Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 23


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 23



"Ah, dia itu selir ketujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ketujuh dariku. Dia masih amat muda, akan tetapi diantara semua penghuni istana, dialah paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapapun juga dibandingkan denganmu, dia bukan apa-apa!"

   Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya.

   "Kau belum tahu sampai dimana kepandaianku, bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu itu!"

   Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa diantara pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selir-selir raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar "setia"

   Seperti yang seringkali terdengung dari mulutnya.

   "Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"

   "Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang.. malam... jadi... eh, kau selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku berlutut didepanmu....!"

   Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar hendak berlutut! Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut.

   "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak didalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja."

   "Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."

   "Kedua, diluar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ketiga, segala permintaanku harus kau turuti, juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang menghalangiku."

   "Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang malam..."

   "Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"

   Mendengar ini, Si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian Si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan dengan halus ia berbisik.

   "Senja telah lewat, disini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."

   Menghadapi rayuan seorang wanita yang berpengalaman seperti Lu Sian Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu ketika mereka makan minum menghadapi meja, Si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian biarpun ia disuruh minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengembalikan perhiasan apa saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi seorang pria daripada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!

   Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam kedalam permainan nafsu. Pada pagi hari ketiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah tidak berada didalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai kepinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut diluar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.

   Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dengan kedua lengan terpentang, sedangkan didepannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang ditangan dan dibelakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian cepat meraba kantung jarumnya, sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!

   "Kau bersekongkol dengan pemberontak!"

   Si Gadis membentak dengan suara yang nyaring sedangkan matanya memancarkan sinar berapi,

   "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak hanya karena dia cantik?"

   "Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah menolongku daripada serangan kaum pemberontak!"

   "Tapi dia Tok-siauw-kwi...!"

   "Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh, ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."

   "Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!"

   Wanita itu mengancam dan menodongkan pedangnya kedepan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga berpedang itu sudah bergerak mengurung.

   "Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!"

   Tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang didepan puteranya memandang kepada wanita berpedang itu.

   "Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam! Mengapa kau bersikap begini?"

   "Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"

   "Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia menolong Anakku? Dan andaikata ia pemberontak sekalipun, hal itu bukanlah salahnya Anakku, melainkan dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak terhadap puteraku?"

   "Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?"

   Pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya, dan mengangguk.

   Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu saja merasa tidak puas menjadi selir ketujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian bukanlah satu-satunya "anak tiri"

   Yang ia jadikan kekasihnya! Adapun tindakannya sekarang ini selain menaruh curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang diantara kekasihnya yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam! Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang sudah siap memang, dengan pedang ditangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!

   Setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi diluar, Lu Sian tersenyum. Ia sudah senang tinggal di istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara. Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja tentu kematiannya akan menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati dan untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu menaklukkan wanita ini yang melihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke kamarnya, ia cepat duduk kembali didepan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang. Coa Kim Bwee muncul disebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin dan tanpa menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee memandang lalu membentak.

   "Apakah engkau Tok-siauw-kwi?"

   Bentakannya mengandung keraguan karena ia benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda. Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauw-kwi masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu dan bertanya. Tanpa menoleh, Lu Sian menjawab melalui cermin.

   "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang bersama enam orang pembantumu dengan pedang ditangan?"

   Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun belum pernah ia merasa jerih seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi.

   "Aku datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"

   Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih.

   "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang menjemukan?"

   Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil berkata,

   "Tangkap dia!"

   Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan menjemukan dan sama sekali tidak dipandang mata oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya, penjahat pria saja mereka masih mampu menghadapi dan mengalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka bahkan merasa malu untuk mengeroyok, akan tetapi karena telah menerima perintah, mereka tidak berani membantah. Coa Kim Bwee melangkah msuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin didepannya.

   "Serbu!"

   Seorang diantara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam orang pelayan itu kedepan. Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang banyak sekali menyambar kedepan menggulung keenam orang penyerangnya dan terdengar ia berseru.

   "Pergi kalian, tikus-tikus busuk!"

   Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar keluar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang diluar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka oleh senjata pedang mereka sendiri!

   "Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain."

   Kata Lu Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.

   Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong masih enak-enak duduk, dapat menghalau keluar enam orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum! Pula, bau harum yang merangsang keluar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini, pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut pedang dan melongok kedalam, ia memberi perintah singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih ditangan.

   "Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kau gunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut..."

   "Adik yang manis, ilmu lwee-kang begitu saja kau herankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku, bagaimana?"

   "Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"

   "Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"

   Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang sendiri dan mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya. Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani mulai bermain gila denga pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir ke tujuh oleh Raja Hou-han!

   Didalam istana inilah terkabul semua nafsunya, karena selain kedudukannya yang tinggi sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling berpengaruh. Disamping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah ia dibelakang punggung suaminya, Sang Raja, bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan! Kini, bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan paling baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa bersangsi lagi ia berkata.

   "Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu menjadi guruku!"

   Lu Sian tertawa. Bagus, pikirnya. Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana, kalau menjadi gurunya, berarti kedudukannya akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru ia dapat melarang wanita selir raja ini memberitakan di luar bahwa dia adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.

   "Baik, nah, kau mulailah!"

   Katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang tergantung dikanan kiri. Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita didepannya ini memang memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan seorang "saingan"

   Berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk mendapatkan pelajaran ilmunya.

   "Lihat pedang!"

   Bentaknya nyaring dan ketika tubuhnya bergerak didahului sinar pedangnya berkelebat, terdengar suara berdesing tanda bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sin-kang cukup kuat. Lu Sian memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba sampai dimana kekuatan Si Wanita Cantik, maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan

   "werrrr!"

   Segumpal rambut panjang menyambar kedepan. Hebat memang tingkat kepandaian Lu Sian sekarang. Setelah ia melatih diri dengan tekun, menurut isi kitab-kitab yang dicurinya, selain kepandaiannya meningkat tinggi juga tenaga sin-kangnya menjadi hebat luar biasa. Rambut yang lemas dan halus itu sekali digerakkan dapat menjadi benda keras seperti kawat-kawat baja dan kini rambut segumpal itu telah menangkis pedang Coa Kim Bwee dan ujung rambut melibat pedang. Berbahaya sekali perbuatan ini.

   Betapa pun tinggi kepandaian dan betapa pun kuat sin-kangnya, namun rambut tetap merupakan benda yang lemah, hanya menjadi kuat oleh gerakan beberapa detik. Mungkin cukup kuat untuk melibat benda tumpul dan merupakan pengikat yang ampuh, akan tetapi menghadapi mata pedang yang amat tajam, sungguh sebuah permainan yang banyak resikonya. Coa Kim Bwee melihat betapa pedangnya tertangkis sehingga tangannya gemetar tadi, kaget sekali. Terutama setelah ia merasa pedangnya terlibat dan tak dapat ditarik kembali. Cepat ia mengerahkan lwee-kangnya dan berseru keras sambil mendorong pedang dengan mata pedang ke depan. Mereka bersitegang sebentar, dan tiba-tiba Lu Sian melepaskan libatan rambutnya. Coa Kim Bwee terhuyung kepinggir terdorong oleh tenaganya sendiri, akan tetapi belasan helai rambut rontok karena putus terbabat mata pedang yang tajam!

   "Boleh juga kau!"

   Lu Sian berkata sambil tertawa, tetap duduk tenang dan rambutnya sudah tergantung kembali kedepan dadanya. Coa Kim Bwee penasaran. Tentu saja ia tidak merasa puas melihat hasil gebrakan pertama tadi, hanya beberapa helai rambut yang terbabat putus, sedangkan dia sendiri terhuyung-huyung. Kalau dinilai, malah dia yang berada dibawah angin, maka seruan Lu Sian tadi dianggap sebagai ejekan yang membuat pipinya berubah merah karena marah.

   "Aku masih belum kalah!"

   Bentaknya dan kembali ia menerjang maju, kini ia memutar pedangnya cepat sekali untuk mencegah libatan rambut lawannya. Kelihatannya Lu Sian diam saja, akan tetapi ketika pedang menyambar kearah lehernya, tubuh Lu Sian yang duduk diatas bangku pendek itu seperti hendak roboh kekiri sehingga pedang lewat dipinggir tubuhnya dan pada saat itu juga kaki kanannya menyambar bagaikan kilat cepatnya kearah pusar Coa Kim Bwee. Hebat sekali serangan balasan yang tiba-tiba dan tak tersangka-sangka ini, namun hebat pula reaksi selir raja itu.

   Untung bahwa ia tidak memandang rendah kepada Lu Sian, bahkan sudah merasa yakin bahwa wanita cantik ini memang berilmu tiggi sehingga dalam penyerangannya yang kedua ini ia tidak membuta, tidak hanya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada penyerangan, melainkan membagi perhatian untuk menjaga diri dengan memperhatikan gerakan lawan. Maka begitu melihat berkelebatnya kaki dari bawah mengancam perutnya, Kim Bwee cepat kembali pedangnya yang gagal, memutar pedang itu kebawah membabat kaki sambil melompat ke kanan belakang. Tendangan gagal, namun penyerangan Kim Bwee juga gagal. Mereka kini saling pandang tanpa bergerak, berpisah dua meter lebih, seorang berdiri dengan pasangan kuda-kuda, tangan kiri ditekuk di depan dada, tangan kanan memegang pedang diatas kepala, sedangkan yang seorang lagi duduk enak-enak, kaki kanan bertumpang keatas kaki kiri, tangan kiri mengelus rambut dan tangan kanan menggaruk-garuk belakang telinga. Lu Sian kelihatan enak-enak saja menghadapi pasangan kuda-kuda lawan yang siap menyerang lagi.

   "Awas, Adik manis, sekali ini kau akan jatuh!"

   Kata Lu Sian dengan suara perlahan, pandang mata berseri dan mulut tersenyum. Ia diam-diam merasa girang bahwa ia telah menciptakan ilmu berkelahi mempergunakan rambutnya ini, karena melihat gerakan-gerakannya tadi, selir raja ini sudah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi sehingga untuk merobohkannya tentu memerlukan waktu yang agak lama.

   Namun dengan ilmunya mempergunakan rambut sebagai senjata, ia sudah dapat memastikan bahwa ia akan dapat menjatuhkannya, karena sebagai seorang ahli, ia dapat melihat kelemahan dalam gerakan pedang Kim Bwee. Diejek demikian, makin panas hati Kim Bwee. Matanya memancarkan sinar bengis dan liar, bibirnya bergerak-gerak, cuping hidungnya berkembang-kempis dan tiba-tiba ia mengeluarkan jeritan nyaring, tubuhnya menerjang kedepan dan pedangnya diputar seperti kitiran angin di depan dada! Hebat penyerangan ini, karena gulungan sinar pedang tidak memberi kesempatan kepada rambut Lu Sian untuk melibat pedang, sedangkan tubuh Kim Bwee seakan-akan terlindung dari atas kebawah, tak mungkin diserang seperti tadi. Lu Sian duduk, memperhitung kan detik yang paling baik lalu berseru,

   "Lihat senjataku!"

   Dan kini sekali kepalanya bergerak, semua rambutnya berkelebat kedepan merupakan ratusan ribu batang kawat-kawat halus yang amat lemas. Tentu saja ada sebagian rambut bertemu pedang, akan tetapi karena Lu Sian mempergunakan "tenaga halus"

   Sehingga rambutnya menjadi lemas dan ulet, maka rambut itu tidak dapat terbabat putus, bahkan sebagian lagi terus membelit kearah pergelangan lengan tangan yang memegang pedang, sebagian membelit lengan kiri, sebagian lagi membelit leher terus mencekik!

   Kim Bwee kaget setengah mati. Kedua lengannya serasa lumpuh dan lehernya tercekik membuat ia tidak mampu bernapas lagi. Ia meronta-ronta, persis seperti seekor lalat tertangkap sarang laba-laba dan terdengar suara ketawa cekikikan lalu disusul robohnya tubuh Kim Bwee, terpelanting dan pedangnya sudah terlempar kesudut kamar! Sejenak nanar rasa kepala Kim Bwee. Kamar itu serasa berputaran. Ia telah mengalami kekalahan hebat dan andaikata bukan Lu Sian yang melakukan hal itu, andaikata tidak ada maksud hendak mengeduk ilmu dalam hati Kim Bwee, tentu penghinaan ini takkan dibiarkan begitu saja. Seorang selir raja tersayang dihina seperti ini! Sekali ia menjerit minta tolong tentu istana ini akan dikepung pengawal istana.

   Akan tetapi Kim Bwee tidak mau melakukan perbuatan bodoh ini. Ia maklum bahwa seorang sakti seperti perempuan itu, belum tentu akan dapat ditawan dan sebelum para pengawal datang, dia sendiri tentu akan dibunuh. Pula, perempuan ini bersikap baik kepadanya dan lebih banyak untungnya daripada ruginya kalau ia dapat menjadi murid wanita ini. Memang ia amat cerdik dan demi tercapainya maksud hati, ia rela melakukan hal apa saja, yang kejam, yang rendah, yang hina pun akan ia jalani. Maka setelah berpikir sejenak dalam pertemuan pandang ini, Kim Bwee tanpa ragu-ragu lagi serta-merta menjatuhkan diri berlutut. Lu Sian tertawa senang dan berkata, suaranya berwibawa.

   "Kau mengakui keunggulanku? Nah, bangkitlah, dan mari kita duduk dan bicara yang baik."

   Lu Sian sendiri menggerakkan tangan menyentuh pundak Kim Bwee dan seketika Kim Bwee terangkat naik! Kim Bwee memandang kagum lalu duduk, sikapnya menjadi jinak, tidak galak seperti tadi, malah pandang matanya penuh penyerahan.

   "Adikku yang manis, kau bernama Coa Kim Bwee dan menjadi selir ke tujuh dari Raja?"

   Kim Bwee mengangguk.

   "Dan kau tahu siapakah aku ini?"

   "Kau isteri bekas Jenderal Kam Si Ek..."

   "Bekas isterinya, sudah belasan tahun kami bercerai! Dan kau tahu siapa namaku?"

   "Kau... kau puteri Beng-kauwcu dan kau bernama Liu Lu Sian dengan julukan Tok-siauw-kwi."

   "Semua memang benar dan tepat! Akan tetapi sekarang aku mengajukan syarat, kalau kau menerimanya kita tetap bersahabat dan aku mau menurunkan beberapa macam ilmu kepadamu."

   "Ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata?"

   Tanya Kim Bwee penuh gairah. Ia kagum sekali akan ilmu itu yang dianggapnya amat hebat. Lu Sian mengangguk.

   "Boleh, dan beberapa macam ilmu lagi yang hebat-hebat. Pendeknya, setelah belajar dariku, kau akan menjadi seorang tokoh yang sukar dikalahkan lawan."

   Girang sekali hati Kim Bwee dan kembali ia telah berlutut. Akan tetapi Lu Sian mencegahnya dan membentak.

   "Duduk kau!"

   Kim Bwee terkejut dan cepat ia duduk lagi menghadapi Lu Sian.

   "Kau menerima syaratku? Nah, dengar baik-baik. Pertama, kau tidak boleh menyebut guru kepadaku dan tidak boleh berlutut seperti murid terhadap guru. Kita tetap hanya sahabat baik, kau panggil Cici kepadaku dan aku panggil adik padamu. Kita kakak beradik yang sama-sama mencari kesenangan didalam istana ini. Mengerti?"

   Tentu saja makin girang hati Kim Bwee. Sambil tersenyum ia mengangguk dan matanya bersinar-sinar ketika ia menjawab.

   "Enci Liu Lu Sian yang baik, tentu saja aku mentaati semua permintaanmu."

   "Bukan Cici Liu Lu Sian, melainkan Enci Sian begitu saja. Syarat kedua, tidak boleh kau memberitahukan orang lain tentang namaku yang sebenarnya. Kalau kau memberitahukan orang lain, aku akan membunuhmu lalu pergi dari sini. Mengerti?"

   Kembali Kim Bwee mengangguk, kini tidak berani tersenyum karena ia dapat melihat pandang mata Lu Sian bahwa wanita itu sungguh-sungguh dan ancamannya bukan main-main belaka.

   "Syarat ke tiga, kau tidak boleh menghalangi semua perbuatanku dan... aku tahu bahwa diantara engkau dan Kong Hian terjadi hubungan gelap. Pemuda itu menjadi pilihanku, engkau tidak boleh mengganggunya atau mendekatinya. Mengerti?"

   Kembali Kim Bwee mengangguk. Ah, kiranya antara dia dan wanita ini terdapat persamaan! Sekilas terbayang dalam benaknya betapa mudahnya untuk membaiki wanita ini. Ia tahu caranya. Dalam lingkungan istana, terdapat banyak sekali pangeran yang tampan, pengawal yang muda dan gagah. Mudah untuk mencari muka dan menyenangkan hati "gurunya"

   Ini, mudah menyuguhkan muda remaja tampan ganteng untuk ditukar dengan ilmu!

   "Baiklah, Cici yang cantik, baiklah. Dalam gedungku terdapat sebuah kamar dengan taman bunganya yang indah. Lebih baik Cici pindah kesana agar lebih mudah kita bertemu. Tentang Kong Hian... tentu saja aku suka mengalah. Dan...jangan khawatir..."

   Ia mengedipkan matanya.

   "masih banyak aku mengenal pangeran-pangeran muda dan pengawal-pengawal yang menarik dan pasti menyenangkan!"

   Ia tertawa genit, Lu Sian tersenyum. Terhadap perempuan liar ini tak perlu ia menyembunyikan perasaannya. Ia mengangguk tanda setuju.

   Demikianlah, Lu Sian hidup bergelimang dalam kemewahan dan pengejaran kesenangan, pemuasan nafsu dalam istana Kerajaan Hou-han. Karena dilindungi oleh Coa Kim Bwee yang menganggap dia seorang kakak misan sendiri, ia tidak mendapat gangguan. Setahun lebih Lu Sian hidup memuaskan nafsunya, disuguhi pangeran-pangeran dan pengawal-pengawal muda yang tampan, yang menarik hatinya. Selain itu, untuk membalas "jasa"

   Dan kebaikan selir muda raja itu, ia menurunkan beberapa macam ilmu yang hebat kepada Kim Bwee. Diantaranya adalah ilmu mempergunakan rambut sebagai senjata, bahkan Ilmu I-kin-swe-jwe yang mendasari ilmu awet muda serta latihan dan obat untuk membikin keringat dan rambut berbau harum! Segala macam perjalanan kearah kemaksiatan dimulai dengan langkah kecil kearah itu.

   Sekali keliru melangkah, orang akan tersesat makin jauh, tenggelam makin dalam. Semua perbuatan maksiat dimulai dengan iseng-iseng, dengan kecil-kecilan lebih dahulu, seperti orang mencicipi arak. Mula-mula setetes dua tetes, setelah termakan racunnya, makin lama makin banyak dan akhirnya menjadi pemabok lupa daratan. Tidak ada seorang penjudi di dunia ini yang membuka langkah perjudian dengan taruhan besar. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin mencandu dan menjadilah ia penjudi besar. Tidak ada pencuri yang mulai "pekerjaannya"

   Dengan pencurian besar-besaran. Mula-mula kecil-kecilan, makin lama makin nekat. Demikian pula dengan segala macam nafsu, termasuk nafsu berahi. Makin dituruti, makin tak kenal puas, makin menggila dan makin haus!

   Salah langkah pertama yang dilakukan Lu Sian adalah kebosanannya berumah tangga dengan Kam Si Ek. Kalau diwaktu itu ia kuat bertahan, mempergunakan kebijaksanaan dan kesadarannya, ingat kewajibannya, ia takkan tersesat. Akan tetapi sekali ia salah langkah, ia tersesat makin dalam dan akhirnya tenggelam oleh gelombang permainan nafsunya sendiri! manusia memang mahluk lemah, maka perlu manusia selalu ingat dan waspada. Ingat selalu kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan waspada selalu akan langkah hidupnya sendiri. Jalan menuju kehancuran kelihatan lebar dan menyenangkan, padahal amat lincah menyembunyikan jurang-jurang kehinaan di kanan kirinya. Sebaiknya jalan menuju kesempurnaan hidup kelihatan amat buruk dan sukar dilalui.

   Sekali salah pilih, sesal pun tiada gunanya dan dalam kesadaran dan penyesalan hendak bertaubat sekalipun, akan merupakan perjuangan yang lebih sukar lagi! Seperti telah disebut-sebut di bagian depan, pada masa itu yang menguasai daratan adalah Dinasti Cin yang berhasil meruntuhkan Kerajaan Tang Muda (923-936). Oleh perang saudara yang tiada henti-hentinya ini, banyak timbul kerajaan-kerajaan kecil yang mempergunakan kesempatan perebutan kekuasaan itu untuk berdiri sendiri, di antaranya adalah Kerajaan Hou-han di Propinsi Shan-si ini. Melihat perubahan itulah, Jernderal Kam Si Ek yang berjiwa patriotik dan setia kepada Kerajaan Tang mengundurkan diri dan rela hidup bertani didusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san. Akan tetapi tidak demikian dengan sebagian besar pendukung Tang yang dipimpin oleh Kong Lo Sengjin atau Couw Pa Ong bekas Raja Muda Kerajaan Tang lama.

   Ketika Kerajaan Tang baru berhasil merobohkan Kerajaan Liang, ia memperoleh lagi kedudukan baik sebagai pimpinan para panglima dan penasihat raja. Akan tetapi perang saudara tak pernah berhenti. Raja Tang baru atau Tang Muda yang belum lama berdiri ini, roboh kembali dalam waktu tiga tahun saja dan kedudukannya diganti oleh Kerajaan Cin Muda (936-947). Kong Lo Sengjin tentu saja tidak mau tinggal diam. Biarpun kerajaan yang dibelanya telah runtuh, ia tidak putus asa dan masih terus melakukan perlawanan untuk merebut kekuasaan. Banyak orang-orang pandai menggabung dengan jago tua ini dan selain berkali-kali menyerang Kerajaan Cin Muda, juga mereka ini selalu mengadakan gangguan kepada kerajaan-kerajaan kecil seperti Kerajaan Hou-han yang tidak mau diajak kerja sama meruntuhkan Kerajaan Cin Muda.

   Inilah sebabnya mengapa terjadi pernyerangan atas diri Pangeran Lie Kong Hian. Karena sudah tidak mempunyai pusat kerajaan para pendukung Tang itu melakukan gerakan liar, mengacau setiap kerajaan yang tidak mau bekerja sama. Dan karena ancaman-ancaman ini pula maka Raja Hou-han dan para panglima-panglimanya ketika mendengar akan adanya seorang wanita sakti yang menjadi kakak misan dan juga guru selir ke tujuh, diam-diam merasa girang dan tidak pernah mengganggu. Dengan hadirnya Lu Sian didalam istana, keselamatan raja sekeluarga lebih terjamin. Hal ini terbukti ketika terjadi penyerbuan di malam hari, tiga bulan setelah Lu Sian tinggal didalam istana.

   Malam itu gelap dan sunyi. Menjelang tengah malam, terjadilah pertempuran di dekat tembok sebelah selatan yang mengelilingi istana ketika lima orang penjaga diserbu oleh tiga orang berpakaian hitam. Dalam waktu singkat saja lima orang penjaga ini roboh binasa, akan tetapi sebelum roboh, seorang di antara mereka sempat berteriak-teriak minta tolong. Tiga orang itu secepat burung terbang telah melompat pagar tembok dan lenyap ke dalam lingkungan istana! Para penjaga dan pengawal istana menjadi heboh melihat lima orang penjaga itu malang-melintang mandi darah dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Segera tanda bahaya dibunyikan. Regu penjaga yang malam hari itu mendapat giliran berjaga terdiri dari tiga puluh orang, dibagi diluar dan didalam. Kini tinggal dua puluh lima orang lagi dan mulailah mereka mengadakan pengejaran dan mencari-cari disekitar bangunan-bangunan istana. Namun tidak tampak bayangan seorang pun penjahat.

   Mendadak di istana pusat yang menjadi tempat tinggal Raja, terdengar suara wanita menjerit-jerit. Para pengawal ini menyerbu masuk dan mereka terkejut melihat empat orang wanita pelayan telah mati pula. Akan tetapi diruangan tengah, tak jauh dari kamar Raja sendiri, tampak selir raja ke tujuh dengan pedang ditangan tengah melawan keroyokan tiga orang berpakaian hitam. Seorang wanita lain yang cantik dan biarpun jarang terlihat penjaga namun dapat diduga oleh mereka bahwa inilah kakak misan Coa Kim Bwee yang kabarnya sakti, berdiri disudut dengan sikap tenang menonton pertempuran. Ketika para penjaga hendak menyerbu dan membantu selir Raja itu, menghadapi tiga orang penjahat, Lu Sian menggerakkan tangan mencegah mereka sambil berkata,

   "Jangan Bantu!"

   Para penjaga kaget dan heran, biarpun sudah dicegah mereka tetap maju dengan senjata ditangan. Karena Lu Sian bukan anggota istana, mereka menjadi ragu-ragu untuk mentaati pencegahannya, bahkan dua orang penjaga sudah menerjang maju, untuk membantu. Namun, sekali tampak kelebatan sinar pedang seorang diantara tiga orang penjahat itu, dua orang penjaga itu berteriak dan roboh mandi darah!

   "Tolol! Mundur dan jangan Bantu aku!"

   Bentak Coa Kim Bwee. Kini para penjaga itu terkejut dan cepat mundur. Tiga orang lawan itu amat lihai dan kini selir raja yang berpengaruh itu sendiri melarang mereka, maka mereka hanya berdiri menonton dengan hati gelisah. Betapa mereka tidak akan gelisah menyaksikan kehebatan tiga orang tamu malam itu yang mainkan pedang mereka begitu ganas sehingga selir ke tujuh itu sendiri terdesak hebat?

   "Siauw-moi, keluarkan ular!"

   Tiba-tiba Lu Sian berkata dan gerakan pedang Coa Kim Bwee tiba-tiba berubah. Pedangnya berlenggak-lenggok gerakannya, kadang-kadang ujungnya berkelebat seperti ular mematuk. Inilah Ilmu Pedang Sin-coa Kiam-hoat yang mulai dipelajarinya dari Lu Sian. Memang Coa Kim Bwee memiliki dasar yang kuat serta sudah menguasai gerakan ilmu silat tinggi, maka biarpun baru belajar beberapa bulan, pedangnya sudah amat berbahaya gerakannya.

   Tiga orang lawannya itu terkejut dan mereka pun mengubah gerakan pedang, bahkan kini mereka mengurung dalam bentuk segitiga yang disebut Sim-seng-tin (Barisan Bintang Hati). Bintang Hati adalah tiga buah bintang yang kedudukannya di ujung segitiga. Karena Sin-coa Kiam-hoat itu gerakannya menyerang langsung kedepan dengan perubahan yang amat aneh dan sukar diduga, maka kini dikurung dengan terdesak. Setiap kali ujung pedangnya menyerang seorang lawan, yang dua sudah menerjangnya, agaknya rela mengorbankan seorang kawan akan tetapi berhasil merobohkan yang dikeroyok. Tentu saja Kim Bwee tidak mau mengadu nyawa sehingga serangannya selalu ia tarik kembali dan gagal. Ia menjadi sibuk sekali dan akhirnya kembali hanya menggerakkan pedangnya diputar cepat melindungi tubuhnya.

   
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Siauw-moi, mundur!"

   Teriak Lu Sian sambil melompat maju. Sekali sambar, ia menarik dan melempar tubuh Kim Bwee kebelakang, kemudian menyerbu dengan tangan kosong! Tiga orang berpakaian hitam itu kaget sekali karena begitu tangan Lu Sian bergerak tiga batang jarum meluncur cepat menuju dada mereka. Namun dengan gerakan tangkas ketiganya berhasil menyampok jarum itu dengan pedang, dan pada saat itu mereka mencium bau harum dari jarum itu dan lebih semerbak lagi bau harum keluar dari rambut Lu Sian tercium hidung mereka.

   "Tok-siau-kwi...!"

   Seorang diantara mereka berseru kaget. Memang nama besar Tok-siauw-kwi pada waktu itu sudah amat terkenal dimana-mana setelah Lu Sian melakukan perbuatan-perbuatan menghebohkan dipelbagai perkumpulan silat. Yang membuat ia terkenal, selain ilmu silatnya yang tinggi dan wataknya yang ganas, juga terutama sekali bau harum dari tubuhnya dan Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) yang amat berbahaya. Maka sekali melihat jarum merah yang wangi serta bau harum dari tubuh wanita cantik ini, tahulah tiga penyerbu istana itu bahwa mereka berhadapan dengan Tok-siau-kwi!

   "Tok-siau-kwi, kau orang Beng-kauw, mengapa mencampuri urusan kami!"

   Bentak pula seorang diantara mereka sambil melintangkan pedang didepan dada.

   "Hemmm, aku mencampuri atau tidak, kalian peduli apa? Sekali menyebut nama julukanku, berari harus mati. Tahukah kalian akan hal ini?"

   Kata Lu Sian sambil tersenyum dingin. Tiga orang itu menjadi marah. Mereka adalah patriot-patriot pengikut Kerajaan Tang yang setia, maka biarpun menghadapi tokoh seperti Tok-siauw-kwi, mereka tidak menjadi takut, bahkan kini berbareng mereka menerjang dengan gerakan pedang yang dahsyat.

   "Kau menghianati suamimu...!"

   Begitu ucapan itu keluar dari mulut seorang penyerbu, tiba-tiba orang ini menjerit dan roboh tak bernyawa lagi. Ternyata secepat kilat Lu Sian telah menggunakan Ilmu Totokan Im-yang-ci (Totokan Im Yang) yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Kuil Siauw-lim-pai! Hebat sekali gerakannya dan kini dua batang pedang telah menusuk, sebuah dari depan mengarah dada kirinya, sebuah lagi dari belakang membacok kepalanya. Diserang dari depan dan belakang ini, Lu Sian tiba-tiba mengenjot tubuhnya mencelat keatas.

   "Wuuuttt! Singggg!"

   Dua batang pedang itu meluncur lewat dari atas Lu Sian menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang itu terurai dan menyambar, terpecah menjadi dua gumpal rambut hitam halus panjang yang secara tiba-tiba telah berhasil melibat leher kedua orang pengeroyoknya. Ketika Lu Sian meloncat kebelakang, kedua orang itu ikut terbanting dan dua kali tangan Lu Sian bergerak terdengar suara

   "Plak! Plak!"

   Dan robohlah dua orang itu. Pada punggung mereka tampak tanda jari-jari tangan yang berwarna merah, tapak tangan yang membakar baju dipunggung, menembus kulit dan terus hawa pukulannya yang penuh racun merusak isi dada membuat mereka tewas seketika!

   "Hebat, Cici..."

   Coa Kim Bwee berseru girang sekali. Lu Sian hanya tersenyum dan menggeleng kepala.

   "Cici, harap kau suka ajarkan pukulan-pukulan itu..."

   "Mari kita pulang."

   Karta Lu Sian tenang saja. Coa Kim Bwee memberi perintah kepada para pengawal untuk mengurus mayat-mayat yang bergelimpangan, lalu berkata.

   "Harap Cici suka pulang dulu dan mengaso, saya harus memberi laporan kepada Baginda."

   Memang pada waktu itu, pengawal dalam dari Kaisar telah keluar, yaitu dua orang thaikam (orang kebiri) yang mewakili junjungan mereka untuk memeriksa keributan diluar istana. Ketika Coa Kim Bwee kembali ke kamar Lu Sian, ia memeluk gurunya ini dengan penuh kagum.

   "Cici kepandaianmu hebat sekali! Raja sendiri telah mendengar akan jasamu dan beliau memerintahkan saya memanggil Cici menghadap."

   Lu Sian mengerutkan kening.

   "Ehhh...? Aku... tidak suka..."

   "Akan tetapi, Cici. Sepak terjangmu tadi disaksikan banyak pengawal dan para thaikam tentu memberi laporan. Bukan aku yang membocorkan kehadiranmu disini. Jangan khawatir, beliau hanya akan menyampaikan penghargaannya, dan akulah yang menanggung bahwa Cici takkan mendapat susah dan tetap akan bebas. Pula... eh..."

   Wanita itu tertawa genit.

   "Bukan hanya raja yang kagum kepadamu, Cici. Juga disana akan hadir semua pangeran dan panglima muda, bukankah ini kesempatan baik untuk... eh, belajar kenal dengan mereka?"

   Lu Sian tersenyum dan mengerling genit.

   "Iihhh! Tentu hanya pangeran-pangeran dan panglima-panglima pucat dan panglima-panglima bopeng (cacat)!"

   "Hi-hi-hik! Siapa bilang? Masa saya berani berdusta? Cici lihat saja. Ada Pangeran Kang yang tampan seperti gadis cantik berpakaian pria, ada pula Pangeran Liang yang gagah perkasa, bertubuh seperti seekor harimau jantan. Dua orang pangeran ini termasuk pangeran-pangeran yang sukar didekati, saya sendiri tidak pernah berhasil. Barangkali Cici..."

   "Ihh! Kalau kau saja mereka tolak, apalagi aku yang lebih tua!"

   "Lain lagi engkau dan aku, Cici. Kau lebih cantik, lebih menarik, pula kepandaianmu istimewa. Masih ada lagi beberapa orang panglima yang tampan dan ganteng, pendeknya Cici takkan kecewa, tinggal pilih..."

   "Sudahlah, kita tidur. Besok saja kita lihat..."

   Demikianlah, dua orang wanita yang menjadi hamba nafsu itu tidur mengaso.

   Pada keesokan harinya, Lu Sian diajak Coa Kim Bwee menghadap Raja dan benar saja, Lu Sian menjadi pusat perhatian, bukan hanya oleh Raja, akan tetapi juga oleh para pangeran dan panglima yang merasa amat kagum. Dan benar pula seperti yang dikatakan Kim Bwee, disitu hadir pangeran-pangeran yang amat tampan dan panglima-panglima yang amat gagah. Raja sendiri amat ramah menyambut Lu Sian. Raja kerajaan Hou-han ini amat pandai dan cerdik. Ia maklum bahwa kerajaannya selalu dimusuhi pihak yang ingin meruntuhkannya, oleh karan ini ia perlu membaiki para tokoh pandai. Dengan ucapan manis ia menyatakan syukur dan terima kasihnya atas bantuan Lu Sian dan melihat kenyataan bahwa Lu Sian adalah kakak angkat selirnya yang ke tujuh, raja menganugerahkan gelar Pelindung Dalam Istana kepada Lu Sian dan memberi kebebasan kepada Lu Sian untuk pergi kemana saja dalam istana tanpa ijin lagi. Kehormatan besar yang hanya dimiliki permaisuri dan kepala pengawal! Kemudian ia memberi hadiah sutera-sutera halus dan perhiasan ketika Lu Sian diberi perkenan mengundurkan diri.

   Setelah kembali kekamar sendiri, Kim Bwee berseru girang.

   "Wah, Raja suka kepadamu, Cici. Kalau kau mau..."

   "Hush! Kau mau samakan aku denganmu? Selera kita berbeda, Kim Bwee. Siapa suka melayani laki-laki setengah tua yang jenggotnya kasar itu? Tidak, aku tidak mau. Kalau Raja memaksa, aku akan minggat dari sini."

   Coa Kim Bwee tertawa.

   "Jangan kuatir, Cici. Saya dapat membujuk raja dan menyatakan bahwa kau sudah menjauhkan diri daripada pria. Beliau membutuhkan kepandaianmu, tentu tidak akan memaksa. Bagaimana pendapat Cici tentang para pangeran dan panglima muda? Hebat, kan?"

   Lu Sian tersenyum, memainkan biji matanya.

   "hebat sih hebat, akan tetapi sebagai wanita, bagaimana aku dapat mendekati mereka? Kau sendiri bilang, mereka itu sukar didekati."
(Lanjut ke Jilid 23)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 23
"Ihh, siapa berani menolak Cici? Tadi pun kulihat mereka melirak-lirik kearah Cici penuh kagum dan mengilar! Kalau memang Cici ada hasrat berkenalan, aku ada jalan untuk mempertemukan Cici dengan mereka."

   Selir ke tujuh Kaisar ini benar-benar pandai mengambil hati sehingga Lu Sian merasa gembira sekali. Setelah berjanji akan menurunkan Ilmu Pukulan Tangan Api Merah kepada Kim Bwee, Lu Sian lalu mengatakan tanpa malu-malu lagi bahwa diantara para muda yang hadir tadi, ia tertarik kepada dua orang pangeran dan seorang panglima muda.

   "Hi-hi-hik! Siapa bilang selera kita tidak cocok?"

   Kim Bwee bersorak.

   "Dan dua orang pangeran itu adalah Pangeran Kang yang kuilt mukanya halus seperti wanita, dan Pangeran Liang yang gagah seperti harimau. Cocok, bukan? Dan panglima muda itu adalah seorang jejaka asli, usianya baru dua puluh tahun, kuat seperti seekor kuda jantan dan pandai mainkan golok. Ganteng, ya? Terutama sekali kumisnya yang tipis dan dagunya. Hemm...!"

   Dengan lagak genit Kim Bwee meramkan matanya dan menelan ludah.

   "Cihh! Genit benar engkau, Kim Bwee. Bagaimana kau hendak atur agar aku dapat berkenalan dengan mereka?"

   "Mudah saja, mudah saja! Setelah Cici menjadi Pelindung Dalam Istana ini, sudah sewajarnya Cici mengadakan makan-makan dalam pesta perkenalan. Aku akan mengundang mereka dalam pesta, siapa bilang mereka akan berani menolaknya?"

   Malam hari itu, ditemani oleh Coa Kim Bwee, Lu Sian tercapai hasrat hatinya, makan minum semeja dengan tiga orang muda yang ganteng tampan, Pangeran Kang, Pangeran Liang dan Panglima Muda Cu Bian. Ketiga orang muda ini tentu saja mereka tidak enak untuk menolak undangan Lu Sian yang kini dikenal sebagai Sian-toanio (Nyonya Besar Sian), pelindung istana yang memiliki kepandaian tinggi. Biarpun dengan malu-malu, mereka merasa girang juga dapat berkenalan denga tokoh hebat ini dan bau semerbak harum di kala mereka makan bersama, membuat hati muda mereka berdebar-debar. Memang mereka semua maklum akan kegenitan selir ke tujuh kaisar yang sudah lama menggoda mereka, akan tetapi mereka tidak berani melayani karena mereka adalah orang-orang gagah yang tidak melakukan perbuatan hina.

   Akan tetapi, kecantikan dan kesaktian Sian-toanio benar-benar mengguncangkan hati dan pertahanan mereka. Karena kini Lu Sian bebas mengunjungi bagian mana saja dalam lingkungan istana, akhirnya kedua orang Pangeran Kan dan Liang roboh dalam pelukannya, tidak kuat menahan goda dan bujuk rayunya. Orang-orang muda yang kurang pengalaman ini tentu saja mudah dipermainkan Lu Sian yang sewaktu-waktu diwaktu malam dapat mengunjungi kamar mereka, dapat melakukan semua ini tanpa terlihat pengawal atau orang lain karena ia mempergunakan kepandaiannya yang tinggi. Akan tetapi dasar moralnya sudah bejat rusak, Lu Sian masih belum puas dengan hasil kemenangan-kemenangan ini. Sudah banyak ia berhasil menjadikan pangeran-pangeran dan panglima muda tunduk dan menjadi kekasihnya.

   Ia berpesta pora dengan pangeran-pangeran ganteng dan panglima-panglima gagah, namun satu hal membuat ia kecewa dan penasaran. Yaitu Panglima Muda Cu Bian yang sampai berbulan-bulan belum juga mau menyerah! Panglima muda ini benar-benar keras hati dan setiap kali Lu Sian datang, melayani wanita ini dengan sopan dan keras, tidak mau tunduk dan tak pernah menyatakan tanda-tanda runtuh dibawah sikap manis dan bujuk rayu. Malam itu, untuk kesekian kalinya Lu Sian yang merasa penasaran mendatangi kamar Panglima Muda Cu Bian. Pemuda ini tengah membaca kitab di dalam taman di luar kamarnya, di bawah penerangan lampu kehijauan. Ketika melihat bayangan berkelebat, Cu Bian cepat melompat berdiri dan siap karena pada masa itu memang tidak aneh kalau ada musuh datang di waktu tengah malam. Akan tetapi ketika melihat bahwa yang datang adalah Lu Sian ia tersenyum dan berkata.

   "Ah, kiranya Sian-toanio yang datang. Silakan duduk!"

   Lu Sian tersenyum manis dan duduk di atas bangku depan pemuda itu sambil berkata,

   "Cu-ciangkun benar-benar rajin sekali, asyik mempelajari kitab apakah?"

   Cu Bian tersenyum dengan muka merah.

   "Ah, Toanio, sungguh malu kalau bicara tentang ilmu didepanmu. Aku terlalu bodoh untuk memahami isi kitab ini."

   "Ilmu apakah yang berada dalam kitab?"

   "Ilmu Sia-kut-hoat (Lemaskan Tulang)."

   "Ah, Ciangkun sudah begini lihai masih mempelajari Sia-kut-hoat?"

   Cu Bian cepat berdiri dan menjura.

   "Harap Toanio jangan mentertawakan aku yang masih bodoh."

   Lu Sian menutupi mulutnya menyembunyikan tawa.

   "Para panglima disini benar-benar pandai merendahkan diri. Ciangkun, apakah kau menemui kesukaran dalam pelajaran Sia-kut-hoat?"

   "Benar, Toanio."

   "Hemm, apakah sukarnya? Kurasa mudah saja mempelajari ilmu ini. Kalau Ciangkun suka, boleh saja aku mengajarmu sampai berhasil."

   "Sungguh? Ah, terima kasih, Toanio, terima kasih."

   "Ciangkun suka?"

   "Tentu saja saya suka, kalau tidak terlalu mengganggu Toanio."

   "Ilmu Sia-kut-hoat berinti kepada pengguna hawa sakti dalam tubuh. Akan tetapi untuk mengetahui sampai dimana tingkat Ciangkun, harap Ciangkun memberi petunjuk sebentar. Mari kita main-main sebentar, Ciangkun boleh saja menggunakan golokmu yang terkenal ampuh, dan akan kuperlihatkan betapa Sia-kut-hoat dapat melawannya."

   "Mana saya berani? Tak usah dengan senjata, baik dengan tangan kosong saja, akan tetapi harap Toanio jangan mentertawai kebodohanku."

   Lu Sian berdiri dan tersenyum manis.

   "Tangan kosong pun boleh. Nah, silakan, Ciangkun."

   Karena mendapat janji akan diberi pelajaran Ilmu Sia-kut-hoat yang amat ia inginkan, pemuda ini memenuhi permintaan Lu Sian, lalu menyimpan bukunya dan berdiri menghadapi Lu Sian. Akan tetapi karena ia merasa sungkan-sungkan, ia menjura dan memberi hormat.

   "Harap Toanio maafkan kelancanganku."

   "Tak usah Ciangkun sungkan, mulailah."

   "Toanio, awas serangan!"

   Sambil berkata demikian Cu Bian menyerang dengan pukulan ke arah pundak. Pukulan ini seharusnya menuju ke dada, akan tetapi Cu Bian yang pemalu merasa tidak pantas memukul dada dalam latihan maka memukul pundak. Diam-diam Lu Sian menjadi gemas. Pemuda ini amat pemalu dan terlalu sopan, pikirnya. Ia segera mengangkat tangannya menangkis, sengaja bergerak perlahan dan lambat. Sebagai seorang ahli silat yang sudah pandai, tentu saja Cu Bian melihat kelambatan ini. Betapapun juga ia seorang panglima muda yang sudah terkenal, tentu saja dalam pertandingan ilmu silat, ia ingin mencari kemenangan.

   Melihat tangkisan lambat ini, kepalan tangannya dibuka dan ia menangkap lengan Lu Sian sambil menariknya. Tepat sekali tangannya berhasil mencengkeram kulit lengan yang halus dan hangat. Akan tetapi mendadak sekali pegangan yang erat itu terlepas seakan-akan lengan itu seekor belut atau ular yang licin, dan seakan-akan tulang lengan itu lenyap. Ia kaget sekali.

   "Nah, itulah kegunaan Sia-kut-hoat, Ciangkun. Kau boleh menangkapku lagi dimana saja!"

   Tantang Lu Sian sambi tersenyum. Cu-ciangkun masih belum mau percaya.

   "Maaf, Toanio!"

   Katanya dan ia bergerak maju, kedua tangannya cepat sekali berhasil menangkap kedua lengan Lu Sian dan kini ia mengerahkan tenaga, jari-jari tangannya mencengkeram. Dengan mulut tetap tersenyum Lu Sian berkata,

   "Yang keras, Ciangkun, lebih keras lagi."

   Cu Bian penasaran sekali dan mempererat pegangannya, tidak peduli lagi apakah pegangannya itu akan meyakitkan, bahkan ia lalu mempergunakan cengkeraman dari Ilmu Silat Eng-jiauw-kang (Ilmu Cakar Garuda). Dengan ilmu ini, ia berani mencengkeram senjata tajam lawan, maka kini memegang lengan halus, dapat dibayangkan betapa kuatnya. Namun tiba-tiba Lu Sian mengeluarkan suara lirih dan... tahu-tahu kedua lengannya sudah terlepas lagi dari cengkeraman Cu Bian!

   "Hebat...!"

   Cu Bian berseru girang.

   "Cu-ciangkun, kalau hanya mencoba dengan lengan saja, tentu akan dikira bahwa Sia-kut-hoat hanya dapat dipakai untuk melemaskan tulang lengan. Cobalah sekarang Ciangkun menangkapku seperti orang menangkap pencuri, boleh Ciangkun menjepit tubuhku dengan kedua lengan boleh kau rangkul dan jepit."

   Seketika wajah Cu Bian menjadi merah.

   "Ini... ini... mana saya berani...?"

   "Ihh, Ciangkun mengapa sungkan-sungkan dan malu-malu? Bukankah kita ini sedang berlatih menguji ilmu? Hayo, lakukanlah jangan ragu-ragu. Sebaiknya Ciangkun menggunakan ilmu menangkap yang paling kuat, membekuk leherku melalui bawah kedua lenganku keatas."

   Berdebar jantung Cu Bian. Dilubuk hatinya ia amat mengagumi wanita ini, kagum akan ilmu kepandaiannya, juga kagum akan kecantikannya. Akan tetapi dia bukanlah seorang pemuda hidung belang, dan ia selalu menjaga kesopanan dan menjaga nama. Kalau saja ia tidak amat ingin mempelajari Sia-kut-hoat, agaknya ia akan berkeras menolak. Merangkul seperti itu sama saja dengan memeluk, pikirnya.

   "Aku... aku... tidakkah itu berarti saya berani kurang ajar terhadap Toanio?"

   Ia masih membantah dan ragu-ragu. Makin gemas hati Lu Sian. Benar-benar seorang pemuda istimewa. Belum pernah ia bertemu dengan pemuda yang begini pemalu dan tahan uji dan kuat menahan perasaan.

   "Cu-ciangkun, bagaimana ini? Aku sedang memberi petunjuk tentang Sia-kut-hoat yang ingin kau pelajari, mengapa begini saja kau keberatan? Ada apakah terselip dalam hatimu?"

   Makin bingung dan guguplah Cu Bian mendengar ini. Celaka, pikirnya. Keraguanku ini bahkan menimbulkan kesan bahwa memang hatiku memikirkan hal-hal kurang layak! Ia segera melangkah maju dan berkata tegas,

   "Baiklah, Toanio!"

   Lu Sian tersenyum mengejek lalu membalikkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas.

   "Nah, kau bekuklah aku!"

   Cu Bian mendorong kedua lengannya melalui bawah lengan Lu Sian, lalu membalikkan tangan ke atas dan kedua tangannya bertemu diatas tengkuk Lu Sian. Jantungnya berdebar makin keras dan pemuda ini memejamkan matanya menggigit bibir! Kasihan sekali pemuda yang hijau ini. Mana ia tidak merasa "tersiksa"

   Ketika kedua lengannya merasai kulit leher yang halus, dadanya merapat pada punggung yang lunak, hidungnya dekat sekali dengan rambut yang harum semerbak? Demi kesopanan ia agak mengundurkan tubuhnya dan pelukannya pada leher mengendur.

   "Eh-eh, bagaimana ini? Kalau cara Ciangkun membekuk pencuri selemah ini, tanpa Sia-kut-hoat sekalipun akan mudah lepas. Jangan sungkan-sungkan, Ciangkun. Atau... kuatirkan engkau kalau-kalau leherku akan patah?"

   Cu Bian makin bingung dan terpaksa sekali ia mengerahkan tenaga mempererat kedua lengannya yang membekuk leher dan untuk melakukan ini, terpaksa pula ia merapatkan dadanya ke punggung Lu Sian. Jantungnya berdebar kencang sekali, darahnya berdenyut-denyut dan kepalanya menjadi pening, napasnya terengah-engah! Lu Sian tersenyum, hampir terkekeh geli. Tentu saja ia dapat merasakan betapa dada bidang dan keras yang merapat punggungnya itu berdenyut-denyut keras, betapa kedua lengan yang berotot dan kuat itu menggigil, betapa napas di belakang tengkuknya itu panas sekali dan terengah-engah! Makin kagumlah ia. Alangkah kuatnya pemuda ini, kuat lahir batin. Tubuhnya kuat, juga batinnya kuat sehingga biarpun nafsu muda yang sudah selayaknya itu masih dapat bertahan dan berusaha menekannya.

   "Yang lebih kuat lagi, Ciangkun!"

   Ia menggoda dan sengaja berlama-lama melepaskan diri sehingga pemuda itu merasa semakin "tersiksa".

   "Sudah cukup, Toanio. Lekaslah gunakan Sia-kut-hoat..."

   "Kenapa sih Ciangkun terburu-buru?"

   Lu Sian menggoda terus.

   "Saya... eh... saya kuatir kalau-kalau... Toanio akan terluka..."

   Karena sudah yakin bahwa diam-diam pemuda ini tidak dapat menahan daya tarik kewanitaannya, Lu Sian lalu berkata,

   "Nah, yang kuat, kerahkan tenagamu, aku akan melepaskan diri!"

   

Tangan Geledek Eps 34 Tangan Geledek Eps 22 Bu Kek Siansu Eps 12

Cari Blog Ini