Pedang Penakluk Iblis 30
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
Soan Li menyatakan dalam keadaan lupa ingatan itu bahwa dia menjadi korban keganasan Wan Sin Hong, akan tetapi ketika ia melihat Wan Sin Hong dalam keadaan yang sudah agak baik, dia menganggap Wan Sin Hong itu seorang "kekasihnya" bernama Gong Lam! Sedangkan Wan Sin Hong sendiri bersumpah tidak pernah mengganggu Soan Li.
Bukankah hal itu amat aneh membingungkan? Rahasia besar ini mereka pegang teguh, akan tetapi siapa kira, di tengah-tengah orang banyak yang datang dari segala jurusan ini, Kong Ji membuka begitu saja rahasia itu yang mendatangkan cemar pada nama Hwa I Enghiong! Selagi Ciang Le dan Bi Lan ragu dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. tiba-tiba terdengar suara orang berseru.
"Liok Kong Ji manusia sombong! Siapa bilang Nona Gak Soan Li murid Hwa I Enghiong tidak punya suami dan melahirkan anak yang tak berayah? Akulah suaminya dan akulah ayah anak itu!"
Kaget semua orang dan cepat-cepat mereka menengok ke arah orang yang bicara itu. Orang ini baru muncul dari tengah-tengah rombongan para pengikut Liok Kong Ji sendiri, muncul bersama dua orang lain, yang seorang adalah gadis cantik dan gagah, yang ke dua adalah seorang pemuda tampan.
"Hui Lian...!" Bi Lan berseru keras ketika melihat gadis itu.
"Hong Kin..."" Seru Cam-kauw Sin-kai girang dan terheran-heran melihat pemuda baju hijau yang mengaku menjadi suami Gak Soan Li tadi.
"Wan Sin Hong...!" seruan terakhir ini keluar dari banyak mulut ketika melihat pemuda ke tiga yang datang bersama Hui Lian di belakang Coa Hong Kin.
Seruan nama terakhir ini disambut oleh berkelebatnya banyak orang, yakni pertama-tama Siok Li Hwa dengan empat puluh orang pengikutnya, Liok Kong Ji, Giok Seng Cu, Tai Wi Siansu, Leng Hoat Taisu, Bu Kek Siansu, dan banyak sekali tokoh-tokoh partai besar lain! Akan tetapi yang terdahulu adalah Siok Li Hwa disusul di belakangnya oleh Liok Kong Ji, lalu tokoh-tokoh besar yang lain.
"Wan Sin Hong manusia jahanam mampuslah teriakan-teriakan ini terdengar simpang siur dan beberapa buah senjata rahasia menyambar. Siok Li Hwa mengeluarkan Cheng-sin-ciam (Jarum Sakti Hijau), Liok Kong Ji menyambitkan Hek lok-ciam (Jarum Racun Hitam) semua senjata rahasia ini menyambar ke arah Wan Sin Hong yang berdiri tertegun dan kesima melihat begitu banyak orang menyerangnya.
Kemudian melihat berkelebatnya sinar hijau dari Cheng-sin-ciam dan sinar hitam dan Hek-tok ciam ditambah susulan lain senjata rahasia, Wan Sin Hong terkejut sekali, mencabut pedang dan memutar pedang menangkis. Senjata-senjata rahasia itu runtuh akan tetap tidak semua. Beberapa buah Hek tok-ciam dan Cheng-sin-ciam menyambar dan mengenai tubuh pemuda itu yang mengeluarkan pekik kesakitan, pedangnya terlepas lalu ia terhuyung-huyung hendak roboh.
Melihat betapa Wan Sin Hong roboh oleh jarum-jarum terbang itu, Siok Li Hwa mengeluarkan suara ejekan dan Liok Kong Ji mengeluarkan seruan heran. Keduanya mengejar dengan pedang di tangan, siap membacok tubuh Wan Sin Hong yang sudah roboh di atas tanah Itu. Tiba tiba dari rombongan para pengikut Kong Ji yang ribuan banyaknya itu, dan mana tiga orang muda tadi muncul, berkelebat bayangan orang yang luar biasa cepatnya.
Sekali tangannya menyambar, di lain saat tubuh Wan Sin Hong sudah dikempit oleh lengan kanannya. Pada saat itu, Li Hwa dan Kong Ji menyerang dengan pedang mereka. Li Hwa dengan pedang hijaunya sedangkan Kong Ji dengan pedang emasnya. Dua barang pedang pusaka menyambar cepat ke arah Wan Sin Hong yang sudah dipondong. Orang itu mengeluarkan seruan aneh, tangan kirinya yang masih bebas itu digerakkan dengan jari-jari tangan terbuka ke arah dua batang pedang yang menyambar sambil melompat ke kanan.
Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji berteriak kaget dan mereka terhuyung ke belakang. Ternyata bahwa pedang mereka tadi kena ditolak oleh hawa pukulan yang luar biasa kuatnya sehingga kalau saja mereka sendiri tidak memiliki tenaga lweekang tinggi, pasti pedang itu terlepas dari pegangan. Tidak urung mereka masih terhuyung-huyung ke belakang, dan ketika mereka memandang, ternyata orang itu telah lenyap di antara orang banyak sambil membawa pergi tubuh Wan Sin Hong yang terluka oleh senjata-senjata rahasia!
Semua orang terheran-heran. Orang yang dapat menangkis serangan Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sekaligus hanya dengan tolakan tenaga lweekang, dapat dibayangkan betapa hebat dan tinggi kepandaiannya! Orang itu masih muda, pakaiannya sederhana saja, akan tetapi mempunyai muka yang aneh sekali, karena mukanya seluruhnya dan leher sampai ke telinga berwarna merah yang bukan sewajarnya.
Banyak orang yang bermuka merah akan tetapi orang itu mukanya seperti dilumuri darah saja saking merahnya. Tak seorang pun di antara tokoh-tokoh di sini mengenalnya apa lagi orang itu hanya sebentar saja sehingga tidak sempat ditanya namanya dan asal-usulnya. Sementara itu Hui Lian berlari-lari dan memeluk ibunya, sedangkan Coa Hong Kin berlari dan berlutut di depan suhunya, Cam-kauw Sin-kai. Dua orang ini tadinya terkejut melihat Sin Hong roboh oleh senjata rahasia tanpa mereka sempat menolong.
Bagaimana Hui Lian dan Hong Kin dapat muncul di saat itu? Dan yang lebih aneh lagi. bagaimana Wan Sin Hong dapat pula muncul bersama mereka? Kita mengetahui bahwa Hui Lian dan Hong in telah tertawan oleh Liok Kong Ji dan ikut dalam rombongan sebagai orang-orang tawanan yang tidak berdaya. Ada-pun Wan Sin Hong, telah lama pemuda ini tertutup dalam dasar jurang puncak Luliang-san tak dapat keluar lagi karena jalan keluar satu-satunya telah ditutup mati oleh Liok Kong Ji! Untuk mengetahui hal ini dengan jelas, mari kita mundur dan mengikuti pengalaman Wan Sin Hong yang terkurung dan terpendam di dalam dasar jurang.
Sin Hong mengamuk ketika melihat Ba Mau Hoatsu dan Giok Seng Cu. Dengan ilmu kepandaiannya yang tinggi lweekangnya yang sudah mencapai tingkat tak terukur lagi tingginya, ia telah menewaskan Ba Mau Hoatsu, pembunuh ayah-bundanya. Sin Hong sudah banyak mendapat petuah- petuah berharga dari ayah angkatnya, Lie Bu Tek, juga. mendapat banyak sekali nasihat-nasihat dari gurunya yang pertama, Liang Gi Tojin. Oleh karena itu, andaikata ia mendapatkan Ba Mau Hoatsu pembunuh ayah bundanya itu sebagai seorang yang sudah melakukan perbuatan- perbuatan baik, sebagai seorang baik-baik yang sudah merubah hidupnya yang sesat kiranya ia tidak akan membunuhnya.
Akan tetapi melihat betapa Ba Mau Hoatsu makin jahat saja, ia lalu menewaskan pendeta Tibet itu, bukan semata- mata untuk membalas dendam ayah bundanya, juga untuk melenyapkan seorang manusia berbahaya bagi keselamatan umum dari muka bumi. Juga Giok Seng Cu telah ia robohkan dan terluka ketika dua orang pendeta ini menyusul Kong Ji dan Nalumei ke dalam terowongan rahasia.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan marah Sin Hong mengejar Kong ji, Nalumei, dan Giok Seng Cu yang melarikan diri melalui terowongan, akan tetapi terpaksa Sin Hong menghentikan usahanya ini dan kembali ke dalam dasar jurang karena musuh musuhnya telah menghujani batu-baru dari terowongan, membuat ia tak mungkin melakukan pengejaran lebih lanjut. Ta tahu akan kelicikan Kong Ji dan tahu pula akan kelihaian pemuda iblis itu, maka lebih baik ia mengalah dan mundur untuk perlahan lahan mencari akal keluar dari tempat itu.
Setelah tidak terdengar suara tiga orang itu lagi, Sin Hong lalu berjalan melalui terowongan untuk keluar. Akan tetapi, seperti yang ia telah diduga dan dikhawatirkah, pintu keluar yang dahulu menjadi kamar Pak Kek Siansu di puncak Luliang-san, telah tertutup dan di timbuni batu-batu karang yang besar dan berat.
Sin Hong mencoba untuk mendorong batu-batu karang itu, akan tetapi sia-sia. Kong Ji tidak berlaku kepalang tanggung. Timbunan batu karang itu banyak sekali sehingga menutup seluruh goa dan berat tekanan gunung batu kara itu puluhan ribu kati. Mana tenaga manusia dapat mendorongnya atau membongkarnya? Sin Hong akhirnva maklum bahwa tak mungkin ia dapat keluar melalu jalan ini, maka ia lalu kembali ke dasar jurang.
Sampai beberapa hari Wan Sin Hong tidak dapat mencari akal untuk keluar dari tempat itu. Untuk melalui jalan seperti ketika ia pernah turun ke dalam jurang, tidak mungkin. Jalan itu dapat ditempuh dari atas ke bawah dengan bantuan akar-akar yang dilepas dari atas, akan tetapi dari bawah ke atas benar-benar tak mungkin. Kalau hal itu dikerjakan berarti hanya akan membuang nyawa secara sia-sia belaka. Akhirnya Sin Hong mengambil keputusan untuk mengambil jalan yang semenjak dahulu sudah sering kali ia pikirkan.
Dahulu, ketika ia berada seorang diri di tempat itu, terkurung hidup-hidup dan mempelajari ilmu silat dari kitab peninggalan Pak Kek Siansu, seringkali ia sebagai anak-anak ingin sekali keluar dari tempat kurungan itu, akan tetapi sebelum ia mencapai tingkat tinggi dengan kepandaian silatnya, keinginan itu hanya diakhiri dengan tangisan belaka.
Seringkali ia menjelajah tempat itu dan di bagian kiri di mana terdapat jurang yang amat mengerikan dalamnya, karena sebetulnya itu bukan jurang, melainkan lereng bukit yang diliputi oleh awan. Kalau melihat tempat ini, ingin sekali Sin Hong menuruni lereng itu dan memeriksa keadaan di sebelah sana.
Akan tetapi tempat itu demikian sukar dilewati, selain gelap tertutup halimun, juga lereng itu menurun amat terjalnya dan tanahnya terdiri dari batu karang yang tajam runcing, dan selalu basah oleh halimun sehingga berlumut dan licinnya tak perlu dtbicarakan lagi. Oleh karena itu, biarpun dahulu ia telah memperoleh kepandaian tinggi sebelum mengambil keputusan menuruni jalan ini, ia berusaha lebih dulu mencari jalan lain sehingga akhirnya menemukan terowongan yang membawanya ke gua tempat istirahat atau bertapa mendiang Pak Kek Siansu.
Kalau jalan itu tidak terdapat olehnya, tentu ia akan mengambil jalan menuruni lereng yang terjal ini, yang baginya merupakan jalan terakhir. Memang, mengambil jalan ini berarti mempertaruhkan nyawa untuk mendapat jalan keluar dari tempat kurungan itu.
Sekarang karena terowongan sudah tertutup dan untuk naik ke puncak melalui jurang tak mungkin dilakukan, terpaksa ia harus mempertaruhkan nyawa, mengmbil jalan itu. Kalau saja di dunia ramai tidak banyak yang harus dikerjakan, kiranya Sin Hong akan lebih suka tinggal di tempat itu, bertapa dan menyucikan batin sampai tiba saatnya ia menyusul gurunya, Pak Kek Siansu. Akan tetapi hal itu tak dapat dilakukan sekarang.
Masih terlalu banyak urusan yang harus diselesaikan di dunia ramai. Di sana ada urusan pengrusakan namanya, ada urusan Gak Soan Li yang membuat ia dihajar oleh Go Ciang Le, hal yang membuat ia merasa kasihan kepada Soan Li dan juga penasaran dan perih hati dan di sana masih banyak orang-orang jahat -yang harus ia hadapi.
Demikianlah, setelah membawa banyak buah-buahan yang dahulu menjadi makanan utamanya setiap hari untuk bekal di perjalanan, Sin Hong memulai perjalananiya yang amat sukar dan berbahaya. Beberapa hari yang lalu, pemuda ini mengubur jenazah Ba Mau Hoatsu. Biarpun kakek jahat ini musuh besarnya dan tewas di dalam tangannya, akan tetapi setelah melihat mayat itu menggeletak tak terurus, ia menjadi tidak tega juga dan digalinya sebuah kuburan untuk mayat bekas musuh besarnya.
Ia mendapatkan kesukaran dalam menggali tanah berbatu tanpa alat, kemudian ia melihat sepasang senjata Ba Mau Hoatsu, yakni sepasang roda yang entah sudah mengambil nyawa berapa ratus orang! Dengan senjata ini Sin Hong menggali dan mendapat kenyataan bahwa roda itu terbuat daripada baja yang luar biasa kerasnya. Maka sekarang, ketika menuruni lereng terjal itu, ia pun membawa sepasang roda itu untuk dipergunakan sebagai pembantu menuruni lereng.
Dengan roda ini ia dapat mengalungi setiap batu karang bawah kakinya dan dengan bantuan roda ia mengayun tubuh ke bawah, bergantung kepada roda yang dikalungkan pada batu karang kemudian menggantungkan roda ke dua pada batu karang di bawah kakinya. Demikianlah dengan amat perlahan dan hati-hati, Sin Hong mulai perjalanannya yang penuh bahaya.
Sekali saja ia terpeleset dan terlepas " ke bawah, batu karang-batu karang yang tajam seperti golok dan runcing seperti pedang akan menyambut tubuhnya! Yang membikin perjalanan amat berbahaya adalah halimun atau embun gunung yang menyelimuti sepanjang lereng sehingga tidak saja di situ amat gelap, akan tetapi yang paling berbahaya adalah hawa dingin yang menggerogoti kulit dan meresap ke dalam tulang.
Makin jauh Sin Hong menuruni lereng itu, makin tebal embun yang menyelimutinya dan hawa dingin menyerang hebat sehingga ia sampai menggigil. Terpaksa Sin Hong menunda perjalanannya, kedua kakinya menginjak ujung batu karang dan kedua tangannya memegang roda yang tergantung pada batu karang di atasnya. Di sini ia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi hangat sekali seakan-akan ia bukan sedang berdiri di dalam selimutan embun, melainkan diselimuti oleh cahaya terik matahari! Memang lweekang dari pemuda ini sudah hebat sekali. Tak lama kemudian, dari atas kepalanya menguap asap putih dan tubuhnya mulai berpeluh.
Setelah mengusir hawa dingin yang membuat tulang-tulangnya kaku, ia lalu melanjutkan perjalanannya. Perjalanan ini membutuhkan tenaga lweekang untuk menjaga agar ia jangan sampai jatuh, maka tadi ketika mengerahkan tenaga memanaskan tubuh, terpaksa ia berhenti.
Akhirnya, setelah mengalami serangan embun berkali-kali dan ia sudah berhenti sampai lima kali untuk mengusir dingin, kemudian ia telah keluar dari daerah embun dan berada di tempat yang terang. Pemandangan dari situ amat indah, juga menakutkan sekali. Kalau tadi ia melihat ke bawah, ia hanya melihat halimun yang gelap putih demikian pula melihat ke atas. Akan tetapi sekarang kalau ia menundukkan kepalanya, ia melihat alam yang amat luas di bawah kakinya. Lereng gunung itu masih amat curam, akan tetapi jauh di bawah sudah melihat tanah datar, kurang lebih seratus kaki di bawahnya. Di depannya nampak pohon-pohon yang kelihatan dan situ amat pendek dan kecil, akan tetapi indah sekali.
Kalau ia memandang ke atas, nampak warna-warni indah dari pelangi karena sinar matahari mencoba menembus embun dan mendatangkan warna yang inilah menakjubkan. Sin Hong kini terus menurun dengan lebih cepat dari tadi. Sekarang ia tidak menghadapi serangan embun, juga dapat melihat dengan jelas sehingga kedua kakinya mudah saja mencari tempat berpijak, tidak seperti tadi meraba-raba untuk mendapat keyakinan bahwa batu karang berikutnya yang hendak digantungi roda benar-benar cukup kuat.
Tanpa terasa olehnya, Sin Hong telah melakukan perjalanan yang amat berbahaya ini selama setengah hari! Akhirnya ia dapat menginjakkan kedua kakinya di atas tanah datar dan ketika ia mendongak ke atas, terlihatlah olehnya bahwa yang dituruninya tadi adalah dinding gunung yang tinggi menjulang ke atas dan puncaknya lenyap ke dalam awan.
Akan tetap, daerah yang didatangi ini aneh dan asing baginya. Di depannya terdapat gunung-gunung kecil di ujung sekali menjulang tinggi sebuah gunung yang seakan- akan hendak menyaingi Luliang-san yang besar. Sin Hong tidak tahu bahwa itulah puncak gunung Teng-san, yang masih termasuk daerah pegunungan Luliang-san juga. Karena hendak segera menjumpai manusia agar ia tahu di mana ia berada dan dapat menanyakan jalan yang harus ditujunya. Sin Hong tidak membuang waktu lagi dan cepat melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi semua jurusan nampak liar dan tak pernah didatangi manusia. Jalan satu-satunya yang kelihatan hidup hanyalah lorong menuju ke puncak gunung di ujung itu. Maka ia terus berlari cepat dan akhirnya menjelang senja tibalah ia di lereng Teng-san.
Ketika ia sedang berlari cepat mencari-cari dengan pandang matanya kalau-kalau di dekat situ terdapat perkampungan, tiba-tiba ia melihat tubuh dua orang manusia menggeletak dt pinggir jalan! Sin Hong cepat lari menghampiri dan ketika ia memandang, ternyata bahwa yang menggeletak itu adalah dua orang pendeta yang sudah tak bernyawa lagi! Dua orang tosu itu terang telah terbunuh orang karena pada tubuh mereka terdapat bekas-bekas bacokan senjata tajam. Juga, melihat tanda-tanda darah di situ, ternyata bahwa pembunuhan ini terjadinya belum lama, belum lewat semalam. Melihat ini, Sin Hong mengerutkan alisnya. Bagaimana di tempat sesunyi ini terdapat manusia yang dibunuh? Siapakah mereka ini dan siapa pula pembunuhnya?
Melihat dua orang tosu yang terbunuh, Sin Hong tidak ragu-ragu lagi bahwa di puncak gunung itu tentu terdapat pertapaan. Maka ia lalu mendaki gunung dengan cepatnya. Tepat seperti yang ia duga, di puncak gunung terdapat sebuah kuil yang cukup besar, sebuah kuil kuno yang biarpun tembok-temboknya sudah kelihatan tua dan buruk, namun masih tetap kokoh kuat saking tebalnya, tanda bahwa bangunan kuil itu adalah bangunan kuno yang lebih mementingkan kekuatan dari pada keindahan.
Seorang totong (kacung pertapa) menyambutnya dan membawanya ke dalam ruangan tamu. Ruangan tamu ini lebar dan di situ terdapat jendelanya yang besar. Sambil menanti datangnva ketua kuil, Sin Hong melihat-lihat keluar jendela yang terbuka. Pemandangan di luar jendela amat indah, dengan gunung-gunung tinggi dihias pohon-pohon rindang.
Ia mendengar tindakan kaki perlahan, cepat ia memutar tubuh dan memandang. Alangkah heran dan kagetnya ketika melihat seorang tosu ini bersama dengan ketua-ketua partai besar yang lain hendak menangkapnya. Tosu tua itu bukan lain adalah Pang Soan To-jin, ketua dari Teng-san- pai!
Di lain pihak, Pang Soan To-jin juga terkejut karena tosu ini juga mengenal Wan Sin Hong.
"Hemm, kau...?" katanya dan di lain saat ketua Teng-san-pai sudah mengeluarkan senjatanya, yakni pian baja dan bersiap menyerang. Sin Hong menarik napas panjang dan tersenyum pahit, lalu berkata sambil memandang ke atas, ke arah langit-langit ruangan itu.
"Ayaa... agaknya yang jutsi (menjelma) menjadi aku sekarang ini, dahulunya adalah seorang penjahat besar yang tak pernah tertangkap, maka sekaranglah aku harus menebus dosa-dosa dahulu."
Tosu itu nampak tercengang.
"Apa maksudmu?"
"Totiang, sesungguhnya selama hidup aku belum pernah bertemu dengan To-tiang juga dengan para locianpwe lain yang selalu mengejar-ngejarku, belum pernah aku bertemu. Akan tetapi mengapa setiap kali bertemu, Totiang mengarnbil sikap bermusuh?"
"Karena kau seorang penjahat keji! Sudah menjadi kewajiban kami sebagai penegak keadilan dan pelindung rakyat tertindas, kami harus membasmi orang- orang jahat seperti kau ini." kata pula Pang Soan Tojin.
"Itulah yang kumaksudkan. Agaknya dahulu aku seorang penjahat besar yang belum menebus dosa, maka sekaranglah hukumannya. Sekarang ini, sebaliknya dari dahulu, aku yang tidak pernah melakukan kejahatan apa- apa di sana-sini dianggap orang jahat dan dimusuhi oleh orang-orang di dunia kang-ouw. Memang sudah nasibku..". Suara Sin Hong terdengar begitu sungguh-sungguh sehingga ketua Teng-san-pai menjadi makin tertarik.
"Orang muda, memang sikapmu bukan seperti penjahat, akan tetapi banyak orang-orang jahat sikapnya kelihatan seperti orang baik-baik. Tentang kejahatanmu, siapakah yang tidak tahu? Sudah terlalu banyak saksi dan bukti-buktinya."
"Masa bodoh dan terserah kepada orang sajalah," Sin Hong menjadi mendongkol sekali.
"Akan tetapi setidaknya, kedatanganku ini bukan untuk bersoal jawab tentang itu. Totiang menganggap aku seorang penjahat keji, terserah hanya Thian yang mengetahui!"
"Wan Sin Hong, kata-katamu membikin pinto bingung dan ragu-ragu. Apa sih maksudmu datang di tempat pertapaan pinto ini?"
"Kedatanganku di bukit ini tidak sengaja, Totiang. Juga secara kebetulan sekali aku di lereng gunung ini dan melihat dua orang tosu yang sudah menjadi mayat di lereng...."
"Apa... Di mana...?" Pang Soan Tojin terkejut sekali.
"Mari ikut bersamaku. Totiang, kuperlihatkan tempatnva," kata Sin Hong dan di lain saat dua orang itu telah berlari-lari turun gunung dengan cepatnya.
Pang Soan Tojin sengaja mengerahkan ilmu lari cepatnya, akan tetap alangkah heran dan kagumnya ketika melihat pemuda itu tanpa banyak kesukaran dapat selalu mengimbangi kecepatan larinya! Akhirnya mereka tiba di tempat di mana Sin Hong melihat dua mayat tosu tadi.
"Ah, benar-benar mereka telah terbunuh..." Pang Soan Tojin berkata perlahan lalu cepat memeriksa isi saku baju mereka. Wajahnya berubah dan ia berkata seperti kepada diri-sendiri "Surat kuasa diambil orang... apa maksudnya...?"
"Totiang, bolehkah aku mengetahui, surat-surat apakah yang diambil orang?" Pang Soan Tojin yang tadinya memeriksa mayat dua orang anak muridnya yang terbunuh di lereng Teng-san, kini berdiri dan memandang kepada Sin Hong, bimbang dan ragu mendengar pertanyaan pemuda itu.
"Apa huhungannya hal ini semua dengan engkau? Biarpun pinto belum pernah menyaksikan sendiri tentang kejahatanmu, akan tetapi semua ciangbunjin sudah menyatakan bahwa kau seorang penjahat keji. Sekarang kau datang-datang pada saat terjadi pembunuhan atas dua orang murid pinto, hemm... pinto harus selidiki betul-betul siapa pembunuh mereka ini dan mengapa dua orang muridku dibunuh." Sin Hong mengangkat kedua lengannya ke atas dan menggerakkan pundaknya tanda putus asa.
"Ampun, Totiang...! Apakah kau juga menuduh aku melakukan pembunuhan terhadap mereka ini? Aduh, alangkah buruk nasibku. Aku yang mendapatkan mereka dan sengaja naik untuk melaporkan, bahkan dituduh. Eh, Totiang yang baik, kalau memang aku yang membunuh mereka dan telah merampas barang-barat mereka, untuk apa aku harus memberi tahu kepadamu dan masih bertanya-tanya lagi barang apa yang dirampas dari tubuh mereka? Hanya seorang gila yang akan berbuat seperti itu dan kiranya Totiang tidak akan menyangka aku pula. Betapapun jahat aku, kiranya belum miring otakku""
Pang Soan Tojin menganggap alasan ini memang kuat. Kalau pemuda ini yang membunuh dua orang anak muridnya, mengapa pemuda ini bersikap seperti itu. Dan pula, makin lama ia bercakap-cakap dengan pemuda ini dan memandang wajahnya, makin tipis keyakinannya bahwa pemuda ini seorang penjahat. Sebagai seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, ia sudah ribuan kali melihat wajah penjahat dan selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan "penjahat keji" yang bersikap dan berbicara seperti pemuda ini! Akan tetapi untuk percaya begitu saja, ia pun masih ragu-ragu.
"Orang muda, kalau betul-betul bukan kau yang membunuh mereka, apa maksudmu bertanya tentang surat yang dirampas orang dari tubuh mereka ini?"
"Totiang maklum bahwa di mana-mana aku dituduh penjahat, dan aku sedang berdaya upaya nienangkap pemalsu namaku. Kalau Totiang memberi tahu kepadaku, kiranya aku akan dapat mencari jejak pembunuhnya. Percayalah, Totiang. Wan Sin Hong akan mencekik batang leher penjahat yang membunuh dua orang tosu ini."
"Surat itu adalah surat kuasa. Sebetulnya pinto sendiri harus datang ke Ngo-heng san untuk melakukan pemilihan bengcu baru, akan tetapi pinto sedang kurang sehat dan karenanya pinto menyuruh dua orang anak murid pinto ini dengan membawa surat kuasa. Sekarang mereka terbunuh dan surat kuasa dirampas orang, sungguh tak tahu apa artinya itu?" Otak Sin Hong memang luar biasa cerdasnya. Mendengar ini, sebentar saja ia sudah dapat menerka apa yang kiranya mungkin dilakukan orang dengan perampasan surat kuasa.
"Terima kasih, Totiang, aku akan menyusul ke Ngo-heng san dan menangkap pembunuhnya!" Setelah berkata demikian sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari depan Pang Soan Tojin, membuat Ketua Teng-san-pai itu menjadi bengong, menghela napas dan mengurut urut Jenggotnya yang pendek.
"Hayaaa... luar biasa sekali pemuda itu. Kalau dia memang jahat dan bermaksud membunuhku, bagaimana dapat melayaninya? Ilmunya benar-benar tinggi... sungguh banyak terjadi hal-hal aneh di dunia ini, banyak rahasia yang membingungkan..." Tosu itu lalu kembali ke kuil dan menyuruh anak-anak murid yang lain untuk mengurus jenazah kedua orang anak muridnya yang tewas itu.
Adapun Sin Hong dengan kecepatan luar biasa lalu berlari menuju Ngo-heng-san. Ia teringat akan pemilihan bengcu di puncak Ngo-heng-san. Teringat pula betapa Cam-kauw Sin-kai pernah menyatakan hendak memilihnya sebagai calon bengcu. Teringat akan ini, terbayang pula segala kejadian di Pulau Kim-ke-tho, tentang Gak Soan Li yang bernasib malang sekali, tentang Hwa I Enghiong yang telah menghajarnya, tentang ayah angkatnya, Lie Bu Tek dan Hui Lian puteri Hwa I Enghiong yang juga membencinya dan menganggapnya penjahat. Semua kenangan ini membuat Sin Hong menjadi berduka sekali akan tetapi membuat makin marah dan gemas terhadap penjahat yang merusak namanya. Ia memperepat larinya sehingga seolah- olah terbang di atas ujung rumput hijau.
Demikianlah secara singkat kita telah mengikuti pengalaman Sin Hong sejak terkurung di jurang sampai ia dapat mencari jalan keluar kemudian pergi ke Ngo-heng-san. Sekarang marilah kita menengok pengalaman Hui Lian dan Coa Hong Kin yang muncul bersama Sin Hong di Puncak Ngo-heng-san itu.
Telah kita ketahui bahwa dalam perjalanan mereka bersama dari kota raja menuju ke Ngo-heng-san untuk memenuhi permintaan Pangeran Wanyen Ci Lun, Hui Lian dan Hong Kin dihadang oleh Liok Kong Ji dan kawan- kawannya bahkan kemudian setelah bertempur seru lalu roboh dan tertawan oleh Kong Ji yang lihai.
Baiknya Kong Ji masih membutuhkan dua orang muda ini, kalau tidak tentu nasib mereka tidak akan demikian baik. Kong Ji membutuhkan Hui Lian untuk dipergunakan sebagai pemaksa Ciang Le apabila ternyata menghalangi kehendaknya menjadi Bengcu dan di samping memang ia sayang kepada bekas sumoinya yang cantik ini. Dan dia membutuhkan Hong Kin karena ia bercita-cita untuk masuk ke dalam lingkungan istana mencari kedudukan, maka tidak baiklah kalau ia menanam permusuhan denga Pangeran Wanyen Ci Lun yang amat berpengaruh di dalam kota raja, sedangkan Hong Kin adalah orang kepercayaan dan kesayangan Pangeran Wanyen Ci Lun. Oleh karena ini maka Hui Lian dan Hong Kin selamat dan diperlakukan baik sungguhpun mereka selalu dikurung di tengah-tengah dan kedua tangan mereka dibelenggu.
Ketika pasukan yang membawa mereka sudah tiba di puncak Ngo-heng san, Hui Lian dan Hong Kin diturunkan dari kuda dan selanjutnya dua orang muda ini dipaksa berjalan kaki di tengah-tengah pasukan yang juga berjalan kaki. Pasukan ini adalah pasukan dari Partai Kwan-cin-pai, yang terdiri dari anggauta-angauta yang pakaiannya campur aduk tidak seragam. Memang Kwan-cin-pai berbeda dengan partai partai lain dan tidak pernah mengenakan pakaian seragam.
Agaknya ini memang sifat sembarangan dan jorok dari ketuanya, yakin Mo-kiam Siangkoan Bu sehingga pasukannya juga tidak teratur. Akan tetapi, sungguhpun demikian pasukan ini terdiri dari orang-orang yang pandai ilmu silat dan pula amat setia kepada ketua dan perkumpulan. Justru karena pakaian para anggauta pasukan ini tidak seragam, maka Kong Ji menyuruh pasukan ini yang menjaga Hui Lian dan Hong Kin sehingga dari luar barisan tidak akan kentara bahwa di tengah-tengah barisan terdapat dua orang tawanan. Dilihat sepintas lalu saja, tentu orang akan mengira bahwa dua orang itu pun termasuk anggauta pasukan.
Mereka berdua diperlakukan baik dan tidak diganggu, bahkan tidak dipisahkan melainkan diperbolehkun berjalan berdampingan di dalam barisan. Dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang. Hui Lian berjalan di dekat Hong Kin.
"Apa maksud anjing Liok itu membawa kita naik ke Ngo- heng-san?" tanya Hui Lian perlahan. Hong Kin juga tidak mengerti.
"Kalau dia masih takut mengganggumu, masih tidak aneh. Akan tetapi mengapa aku masih dibiarkan hidup? Ini benar benar aneh."
"Kita harus berusaha membebaskan diri. Liok Kong Ji itu jahat dan berbahaya sekali. Dia membawa kita pasti ada maksudnya yang keji." Diam-diam ia mengerahkan tenaga untuk melepaskan belenggunya, akan tetapi sia-sia belaka. Pengikat pergelangan tangannya terbuat daripada sutera ulat hijau yang amat kuat dan ulet. Juga Hong Kin beberapakali mengerahkan tenaga, namun sia-sia. Mereka menjadi penasaran sekali dan diam-diam mencari jalan.
"Bagiku sendiri, aku tidak khawatir biarpun menghadapi bahaya maut, Nona. Akan tetapi kau... ah, hatiku perih kalau mengingat akan nasibmu."
Wajah Hui Lian menjadi merah dan ia mengerling ke arah pemuda itu dengan lirikan tajam.
"Mengapa kau mengucapkan kata-kata seperti itu, Saudara Coa? Kita adalah kawan seperjalanan, kawan yang memikul tugas yang sama. Sudah seharusnya senasib sependeritaan. Kalau aku dapat bebas, kau tentu akan bebas pula. Demikian sebaliknya, kita akan menghadapi bahaya maut bersama."
"Tidak, Go-lihiap. Malapetaka boleh menimpa padaku, seorang yang malang dan tak seorang pun akan kehilangan kalau aku terkena malapetaka. Akan tetapi kau... ah, aku akan mempergunakan kesempatan dan kemungkinan untuk membantumu terbebas daripada tangan iblis Liok Kong Ji itu."
Hui Lian merasa terharu dan memberikan hadiah senyuman manis.
"Saudara Coa kau benar-benar seorang yang berhati mulia. Berkali kali telah mengeluarkan tenaga dan berkorban untuk menolongku. Kebaikanmu sudah cukup banyak dan aku orang she Go amat berterima kali kepadamu. Akan tetapi jangan kaukira aku hendak selamat sendiri saja, hendak enak sendiri saja. Percayalah, sekali aku dapat bebas, kau tentu akan bebas pula. Aku bukan seorang pengecut yang suka meninggalkan kawan senasib begitu saja. Kita berangkat bersama dan memikul tugas bersama, tak mungkin aku dapat meninggalkan engkau hanya untuk mencari keselamatan sendiri."
Mendengar ucapan ini, wajah Coa Hong Kin menjadi berseri dan agaknya kata-kata itu amat menyenangkan hatinya. Kebaikan hati gadis ini terhadapnya sedikit menjadi hiburan bahwa ia mencinta seorang gadis yang patut dicinta dan setidaknya, cinta kasihnya sudah terbalas oleh sikap manis dari gadis itu.
Kemudian rombongan itu tiba di lapangan di mana para tokoh kang-ouw sudah berkumpul. Dari tempatnya, Hui Lian dapat melihat tokoh-tokoh besar yang dikenalnya baik-baik, bahkan ia melihat pula ayah bundanya. Bukan main girang hatinya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa angin menyambar lehernya dari belakang. Sebelum gadis im sempat mengelak, ia merasa leher belakangnya sakit dan ternyata jalan darah Tiong-cu-hiat dan selanjutnya jalan darah bagian urat gagu telah kena ditotok.
Ternyata bahwa yang menotoknya adalah Giok Seng Cu. Tosu yang cerdik ini tahu bahwa kalau melihat ayahbundanya mungkin sekali gadis ini berteriak, maka untuk menjaga agar jangan sampai terjadi hal ini, ia telah menotok jalan darah yang membuat gadis itu lemas dan gagu. Juga Hong Kin mengalami nasib yang sama, maka biarpun dua orang muda ini dapat mendengar dan melihat segala sesuatu yang terjadi di lapangan itu, mereka sama sekali tidak berdaya!
Keributan di antara para tokoh besar yang makin memuncak apalagi ketika Liok Kong Ji maju menyerang kanan kiri dengan kata-katanya yang tajam, menimbulkan ketegangan besar sehingga para anggauta pasukan tak seorang pun tidak menonton. Oleh karena ini perhatian kepada Hui Lian dan Hong Kin berkurang bahkan dua orang ini tidak diperhatikan lagi. Apa gunanya? Dua orang muda itu sudah terbelenggu dan tertotok, tak mungkin dapat melarikan diri dari tempat itu dan tak mungkin dapat menimbulkan kesulitan bagi mereka.
Akan tetapi tiba-tiba seorang di antara para anggauta Kwan-cin-pai itu, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, diam-diam mendekati Hui Lian dan Hong Kin. Ketika dua orang muda itu memandang, mereka merasa terkejut, heran, dan juga girang. Pemuda itu segera diam- diam lalu menggunakan sebatang pisau pendek yang amat tajam untuk membabat putus tali pengikat pergelangan, tangan mereka dan dalam sekejap mata bebaslah Hui Lian dan Hong Kin.
Dua orang muda yang berkepandaian tinggi ini lalu mengerahkan lweekang dan dengan jari tangan sendiri dapat membebskan totokan. Pada saat itu, Kong Ji tengah melancarkan serangan-serangan yang amat menghina kepada Ciang Le dan menghina nama baik Gak Soan Li semau-maunya.
Mendengar dan melihat ini Hui Lian berbisik.
"Celaka, nama Ayah akan tercemar...."
"Biar aku menolongnya...." kata Hong Kin cepat-cepat. Mereka bertiga lalu menggunakan kesempatan selagi semua orang menonton perang kata-kata yang menegangkan menerobos keluar dari barisan dan Hong Kin lalu mengeluarkan kata-kata pengakuan bahwa dialah suami Soan Li!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, munculnya Hui Lian, Hong Kin dan pemuda yang menolong mereka yang kemudian ternyata Wan Sin Hong menimbulkan kegemparan. Seperti telah kita ketahui semua, Wan Sin Hong terkena serangan jarum-jarum rahasia dari Siok Li Hwa dan Liok Kong Ji sehingga roboh akan tetapi muncul manusia aneh bermuka merah darah yang menyambar tubuh wan Sin Hong dan lenyap dari situ!
Setelah berhasil melukai Wan Sin Hong dengan jarum- jarumnya, Kong Ji dan Siok Li Hwa merasa heran dan penasaran sekali. Orang aneh muka merah tadi telah menolak serangan pedang mereka hanya dengan hawa pukulan dan kini orang aneh itu telah membawa lari tubuh Wan Sin Hong. Kong Ji yang melihat jarum beracun Hek-tok- ciam telah mengenai tepat tubuh Wan Sin Hong dan merobohkan pemuda yang paling ditakutinya itu, menjadi lega.
Dia tadinya kaget setengah mati melihat munculnya Wan Sin Hong. Bagaimana pemuda itu dapat muncul? Demikian ia bertanya-tanya dengan hati ngeri karena ia maklum bahwa kepandaian Wan Sin Hong amat tinggi. Maka melihat betapa semua orang memusuhi Sin Hong bahkan betapa Sin Hong telah roboh oleh jarum-jarumnya dan jarum-jarum yang dilepas oleh Siok Li Hwa, ia menjadi lega dan tidak mau mengejar. Apalagi karena ia menyaksikan betapa orang aneh bermuka merah yang ia belum tahu siapa adanya itu benar- benar tangguh dan lihai, maka ia menyerahkan pengejaran kepada Siok Li Hwa.
Memang Ketua Hui-eng-pai ini merasa penasaran sekali melihat Wan Si Hong musuh besarnya dilarikan orang aneh bermuka merah. Kalau belum membunuh Wan Sin Hong dan membawa kepalanya, hati Siok Li Hwa belum puas. Nama baik Hui-eng-pai telah dicemarkan hal ini baru satu kali terjadi selama ia hidup, maka Wan Sin Hong harus dibunuhnya!
Sambil membentak keras Siok Li Hwa mengejar orang aneh bermuka merah yang lenyap ke jurusan barat puncak. Para anak buahnya cepat-cepat mengejar sehingga mereka itu kelihatan seperti sekelompok garuda putih beterbangan turun gunung!
Sementara itu Hui Lian yang memeluk ibunya, secara singkat lalu menceritakan semua pengalamannya yang terakhir. Karena tidak ada kesempatan dan waktu, Hui Lian hanya menceritakan yang paling penting saja, terutama yang berhubungan dengan keadaan di situ.
"Ibu dan Ayah, Saudara Coa Hong Kin tadi sengaja mengaku sebagai suami Suci, untuk membersihkan muka kita...."
Ciang Le menjadi girang sekali dan memandang ke arah Hong Kin yang bercakap-cakap perlahan dengan gurunya, memandang dengan penuh terima kasih. Sementara itu atas perintah Cam-kauw sin-kai, Hong Kin lalu memberi hormat kepada Ciang Le dan Bi Lan, juga kepala Lie Bu Tek. Adapun Cam-kauw Sin-kai sendiri dengan suara lantang tertawa dan berkata.
"Cuwi Enghiong yang hadir di sini semua menjadi saksi betapa besar kebohongan manusia she Liok! Dia tadi membuka mulut kotornya memburuk-burukkan dan menghina nama baik Hwa I Enghiong dan muridnya. Sekarang ternyata kata-katanya itu bohong belaka. Nona Gak Soan Li ada suaminya!"
Tai Wi Siansu cepat mencegah dilanjutkannya percekcokan karena sebagai pemimpin permilihan bengcu. ia berkewajiban untuk segera menyelesaikan tugasnya yang banyak terhalang oleh percekcokkan tadi.
"Saudara sekalian harap suka bersabar dan harap menghentikan segala caci maki satu kepada yang lain. Sekarang kita lanjutkan tentang pemillhan bengcu, diambil dan tujuh orang calon-calon tadi. Seperti sudah lajim dalam pemilihan bengcu, harap para calon sekarang membuktikan bahwa dia memang patut menjadi bengcu karena kepandaian silatnya. Dan oleh karena itu pinto sendiri di luar kehendak pinto telah dipilih menjadi calon bengcu, maka terpaksa pimpinan pinto serahkan kepada wakil pinto, yakni Bu Kek Siansu ciangbunjin dari Butong pai! Dan untuk mempersingkat waktu, pinto sendiri mempelopori para calon bengcu, dan pinto bersiap sedia mencoba kepandaian seorang di antara para calon." Setelah berkata demikian, Tai Wi Siansu yang sudah tua itu lalu melompat ke tengah lapangan dan menanti datangnya seorang di antara calon bengcu yang hendak memperlihatkan kepandaian. Sebetulnya, Ketua Kun-lun-pai yang sudah lanjut usianya ini tentu saja tidak mempunyai nafsu untuk menjadi bengcu.
Akan tetapi, untuk memperkuat pihak yang disukainya, dan pula melihat bahwa di antara para calon terdapat orang- orang seperti Liok Kong Ji dan See-thian Tok-ong, ia tentu saja tidak rela kalau sampai kedudukan bengcu dipegang oleh seorang di antara mereka ini dan daripada kedudukan bengcu dipegang oleh See-thian Tok-ong, lebih baik dia pegang sendiri! Ta tahu pula bahwa dalam pemilihan bengcu, pasti akan terjadi adu tenaga, dengan masuknya menjadi calon bengcu, berarti ia memperkuat tenaga pihak yang disukainya.
Kalau saja ia melihat bahwa para calon itu semua memenuhi syarat dan mencocoki hatinya, tidak nanti ia mau dipilih sebagai calon! Melihat majunya Tai Wi Siansu, tentu saja para calon seperti Cam-kauw Sin-kai dan Hwa I Enghiong Go Ciang Le tidak mau maju untuk melayani kakek itu mengukur kepandaian.
Bagi Cam-kauw Sin-kai dan Go Ciang Le, kalau kedudukan bengcu itu diserahkan kepada Tai Wi Siansu, mereka tidak akan membantah seperti halnya Tai Wi Siansu sendiri tentu tidak akan membantah kalau yang dipilih sebagai bengcu itu Cam-kauw Sin-kai atau Go Ciang Le. Dua orang calon yang tadi disebut Siok Li Hwa dan Wan Sin Hong tidak berada di situ dan kini tmggal dua orang calon yang lain, yakni Liok Kong Ji dan See Thian Tok-ong. See-Thian Tok-ong hendak melompat maju menghadapi Ketua Kun-lun-pai akan tetapi Kong Ji sambil tertawa mencegahnya.
"See-thian Tok-ong, mengapa terburu-buru? Tidakkah kau dapat melihat bahwa mereka itu semua bersekongkol? Lihat, aku berani bertaruh bahwa Hwa I Enghiong dan Cam- kauw Sin-kai tidak nanti mau maju menghadapi Tai Wi Siansu. Kau lihat sajalah dan jangan terburu-buru maju."
See-thian Tok-ong memang orang yang kurang pedulian, maka ia tadi tidak mempedulikan keadaan, sehingga ia tidak memikirkan sejauh itu. Sekarang mendengar kata-kata Kong Ji, ia menunda niatnya dan benar-benar ia menanti. Memang apa yang dikatakan oleh Kong Ji ini benar belaka. Betapapun juga, tak nanti Ciang Le dan Cam-kauw Sin-kai mau maju menghadapi Tat Wi Siansu untuk bertanding ilmu.
Melihat ini See-thian Tok-ong sudah hilang sabar dan hendak maju pula. Akan tetapi Kong Ji sudah mendahuluinya, menyuruh seorang pembantunya untuk maju. Orang ini adalah seorang kakek tua yang bongkok kurus, kepalanya besar, rambutnya jarang dan putih sedang kulit mukanya kerut-merut jelek sekali. Ia memegang sebatang tongkat bambu dan dari belakang pundaknya tersembul gagang pedang yang ujungnya berukirkan kepala setan yang menakutkan dan ronce-roncenya berwarna hitam. Dengan langkah sembarangan orang ini telah menghadapi Tai Wi Siansu, menyeringai sambil berkata dengan suaranya yang parau seperti suara burung gagak.
"Tai Wi Siansu, sudah lama sekali aku mendengar akan nama besar Ketua Kun-lun-pai yang katanya memiliki ilmu pedang yang tinggi sekali. Kebetulan hari ini aku mendapat kehormatan bertemu muka dan siapa kira kau yang sudah begini tua masih menginginkan kedudukan bengcu. Akan tetapi malah kebetulan, karena dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk merasai kehebatan ilmu pedangmu. Bukankah setiap orang yang hadir berhak menguji kepandalan calon bengcu?" Setelah berkata demikian, ia tertawa terbahak-bahak.
Melihat kakek ini, Tat Wi Siansu dapat menduga bahwa dia tentu seorang yang pandai, akan tetapi karena belum mengenalnya, Tat Wi Siansu lalu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan dan bertanya.
"Sahabat siapakah? Dari golongan mana dan siapa nama sahabat yang terhormat?" Sebagai seorang ciangbunjin (ketua) partai besar. Tai Wi Siansu tentu saja tidak mau mengadu kepandaian dengan seorang lawan yang tidak ternama. tentu Tai Wi Siansu akan mundur dun menyuruh murid saja untuk melawannya.
Kakek yang buruk rupa itu mengeluarkan suara menyindir.
"Hemm, tentu saja Ketua Kun-lun-pal yang bernama besar tidak mengenal kepada seorang rendah seperti aku. Aku adalah Ketua Kwan-cin-pai dan tinggal di An-hwei."
Tat Wi Siansu terkejut.
"Aha, kiranya pinto berhadapan dengan Mo-kiam Siang koan Bu, jago nomor satu dan Propinsi An-hwei! Kau mau bermain-main dengan pinto? Marilah!"
Kakek buruk rupa itu memang Mokiam siangkoan Bu Ketua Kwan-cin-pai yang sudah menjadi pengikut Kong Ji. Pemuda ini belum tahu sampai di mana tingkat kepandaian Tai Wi Siansu, maka ia tidak mau maju sendiri. Sebagai seorang calon bengcu atau bahkan seorang bengcu dari timur dan selatan, ia harus memegang harga diri.
Maka ia memberi tanda kepada Mokiam Siangkoan Bu untuk mencoba kepandaian kakek Kun-lun-pai itu sebelum ia sendiri turun tangan. Memang Kong Ji adalah seorang sang amat licik dan ia telah mengatur siasat rendah. Kawan-kawannya yang memiliki kepandaian tinggi cukup banyak, di antaranya adalah Siangkoan Bu sendiri, lalu ada di situ
Siang-pian Giam-ong Ma Ek Ketua Bu cin-pai, Sin houw Lo Bong Ketua Shan si-kai-pang, Twa-to Kwa Seng Ketu Twa-to Bu pai, ada pula Giok Seng Cu tangan kanannya, dan masih ada beberapa orang gagah dan Siauw-lim-pai. Go bi-pai, Heng-san-pai dan Hoa-san-pai. Ta hendak menggunakan tenaga orang-orang ini untuk menghadapi para calon bengcu yang lain.
(Lanjut ke Jilid 30)
Pedang Penakluk Iblis/Sin Kiam Hok Mo (Seri ke 02 - Serial Pendekar Budiman)
Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 30
Kalau sampai mereka semua ini kalah dan ia sendiri kiranya takkan dapat kemenangan, masih ada jalan lain, yakni melakukan pengeroyokan! Untuk keperluan ini di belakangnya sudah ada seribu lebih orang dari partai pendukungnya yang pada saat itu sudah berkumpul di sekitar puncak Ngo-heng-san! Bahkan masih mengharapkan munculnya Nalumei bersama pasukannya.
Pedang Penakluk Iblis Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mo-kiam Siangkoan Bu yang melihat bahwa Tai Wi Siansu sudah bersikap sedia dengan sebatang pedang tipis ditangan, lalu mengeluarkan suara meringkik seperti kuda dan cepat melakukan serangan pertama dengan tongkat bambunya. Tongkat ini ditusukkan ke arah mata Tai Wi Siansu dengan gerakan cepat.
Ketua Kun-lun-pai diam-diam marah dan mendongkol. Kalau ia diserang dengan pedang, itu adalah hal yang wajar. Akan tetapi diserang dengan sebatang bambu, inilah penghinaan namanya! Pedang tipis di tangannya bergerak sedikit dan bambu di tangan Siangkoan Bu putus ujungya begitu bertemu dengan pedang, sedikit pun tidak mengeluarkan suara.
Akan tetapi, ternyata kemudian bahwa memang inilah semacam gerak tipu dari Siangkoan Bu karena begitu bambu terbabat, bambu ini terus saja langsung melakukan serangan menusuk ulu hati! Tadi memang sengaja ia "menyerahkan" bambunya untuk dibabat, hanya ketika pedang lawan membabat ia miringkan bambu sehingga bambu itu kini menjadi runcing sekali dan tahu-tahu ia pergunakan untuk menusuk dada. Senjata bambu ini tak boleh dipandang ringan, karena batang bambu yang kosong ini kalau terisi oleh hawa lweekang dari pemegangnya, bambu ini berubah menjadi senjata yang ampuh dan kuat, dan dalam penggunaan dalam serangan menusuk ini tidak kalah berbahayanya oleh senjata tajam dan runcing lain dari baja. Hebatnya, selagi bambu ini masih menusuk, tangan kiri Siangkoan Bu sudah bergerak ke pundak dan di lain saat, sebatang pedang dengan sinar kebiruan telah meluncur cepat menyusul serangan bambu, melakukan serangan ke dua dan menusuk lambung!
"Bagus!" Tat Wi Siansu sendiri yang juga seorang ahli pedang dan Kun lunpai, memuji gerakan lawan ini yang memang benar-benar amat cepat indah dan berbahaya. Ketua Kun-lun-pai ini setelah menangkis bambu, cepat miringkan tubuh sehingga dua serangan sekaligus itu dapat dihindarkan. Kemudian tanpa memberi kesempatan kepada lawan, ia lalu membalas dengan penyerangan membabat dari kiri ke kanan dengan pedangnya.
Siangkoan Bu menangkis, dua pedang bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya melompat mundur untuk melihat pedang masing-masing. Mereka merasa lega melihat pedang masing-masing tidak rusak oleh pertemuan yang keras tadi tanda bahwa pedang mereka berimbang dalam kekuatannya.
Pedang di tangan Tai Siansu adalah sebatang pedang pusaka Kun-lun-pai biarpun amat tipis namun terbuat dari pada baja putih yang kuat sekali. Besi biasa saja dapat terputus dengan mudah oleh pedangnya. Di lain pihak, pedang di tangan Siangkoan Bu diberi nama Mo-bin-kiam (Pedang Muka Iblis), terbuat dari logam berwarna kebiruan yang amat keras dan juga pedang ini tajam sekali, cukup kuat untuk membuat putus logam-logam lain.
Dalam detik-detik selanjutnya dua orang kakek kosen ini sudah bertempur sengit. Sepasang pedang itu bergulung- gulung merupakan sinar berwarna putih dan biru, amat indah dipandang dan mendebarkan hati karena tegangnya. Semua orang tahu bahwa dalam permainan yang indah kelihatannya ini bersembunyi tangan-tangan maut yang setiap waktu dapat mencabut nyawa seorang di antara kedua pemainnya.
Kepandaian Siangkoan Bu memang tinggi. Tidak saja ia memiliki tenaga lweekang yang sudah tinggi sekali, juga ilmu pedangnya amat aneh, cepat dan ganas. Pantas saja ia diberi julukan Mo ,-kiam (Si Pedang Iblis) karena memang ia memiliki ilmu pedang yang kuat dan dahsyat.
Di lain pihak, siapakah yang tidak mendengar kelihaian Ilmu Pedang Kun-lun Kiam-hoat? Ilmu pedang partai besar Kun-lun-pai sudah tersohor di kolong langit. Gerakannya indah dan cepat mengandung kekuatan menyerang yang sukar dilawan, sebaliknya dalam bertahan amat kuatnya, merupakan benteng sinar pedang yang sukar ditembusi. Maka dapat dibayangkan betapa ramainya pertandingan ini, makim lama gerakan mereka makin cepat sehingga setelah lewat lima puluh jurus, keduanya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka.
Bagi para penonton yang kurang tinggi ilmu silatnya, sukar dapat mengatakan siapakah di antara dua ahli pedang itu yang unggul dan siapa yang terdesak. Tentu saja dalam pandangan mata para ahli yang berada di situ, di antaranya Kong Ji dan Ciang Le, mudah saja terlihat bahwa lambat laun akan tetapi tentu, Ketua Kun-lun-pai yang sudah tua itu mendesak Mo-kiam Siangkoan Bu!
Akhirnya pada jurus ke delapan puluh, terdengar Tai Wi Siansu membentak keras, diikuti suara nyaring. Bambu di tangan Siangkoan Bu tadi putus menjadi dua sedangkan pedang birunya terlempar jauh ke belakang. Dia sendiri terhuyung-huyung dan cepat melompat berjungkir balik ke belakang, lalu berdiri dengan muka pucat. Darah mengucur keluar dari luka di kedua lengannya dekat siku. Ia menjura dan berkata,
"Terima kasih, Tai Wi Siansu. Memang ilmu pedang Kun- lun-pai hebat, bukan among kosong. Aku menerima kalah." Inilah kata- kata jujur yang mau tidak mau harus diucapkan oleh seorang jagoan kang-ouw yang telah kalah dalam sebuah pibu (adu kepandaian). Mo-kiam Siangkoan Bu terpaksa harus mengaku ini, karena ia sudah berhutang nyawa kepada kakek Kun lun-pai itu.
Kalau dalam gebrakan tadi Tai Wi Siansu mau berlaku kejam, kiranya bukan hanya luka kecil pada kedua lengan saja yang dideritanya, melainkan jauh lebih hebat. Kemudian ia mengambil pedangnya dan berdiri di dekat pasukannya dengan muka muram. Ta telah menderita kekalahan dan karenanya merasa malu dan penasaran.
Di lain pihak, dengan napas agak memburu, Tai Wi Siansu berdiri tegak dengan pedang dilintangkan di depan dada. Kakek berusia delapan puluh tahun ini kelihatan gagah sekali dan sikapnya lemah lembut. Jenggotnya yang putih semua dan panjang itu berkibar-kibar tertiup angin dan sinar matanya penuh semangat, berapi-api.
Akan tetapi bagi siapa yang memillki pandang mata awas, dapat dilihat bahwa kakek tua renta ini sudah lelah sekali dan hanya tenaga lweekangnya yang tinggi saja yang dapat mengatur pernapasannya sehingga tidak terengah-engah, sungguhpun jalan darahnya sudah amat cepat membuat seluruh tubuh panas dan keringat keluar dari lengan dan jidat.
Tentu saja Kong Ji melihat pula dan maklum akan hal ini. Cepat pemuda ini melompat keluar dan tahu-tahu pedang Pak-kek Sin-kiam yang bercahaya keemasan telah berada di tangannya.
"Tai Wi Siansu, kita sama-sama calon bengcu, mari kita menguji kepandaian masing-masing!" Tanpa menanti jawaban, pemuda itu sudah menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan kakek itu.
"Tidak adil...!" Seru Leng Hoat Taisu Ketua Thian-san-pai dan sudah melompat dengan tongkat hitamnya untuk menggantikan Tai Wi Siansu.
Akan tetapi, sebagai ciangbunjin dari Kun-lun-pai, juga sebagai calon bengcu, Tai Wi Siansu merasa malu kalau harus mengaku kalah sebelum bertanding. Ta mengelak cepat dari serangan Kong Ji dan melihat majunya Leng Hoat Taisu yang bukan seorang calon bengcu ia berseru,
"Leng Hoat Toyu, kau mundurlah. Biar aku menghadapi bocah she Liok ini. Dia benar, kami sama-sama calon harus mengukur kepandaian dan tidak mengandalkan bantuan kawan."
"Akan tetapi tadi ia juga mengajukan wakil." Leng Hoat Taisu mencoba membantah. Sementara itu, Kong Ji hanya tersenyum dan sebelum Tai Wi Siansu yang ragu-ragu itu mendapat kesempatan menjawab, pemuda ini sudah memberi api.
"Benar, Tai Wi Siansu, kau sudah tua tentu pertempuran tadi membuat kau lelah. Kalau mau mengaso dan mengatur napas dulu, silakan, aku yang muda akan melayani Leng Hoat Taisu, kemudian baru kita main-main. Tidak apa aku mengalah menghadapi dua orang beruntun, sudah sepatutnya yang muda mengalah!" Senyumnya demikian penuh ejekan sehingga Tai Wi Siansu tidak ada muka lagi untuk mundur. Dengan muka merah saking marahnya. Tai Wi Siansu menggerakkan pedangnya membentak.
"Bocah she Liok. Alangkah sombongmu! Kaukira pinto takut kepadamu? Majulah!"
Melihat kenekatan Tai Wi Siansu terpaksa Leng Hoat Taisu mengundurkan diri dan ia memandang kepada Bu Kek Siansu dengan kepala digeleng-gelengkan dan mukanya memperlihatkan kekhawatiran. Kekalahan atau kemenangan dalam pibu bukanlah hal yang aneh. bahkan kematian dalam pibu tidak pernah dibuat penasaran oleh orang-orang gagah di dunia kang- ouw.
Akan tetapi kettdak-adilan membuat semua orang gagah penasaran dan pertandingan pibu antara Liok Kong Ji dan Tai Wi Siansu dianggap tidak adil. Akan tetapi oleh karena Tai Wi Siansu sendiri yang tidak kuat menghadapi ejekan Liok Kong Ji sudah menyatakan setuju. Tak seorang pun berhak mencampuri pertandingan ini. Mereka yang berpihak pada Tai Wi Siansu kini menonton dengan hati berdebar dan perasaan tegang.
Dengan mulut masih tersenyum Kong Ji memasang kuda-kuda, tubuhnya merendah hampir berjongkok, pedangnya disembunyikan di bawah lengan kiri, sedangkan lengan kirinya bergerak-gerak lambat ke depan dan belakang. Kuda-kuda macam ini tidak dikenal oleh Tai Wi Siansu sungguhpun kakek ini seorang jago pedang yang kenamaan. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Kong Ji, pemuda yang penuh akal dan amat cerdik ini ternyata telah dapat menciptakan kuda-kuda ini menurut Ilmu Pukulan Tin-san-kang dicampur dengan ilmu pedang berdasarkan Pak-kek Sin-ciang yang ia "curi" pelajari melalui Hui Lian! Maka yang mengenal kuda kuda ini hanya dua orang. Ini pun hanya setengah-setengah.
Ciang Le mengenal kuda-kuda ini dengan melihat pedang disembunyikan di bawah lengan kiri sebagai jurus yang hampir sama atau pada dasarnya sama dengan jurus Hok-te-ciong-kiam (Mendekam di Tanah Menyembunyikan Pedang) dari Ilmu Pedang Pak-kek-sin-kiam. Hanya tangan kiri yang jari-jari tangannya dibuka dan digerak-gerakkan lambat-lambat ke depan dan ke belakang itu tidak ada dalam gerakan Hok-te-ciong-kiam, maka Ciang Le menjadi terheran-heran.
Sebaliknya Giok Seng Cu mengenal baik gerakan tangan kiri itu, yang bukan lain adalah gerakan Tin-san-kang, gerakan mengumpulkan tenaga. Sebaliknya gerakan Hok-te- ciong-kiam tadi tidak dikenal oleh Giok Seng Cu. Memang ilmu pedang Pak-kek-sin-kiam-sut biarpun sumbernya sama dengan ilmu silat yang dipelajari oleh Giok Seng Cu dari mendiang Pak Hong Siansu, namun ilmu pedang ini jarang ada yang mengerti sedangkan Ciang Le sendiri pun hanya mempelajari sebagian saja.
Adapun Tai Wi Siansu yang sudah marah, menghadapi pasangan kuda-kuda pemuda itu dan melihat mulut yang tersenyum-senyum mengejek, tak dapat menahan sabar lagi. Kakek ini adalah Ketua Kun-lun-pai, ilmu pedangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka tentu saja ia tidak gentar menghadapi segala macam kuda-kuda yang aneh sekalipun. Ta mengandalkan kekuatan pedangnya dan sambil berseru.
"Lihat pedang"" ia menyerang Kong Ji yang kuda-kudanya rendah itu dengan sabetan pada kepala.
Pendekar Pedang Pelangi Eps 4 Memburu Iblis Eps 29 Memburu Iblis Eps 19