Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 21


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 21



"plak-plak-plak-plak!"

   Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada Si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas. Tubuh Si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak kekanan kiri, kebelakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi, kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol keluar, hidungnya remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!

   "Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani maju!"

   Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.

   Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas sekali. Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu melihat kawannya dihajar setengah mati, menjadi kaget dan marah. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan "sratt-sratt-sratt!"

   Tangan mereka telah mencabut golok.

   "Awas...! Lari...!!"

   Pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu. Namun terlambat! Sinar merah mernyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya kearah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar kearah pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!

   "Ah, jarum beracun yang hebat!"

   Pamuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah ditangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata.

   "Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."

   Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin.

   "Hemm, kau memiliki kepandaian juga!"

   Katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu.

   "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?"

   Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam. Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya.

   "Sama sekali bukan, Nona. Sobodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."

   Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia dengan jujur dan berani, senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.

   "Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?"

   Tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat tampan dan benuk tubuh yang tegap dan padat.

   "Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."

   Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir balik didalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini, dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut. Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata,

   "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"

   Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.

   "Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"

   Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.

   "Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?"

   Yap Kwan Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu. Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang mukanya dirusak oleh Lu Sian tadi, meninggalkan rumah penginapanKarena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut, Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu. Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata,

   "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan kamarku. Percayalah, tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama kedua suhengku yang belum datang. Kami bertiga memakai kamar besar."

   Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus, memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan, amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu.

   "Terima kasih. Kau baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku, maka aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."

   Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepat-cepat menjura menghaturkan terima kasih.

   "Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona."

   Katanya hormat. Lu Sian mengangguk dan memanggil pelayan.

   "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang, pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat kekamarku."

   "Baik, Li-hiap, baik..."

   Pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang. Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul keluar dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak-gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian tampan, ia demikian tangkas.

   "Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."

   Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya didalam kamar, mulut belum berkata apa-apa, mata sudah saling pandang dan sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan lalu muka pemuda itu menjadi merah sekali, ia menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya. Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir.

   "Saudara Yap memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."

   Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab.

   "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri, menjadi amat kagum."

   Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang muda itu. Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum,

   "Dalam pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat mengatur tentang sebutan."

   Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang.

   "Tahun ini usiaku dua puluh satu tahun."

   "Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"

   Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura.

   "Lu-cici (Kakak Lu)!"

   Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar,

   "Yap-te yang baik...!"

   Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar mata mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi lama kelamaan ada unsur kesengajaan! Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan, ia berkata,

   "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun sudah memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"

   "Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah diantara murid-murid Siauw-lim-pai."

   "Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?"

   Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia tertawa dan berdiri sambil memberi hormat.

   "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang pendekar besar dari Siauw-lim!" "Lu-cici jangan metertawakan Siauw-te!"

   Pemuda itupun berdiri dan tertawa.

   "Kau membikin aku menjadi kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang bodoh."

   Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.

   "Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai dan semenjak kecil, aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauw-lim-pai!"

   "Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andaikata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat kesana! Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."

   Lu Sian menarik napas panjang.

   "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan mellihat sendiri? Aku bisa melihat-lihat dengan meminjam sepasang matamu yang awas."

   Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun tertawa. Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.

   "Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua Siauw-lim-pai sendiri."

   "Kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan, Adik yang gagah?"

   Yap Kwan Bi mengangguk.

   "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang ilmu samadhi melatih napas."

   "Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk kesana sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cicimu ini masuk sebentar saja kesana?"

   Pemuda itu bergidik.

   "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ketempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan kuantarkan. Akan tetapi keruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan sama sekali tidak boleh dibuat main-main di sana. Para Suhu amat keras dan lihai."

   Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan sebelah dalam ruangan Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi.

   "Berapa banyakkah kita-kitab didalam kamar kitab itu?"

   Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang samadhi berada di rak terbawah, kemudian Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini. Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai, yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala macam ilmu menotok jalan darah. Maka ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di ujung kiri, hatinya berdebar.

   "Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"

   "Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini, Lu-cici."

   Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali Si Jelita mengisi cawan araknya.

   Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi dan ketika Lu Sian mengulur tangan kirinya diatas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biarpun bersentuhan hanyalah ujung jari pada punggung tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai pusat pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan dilain saat sepuluh buah jari tangan mereka sudah saling cengkeram!

   "Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda daripadaku. Kau paling banyak delapan belas tahun..."

   Pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya berpusing! Lu Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali lengannya. Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya memandang pemuda itu setengah terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang menggelora. Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu yang datang membakar.

   "Yap-te, aku memang lebih tua daripadamu."

   "Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biarpun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"

   Serentak perhatian Lu Sian terbangkit.

   "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku bisa berkenalan dengannya?"

   "Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, kini menjadi pendeta wanita disebut Su-nikouw, menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari kuantar!"

   "Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...."

   "Mandi? Air persediaan dirumah penginapan ini hanya sedikit, itupun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah barat, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal bibi guru Su-nikouw, terdapat telaga kecil disebuah hutan. Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi disana."

   Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri.

   "Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana, mandi lalu mengunjungi bibi gurumu Su-nikouw!"

   Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan, jalan yang merekal lalui licin.

   "Hati-hati, jalannya licin..."

   Baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan Bi tidak cepat memeluknya.

   "Eh, hampir jatuh aku..."

   Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya.

   "Heee, Yap-te, mengapa kau ini....?"

   Tegurnya, pura-pura marah. Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik didekat telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil.

   "Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu, Lu-cici!"

   Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.

   "Aihhh, kiranya kau nakal!"

   Kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga. Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis.

   Sejenak Yap Kwan Bi tertegun, kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan Bi. Andaikata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama sekali oleh kekurangan pengalamannya.

   "Yap-te, mari kita mandi!"

   Seru Lu Sian dengan suara gembira Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku diatas tanah, tak kuasa bergerak maupun membuka suara, matanya memandang kearah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya.

   Betapa tidak? Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada disitu, menanggalkan pakaian luar dan kaus serta sepatu, kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar lalu meloncat kedalam air! Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat kedalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawa-tawa dan bermain-main dengan air yang jernih ditengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan tangan Lu Sian sambil berkata,

   "Lu-cici, kau ... tidak marah kepadaku?"

   "Marah? Kenapa mesti marah?"

   Kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.

   "Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"

   "Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!"

   Jawab Lu Sian manja, dan ia kelihatan cantik luar biasa dibawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit turun dan mandi di telaga ini.

   "Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!"

   Kwan Bi memeluk, merangkul dan mencium.

   "Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!"

   Lu Sian merenggutkan diri terlepas dari pelukan, tertawa-tawa menggoda membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora gairahnya.

   "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan suka menolongku."

   "Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekalipun, aku pasti akan memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu,"

   Kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan tubuh menggigil saking hebatnya golombang nafsu membakarnya.

   "Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan meminjamnya. Maukah kau menolongku?"

   Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi.

   "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"

   Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek,

   "Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?"

   Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat, duduk di atas rumput. Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi Seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa didunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriak-teriak dalam kerinduan membutuhkan si jelita!

   "Lu-cici..., tunggu dulu!"

   Serunya sambil mengejar, berenang kedarat. Diam-diam Lu Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekalipun ia akan merasa senang bersahabat dengan Yap Kwan Bi si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku."

   Lu Sian pura-pura marah dan membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin menonjol keindahannya. Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung didepannya.

   "Lu-cici... aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."

   "Jadi kau mau menolongku?"

   Tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja tubuhnya mendekat dari rambut serta tubuhnya semerbak bau harum dan wangi yang khas! Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.

   "Tentu, Lu-cici. Biarpun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu merupakan kebahagiaan bagiku."

   Suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian. Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi ciuman mesra dengan bibirnya.

   "Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau."

   Kemudian ia menjauhkan diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya.

   "Nanti dulu, Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si? Padahal disana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."

   "Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si. Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu. Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si tidak terjaga. Adapun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itupun yang dijaga hanya sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga disana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"

   Girang sekali hati Lu Sian.

   "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita untuk..."

   Lu Sian mengerling tajam.

   "...untuk bersenang-senang bersama bukan?"

   Lu Sian tersenyum.

   "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah disudut hatimu ada maksud itu?"

   Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara sungguh-sungguh,

   "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali kesana bersama, Lu-cici, orang-orang tentu akan menaruh curiga. Disinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali disini?"

   Yap Kwan Bi memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja. Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi.

   "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak memperkenalkan aku kepada bibi gurumu Su-nikouw?"

   Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain didunia ini baginya kecuali berdua-dua dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil Kwan-im-bio.

   Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-im-bio yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik, wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus, akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya, wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali dan timbullah keinginan dihati Lu Sian untuk mendapatkan ilmu awet muda ini.

   "Eh, Kwan Bi, kau kah ini? Darimana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di Siauw-lim-si?"

   Yap Kwan Bi sudah memberi hormat lalu menjawab,

   "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan KeTiga dan KeLima) untuk bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa."

   Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.

   "Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!"

   Nikouw itu mengangkat kedua tangan didepan dada. Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata,

   "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."

   "Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus bagian yang dapat pinni miliki."

   "Melawan usia tua dan berhasil merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi kebanggaan kaum wanita,"

   Kata Lu Sian.

   "Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"

   Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Kemanakah mereka pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulat-bulat kepada nafsu mereka sendiri, dan semalam itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan bermabok-mabokan dibuai nafsu, didekat telaga dalam hutan. Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja bertemu seorang wanita seperti Lu Sian, dia benar-benar jatuh. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama sekali bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa.

   Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat, perjinaan yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan, lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria. Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapapun juga dia, harus dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk dipermainkan atau dipatahkan cintanya kemudian! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau tunduk kepada cinta nafsu, hanya untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta, sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!

   Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu, terdiri dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir Ketua Siauw-lim-pai yang keseratus tahunnya! Kian Hi Hosiang, Ketua Siauw Lim Pai, sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat, berkat keuletannya dan disiplin keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani kawan ditakuti lawan.

   Kini Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun sehingga kerjanya hanya bersamadhi saja. Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu Cheng Han Hwesio murid pertama dan Cheng Hie Hwesio murid kedua. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Budha) ia sudah menjauhakan diri daripada urusan duniawi. Adapun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biarpun dalam hal disiplin sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang terkenal sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai melakukan penyelewangan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai biarpun murid murtad itu berada di tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti akan datang menangkapnya dan menghukumnya sesuai dengan peraturan persilatan Siauw-lim-pai!

   Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat luas. Adapun semua hwesio setelah terdengar bunyi kelenengan keras nyaring, berkumpul di ruangan dalam untuk mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi serem. Di barisan belakang para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap gagah bersemangat. Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu maupun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid, kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan disekeliling tembok yang memagari Siauw-lim-si.

   Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara murid-murid yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biarpun usianya masih amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak terdapat seorang manusia pun. Akan tetapi pada saat itu, kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat "tanda aman"

   Dari Yap Kwan Bi yang berjaga disitu, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun kepekarangan belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil disebelah belakang Kuil Siauw-lim-si.

   Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, diantara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andaikata tidak mendapat keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan yaitu kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri kekanan. Bangunan yang ke tujuh belas dari kiri, itulah kamar kitab! Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika ia lihat deretan kitab diatas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula dideretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling atas di ujung kiri.

   Setelah membuka dua tiga buah kitab wajahnya berseri. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya dengan hati girang ia berlompatan menuju kebelakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan cinta mesra sebagai upahnya! Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia cepat menyelinap dibalik sebuah arca penjaga taman.

   Orang yang berdiri diatas tembok itu sama sekali bukan Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan! Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun lebih, dengan gerakan ringan berdiri diatas sebelah laki-laki pertama lalu berkata perlahan.

   "Belum kelihatan?"

   "Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"

   "Dia menjaga di tembok timur."

   "Dan Yap-sute?"

   "Sudah dibawa menghadap kedepan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati akan berlaku khianat terhadap perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."

   Dua orang laki-laki itu nampak muram wajahnya dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik keatas mempergunakan kekerasan melawan para penghadangnya. Akan tetapi ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan didepan, tentu dihadapkan pada para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena dia!

   Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap diantara bangunan-bangunan itu menuju kesebelah dalam, menuju ke depan! Karena maklum bahwa ia berada ditempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada. Akan tetapi, diruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapapun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam dunia persilatan!

   Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang keluar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai. Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak seorang whesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Disebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahu lebih.

   Yang sebelah kanan berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri dibelakang kakek itu tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot. Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos keluar melalui pintu depan tanpa diketahui, dan ia sangsi apakah ia akan mampu menerobos diantara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil
(Lanjut ke Jilid 21)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
keputusan dan dengan menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya kemudian muncul keluar dari balik arca dan berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan, menuju keluar. Tentu saja gerakannya ini tidak terlepas daripada pendengaran para hwesio yang sedang berdoa.

   Namun, tepat seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka merasa terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal sebuah diantara larangan yang amat keras dari Kuil Siauw-lim-si dimanapun juga, adalah hadirnya seorang wanita ke pedalaman kuil! Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa diantara segala godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita. Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka.

   Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir di ruangan depan juga menjadi heboh. Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu keluar, akan tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu, biarpun masih banyak diantara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki kepandaian tinggi, karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang ketua Siauw-lim.

   Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Diantara anak murid yang bukan pendeta, memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama. Diantara para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak kecil hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu silat dari Kian Hi Hosiang.

   Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata tajam, tidak turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu. Akhirnya selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri. Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak,

   "Wanita dari mana berani mati memasuki kuil kami tanpa ijin?"

   Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan begitu kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang diantara mereka berseru.

   "Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!"

   Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal) ia dapat menduga bahwa dia itu tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui. Para pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut. Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata,

   "Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, diantara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori oleh permusuhan, mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami? Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan, menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab.

   "Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita, sekali terinjak kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka, menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat.

   Kiranya tidak ada apa-apanya didalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi, betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa biarpun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat peramah dan baik hati."

   Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Sungguh cocok dengan Ayahnya. Pandai dan keji, baik tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik, melihat muka Ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh pergi."

   Ia menghela napas panjang.

   "Suhu! Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini sungguh mencurigakan!"

   Kian Hi Hosiang mengangguk.

   "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun akan pelanggarannya."

   "Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawablah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"

   Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya diluar kehendaknya.

   "Heh, setan tua busuk, kalau pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"

   "Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?"

   Cheng Han Hwesio membentak dan matanya melotot. Lu Sian juga pelototkan matanya.

   "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun menyebut engkau setan tua busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita sudah punah, satu-satu?"

   Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang diantara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh, siapa nyana hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda, didepan banyak tamu! Kalau ia tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!

   "Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang membantumu?"

   Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga dibelakang tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab,

   "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk kepekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."

   "Nanti dulu!"

   Bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.

   "Eh, hwesio tua, kau mau apa?"

   Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata.

   "Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini benar-benar tak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"

   "Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi."

   Hwesio tua itu mengomel dan diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Didepan begini banyak orang, wanita berandalan ini tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang banyak.

   "Suhu,"

   Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya.

   "dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa tahu dia mengambil sesuatu?"

   Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata nyaring,

   "Losuhu, apakah orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!"

   Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai dekat.

   "Omitohud...!"

   Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat.

   "Pinceng takkan menggeledah..."

   "Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu, geledahlah aku!"

   Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.

   "Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau berdiam lebih lama lagi disini!"

   Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu. Mendadak berkelebat bayangan putih dan seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya dipunggung, kelihatan gesit dan gagah sudah menghadang di depan Lu Sian.

   "Cheng Han Suheng benar. Kau harus digeledah!"

   Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah.

   "Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini menghinaku?"

   Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab,

   "Mengapa tidak berani menggeledahmu?"

   Kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba tubuh Lu Sian.

   Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang, mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu dua jalan darah maut ditubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat kilat sehingga jalan satu-satunya bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat kebelakang secepat mungkin sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat. Lu Sian tersenyum mengejek,

   "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih menggeledah? Tak tahu malu!"

   Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai itu, apalagi mereka.

   Adapun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah memperkenankannya pergi. Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata, suaranya gemetar.

   "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima hukuman."

   "...apa...? Ada apa...?"

   Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan tersayang ini.

   "Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki pekarangan belakang..."

   "Keparat!"

   Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak kedepan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar. Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai. Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil dan pada saat itu pukulan Cheng Han Hwesio tiba, biarpun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak dan muntah darah!

   

Bu Kek Siansu Eps 15 Bu Kek Siansu Eps 21 Tangan Geledek Eps 15

Cari Blog Ini