan dan... Kalisani! Kita sudah mengenal Bayisan sebagai seorang tokoh muda yang haus akan wanita cantik, yang jahat dan keji, tidak segan-segan melakukan perkosaan terhadap wanita yang manapun juga, baik ia isteri orang maupun anak orang, baik ia mau ataupun tidak. Maka tidak mengherankan apabila Bayisan tergila-gila kepada Puteri Mahkota bangasanya sendiri yang demikian jelita ayu. Akan tetapi, yang amat mengherankan adalah Panglima Tua Kalisani. Usianya sudah empat puluh tahun lebih, dua kali usia Tayami, namun panglima yang belum pernah menikah ini secara diam-diam tergila-gila pula kepada Tayami.
Hanya bedanya, kalau Bayisan mengungkapkan perasaannya melalui senyum dan pandang mata, kadang-kadang kata-kata kurang ajar, adalah Kalisani memendam dalam hati, dan mungkin hanya dapat terlihat oleh Tayami sendiri melalui pancaran sinar mata penuh kasih sayang. Namun, semua harapan para muda termasuk dua orang panglima itu, sebenarnya sia-sia belaka. Puteri Mahkota Tayami sudah mempunyai pilihan hati sendiri. Ia telah menjatuhkan cinta kasihnya kepada seorang bekas temannya semenjak kecil, putera dari pelayan pribadi ayahnya. Kini bekas teman itu telah menjadi seorang pemuda tampan dan gagah, dan biarpun pangkatnya hanya perwira menengah, namun kegagahannya dalam pandang mata Tayami tiada yang dapat menandinginya! Pemuda ini bernama Salinga, biarpun keturunan pelayan raja, namun semenjak nenek moyangnya dahulu amat setia dan berdarah patriot.
Raja Kulu-khan amat mencinta puterinya, dan raja ini pun berpemandangan luas, tidak mengukur pribadi seseorang dari kedudukannya, maka biarpun ia tahu akan perhubungan antara puterinya dengan Salinga, raja ini tidak pernah menegur puterinya. Malah ketika Bayisan mengadukan hubungan itu, ia memarahi Bayisan. Bayisan ini biarpun terkenal diluaran sebagai panglima muda, namun adalah putera Raja Kulu-khan juga. Putera yang lahir dari seorang wanita yang telah bersuamikan seorang pembantu raja, akan tetapi oleh suaminya seakan-akan dijual kepada raja karena mengharapkan kenaikan pangkat! Peristiwa ini terjadi ketika Raja Kulu-khan masih muda dan tidak kuat menghadapi godaan isteri ponggawa itu. Namun, setelah mengetahui niat licik dari ponggawa yang menjual isterinya sendiri itu, raja ini malah menjatuhkan hukuman kepada Si Ponggawa, sedangkan isteri ponggawa itu ia ambil sekalian menjadi selirnya. Hal ini dilakukan untuk mencuci segala noda. Anak yang lahir dari hubungan inilah yang sekarang menjadi Panglima Muda Bayisan!
"Cinta kasih antara orang muda adalah cinta kasih murni yang timbul dari hati sanubari. Adalah Dewa yang menjodohkan, bagaimana kita manusia hendak merusaknya, Bayisan? Kalau adikmu Tayami memang saling mencinta dengan Salinga, biarlah. Salinga seorang pemuda baik, apa salahnya?"
"Akan tetapi, Sri Baginda. Adinda Tayami adalah seorang Puteri Mahkota, sedangkan Salinga... seorang prajurit biasa..."
"Hemm, dia seorang perwira..."
"Apa artinya? Seorang Puteri Mahkota jodohnya adalah pangeran, atau yang setingkat..."
"Ha-ha-ha, Bayisan. Alangkah sempit pandanganmu. Siapakah yang membuat hati dan menimbulkan cinta? Hanya para Dewa yang tahu. Siapa sekarang yang membuat segala macam pangkat dan kedudukan? Hanya manusia. Apa sukarnya kalau sekarang aku mengangkat Salinga menjadi Pangeran atau Ponggawa yang tinggi kedudukannya? Mudah saja, bukan? Akan tetapi aku tidak mau lakukan itu, kenaikan tingkat menurut jasa dan pahala. Kalau aku mengangkat Salinga, berarti suatu penghinaan, baik bagi Salinga maupun bagi keluargaku sendiri. Nah, cukup, tak perlu kau mencampuri urusan dalam hati Tayami!"
Demikianlah, dengan hati mengkal dan penuh dendam Bayisan selalu mencari kesempatan untuk menjatuhkan hati Tayami dan menjatuhkan diri Salinga. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani secara berterang melakukan hal ini, karena Salinga adalah kekasih Tayami dan bahwa dia tergila-gila pula kepada Tayami, adik tirinya!
Pagi hari itu kota raja Paoto amatlah ramainya. Kwee Seng memasuki kota raja ini dan biarpun ia menarik perhatian karena pakaiannya yang compang-camping dan penuh tambalan itu menunjukkan bahwa dia seorang selatan, namun sikapnya yang seperti orang gila membuat orang-orang hanya tertawa kepadanya. Memang pada waktu itu, banyak sekali orang Khitan sudah berpakaian seperti orang Han, dengan pakaian yang dapat mereka rampas kalau mereka menyerbu ke selatan, atau pakaian yang mereka perdagangkan dengan kulit dan bulu domba. Banyak juga pedagang-pedagang dari selatan sampai Khitan, mempertaruhkan keselamatan nyawanya. Bagi para pedagang, dimana ada "untung"
Kesana ia pergi, tak peduli disana terdapat bahaya menantang.
Keramaian kota raja Paoto ada sebabnya. Beberapa pekan yang lalu, di bawah pimpinan Panglima Muda Bayisan sendiri, sepasukan orang Khitan menyerbu dan menghancurkan pasukan Kerajaan Cin Muda yang ternyata adalah pasukan yang melarikan diri membawa barang-barang berharga hasil perampasan mereka terhadap Kerajaan Tang Muda yang kalah perang. Banyak sekali barang rampasan ini, belum lagi kuda dan senjata, maka saking gembiranya Raja Kulu-khan lalu mengadakan pesta untuk menghormati pasukan itu. Dan sebagaimana biasanya, dalam setiap keramaian seperti itu, tentu diadakan perlombaan-perlombaan ketangkasan ditepi Sungai Kuning. Perlombaan macam ini bukan hanya sebagai hiburan untuk menggembirakan suasana, namun ada maksudnya pula unutk mengumpulkan tenaga-tenaga muda dan tidak jarang dalam kesempatan seperti ini bermunculan perwira-perwira baru yang diangkat karena kemenangannya dalam perlombaan.
Kwee Seng hanyut dalam arus gelombang manusia yang menuju ke tepi sungai, ke tempat perlombaan. Sambil makan roti susu kambing yang tadi dibelinya dari warung dan kini digerogoti, Kwee Seng ikut berlari-lari. Lapangan di tepi sungai itu luas sekali dan memang tempat ini sengaja dibuat sedemikian rupa sehingga rata dan baik untuk tempat perlombaan ketangkasan. Hati Kwee Seng berdenyut girang ketika ia mengenal seorang diantara para perwira tinggi yang hadir ditempat itu. Seorang Muda yang tinggi kurus, berpakaian panglima, bertopi indah dengan hiasan bulu, bukan lain adalah Bayisan, musuh lama yang dicari-carinya.
Matanya tetap mencari-cari dan ia agak kecewa tidak melihat Ban-pi Lo-cia ditempat itu. Dipanggung yang sengaja dibuat, duduklah Raja Khitan, ditemani Bayisan, Kalisani, belasan orang panglima tinggi lainnya, dan disamping raja ini duduk pula seorang gadis yang cantik jelita, pakaiannya serba hijau, pedang yang bergagang indah tergantung dibelakang punggung. Inilah Puteri Mahkota Tayami, dan Kwee Seng juga dapat menduganya karena seringkali ia mendengar nama puteri ini disanjung-sanjung orang dalam perjalanannya didaerah Khitan.
Pada saat itu, enam orang penunggang kuda masing-masing, berdiri sejajar dan agaknya menanti tanda untuk segera berlomba lari cepat. Kwee Seng melihat betapa di sebelah depan dipasangi tombak berjajar-jajar, antara dua meter tingginya dan ada empat meter lebarnya. Tombak-tombak itu memenuhi jalan dan dipasang amat kuatnya, gagangnya menancap pada tanah dan ujungnya yang runcing diatas. Tak jauh dari situ, di sebelah kiri jalan berdiri belasan orang barisan panah yang siap dengan busur dan anak panah. Kwee Seng tertarik dan bertanya kepada penonton disebelahnya, seorang Han yang agaknya adalah seorang daripada para pedagang perantau.
"Inilah saat penentuan bagi para pemenang,"
Orang itu menerangkan.
"enam orang itu adalah orang-orang pilihan yang telah keluar sebagai pemenang beberapa perlombaan. Kini diadakan perlombaan untuk memilih yang paling gagah diantara mereka. Pertandingan kali ini tentu seru, karena Salinga ikut. Tuh dia yang berbaju kuning!"
Kwee Seng melihat bahwa pemuda yang berbaju kuning adalah seorang muda yang memang tampan dan gagah, kudanya berbulu putih dan ia berada ditempat paling kiri. Lima orang pemuda lain juga gagah-gagah, bertubuh kekar dan sinar matanya penuh semangat.
"Perlombaan apa saja yang akan dipertandingkan?"
Ia bertanya gembira. Orang itu menengok. Melihat orang yang bertanya, biarpun dari suaranya jelas seorang Han, namun pakaiannya yang compang-camping dan sikapnya yang bebas lepas dan tertawa-tawa menunjukkan bahwa orang ini tak beres otaknya, maka ia lalu menjawab singkat,
"Kau lihat saja, tak usah banyak tanya!"
Kwee Seng membelalakkan mata, mengangkat pundak dan tersenyum lebar. Manusia dimana-mana masih belum dapat melempar wataknya yang buruk, yaitu menilai seseorang dari pakaiannya. Makin indah pakaianmu, makin dihormat oranglah kamu! Akan tetapi ia tidak peduli dan melongok-longok, mendesak diantara banyak orang untuk dapat menonton lebih jelas. Sementara itu, dipanggung, Bayisan memohon kepada Raja untuk mengikuti pertandingan ini.
"Ahh,"
Jawab Raja Kulu-khan.
"Siapa yang tidak tahu bahwa kau adalah Panglima Muda dan memiliki kepandaian tinggi? Apa perlunya kau hendak ikut pertandingan?"
Bayisan tersenyum.
"Hamba rasa amatlah perlu, untuk memberi contoh dan menambah kegembiraan para peserta, dan hal ini dapat menarik perhatian para muda kita agar mereka berlatih lebih giat lagi. Bukankah dengan cara ini, Paduka kelak akan mendapatkan banyak pemuda-pemuda perkasa?"
Raja Kulu-khan tersenyum. Didalam hatinya ia maklum bahwa panglima mudanya ini juga mencari kesempatan "jual muka"
Memamerkan kepandaian, akan tetapi karena alasan tadi ada benarnya pula, maka ia mengangguk memberi ijin.
"Heh-heh-heh, Bayisan, hati-hati kalau kau sampai kalah, bisa jatuh nama!"
Panglima Tua Kalisani menegur Bayisan dengan suaranya yang penuh kelakar. Memang Kalisani terkenal sebagai seorang yang suka bergurau dan selalu berwatak gembira. Dia juga terhitung masih sanak dengan keluarga raja. Bayisan hanya tersenyum mengejek, lalu mengerling kearah Puteri Tayami sambil berkata,
"Mana mungkin aku kalah dengan segala macam perwira seperti mereka itu?"
Setelah berkata demikian, ia memberi hormat kepada raja dan meloncat turun dari panggung. Ucapan ini secara langsung merupakan ejekan terhadap diri Salinga, pemuda pilihan hati Tayami, hal ini tentu saja dimengerti oleh Tayami sendiri, maupun Raja Kulu-khan dan juga Kalisani. Ketika Kwee Seng melihat Bayisan datang menunggang seekor kuda merah, ikut berjajar sebaris dengan enam orang penunggang kuda, tangannya gatal-gatal untuk segera menerjang orang yang telah berbuat curang terhadapnya itu. Akan tetapi ia menahan nafsu hatinya karena maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan menimbukan kegemparan dan kalau ia kemudian dikepung oleh samua orang Khitan meloloskan diri? Lebih baik ia bersabar dan menanti sampai terbuka kesempatan, turun tangan diwaktu malam sunyi.
Raja memberi tanda dengan tangan diangkat keatas, terompet tanduk menjangan dibunyikan orang dan perlombaan ketangkasan dimulai. Peserta paling kanan dengan kuda hitamnya, seorang pemuda yang tubuhnya kokoh kuat seperti batu karang, berteriak keras, kudanya dicambuk dan larilah binatang ini cepat laksana terbang. Debu mengepul tinggi dan para penonton mengulur leher mengikuti larinya kuda yang makin mendekati barisan tombak yang menghalang jalan. Kwee Seng sudah tidak tampak lagi diantara penonton, karena ia sudah enak-enak duduk diatas cabang pohon, tertawa-tawa dan dapat menonton dengan enak. Setelah tiba dekat barisan tombak, pemuda berkuda hitam itu berseru keras dan kudanya melompat keatas. Hebat lompatan kuda ini.
Keempat kakinya hampir menyentuh ujung tombak. Ketangkasan yang luar biasa akan tetapi juga permainan yang amat berbahaya. Sebuah saja dari keempat kaki kuda itu menyentuh mata tombak, tentu tubuh kuda akan terguling dan jatuh di "sate"
Ujung banyak tombak, mungkin berikut penunggangnya! Namun kuda hitam bersama penunggangnya amatlah tangkas, secepat kilat kuda itu sudah mewakili barisan tombak dan turun dengan selamat, menimbulkan debu mengebul tinggi dan sorak-sorai tepuk tangan gemuruh dari para penonton. Raja mengangguk puas. Makin banyak ia mempunyai orang-orang setangkas itu, makin kuatlah Kerajaan Khitan. Akan tetapi lomba ketangkasan itu belum selesai. Ujian bukan hanya sampai pada melompati barisan mata tombak.
Ini masih belum berbahaya! Ujian kedua lebih hebat lagi, yaitu melalui barisan anak panah. Penunggang kuda hitam sudah melarikan kudanya cepat-cepat, kembali lagi setelah tiba di ujung sana untuk memasuki lingkungan barisan anak panah, yang sudah siap sedia. Begitu kuda itu memasuki lingkungan itu, busur-busur dipentang dan melesatlah puluhan batanga anak panah, menyambar kearah tubuh Si Penunggang Kuda. Semua pelepas anak panah adalah ahli-ahli pilihan sehingga tidak sebatang pun anak panah yang akan mengenai tubuh kuda, melainkan menyambar tepat diatas tubuh kuda, lewat dengan cepat, dekat sekali dengan punggung, bahkan ada yang menyerempet pelana dipunggung kuda.
Akan tetapi Si Penunggang Kuda yang cekatan itu tahu-tahu telah lenyap dari atas kuda. Demikian cepatnya gerakan itu sehingga ia seolah-olah menghilang, padahal ketika anak-anak panah menyambar, penunggang ini sudah menjatuhkan diri kekiri, terus tubuhnya menggantung kebawah perut kuda, hanya kedua kakinya yang menahan tubuh, kedua kaki yang dikaitkan kepada pelana kuda itu. Kuda lari terus, penunggangnya bergantung dibawahnya, sungguh ketangkasan yang mengagumkan! Tepuk tangan dan sorak-sorai menyambut ketangkasan ini setelah kuda besarta penunggangnya selamat melewati barisan anak panah. Dengan gerakan indah Si Penunggang mengayun tubuhnya dan dari sebelah kanan perut kuda ia telah duduk kembali dengan tegaknya!
Ujian ketiga adalah ujian ketangkasan memanah. Sambil menunggang kuda yang mengitari lapangan, Si Penunggang Kuda hitam itu mementang busur dan berturut-turut ia melepas anak panah yang menancap tepat pada dada dan perut boneka besar manusia yang menjadi sasaran dan ditempatkan di tengah lapangan. Tujuh kali Si Penunggang Kuda hitam itu melepas anak panahnya, dan lima diantaranya menancap tepat ditengah dada, yang dua agak meleset, menancap di pundak dan paha. Namun ini saja sudah cukup menyatakan bahwa ia lulus! Dengan bangga Si Penunggang Kuda hitam itu lalu menjalankan kudanya ke bawah panggung, melompat turun dan berlutut kearah raja, kemudian menuntun kudanya berdiri dipinggir ikut menonton peserta-peserta berikutnya.
Peserta kedua mengalami saat naas baginya. Ketika kudanya melompati barisan tombak, dibagian terakhir kudanya terjungkal, jatuh kebawah. Perut kuda tertembus tombak-tombak itu dan penunggangnya pun mengalami nasib yang sama, perut dan dadanya tembus oleh tombak. Penonton berseru kengerian dan beberapa orang penjaga segera lari mendatangi untuk membawa pergi mayat kuda dan orang. Korban mulai jatuh dan permainan berbahaya ini, dan penonton mulai tegang! Peserta ke tiga selamat melampaui barisan tombak, dan ketika melampaui barisan anak panah, kurang cepat ia bersembunyi sehingga pundak dan pahanya terserempet anak panah.
Dalam keadaan luka ringan ini ketika ia memanah orang-orangan, di antara tujuh batang anak panahnya, hanya dua yang mengenai sasaran, maka tentu saja ia pun dinyatakan gagal! Peserta ke empat hanya berhasil melampaui barisan tombak. Ia terjungkal roboh dengan anak panah menancap di perut dan lehernya! Kembali ada korban yang kehilangan nyawanya dalam lomba ketangkasan ini. Namun para penonton tidak lagi menjadi ngeri. Bahkan menjadi makin tegang, karena sekarang ternyata oleh mereka betapa sukarnya olah ketangkasan yang diperlombakan ini. Ketika peserta kelima yang mukanya sudah pucat melihat betapa rekan-rekannya gagal bahkan ada yang tewas itu membentak kudanya mulai mulai lari membalap, semua orang memandang penuh ketegangan.
Peserta kelima ini tubuhnya jangkung kurus namun bahunya bidang dan lengannya kelihatan kuat. Ia berhasil melompati barisan tombak, berhasil pula melewati barisan anak panah dengan cara sembunyi dibawah perut kuda seperti dilakukan peserta pertama, akan tetapi ketika ia memperlihatkan keahliannya memanah, diantara tujuh batang anak panahnya hanya dua yang menancap pada perut sasaran, yang lima meleset semua. Kegagalan inilah yang menyebabkan ia dianggap tidak lulus, tidak diterima menjadi calon panglima dan hanya dinaikkan pangkatnya satu tingkat saja. Namun ia masih beruntung kalau dibandingkan dengan rekan-rekannya yang tewas atau terluka parah.
Tibalah kini giliran Salinga. Begitu pemuda berkuda putih ini maju, para penonton bertepuk tangan. Pemuda ini amatlah tampan dan sikapnya tenang, jelas bahwa orangnya rendah hati dan tidak sombong, namun pandang matanya yang tajam itu membayangkan semangat dan keberanian yang luar biasa. Para penonton yang sudah tahu bahwa pemuda ini adalah pilihan puteri mahkota, tentu saja simpati dan mengharapkan pemuda ini akan berhasil baik dan lulus. Sebaliknya, Puteri Tayami biarpun kelihatan tenang-tenang saja, diam-diam ia merasa kuatir kalau-kalau kekasihnya takkan berhasil. Perlombaan atau ujian sehebat ini hanya diadakan beberapa tahun sekali kalau raja berkenan hendak memilih calon-calon panglima yang harus benar-benar gagah perkasa.
Seperti juga yang lain-lain. Salinga membawa kudanya ke depan panggung, lalu ia turun dan memberi hormat sambil berlutut ke arah raja. Kemudian matanya mengerling sekilas ke arah kekasihnya. Alangkah besar hatinya ketika ia menerima kiriman senyum dari Tayami, senyum yang menimbulkan keyakinan di dalam hatinya bahwa demi untuk puteri pujaannya, ia harus dan akan berhasil! Pada saat ia bangun kembali dan melompat keatas punggung kudanya, tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda dan tahu-tahu seekor kuda berbulu merah telah berada di dekatnya. Salinga tercengang ketika mengenal penunggangnya yang bukan lain adalah Panglima Muda Bayisan! Segera ia menjura diatas kuda putihnya dan berkata.
"Salam, Tuan Panglima!"
"Salam, perwira Salinga yang gagah!"
Balas Bayisan.
"Ada pesan apa gerangan yang hendak Tuan sampaikan kepada saya?"
"Tidak ada apa-apa Salinga. Hanya, melihat bahwa peserta terakhir tinggal engkau seorang dan aku yang hendak mencoba-coba sukarnya ujian, sebaliknya kita lakukan itu bersama. Bukankah hal itu akan menambah kegembiraan dan akan membesarkan hati kita, juga menggembirakan para penonton?"
Tentu saja Salinga maklum bahwa diantara para saingannya dalam berebut hati tuan puteri, Bayisan ini merupakan saingan terberat dan juga paling berbahaya. Sudah seringkali kekasihnya, Puteri Tayami, memperingatkan agar ia berhati-hati terhadap Bayisan.
Ia tentu saja dapat menduga bahwa panglima muda yang sebetulnya juga pangeran ini mempunyai maksud tersembunyi dalam mengajak ia melakukan ujian bersama. Terang bahwa Bayisan takkan mungkin berani mencelakainya didepan begitu banyak saksi, diantaranya raja dan puteri mahkota sendiri. Salinga menaruh curiga dan tidak suka, akan tetapi betapapun juga, tak dapat ia menolak, tak dapat ia berlaku tidak hormat kepada Bayisan. Pertama, Bayisan adalah panglima muda, jadi masih termasuk atasannya biarpun ia dimasukkan kedalam pasukan yang langsung dikepalai panglima tua. Kedua, Bayisan adalah putera raja sendiri, biarpun hanya putera selir yang tidak begitu harum namanya karena menjadi selir raja atas kehendak suaminya yang kemudian dihukum mati.
"Tuan Panglima amat gagah perkasa, tentu saja ujian ini sebagai main-main belaka, berbeda dengan saya yang harus mempertaruhkan nyawa untuk dapat lulus."
Kata salinga merendah. Mendengar ini, Bayisan tertawa bergelak dan sengaja berkata dengan suara keras agar terdengar orang lain, terutama tentu saja, agar terdengar Puteri Tayami.
"Ha-ha-ha, mempertaruhkan nyawa untuk permainan macam itu saja? Ha-ha, kau berkelakar, Salinga! Siapa yang tidak tahu akan ketangkasanmu? Hayolah, jangan membuang waktu lagi. Kuda kita sama-sama baik, usiamu lebih muda daripada usiaku, tentu kau lebih tangkas. Ha-ha!"
Bayisan lalu mencambuk kudanya yang melesat maju. Merah muka Salinga karena ia maklum apa yang dimaksudkan oleh Bayisan tadi, akan tetapi ketika ia mengerling kearah panggung, ia melihat Tayami kembali tersenyum kepadanya, senyum yang mengatakan berpihak kepadanya. Ia pun tersenyum pula dan mencambuk kuda putihnya yang terbang maju kedepan.
Penonton bersorak riuh rendah. Hebat memang melihat kedua orang gagah itu. Kuda yang mereka tunggangi juga merupakan kuda pilihan. Kuda putih tunggangan Salinga adalah kuda pemberian Puteri Tayami, tentu saja merupakan kuda pilihan dari kandang istana. Adapun kuda merah tunggangan Bayisan juga datang dari kandang istana, karena kuda ini hadiah dari raja sendiri ketika ia berhasil menumpas pasukan musuh beberapa hari yang lalu. Banyak di antara penonton hanya mendengar kegagahan panglima muda dari cerita para anggota pasukan belaka, jarang ada yang pernah menyaksikan sendiri, maka kesempatan yang amat baik tentu saja menggembirakan hati mereka.
Sementara itu, Kwee Seng yang ikut merasa tegang dan gembira, tiba-tiba terkejut bukan main ketika ia mendengar suara berkeresekan diatasnya dan ketika ia mengangkat mukanya, ia melihat seorang kakek tua sudah duduk diatas cabang, hanya dua meter disebelah atasnya! Inilah yang membuat ia merasa kaget bukan main. Biarpun ia tadi memperhatikan ketegangan dibawah, namun bagaimana ia tidak dapat mendengar ada orang yang tahu-tahu berada di atasnya? Ia memperhatikan kakek itu. Kakek yang aneh sekali. Pendek, luar biasa pendeknya paling-paling satu meter tingginya. Tubuhnya, kaki tangannya, kecil seperti kaki tangan anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kepalanya sebesar kepala orang dewasa, bahkan lebih besar lagi tampaknya karena rambutnya yang penuh uban itu riap-riapan, kumis jenggotnya memenuhi separuh muka, alisnya juga panjang sampai ke pipi, bibir yang merah tampak membayang diantara kumis jenggot, tersenyum-tersenyum lebar dan matanya yang kecil itu bersinar gembira seperti anak yang nakal.
Di pundaknya sebelah kanan bertengger seekor burung, burung hantu atau burung malam yang matanya seperti mata kucing, kelihatan cerdik licik dan menakutkan! Sekali pandang saja maklumlah Kwee Seng bahwa kakek pendek aneh yang duduk di sebelah atasnya itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia bersikap hati-hati dan waspada. Ia tidak pernah mendengar di dunia kang-ouw ada tokoh macam ini, maka ia tidak tahu dari golongan mana kakek ini dan bagaimana pula sepak terjang serta wataknya. Karena sejak tadi ia sendiri tidak pernah memperlihatkan kepandaiannya, bahkan ketika naik ke atas pohon itu pun ia mendaki seperti orang biasa, maka Kwee Seng merasa yakin bahwa tak seorang pun dapat menduga ia berkepandaian, juga kakek itu tentu tidak.
Maka ia segera pura-pura tidak melihatnya, atau tidak mempedulikannya, tertawa-tawa dan bertepuk-tepuk tangan melanjutkan keasyikannya tadi menonton perlombaan. Tangkas sekali Salinga dengan kuda putihnya. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring, Salinga mencambuk dan kudanya melompat ke atas melewati barisan tombak. Rambut dan ujung baju Salinga berkibar-kibar bersama ekor kuda ketika mereka melayang diatas barisan tombak, selamat sampai diujung dan turun kembali keatas tanah. Akan tetapi, lebih hebat sorak-sorai menyambut lompatan kuda merah yang ditunggangi Bayisan. Panglima muda ini sengaja melompat tepat dibelakang Salinga dan begitu kuda merahnya melompat diam-diam Bayisan mengerahkan lwee-kang dan gin-kangnya.
Ia menjepit perut kudanya dan menambah tenaga loncatan kuda dengan loncatannya sendiri sehingga dia bersama kudanya melayang jauh lebih tinggi daripada Salinga! Para penonton dengan jelas melihat betapa kuda merah itu semeter lebih berada diatas kuda putih dan melayang lebih cepat. Kalau saja Bayisan menghendaki, bisa saja ia menurunkan kuda merahnya tepat diatas Salinga sehingga pemuda itu dengan kuda putihnya akan celaka. Kalau hal ini terjadi, tentu merupakan kecelakaan yang tidak disengaja, namun ia tetap kuatir kalau-kalau Raja dan Tayami mengetahui rahasianya.
Selagi para penonton menahan napas dan berseru kaget melihat kuda merah meluncur diatas kuda putih, tiba-tiba Bayisan berseru keras sekali dan tahu-tahu kuda merahnya itu berjungkir balik membuat salto diudara dan turun beberapa meter disebelah depan kuda putih! Gemuruh sorak dan tepuk tangan menyambut pertunjukan yang hebat ini. Bahkan Kwee Seng sendiri yang ikut bertepuk tangan, diam-diam terkejut dan kagum menyaksikan kelihaian Bayisan. Ia tahu bagaimana caranya Bayisan melakukan semua itu, dan inilah pula yang menyebabkan ia kagum karana tokoh Khitan itu ternyata amat maju dalam lwee-kang dan gin-kangnya. Kalau semua orang bertepuk dan bersorak, adalah kakek di atas Kwee Seng itu bersungut-sungut,
"Ah, bau...! Bau...!"
Kwee Seng mendengar ini akan tetapi pura-pura tidak dengar dan tidak tahu, karena sebenarnya ia pun tidak mengerti mengapa kakek itu mengatakan bau. Bau apa sih?
Dengan lagak dibuat-buat Bayisan sengaja minggirkan kudanya dan memberi isyarat dengan tangan agar Salinga melarikan kudanya terlebih dahulu memasuki barisan anak panah. Para penonton sudah diam semua karena kini mereka mulai merasa tegang. Bagaimanakah gerangan cara kedua orang gagah ini menghadapi hujan anak panah? Apakah juga seperti yang dilakukan peserta pertama tadi bersembunyi dibawah perut kuda? Cara seperti ini memang amat populer diantara orang-orang Khitan dan boleh dibilang setiap prajurit mempelajarinya, walaupun tidak banyak berhasil baik karena cara ini hanya dapat menyelamatkan diri dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan darurat saja. Dalam keadaan perang sungguh-sungguh, cara ini malah kurang tepat karena biarpun tubuh sendiri tidak terkena anak panah,
Kalau kudanya yang terkena dan roboh, bukankah penunggangnya akan tergencet dan memudahkan musuh untuk membunuhnya? Betapapun juga, cara lain tidak ada dan kini menyaksikan dua orang muda itu memasuki barisan panah, tentu saja para penonton, termasuk raja sendiri dan juga puteri mahkota, memandang penuh perhatian dan ketegangan. Ketika kudanya telah memasuki barisan anak panah, begitu terdengar menjepret dan anak panah menyambar-nyambar, sekali menggentakkan tubuhnya, Salinga telah meloncat dan berdiri diatas punggung kudanya, berdiri sambil menekuk lutut membuat tubuhnya sependek mungkin, hampir berjongkok. Dengan begini, anak panah menyambar kearahnya keseluruh bagian tubuh dari kepala sampai ke kaki! Karena para pemanah itu memang diperintahkan (Lanjut ke Jilid 12)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 12
untuk memanah Si Penunggang Kuda dan sama sekali tidak boleh memanah kudanya.
Begitu puluhan batang anak panah itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba Salinga berseru keras dan tubuhnya mencelat keatas dalam keadaan masih seperti berjongkok. Kudanya lari kedepan, akan tetapi karena Salinga juga mencelat kedepan, ketika ia turun lagi, tepat kakinya tiba diatas pelana kudanya. Kembali anak panah menyambar, akan tetapi kembali tubuh Salinga mencelat keatas dan demikianlah secara bertubi-tubi anak panah itu dapat dielakkan sambil meloncat keatas dengan gerakan yang tangkas sekali! Sorak-sorai menyambut cara menghindarkan anak-anak panah ini, cara yang dianggap lebih tangkas dan lebih berani daripada cara bersembunyi diperut kuda, akan tetapi sudah tentu saja merupakan cara yang lebih sukar, yang hanya dapat dipelajari orang-orang pandai.
Tiba-tiba sorak-sorai lebih menggegap-gempita ketika Bayisan dengan tenangnya memasuki barisan anak panah bersama kudanya yang ia jalankan seenaknya saja. Anak panah menyambar bagaikan hujan kearahnya, namun panglima muda ini sama sekali tidak membuat gerakan mengelak. Semua orang termasuk raja kaget karena bagaimana orang itu begitu enak-enakan sedangkan puluhan anak panah menyambar dengan cepat kearahnya? Akan tetapi tiba-tiba Bayisan menggunakan cambuk di tangan kanan yang diputar-putar cepat sekali, menangkis semua anak panah yang runtuh ke kanan kiri begitu terkena sambaran cambuk yang diputar. Tangan kirinya juga ikut membantu, begitu lengan baju yang kiri menyampok, anak panah menyeleweng atau terpental kembali Kwee Seng diam-diam memuji. Kiranya Bayisan sudah banyak maju dan kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu.
"Ah, bau...! Tengik dan kecut! Jembel busuk tak pernah mandi!"
Terdengar makian perlahan di sebelah atas Kwee Seng. Mendengar makian ini, Kwee Seng mengerutkan kening. Kurang ajar, pikirnya. Kiranya yang dimaki bau tengik dan kecut adalah dia! Dengan hati mendongkol Kwee Seng berdongak, memandang kakek itu yang juga memandang kepadanya sambil menutup lubang hidung dengan telunjuk dan ibu jari yang menjepit hidung.
"Heh-heh, kakek cebol. Bau tengik dan kecut itu datangnya dari jenggot dan kumismu. Coba kau cukur bersih cambang baukmu, tentu lenyap bau tak enak itu, heh-heh-heh!"
Mendengar ini, kakek itu melepaskan dekapan pada hidungnya, lalu tangannya menyambar jenggot dan kumisnya yang panjang, dibawa dekat-dekat ke ujung hidung lalu ia mendengus-dengus dan mencium-cium. Mendadak ia berbangkis dua kali.
"Haching! Haching! Apek... apek! Wah, jembel busuk, kau berani mempermainkan aku, hah? Burung setan, kau wakili aku pancal hidungnya sampai keluar kecap dan tampar kedua pipinya sampai bengkak-bengkak!"
Kakek itu berkata perlahan.
Kwee Seng memang sudah siap sedia menghadapi segala kemungkinan, karena orang takkan dapat menduga apa yang akan dilakukan seorang kakek aneh seperti itu, akan tetapi ia kaget juga ketika tiba-tiba sesosok sinar abu-abu menyambaar ke arah mukanya, kiranya burung hantu itu telah menyerang dengan gerakan terbang yang sama sekali tidak menimbulkan bunyi, tahu-tahu burung itu telah menggunakan paruhnya untuk mematuk hidungnya, disusul tamparan dengan kedua sayap burung itu kearah kedua pipinya! Serangan yang hebat sekali, lebih hebat daripada sambaran anak-anak panah yang betapa laju pun.
"Plak-plak-plak!!!"
Beberapa helai bulu burung rontok dan burung itu sendiri mengeluarkan suara "huuuk... huuuuk...!"
Terbang keatas, lalu lenyap keatas pohon, mengeluh kesakitan. Hidung Kwee Seng sama sekali tidak mengeluarkan kecap dan sepasang pipinya tidak bengkak-bengkak seperti yang diharapkan kakek cebol itu.
Kwee Seng masih duduk enak-enakan dan tidak pedulikan lagi kakek diatasnya, melainkan menonton kelanjutan perlombaan dibawah. Tadi ia menggunakan sentilan dan tamparan mengusir burung tanpa membunuhnya karena ia tahu bahwa burung itu tidak bersalah apa-apa, hanya memenuhi perintah Si Kakek Cebol. Saat itu, Salinga sudah melarikan kuda putihnya mengelilingi lapangan untuk memperlihatkan ketangkasannya melepas anak panah. Pemuda ini biarpun tidak selihai bayisan namun ketangkasannya sudah cukup untuk menjadi seorang perwira jagoan didalam barisan Khitan. Gendewanya yang besar dan berat mengeluarkan suara menjepret, hanya dua kali dan tahu-tahu tujuh batang anak panah telah menancap, empat batang anak panah yang kesemuanya tepat mengenai sasaran di bagian yang penting dan mematikan.
Tentu saja para penonton, termasuk Puteri Tayami sendiri, menyambut ketangkasan ini dengan tepuk sorak gemuruh, karena jelas bahwa Salinga telah lulus ujian dan patut menjadi calon panglima! Akan tetapi, apa yang dilihat penonton selanjutnya, benar-benar membuat penonton besorak lebih gemuruh lagi, karena pertunjukan Bayisan benar-benar mengagumkan mereka. Seperti juga Salinga, panglima muda ini melarikan kuda merahnya amat cepat mengelilingi lapangan, demikian cepatnya kuda merah itu lari sehingga merupakan bayangan merah yang bagaikan terbang mengelilingi sasaran. Ketika larinya kuda tiba didepan sasaran, tiba-tiba tampak sinar berkilauan menyambar dari atas kuda menuju sasaran, dan....
Tiga belas batang hui-to (pisau terbang) telah menancap ditiga belas bagian tubuh yang mematikan yaitu di antara kedua alis, ditenggorokan, dikedua pundak, dikanan kiri dada, dipusar, dikanan kiri lambung, dikedua paha dan kedua lutut!. Tentu saja ini merupakan demonstrasi ilmu melempar senjata yang amat hebat, yang belum pernah disaksikan oleh mereka semua. Memang sebenarnya Bayisan merahasiakan kepandaiannya ini, akan tetapi karena ingin memamerkan kepandaiannya didepan Tayami, untuk mengalahkan Salinga, terpaksa kini ia perlihatkan.
"Bau... bau...! He, jembel muda yang tengik. Kau berada dibawahku, baumu naik memenuhi hidungku. Hayo kau bersamaku memperlihatkan kepada monyet-monyet itu bahwa tidak ada artinya semua pertunjukan ini. Akan tetapi karena kau bau sekali, kau harus berada diatasku, aku menjadi kuda, kau boleh menunggang punggungku!"
Kwee Seng berdongak ia terkekeh geli. Kakek itu tidak tampak lagi mukanya, ditutup baju yang ditariknya keatas, kemudian tubuh kakek itu melayang jauh kebawah, didepannya menyambar tangannya untuk ditarik bersama kebawah. Kwee Seng terkejut, namun ia cepat mengerahkan gin-kangnya yang ikut melayang kebawah. Maklum bahwa kakek ini memang hendak main-main dan cari perkara, ia merasa gembira dan begitu melihat kakek itu tiba ditanah dalam keadaan merangkak, yaitu kedua tangan menjadi kaki depan, muka seekor keledai kecil sekali, ia tidak merasa sungkan-sungkan lagi dan melayani kehendak Si Kakek, cepat ia melompat dan tepat tiba dipunggung kakek itu dengan ringan! Begitu merasa tubuh jembel muda itu tiba-tiba dipunggungnya, Si Kakek memperdengarkan suara meringkik mirip kuda, lalu ia "lari"
Dengan empat kakinya, lari congklang ketengah lapangan!
Kwee Seng terkekeh-kekeh, rambutnya riap-riapan, dan ia menoleh kekanan kiri dengan lagak congkak, meniru lagak Bayisan dan lain-lain peserta tadi. Seolah-olah ia juga seorang peserta yang gagah perkasa menunggang kuda yang tangkas. Ributlah para penonton, terdengar gelak tawa disana-sini, lalu memecah terbahak-bahak. Lucu sekali memang. Penunggangnya seorang jembel berpakaian compang-camping penuh tambalan, rambutnya riap-riapan bertelanjang kaki.
"kudanya"
Mirip seekor anjing buduk yang pincang kakinya. Para perajurit penjaga menjadi marah dan hendak menghalangi Si Gila itu membikin kacau, akan tetapi raja mengangkat tangan mencegah. Sambil tertawa-tawa Raja Kulu-khan berkata,
"Biarkan! Biarkan! Bukankah ini merupakan pertunjukan lawak yang menarik?"
Diam-diam Si Kakek aneh itu kagum ketika tadi merasa tubuh jembel muda itu tiba dipunggungnya seperti sehelai daun kering. Rasa kagum yang disusul rasa penasaran karena biarpun ia adalah sudah tua bangka, namun ia adalah seorang yang memiliki watak yang tidak mau kalah oleh siapapun juga! Maka kini ia lari mencongklang kearah barisan tombak.
Kemudian sekali ia menggerakkan kaki tangannya, tubuhnya mencelat keatas dan hinggap diatas tombak! Diatas ujung mata tombak yang runcing, yaitu empat buah tombak pertama, tangan dan kakinya menekan ujung itu seperti seekor burung hinggap diatas cabang! Kwee Seng terkejut sekali dan diam-diam ia merasa amat kagum. Gelak tawa dari para penonton seketika terhenti, dan kini para penonton melongok terheran-heran. Raja Kulu-khan sendiri terhenti ditengah-tengah senyumnya. Puteri Tayami bangkit berdiri, dan para penglima, termasuk Kalisani dan Bayisan berubah air mukanya. Ini bukan pelawak-pelawak gila lagi, melainkan pertunjukan yang hebat! Bayisan segera lari kearah barisan panah dan memberi perintah dengan suara perlahan, kemudian kembali lagi ditempat semula sambil memandang penuh perhatian.
Tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya, kakek yang menjadi kuda itu melangkahkan "empat kakinya"
Setapak demi setapak melalui ujung mata tombak yang berjajar-jajar itu, sedangkan Kwee Seng enak-enak duduk diatas punggungnya. Karena Kwee Seng juga merasa panas perutnya melihat kakek ini seakan-akan memamerkan kepandaiannya, maka diam-diam Kwee Seng tidak menggunakan lagi gin-kangnya, membiarkan tubuhnya memberat dan menindih kakek itu. Akan tetapi, kakek itu cerdik juga karena sekarang ia cepat melompat-lompat diatas mata tombak, tidak menekankan tangan kaki lagi seperti tadi melainkan memegang dengan tangan lalu melompat sehingga akhirnya ia sampai dibaris terakhir lalu melompat kebawah.
Para penonton sudah sadar kembali dari kaget dan heran, maka kini suara sorak-sorai mengalahkan yang tadi karena sorakan itu diseling tawa terbahak saking kagum dan lucu. Akan tetapi, suara ketawa mereka itu hanya sebentar karena "orang gila"
Bersama "kudanya"
Yang aneh sekali itu telah mendekati barisan anak panah. Apakah mereka benar-benar hendak memasuki barisan itu? Mencari mampus? Ketegangan memuncak karena Kwee Seng yang masih enak-enak "nongkrong"
Dipunggung kakek itu seakan-akan tidak melihat bahaya, membiarkan dirinya dibawa kedalam barisan anak panah, dimana ahli-ahli panah telah siap melepaskan anak panah. Busur telah mereka tarik sepenuhnya! Bahkan dipanggung kehormatan, tidak ada suara berkelisik semua mata memandang penuh ketegangan, agaknya napasnya pun ditahan menanti detik-detik yang akan datang itu. Dari mulut Raja Kulu-khan terdengar suara.
"Ah, sayang... kalau sampai mereka tewas..."
Akan tetapi suara ini hanya seperti bisik-bisik saja, pula pada saat seperti itu, siapa orangnya tidak ingin menyaksikan bagaimana kelanjutan peristiwa aneh itu? Raja sendiri biarpun mulut berkata demikian, hatinya amat ingin menyaksikan dan tentu akan melarang kalau ada yang hendak menghalangi orang gila itu memasuki barisan anak panah.
Para ahli panah yang telah menerima bisikan dari Bayisan, menanti sampai orang gila itu tiba di tengah-tengah lapangan, dan tepat pula seperti yang diperintahkan Bayisan, mereka memanah untuk membunuh, maka begitu terdengar suara tali busur menjepret disusul berdesirnya anak panah yang puluhan batang banyaknya, semua anak panah itu selain menuju kearah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Kwee Seng, juga ada yang mengaung lewat dipinggir dan aras kepalanya untuk mencegah orang gila itu mengelak!
"Aduh celaka...!"
"Ahh...!"
"Mati dia...!"
Bahkan Raja Kulu-khan sendiri mengeluarkan seruan kecewa, demikian pula puteri Tayami dan yang lain-lain ketika melihat betapa anak-anak panah yang banyak sekali mengenai tubuh "orang gila"
Itu sehingga tubuhnya seperti penuh anak panah, dikanan kiri dada, bahkan ada yang menancap dimukanya! Akan tetapi anehnya.
"kuda"
Kecil itu masih merayap terus dan orang gila itu masih enak-enak duduk mengantuk, seakan-akan anak-anak panah yang menancap pada dada dan mukanya itu tidak dirasainya sama sekali! Kembali anak panah yang banyak sekali menyambar, kini menuju kepada "kuda"! Berbeda dengan peraturan yang berlaku dalam ujian ketangkasan itu, kini karena telah diberi komando Bayisan yang tahu bahwa dua orang itu adalah orang-orang pandai yang agaknya memancing keributan, mereka lalu menghujani "kuda"
Itu dengan anak panah pula.
"Anak kecil itu pun mati...!"
Teriak orang-orang yang menonton yang tentu saja sudah dapat menduga bahwa kuda itu adalah kuda palsu, bukan kuda melainkan seorang manusia.
Tentu seorang anak-anak karena kaki tangannya begitu kecil dan pendek. Aneh pula, seperti halnya penunggangnya, kuda palsu itu pun sama sekali tidak mengelak dan tubuhnya pun penuh dengan anak panah! Akan tetapi, lebih aneh lagi, dia masih saja merangkak-rangkak, bahkan kini menuju ke lapangan dimana tersedia sasaran boneka besar untuk menguji kepandaian memanah! Barulah kini orang-orang melihat bahwa anak-anak panah yang disangka menancap didada orang gila itu sama sekali bukan menancap, melainkan dikempit diantara kedua kelek (ketiak) dan diantara jari-jari tangan, malah yang tadinya disangka menancap dimuka ternyata adalah anak-anak panah yang kena gigit oleh "orang gila"
Itu.
Entah bagaimana cara "kuda"
Itu menerima anak-anak panah yang kelihatannya masih menancap pada tubuhnya, karena tubuh itu masih tertutup baju yang dikerobongkan dikepala! Setelah tiba dilapangan memanah, tiba-tiba "kuda"
Itu lari congklang, bukan main cepatnya, agaknya tidak kalah cepatnya oleh larinya kuda! Tentu saja kenyataan itu membuat para penonton menjadi kaget, kagum, heran, dan gembira sehingga meledaklah sorak-sorai mereka, melebihi yang sudah-sudah, Raja Kulu-khan sampai bangkit dari kursinya, Puteri Mahkota Tayami bertukar pandang dengan Salinga, para panglima berbisik-bisik. Yang lucu adalah Kalisani. Panglima tua ini meloncat-loncat seperti anak kecil kegirangan dan mulutnya tiada hentinya berteriak.
"Hebat...! Mereka orang-orang sakti! Ah, mana bisa kepandaian kita dibandingkan dengan mereka?"
Hanya Bayisan yang mukanya menjadi pucat dan matanya menyinarkan kemarahan. Pada saat itu ia mendekati seorang pangeran yang juga merupakan putera Raja Kulu-khan dari selir, tapi lebih tua daripada Bayisan yang bernama Pangeran Kubakan. Pangeran ini pucat mukanya, lalu berbisik-bisik dengan Bayisan.
"Siapakah mereka...?"
Tanya Kubakan.
"Aku tidak tahu..."
Jawab Bayisan bingung.
"Jangan-jangan..."
Kubakan menoleh kearah ayahnya yang berdiri dan memandang kagum kearah lapangan, malah kini kedua tangan raja itu ikut pula bertepuk tangan memuji bersama semua penonton.
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ah, agaknya Sribaginda pun tidak mengenalnya. Akan tetapi siapa tahu? Malam ini kita harus turun tangan..."
Kembali Kubakan menoleh kearah ayahnya, lalu mengangguk-angguk. Sekali lagi dua orang pangeran ini bertukar pandang, kemudian mereka berpisah. Bayisan lari kearah lapangan untuk menyaksikan dua orang aneh itu dari dekat. Setelah lari cepat seputaran dengan cara berloncatan seperti kuda, kakek yang menggendong Kwee Seng itu tiba didepan sasaran, jaraknya sama dengan jarak para peserta tadi. Tiba-tiba Kwee Seng mengeluarkan seruan bentakan yang nyaring sekali sehingga beberapa orang penonton yang jaraknya terlalu dekat roboh terguling. Berbareng dengan seruan ini tubuhnya meloncat turun dari punggung "kuda"
Dan sekali tubuhnya itu terbang cepat kearah sasaran.
"Cap-cap-cap-cap!!!"
Cepat sekali anak-anak panah itu terbang susul-menyusul menancap pada sasaran, tak sebatangpun luput. Akan tetapi para penonton memandang bingung karena tidak tampak bekasnya. Setelah mata yang memandang tidak begitu kabur lagi oleh berkelebatnya anak-anak panah itu, tampaklah oleh mereka betapa semua anak panah yang dilepaskan oleh Kwee Seng itu telah menancap diatas gagang tiga belas buah pisau terbang panglima muda! Gegerlah semua penonton saking kagum dan herannya, akan tetapi diam-diam Bayisan menjadi pucat mukanya. Terang bahwa "orang gila"
Itu memusuhinya, buktinya anak-anak panah itu menancap digagang hui-to yang tadi ia lepaskan.
Tiba-tiba terdengar suara berkakakan dan "kuda"
Itu meloncat berdiri diatas dua kaki belakangnya dan tampaklah seorang kakek cebol yang wajahnya seperti wajah patung dewa di kelenteng, kedua tangannya sudah menggenggam banyak sekali anak panah sambil masih tertawa-tawa bergelak, kedua tangannya bergerak kedepan dan meluncurlah anak-anak panah itu beterbangan kearah sasaran. Anehnya, anak-anak panah itu terbangnya masih berkelompok dan setelah dekat dengan boneka lalu terpisah menjadi lima rombongan yang menyambar ke leher, kedua pundak dan kedua pangkal lengannya, dan kedua kakinya telah patah! Tanpa mempedulikan keributan semua orang disitu, Kwee Seng kini berdiri dengan kakek aneh. Kakek itu tertawa bergelak-gelak, Kwee Seng pringas-pringis menyeringai aneh, keduanya orang-orang aneh atau mungkin juga keduanya sudah miring otaknya!
"Hoa-ha-hah, jembel muda bau busuk, kau lumayan juga! Aku harus mencobamu!"
"Kakek cebol menjemukan! Siapa gentar menghadapi kesombonganmu?"
Kwee Seng menjawab, karena betapapun juga, ia mendongkol melihat kakek ini amat jumawa (tekebur). Biarpun Kwee Seng berdiri acuh tak acuh, sama sekali tidak memasang kuda-kuda seperti ahli silat, seperti juga kakek itu yang berdiri dengan kaki dibengkokkan lucu, namun diam-diam Kwee Seng siap dan waspada karena maklum bahwa seorang sakti seperti kakek ini, sekali menyerang tentulah amat hebat sekali. Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.
"Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!"
Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.
Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak! Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap diantara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya. Kalisani mendekatinya dan berkata,
"Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan gaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab,
"Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakukan perondaan didalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan. Ditepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul keatas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami,"
Terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair.
"Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali."
Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku...."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran.
"Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi."
"Ah, dia kan masih kakak tirimu sendiri. Cinta kasihnya terhadapmu tentu lebih condong kepada cinta kasih seorang kakak terhadap adiknya."
"Kau tidak tahu, Kanda Salinga. Sudahlah, aku teringat akan dua orang aneh tadi. Apakah maksud mereka datang mengacaukan perlombaan bangsa kita? Si Pengemis Muda itu terang seorang Han dari selatan, entah kalau Si Kakek Cebol. Betapapun juga, mereka berdua memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Siapa gerangan mereka?"
"Memang aneh-aneh watak orang sakti di dunia ini. Sudah banyak aku mendengar akan hal itu. Tak perlu kuatir, mereka itu kurasa bukanlah orang-orang jahat. Dinda Tayami, lihat, betapa indahnya air sungai, betapa tenang dan bening seperti kaca. Mari kita berperahu. Disana ada perahu kecil."
Tanpa menjawab Tayami menuruti permintaan kekasihnya. Mereka berdua meloncat turun dari kuda, menambatkan kendali kuda, menambatkan kendali kuda pada batang pohon, kemudian kembali bergandengan tangan dan bernisik-bisik mesra keduanya berjalan menuju ke pinggir sungai, memasuki perahu kecil, melepaskan ikatan perahu dan tak lama kemudian perahu itu meluncurlah ketengah. Salinga mendayung perahu, Tayami duduk bersandar kepadanya, merebahkan kepala pada dadanya yang bidang.
Kwee Seng berdiri dibelakang pohon, memandang dengan melongo, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Memang hebat pemandangan itu, muda-mudi berkecimpung dalam madu asmara, dibawah sinar bulan purnama didalam biduk kecil yang diombang-ambingkan alunan air sungai sehalus kaca, rambut halus juita terurai diatas dada, kata-kata bermadu dibisikkan, sayup-sayup sampai mendesir di telinga Kwee Seng bagaikan nyanyian sorgaloka. Tanpa disadarinya, dua titik air mata menetes turun membasahi pipi Kwee Seng. Pikirannya menjadi kabur, ingatannya melayang-layang jauh dimasa lampau, membayangkan wajah Liu Lu Sian, wajah Ang-siauw-hwa, membuat ia tersenyum-senyum dengan mata berkaca-kaca basah.
Kemudian terbayang wajah nenek di Neraka Bumi dan tiba-tiba Kwee Seng mengeluh, memaki diri sendiri dan menampari mukanya sambil tertawa setengah menangis. Gilanya kumat kalau ia teringat kepada nenek itu karena tiap kali teringat akan segala yang ia perbuat dengan nenek itu di dalam Neraka Bumi, dadanya seperti diaduk-aduk dengan pelbagai macam perasaan. Ada rasa malu, kecewa, menyesal, bercampur dengan rasa girang, rindu muncul silih berganti, maka tidak heran kalau ia menjadi seperti orang gila. Mendadak Kwee Seng sadar kembali. Telinganya yang amat tajam menangkap suara-suara yang tidak wajar, suara orang berbisik-bisik tak jauh dari sini. Cepat ia menyelinap, mendekat. Dibawah bayangan pohon yang amat gelap, ia melihat tiga orang laki-laki, orang-orang Khitan yang berpakaian hitam.
"Ah, mengapa justeru kita yang mendapat tugas berat ini...?"
Seorang diantara mereka mengeluh.
"Mereka tidak pandai berenang."
"Goblok! Apa kau hendak membantah perintahnya? Justeru mereka tidak pandai berenang, maka memudahkan tugas kita. Ingat, kita menggulingkan perahu, lalu menarik perahu agar hanyut sehingga besok orang-orang hanya akan tahu bahwa mereka berdua yang sedang main-main diperahu tertimpa malapetaka, perahu terguling dan mereka mati tenggelam.."
"Ahhh...!"
Kembali yang seorang mengeluh, yaitu orang yang tubuhnya tinggi kurus, tidak seperti yang dua orang temannya, yang bertubuh kokoh kekar.
"Sudahlah, tak usah banyak ribut, mari kita mulai!"
Pedang Penakluk Iblis Eps 30 Tangan Geledek Eps 14 Tangan Geledek Eps 25