Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 14


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 14



"Eh... ohh... tahan dulu...!"

   Sambil mencelat kesana-sini menghindarkan diri dari sambaran daun dan tulang, Bu Tek Lojin berteriak-teriak. Sebagai seorang pendekar, tentu saja Kwee Seng menurut dan menghentikan serangannya.

   "Mau bicara apa lagi. Bukankah kau yang tadi mendesakku untuk bertanding sampai mati?"

   Kwee Seng menegur marah dan mendongkol.

   "Mengapa gaya permainan silatmu seperti itu? Apakah kau murid Bu... Bu Kek... Siansu...?"

   Kwee Seng tersenyum.

   "Bukan, akan tetapi beliau pernah memberi petunjuk kepadaku.."

   "Wah... celaka... cukuplah kita main-main."

   Kakek cebol itu lalu bersuit panjang dan datanglah burung hantu melayang-layang diatas kepalanya, kemudian ia lari meninggalkan Kwee Seng diikuti dari atas oleh burung hantu.

   Sejenak Kwee Seng terlongong heran, kemudian ia pernasaran dan berlari pula mengejar. Ternyata ilmu lari cepat kakek itu hebat, sukar baginya untuk dapat menyusul. Ia tahu bahwa kakek itu belum kalah, bahkan agaknya kalau dilanjutkan dia sendirilah yang akan kalah. Akan tetapi mengapa Bu Tek Lojin menjadi seperti orang jerih dan lari? Bayangan kakek itu telah lenyap. Hanya tampak burung hantu merupakan titik hitam kecil jauh didepan. Kwee Seng kehilangan semangat untuk mengejar terus maka ia menghentikan larinya dan berjalan biasa menuju ke depan. Ketika ia memasuki hutan, tiba-tiba ia mendengar suara orang tertawa, suara ketawa Bu Tek Lojin! Ia menjadi heran dan lari lagi memasuki hutan. Apa yang dilihatnya membuat Kwee Seng berhenti dan menyelinap dibelakang pohon.

   Kiranya kakek cebol itu sudah berdiri sambil tertawa bergelak, sedangkan didepannya tampak seorang laki-laki bangsa Khitan yang bertubuh pendek pula akan tetapi kuat, yang ia kenal sebagai seorang tokoh Khitan yang kata orang adalah panglima tua! Memang, laki-laki ini bukan lain adalah Kalisani yang telah meninggalkan kota raja dengan maksud merantau ke selatan. Kebetulan sekali didalam hutan itu Kalisani bertemu dengan kakek cebol yang amat ia kagumi sepak terjangnya ketika kakek itu menggegerkan pesta perlombaan Khitan. Begitu melihat Si Kakek Cebol, tanpa ragu-ragu lagi Kalisani lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata.

   "Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudilah Locianpwe menerima teecu (murid) sebagai murid. Apa pun yang locianpwe perintahkan, akan teecu taati dengan taruhan jiwa raga teecu."

   Inilah yang membuat Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak sehingga terdengar tadi oleh Kwee Seng. Kakek cebol itu setelah tertawa berkata,

   "Aku akan membikin kepalamu seperti kepala Ban-pi Lo-cia, hendak kulihat apakah kau masih nekat mau mengangkat aku sebagai gurumu!"

   Setelah berkata demikian, kakek cebol itu menggerakkan telapak tangannya kearah kepala Kalisani. Bekas Panglima Khitan ini terkejut sekali ketika merasa hawa panas menyambar kepalanya. Celaka, pikirnya, mati aku sekali ini! Akan tetapi karena ia telah terlanjur berjanji akan patuh menurut, ia meramkan matanya dan menguatkan hatinya, kalau perlu mati, apa boleh buat!

   Kwee Seng yang mengintai juga kaget sekali. Telapak tangan kakek cebol itu bukannya memukul, melainkan mengusap kepala Kalisani dan ketika ia mengangkat kembali tangannya, semua rambut bagian atas kepala Kalisani rontok semua sehingga kepala itu menjadi gundul kelimis bagian atasnya, botak tidak kepalang! Diam-diam Kwee Seng memaki atas kekejaman kakek cebol itu. Kalisani meringis, kulit kepalanya terasa panas dan sakit, akan tetapi tidak tembus sampai menembus kedalam, hanya terasa seperti dibakar. Melihat rambutnya rontok semua, ia kaget dan makin teguh hatinya untuk belajar ilmu kepada kakek yang amat sakti ini. Ia segera mengangguk-angguk sampai jidatnya membentur tanah sambil berkata,

   "Jangan lagi begini, biar nyawa teecu kalau memang Suhu membutuhkan, teecu serahkan!"

   Bu Tek Lojin tercengang menyaksikan kebulatan tekad hati orang. Ia mengelus-elus jenggotnya dan menarik napas panjang.

   "Kau boleh juga. Bukankah kau panglima di Khitan, mengapa kau mengikuti aku dan hendak menjadi murid?"

   "Sekarang teecu bukanlah prajurit Khitan lagi, teecu sudah meninggalkan kerajaan karena jemu menyaksikan perebutan kekuasaan dan melihat betapa Khitan akan menjadi tidak beres. Karena amat kagum akan kesaktian suhu, maka teecu hanya mempunyai satu niat dihati, yaitu menjadi murid suhu."

   "Hah-hah-hah, selamanya aku tidak menerima murid. Akan tetapi, hemmm, dia sudah menurunkan kepandaian kepada jembel tengik, mengapa aku tidak? Eh, Botak, baiklah kau menjadi muridku. Nah, hayo kau gendong aku dan jangan berhenti sebelum kuminta, biarpun kedua kakimu akan patah-patah!"

   Bukan main girangnya hati Kalisani. Setelah memberi hormat berlutut dan mengangguk sampai delapan kali, ia menggendong kakek cebol itu dan lari congklang seperti kuda. Si Kakek Cebol tertawa bergelak-gelak lalu berkata,

   "Hayo kau pun tertawa yang keras! Menjadi muridku harus gembira selalu, kalau tidak kau akan kubunuh!"

   Dan terdengarlah suara Kalisani tertawa pula, terkekeh-kekeh menyaingi suara ketawa gurunya! Kalau ada orang melihat mereka, tentu orang itu akan lari terbirit-birit atau berdiri terlongong keheranan karena keadaan mereka itu hanya akan menimbulkan dua macam dugaan, pertama, mereka adalah dua iblis neraka atau yang kedua, mereka adalah sepasang orang gila yang liar.

   Yang menggendong seorang berkepala botak dan tertawa terkekeh-kekeh, yang digendong seorang kakek cebol tertawa bergelak-gelak sepanjang jalan. Dan diatas mereka, terbanglah si Burung Hantu sambil mengeluarkan suara seperti tertawa pula, hanya saja suara itu akan membuat orang menggigil serem diwaktu malam! Kwee Seng keluar dari balik pohon, menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Aneh-aneh didunia ini, memang! Kemudian ia lalu melanjutkan perjalanan meninggalkan Khitan. Urusannya di Khitan sudah selesai. Bayisan telah terhukum, sungguhpun bukan langsung dari tangannya, adapun Ban-pi Lo-cia, biarlah lain kali kalau ada kesempatan berjumpa, akan ia tantang untuk membereskan perhitungan, karena betapapun juga, matinya Ang-siauw-hwa karena perbuatan keji Ban-pi Lo-cia, tak dapat terhapus begitu saja dari ingatannya.

   Dalam perantauannya ini yang menjelajah belasan propinsi dan puluhan kota ratusan desa, tiada hentinya Kwee Seng mengulurkan tangan melakukan darma baktinya sebagai seorang berilmu. Tak terhitung lagi jumlahnya penjahat yang mengenal betapa keras dan ampuhnya telapak tangan kanannya, dan sebaliknya entah berapa banyaknya orang-orang tertindas mengenal betapa lunak halus dan terbukanya telapak tangan kirinya! Dimana-mana Kwee Seng melakukan perbuatan gagah perkasa dan kini masih saja ia sembunyi, tak suka menonjolkan namanya, dan hanya beberapa kali karena terpaksa ia memperkenalkan namanya sebagai Kim-mo Taisu. Namun tak seorang pun dapat menduga bahwa orang yang berpakaian compang-camping penuh tambalan, yang rambutnya riap-riapan dan tertawa-tawa di sepanjang jalan, orang gila ini sebenarnya adalah Kim-mo Taisu Si Pendekar Budiman!

   Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil. Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya. Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia didunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar.

   Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya. Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran. Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!

   Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung kedalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata. Liu Lu Sian telah melakukan kesalah itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik.

   Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta! Ada juga rasa sesal dihatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke manapun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan disana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu didunia ini! Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya dirumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya.

   Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya. Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu dimana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya. Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya. Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu.

   Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya. Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya. Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung didalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan.

   Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran didalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas. Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.

   "Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak panas dan arak hangat!"

   Tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya.

   Ia melirik kekanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk didepan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan. Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali. Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan dipinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata,

   Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya. Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat diatas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang keluar.

   Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!

   Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang). Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis kesana kemari, hidup sederhana sekali! Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat.

   Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis"

   Bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang. Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya. Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.

   Muncullah kini rombongan penyanyi itu didepan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang diantara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai diatas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ketiga masih muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini "pasang aksi"

   Ketika matanya memandang Lu Sian. Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju kedepan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum. Hanya Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.

   "Tamu tak diundang datang kemari apakah hendak menyerahkan diri?"

   Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang.

   "Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi."

   Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat keluar pintu.

   "Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa..."

   Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja!

   Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh kearah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi. Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu keatas tanah, matanya melirik kearah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan didalam hatinya siap untuk membantu kalu laki-laki itu menghadapi bahaya. Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis kedua yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.

   "Menyerahkan diri membayar hutang baru si Kecil diantar pulang!"

   Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.

   "Diantar pulang ke rumah siapa? Apakah si Manis ada yang punya?"

   Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh kearah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit. Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjeguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek disamping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!

   Tiga orang pengemis itu jelas menujukan nyanyian mereka kepada orang itu, kecuali pengemis muda yang menyelewengkan nyanyian kearah Lu Sian. Kini melihat orang itu sama sekali tidak peduli mereka menjadi marah. Si Pengemis Muda menggerakkan tangannya dan menyambarlah sinar kehitaman kearah leher laki-laki gagah. Lu Sian diam-diam kaget sekali, tahu bahwa itu adalah senjata rahasia, yang biarpun tidak terlalu hebat namun cukup berbahaya kalau Si Laki-laki tidak dapat menghindarkan diri. Akan tetapi hatinya lega dan kagum ketika melihat laki-laki itu mengangkat sumpitnya dan... paku hitam yang menyambar lehernya telah terjepit diantara sepasang sumpit! Kemudian tangan yang memegang sumpit bergerak, paku hitam menyambar dengan kecepatan beberapa kali lipat daripada tadi kearah Si Penyerang.

   "Auuuhhh...!"

   Pengemis muda yang aksi itu meloncat-loncat dengan kaki kanan sambil mengaduh-aduh dan memegangi kaki kirinya yang diangka-angkat. Paku tadi, pakunya sendiri yang biasanya ia sombongkan sehingga ia memakai julukan Tou-hiat-teng (Si Paku Penembus Jalan Darah), kini telah menancap dipaha kirinya sampai tidak kelihatan lagi kepalanya!

   Dua orang pengemis melihat ini menjadi marah sekali. Si Celana Panjang Sebelah menerjang dengan tongkatnya yang ditusukkan kearah muka sedangkan pengemis sepatu tunggal itu mencabut golok lalu membacok kearah leher. Namun orang itu masih enak-enak makan buburnya yang belum habis, membiarkan dua senjata itu menyambar sampai dekat sekali. Kali ini Lu Sian benar-benar kaget. Sungguh berbahaya sekali ketenangan yang berlebih-lebihan itu, pikirnya. Cepat tangannya menyambar sumpit yang tadi ia pakai makan, sekali tangannya bergerak sepasang sumpit itu meluncur kedepan seperti anak panah melesat dari busurnya.

   "Tranggg! Aduhhh! Aduhhh...!"

   Peristiwa yang menjadi beberapa detik mengherankan sekali. Secara tiba-tiba, laki-laki yang dijadikan sasaran tongkat dan golok itu lenyap dari atas kursinya sehingga golok dan tongkat saling bertemu diudara, kemudian dalam detik selanjutnya, tangan dua orang pengemis yang memegang senjata itu telah tertusuk sumpit, tembus ditelapak tangan sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan, mereka berteriak-teriak kesakitan sambil menggunakan tangan kiri memijit-mijit tangan kanan.

   "Lee-hi-ta-teng (Ikan Lee Meloncat) yang bagus!"

   "Sambitan yang luar biasa!"

   Pujian yang keluar dari mulut Lu Sian dan orang gagah itu keluar dalam waktu bersamaan, mereka saling pandang pula. Hanya beberapa detik, pandang mata penuh kagum dan "ada rasa"! akan tetapi laki-laki itu segera melangkah keluar menghadapi tiga orang pengemis yang masih mengaduh-aduh, lalu berkata dengan suara lantang berwibawa.

   "Aku Tan Hui adalah laki-laki tidak suka berlaku pengecut! Setahun yang lalu urusanku dengan Kong-sim Kai-pang sudah kubereskan dengan Yu Jin Tianglo, kami berdua saling menghargai dan bersahabat. Kenapa sekarang tanpa alasan Kong-sim Kai-pang mengganggu anak kecil? Kalau ada urusan silahkan Yu Jin Tianglo menemui aku, mengapa mengutus segala macam anjing kecil macam kalian? Hayo katakan kepada Yu Jin Tianglo bahwa aku Tan Hui ingin bicara dengan dia sendiri. Pergilah!"

   Dengan tangan kanannya laki-laki yang bernama Tan Hui itu mendorong. Hawa dorongan ini menimbulkan angin dan tiga orang pengemis yang sudah terluka itu roboh terguling! Mereka merangkak bangun, meringis kesakitan, lalu yang sebelah kakinya telanjang memandang dengan mata melotot kepada Lu Sian.

   "Nona, kau siapakah dan mengapa mencampuri urusan kami? Apa hubunganmu dengan Hui-kiam-eng Tan Hui?"

   Lu Sian tersenyum, manis sekali senyumnya sehingga pengemis muda yang pahanya terluka itu untuk sejenak melupakan rasa nyerinya.

   "Aku bukan apa-apa dengan orang gagah ini, adapun namaku Lu Sian. Karena jemu menyaksikan sikap tengik kalian, maka aku menjadi muak. Masih untung sumpitku tidak kutujukan kepada kepala kalian!"

   Tiga orang pengemis itu memandang dengan mata melotot, kemudian mereka membalikkan tubuh dan sambil menuntun pengemis muda yang terpincang-pincang mereka meninggalkan tempat itu. Lu Sian tadi kaget juga mendengar laki-laki itu memperkenalkan namanya. Tentu saja ia sudah mendengar akan Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) yang amat terkenal di daerah timur ini, seorang yang kabarnya amat lihai ilmu pedangnya dan terutama sekali gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang dimilikinya tak pernah menemui tanding. Tadi ia sudah menyaksikan gerakan yang biasa saja, namun dilakukan oleh Tan Hui dengan hebat luar biasa. Dia sendiri tak mungkin dapat melakukan gerakan ini secepat itu.

   Dilain pihak, Tan Hui mengingat-ingat dan ia tak pernah mendengar nama seorang pendekar wanita bernama Sian dengan nama keturunan Lu. Akan tetapi sambitan sumpit tadi jelas membuktikan bahwa wanita cantik jelita seperti bidadari dihadapannya ini adalah seorang ahli silat yang berilmu tinggi. Ketika
ia memandang wajah yang tersenyum itu, sepasang mata yang bagaikan bintang begitu bercahaya, bening dan berbentuk indah sekali, hidung mancung dan bibir merah basah, rambut sinom yang terurai dikening, benar-benar membuatnya terpesona dan dengan gagap ia berkata sambil mengangkat kedua tangan didepan dada.

   "Nona, banyak terima kasih atas bantuanmu tadi."

   Lu Sian tersenyum, tampaklah deretan gigi yang laksana mutiara, kemudian bibirnya bergerak-gerak ketika bicara, matanya bersinar-sinar.

   "ah, itu bukanlah bantuan namanya dan tidak ada artinya. Kita mempunyai perasaan yang sama, bukan? Sama-sama sebal menyaksikan tiga orang jembel tadi..."

   Hening sejenak, dan tiba-tiba Lu Sian menahan tawanya melihat betapa orang itu memandangnya dengan melongo, jelas terpesona dan seperti lupa keadaan.

   "Eh, Tan-enghiong, kau kenapa....?"

   Tegurnya, tersenyum manis. Tan Hui gelagapan. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan wanita begini cantik jelita, yang bibirnya bergerak-gerak dan matanya bersinar-sinar.

   "Eh... oh... kau... kau hebat sekali..."

   Kembali Lu Sian tersenyum lebar dan untuk sesaat mereka hanya berdiri saling pandang dengan kaku. Akhirnya Lu Sian berkata,

   "Apakah kita akan terus bicara sambil berdiri saja?"

   Kembali Tan Hui baru sadar akan keadaan yang serba canggung itu, maka ia menjadi malu, merah sekali mukanya ketika ia berkata.

   "ah..., silakan, Nona. Mari silakan duduk."

   Mereka duduk semeja, saling berhadapan.

   "Sudah lama aku mendengar tentang Khong-sim Kai-pang. Kabarnya perkumpulan pengemis itu terkenal sebagai perkumpulan baik-baik, diketuai oleh Yu Jin Tianglo yang lihai dan terkenal sebagai tokoh baik-baik. Mengapa kau dimusuhi mereka?"

   Tan Hui menarik napas panjang dan kembali wajahnya yang sejenak tadi kehilangan bayangan duka, kini menjadi keruh kembali.

   "Panjang ceritanya, nona. Akan tetapi aku yakin bahwa kita segolongan, maka tidak ada salahnya kalau aku ceritakan hal ini kepadamu. Eh, Bung Pelayan, tolong kau antarkan seguci arak dan daging sekati."

   Pelayan menghampiri mereka. Pelayan ini tersenyum-senyum dan terbongkok-bongkok penuh hormat.

   "Maaf, Taihiap. Kami tidak tahu bahwa Tuan adalah Tan-taihiap yang terkenal budiman. Dasar pengemis-pengemis itu tidak tahu diri, berani main gila terhadap Hui-kiam-eng Tan Hui Taihiap (Pendekar Besar)!"

   "Sudahlah tolong kau sediakan pesananku."

   Pelayan itu tersenyum-senyum ramah, lalu berlari pergi untuk mempersiapkan pesanan itu. Adapun pelayan lain melihat rumah itu masih belum banyak tamu, menggunakan kesempatan menganggur ini lari keluar rumah makan untuk membual tentang kehadiran pendekar budiman Hui-kiam-eng Tan Hui ditempat kerjanya!

   "Aku mempunyai banyak musuh."

   Tan Hui mulai bercerita setelah menarik napas panjang.

   "semua karena salahku. Aku terlalu lancang tangan dan suka mencampuri urusan lain orang. Tak tahan aku melihat orang ditindas atau kejahatan berlalu saja tanpa orang membenciku...."

   "Sudah selayaknya orang gagah dibenci orang jahat."

   Lu Sian berkata menghibur, karena ia anggap hal seperti itu bukanlah hal yang patut disusahkan. Orang ini gagah sekali dan sikapnya jantan, amat menarik hati. Akan tetapi wajahnya selalu membayangkan kerisauan hati. Tan Hui mengangguk.

   "Cocok! Memang begitulah pendirianku pula, Nona. Karena itulah maka aku tak pernah berhenti dengan tugasku, selalu kubela kebenaran dan kutegakkan keadilan, kalau perlu kugunakan kekerasan untuk menghantam mereka yang sewenang-wenang. Dan ini pula sebabnya mengapa aku mempunyai urusan dengan Khong-sim Kai-pang. Lima orang anggauta Khong-sim Kai-pang melakukan penyelewengan setahun yang lalu di kota Tong-an. Mereka minta derma secara paksa, tidak itu saja, malah seorang diantara mereka telah menculik puteri seorang hartawan dan memperkosanya. Aku kebetulan lewat di kota itu, lalu turun tangan memberi hajaran kepada mereka dan malah membunuh Si Penculik."

   "Kenapa tidak dibunuh semua saja?"

   Lu Sian memotong. Tan Hui menghela napas.

   "Kalau kubunuh semua, kiranya tidak akan muncul akibat begini panjang. Akan tetapi mengingat bahwa selamanya Khong-sim Kai-pang terkenal baik, apalagi aku memandang muka ketuanya, maka kuampunkan mereka dan hanya membunuh seorang yang paling jahat. Aku sangka urusan hanya berhenti sampai disitu. Tidak tahunya, ketika aku melakukan perjalanan, aku dihadang dan dikeroyok tiga puluh orang Khong-sim Kai-pang yang memendam atas kematian seorang temannya. Terjadi pertempuran dan biarpun aku merobohkan dan melukai banyak di antara mereka, namun aku menjaga sehingga tidak seorang pun tewas. Aku lalu pergi langsung mencari Yu Jin Tianglo, menceritakan semua urusan itu. Yu Jin Tianglo marah sekali kepada anak buahnya, malah menghukum mereka dengan penurunan tingkat. Urusan itu sudah beres sampai... setengah bulan yang lalu..."

   Sampai disini Tan Hui berhenti dan wajahnya memperlihatkan kemuraman.

   "Lalu mereka mengganggumu? Kalau hanya pengemis-pengemis itu saja, takut apakah? Biar mereka datang mencari mati. Yu Jin Tianglo kalau membela anak buahnya yang mencari perkara, dia pun tidak benar dan perlu diberi hajaran!"

   Tan Hui tercengang keheranan menyaksikan Lu Sian bicara penuh semangat dan marah-marah. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan Lu Sian, mengapa gadis ini menjadi begitu marah?

   "Sungguh tidak enak terhadap Yu Jin Tianglo..."

   "Tidak enak bagaimana? Anak buahnya yang tak tahu aturan yang mencari-cari perkara! Apakah kau takut menghadapi orang tua itu? Tan-enghiong, jangan kuatir, aku akan membantumu. Aku tidak takut menghadapi orang tua itu kalau ia banyak bertingkah membantu anak buahnya yang tidak benar!"

   Tan Hui tentu saja tidak mengenal watak Lu Sian maka ia makin terheran-heran. Memang watak Lu Sian amat ganas menghadapi orang-orang yang ia anggap memusuhinya atau memusuhi orang yang disukainya. Dan Tan Hui otomatis telah menarik perhatiannya dan menimbulkan rasa sukanya! Dengan muka masih terheran Tan Hui bangkit berdiri dan menjura.

   "Terima kasih atas perhatian Nona terhadap perkaraku."

   "Ah, kita sudah menjadi sahabat. Bukankah kau katakan tadi bahwa kita orang segolongan? Tak perlu sungkan-sungkan lagi."

   Jawab Lu Sian. Tan Hui duduk kembali dan menarik napas panjang, lalu menghirup araknya.

   "Persoalannya tidaklah begitu sederhana. Kalau hanya para anggota Khong-sim Kai-pang yang masih penasaran, hal itu tidaklah menguatirkan. Akan tetapi dua pekan yang lalu... aku hidup sebatang kara, mengapa mereka mengganggu anakku? Mereka menculik anakku yang baru berusia lima tahun..."

   Lu Sian terkejut dan merasa agak kecewa.

   "Tan-enghiong! Kau bilang hidup sebatang kara... tapi kau... mempunyai anak?"

   Melihat kekagetan orang, Tan Hui tersenyum duka.

   "Memang aku sebatang kara... semenjak isteriku meninggal dua tahun yang lalu. Aku seorang duda dengan seorang anak yang kutitipkan kepada pamannya. Itu pula sebabnya orang-orang jahat itu dapat menculik puteriku. Kalau dia berada bersamaku, tak mungkin mereka dapat melakukannya! Ah, aku menyesal sekali mengapa aku suka merantau seorang diri dan menitipkan kepada kakak isteriku. Pada suatu malam, serombongan anggota Khong-sim kai-pang mendatangi rumah itu dan menggunakan kekerasan menculik pergi anakku. Iparku tidak dapat berbuat apa-apa dan mereka meninggalkan pesan bahwa kalau aku menghendaki anakku selamat, aku harus menyerahkan diri kepada mereka!"

   "Ah... begitukah? Jahanam benar mereka! Dimanakah adanya Yu Jin Tianglo sekarang? Dia seoranglah yang harus bertanggungjawab menghadapi semua ini. Minta anak itu dari tangannya, kalau tidak diberikan, berarti dia menantang!"

   "Markas Khong-sim Kai-pang berada di kota Kang-hu, hanya dua puluh li dari sini jauhnya. Adapun Yu Jin Tianglo biasanya berdiam dalam sebuah kuil tua diluar kota itu. Karena itu pula aku hari ini sampai disini, siapa tahu, agaknya Yu Jin Tianglo sudah menyuruh anak buahnya sengaja datang untuk menentang!"

   "Tak usah takut! Kita serbu saja ke sana. Mari kita ke sana, aku akan membantumu, Tan-enghiong!"

   "Nona Lu..., bukan aku tidak menghargai penawaran mu yang amat berharga itu. Akan tetapi... urusan ini mengenai pribadiku sendiri, sedangkan Yu Jin Tianglo amat lihai, belum lagi anak buahnya yang banyak..."
(Lanjut ke Jilid 14)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
"Aku tidak takut!"

   "Aku percaya, Nona. Kepandaianmu tinggi. Akan tetapi... aku seorang duda yang mencari anaknya, sedangkan kau... kau seorang Nona terhormat, seorang gadis muda yang baru saja kujumpai. Kalau orang luar melihat, tentu... ah, kiranya amat tidak baik untuk namamu kelak...."

   Tiba-tiba Lu Sian serentak bangun berdiri, alisnya berkerut matanya berkilat.

   "Apa peduliku akan pendapat orang luar! Aku suka membantumu, siapa melarangku? Tentang kau seorang duda, apa salahnya? Aku pun seorang... janda! Kita maju bersama untuk menghadapi Khong-sim Kai-pang, seorang duda dan seorang janda mana yang lebih cocok lagi?"

   Tan Hui tertegun dan diam-diam berdebar hatinya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita begini cantik jelita, begini berani dan terbuka, kata-kata yang keluar dari mulutnya mencerminkan isi hatinya, tinggi ilmu silatnya. Seorang janda pula! Pada saat itu terdengar bentakan dari luar rumah makan.

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Orang she Tan! Keluarlah dan lekas berlutut untuk kami tangkap dan hadapkan kepada ketua kami!"

   "Hemm, mereka benar-benar amat tak sabar. Heran aku mengapa Khong-sim Kai-pang dalam waktu setahun telah begini berubah!"

   "Kau lihat saja bagaimana aku menghajar mereka!"

   Sekali menggerakkan kakinya Lu Sian sudah meloncat keluar menghadapi dua orang pengemis tua yang berdiri didepan rumah makan. Akan tetapi Lu Sian mendengar desir angin dan tahu-tahu Tan Hui sudah pula berada disampingnya. Kembali ia kagum bukan main dan harus ia akui bahwa nama besar Hui-kiam-eng sebagai jago gin-kang nomor satu benar-benar bukanlah omong kosong belaka. Ia tadi sudah sengaja mengerahkan ilmunya meringankan tubuh ketika meloncat, sebagian untuk pamer kepada Tan Hui, juga untuk membikin jerih kedua orang pengemis tua. Siapa kira, gerakannya itu bagi Tan Hui agaknya kurang cepat karena dalam sekejap mata ia tersusul!

   "Nanti dulu, adik Sian!"

   Bisik Tan Hui yang kini tidak tahu harus menyebut apa kepada Lu Sian. Menyebut Nona tidak tepat karena Lu Sian ternyata bukan seorang gadis, melainkan seorang janda seperti pengakuannya. Menyebut Nyonya, wanita ini masih amat muda, maka ia merasa paling tepat menyebut adik saja.

   "Biarkan aku bicara dulu dengan mereka."

   Tanpa memberi kesempatan kepada Lu Sian yang hendak membantah, Tan Hui sudah menjura kepada dua orang pengemis tua itu sambil berkata,

   "Melihat ikat pinggang putih yang Jiwi (Tuan Berdua) pakai, kiranya Ji-wi termasuk pimpinan Khong-sim Kai-pang, aku dapat bicara dengan baik, tidak seperti tiga orang anggotanya tadi yang datang-datang lantas menyerang. Mungkin Ji-wi sudah tahu bahwa diantara Khong-sim Kai-pang dan aku, tidak ada urusan permusuhan semenjak aku bertemu dengan Yu Jin Tianglo setahun yang lalu. Oleh karena itu, kuharap Ji-wi suka menghadapkan aku kepada orang tua itu agar urusan diantara kita dapat diselesaikan baik-baik. Ingin benar aku mendengar kata-kata orang tua itu tentang main-main dari Khong-sim Kai-pang dengan anakku ini!"

   Didalam ucapan Tan Hui ini, biarpun terdengar sopan dan lunak, namun terkandung kekerasan tersembunyi, sehingga sama sekali tak boleh dikatakan pendekar ini merendahkan diri. Betapapun juga, Lu Sian tidak puas. Menurut kata hatinya, lebih baik menggunakan pedang daripada menggunakan lidah dalam menghadapi orang-orang macam itu. Dua orang pengemis itu sudah tua, usia mereka lima puluh tahun lebih. Keduanya bersikap sombong dan memandang rendah, apalagi yang memegang tongkat berbentuk ular. Mukanya yang penuh keriput itu kelihatan pucat, akan tetapi selalu membayangkan senyum mengejek dan pandang matanya seperti pandang mata seorang bangsawan melihat pengemis. Dengan gerakan mulut yang kedua ujungnya ditarik ke bawah, Si Tongkat Ular ini berkata,

   "Inikah orang muda sombong bernama Tan Hui yang telah membunuh dan menghina anak buah Khong-sim Kai-pang?"

   Sambil berkata demikian, ia menggoyang-goyangkan tongkatnya berbentuk ular itu di depan dada dengan gerakan penuh aksi! Akan tetapi pengemis kedua yang mempunyai kepala besar sekali, sikapnya biar sombong namun lebih sungguh-sungguh dan berwibawa. Ia berkata dengan suara membayangkan ketinggian hati.

   "Hui-kiam-eng Tan Hui! Setahun yang lalu kau menggunakan kelemahan bekas pangcu (ketua) kami, mengandalkan kepandaian untuk membunuh dan menghina anak buah kami. Sekarang, kami telah mempunyai pangcu baru yang tidak mau membiarkan Khong-sim Kai-pang dihina orang. Oleh karena itu, kalau kau menghendaki anakmu selamat, pangcu kami minta kau datang menghadap kepada beliau di Kang-hu!"

   Setelah berkata demikian, pengemis berkepala besar ini membalikkan tubuh hendak pergi.

   "Heh-heh, mungkin dengan minta-minta ampun dan mengajak dia ini menghadap Pangcu, kau akan diampuni!"

   Kata Si Pengemis Bertongkat Ular yang lalu membalikkan tubuh pula, kemudian dengan langkah dibuat-buat ia meninggalkan tempat itu, setelah melirik-lirik kearah Lu Sian.

   Tan Hui terkejut sekali dan termenung. Kiranya Yu Jin Tianglo sudah tidak menjadi Ketua Khong-sim Kai-pang, sudah diganti. Pantas timbul urusan ini, pikirnya. Akan tetapi, kemanakah perginya Yu Jin Tianglo? Dan siapa penggantinya? Ia harus lekas-lekas datang ke Kang-hu dan semua pertanyaan itu tentu akan terjawab. Terhadap sikap dua orang pengemis tua itu, Tan Hui sama sekali tidak ambil peduli. Boleh jadi Tan Hui menganggap mereka itu tidak perlu dilayani. Akan tetapi tidak demikian dengan Lu Sian. Dia masih dapat menahan kesabarannya melihat dua orang itu memandang rendah Tan Hui, akan tetapi ketika pengemis kurus bertongkat ular itu membawa-bawa dia yang jelas sekali mengandung maksud kotor dan kurang ajar, mana mungkin Lu Sian berlaku sabar lagi?

   "Eh, eh, nanti dulu, Lo-kai (Pengemis Tua) yang baik, aku mau bicara denganmu!"

   Dengan langkah cepat Lu Sian mengejar. Tan Hui mengerutkan keningnya. Sahabat barunya ini benar-benar seorang wanita yang tidak tahu bahaya, pikirnya. Melihat ikat pinggang putih lebar yang dipakai kedua orang pengemis itu, terbukti bahwa mereka adalah pimpinan Khong-sim Kai-pang dan sudah terkenal bahwa para pimpinan Khong-sim Kai-pang adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi. Sekelebatan saja ia tadi dapat menerka bahwa Si Kepala Besar adalah seorang ahli lwee-kang yang amat kuat, sedangkan Si Kurus itu agaknya seorang ahli bermain ilmu tongkat.

   Ia dapat menduga bahwa Lu Sian tentu hendak mencari perkara, maka diam-diam ia merasa kuatir, akan tetapi juga ingin sekali ia tahu sampai dimana kelihaian dua orang pengemis itu dan terutama wanita yang menarik hatinya ini. Tadi ia hanya menaksir kelihaian Lu Sian melihat cara ia menyambit dengan sumpit, akan tetapi sesungguhnya hal itu belum dapat dijadikan ukuran. Karena keinginan tahu inilah maka ia tidak menghalangi Lu Sian, melainkan mendekat agar dalam waktu keadaan berbahaya, ia dapat memberikan pertolongan dengan cepat. Kedua orang pengemis itu berhenti, Si Kepala Besar tidak bergerak, hanya membalikkan tubuhnya, akan tetapi Si Kurus sudah melangkah lebar menghadapi Lu Sian sambil memutar-mutar tongkat ularnya dan menyeringai.

   "Nona mau bicara apakah?"

   Ia melangkah maju sampai dekat sekali sehingga terpaksa Lu Sian mundur dua langkah.

   "Harum... sedap...!"

   Si Pengemis mengembang-kempiskan hidungnya karena memang tercium keharuman luar biasa ketika ia mendekati Lu Sian. Diam-diam Tan Hui mendongkol sekali terhadap pengemis itu. Memang ia sendiri diam-diam sudah menjadi heran ketika ia mencium keharuman dari tubuh Lu Sian, akan tetapi mendengar seruan kurang ajar itu ia merasa panas dadanya. Benar-benar tidak patut sikap seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang seceriwis itu! Lu Sian sengaja melempar senyum manis, matanya bergerak-gerak dengan kerling tajam, kemudian ia berkata,

   "Orang tua yang baik, kau tadi bilang kepada Tan-enghiong supaya mengajak aku menghadap pangcumu agar mendapat pengampunan, apa artinya itu?"

   Si Pengemis tertawa ha-hah-he-heh.

   "Nona seorang yang cantik luar biasa seperti bidadari, harum seperti mawar hutan. Pangcu baru kami masih muda, tentu girang hatinya bertemu dengan orang seperti Nona, dan mungkin kemarahannya terhadap orang she Tan akan mencair."

   Di dalam hati Lu Sian mendongkol. Siapa sudi mendapat pujian dari seorang kakek jembel buruk seperti ini? Akan tetapi wajahnya yang jelita itu tersenyum manis.

   "Pengemis tua, kau seorang pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu lihai dan terkenal sekali. Bolehkah aku mendengar namamu yang mulia dan terkenal?"

   Si Kurus kegirangan, terkekeh sampai keluar air matanya.

   "Wah, namaku sih tidak terlalu besar akan tetapi di dunia kang-ouw tentu cukup dikenal, cukup menggemparkan. Julukanku adalah Sin-coa Koai-tung (Tongkat Aneh Ular Sakti)!"

   Kakek jembel itu mengharapkan Lu Sian menjadi kagum, akan tetapi ia sejenak tercengang ketika melihat gadis itu bertepuk tangan memuji. Hanya sejenak ia bingung melihat cara menyatakan kagum seperti ini, akan tetapi hatinya lalu membengkak besar saking bangganya.

   "Hebat, Kakek Jembel, hebat namamu! Pantas kau goyang-goyang selalu tongkatmu seperti ular itu! Kiranya julukanmu Ular Sakti. Wah, hebat, seperti halilintar ditengah hari panas!"

   Kembali pengemis itu melengak.

   "Seperti halilintar di tengah hari? Wah, baru sekali ini aku mendengar pujian begitu."

   "Kau tahu, bukan? Halilintar yang menyambar-nyambar mengeluarkan suara keras, takkan mendatangkan hujan! Namamu seperti gentong kosong berbunyi nyaring! Seperti perut kosong kebanyakan angin, maka angin busuk pula yang dikeluarkan!"

   Tan Hui tak dapat menahan senyumnya. Wah, Lu Sian ini terlalu berani, terlalu bebas dan liar, akan tetapi juga terlalu... menarik hati! Sebaliknya, Sin-coa Koai-tung marah bukan main. Tahulah ia sekarang bahwa ia telah dipermainkan oleh wanita cantik ini.

   "Uh-uh, bocah kemarin sore berani kau memandang rendah tongkatku dan nama besarku?"

   "Ah, sama sekali tidak. Sin-coa Koai-tung! Hanya mengingat nama julukanmu istimewa, tentu kau pun mempunyai keistimewaan pula."

   "Memang, aku mempunyai dua keistimewaan. Pertama, sekali tongkatku ini bergerak, jiwa seorang manusia melayang! Dan sekali aku melihat wanita sejelita seperti kau ini, sekaligus hatiku lemas!"

   Ternyata kakek ini tidak hanya lihai julukannya, juga lihai pula mulutnya sehingga serentak ia mampu membalas. Namun ia menghadapi Liu Lu Sian, gadis yang lincah jenaka, liar ganas dan pandai bicara.

   "Sayang sekali, tua bangka jembel, mulai hari ini julukanmu akan terganti dengan Tongkat Buntung Ular Buduk!"

   Kata-kata ini ditutup dengan gerakan tangan dan "singgg!"

   Pedang Toa-hong-kiam sudah berada ditangan kanan sedangkan tangan kirinya disaat itu juga sudah mengipatkan tujuh batang Siang-tok-ciam yang hanya tampak sebagai kilatan sinar merah menuju semuanya kearah muka Si Pengemis Kurus!

   "Aiiihhh!"

   Pengemis itu kaget bukan main, akan tetapi ia lihai, karena dalam kegugupannya, tongkatnya sudah diputar cepat melindungi mukanya sehingga jarum merah itu kena dipukul runtuh.

   "Monyet tua, makan pedangku!"

   Lu Sian sudah menerjang lagi dengan pedangnya. Ia menggunakan Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-hoat, cepatnya bukan main, dahsyat bagaikan angin badai, sesuai dengan sifat dan namanya. Seperti badai mengeluarkan kilat bertubi-tubi, dalam serentetan serangan pedangnya sudah menyambar ke arah lima jalan darah berturut-turut!

   "Eh... orang...! Oh... ting... cring-cring-cring....!"

   Lima kali pengemis itu menangkis dengan tongkatnya, keringat dingin mengucur membasahi mukanya karena hampir saja ia tak dapat menahan serbuan hebat itu. Baiknya ilmu tongkatnya memang lihai maka setelah berhasil menangkis lima kali sambil mengeluarkan seruan kaget, ia melompat kebelakang menjauhkan diri agar terlepas daripada rangkaian kilat menyambar itu. Lu Sian berdiri tersenyum memandang dengan sinar mata berseri-seri mengejek.

   "Ular Buduk, apakah kau tidak lekas berlutut minta ampun?"

   Kalau tadinya pengemis kurus tua itu tertarik oleh kecantikan Lu Sian yang berhasil membangkitkan darah tuanya yang sudah hampir mendingin, kini kakek itu menjadi demikian marahnya sehingga serasa dadanya hampir meledak dan ia mengeluarkan kata-kata. Setelah menelan ludah beberapa kali, barulah ia berteriak-teriak.

   "Bocah setan, agaknya kau sudah bosan hidup!"

   Berkata demikian ia lalu memutar tongkatnya dan menerjang maju.

   Tongkatnya menusuk dengan gerakan aneh dan karena ujung tongkat yang bergerak-gerak tak menentu itu sukar diduga kemana hendak menyerang. Sejak tadi Tan Hui melongo kagum menyaksikan kehebatan ilmu pedang dan ilmu melepas jarum wanita itu. Kini ia makin kagum lagi setelah menyaksikan betapa Lu Sian menghadapi tongkat yang digerakkan sedemikian lihainya dengan cara sembarangan dan main-main saja. Pedang ditangan Lu Sian membentuk garis-garis segi delapan seperti pat-kwa. Akan tetapi anehnya, kemana pun ujung tongkat pengemis itu meluncur, ia pasti bertemu dengan garis pedang sehingga tongkatnya terpental kembali.

   "Hebat wanita ini!"

   Diam-diam Tan Hui berpikir. Ia mencoba untuk memperhatikan dan mengenal ilmu pedang itu, namun sia-sia. Sifatnya seperti Pat-kwa-kun, akan tetapi ada kalanya mirip Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat yang tersohor, namun ini hanya mirip belaka karena sifatnya benar amat berlainan.

   Ilmu pedang ini aneh dan menyembunyikan sifat yang amat ganas. Dalam waktu singkat saja Sin-coa Koai-tung merasai keganasan ini karena tiba-tiba garis-garis itu berobah menjadi lingkaran berputar-putar dan tiba-tiba dari kedudukan mempertahankan, pedang itu berobah menjadi fihak penyerang karena setiap tangkisan dilanjutkan dengan tusukan yang kesemuanya mengarah bagian berbahaya. Mulailah pengemis itu terdesak dan celakanya, tangan kiri Lu Sian terus menerus bergerak, sekali bergerak menyambarlah sebatang jarum merah yang berbau wangi. Sambaran jarum dibarengi tusukan pedang. Serangan Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat ciptaan Pat-jiu Sin-ong saja sudah hebat apalagi kini ditambah dengan serangan Siang-tok-ciam, tentu saja ia menjadi repot sekali.

   "Menarilah, Ular Buduk, menarilah!"

   Lu Sian berkata mengejek dan menyerang makin gencar dengan jarum dan pedangnya.

   Sengaja ia menutup jalan bawah dengan serangan jarum bertubi-tubi sedangkan pedangnya merangsang kearah muka sehingga keadaan pengemis itu seperti seekor kera dikeroyok tawon. Ia meloncat-loncat menghindarkan kakinya dari sambaran jarum, sedangkan sedapat mungkin ia melindungi mukanya dari ancaman pedang dengan pemutaran tongkatnya yang sudah tidak karuan lagi gerakannya! Tiba-tiba Lu Sian membentak, disusul teriakan kesakitan. Cepat sekali hal ini terjadi, tahu-tahu pengemis itu roboh dengan paha tertusuk jarum dan telinganya menggelinding kedekat kaki Lu Sian dan sekali bacok, tongkat itupun buntung!

   "Nah, bukankah kau sekarang menjadi Tongkat Buntung Ular Buduk?"

   Lu Sian mengejek. Kebetulan saat itu Lu Sian berdiri membelakangi pengemis kepala besar, dan agaknya ia tidak tahu betapa dengan penuh kemarahan kakek pengemis itu sudah melompat maju dan mengirim pukulan dengan tangan kosong yang menimbulkan angin bersiutan! "Jangan curang!"

   Tiba-tiba Tan Hui berseru. Tempat ia berdiri cukup jauh, akan tetapi sekali kakinya menjejak tanah, tubuhnya berkelebat cepat luar biasa dan di lain saat ia telah menangkis pukulan jarak jauh yang dilakukan pengemis kepala besar.

   "Dukkk!"

   Dua buah lengan yang kuat bertemu dan terus menempel. Alangkah kaget hati Tan Hui ketika mendapat kenyataan betapa lengannya seakan-akan lekat dan tak dapat ditarik kembali. Ia maklum bahwa pengemis itu mempergunakan lweekang yang amat tinggi, maka terpaksa ia pun lalu mengerahkan lweekangnya untuk melawan.

   Mereka bertanding tanpa bergerak, hanya kedua lengan saling tempel, saling mendorong dengan pengerahan tenaga lweekang. Pertandingan macam ini selalu lebih berbahaya daripada pertandingan ilmu silat yang setiap serangan masih dapat dielakkan. Akan tetapi adu tenaga macam ini, yang kalah tentu akan menderita luka dalam yang amat berbahaya. Ketika merasa betapa tenaga pengemis itu benar-benar amat kuat, makin lama dorongan dan tekanannya makin berat, diam-diam Tan Hui mengeluh. Kalau mengandalkan ilmu silat, kiranya takkan sukar mengalahkan lawan ini, akan tetapi sekarang sudah terlanjur mengadu tenaga, sukar baginya untuk mundur lagi. Maju payah, mundur berbahaya! Terpaksa ia nekat dan mengerahkan terus tenaga dalamnya.

   "Koko, mengapa begini sabar melayani dia?"

   Tiba-tiba Lu Sian berkata halus dibelakang Tan Hui sambil menepuk pundak pendekar itu. Tan Hui kaget. Tepukan itu biarpun perlahan namun dapat mengganggu pengerahan tenaga lweekangnya, karena tepukan itu agaknya mengarah punggung dekat pundak. Namun untuk menghindarkan diri tak mungkin. Celaka, pikirnya, apakah Lu Sian ini hendak mencelakai aku? Tapi suaranya begitu merdu, panggilannya "koko"

   Begitu mesra.

   "Plakkk!"

   Benar-benar Lu Sian menepuk punggungnya, tepat dimana hawa sin-kang lewat dan menjurus kelengannya yang menempel dengan lengan lawan. Akan tetapi anehnya, tenaganya bukannya buyar melainkan menjadi makin kuat dan tahu-tahu kakek berkepala besar itu mencelat kebelakang sampai tiga meter jauhnya, lalu bergulingan beberapa kali baru meloncat berdiri dengan muka pucat!

   "Kalian yang curang!!"

   Kakek itu memaki dan begitu kedua tangannya bergerak, ia sudah menyambar sebuah batu besar disampingnya dan melontarkannya kearah Tan Hui dan Lu Sian.

   Batu itu besar sekali, beratnya tentu tidak kurang dari lima ratus kati, akan tetapi tidak begitu mudah dilontarkan seperti orang melontarkan sekepal batu saja! Hebat serangan ini, karena jarak diantara mereka hanya empat meter sedangkan batu itu menyambar amat cepat. Lu Sian berseru keras dan tubuhnya lalu ia banting kebelakang, terus ia bergulingan menjauhi tempat itu. Ia melihat dengan penuh kekaguman betapa tubuh Tan Hui mencelat kedepan agak tinggi dan tepat pendekar itu hinggap diatas batu yang menyambar lewat, seperti seekor burung saja gerakan ini, kemudian ia "menunggang"

   Batu itu dan ketika batu jatuh ketanah, ia pun meloncat turun!

   "Wah, kalau aku memiliki ginkang seperti itu, barulah puas hidupku!"

   Tanpa terasa lagi Lu Sian berseru penuh kekaguman. Kakek berkepala besar itu telah menderita luka dalam. Ia menjura lalu berkata,

   "Hui-kiam-eng, kepandaianmu dan temanmu memang hebat. Akan tetapi kalau kau berani mendatangi tempat pangcu kami di Kang-hu untuk menerima puterimu atau menerima kematiamu, barulah kami benar-benar kagum!"

   Ia lalu menghampiri temannya yang masih merintih-rintih, dan menyeretnya pergi dari situ.

   "Adik Lu Sian, hebat bukan main kepandaianmu! Benar-benar tak pernah kusangka. Kiam-hoatmu aneh dan hebat, adapun tenaga lweekangmu... ah, benar-benar aku seperti tidak bermata tak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang pendekar wanita yang sakti!"

   Lu Sian tersenyum, girang sekali hatinya.

   "Ah, Tan Hui Koko, mengapa kau begitu memuji setinggi langit? Kalau mau bicara tentang kelihaian, kaulah orangnya. Terutama sekali ginkangmu, benar-benar membuat aku tunduk dan kagum. Kalau saja aku dapat memiliki ginkang seperti itu, ahh.. alangkah akan bahagia hatiku."

   "Bagi seorang seperti kau ini, Adik Lu Sian, tidak ada lagi yang tak mungkin didunia. Apa sukarnya mempelajari ginkang bagi kau yang sudah mampu mempelajari ilmu silat sehebat itu?"

   "Benarkah? Benarkah, Kakak yang baik? Kau suka untuk mengajarkan ginkangmu kepadaku? Ah, terima kasih... kau baik sekali, baik sekali..."

   Saking girangnya Lu Sian memegang lengan Tan Hui dengan kedua tangannya. Sejenak mereka berdiri seperti itu, mata saling pandang, dan didalam hati masing-masing makin tertarik. Semenjak dua tahun yang lalu isterinya meninggal dunia karena sakit, Tan Hui hidup penuh dengan kesunyian.

   Hal itu biarpun amat mendukakan hatinya, namun dapat ia tahan, karena Tan Hui adalah seorang jantan yang berbatin kuat. Tidak mudah hatinya tergoda oleh kecantikan wanita, maka selama ini ia pun tinggal menduda, sedikit pun tidak pernah menoleh kearah wanita lain, menekuni kesunyian hidupnya. Akan tetapi pertemuannya dengan Lu Sian ini adalah luar biasa. Wanita ini luar biasa cantiknya, luar biasa pula kepandaiannya. Tidaklah heran kalau Tan Hui menjadi tertarik. Hati seorang kakek pendeta sekalipun mungkin akan tergetar kalau melihat Lu Sian yang cantik jelita, yang semerbak harum, berlagak memikat hati. Bagi Tan Hui, Lu Sian merupakan wanita yang amat menarik, apalagi kalau diingat bahwa mendiang isterinya adalah seorang wanita lemah, berbeda sekali dengan Lu Sian ini yang dalam hal kepandaian, tidak berada disebelah bawah tingkatnya sendiri!

   

Bu Kek Siansu Eps 21 Pedang Penakluk Iblis Eps 30 Tangan Geledek Eps 14

Cari Blog Ini