Ceritasilat Novel Online

Suling Emas 34


Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 34



Gan-lopek berlari pergi sambil menarik napas panjang. Tentu saja ia tidak bisa nekat seperti Kim-mo Taisu. Dia adalah orang luar yang tidak tahu-menahu tentang urusan mereka. Kalau tadi ia turun tangan membantu Kim-mo Taisu adalah karena ia melihat dua belas orang Khitan itu hendak menggunakan jala yang ia kenal dan tahu amat berbahaya itu. Pula ia memang merasa simpati dan suka kepada Kim-mo Taisu yang namanya terkenal harum. Ia sudah turun tangan menolong Kim-mo Taisu dengan jalan merobohkan dua belas orang tukang jala. Dan ia pun baru saja tertolong oleh Kim-mo Taisu dari ancaman maut di tangan Ban-pi Lo-cia. Sudah impas. Akan tetapi dia sudah terluka dan tak mungkin nekat memberikan nyawanya tanpa sebab. Kim-mo Taisu boleh nekat, mungkin mempunyai alasan yang kuat untuk tidak melarikan diri.

   Memang wawasan Gan-lopek itu benar. Andaikata Kim-mo Taisu tidak berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, agaknya ia pun akan melarikan diri. Lawan juga menggunakan kecurangan dengan mengeroyok, maka melarikan diri bukanlah hal yang memalukan. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Kong Lo Sengjin. Semua perhitungan harus diselesaikan saat itu juga. Pertandingan antara Kim-mo Taisu dikeroyok tiga orang lawannya masih berjalan seru. Biarpun Kim-mo Taisu telah terluka berat, akan tetapi pihak pengeroyok juga telah kehilangan Ban-pi Lo-cia. Kini Kim-mo Taisu hanya dapat membatasi diri dengan bertahan karena kalau ia terlalu banyak menghamburkan tenaga untuk menyerang, tentu keadaannya akan makin payah dan berbahaya. Pada saat lawan menyerang saja ia mengandalkan kegesitannya mengelak sambil balas menyerang dan dengan cara ini ia dapat menghemat tenaganya. Ia sudah bertekad bahwa biarpun akhirnya ia kalah dan tewas, ia harus dapat merobohkan Kong Lo Sengjin lebih dahulu!

   Pada saat yang amat berbahaya bagi Kim-mo Taisu itu, tiba-tiba muncullah Bu Song dan sepasukan tentara. Melihat suhunya dikeroyok dan keadaannya payah, Bu Song mengeluarkan suara melengking tinggi dan mendahului pasukan itu meloncat kedepan. Munculnya Bu Song mengagetkan tiga orang yang mengeroyok. Kim-mo Taisu seorang diri saja sudah cukup berat dan sukar dirobohkan, apa lagi datang bala bantuan belasan orang banyaknya! Mereka terdiri dari orang-orang yang licik dan curang, maka begitu melihat pihak mereka terancam, tanpa dikomando lagi mereka lalu melompat pergi dan Luw Kiat yang pergi lebih dulu menyambar jenazah gurunya. Bu Song cepat menghampiri suhunya yang berdiri terhuyung-huyung.

   "Suhu...!"

   Tegurnya penuh khawatir. Kim-mo Taisu menggeleng kepala.

   "Tidak apa-apa. Dari mana kau? Mengapa kesini?"

   "Teecu baru saja datang. Dari kota raja mendengar akan keberangkatan Suhu bersama barisan. Teecu menyusul dan hendak membantu. Dilereng gunung barisan kita telah berhasil memukul mundur musuh dan kini sedang mengadakan pengejaran. Phang-ciangkun yang melihat Suhu belum juga kembali, menyuruh teecu menyusul kesini dengan pasukan pengawal. Apakah Suhu terluka?"

   Biarpun mukanya pucat dan punggungnya nyeri, Kim-mo Taisu masih sanggup melakukan perjalanan cepat bersama muridnya, mendahului pasukan turun dari puncak. Akan tetapi begitu tiba diperkemahan, pendekar ini kembali muntahkan darah segar dan roboh pingsan. Bu Song menyambar tubuh suhunya, memondongnya kedalam perkemahan dan membaringkannya, lalu merawatnya. Setelah siuman Kim-mo Taisu berkata,

   "Kong Lo Sengjin hebat sekali pukulannya. Akan tetapi tidak cukup hebat untuk merenggut nyawaku. Bu Song, kau cepat ceritakan pengalamanmu. Berhasilkah?"

   Setelah bertanya demikian, Kim-mo Taisu lalu duduk bersila dan mengatur napas. Bu Song yang maklum bahwa suhunya perlu mengaso dan memulihkan kesehatannya, segera menuturkan pengalamannya di Pek-coa-to dan perjumpaannya dengan Bu Tek Lojin. Perjalanannya berhasil baik dan merupakan berita menyenangkan, maka ia berani bercerita kepada suhunya. Benar saja, biarpun matanya dipejamkan, wajah Kim-mo Taisu berseri-seri mendengar penuturan muridnya. Ia masih mengatur napasnya, panjang-panjang, menarik napas sehingga dadanya mekar dan perutnya mengempis, ditahannya lama-lama baru dikeluarkan seenaknya. Begitu terus menerus. Kemudian ia membuka kedua matanya, memandang muridnya.

   "Keluarkan suling itu "

   Katanya lirih. Dengan hati bangga dan girang dapat menyenangkan hati suhunya, Bu Song mengeluarkan suling emas dari balik jubahnya, menyerahkan suling itu kepada suhunya. Akan
(Lanjut ke Jilid 33)
SULING EMAS (Seri ke 02 "

   Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 33
tetapi Kim-mo Taisu tidak memegang suling itu, hanya memandang dan berkata,

   "Memang betul ini suling emas, hadiah Bu Kek Siansu kepada sastrawan Ciu Bun. Apakah sudah kau pelajari cara meniupnya untuk mengiringi sajak dalam kitab?"

   "Sudah, Suhu."

   "Coba kau mainkan suling itu dalam gerakan Pat-sian Kiam-hoat."

   Bu Song melangkah mundur, lalu menggerakkan suling melakukan jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat. Baru tiga jurus suhunya sudah berkata.

   "Cukup! Kau sungguh bernasib baik sekali, muridku. Sekarang aku tidak khawatir lagi. Dengan bantuan Bu Tek Lojin, kau sudah melampaui gurumu...."

   "Ah, mana bisa begitu, Suhu? Murid yang bodoh..."

   Kim-mo Taisu tertawa dan bertanya memotong kata-kata muridnya,

   "Coba ceritakan bagaimana keadaan perang ketika kau tiba disini."

   Ternyata ketika Bu Song tiba di medan perang yang terjadi disekitar Pegunungan Tai-hang-san, pasukan-pasukan Sung berhasil menguasai keadaan dan memberi hajaran kepada pasukan-pasukan Khitan yang jumlahnya jauh kalah banyak.

   Girang hati Bu Song melihat keadaan ini dan disepanjang jalan, sambil bertanya-tanya kepada para perajurit tentang suhunya, Kim-mo Taisu, ia membuka jalan darah dan merobohkan setiap musuh yang hendak menghalangi jalannya. Akhirnya ia tiba diperkemahan besar itu dan pada saat itu, sedang terjadi penyerbuan hebat diperkemahan. Keadaan kacau balau dan perang terjadi dengan hebatnya. Keadaan para panglima terancam karena pihak musuh muncul seorang yang luar biasa sekali. Orang itu pakaiannya seba hitam, mukanya tertutup kedok tengkorak mengerikan, senjatanya sebuah sabit dan sepak-terjangnya pun menyeramkan. Gerakannya cepat dan tenaganya mujijat sehingga setiap orang perajurit yang berani menentangnya tentu roboh dengan tubuh terpotong menjadi dua! Akan tetapi, para perajurit pengawal itu adalah perajurit-perajurit pilihan yang tidak takut mati.

   Untuk menyelamatkan para komandannya dari ancaman manusia iblis ini, puluhan orang perajurit mengurung iblis itu. Biarpun banyak sekali perajurit yang roboh malang melintang dan tewas ditangan manusia iblis ini, namun Sang Manusia Iblis tidak mampu menerobos kedalam tenda besar untuk membunuh empat orang panglima. Pada saat itulah Bu Song tiba ditempat itu. Melihat keadaan ini, ia menjadi marah dan sekali melompat, ia telah melompati pagar manusia yang mengeroyok manusia iblis, tiba didepan iblis itu lalu menerjang dengan suling emasnya yang ia tahu adalah senjata yang ampuh sekali. Si Manusia Iblis itu tadi mengaku berjuluk Hek-giam-lo (Maut Hitam), kini berseru kaget karena hampir saja lehernya kena hantaman suling yang mengeluarkan sinar kuning. Ia cepat mengayun sabitnya yang tajam, ke arah pinggang Bu Song, akan tetapi dengan mudah Bu Song menangkis dengan sulingnya.

   Terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar menyilaukan mata ketika kedua senjata itu bertemu. Akan tetapi Hek-giam-lo memekik kesakitan, hampir saja sabitnya terlepas dari pegangan. Melihat betapa orang muda didepannya ini luar biasa kepandaiannya, Hek-giam-lo merasa khawatir, apalagi para perajurit pengawal yang nekat dan gagah berani itu masih mengepung. Ia mengeluarkan pekik aneh dan tubuhnya mencelat jauh, sabitnya diputar sehingga para pengawal terpaksa mundur. Kesempatan itu dipergunakan oleh Hek-giam-lo untuk melarikan diri! Setelah Hek-giam-lo lari, penyerbuan itu dengan mudah dan cepat dapat dibasmi habis. Selebihnya melarikan diri ke empat penjuru mencari selamat memasuki hutan-hutan dilereng gunung.

   "Demikianlah, Suhu. Karena musuh telah dapat diusir mundur, para ciangkun memimpin barisan melakukan pengejaran ke utara dan teecu disuruh menyusul Suhu bersama sepasukan pengawal tadi,"

   Bu Song mengakhiri ceritanya. Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, senang hatinya. Kemudian ia lalu mengerutkan keningnya lalu bertanya,

   "Kau bilang tadi bahwa sastrawan tua Ciu Bun dan kakek sakti Bu Tek Lojin bersikap aneh sekali setelah mendengar perpaduan suara antara sajak dalam kitab dan suara suling? Coba jelaskan lagi, karena hal itu amat menarik."

   Bu Song mengulang ceritanya tentang sikap Ciu Bun yang aneh setelah mendengar sajak terakhir dan iringan suara suling, kemudian betapa Bu Tek Lojin bersikap lebih aneh lagi. Dengan penuh perhatian Kim-mo Taisu mendengarkan, kemudian tiba-tiba ia berkata,

   "Bagaimana bunyi sajak terakhir itu?"

   Bu Song lalu membaca sajak dengan suara bernada tinggi rendah, jelas dan berirama. Gurunya mendengarkan dan sekali saja mendengar, sebagai seorang sastrawan, Kim-mo Taisu sudah hafal. Ia menarik napas panjang dan berkata.

   "Sajak yang baik dan mengandung kebenaran mutlak, namun terlalu tinggi untuk otak dan terlalu dalam untuk diselami pengertian. Hanya dapat diterima oleh rasa dan getaran. Akan kunyanyikan, coba kau iringi dengan tiupan suling, Bu Song muridku!"

   Tiba-tiba Kim-mo Taisu yang tadinya menanggung nyeri dipunggungnya tampak bergembira dan wajahnya berseri. Diam-diam Bu Song merasa khawatir. Dua orang tokoh golongan sastera dan silat bersikap aneh sekali mendengar perpaduan itu. Jangan-jangan suhunya juga akan bersikap aneh seperti mereka! Maka ia menjadi ragu-ragu. Siapa tahu perpaduan suara itu mengandung sesuatu yang mujijat dan jahat!

   "Jangan kau khawatir, Bu Song. Ciu Bun kegirangan seperti gila karena ia memang mencari dan mengharapkan sesuatu sehingga ketika mendapatkannya ia menjadi girang luar biasa. Bu Tek Lojin terlalu banyak melakukan hal-hal yang membuat ia merasa menyesal, mungkin karena sesalnya ia bersikap sedih seperti orang gila pula. Aku tidak mengharapkan sesuatu, juga tidak menyesalkan sesuatu, maka tidak akan apa-apa kecuali mendapatkan penjernihan batin. Mulailah!"

   Setelah berkata demikian, sambil duduk bersila dengan tulang punggung lurus, Kim-mo Taisu bernyanyi seperti Bu Song tadi, suaranya merdu dan nyaring.

   ADA muncul dari TIADA,
betapa mungkin mencari sumber TIADA?
Mengapa cari ujung sebuah mangkok?
Mengapa cari titik awal akhir sebuah bola?
Akhirnya semua itu kosong hampa,
sesungguhnya tidak ada apa-apa!

   Sampai tiga kali Kim-mo Taisu mengulang nyanyian ini, diiringi suara suling Bu Song yang merayu-rayu. Kemudian ia diam dan keadaan menjadi sunyi, sunyi hening dan gaib. Kim-mo Taisu memejamkan matanya. Dua butir air mata menempel diatas pipi. Napasnya tenang dan wajahnya tersenyum, seperti orang yang merasa puas dan lega. Tadinya Bu Song kaget melihat dua butir air mata, akan tetapi hatinya lega melihat wajah yang tenang tenteram itu.

   "Bu Song, dengarlah baik-baik,"

   Katanya, suaranya lirih sehingga Bu Song mendekat dan duduk bersila di atas lantai, di bawah gurunya.

   "Ada muncul dari tiada, akan tetapi tiada itu sendiri adalah suatu keadaan, karenanya, tiada juga muncul dari ada. Maka jangan salah duga, muridku, dan jangan salah laku. Mencari sesuatu dalam arti kata mengejar-ngejar, berarti mencari kekosongan. Segala sesuatu tercipta atau terjadi karena dua kekuatan Im dan Yang di alam semesta ini, yang saling tolak, saling tarik, saling isi-mengisi. Segala sesuatu yang ada dan yang tidak ada dalam pengertian manusia, terjadi oleh Im Yang ini, kemudian segala sesuatu di alam semesta ini saling berkait, saling mempengaruhi sehingga tidak mungkin lagi dipisah-pisahkan. Tidak ada yang paling penting dan tidak ada yang paling tidak penting, tidak ada yang paling tinggi ataupun paling rendah. Semua itu tali-temali dan kait-mengkait, seperti hukum Ngo-heng (Lima Anasir), Kayu, Api, Tanah, Logam, Air, saling mempengaruhi, saling membasmi juga saling menghidupkan, karenanya berputar dan terus berputar merupakan bibir mangkok. Tidak ada ujungnya dan tidak ada pangkalnya, tiada awal tiada akhir, sekali saja terganggu akan menjadi rusak sebentar dan mengakibatkan kekacauan, menjatuhkan korban, baru dapat pulih kembali, kait-mengait, berputar-putar. Semua sudah sewajarnya dan sudah semestinya begitu, jadi tidak perlu dianehkan atau diherankan lagi. Semua itu kosong, lahirmu, hidupmu, sepak terjangmu, susahmu, senangmu, matimu. Semua itu kosong dan hampa belaka karena memang sudah semestinya begitu, sudah wajar, sehingga pengorbanan perasaan dan pikiran itu sia-sia dan kosong belaka. Karena sesungguhnya yang disusah-senangi, ditawa-tangisi manusia, itu bukan apa-apa. Kosong hampa dan sesungguhnya tidak ada apa-apa! Mengertikah engkau, Bu Song?"

   Dengan terus terang Bu Song menjawab,

   "Terlalu dalam untuk teecu, Suhu. Teecu kurang mengerti."

   Kim-mo Taisu tersenyum dan membuka matanya. Sepasang matanya memancarkan sinar aneh dan tajam sekali, bening dan penuh pengertian.

   "Tidak aneh, Bu Song. Memang kau masih terlalu muda untuk mudah menangkap semua itu, sungguhpun engkau sudah banyak dijadikan permainan perasaan dan jasmanimu sendiri. Nah, contohnya begini. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Apakah yang aneh dalam peristiwa ini? Tidak aneh. Anak itu terlahir, tentu saja bisa mati karena sakit atau karena sebab lain. Jadi tidak aneh, dan sewajarnyalah kalau seseorang yang dilahirkan itu akan mati, cepat atau lambat. Kuulangi lagi. Seorang ibu kematian anaknya yang terkasih. Peristiwa wajar, bukan? Kejadian itu wajar, semestinya, tidak ada sifat suka maupun duka. Sang ibu berduka, menangis dan tersiksa hatinya, merana dan merasa sengsara. Inilah yang tidak wajar!"

   Bu Song kaget, terheran, jelas membayang diwajahnya.

   "Mengapa kukatakan tidak wajar? Memang, karena semua ibu bersikap demikian, bagi umum hal ini adalah wajar. Namun bagi hukum alam tidaklah wajar karena tidak ada kaitannya sama sekali antara dua peristiwa itu. Disusah-senangi, atau ditawa-tangisi, peristiwa kematian itu tidaklah berubah karena tidak ada pertaliannya! Sang ibu berduka sampai jatuh sakit paru-parunya. Nah, ini wajar, karena duka itu ada hubungannya dengan paru-paru, keduanya termasuk kekuasaan Im. Karena hukum kait-mengait, tali-temali inilah maka timbul bermacam peristiwa di dunia ini, semua wajar dan semestinya. Yang tidak semestinya, yang tidak wajar, mendatangkan kekacauan dan karenanya menimbulkan hal-hal lain sehingga meluas sampai menimbulkan perang, menjadikan wabah penyakit, menimbulkan bencana alam dan lain-lain karena perputarannya tidak selaras. Maka, kalau semua manusia dapat menempatkan diri masing-masing selaras dengan kehendak alam, kalau manusia dapat menyesuaikan diri dengan segala apa yang dihadapinya, menyesuaikan diri dengan segala apa yang diperbuatnya, dengan kehendak alam, maka kekuatan Im dan Yang akan berimbang, perputaran Ngo-heng akan sempurna, dunia akan tenteram dan aman."

   Sampai lama keadaan menjadi hening. Akhirnya Bu Song berkata,

   "Maafkan teecu, Suhu. Teecu yang masih bodoh hanya dapat menangkap secara samar-samar saja. Namun, menurut pendapat teecu, justeru menyesuaikan diri dengan kehendak alam itulah yang hanya mudah dibayangkan sukar dilaksanakan. Manusia sudah terlanjur menganggap wajar dan benar akan sesuatu yang sudah dilakukan dan dibenarkan banyak orang, sudah menjadi kebiasaan umum! Daun telinga wanita menurut kehendak alam tidak ada lubangnya, akan tetapi oleh manusia dilubangi untuk tempat perhiasan telinga. Ini sudah wajar dan benar menurut pendapat umum sehingga kalau ada wanita yang daun telinganya tidak dilubangi, dia ditertawai dan dianggap menyeleweng dari kebenaran umum. Pula, manusia terikat oleh wajib, terikat oleh hal-hal yang menyangkut kemanusiaan. Betapa dapat melepaskan diri daripada kemanusiaan, Suhu? Manusia dikurniai akal budi untuk dipergunakan. Maaf kalau kata-kata teecu keliru."

   "Tidak, kau tidak keliru. Memang semua ucapanku tadi hanya dapat diterima oleh getaran perasaan. Memang manusia mempunyai wajib, yaitu wajib ikhtiar. Dan kau memang betul bahwa sukar bagi kita untuk melepaskan diri daripada kemanusiaan. Kalau tidak, tentu kita akan dicap sebagai seorang gila karena menyeleweng daripada kebiasaan umum. Kurasa cukuplah Bu Song, kelak kau akan mengerti sendiri. Kalau kau sudah hafal akan isi kitab itu, kau pelajari dan selami baik-baik. Nah, tinggalkan aku, aku hendak mengaso dan memulihkan tenagaku."

   Bu Song keluar dari tenda suhunya. Diluar sunyi karena barisan sudah meninggalkan tempat itu. Hanya belasan orang pengawal tadi masih berjaga disitu, didepan satu-satunya tenda yang sengaja ditinggalkan untuk Kim-mo Taisu. Bu Song lalu menyuruh belasan orang pengawal itu menyusul barisan mereka, melapor kepada Phang-ciangkun bahwa Kim-mo Taisu selamat dan kini sedang beristirahat disitu, Enam belas orang pengawal itu memberi hormat lalu meninggalkan lereng untuk menyusul induk pasukan dan bergabung dengan teman-temannya. Kemudian Bu Song mengaso pula, dibagian belakang tenda. Lewat tengah hari, Bu Song mendengar suara ribut-ribut didepan tenda. Baru saja ia tadi hening dalam samadhinya sehingga ia tidak memperhatikan apa yang terjadi disekitarnya. Karena terganggu samadhinya, Bu Song melompat bangun dan lari kedepan. Kiranya suhunya sudah berdiri didepan tenda dan berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, Pouw-kai-ong, Luw Kiat dan Hek-giam-lo si manusia berkedok tengkorak seperti iblis!

   "Hemm, Kong Lo Sengjin! Kau merasa penasaran melihat aku masih hidup dan datang lagi hendak melihat aku mati? Baik, kau majulah dan mari kita selesaikan urusan kita agar lekas beres!"

   Kim-mo Taisu sudah siap dengan sikap tenang sekali, bahkan pedang dipunggung dan kipas dipinggang belum ia ambil. Sikap yang penuh ketenangan dan suara yang sama sekali tidak mengandung nada permusuhan itu agaknya membuat empat orang itu terpukul hati nuraninya.

   "Kwee Seng! Kau selalu membawa maumu sendiri, tidak mau menurut kehendakku. Karena itu engkau harus mati, kalau tidak tentu kau hanya akan merintangi usaha kami!"

   Kata Kong Lo Sengjin.

   "Kau harus menebus kematian Suhu!"

   Bentak Lauw Kiat sambil menggerakkan tongkatnya.

   "Ha-ha, Kim-mo Taisu. Ingatkah akan penghinaan-penghinaanmu belasan tahun yang lalu? Sekarang harus kau tebus!"

   Kata Pouw-kai-ong. Hanya Hek-giam-lo yang diam saja, dan diam-diam Kim-mo Taisu menduga-duga siapa gerangan orang yang bersembunyi di balik kedok tengkorak ini. Kim-mo Taisu menarik napas panjang.

   "Menang atau kalah, hidup atau mati, sama saja. Yang penting adalah berdiri diatas kebenaran! Kalau kalian merasa penasaran, majulah!"

   Pada saat itu Bu Song sudah tidak sabar lagi. Ia melompat keluar dan membentak,

   "Manusia-manusia berhati keji dan curang! Setelah memiliki ilmu kepandaian tinggi, mengapa masih belum dapat membuang sifat pengecut dan curang? Suhu sedang terluka, hal ini kalian semua tahu. Akan tetapi kalian datang berempat untuk mengeroyoknya. Di mana keadilan dan kegagahan kalian?"

   "Bu Song, kau mundurlah dan lihat saja. Jangan mencampuri dan melibatkan dirimu dengan urusan kotor ini. Bu Song, jangan kau tiru gurumu yang menanamkan pohon kebencian sehingga menghasilkan buah-buah dendam dan permusuhan."

   Suara Kim-mo Taisu tenang dan sabar, namun mengandung wibawa sehingga Bu Song terpaksa mundur lagi.

   Dada pemuda ini panas dan penuh amarah, namun ditekan-tekannya dan ia hanya dapat memandang dengan hati was-was dan penasaran. Muak ia melihat sikap musuh-musuh gurunya itu yang sama sekali tidak mengindahkan aturan dunia kang-ouw. Orang yang sudah menamakan dirinya pendekar, pantang melawan orang sakit, apalagi mengeroyoknya! Dan empat orang itu, melihat tingkat ilmunya, sudah menempati tingkat lebih tinggi daripada pendekar-pendekar silat biasa. Sungguh menjemukan dan menyakitkan hati, menimbulkan rasa penasaran. Diantara empat orang itu, agaknya hanya Lauw Kiat seorang yang masih memiliki harga diri. Lauw Kiat murid kedua Ban-pi Lo-cia ini adalah seorang Khitan peranakan.

   Ibunya seorang Khitan, ayahnya seorang Han yang bernama keturunan Lauw. Akan tetapi karena sejak kecil ayahnya telah meninggal dunia dan ia ikut ibunya di Khitan, maka ia berjiwa orang Khitan. Ia selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagi seorang gagah perkasa di Khitan, yang biarpun tidak mengikatkan diri dalam ketentaraan, namun ia setia kepada rajanya dan selalu membantu gerakan bala tentara Khitan. Ia menghargai kegagahan, dan mengenal tata cara, aturan dan sopan santun pendekar dunia persilatan. Mendengar teguran Bu Song tadi, merah seluruh muka Lauw Kiat. Ditegur tentang aturan oleh seorang pemuda, benar-benar amat memalukan. Maka ia lalu menerjang maju sambil berseru,

   "Kim-mo Taisu, aku membela kematian Suhu Ban-pi Lo-cia! Lihat seranganku!"

   Hebat juga serbuan Lauw Kiat ini, karena tongkatnya yang baru, berat dan terbuat daripada baja, menyambar ganas dan mendatangkan angin pukulan yang amat kuat.

   Kim-mo Taisu yang sudah terluka disebelah dalam tubuhnya dan masih belum sembuh, tidak mau menghamburkan tenaga dan ingin menyelesaikan pertandingan itu secara secepat mungkin. Maka ia tidak mengelak menghadapi sambaran tongkat baja itu, namun secepat kilat kipas dan pedangnya sudah berada dikedua tangan. Kipas ditangan kirinya menahan tongkat yang menjadi lekat pada kipas, kemudian bagaikan halilintar menyambar pedangnya sudah membabat kearah leher Lauw Kiat. Tokoh Khitan ini kaget bukan main. Berusaha keras membetot tongkatnya sambil merendahkan tubuh untuk menghindarkan sabetan pedang. Akan tetapi sungguh tak disangkanya bahwa pedang itu sama sekali tidak menyabet leher seperti tampaknya, melainkan membabat kaki. Kasihan sekali Lauw Kiat yang tidak sempat menghindarkan serangan luar biasa ini.

   Terdengar ia mengeluh dan robohlah tokoh ini dengan kedua kakinya buntung. Darah bercucuran dari kedua lutut yang sudah buntung itu, akan tetapi Lauw Kiat sudah pingsan, tidak merasai nyeri lagi. Kim-mo Taisu mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya dan tahu-tahu ia sudah berlutut didekat tubuh Lauw Kiat, menotok jalan darah dipaha untuk menghentikan darah yang mengalir keluar, kemudian mengeluarkan obat bubuk untuk mengobati luka agar melenyapkan rasa nyeri. Akan tetapi tiba-tiba Bu Song berseru,

   "Suhu, awas!"

   Seruan peringatan Bu Song ini tidak ada gunanya karena tentu saja pendekar sakti itu sudah tahu bahwa dia diserang hebat oleh Kong Lo Sengjin, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong secara berbareng, pada saat ia masih berlutut dan hendak mengobati luka kedua kaki Pak-sin tung! Cepat Kim-mo Taisu menggerakkan tubuh melesat pergi dari situ sambil membawa pedang dan kipasnya.

   Obat bubuk tadi ia sebarkan, merupakan senjata rahasia mengarah mata ketiga orang pengeroyoknya yang terpaksa melompat mundur, karena tahu bahwa jika obat bubuk itu memasuki mata, akan celakalah mereka, mata menjadi pedih dan tak dapat dibuka dan tentu saja akan berbahaya bagi mereka. Dalam detik-detik selanjutnya terjadilah pertandingan mati-matian yang amat cepat. Kalau tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian yang tinggi sudah mengeluarkan jurus-jurus simpanannya, pertandingan silat berubah menjadi adu nyawa yang cepat dan menyeramkan. Setiap gerak merupakan serangan maut. Cepat dan kuat, sukar diikuti pandangan mata, seakan-akan mereka sudah bergulat menjadi satu. Tiba-tiba terdengar suara keras, dan empat buah senjata runtuh dan rusak. Tongkat Pouw-kai-ong patah menjadi dua ketika bertemu secara hebat dengan kipas ditangan kiri Kim-mo Taisu yang juga robek tengahnya dan patah gagangnya.

   Senjata sabit ditangan Hek-giam-lo yang mengerikan itu juga patah menjadi tiga bertemu dengan pedang Kim-mo Taisu yang juga patah menjadi dua. Terdengar mereka mengeluarkan teriakan-teriakan kaget dibarengi dengan lengking tinggi yang keluar dari mulut Kim-mo Taisu dan tahu-tahu Kim-mo Taisu telah beradu telapak tangan dengan Kong Lo Sengjin. Keduanya berhadapan, Kim-mo Taisu agak merendahkan tubuh dengan lutut ditekuk, kedua lengan diluruskan kedepan, kedua telapak tangan beradu dengan telapak tangan Kong Lo Sengjin yang "berdiri"

   Dikedua tongkatnya. Mereka mengerahkan sin-kang dan mengadu tenaga dalam secara mati-matian! Pouw-kai-ong cepat menempelkan telapak tangan kanan kepunggung Kong Lo Sengjin sebelah kanan, dan Hek-giam-lo juga meniru perbuatan Raja Pengemis itu, menempelkan telapak tangan kiri ke punggung kakek lumpuh yang sebelah kiri. Mereka berdua sebagai ahli-ahli tingkat tinggi maklum bahwa dalam keadaan mengadu tenaga seperti itu, kalau mereka menyerang Kim-mo Taisu dengan pukulan, yang berbahaya adalah Kong Lo Senjin sendiri.

   Pukulan yang mengenai tubuh Kim-mo Taisu dapat "ditarik"

   Dan "disalurkan"

   Oleh lawan kepada Kong Lo Sengjin sehingga sama artinya dengan memukul kawan sendiri meminjam tangan lawan! Satu-satunya cara terbaik untuk membantu adalah seperti yang mereka lakukan. Tenaga sin-kang mereka tersalur dan membantu Kong Lo Sengjin menekan lawan. Hebat akibatnya. Tadinya menghadapi Kong Lo Sengjin yang sudah tua, Kim-mo Taisu masih menang tenaga. Kalau dilanjutkan, beberapa menit lagi tentu ia akan sanggup merobohkan kakek itu. Akan tetapi setelah dua orang lawannya yang lain datang mengeroyoknya, bukan main hebatnya tenaga yang tersalur melalui dua telapak tangan Kong Lo Sengjin,

   Kim-mo Taisu berusaha menahan, namun ia tidak kuat, apalagi karena disebelah dalam dadanya masih terluka cukup berat. Betapapun juga, pendekar yang gagah perkasa ini sama sekali tidak mengeluh, dan sama sekali tidak mau menyerah begitu saja. Ia tetap mengarahkan sin-kangnya dan mempertahankan diri sehingga wajahnya pucat, matanya berkilat dan dari kedua ujung bibirnya menetes darah segar! Melihat keadaan gurunya sedemikian rupa itu, Bu Song tak dapat tinggal diam lagi. Biarpun suhunya tadi sudah memesan agar ia tidak turut campur, namun bagaimana ia dapat berpeluk tangan melihat suhunya terancam kematian oleh tiga orang lawan itu?

   "Maaf, Suhu. Terpaksa teecu harus turun tangan!"

   Ia membentak dan segera melompat maju. Seperti juga Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, Bu Song mengerti bahwa untuk membantu suhunya yang sedang mengadu tenaga dalam itu, sama sekali ia tidak boleh menggunakan Iwee-kang memukul para lawan suhunya karena hal ini amat membahayakan suhunya sendiri. Maka ia lalu menggerakkan kedua tangannya, keduanya dengan jari-jari terbuka, yang kanan menusuk kearah mata Pouw-kai-ong sedangkan yang kiri merenggut kedok hek-giam-lo.

   Perhitungan Bu Song tepat, Pouw-kai-ong yang ia serang matanya, dan tidak dapat mengelak mau tak mau harus melayaninya dengan tangkisan, yang berarti menarik tenaganya membantu Kong Lo Sengjin, sedangkan Hek-giam-lo yang selalu mengenakan kedok, tentu merupakan pantangan paling besar baginya untuk dibuka kedoknya dan pasti akan melayaninya. Kalau dia menggunakan suling, tentu hasilnya lebih baik. Namun betapapun juga, Bu Song tak sampai hati dan merasa malu harus menyerang dua orang yang tak bersiap itu dengan senjata! Pouw-kai-ong dan Hek-giam-lo yang melihat bahayanya serangan, cepat menangkis sambil melompat mundur, melepaskan bantuan mereka pada Kong Lo Sengjin. Bu Song kini baru mau menggunakan sulingnya dan sekali sulingnya bergerak, terdengar suara melengking tinggi dan sinar suling itu membawa hawa pukulan dahsyat. Bukan main kagetnya Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong karena mereka maklum bahwa tenaga dan kepandaian orang muda itu hebat bukan main, jelas tampak dari gerakan serangan itu.

   Sedangkan mereka berdua sudah tidak bersenjata lagi, yang tadi patah dan rusak sampyuh (sama-sama rusak) dengan senjata-senjata Kim-mo Taisu. Maka mereka hanya mengandalkan gerakan mereka yang cepat untuk mengelak dan mundur-mundur! Sementara itu, Kim-mo Taisu yang sudah terluka hebat disebelah dalam tubuhnya, ketika melihat betapa Kong Lo Sengjin ditinggalkan kedua orang pembantunya, cepat mengerahkan tenaga terakhir dan mendorong sekuatnya. Kong Lo Sengjin mengeluh dan tubuhnya terlempar sampai enam tujuh meter kebelakang, seperti daun kering tertiup angin, lalu roboh terbanting. Ketika ia bangkit berdiri diatas kedua tongkatnya, wajahnya pucat sekali, matanya seperti tidak bersinar lagi, dan tanpa berkata apa-apa kakek ini melangkah pergi sempoyongan seperti orang mabok.

   "Bu Song, mundur!!"

   Kim-mo Taisu berseru. Bu Song girang mendengar suara suhunya dan ia mencelat mundur disamping suhunya, siap membela orang tua ini. Kim-mo Taisu lalu memandang dua orang musuh itu sambil berkata, suaranya penuh wibawa,

   "Apakah kalian masih hendak melanjutkan pertandingan?"

   Dua orang itu, Hek-giam-lo dan Pouw-kai-ong, tentu saja menjadi jerih hati mereka. Tanpa berkata apa-apa, Hek-giam-lo mengempit tubuh Lauw Kiat dan melompat pergi dari situ bersama Pouw-kai-ong yang juga pergi mengambil jurusan lain. Kedua tokoh ini memang telah dapat dibujuk oleh Kong Lo Sengjin untuk membantunya, bersama Ban-pi Lo-cia, dengan janji-janji muluk seperti biasa. Kini melihat betapa Kong Lo Sengjin sendiri telah dikalahkan Kim-mo Taisu dan pergi meninggalkan gelanggang tanpa mempedulikan mereka, tentu saja mereka pun tiada nafsu lagi untuk menandingi Kim-mo Taisu yang demikian saktinya. Setelah semua musuh pergi, Kim-mo Taisu terhuyung-huyung dan tentu roboh kalau saja tidak segera dipeluk oleh Bu Song.

   "Bagaimana, Suhu? Hebatkah lukamu...?"

   Kim-mo Taisu menggeleng kepala, menarik napas dalam lalu berdiri lagi, dibantu oleh Bu Song.

   "Lukaku hebat memang, dan berat, Akan tetapi tidak apa, sudah semestinya terjadi dalam pertandingan, tidak seberat luka Kong Lo Sengjin. Akan tetapi hatiku terasa pedih dan sakit. Bu Song, kau lihatlah baik-baik disekelilingmu... kau lihatlah mayat-mayat itu..."

   Tentu saja sejak tadi Bu Song sudah melihatnya. Ratusan, mungkin ribuan mayat berserakan disekitar lereng bukit, mayat-mayat tentara Sung dan Khitan yang belum sempat diurus orang karena perang masih terus terjadi, kejar-mengejar. Pemandangan itu amat mengerikan, juga menyedihkan.

   "Bu Song, kau berlututlah!"

   Tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata. Bu Song terkejut, juga merasa heran, akan tetapi ia tidak membantah, lalu menjatuhkan diri berlutut didepan suhunya.

   "Bersumpahlah bahwa kau menaati pesanku yang terakhir ini!"

   Bu Song menekan perasaannya yang diselimuti kedukaan karena ia maklum akan keadaan suhunya.

   "Teecu bersumpah demi Thian Yang Maha Kuasa akan menaati pesan Suhu."

   "Kau hanya boleh mempergunakan kepandaian silat yang kau miliki untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, untuk menentang yang jahat dan untuk menolong yang lemah tertindas, disamping penggunaan untuk membela diri. Kalau kau mempergunakan ilmu silatmu untuk menyombongkan kepandaian, untuk menanam permusuhan, dan untuk melampiaskan nafsu mencari kemenangan, kau... kau akan terkutuk..!"

   "Teecu akan mentaati pesan Suhu ini!"

   Jawab Bu Song, suaranya tegas karena keluar dari hati yang jujur. Tanpa pesan suhunya, memang ia pun berpendirian seperti yang diinginkan suhunya itu.

   "Jangan kau mendendam kepada siapa juga dan untuk dapat melakukan hal ini, kau harus mematikan rasa benci terhadap siapapun juga. Hati-hatilah terhadap wanita, Bu Song. Sesungguhnya, hidup gurumu selama ini jatuh bangun hanya karena wanita, karena kelemahan hatiku terhadap wanita. Jangan mudah menjatuhkan cinta, karena bagi penghidupanku selama ini, cinta itulah yang merupakan pangkal segala derita. Leburkan rasa cintamu menjadi kasih sayang yang merata terhadap semua manusia, dan hidupmu akan penuh bahagia."

   Kembali Kim-mo Taisu berhenti dan napasnya terengah-engah. Ia menekan dadanya dan wajahnya menjadi pucat sekali. Bu Song cepat bangun dan memeluk suhunya.

   "Mari kita masuk kedalam kemah dan beristirahat, Suhu."

   Kim-mo Taisu tidak membantah diajak masuk dan dibaringkan didalam, akan tetapi ia masih sempat memberi pesan terakhir,

   "Sewaktu-waktu.. pada hari pertama musim semi... datangilah puncak Thai-san. Siapa tahu kau berjodoh dengan... Bu Kek Siansu.."

   Kata-katanya terhenti karena Kim-mo Taisu lalu muntahkan darah segar. Bu Song terkejut dan cepat menolong. Dengan cepat tanpa ragu-ragu ia menotok beberapa jalan darah dileher dan dada suhunya seperti yang pernah ia pelajari dari suhunya, kemudian ia mengulur tangan, meletakkan telapak tangannya didada suhunya sambil mengerahkan tenaga. Akan tetapi tak lama kemudian Kim-mo Taisu membuka mata dan tangannya bergerak perlahan menolak tangan muridnya, bahkan memberi tanda dengan tangan agar muridnya keluar dari tenda.

   Ia bangkit duduk dengan susah payah. Bu song dengan hati terharu membantu gurunya bersila, kemudian melihat gurunya duduk diam meramkan mata, ia tidak berani mengganggu dan hendak keluar memenuhi permintaan gurunya dengan isyarat tangan tadi. Pada saat itu tampak sinar menyambar-nyambar dari luar tenda. Kiranya benda-benda itu adalah hui-to (pisau terbang) yang dilontarkan dengan kuat, bagaikan anak-anak panah meluncur keseluruh bagian tubuhnya yang berbahaya. Bu Song terkejut, namun tidak gugup. Dengan cepat dan tenang, kedua tangannya bergerak dan berhasil menyampok runtuh pisau-pisau terbang itu, bahkan kedua kakinya berhasil menendang pergi empat buah hui-to!

   "Pengecut keji!"

   Ia membentak dan ternyata yang muncul adalah Hek-giam-lo bersama sepuluh orang yang semua memegang sebatang pisau seperti yang menyambar tadi. Teringatlah Bu Song ketika ia masih kecil, melihat dua orang anggota Hui-to-pang yang membunuhi lawan dengan hui-to, kemudian dua orang itu terbunuh oleh Kong Lo Sengjin. Agaknya sepuluh orang yang kini ikut dengan Hek-giam-lo ini adalah anggauta-anggauta Hu-to-pang.

   "Hek-giam-lo, kau kembali mau apa? Dan sobat-sobat ini apakah orang-orang Hui-to-pang?"

   "Wah, bocah ini mengenal kita!"

   Seorang diantara pemegang pisau itu berseru dan tiba-tiba pisau ditangannya menyambar kearah leher Bu Song. Bu Song sengaja memperlihatkan kepandaiannya untuk mengecilkan nyali lawan. Ia tidak mengelak, melainkan membuka mulut dan "menangkap"

   Pisau itu dari samping dengan giginya! Kemudian sekali meniup, pisau itu meluncur cepat dan menancap pada batang pohon sampai kegagangnya!

   "Jangan mencari perkara, harap kalian pergi!"

   Kata Bu Song, teringat akan pesan suhunya.

   "Si Tua Bangka sedang terluka, serbu!"

   Teriakan ini keluar dari balik kedok tengkorak dan menyerbulah sepuluh orang itu, juga Hek-giam-lo mengurung Bu Song! Hek-giam-lo sudah mempunyai senjata baru, yaitu sabit bergagang panjang yang mengerikan. Agaknya tokoh ini memang mempunyai banyak senjata macam ini sehingga begitu senjatanya rusak, ia sudah memiliki gantinya. Bu Song mencabut sulingnya dan cepat ia melompat ke depan menyambut serbuan mereka.

   Dengan pengerahan tenaga sakti, ia menangkis sabit Hek-giam-lo mengeluarkan seruan aneh seperti orang menangis ketika sabitnya dihantam membalik. Akan tetapi Bu Song tidak dapat balas menyerang karena ia harus menghadapi para anggauta Hui-to-pang yang ternyata merupakan orang-orang lihai pula. Permainan golok mereka luar biasa, juga amat teratur merupakan barisan golok yang saling berantai, saling Bantu dan saling susul amat rapi! Dalam kemarahannya menyaksikan kecurangan Hek-giam-lo dan orang-orang ini yang hendak mendesak gurunya yang terluka parah, Bu Song mengeluarkah semua kepandaiannya dan dengan lengking tinggi yang keluar dari lubang sulingnya, senjata istimewa ini berhasil menotok roboh seorang pengeroyok dan orang kedua yang agaknya menjadi gentar oleh lengking suling, kena dihantam oleh tangan kiri Bu Song sehingga roboh bergulingan dan tidak mampu bangkit kembali!

   "Hek-giam-lo manusia curang! Diantara Suhuku dan engkau tidak ada permusuhan, mengapa kau mendesaknya?"

   Bu Song masih mampu melontarkan pertanyaan ini sambil memutar sulingnya dan berloncatan kekanan kiri.

   Akan tetapi Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus seperti seekor lembu, bahkan menerjang makin galak. Bu Song teringat betapa isteri gurunya juga tewas oleh seorang tokoh Hui-to-pang yang disuruh Kong Lo Sengjin, maka kemarahannya menjadi-jadi. Ia hanya tidak mengerti mengapa Hek-giam-lo memusuhi gurunya. Bukankah Hek-giam-lo tadinya muncul dalam barisan Khitan? Mengapa pula Hek-giam-lo kini mengajak orang-orang Hui-to-pang untuk mengeroyok gurunya yang sudah terluka parah? Tentu saja Bu Song sama sekali tidak tahu bahwa Hek-giam-lo ini bukan lain adalah Bayisan! Hek-giam-lo selalu mengenakan kedok tengkorak untuk menyembunyikan mukanya yang rusak dan mengerikan, bahkan menakutkan. Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan cerita ini, Bayisan yang menjadi Panglima Muda Khitan, adalah murid Ban-pi Lo-cia, murid terkasih yang telah mewarisi ilmu kepandaian kakek raksasa itu.

   Karena tergila-gila kepada Puteri Tayami, ia hendak memaksa puteri itu menjelang pembunuhan Raja Kulukan, ayah Puteri Tayami. Tentu saja yang melakukan pembunuhan gelap itu bukan lain adalah Bayisan sendiri yang bersekongkol dengan Pangeran Kubakan putera selir raja yang kemudian menggantikan kedudukan ayahnya yang ia suruh bunuh sendiri. Akan tetapi, tanpa disengaja, untuk melindungi kehormatannya yang hendak diperkosa oleh Bayisan, Puteri Tayami telah menaburkan racun pada muka Bayisan yang tadinya tampan sehingga muka Bayisan terbakar dan berubah menjadi seperti muka setan yang menakutkan. Semenjak malam itu, Bayisan melarikan diri dan tidak berani mucul lagi dimuka umum. Khitan kehilangan Bayisan yang melarikah diri ke hutan-hutan. Namun diam-diam Bayisan memperdalam ilmunya dengan hati penuh dendam.

   Beberapa tahun kemudian, Khitan menjadi gempar dengan munculnya seorang tokoh berkedok yang menamakan diri Hek-giam-lo. Akan tetapi karena ilmu kepandaian Si Kedok Tengkorak ini amat tinggi, ditambah pula agaknya Raja Kubakan bersahabat baik dengan Hek-giam-lo serta mempercayainya sebagai pengawal, maka tidak ada orang yang berani mencari tahu akan keadaan atau riwayatnya. Sesungguhnya, Hek-giam-lo ini pulalah yang telah diam-diam menewaskan Tayami dan suaminya, Salinga, didalam perang. Menewaskan dengan cara curang dari belakang selagi suami dan isteri yang patriotik ini maju perang membela bangsanya! Oleh karena Hek-giam-lo adalah murid Ban-pi Lo-cia, tentu saja ia mendendam karena Kim-mo Taisu yang telah menewaskan gurunya. Namun hal ini tidak ada seorangpun yang tahu, juga orang-orang yang terkenal di Khitan tidak ada yang tahu, tidak ada yang menduga bahwa Hek-giam-lo yang mengerikan itu sebetulnya adalah Bayisan, bekas Panglima Khitan yang dulunya tampan itu.

   Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tentu saja hanya Raja Kubakan yang tahu dan menerima sahabatnya itu, juga sutenya (adik seperguruannya), Lauw Kiat yang kini buntung kedua kakinya oleh Kim-mo Taisu. Tewasnya gurunya dan buntungnya kedua kaki Lauw Kiat membuat Hek-giam-lo marah sekali dan belum merasa puas kalau belum dapat membunuh Kim-mo Taisu! Inilah sebabnya mengapa ia memusuhi Kim-mo Taisu dan Bu Song yang tidak tahu duduk persoalannya, tentu saja merasa heran dan marah. Juga orang muda ini tidak tahu mengapa Hui-to-pang memusuhi Kim-mo Taisu, bahkan yang membunuh isteri gurunya, yang disuruh oleh Kong Lo Sengjin, adalah orang Hui-to-pang. Hal ini juga ada sebab-sebabnya. Ketika Kim-mo Taisu masih merantau sebagai seorang pendekar jembel gila, di kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung, Kim-mo Taisu pernah bentrok dengan ketua Hui-to-pang. Persoalannya adalah karena Ketua Hui-to-pang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya merampas dengan paksa seorang gadis yang dicintai puteranya.

   Puteranya jatuh cinta kepada seorang gadis anak pedagang kulit di kota itu. Maka diajukannya pinangan. Akan tetapi ayah si gadis menolak pinangan itu dengan alasan bahwa puterinya sejak kecil telah dipertunangkan dengan keluarga lain. Sesungguhnya ayah si gadis menolak karena tidak suka bermantukan putera Ketua Hui-to-pang yang terkenal sebagai perkumpulan tukang-tukang pukul. Kalau saja Ketua Hui-to-pang tidak mendengar akan dasar penolakan yang sesungguhnya, agaknya ia pun tidak akan memaksa setelah mendengar gadis itu sudah dipertunangkan dengan orang lain. Akan tetapi begitu mendengar alasan penolakan yang sesungguhnya, ia menjadi marah sekali. Toko Si Penjual Kulit diobrak-abrik, Si Penjual Kulit dan isterinya mati terbunuh dan anak perempuannya diculik! Kebetulan pada hari itu Kim-mo Taisu lewat di kota itu. Mendengar peristiwa ini bangkitlah jiwa pendekarnya dan malam hari ia mendatangi gedung Ketua Hui-to-pang.

   Kemarahannya memuncak ketika mendengar betapa gadis itu menggantung diri sampai mati setelah menjadi korban keganasan putera Ketua Hui-to-pang. Pertempuran terjadi dan Ketua Hui-to-pang yang tadinya memandang rendah kepada jembel gila itu dan yang marah karena Kim-mo Taisu dianggap terlalu lancang dan usil mengurusi urusan "sepele"

   Orang lain, ternyata kalah dan terluka! Ketika para anggauta Hui-to-pang hendak mengeroyok, Kim-mo Taisu berhasil menangkap putera Ketua Hui-to-pang dan dijadikan perisai sehingga ia berhasil keluar. Saking marahnya, ketika hendak meninggalkan tempat itu dan membebaskan putera Ketua Hui-to-pang, Kim-mo Taisu membuntungi ujung hidung dan kedua telinga pemuda hidung belang itu! Inilah sebab-sebab permusuhan dan dendam Hui-to-pang kepada Kim-mo Taisu, dan tokoh yang berhasil dihasut Kong Lo Sengjin dan membunuh isteri Kim-mo Taisu adalah adik kandung Hui-to-pangcu (Ketua) sendiri. Demikianlah tidak mengherankan apabila kini mereka bersekongkol dengan Hek-giam-lo untuk mengeroyok Kim-mo Taisu.

   Apalagi ketika mendengar dari Kong Lo Sengjin bahwa dua orang tokoh mereka yang berusaha menawan sastrawan Ciu Gwan Liong dalam usaha mereka merampas dan mencari kitab dan suling pemberian Bu Kek Siansu itu terbunuh oleh Kim-mo Taisu! Dendam mereka makin mendalam. Memang kakek tua renta yang lumpuh, Kong Lo Sengjin, bekas raja muda itu amat licin, penuh tipu muslihat dan curang. Pandai ia melempar batu sembunyi tangan, melemparkan kesalahan ke pundak orang untuk mengadu domba! Biarpun dua orang anggauta pimpinan Hui-to-pang sudah roboh oleh totokan suling dan pukulan tangan kiri Bu Song, namun jumlah mereka masih delapan orang dan karena kini mereka bergerak hati-hati dan tidak berani memandang rendah lawan muda ini, keadaan mereka menjadi lebih kuat daripada tadi.

   Apalagi Hek-giam-lo juga mendesak dengan terjangan-terjangan dahsyat. Pertandingan di luar tenda itu benar-benar seru dan mati-matian. Namun Bu Song seperti seekor burung garuda yang mengamuk Setelah mendapat gemblengan Bu Tek Lojin, gerakannya luar biasa sekali. Apalagi senjatanya merupakan senjata yang ampuh dan aneh, terbuat daripada logam yang tampaknya seperti emas, akan tetapi sesungguhnya merupakan logam campuran yang ajaib, yang menjadi lebih ampuh lagi karena benda ini tadinya milik Bu Kek Siansu, seorang pertapa yang sudah dijuliki dewa oleh tokoh-tokoh besar persilatan. Sepak terjangnya hebat menggetarkan para pengeroyoknya dan beberapa kali orang-orang Hui-to-pang itu kehilangan golok mereka yang terbang atau runtuh begitu terbentur suling yang mengandung tenaga sin-kang mujijat!

   Tiba-tiba orang-orang Hui-to-pang ini meloncat mundur dan begitu tangan mereka bergerak, golok terbang melayang dan meluncur cepat menghujani tubuh Bu Song! Bu Song kaget dan marah sekali, Ia memutar sulingnya dan menerjang maju, dengan tidak terduga-duga ia menggunakan kedua kakinya melakukan tendangan berantai dan robohlah dua orang Hui-to-pang setelah tubuh mereka mencelat sampai lima meter lebih! Namun pada saat itu, selagi Bu Song masih memutar sulingnya melindungi tubuh dari hujan hui-to dari empat penjuru, tiba-tiba terdengar angin keras dan berkelebatlah belasan batang hui-to yang mengeluarkan sinar menyilaukan mata! Inilah Cap-sha-hui-to (Tiga belas Golok Terbang) yang dilontarkan oleh Hek-giam-lo! Ketika Bayisan menyembunyikan diri, ia pernah mempelajari ilmu golok terbang dari Ketua Hui-to-pang, yaitu melontarkan golok sebagi senjata rahasia.

   Dan karena tingkat kepandaiannya memang amat tinggi, bahkan lebih tinggi daripada Ketua Hui-to-pang sendiri, maka begitu ia mendapatkan rahasia ilmu melontarkan golok terbang ia dapat menciptakan ilmu ini yang lebih hebat daripada orang yang mengajarnya. Ia dapat menciptakan golok yang gagangnya melengkung sehingga kalau ia melontarkannya, golok itu dapat terbang kembali kepadanya apabila tidak mengenai lawan dan dapat ia sambut dan pergunakan lagi! Lebih hebat pula, kedua tangannya dapat melontarkan tiga belas batang golok terbang sekaligus! Ini memang hebat luar biasa, karena Hui-to-pangcu sendiri, ketua Perkumpulan Golok Terbang, hanya dapat melontarkan sebanyak tujuh batang golok! Menghadapi serangan ini, Bu Song terkejut dan tentu saja ia memutar sulingnya menangkis sambil mengelak. Akan tetapi ia sama sekali tidak mengira bahwa golok yang tidak mengenai sulingnya, dapat terbang membalik.

   Ada tiga batang yang terbang membalik sehingga ia amat kaget dan berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi kurang cepat dan sebatang golok milik Hek-giam-lo menancap dipundak kirinya! Melihat hasil ini, enam orang Hui-to-pang menyerbu serentak dengan tusukan dan bacokan golok yang datang bagaikan hujan ke arah tubuh Bu Song. Bu Song mengeluarkan suara keras dari kerongkongannya, suara keras yang mengiringi pengerahan tenaga dalam, memutar sulingnya untuk melindungi tubuh karena Hek-giam-lo pun sudah menerjangnya lagi. Pundaknya terasa sakit dan panas sekali sehingga lengan kirinya hampir lumpuh. Keadaannya berbahaya sekali, namun Bu Song menggigit bibir dan memutar suling, mengambil keputusan akan melindungi suhunya sampai titik darah terakhir. Pada saat itu tiba-tiba Kim-mo Taisu muncul dipintu tenda. Mukanya tidak kelihatan pucat, matanya berkilat penuh wibawa, sikapnya menantang dan dia membentak,

   "Hek-giam-lo, kau masih tidak mau pergi? Orang-orang Hui-to-pang, belum puaskah kalian dengan pertumpahan darah dan pengorbanan nyawa?"

   Sambil berkata demikian, dengan mudah saja Kim-mo Taisu menggunakan ujung lengan bajunya menyampok beberapa buah hui-to yang menyambar ke arahnya, karena orang-orang Hui-to-pang sudah menyerangnya dengan hui-to begitu melihat musuh besar ini muncul. Golok-golok terbang itu runtuh dan patah semua menjadi dua potong!

   Gentarlah hati Hek-giam-lo dan sisa orang-orang Hui-to-pang ketika melihat Kim-mo Taisu yang ternyata masih gagah perkasa itu. Jelas bagi mereka bahwa kalau pendekar sakti ini maju, dengan bantuan muridnya yang pandai, pihak mereka akan mengalami kekalahan besar. Maka Hek-giam-lo mendengus dan membalikkan tubuh lalu berlari pergi, diikuti oleh enam orang anggauta Hui-to-pang yang tidak pedulikan empat orang temannya yang tewas. Begitu orang-orang itu lenyap dari pandangan, Kim-mo Taisu roboh terguling didepan pintu tenda! Bu Song cepat melompat dan berlutut memeriksa keadaan suhunya. Akan tetapi ternyata Kim-mo Taisu Kwee Seng, pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu telah menghembuskan napas terakhir.

   Bu Song menundukkan kepalanya, termenung sejenak, lalu ia mengangkat jenazah suhunya dibawa kedalam tenda dan dibaringkan. Bu Song lalu mencabut hui-to yang menancap dipundak kirinya. Darah mengucur keluar, akan tetapi segera berhenti setelah Bu Song menekan jalan darah dipundaknya dan menaruh obat bubuk pada luka dipundak. Ia tidak khawatir akan racun, karena menurut suhunya, tubuhnya sudah kebal terhadap racun. Kemudian Bu song mencari dan memilih tempat yang baik dilereng Gunung Tai-hang-san, menggali lubang dan mengubur jenazah suhunya, menaruh sebuah batu besar didepan kuburan. Kemudian ia mengerahkan tenaga, dengan jari telunjuk kanan Bu Song mencorat-coret pada permukaan batu itu dan terjadilah goresan sedalam dua senti meter yang membentuk huruf-huruf indah.

   MAKAM PENDEKAR BUDIMAN KIM-MO TAISU KWEE SENG

   Setelah itu, Bu Song lalu mengubur pula jenazah empat orang Hui-to-pang, lalu mendaki puncak mengubur mayat yang dilihatnya berserakan. Tak lama kemudian muncullah penduduk daerah Pegunungan Tai-hang-san. Mereka beramai-ramai lalu mengubur semua jenazah, baik mayat tentara Sung maupun mayat orang Khitan. Bu Song membantu sekuat tenaga. Saking banyaknya mayat disekitar pegunungan, pekerjaan dilanjutkan sampai keesokan harinya dengan mengubur lima sampai sepuluh mayat dalam satu lubang. Ketika pada keesekokan harinya akhirnya semua mayat terkubur, penduduk dusun tidak melihat lagi pemuda tampan yang ikut bekerja mati-matian tanpa mengeluarkan sepatah katapun itu. Bu Song telah pergi dengan diam-diam, hatinya trenyuh memikirkan keadaan perang dan segala akibatnya. Rakyat dusun, rakyat kecil yang tidak tahu apa-apa, yang selalu taat dan patuh dan takut, mereka inilah yang selalu menjadi korban terakhir.

   Tanpa diperintahkan mereka mengubur semua mayat. Mereka harus mengubur semua mayat itu karena kalau tidak, keselamatan mereka terancam oleh bahaya menjalarnya wabah penyakit yang hebat. Setelah gurunya meninggal dunia, barulah Bu Song merasa betapa hidupnya sunyi dan sebatang kara. Ada timbul ingatan dalam hatinya untuk pergi ke Nan-cao, menjumpai kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, ayah dari ibunya yang sampai kini tidak pernah ia jumpai. Tentu saja ia tidak pernah mimpi bahwa pernah ia bertemu dengan ibunya, bahkan ia berani menegur dan menasihati ibunya itu yang hendak membunuhnya! Sama sekali ia tidak pernah mimpi bahwa karena sikap dan kata-katanya maka ibunya menjadi sadar dan insyaf, membuat ibunya lalu menyembunyikan diri tidak mau muncul lagi didunia ramai untuk menebus dosa-dosanya!

   Akan tetapi Bu Song tidak dapat melupakan Suma Ceng. Betapapun juga, cinta kasih yang terpendam dalam hatinya takkan dapat lenyap. Betapa mungkin ia dapat melenyapkan rasa cinta kasihnya terhadap Suma Ceng, gadis yang telah merampas hatinya, yang telah menyerahkan jiwa raga kepadanya? Karena rasa rindunya kepada Suma Ceng tak tertahankan lagi, maka ia menunda niatnya pergi ke Nan-cao mencari keluarga ibunya, sebaliknya ia lalu pergi lagi ke kota raja. Tadinya memang ia sudah ke kota raja, akan tetapi ketika itu ia hendak mencari suhunya dan mendengar bahwa suhunya pergi bersama tentara Sung ke utara, ia segera keluar dari kota raja untuk menyusul suhunya. Sekarang ia pergi ke kota raja dengan tujuan lain, yaitu mencari tahu tentang diri kekasihnya, Suma Ceng.

   Ketika ia memasuki pintu gerbang kota raja, hatinya berdebar. Ia tahu betapa perhubungannya dengan Suma Ceng kurang lebih tiga tahun yang lalu, telah menimbulkan kegemparan didalam rumah tangga keluarga Pangeran Suma Kong. Dia sendiri telah disiksa dan kalau tidak ditolong suhunya, tentu ia akan tewas tersiksa. Akan tetapi bagaimanakah dengan Suma Ceng? Darahnya naik dan mukanya menjadi panas kalau ia membayangkan jangan-jangan kekasihnya itu mengalami siksa dan derita pula, jangan-jangan malah telah mati! Ia menggeget giginya. Ia harus menyelidiki dan membuktikan bahwa Suma Ceng kekasihnya tidak sengsara hidupnya. Ia memasuki pintu gerbang kota raja ketika hari sudah menjelang senja. Keadaan mulai sepi, apalagi karena Bu Song masuk dari pintu gerbang bagian selatan, ia melalui pinggiran kota raja yang paling sunyi.

   Mendadak ia mendengar suara ribut-ribut disebelah depan. Bu Song melihat seorang laki-laki muda, berpakaian penuh tambalan akan tetapi baik baju maupun tambalannya terbuat dari kain baru dan bersih sekali sehingga lebih patut disebut pakaian berkembang aneh, sedang berdiri bertolak pinggang dan memaki-maki belasan pengemis berpakaian penuh tambalan dan butut. Tertarik hati Bu Song dan ia segera mendekat. Pengemis baju bersih itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, sedangkan sebelas orang pengemis baju kotor paling muda berusia tiga puluh lima tahun. Akan tetapi sungguh mengherankan betapa belasan pengemis itu yang kelihatan murung dan muram wajahnya, dimaki-maki oleh Si Pengemis Baju Bersih sama sekali tidak berani membalas atau marah. Bahkan seorang diantara mereka, yang usianya sudah amat tua, dengan muka sabar berkata,

   "Sudahlah, Sahabat muda. Harap kau suka maafkan kami orang-orang tua yang tadi tidak mengenal siapa adanya engkau."

   "Huh, memang kalian ini jembel-jembel busuk! Biar pura-pura sudah menerima kalah dan menjadi jembel, masih bersikap sombong-sombongan. Kau kira engkau masih guru silat kenamaan dan anggauta-anggauta Sin-kauw-bukoan? Huh!"

   Pengemis muda baju bersih itu lalu menggerakkan kaki menendang. Tendangan keras dan mengandung tenaga, mengenai perut kakek jembel itu mengeluarkan suara berdebuk keras. Bu Song terkejut. Tendangan itu keras sekali dan dapat diduga bahwa pengemis baju bersih itu memiliki tenaga kasar yang amat kuat. Akan tetapi ketika mengenai perut si Kakek, agaknya tidak terasa apa-apa oleh kakek itu. Diam-diam ia merasa kagum dan heran. Terang bahwa ilmu kepandaian kakek jembel berbaju kotor itu jauh lebih tinggi daripada kepandaian Si Pengemis Baju Bersih, akan tetapi mengapa dihina diam dan mengalah saja? Bahkan kini pengemis baju bersih itu marah-marah dan memaki-maki,

   "Kau hendak melawan? Mengandalkan ilmu kepandaianmu?"

   

Bu Kek Siansu Eps 12 Tangan Geledek Eps 34 Bu Kek Siansu Eps 20

Cari Blog Ini