Tangan Geledek 15
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
Sementara itu, Tiang Bu yang tadinya juga mencurahkan seluruh perhatian kepada lawannya, menjadi gugup ketika tahu-tahu dua titik hitam menyambar ke arahnya dengan tepat sekali. Baiknya Sin Hong sudah terpental mundur sehingga ia bebas. Akan tetapi saking lamanya ia mengadu tenaga tadi, tangan kanannya yang memegang ranting sampai terasa kaku dan kesemutan. Maka ia cepat mengangkat tangan kiri menyampok kelelawar yang menyerang kepalanya.
"Plak!" KeIelawar itu terlempar dan kepalanya remuk. Kelelawar ke dua sudah tiba dan tanpa dapat dicegah lagi menggigit leher Tiang Bu sebelah kiri. Akan tetapi, juga kelelawar ini begitu menggigit. tubuhnya berkelojotan dan terlempar ke bawah terus mati! Kiranya tenaga sin-kang di tubuh Tiang Bu ketika tadi dikerahkan, masih bekerja keras dan begitu ada yang menggigit leher, otamatis tenaga itu mengalir ke leher menyerang kelelawar tadi.
Sin Hong melihat betapa kelelawar itu menggigit leher Tiang Bu. ia menjadi kaget sekali.
"Celaka......!" teriaknya dia cepat melompat ke dekat Tiang Bu tanpa memperdulikan lukanya sendiri. Tiang Bu hanya merasa lehernya tertusuk dan gatal sekali, hidungnya mencium hawa busuk yang memuakkan. Biarpun ia belum berpengalaman, namun sikap Sin Hong dan bau busuk itu menimbulkan dugaan Tiang Bu bahwa kelelawar ini tentu berbisa. Cepat ia meramkan mata dan mengarahkan kekuatan batinnya seperti yang pernah dilatihnya dari kitab Seng-thian-to. Di lain saat ia roboh pingsan!
Wan Sin Hong adalah seorang yang tidak saja memiliki ilmu silat tinggi dan ilmu pedang nomor satu, akan tetapi ia juga terkenal bagai ahli pengobatan yang jempolan sehingga beberapa orang kang-ouw yang pernah ditolongnya diam-diam memberi julukan Yok-ong (Raja Obat) kepadanya. Sebagai ahli waris kitab pengobatan dari Kwa-siucai ahli segala racun, tentu saja begitu melihat kelelawar peliharaan Toat-beng Kui bo di tempat itu Sin Hong lantas tahu bahwa kelelawar itu adalah sejenis binatang yang amat berbisa. Kelalawar pantai laut selatan ini sekali menggigit orang sukar diobati lagi.
Bahkan setelah meneliti keadaan bisa kelelawar ini puluhan hari lamanya, Sin Hong hanya sanggup mengobati racun gigitan binatang itu asal saja racun belum menjalar ke jantung orang yang digigit. Hal ini hanya bisa terjadi apabila orang yang digigit segera mendapat pertolongannya, akan tetapi tempat yang digigit itu jauh dari jantung, karena racun yang jahat ini agak lambat jalannya. Sekarang Tiang Bu digigit di lehernya, dekat jalan darah, dalam beberapa detik saja tentu racun telah menjalar ke jantung dan tak mungkin diobati pula! Maka dengan sedih Sin Hong cepat berlutut memeriksa keadaan luka pemuda itu setelah agak merasa heran mengapa kelelawar yang menggigit itu mati mendadak.
Untuk ketiga kalinya, Sin Hong terkejut dan terheran-heran lalu kagum setelah ia memeriksa leher yang terkena gigitan kelelawar itu. Pertama kali ia kaget menyaksikan ilmu silat tangan kosong dari Tiang Bu yang terang jauh mengatasinya, kedua kalinya ia terperanjat menghadapi tenaga sinkang dari pemuda itu luar biasa sekali. Kini untuk ketiga kalinya ia kaget bukan main menyaksikan hal yang aneh sekali. Tiang Bu pingsan bukan karena gigitan kelelawar, akan tetapi pingsan yang aneh, jalan darahnya terhenti sama sekali akan tetapi napasnya masih berjalan perlahan-lahan.
Hebatnya, racun kelelawar yang jelas kelihatan hitam itu berkumpul dan diam di bawah kulit leher, tidak bergerak-gerak dan tidak menjalar ke mana-mana karena semua peredaran darah pemuda itu berhenti seperti tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi! Akan tetapi jelas pemuda itu masih hidup karena napasnya masih keluar masuk, hanya detak jantungnya berhenti!
Sin Hong tidak membuang banyak waktu lagi. Cepat ia mengeluarkan jarum peraknya dan menusuki luka di leher itu mengeluarkan semua racun hitam dengan amat mudah karena hanya berkumpul di bawah kulit. Sambil bekerja ia mengingat-ingat akan penuturan gurunya dahulu, Pak Kek Siansu tentang ilmu batin yang gaib seperti Ilmu sihir, yakni dalam keadaan hidup mematikan raga. Dengan ilmu inilah orang dapat melakukan segala hal aneh seperti menusuk lidah dengan pisau, menusuk dada dengan pedang, menginjak api, dan lain-lain tanpa merasa sakit dan tanpa berpengaruh apa-apa oleh keadaan raga. Apakah pemuda ini sudah memiliki kepandaian semacam itu? Akan tetapi tidak mungkin kalau ini main sihir, karena pemuda itu pingsan.
Setelah selesai mengeluarkan semua racun dan selagi ia hendak mencekoki Tiang Bu dengan pel merah obat kuatnya, tiba-tiba Tiang Bu siuman, meraba lehernya yang sudah di tutup koyo (obat tempel), lalu berkata,
"Terima kasih atas pertolongan Wan siok-siok." Sin Hong melongo. Ia tidak tahu bahwa sebenarnya
(Lanjut ke Jilid 15)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 15
tadi Tiang Bu telah melakukan ilmu yang ia dapat dari kitab Seng-thian-to. Biarpun ia pingsan tak dapat bergerak karena seluruh peredaran darahnya ia "suruh" berhenti, namun ia masih sadar. Inilah kehebatan ilmu "menguasai" peredaran darah dan jalanan napas dan hawa dalam tubuh!
"Kau...... kau hebat sekali, Tiang Bu"..", kata Sin Hong dalam hatinya takluk betul. Kini ia boleh melepas anak ini menemui Toat-beng Kui-bo dengan hati tenang karena percaya penuh bahwa kepandaian pemuda cilik ini sudah cukup tinggi untuk menghadapi nyonya besar majikan daerah Bin-mo-tong ini.
"Wan siok-siok, kiranya sekarang kau tak-kan begitu pelit untuk membuka rahasiaku. Siapakah ayah bundaku sesungguhnya dan mengapa sejak kecil aku menjadi anak ayah bundaku di Kim bun-to?"
Sin Hong menjadi serba salah. Terbayang olehnya segala peristiwa di waktu dahulu (baca Pedang Penakluk Iblis). Ia sudah berjanji takkan membuka rahasia itu yang akibatnya hanya akan memalukan Tiang Bu sendiri dan berarti pula mendatangkan kecemaran bagi nama baik Nyonya Pangeran Wanyen Ci Lun. Pula Sin Hong maklum betapa bencinya nyonya itu, Gak Soan Li, kepada anaknya keturunan Liok Kong Ji. Kalau ia membuka rahasia Tiang Bu, bukanlah itu sama halnya dengan mendatangkan malapetaka bagi mereka semua? Sin Hong menjadi bingung betul dan tak dapat menjawab. Tiba-tiba bintang penolong datang, berupa isterinya sendiri.
"Eh, Tiang Bu! Kau di sini........" teguran ini keluar dari mulut Li Hwa yang muncul dari balik batu-batu karang. Tiang Bu menengok dan melihat Hui-eng Niocu masih cantik dan lincah seperti dulu, hanya kini agak lambat gerakannya dan nampak lesu. Tentu saja pemuda ini tidak tahu bahwa itu adalah tanda-tanda seorang wanita sedang mengandung. Segera ia memberi hormat kepada Siok Li Hwa. Melihat munculnya Li Hwa, Sin Hong mendapatkan kembali ketenangannya dan berkata kepada Tiang Bu.
"Tiang Bu, kalau hendak bertemu dengan Toat beng Kui bo pergilah ke sana dulu. Kau ambillah jalan ini terus ke selatan, sampai di pinggir laut kau belok ke kanan melalui bukit batu-batu karang yang amat sukar. Di sana terdapat tujuh gua-gua besar. Nah, kau masuki gua-gua itu satu demi satu dan di salah satu antara tujuh gua itu kau tentu akan menjumpai orang tua itu. Kalau sudah selesai urusanmu dengan beliau, kau datanglah ke sini, nanti aku akan memberi jawaban atas pertanyaanmu tadi." Dengan kata-kata ini selain untuk memberi petunjuk tentang jalan menuju ke tempat tinggal Toat-beng Kui-bo, juga Sin Hong "minta tempo" untuk berunding lebih dulu dengan isterinya.
Tiang Bu girang sekali. Tidak saja untuk petunjuk jalan mencari Toat-beng Kui-bo, akan tetapi juga karena janji Sin Hong. Ia percaya akan kata-kata pendekar itu. maka ia cepat menghaturkan terima kasih, lalu menjura kepada Li Hwa lalu melompat berlari cepat ke selatan. Dalam sekejap mata saja ia lenyap dari pandangan mata.
Sin Hong menarik napas panjang.
"Luar biasa sekali, anak itu kelak akan menjadi jago yang tiada taranya. Kalau saja watak buruk ayahnya tidak menurun kepadanya..........." Ia lalu menceritakan semua peristiwa yang ia alami tadi kepada isterinya. Dengan terus terang ia akui sekarang saja kepandaian Tiang Bu sudah melampaui kepandaiannya, apalagi kelak beberapa tahun lagi kalau Tiang Bu sudah dewasa benar-benar dan sudah banyak pengalaman.
"Aku bingung bagaimana harus menjawabnya," ia menutup penuturannya.
"Mengapa mesti bingung. suamiku? Ceritakan saja kepadanya, bahwa dia bukan putera Hong Kin dan Hui Lian, melainkan putera Soso Li dan Kong Ji."
"Ah, tak mungkin aku sekejam itu. Kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku buka rahasia itu, Hwa-moi. Anak itu akan terpukul batinnya, Soan Li akan tercemar namanya dan kalau ibu dan anak itu dipertemukan, aku khawatir akan terjadi hal-hal hebat dan mengerikan."
Li Hwa maklum akan maksud kata-kata suaminya. Dia memang sudah mendengar semua tentang peristiwa itu dan tahu betapa bencinya Soan Li kepada anak kandung keturunan Kong Ji.
"Akan tetapi, lebih tidak baik lagi menutupi kenyataan. Kulihat Tiang Bu bukan anak bodoh dan akhirnya ia tentu akan tahu juga."
"Akan tetapi aku sudah bersumpah tak membuka rahasia Soan Li..........."
"Kalau begitu mudah saja, diatur supaya dia mendengar dari orang lain. Lebih baik diatur begini saja......" Isterinya yang cerdik ini lalu memberi petunjuk-petunjuk kepada suaminya. Sin Hong mengangguk-angguk setuju.
Kata-kata Sin Hong ketika memberi petunjuk kepada Tiang Bu tentang tempat kediaman Toat-beng Kui-bo memang betul. Setelah Tiang Bu sampai di tepi laut dan membelok ke karan, ia benar-benar menghadapi perjalanan yang amat sukar. Bukit batu karang yang mendoyong di sepanjang pantai laut itu nampak menyeramkan dan bukan tempat manusia. Pantas saja disebut Ban-mo-tong (Gua Selaksa Iblis) karena memang hanya iblis dan siluman saja yang patut tinggal di daerah ini. Perjalanan ke gua-gua yang disebutkan oleh Sin Hong bukan perjalanan mudah dan hanya orang-orang berkepandaian tinggi saja dapat lewat di sini. Jalan menanjak atau menurun selalu melalui ujung-ujung batu karang yang tajam meruncing. Jalan di atas batu-batu karang ini tanpa pengerahan ginkang yang tinggi, akibatnya tentu sepatu hancur dan telapak kaki luka-luka.
Dari jauh sudah nampak tujuh buah gua menghitam seperti mulut-mulut siluman raksasa terbuka dengan gigi-gigi runting monongol dari bawah dan bergantungan di atas gigi-gigi runcing batu karang pula. Tentu saja Tiang Bu tidak tahu di dalam guha yang mana di antara tujuh buah itu adanya orang yang dicarinya, maka terpaksa ia mencari dari guha pertama. Perjalanan yang amat sukar.
Gua itu kosong, hanya ada beberapa ekor kelelawar menyambar keluar, akan tetapi segera menjauhi Tiang Bu ketika pemuda ini menyampok dongan pengerahan hawa pukulan yang cukup akan dapat mematikan binatang-binatang itu kalau berani mendekat. Terpaksa turun lagi dan perjalanan dari gua pertama ke gua kedua lebih sukar lagi. Kembali kosong!
Tiang Bu benar-benar diuji kesabarannya atau agaknya Toat beng Kui-bo sengaja mempermainkan anak muda ini karena setelah ia buang waktu setengah hari, bersusah-payah merayap dari gua ke gua sampai gua ke enam ternyata semua gua yang didatangi Tiang Bu kosong!
Hari telah mulai senja ketika Tiang Bu tanpa mengenal lelah mendaki naik ke bukit gua ke tujuh. Dari jauh sudah nampak titik-titik hitam, yang ternyata adalah kelelawar-kelelawar hitam kelelawar-kelelawar berbisa yang terbang tinggi di atas kepala Tiang Bu berkeliling seakan-akan pengintai-pengintai yang pandai. Diam-diam Tiang Bu ngeri juga melihat ada kelelawar yang amat besar. Panjang dari ujung sayap kiri ke ujung sayap kanan tidak kurang dari sedepa dan besar badan binatang itu seperti anjing kecil. Akan tetapi binatang-binatang ini tidak menyerang, maka Tiang Bu juga bersikap tenang saja melanjutkan perjalanannya di atas batu-batu karang yang runcing itu, memegang sana meraba sini. Telapak tangan dan kakinya sudah mulai pedas-pedas.
Akhirnya ia sampai di mulut gua dan pertama-tama yang menyambutnya adalah asap putih yang harum dari dupa wangi yang dibakar orang di dalam gua! Ia merayap terus dan...... benar saja, di dalam gua itu duduk bersila menghadapi dupa terbakar dan dikelilingi oleh "hulubalang-hulubalangnya" yaitu kelelawar-kelelawar besar yang sayapnya hitam berbintik-bintik. Toat-beng Kui-bo memandang ke arahnya dengan tersenyum mengerikan! Nenek ini tertawa tanpa mengeluarkan suara, kemudian ketika ia mengangkat tangannya yang penuh kuku panjang ke depan, baru suara ketawanya terdengar, cekikikan seperti suara iblis tertawa.
"Hi-hi-hi-hi, kau bocah murid hwesio malas di Omei-san! Besar sekali nyalimu, datang dan menjenguk ke semua gua-guaku. Hi-hi-hi-hik, kalau bukan murid Omei-san aku suka mempunyai murid setabah ini.......!" Kata-kata sambutan ini melegakan hati Tiang Bu, karena tadinya ia mengira bahwa begitu bertemu ia tentu akan diserang mati-matian oleh nenek biang iblis ini. Ia sudah siap sedia dan diam-diam ia juga tidak berani memandang ringan kepada nenek tokoh dunia selatan ini.
"Locianpwe, harap maafkan kalau aku yang muda berlaku lancang, datang menghadap tanpa dipanggil," katanya hormat.
"Hi-hi-hi-hi, dasar murid gundul gendeng. Bersopan-sopan menjemukan!" Nenek itu mengambil babakan kayu harum dan mengawurkannya di atas pedupaan. Asap baru putih tebal bergulung-gulung naik dan bau harum memenuhi gua yang buruk dan kotor itu.
"Orang muda, kau datang ada apakah? Apa tidak cukup bertemu dengan anak mantuku di luar sana?"
"Aku sengaja datang mencari locianpwe untuk minta kembali kitab Omei-san yang dulu terbawa ke sini." Tiang Bu masih berlaku sabar dan menghindar kata-kata tuduhan mencuri.
"Kalau aku tidak mau mengembalikannya kepadamu, bagaimana?" Sepasang mata itu liar menyapu keluar gua dan dua ekor kelelawar datang dari luar, sedangkan yang berada di dalam menggelepar-geleparkan sayap.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang muda berlaku kurang ajar dan mohon dilanjutkan pibu di puncak Omei-san dahulu. Aku bersedia mengorbankan nyawa untuk memenuhi tugas ini mengumpulkan kembali kitab kitab Omei-san yang tercuri."
"Hi hi hi! Kau luar biasa sekali. Hebat. Setua ini baru sekarang ini aku mengalami ditantang oleh seorang bocah masih ingusan! Benar-benar besar sekali nyalinya. Bocah siapa namamu?"
"Namaku Tiang Bu." jawab pemuda singkat.
"Tidak pakai she (keturunan)?"
Tiang Bu menggeleng kepala.
"Lupa lagi siapa she ku!"
Nenek itu tertawa cekikikan, suara ketawanya aneh sekali, ada nada marah ada juga nada menangis. Binatang-binatang kelelawar di dekatnya beterbangan tidak menentu di atas kepalanya, agaknya merekapun bingung mendengar suara ketawa ini dan tidak tahu mereka diperintah apa.
"Masih kecil kau sudah memiliki watak aneh," kata Toat-beng Kui-bo, kemudian ia nampak sungguh-sungguh ketika terkata lagi.
"Tiang Bu, karena kau mewakili dua orang gundul Omei-san yang sudah tewas, baik aku mengaku terus terang bahwa dalam keributan itu, aku menyelamatkan sebuah kitab dari tangan pencuri itu. Akan tetapi setelah kulihat, kitab ini ternyata cocok sekali untuk seorang tua bangka yang penuh dosa seperti aku, sama sekali tidak ada artinya bagi seorang bocah seperti engkau. Kitab ini dapat berjasa besar sekali untukku dan karenanya akan kupelajari untuk bekal mati. Kau tidak boleh minta kembali."
Mana Tiang Bu mau percaya? Kalau kitab tidak berarti, mana nenek ini mau mengambilnya dan menahannya? Tentu kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi. Kedua orang suhunya pernah menyatakan kepadanya bahwa kalau kitab-kitab pelajaran ilmu silat tinggi terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka akan merupakan hal yang berbahaya sekali, dan harus dihalangi. Lebih baik kitab pelajaran itu dibakar dari pada terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Karena selain hal itu berarti akan memperkuat kedudukan orang-orang jahat, juga kelak dapat mencemarkan nama baik dua orang hwesio Omei-san itu, bahkan dapat mencemarkan nama besar Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsu dua orang guru besar itu.
"Kalau begitu, terpaksa aku minta pelajaran dari locianpwe," kata Tiang Bu menantang dengan sikap tenang. Kembali ia bersiap sedia menghadapi serangan mendadak dari nenek itu. Akan tetapi aneh, nenek itu menghela napas dan tidak berbuat apa-apa, lalu berkata perlahan,
"Aku sudah pernah mencoba kepandaianmu di 0mei-san. Ilmu silatmu tinggi dan sinkangmu hebat. Tidak kepalang dua orang kakek gundul mengambilmu sebagai murid. Akan tetapi jangan kira aku masih kurang akal dan kepandaian untuk membunuhmu. Mudah bagiku untuk membunuhmu, apalagi kau berada di sini. Hemm, soalnya........... semenjak membaca kitab itu, aku tidak mau lagi membunuh manusia tanpa dosa. Dan kau anak baik........... aku tidak mau menambah dosa"
"Locianpwe, memang akupun tidak suka berkelahi, apalagi dengan locianpwe yang berilmu tinggi. Akan tetapi kitab itu diambil dari Omei-san dan aku sudah menerima pesan suhu agar mengambil kembali semua kitab-kitab itu."
"Dan selanjutnya? Akan kau apakan kitab-kitab itu?"
"Selanjutnya terserah kepadaku. akan tetapi sudah pasti kitab-kitab itu takkan terjatuh ke dalam tangan orang-orang jahat."
"Ha, kau menggolongkan aku manusia jahat? Memang tidak salah. Aku jahat, lebih jahat dari pada kelelawar-kelelawar berbisa ini. Aku tadinya tidak perduli, tidak takut hukuman neraka. Tidak tahunya semua itu ada hukuman timbal baliknya dan semua perbuatanku merupakan tamparan bagiku sendiri. Ah, bocah bernyali besar, tahukah kau bahwa kalau aku belum membaca kitab yang kau minta itu, pada saat ini kau tentu sudah menggeletak mampus dan darah serta dagingmu menjadi umpan kelelawar-kelelawarku?"
"Aku tidak takut mati, locianpwe. Lebih baik mati menjalankan tugas dari pada hidup melihat kitab dipelajari orang lain dan kelak kepandaian dari kitab dipergunakan untuk perbuatan jahat."
"Ha, kau memang hebat. Apa kau kira kitab itu kitab pelajaran ilmu silat Tiang Bu, kalau itu kitab pelajaran silat, mana aku sudi menyimpannya? Semua ilmu silatku boleh kutukar cuma-cuma dengan pelajaran dari kitab itu. Kau tidak percaya? Apa kau mau berjanji bahwa kalau kitab itu bukan pelajaran silat kau mau meminjamkan atau memberikan kepadaku?"
Tiang Bu berpikir sejenak. Dua orang suhunya adalah hwesio-hwesio yang alim dan suci. Sangat boleh jadi di antara sekian banyaknya kitab-kitab itu, terdapat kitab-suci yang tidak ada hubungannya dengan ilmu silat, melainkan kitab pelajaran ilmu batin agar manusia dapat mencari kebenaran sejati. Kalau betul kitab itu hanya pelajaran agama atau kebatinan dan dapat "menyembuhkan Toat-beng Kui-bo dari kejahatannya, bukankah akan berjasa baik dan apa salahnya dipinjamkan?
"Baik. locianpwe. Aku berjanji bahwa setelah melihat kitab itu dan mendapat kenyataan hanya kitab pelajaran berhubungan dengan kebatinan dan tidak ada hubungannya dengan ilmu silat atau ilmu kegagahan lain, kitab itu boleh kupinjamkan kepada locianpwe untuk sepuluh tahun lamanya.
Nenek itu tertawa cekikikan.
"Kau memang bocah pintar dan berhati baik. Nah, kau periksalah kitab ini!" Sambil berkata demikian, Toat-beng Kui-bo mengeluarkan sebuah kitab yang sampulnya kuning dan melemparkan kitab itu ke arah Tiang Bu. Pemuda ini segera menerimanya dan cepat membalik-balik lembaran kitab itu di bawah penerangan matahari yang sudah menyuram. Pada halaman pertama ia melihat judul kitab itu ditulis dengan huruf-huruf besar.
DELAPAN JALAN UTAMA
Di bawah huruf-huruf besar ini tertulis dengan huruf-huruf kecil. Sari pelajaran dari Yang Mulia Ji lai hud untuk membebaskan diri dari Siksa Dunia.
Tiang Bu mengerutkan kening. Melihat nama Tiong Jin Hwesio di ujung bawah sampul dan melihat tulisan-tulisan kecil itu, tidak salah lagi bahwa kitab ini memang kitab suhunya. Dan melihat bunyi judul dan penjelasannya, tidak dapat disangsikan lagi bahwa ini tentu kitab pelajaran yang menjadi kitab suci dari Agama Budha, mengandung semacam pelajaran kebatinan. Ia masih kurang puas, dan membuka-buka halaman selanjutnya.
Dengan pandang matanya yang tajam ia mencari-cari namun tak dapat menemukan sebuah kalimatpun yang menulis tentang ilmu silat. Ia melihat kalimat-kalimat yang tak dimengertinya seperti: "Hanya ada Delapan Jalan Utama, Empat Kebenaran Mulia, kebajikan yang utama adalah Bebas Nafsu, manusia utama adalah dia yang dapat melihat pelajaran ini". Di bagian lain dari kitab itu Tiang Bu membaca kalimat-kalimat yang berbunyi: "Segala yang tercipta akan musnah. Segala yang tercipta mendatangkan duka nestapa dan sakit. Segala bentuk itu tidak aseli dan palsu adanya". Dan banyak kaIimat-kalimat lain yang tidak begitu jelas baginya, akan tetapi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ilmu silat.
Setelah membalik-balik lembaran kitab itu beberapa lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu melangkah maju dan memberikan kitab itu kepada Toat-beng Kui-bo sambil berkata.
"Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe, biarlah locianpwe pinjam sampai sepuluh tahun"
Toat-beng Kui bo tertawa cekikikan.
"Sepuluh tahun lagi kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu.?
Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka iapun tidak mau banyak membantah.
"Mudah mudahan dengan kitab ini locianpwe akan mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku telah mengganggu waktu locianpwe yang berharga." Setelah berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar dari gua itu. Ia harus berlari cepat kalau tidak mau kemalaman di daerah berbahaya ini. Berkat ginkangnya yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan Sin Hong tadi, tepat pada saat malam tiba dan gelap menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari-cari sambil menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.
"Kau sudah kembali? Cepat amat! Apa kau sudah bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.
"Dan kau tidak apa-apa? Apakah kitab itu sudah kau minta?"
Tiang Bu menggeleng kepala.
"Kitab itu ternyata kitab pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka." Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang.
"Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah tiba. Mari kau bermalam di pondokku, besok kau baru melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."
Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Sin Hong. Ternyata Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang Bu disambut oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap Tiang Bu yang polos dan berani itu akan memarahkan hati Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui-bo dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua menyeramkan itu.
Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu merasa malu kepada diri sendiri dan ia merasa manyesal sekali atas sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, sikap kasar dan kurang ajar.
"Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku sengaja menyimpan rahasiamu karena maksud buruk. Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa juga putus. Di samping ini semua, aku tidak melihat sesuatu kebaikan dalam pembukaan rahasia ini. Masa depanmu amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak kau baru lahir, kau sudah dipelihara oleh ayah bundamu yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula bahwa ayah bundamu itu mencintaimu seperti kepada putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh hendak mengetahui rahasia itu?"
"Wan siok-siok, memang betul apa yang kau ucapkan itu. Ayah dan ibu di Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi...... tentang orang she Liok itu....., ingin mendengar ceritanya bagaimana dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih hebat lagi..... mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku ditinggalkan di Kim-bun-to."
Sin Hong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya.
"Aku tidak dapat membuka rahasia itu, Tiang Bu."
"Tiang Bu," kata Li Hwa dengan suara halus.
"pamanmu adalah seorang laki-laki sejati. Dalam rahasia riwayatmu itu terselip hal-hal yang amat berbelit-belit, dan menceritakan satu harus menceritakan dua dan sekali membuka rahasia itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat..... amat tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi, pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya, pantang membuka rahasia yang akan mencemarkan nama orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabat-sababat baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung kata-katanya.
"Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi maut. Hanya masih ada jalan yang dapat kami tunjukkan kepadamu."
Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas. Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira sekali.
"Bagus sekali! Jalan apakah itu? Harap segera diberitahukan kepadaku."
"Kau pergilah ke kota raja Kerajaan Kin utara. Di sana ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun......? kata Sin Hong yang menyambung kata-kata Li Hwa.
"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong.
Sin Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak.
"Kau...........? Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun......??
"Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai di kota raja. Bahkan aku ditolong oleh Pangeran Wanyen Ci Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika ia dirampas kembali Pat kek Sam-kui.
"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat baikku atau..... masih saudara misanku sendiri.?
Tiang Bu mengangguk.
"Pantas saja siok-hu serupa benar dengan dia," kata pula Tiang Bu.
"Kau jumpai dia dan kau bantulah. Dia itu orang baik dan kiranya pada masa datang ini dia memerlukan bantuan seorang seperti engkau. Setelah kau membantunya mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu, ceritakan siapa sebenarnya dan bahwa kau mengabdi kepadanya atas permintaanku. Kemudian kau serahkan suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka semua rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasia ini, juga isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh kesetiaanmu.?" Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu mengangguk-angguk dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka jalan baginya dan ia tidak membantah.
Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa untuk membongkar rahasia riwayat hidupnya ia harus pergi ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang kegagahan, Tiang Bu merasa tunduk dan tidak berani memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.
Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong "menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok Kong Ji manusia jahat seperti iblis itu. Namun ia merasa lega karena didengar dari kata-katanya maupun dipandang dari sinar mata dan gerak geriknya. pemuda ini cukup "bersih".
Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu pengobatan yang luar biasa. Di samping ini ternyata pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya mencerminkan watak kesatria perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan kebajikan.
Sampai malam berganti pagi dua orang ini masih duduk berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu oleh lapar, haus dan kantuk. Mereka memiliki daya tahan yang tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.
"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat, wajahnya seperti adikku Lee Goat."
"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat, adikmu." Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar.
"Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis sekali..... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya lenyap terganti bayangan kecewa.
"Akan tetapi...... mengapa dia menyangkal namanya ketika kutanya....?"
"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan nama ketika ia kuajak ke Omei-san untuk menjaga perbuatan orang jahat."
"Dia sekarang di mana siok-siok? Kenapa tidak ikut ke sini? Aku ingin sekali bicara dengan adikku....." kata Tiang Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.
"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari bibimu yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu aku mengantar pulang muridku itu. Dalam perjalanan menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak mau membawa dia."
"Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan adikku!" Suara Tiang Bu terdengar penuh keharuan ketika ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi ia segera dapat menguasai hatinya dan sikapnya tenang lagi ketika ia bertanya.
"Wan siok-siok, hari ini aku akan meninggalkan tempat ini. Masih ada lagi permohonanku kepadamu, yaitu ingin aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu seorang demi seorang untuk merampas kembali kitab-kitab suhu."
"Mereka itu siapa?"
"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin, Tee-tok Kwan Kok Sun, Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan........ Liok Kong Ji?.. dan seorang tosu kaki buntung datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng Kui bo yang sudah kubereskan."
Sin Hong nampak terkejut mendengar nama-nama ini, lalu menarik napas panjang.
"Hebat....... kau masih semuda ini sudah memikul tugas seberat itu. Kau malah lebih berat dari pada aku dalam hal ini. Orang-orang yang kau sebutkan namanya itu semua adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw. Dan kau harus mencari dan melawan mereka? Setiap orang dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah, Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau, bagaimana kau mampu menghadapi mereka??" Sin Hong benar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjata-senjata berbisa.
Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan kuat menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun. Akan tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan, mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya, bagaimana Tiang Bu akan dapat menang?
"Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah kaupelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan baberapa cara pengobatan untuk menghadapi serangan-serangan lawan yang mempergunakan senjata-senjata rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari dan aku akan merasa tenang dan tenteram melihat kau turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."
Memang inilah yang diharap-harapkan Tiang Bu. Sebelum meninggal dunia, Tiong Jin Hwesio juga sudah memberi anjuran agar supata ia menjadi murid Wan Sin Hong dalam ilmu pengobatan. Akan tetapi setelah perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang, atas kehendaknya sendiri Sin Hong hendak memberi pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu menjatuhkan diri berlutut.
"Atas kemurahan hati Wan.siok-siok mengangkat murid kepada siauwtit yang bodoh siauwtit merasa berterima kasih sekali............"
"Hush, bangunlah kau." Sin Hong berkata tersenyum sambil mengangkat bangun pemuda itu.
"Di antara paman dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan? Kau tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai keponakan. Asal kelak kau menjadi manusia utama dan pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang dan bahagia sekali."
Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai macam pukulan yang mcngandung hawa berbisa seperti Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dipergunakan oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan merah dari Ang.jiu Mo-li. Kemudian ia menjelaskan satu demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulan-pukulan berbisa ini.
Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat menghapal semua pelajaran itu. Namun Sin Hong masih belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu karang itu, ia memberi sebuah buku catatan kepada Tiang Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat mencarinya di dalam buku itu.
"Jangan kau bilang kepada siapapun juga bahwa aku dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun sedang menghadapi sesuatu yang sulit, dan mudah-mudahan tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini, kembali ke dunia ramai," pesan Sin Hong dengan suara perlahan.
Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman hebat.
Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat kediaman orang-orang hendak dicarinya. Menurut keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh Utara itu kini sering kali muncul di kota raja Kerajaan Kin, Liok Kong Ji dan tosu kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh pendeta Lama jubah merah, sudah tentu bertempat tinggal di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin Hong sendiri tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu Hok Lokai, juga tewas oleh Tee-tok Kwan Kok Sun ini. Adapun Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar daerah Kiang-su, dimana surgai besar Yang ce-kiang memuntahkan airnya ke dalam laut.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di antara orang-orang yang hendak dicarinya itu, Pek-thouw-tiau-ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat tinggalnya, maka ke Kiang-se inilah tujuan pertama perjalanan Tiang Bu.
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang dilaluinya itu masih basah dan amat becek, tanda bahwa baru saja turun hujan. biarpun jalannya becek, namun Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa hawa sehabis turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot hawa bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan semangatnya segar.
Garis.garis panjang yang masih nampak baru di atas jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan, di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda. Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan berat.
Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini? Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expedisi/pengawal Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh, pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia sslalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau dipunyainya. Tak pernah timbul iri di dalam hatinya, karena ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang atau meniru keadaan orang lain.
Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya. Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama kemudian terdengar bentakan,
"Minggir!"
Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang cukup lebar itu, bukan takut keterjang kuda, melainkan takut pakaiannya akan kotor terkena percikan tanah becek berlumpur itu. Ia berdiri dan memutar tubuh hendak melihat siapa gerangan penunggang-penunggang kuda itu. Ternyata mereka adalah seorang gadis muda yang berwajah manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu lari kencang, tubuh mereka sama sekali tidak terguncang. Kepandaian menunggang kuda seperti ini hanya dapat dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka seketika hati Tiang Bu tertarik. Pemuda itu melirik ke arah Tiang Bu sambil tersenyum memandang rendah. sedangkan kerling mata dara berwajah manis itu membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.
"Moi moi, jejak mereka masih nampak jelas. Mereka belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kata ini diucapkan oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh. Tentu saja mereka tidak mengira bahwa pendengaran Tiang Bu jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka Tiang Bu mendengar ucapan ini. Hatinya berdebar. Pertama karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali. Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap dipandang.
Otomatis Tiang Bu teringat akan Lai Fei Lan dan mukanya menjadi merah. Celaka, pikirnya. Satu kali bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampai-sampai ia menjadi ngeri dan jijik. Hal ke dua dan mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk menyusuI "mereka". Tentu dimaksudkan rombongan kendaraan yang roda-rodanya masih meninggalkan jejak nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa. Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang mereka dan mengikuti dengan sembunyi.
Tak lama kemudian sepasang muda-mudi itu sudah dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan dikawal oleh lima orang laki-laki gagah berkuda dan bergolok di pinggang. Dari pakaian mereka, jelas bahwa mereka tentulah segolongan piauwsu (pengawal barang kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau, hanya kusir kereta itu sajayang kelihatandi depan memegang cambuk.
Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini berarti bahwa kereta itu beserta sekalian isinya adalah menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa Emas)! Nama Siang kim-sai atau Sepasang Singa Emas sudah amat terkenal di dunia lioklim dan jarang ada penjahat berani mengganggu barang yang dilindungi oleh perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik, yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke-Dua) bernama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka tinggi sekali sehingga para penjahat tidak ada yang berani bermusuhan dengan mereka.
Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung besar dengan usaha mereka dan kedua orang she Yo selalu membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokoh-tokoh liok-lim sehingga dengan para anggota Hek-to (Jalan Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubungan baik. Jarang sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri. Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru kalau terjadi halangan atau untuk urusan besar, mereka turun tangan sendiri. Demikian pula, karena perjalanan yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya dikawal oleh lima orang piauwsu, yang tiga orang pegawal sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.
Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara derap kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk bersenang-senang.
"Ha, agaknya pengantin baru....." seorang piauwsu muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum.
Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat cepatnya dua ekor kuda itu dilarikan, kusir kereta lalu memperlambat larinya kereta dan menarik kendali agar empat ekor kudanya agak ke pinggir untuk memberi jalan kepada dua orang muda-mudi itu.
Sepasang muda-mudi itu hanya melirik saja dan terus membalapkan kuda melampaui rombongan itu, tidak perduli betapa para piauwsu itu memandang ke arah si dara berwajah manis itu penuh gairah dan dengan tersenyum-senyum penuh arti. Tiang Bu yang mengikuti dari jauh, melihat betapa dua orang penunggang kuda itu ternyata lewat begitu saja dan tidak mengganggu, menjadi malu sendiri dan memaki diri sendiri bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.
Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor kuda lewat, tiba-tiba menjadi curiga sekali melihat cara dua orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh kemanisan wajah dara itu. Baru sekarang setelah mereka tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.
"Hemmm, mereka memperlihatkan kepandaian menunggang kuda. Jangan-jangan mereka akan kembali...........
" kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siang-kim-sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu congklang memapaki rombongan piauwsu! Tiang Bu yang berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo.
Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombongan piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan berseru, suaranya halus dan kata-katanya teratur seperti seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk telinga, tanda diucapkan dengan pengerahan khikang yang tinggi.
"Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami hendak mengambil isinya!" Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah. Ia majukan kudanya dan memaki,
"Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau menjadi begal besar? Lebih baik kau kembali ke bukumu, ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!"
Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya, bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.
"Kadal busuk pemakan lalat, kau benar-benar bisa menyeretku? Cobalah!"
Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siang-kim-sai dan nama Siauw-sai-cu (Mustika Singa Kecil) Tan Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu. Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal? Dengan suara menggereng, meniru gaya dan suara suhu-suhunya kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di tangan.
"Cacing buku, kau turunlah kalau minta dihajar," bentaknya.
"Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk. Pergi dan panggil ketua rombongan," kata pemuda muka putih itu.
"Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sendiri yang tiba-tiba terlempar ke belakang jatuh gedebukan! Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda muka putih itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul marahnya.
Sambil memaki-maki kotor ia melompat lagi, kini goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang tadi telah menendangnya. Pemuda itu dengan seuyum mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya menggerakan kakinya memapaki golok yang datang menyambar dan.... begitu golok bertemu dengan ujung sepatu, golok terpental membalik dan menyambar leher pemegangnya! Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun ujung golok yang dipegangnya sendiri tetap saja menghajar pundaknya. Sebagian daging pundak sapat darah membanjir. Tubuh Tan Kui sempoyongan ketika ia menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsu-piauwsu lainnya dengan muka jerih.
"Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja kadal itu? Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih dibiarkan menempel di lehernya!" kata gadis berwajah manis itu kepada "pemuda" muka putih. Para piauwsu memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga Tiang Bu dari tempat persembunyiannya diam-diam menampar kepalanya sendiri.
Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu. Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya. Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkan pengintaiannya penuh perhatian. Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan sikap hormat.
"Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami berlaku lancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi, selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-ap, lagi. Sapanjang ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah ada urusan dengan jiwi. Lihiap, mengapa hari ini jiwi mengganggu kami? Harap jiwi melihat bendera kami dan selanjutnya tidak mengganggu kami yang sedang menjalankan tugas penting. Tentu kelak dua orang ketua kami akan berterima kasih sekali."
Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah, hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siang-kim-sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi penjahat yang besar manapun, ini menandakan bahwa piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas dan bahwa dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah puluhan tahun melakukan pekerjaan piauwsu.
Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau serangan golok Tan Kui, tahulah dia bahwa, gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Pula ia tahu bahwa dua orang gadis itu tentu bukan bangsa perampok sembarangan, karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siang-kim-sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan. Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar kata-kata Lu Tiang Sek. Sambil mengincar ke arah kereta, tangan kirinya bergerak secara beruntun dua kali.
"Krak.! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang dilepaskan olehnya.
"Segala bendera begituan siapakah yang memandang? Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!" kata pula gadis manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya tersenyum manis melihat lagak adiknya.
Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak menghendaki pertempuran dalam menuaikan tugas yang penting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kereta yang amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barang-barang pembesar tinggi dari utara yang kini pulang ke selatan.
Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga adalah barang yang dikawal sekarang ini. Kwee-taijin, pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga itu, terdiri dari empat buah peti besar, di antaranya sebuah peti yang tidak berapa besar, berukir sepasang Kilin.
"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan! Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian kurang ajar bahkan berani mematahkan tiang bendera? Kalian boleh belajar merampok sesukanya akan tetapi jangan kalian sekali-kali berani mengganggu barang yang dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil berkata demikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut golok dan melompat turun dari kuda. Hanya Tan Kui seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka. Dia hanya mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan penunggang masing-masing.
Gadis berpakaian pria itu menoleh kepada adiknya sambil tersenyum dan berkata.
"Moi-moi, empat ekor kadal ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong ekornya. Kaujaga saja supaya kereta itu tidak kabur."
Setelah berkata demikian, dengan gerakan lincah dan gesit sekali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas tanah, gerakannya lemah gemulai namun cepat sekali sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih mengkilap telah terada di tangannya. Lu Tiang Sek maklum bahwa ia menghadapi lawan pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras,
"Robohkan dia!" Memang bagi kawanan piauwsu dalam menjalankan tugas, jika menghadapi gangguan penjahat tak perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena pertempuran seperti ini lain lagi halnya dengan misalnya pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di mana orang kang-ouw biasanya amat sportip, tidak mau mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.
Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadis berpakaian pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya menyambar ke kanan kiri diikuti bentaknya yang nyaring berpengaruh "Roboh...........!"
Pendekar Pedang Pelangi Eps 21 Pedang Penakluk Iblis Eps 10 Pedang Penakluk Iblis Eps 12