Suling Emas 4
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo Bagian 4
"Lo-suhu, seorang beribadat seharusnya mengekang nafsu memupuk kebajikan agar menjadi contoh bagi orang banyak. Mengapa Lo-suhu malah mengejar-ngejar seorang pelacur, hendak merampasnya dengan paksa dan memukul orang mengandalkan kepandaian?"
Suara Kwee Seng sopan dan halus akan tetapi di dalamnya mengandung teguran pedas.
"Heh he he he, bocah yang masih bau susu ibu! Macam engkau ini hendak memberi kuliah kepada Ban-pi Lo-cia? Heh he he!"
Ucapan diselingi tawa ini lalu diikuti bunyi keras seperti petir menyambar-nyambar diatas kepala Kwee Seng dan tampaklah sinar hitam melecut-lecut di udara. Kiranya kakek itu sudah mengeluarkan sebatang cambuk hitam yang bermain-main di atas kepala Kwee Seng seperti seekor ular hidup yang ganas. Kwee Seng kaget setengah mati mendengar disebutnya nama Ban-pi Lo-cia (Dewa Locia Berlengan Selaksa)! Nama ini adalah nama seorang tokoh yang tak pernah atau jarang sekali muncul di dunia kang-ouw, namun yang terkenal sebagai tokoh yang amat jahat, keji dan memiliki kesaktian hebat. Kabar tentang tokoh ini yang ia dengar paling akhir adalah bahwa Ban-pi Lo-cia menghilang di utara, di daerah Khitan, karena memang ada berita bahwa dia mempunyai darah bangsa Khitan. Bagaimana tokoh ini dapat muncul secara tiba-tiba di tempat ini?
Kekagetan dan keheranan hati Kwee Seng inilah agaknya yang membuat ia lengah sehingga ketika ada gulungan sinar hitam menyambar, ia hanya miringkan tubuhnya dan tahu-tahu pinggangnya sudah telibat cambuk yang bergerak seperti ular. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakan tangan kanannya, tubuh Kwee Seng melayang seperti terbang, terbawa oleh ujung cambuk! Kwee Seng terkejut, namun ia dapat menenangkan hati dan mencari akal. Dengan kipas di depan dada untuk melindungi diri, ia mengerahkan sin-kang di tubuhnya untuk menahan tekanan ujung cambuk yang melilit pinggangnya, kemudian ia membiarkan dirinya terlempar melayang kearah Ban-pi Lo-cia yang berdiri diatas perahu sambil menyeringai! Orang gendut itu ternyata amat memandang rendah terhadap Kwee Seng yang dianggapnya seorang pelajar yang tahu sedikit akan ilmu silat, maka ia bermaksud mempermainkannya.
Akan tetapi alangkah kaget hati raksasa gundul ini ketika tubuh Kwee Seng sudah melayang ke dekatnya, tiba-tiba angin pukulan yang hebat bertiup dari kipas disusul totokan kilat yang menuju ke jalan darah di lehernya, dilakukan oleh gagang kipas itu. Begitu cepatnya gerakan ini sehingga hampir saja jalan darah Tiong-cu-hiat di lehernya tertotok! Ketika raksasa itu mengelak ke belakang, tahu-tahu kaki Kwee Seng sudah menotol pundaknya dan menggunakan pundak raksasa ini sebagai batu loncatan, Kwee Seng mengerahkan tenaganya dan melompat sambil mengerahkan tenaga pada pinggang untuk membebaskan diri daripada libatan ujung cambuk. Usahanya berhasil. Ban-pi Lo-cia berseru heran dan tubuh Kwee Seng sudah melayang kembali keatas, tepat tiba di gerombolan pohon kembang di pinggir telaga yang cepat disambarnya dan dengan ayunan indah tubuh pemuda itu sudah berada di darat, berdiri dengan tenang dan dengan kipas di tangan sambil memandang kearah lawan yang masih berada diatas perahunya!
"He he he, kau boleh juga, bocah!"
Ban-pi Lo-cia berseru setengah marah setengah kagum, cambuknya bergerak cepat mengeluarkan ledakan-ledakan keras. Ternyata cambuk itu memukul air di pinggir perahu dan bagaikan didorong tenaga gaib, perahunya meluncur cepat sekali ke pinggir telaga, kemudian sekali meloncat raksasa itu sudah melayang dan tiba di depan Kwee Seng! Dua orang ini kini berhadapan dan saling memandang penuh perhatian. Bulan bersinar terang bersih, indah sekali akan tetapi didalam keindahan itu tersembunyi kengerian yang ditimbulkan oleh pandang mata kedua orang yang saling bertentangan ini. Pinggir telaga sudah sunyi karena mereka yang mendengar tentang hwesio tinggi besar yang mengamuk, sudah melarikan diri cepat-cepat akan tetapi ada pula beberapa orang yang bersembunyi dan melihat dua orang itu berhadapan dari jauh.
(Lanjut ke Jilid 04)
SULING EMAS (Seri ke 02 "
Serial Bu Kek Siansu)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
"Ban-pi Lo-cia, sudah lama sekali aku mendengar namamu, dan ternyata keadaanmu cocok benar dengan namamu!"
Kata Kwee Seng yang kini sudah mengeluarkan suling bambu yang tadi ditiupnya dan memegang suling itu di tangan kanannya sedangkan kipasnya ia pegang di tangan kiri. Ia maklum bahwa menghadapi seorang sakti seperti ini ia harus dibantu sulingnya, karena hanya dengan kipas saja kiranya belum tentu ia akan dapat mencapai kemenangan.
"Heh, kau mengenalku? Dan kau bilang cocok seakan-akan kau telah mengenalku baik-baik. Orang muda lancang, keadaanku yang bagaimana kau sebut cocok dengan namaku?"
"Kau terkenal sebagai tokoh sakti yang aneh, kejam keji dan memuja kejahatan mengandalkan kepandaian. Nah, bukankah cocok benar dengan perbuatanmu sekarang?"
"Wah, sombong! Bocah bermulut lancang, siapa namamu?"
"Aku Kwee Seng, datang tidak menonjolkan nama, pergi tidak meninggalkan nama, hanya suling dan kipas ini yang kubawa."
"Heh.. heh, kata-kata muluk! Kau berlagak sopan dan terpelajar, akan tetapi bukankah kau sendiri juga memperebutkan kembang pelacur telaga ini? He-heh, orang muda, tiada bedanya antara engkau dan aku, hanya aku lebih suka secara terbuka dan terang-terangan, sebaliknya engkau suka sembunyi-sembunyi dan berkedok kesopanan. Aku paling jemu melihat segala yang palsu ini, maka kau bersiaplah mampus ditangan Ban-pi Lo-cia!"
Berbareng dengan habisnya ucapan itu, sinar hitam bergulung-gulung ke depan dibarengi ledakan-ledakan seperti petir menyambar kepala.
Hebat bukan main kalau Ban-pi Lo-cia mainkan cambuknya, cambuk sakti yang terkenal dengan nama Lui-kong-pian (Cambuk Halilintar). Gerakan cambuk ini mengandung getran penuh dari sin-kang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Jangan kan terkena pukulan cambuk, baru mendengar bunyinya saja membuat lawan menjadi pening kepalanya, melihat sinarnya membuat mata lawan kabur, dan hawa pukulan yang mendahului datangnya ujung cambuk cukup kuat untuk menjungkalkan lawan yang kurang tinggi ilmu kepandaiannya! Cambuk ini kelihatannya hanya sebatang benda lemas dan licin, akan tetapi jangan dipandang ringan senjata ini. Bahannya saja terbuat daripada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat dilihat belasan tahun sekali di lautan utara, diantara gunung-gunung es. Di tangan Ban-pi Lo-cia, cambuk ini benar-benar menjadi halilintar. Bisa lemas melebihi sutera, bisa kaku keras melebihi baja, dan hebatnya, tidak ada sebuah senjata pun di dunia yang mampu membabatnya putus.
Menyaksikan gerakan ini Kwee Seng maklum bahwa ia berhadapan lawan yang benar-benar sakti dan berbahaya, maka ia pun tidak berani main-main, segera ia menggerakkan suling dan kipasnya untuk menghadapi permainan cambuk halilintar yang dahsyat itu. Karena tahu bahwa ilmu cambuk halilintar adalah ilmu sakti yang sukar dilawan dan harus dilawan dengan ilmu sakti lagi, maka Kwee Seng segera mainkan suling di tangan kanan menurut ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipasnya ia mainkan dengan ilmu kipas Lo-hai San-hoat. Ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat (Delapan Dewa) dan ilmu kipas Lo-hai San-hoat (Mengacau Lautan) telah menjadi ilmu silat yang sakti dan hebat setelah ia menerima petunjuk-petunjuk dari seorang manusia dewa, yaitu Bu Kek Siansu, beberapa tahun yang lalu di puncak pegunungan Himalaya. Kwee Seng tak pernah bertemu tanding yang dapat mengalahkannya. Dan sekarang mengahadapi Ban-pi Lo-cia yang demikian sakti, terpaksa ia mengeluarkan dua ilmunya yang dimainkan dengan lincah dan penuh mengandung tenaga sin-kang.
Sulingnya ketika ia gerakkan mengeluarkan bunyi melengking tinggi, lengking yang dapat memecahkan anak telinga lawan dan tepat sekali dipergunakan untuk melawan pengaruh suara cambuk yang menggelegar. Adapun kipasnya mengeluarkan angin amat kuat yang menyembunyikan totoka-totokan maut oleh ujung gagang kipas yang dua buah banyaknya. Sesungguhnya, kipas inilah yang merupakan senjata penyerang Kwee Seng sedangkan sulingnya lebih banyak menjadi senjata penahan atau pelindung dengan suaranya yang menahan pengaruh suara cambuk dan gerakannya yang menangkis datangnya ujung cambuk. Kalau Kwee Seng tidak merasa heran menyaksikan kehebatan ilmu cambuk lawannya, sebaliknya Ban-pi Lo-cia kaget dan heran bukan main menyaksikan gerakan lawan.
Raksasa gundul ini tadinya memandang rendah kepada Kwee Seng yang masih muda dan bersikap seperti seorang pelajar. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa pemuda itu demikian hebat. Tangkisan suling pemuda itu sanggup menggetarkan cambuknya, sedangkan hawa pukulan kipas itu selalu mengancam jalan darahnya sehingga terpaksa ia harus berlaku hati-hati dan mengelak dengan bantuan gerakan ujung lengan baju kiri untuk menyelamatkan diri. Padahal ia mengenal betul bahwa suling itu memainkan ilmu pedang Pat-sian Kiam-hoat sedangkan kipas itu mainkan ilmu silat Lo-hai San-hoat. Akan tetapi alangkah bedanya dengan permainan orang lain.
Permainan pemuda ini telah membuat dua macam ilmu silat itu menjadi ilmu yang amat dahsyat, yang biarpun sudah ia kenal gerakan-gerakan dan perubahannya, namun masih sukar untuk dihadapi! Diam-diam Ban-pi Lo-cia harus mengakui pendapat umum di dunia persilatan bahwa kehebatan seseorang bukan semata-mata tergantung kepada ilmu silatnya, melainkan kepada si orang itu sendiri, kematangan dan kesempurnaannya memepelajari ilmu itu. Pula benar kalau orang mengatakan bahwa dalam menghadapi lawan, orang harus berlaku hati-hati terhadap pertapa, yang kelihatan tua dan lemah, terhadap pelajar yang kelihatan halus dan terhadap wanita yang biasanya digolongkan orang lemah!
"Tar-tar-tar!!"
Sekali serang, cambuk itu sudah menyambar secara berturut-turut hanya selisih beberapa detik saja kearah ubun-ubun kepala, leher, lalu pusar. Kwee Seng menggerakkan suling menangkis serangan pada ubun-ubunnya, kemudian ia memiringkan tubuh mengubah kedudukan kaki untuk menghindarkan diri serangan pada leher. Adapun pecutan pada pusarnya ia tangkis lagi dengan sulingnya sambil menggerakan kipasnya kedepan menotok jalan darah pada siku lawan. Kalau totokan ini mengenai sasaran, tentu lawannya akan terpaksa melepaskan cambuk.
"Haiihhh!"
Ban-pi Lo-cia berseru keras, mengerahkan sin-kang dan ujung cambuknya terus melibat suling sedangkan totokan pada siku kanannya ia tangkis dengan ujung lengan sebelah kiri.
"Brettt!"
Robeklah ujung lengan baju oleh ujung kipas, akan tetapi totokan itu meleset tidak mengenai sasaran. Kwee Seng terkejut karena tak mampu menarik kembali sulingnya yang terlibat, maka ia menggerakkan kaki maju setengah langkah, mencondongkan tubuh kedepan dan melanjutkan gerakan kipasnya, kini menusuk lambung lawan disusul kaki kanan menendang kearah pusar! Diserang secara hebat ini, Ban-pi Lo-cia kembali berseru keras dan tubuhnya meloncat kebelakang. Ia berhasil menyelamatkan diri dari bahaya, namun sekali renggut dengan pengerahan tenaga oleh Kwee Seng membuat suling yang terlibat lepas dari ujung cambuk! Kwee Seng menahan rasa sakit pada telapak tangan yang memegang suling, terasa panas dan kesemutan.
"Hebat! Kau orang muda aneh dan hebat. Tapi rasakan kini tangan maut Ban-pi Locia!"
Seru raksasa itu dengan suara gembira dan wajah berseri. Memang raksasa gundul ini mempunyai dua macam kesukaan, yaitu wanita-wanita muda yang cantik dan berkelahi! Makin kuat lawannya, makin gembira hatinya dan makin muda cantik seorang wanita, makin tergila-gila dia sebelum mendapatkannya! Kini Dewa Locia Berlengan Selaksa itu menjauhkan diri dari lawannya, cambuknya digerakkan dan lenyaplah cambuk itu, berubah menjadi gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil, lingkaran yang telan-menelan membingungkan pandangan mata. Juga diselingi bunyi nyaring seperti halilintar menyambar-nyambar di waktu hujan gerimis.
Dengan cambuknya yang panjang, raksasa ini dapat menyerang Kwee Seng dari jarak jauh tanpa bahaya diserang kembali oleh lawan yang hanya menggunakan dua senjata pendek. Sambil menghujani lawan dengan lecutan cambuk yang merupakan jari-jari maut itu, Ban-pi Lo-cia lari mengelilingi Kwee Seng. Kagetlah hati pemuda ini. Tak disangkanya tokoh sakti yang terkenal ini selain sakti, juga amat licik dan curang, tidak segan-segan menggunakan akal pengecut untuk mengalahkan lawan. Ia maklum bahwa karena dia berada dalam lingkaran, kedudukannya berbahaya, dan membutuhkan ketenangan sepenuhnya untuk menghadapi serangan seperti itu. Maka ia tiba-tiba menghentikan gerakannya, berdiri dengan kuda-kuda kaki sejajar di kanan kiri, tubuhnya agak merendah, suling diangkat tangan kanan tinggi melintang diatas kepala sedangkan kipas terbuka di tangan kiri melindungi bagian bawah.
Anehnya, Kwee Seng malah meramkan kedua matanya, akan tetapi seakan-akan dapat melihat jelas, ia menggeser kaki setiap kali lawannya berada dibelakang tubuhnya. Serangan-serangan membanjir datang dari belakang, kanan dan kiri namun semua itu dapat ia tangkis dengan suling dan dapat ia kebut dengan kipas. Hebat bukan main pertandingan ini, namun merupakan pertandingan yang berat sebelah karena Ban-pi Lo-cia selalu menyerang sedangkan Kwee Seng selalu melindungi diri tanpa mampu balas menyerang. Mengapa Kwee Seng meramkan kedua matanya? Apakah ia memandang rendah lawannya?
Bukan, sama sekali bukan! Karena kehebatan lawannyalah maka ia terpaksa meramkan matanya. Untuk menghadapi hujan serangan itu, ia membutuhkan ketenangan dan pengerahan panca inderanya, pencurahan perhatian sepenuhnya. Kalau ia membuka mata, maka bayangan yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil itu akan menyilaukan mata dan mengacaukan perhatiannya. Biarpun kedua matanya meram, namun sepasang telinganya cukup untuk menangkap gerakan lawan. Dan mengapa pula pendekar sakti yang muda ini rela mengalah dan mempertahankan diri saja tanpa mencari kesempatan balas menyerang? Ini pun merupakan siasat baginya, karena dengan cara ini, ia tidak mengeluarkan banyak tenaga, sebaliknya lawannya cepat lelah karena harus banyak bergerak dan lari-lari mengitarinya, sedangkan dengan penjagaannya yang kokoh dan kuat ia mampu mempertahankan diri.
Orang-orang cerdik pandai mengatakan bahwa yang diam itu lebih kuat daripada yang gerak. Gentong air yang penuh tak tersembunyi, yang kosong berbunyi nyaring. Orang yang mengerti pendiam, yang bodoh penceloteh. Air yang diam dalam, yang bergerak dangkal. Demikian pula dalam dunia persilatan, terutama bagi mereka yang sudah tinggi tingkatnya, terdapat keyakinan bahwa si penahan lebih kuat kedudukannya daripada si penyerang. Setiap penyerang berarti membuka pertahanan sendiri yang menjadi lemah dan juga lengah, sebaliknya si penahan akan selalu menutup diri mempertahankan diri dengan kokoh dan kuat. Karena bernafsu sekali ingin mengalahkan Kwee Seng dengan cepat, untuk beberapa jam lamanya Ban-pi Lo-cia lupa akan hal ini dan terus menerus menghujankan serangannya yang selalu sia-sia karena dapat ditangkis lawan.
Namun diam-diam Kwee Seng juga mengerti bahwa lawan yang sekali ini bukan lawan yang biasa, dan tidak dapat diharapkan cepat-cepat menjadi lelah. Juga dalam tingkat ilmu silat dan tenaga, Ban-pi Lo-cia benar-benar sudah hebat sekali dan ia tidak berani mengaku sudah lebih pandai daripada lawan ini. Sulingnya sudah retak-retak dan kedua tangannya sudah mulai lelah dipakai menangkis semua serangan itu. Diam-diam Kwee Seng menggerakkan ujung jari kakinya, mengerahkan tenaga menjebol sepatunya sendiri sehingga ibu jari kaki kanannya tampak keluar dari sepatunya. Ia mencari kesempatan baik. Ketika Ban-pi Lo-cia menggerakkan cambuk keatas kepala membuat lingkaran-lingkaran baru untuk memulai serangkaian serangan dahsyat, tiba-tiba ibu jari itu menyentil kedepan. Segumpal tanah melayang cepat sekali memasuki lubang pertahanan Ban-pi Lo-cia yang terbuka dan cepat menghantam jalan darah dibawah lengan Si Raksasa.
"Kyaaaa!"
Ban-pi Lo-cia terhuyung-huyung mundur dan tangan kanannya menjadi setengah lumpuh, matanya melotot heran dan kaget. Tentu saja Kwee Seng tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia meloncat kedepan dan menerkam bagaikan seekor singa, menggerakkan suling dan kipasnya menghantamkan serangan-serangan maut.
Namun Ban-pi Lo-cia adalah seorang tokoh yang banyak pengalaman dan tubuhnya sudah kebal. Serangan segumpal kecil tanah tadi hanya membuat ia terhuyung-huyung sejenak, dan kini tangan kirinya sudah cepat menyambar cambuknya sendiri dari tangan kanan yang agak lumpuh, kemudian cambuk itu melecut-lecut dengan bunyi keras, membentuk benteng sinar bergulung didepan tubuhnya sehingga suling dan kipas Kwee Seng dapat ditangkisnya. Dalam menangkis ini, Si Raksasa mengerahkan lwee-kangnya. Terdengar suara keras ketika cambuk beradu dengan suling dan kipas, akibatnya Keduanya terlempar ke belakang sampai tiga empat meter dan keduanya jatuh bergulingan diatas tanah! Dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi mukanya, raksasa gundul itu duduk di atas tanah sambil memandang dengan muka berseri,
"Heh-heh-heh, kau hebat orang muda!"
Kwee Seng juga sudah bangkit duduk dan mengatur napas memulihkan tenaganya.
"Dan kau jahat, Ban-pi Lo-cia!"
Jawabnya. Kembali Si Raksasa gundul tertawa.
"Aku pernah mendengar sayup sampai tentang seorang tokoh berjuluk Kim-mo-eng, yang tingkat kepandaiannya sudah masuk hitungan. Agaknya kau kah orangnya?"
"Tidak salah, para Locianpwe memberi sebutan Kim-mo-eng kepadaku."
"Heh-heh-heh, masih muda sudah sombong, ya? Kau kira Ban-pi Lo-cia kalah olehmu? Kita masih seri, belum ada yang menang atau kalah. Mari kita lanjutkan!"
Raksasa itu berdiri, cambuknya terayun-ayun di tangan kanan yang sudah pulih kembali. Kwee Seng juga bangkit berdiri.
"Aku selau melayani, kalau kau memang hendak berkelahi, dan aku selalu akan menghalangimu, kalau kau hendak melakukan hal-hal jahat!"
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak lalu menerjang maju dan memaksa lawannya melakukan pertandingan jarak dekat yang lebih berbahaya. Ia hendak mengadu tenaga dalam pertemuan tenaga tadi si raksasa ini dapat menduga bahwa dalam hal tenaga dalam, ia menang setingkat. Dan hal ini memang harus diakui oleh Kwee Seng. Pemuda itu kini mendapat kesempatan balas menyerang, namun ia sedapat mungkin menghindarkan adu tenaga karena hal ini akan banyak merugikannya.
Sulingnya sudah retak dan kalau terus-menerus diadu dengan cambuk, tentu akan hancur sedangkan cambuk lawannya sama sekali tidak mengalami kerusakan apa-apa, Kwee Seng mengerahkan gin-kang (meringankan tubuh) dan menggunakan kegesitannya untuk menghadapi serangan dengan balasan serangan pula. Ia lebih muda, tubuhnya lebih kecil dan karenanya ia lebih gesit daripada lawannya yang tua dan tinggi besar. Kini Kwee Seng benar-benar menguras ilmunya. Ia mencoba mainkan segala macam ilmu silat yang pernah ia pelajari, namun tetap saja ia tidak mampu mendesak lawan. Sebaliknya, tidaklah muda bagi Ban-pi Lo-cia untuk mengalahkan lawan yang amat kuat ini. Dalam benturan kedua yang sama dahsyatnya dengan tadi, keduanya kembali terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Pertandingan telah setengah malam dan kini fajar mulai menyingsing, sinar merah mengambang di ufuk timur. Mereka saling pandang, muka berpeluh, uap putih mengepul dari ubun-ubun kepala masing-masing.
"Bah, kau ini orang muda luar biasa. Selama hidup baru sekali ini bertemu orang muda seperti kau. Baru dua kali selama hidupku benar-benar gembira melakukan pertandingan. Pertama melawan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kedua dengan kau inilah! Heh-heh-heh! Orang muda, aku pernah mendengar kau ini diambil murid Bu Kek Siansu. Manusia dewa itu katanya paling sakti, akan tetapi mengapa muridnya hanya seperti kau ini, manusia biasa yang dapat kulawan?"
"Aku tidak mendapat kehormatan sebesar itu menjadi murid beliau, aku hanya pernah beruntung menerima petunjuknya. Tak usah kau membawa-bawa nama suci Bu Kek Siansu. Kalau memang hendak bertanding, mari kita lanjutkan."
Kwee Seng kini bangkit lebih dulu. Ia mulai penasaran menghadapi lawan yang begini tangguh dan ulet.
"Heh-heh-heh, sampai mati, bocah sombong!"
Ban-pi Lo-cia menerjang maju dan kini ia membekuk cambuknya lalu menghantam dengan gerakan ilmu silat toya. Pukulan yang hebat ini tak mungkin dielakkan lagi. Terpaksa Kwee Seng menangkis dengan sulingnya, berbareng menyodokkan kipasnya.
"Brakkkk!! Uh-uh"
Kwee Seng terhuyung mundur, sulingnya hancur! Akan tetapi Ban-pi Lo-cia juga terhuyung mundur, perutnya kena ditotok ujung kipas sehingga mendadak perut itu menjadi mulas! Kalau orang lain terkena totokan ujung kipas yang mengandung tenaga sin-kang, tentu akan tembus perutnya atau rusak isi perutnya, mati seketika. Akan tetapi Ban-pi Lo-cia yang sudah kebal itu hanya merasakan perutnya mulas seperti orang terlalu banyak lombok saja!
"Serrr.. serrrserrr!"
Belasan batang anak panah menyambar kearah Ban-pi Lo-cia. Cepat kakek itu mengibaskan lengan bajunya dan anak-anak panah itu runtuh berhamburan. Dari kanan kiri berlompatan keluar belasan orang yang bersenjata lengkap. Inilah hwesio jahat itu! Serbu Keroyok Kiranya belasan orang ini adalah lima orang jago silat bersama teman-temannya, sedangkan dibelakang mereka masih tampak puluhan orang yang merupakan regu penjaga keamanan. Agaknya peristiwa ditengah telaga itu telah dilaporkan oleh hartawan Lim yang minta bantuan yang berwajib, sedangkan lima orang jago silat sudah mengundang teman-temannya untuk membantu.
Kwee Seng yang maklum bahwa sekian banyaknya orang itu bukanlah lawan Ban-pi Lo-cia, cepat menerjang lagi si raksasa gundul dengan kipasnya. Ban-pi Lo-cia juga maklum bahwa Kwee Seng merupakan lawan seimbang, kalau sekarang dibantu oleh puluhan orang, ia bisa celaka. Sambil tertawa terkekeh-kekeh, ia melompat dan sekali lompat ia telah melampaui kepala mereka yang mau mengeroyok. Mendadak tujuh orang pengeroyok jatuh berturut-turut dan mati seketika karena kepala mereka telah kena disambar hawa pukulan Ban-pi Lo-cia yang sambil melompat pergi. Dari jauh terdengar suaranya.
"Eeh, Kwee Seng. Belum selesai pertandingan kita, lain kali kita lanjutkan!"
"Sekarang pun boleh!"
Kwee Seng juga melompat dan mengejar karena ia makin penasaran, apalagi melihat raksasa itu pergi sambil membunuh tujuh orang. Akan tetapi beberapa lama ia mengejar, tak tampak bayangan raksasa itu. Kwee Seng tidak mau kembali ke tempat tadi, tidak suka ia bertemu dengan mereka yang tentu hanya akan merepotkannya saja. Ia lalu mengambil jalan sunyi menjauhi telaga. Ia merasa menyesal bahwa sulingnya telah hancur, tak dapat dipakai menyuling, apalagi sebagai senjata. Dengan lesu ia melempar sulingnya yang hancur dan terasa betapa tubuhnya basah semua oleh peluh. Ia perlu beristirahat memulihkan kekuatannya. Ia hendak mencari tempat yang sunyi agar tidak terganggu orang lain.
"Kongcu"
Kalau suara ini parau dan kasar, agaknya Kwee Seng takkan mengacuhkannya. Akan tetapi justeru tidak demikian. Suara itu halus dan merdu, dan inilah yang membuat ia bagaikan terpagut ular dan cepat ia berpaling ke kiri.
Dia sendiri disitu! Siapa lagi kalau bukan Ang-siauw-hwa, pakaiannya masih serba merah muda, dari pita penghias rambut sampai sepatunya. Akan tetapi terang bukan pakaian yang semalam, karena pakaian ini selain kering juga bersih sekali. Rambutnya digelung indah terhias perhiasan burung Hong dari emas dan permata. Sepasang pipinya kemerahan, matanya bersinar-sinar, bibirnya tersenyum manis. Akan tetapi wajah yang cantik itu kelihatan berbayang menjadi dua tiga oleh pandangan mata Kwee Seng yang berkunang-kunang. Pertandingan setengah malam suntuk itu ternyata hebat pula akibatnya bagi pemuda ini.
"Kongcu, kau kenapa Kau terluka"
Kwee Seng memaksa diri tersenyum dan menggeleng kepala. Akan tetapi wanita itu sudah maju mendekat dan memegang tangannya.
"Ah, kau tentu terluka. Hwesio itu jahat sekali. Kau kelihatan lemah dan lelah, Kongcu. Aku sengaja menunggumu disini dan kebetulan kau lewat disini. Bukankah ini jodoh namanya?"
"Ooh"
Tanya Kwee Seng lemah, kata-kata ini mengejutkan dan mengherankan hatinya. Ang-siaw-hwa menarik lengannya.
"Tentu saja jodoh. Kongcu, marilah ikut Ang-siauw-hwa, kau perlu beristirahat, biarlah Ang-siauw-hwa merawatmu."
Dengan kata-kata yang mesra dan merdu ini wanita itu menggandeng tangan Kwee Seng dan dituntunnya pergi.
"Kenapa, kenapa kau begini baik kepadaku?"
Kwee Seng masih mencoba menolak. Akan tetapi Ang-siauw-hwa menarik tangannya dan diguncang-guncangnya.
"Kenapa? Karena kau telah menolong nyawaku, menyelamatkan kehormatanku. Kongcu, karena karena aku ingin belajar menyuling darimu."
"Menyuling?"
Akan tetapi keadaan Kwee Seng makin lemas. Pertemuan ini mengganggu hati dan pikirannya dan amat merugikannya kerena seharusnya ia dapat beristirahat memulihkan tenaga dalam yang banyak dikerahkan dalam pertempuran. Bagaikan seorang mimpi dan linglung ia membiarkan dirinya digandeng dan dituntun Ang-siauw-hwa dan ia hampir tidak sadar ke mana ia dibawa oleh wanita itu. Ketika Kwee Seng membuka matanya, ia telah rebah diatas pembaringan yang hangat, bersih dan berbau harum. Kamar itu indah sekali dan di pinggir pembaringan ia melihat Ang-siauw-hwa duduk memijiti pundak dan lengannya. Melihat betapa diatas meja ada lilin tertutup sutera biru, ia heran dan tahu bahwa saat itu hari telah malam. Akan tetapi melihat wanita cantik itu duduk begitu dekat dengannya dan hanya mengenakan pakaian yang tipis, ia meramkan matanya kembali.
"Ambilkan bubur dan sayur itu, kemudian kalian pergi tinggalkan kamar ini, aku hendak melayani Kongcu makan."
Terdengar Ang-siauw-hwa berkata perlahan. Dari balik bulu matanya Kwee Seng melihat dua orang wanita pelayan yang tadinya duduk dibawah, bangkit berdiri. Tak lama kemudian mereka datang lagi membawa baki terisi hidangan untuknya.
"Kongcu, kau harus makan dulu. Sudah sehari penuh kau tidur."
Kata Ang-siauw-hwa sambil menyingkapkan selimut yang menutupi tubuh Kwee Seng. Pemuda ini bangkit duduk, memandang kesekeliling lalu berkata, penuh kegugupan dan malu-malu.
"Ah, agaknya aku tak sadar tertidur disini, menyusahkan Nona saja. Biarkan aku pergi"
Akan tetapi Ang-siauw-hwa merangkulnya.
"Mengapa begitu, Kongcu? Tidak sudikah Kongcu menerima pembalasan budi dariku? Apakah Kongcu seperti orang-orang lain memandang rendah kepadaku, seorang pelacur?"
Wanita itu masih memeluknya sambil menangis! Kwee Seng menarik napas panjang. Ia suka kepada nona ini, yang selain cantik jelita juga halus tutur sapanya, baik budinya. Akan tetapi tentu saja ia tidak suka melibatkan dirinya dalam perhubungan dengan seorang pelacur.
"Sudahlah, Nona. Aku sekali-kali tidak memandang rendah kepadamu. Kau baik sekali."
Nona itu mengangkat mukanya dan biarpun air mata masih membasahi pipinya,ia tersenyum gembira.
"Marilah makan, Kongcu."
Katanya merdu. Kwee Seng tidak menolak lagi, perutnya amat lapar. Tidur sehari itu amat bermanfaat baginya, memulihkan sebagian tenaganya.
Setelah makan yang dilayani amat mesra oleh Ang-siauw-hwa, ia merasa tubuhnya segar kembali. Ang-siauw-hwa menepuk tangannya dan dua orang pelayan datang dan segera diperintahnya untuk membersihkan mangkok piring, lalu menyuruh mereka pergi lagi. Kemudian, dengan gerakan lemah gemulai dan mesra, tanpa ragu-ragu atau malu-malu lagi Ang-siauw-hwa lalu menghampiri Kwee Seng dan duduk diatas pangkuannya!
"Ah, Nona ini ini.."
Bagaimana Kwee Seng tergagap.
"Kongcu, budimu terlalu besar. Tak tahu aku dengan apa aku harus membalas budimu, selain dengan penyerahan diriku menjadi hambamu, menjadi budakmu dan melakukan apa saja untuk membalas budimu. Kongcu, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Tidak karuan rasa hati Kwee Seng. Kepalanya sampai terasa pening dan dengan halus ia mendorong tubuh nona itu dari atas pangkuannya.
"Nona, duduklah yang betul dan mari kita bicara. Kau mau tahu namaku? Aku adalah Kwee Seng, seorang pelajar gagal yang tiada tempat tinggal, miskin dan tak berharga."
"Ah, Kwee-kongcu mengapa bicara begitu? Kau seorang budiman, gagah perkasa dan amat berharga. Kalau mau bicara tentang orang tak berharga, akulah orangnya"
Kembali nona itu menangis dan ia kini duduk diatas kursi dan menutupi muka dengan kedua tangannya. Kwee Seng melihat air mata menetes dari celah-celah jari tangan yang putih, halus dan kecil meruncing itu.
"Nona, kulihat kau bukan orang sembarangan. Kau terpelajar dan tidak kelihatan seperti gadis bodoh. Mengapa kau sampai""
Tidak kuasa ia melanjutkan kata-katanya menyebut pelacur.
"Sampai menjadi pelacur?"
Ang-siauw-hwa menurunkan tangannya dan mukanya menjadi merah sekali, air mata menetes disepanjang kedua pipinya yang halus kemerahan.
"Ah, panjang ceritanya, Kwee-kongcu. Ketahuilah, diwaktu kecilku, aku adalah seorang berdarah bangsawan, Ayahku seorang pangeran dari Kerajaan Tang."
Kaget seperti disambar petir rasa hati Kwee Seng.
"Ahhh! Mengapa sampai begini?"
Nona itu dengan suara pilu bercerita. Ayahnya memang seorang pangeran bernama Khu Si Cai yang mempunyai sepasang puteri kembar. Ketika kerajaan Tang runtuh, sekeluarga pangeran ini menjadi korban pula, semua tewas kecuali sepasang anak kembar itu yang berhasil di bawa lari oleh seorang pelayan.
Akan tetapi di tengah jalan mereka terhalang oleh keributan dan perang sehingga seorang di antara dua anak kembar itu terlepas dari gandengan tangan dan hilang. Yang hilang bernama Khu Gin In, Sedangkan yang masih dapat diselamatkan oleh pelayan itu adalah Khu Kim In. Anak ini lalu dipelihara pelayan itu, akan tetapi karena keadannya yang amat miskin, hampir saja mereka berdua mati kelaparan. Akhirnya, pelayan itu terjerat oleh cengkraman seorang pemilik sarang pelacuran bernama bibi Cang yang mau membantu mereka karena melihat betapa cantiknya anak perempuan bernama Khu Kim In. Makin lama, hutang mereka berumpuk dan akhirnya, setelah Khu Kim In berusia lima belas tahun, terpaksa Khu Kim In Dijual kepada bibi Cang sebagai pembayar hutang.
"Demikianlah, Kwee-kongcu. Akulah Khu Kim In. Tak dapat aku melepaskan diri dari cengkraman bibi Cang. Akan tetpai baiknya aku disayang oleh hartawan-hartawan dan pembesar-pembesar sekitar tempat ini sehingga aku dapat mempengaruhi bibi Cang dan aku agak bebas. Aku boleh memilih sendiri laki-laki mana yang akan kulayani, dan karena aku banyak mendatangkan hasil sehingga bibi Cang menjadi kaya, maka aku pun ia perlakukan dengan baik serta mendapat kebebasan, malah aku mempunyai pelayan dan tempat tinggal menyendiri. Akan tetapi semua ini kulakukan dengan pengorbanan besar, Kongcu. Ayah bundaku tewas, Adik Gin In entah ke mana, dan aku harus mengorbankan kehormatan, menjadi perempuan hina yang dipandang rendah oleh orang-orang terhormat seperti kau"
Kembali Ang-siauw-hwa menangis. Bukan main terharu hati Kwee Seng. Alangkah buruknya nasib gadis ini. Rasa haru dan kasihan membuat ia memegangi pundak wanita itu dengan halus dan menghibur.
"Sudahlah, Nona. Aku tidak memandang rendah kepadamu dan aku berjanji akan menebusmu dari bibi Cang, kemudian aku akan mencarikan orang tua yang baik yang suka memungutmu sebagai anak. Adapun tentang nona Khu Gin In, biarlah perlahan-perlahan kucarikan untukmu."
"Ah, Kwee-kongcu kau menumpuk budi kebaikan padaku."
Ang-siauw-hwa menubruk kwee Seng dan menangis sambil mendekap dada pemuda itu dengan mukanya. Kini Kwee Seng tidak menolaknya, mengusap-usap rambut wanita itu dengan penuh perasaan kasihan dan sayang. Seorang puteri pangeran sampai begini, pikirnya.
Karena ia yakin bahwa semua sikap nona ini bukan pura-pura, melainkan keluar dari setulusnya hati yang amat berhutang budi kepadanya, maka ia pun tidak tega untuk menolak pernyataan kasih sayangnya, apalagi memang ia amat tertarik oleh nona yang memiliki kecantikan jarang keduanya ini. Setelah reda menangis, tanpa melepaskan pelukannya Ang-siauw-hwa berkata, suaranya mesra dan manja.
"Aku tertarik sekali oleh bunyi sulingmu, Kwee-koko, kuharap kau suka mengajarku."
Hati Kwee Seng berdebar sebutan Kongcu (Tuan Muda) berubah menjadi Koko (Kakanda) ini.
"Sulingku remuk oleh si Hwesio jahanam."
Jawabnya, masih mengagumi rambut hitam halus panjang dan harum itu.
"Disebelah barat telaga ada penjual suling yang baik, biarlah ku suruh pelayan membeli untukmu."
"Tak usah, biarlah kubeli sendiri besok. Memilih sebuah suling bukanlah sembarangan, harus dicoba dulu."
Malam itu merupakan malam yang amat mesra bagi Kwee Seng, akan tetapi juga malam yang menimbulkan kasihan di hatinya terhadap Ang-siauw-hwa, rasa kasihan yang tentu dengan mudah akan menggelimpang menjadi rasa cinta kalau saja ia tidak teringat bahwa nona ini adalah seorang pelacur! Di lain fihak, sama sekali tidaklah aneh kalau Ang-siauw-hwa Khu Ki In jatuh cinta kepada Kwee Seng karena selama hidupnya, baru sekarang ia bertemu dengan pemuda yang tidak memandangnya sebagai seorang pelacur yang hina. Biasanya, laki-laki yang manapun juga hanya akan menganggap ia sebagai barang permainan, yang datang kepadanya dengan kandungan nafsu dan mengharapkan kesenangan dan hiburan daripadanya. Akan tetapi kwee Seng ini berbeda sekali, pemuda tampan ini menolongnya tanpa pamrih, menganggapnya manusia terhormat, maka sekaligus hatinya jatuh dan tidak mengherankan kalau dia dengan rela menyerahkan jiwa raga kepada Kwee Seng dan mengharapkan untuk dapat melayani pemuda itu selama hidupnya!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kwee Seng berpamit kepada Ang-siauw-hwa yang masih setengah tidur diatas pembaringan.
"Moi-moi, aku pergi dulu hendak mencari suling yang baik."
Dengan mata masih setengah meram, Ang-siauw-hwa mengembangkan kedua lengannya yang berkulit putih halus kearah Kwee Seng, lalu berkata, suaranya mesra dan penuh cinta kasih,
"Kwee-koko jangan kau tinggalkan aku lagi."
Suling Emas Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kwee Seng merasa terharu sekali. Ia merasa yakin akan perasaan cinta wanita ini kepadanya. Untuk sejenak jari-jari tangan mereka saling cengkeram lalu Kwee Seng melepaskannya dan berkata sambil tersenyum.
"Jangan kuatir, Moi-moi, aku takkan meninggalkanmu begitu saja sebelum kau pandai bersuling! Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, pagi itu Kwee Seng merasa gembira sekali."
Lenyap sudah rasa lelah dan lemah sebagai akibat pertandingan mati-matian melawan Ban-pi Lo-cia. Sinar matahari pagi yang menyoroti permukaan air telaga dan pohon-pohon di sekitarnya, tampak amat indah menyegarkan. Suara kicau burung pagi amat sedap, tidak seperti biasanya. Dan pemuda ini tersenyum, matanya bersinar-sinar, dan kedua pipinya menjadi kemerahan bibirnya tersenyum aneh kalau ia teringat pada Ang-siauw-hwa! Ia harus mencari suling yang baik, tidak saja yang baik suaranya, akan tetapi juga yang memenuhi syarat untuk menjadi senjata. Bambu yang pilihan tua dan kering betul. Benar seperti dikatakan Ang-siauw-hwa, disebelah barat telaga itu terdapat seorang penjual suling buatannya sendiri. Akan tetapi Kwee Seng kecewa melihat bahwa biarpun pembuatannya amat halus, namun bahannya terbuat daripada bambu biasa saja.
"Saya mempunyai sebatang bambu berbintik hitam yang biasa disebut bambu berbintik hitam, Kongcu. Bambu itu saya beli mahal dari seorang perantau di Lembah Huang-ho, akan tetapi karena mahalnya, sampai sekarang belum saya bikin suling, takut tidak akan ada yang berani membelinya."
Akhirnya Si Tukang Pembuat Suling itu berkata. Kwee Seng girang sekali. Ia mengenal bambu naga hitam sebagai bambu yang kuat dan lurus maka amatlah baik untuk dijadikan suling dan dibuat senjata.
"Mana bambu itu? Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Keluarkanlah, biar aku melihatnya."
Setelah bambu itu dikeluarkan, Kwee Seng menjadi girang sekali. Benar bambu naga hitam yang amat baik, tua dan sudah kering betul. Mereka tawar-menawar, kemudian Kwee Seng berkata,
"Jadilah. Harap kau buatkan suling dari bambu ini sekarang juga, aku akan menunggunya."
Setengah hari lebih Kwee Seng berada di rumah pembuat suling itu. Akhirnya lewat tengah hari, suling itu pun jadi dan setelah mencobanya dan mendapat kenyataan bahwa memang sudah tepat ukuran lubang-lubangnya. Kwee Seng membayar harga suling yang lima puluh kali lebih mahal daripada harga suling biasa, membeli pula sebuah suling biasa dan meninggalkan tempat itu. Ia girang sekali, mempercepat larinya menuju ke rumah mungil yang menurut cerita Ang-siauw-hwa menjadi tempat istirahatnya tak jauh dari telaga.
"Moi-moi, kau lihatlah suling ini!"
Di depan pintu rumah Kwee Seng sudah berseru memanggil, rindu akan senyum manis dan pandang mata mesra yang pasti akan menyambutnya. Akan tetapi sunyi saja disebelah dalam. Kwee Seng mendorong daun pintu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua sosok tubuh malang-melintang dibelakang daun pintu. Ketika ia membungkuk dan memeriksa, ternyata itu adalah dua orang pelayan wanita yang sudah tak bernyawa lagi tanpa menderita luka yang kelihatan. Kwee Seng menjadi pucat mukanya.
"Moi-moi"
Serunya dan mendengar ada suara perlahan dari dalam kamar, sekali meloncat ia sudah menerjang daun pintu kamar dan masuk kedalam kamar. Apa yang dilihatnya? Memang Ang-siauw-hwa berada disitu, akan tetapi dalam keadaan yang jauh bedanya dengan malam tadi, Gadis itu telentang diatas pembaringan, pakaiannya hampir telanjang, rambutnya terlepas dari ikatan dan menutupi sebagian leher dan dada, bajunya yang berwarna merah muda itu robek-robek dan penuh darah yang keluar dari dadanya dimana tampak menancap sebuah gunting! Kwee Seng Segera menubruknya, akan tetapi sekali pandang maklumlah ia bahwa nyawa gadis ini tak dapat ditolongnya lagi, karena gunting itu tepat menancap di ulu hati. Ia diam-diam heran mengapa Ang-siauw-hwa tidak mati seketika dengan tusukan seperti itu.
"Moi-moi siapa melakukan ini?"
Ia mengguncang-guncang pundak wanita itu. Ang-siauw-hwa membuka matanya yang sudah layu dan tiba-tiba gadis itu tersenyum lemah.
"Kwee-koko kau datang terlambat tapi lebih baik begini tak mungkin aku dapat melihat mukamu setelah apa yang terjadi lebih baik aku akhiri hidupku."
"Apa katamu? Kau membunuh diri? Tapi mengapa, Moi-moi?"
"Koko pada saat kau pergi datang hwesio iblis itu, ah".. dua orang pelayanku dibunuhnya dan aku aku.. Wanita itu menangis dan napasnya terengah-engah. Setelah bertemu dengan engkau setelah aku bersumpah setia hanya padamu seorang, kebiadaban hwesio itu membuat aku tak mungkin dapat melihatmu lagi di dunia ini aku aku, ah.. koko, aku cinta padamu kau carikan saudaraku Gin In"
"Moi-moi"
Akan tetapi Ang-siauw-hwa atau Khu Lim In yang bernasib malang itu telah menghembuskan napas terakhir dalam pelukan Kwee Seng. Pada saat itu, dari luar terdengar suara perempuan memanggil.
"Ang-siauw-hwa Kenapa kau dua hari tidak kembali ke kota? Aku menanti-nantimu, banyak tamu menanyakan kau,"
Lalu terdengar jerit wanita. Kwee Seng maklum bahwa tentu wanita yang datang itu Bibi Cang yang sudah melihat dua orang pelayan yang tewas, maka untuk tidak melibatkan diri dalam urusan pembunuhan ini, cepat ia merebahkan tubuh Ang-siauw-hwa diatas pembaringan, menunduk dan mencium bibir yang mulai layu itu dan secepat kilat ia melompat keluar kamar melalui jendela, membawa jubahnya yang kemarin dipinjam Ang-siauw-hwa, dan meninggalkan sulingnya didekat tubuh pelacur itu.
"Demikianlah, Sian-moi, pertemuanku dengan Ban-pi Lo-cia yang mengakibatkan sulingku hancur!"
Kwee Seng mengakhiri ceritanya kepada Liu Lu Sian. Tentu saja dalam cerita itu ia tidak menjelaskan hubungannya dengan Ang-siaw-hwa secara jelas. Dalam pandangannya, dibandingkan dengan Ang-siauw-hwa, Liu Lu Sian menang segala-galanya. Kalau Ang-siauw-hwa diumpamakan setangkai bunga, maka pelacur itu adalah bunga botan yang tumbuh dilapangan rumput, tiada pelindung dan mudah dilayukan sinar matahari dan dirontokkan angin besar. Akan tetapi Liu Lu Sian merupakan setangkai bunga mawar hutan yang semerbak harum, indah terlindungi pohon besar, disamping itu sukar dipetik karena tertutup duri-durinya yang runcing.
"Kwee-koko, mengapa ketika kau bercerita tentang dicemarkannya pelacur itu oleh Ban-pi Lo-cia, matamu berkilat marah! Seorang perempuan lacur macam Ang-siauw-hwa itu, mana ada harganya untuk dibela?"
Memang ini termasuk sebuah diantara watak Lu Sian yang aneh. Kalau ada laki-laki menyatakan suka atau tertarik oleh wanita lain, biarpun laki-laki itu bukan apa-apanya, ia akan merasa iri hati dan cemburu! Dilain fihak, Kwee Seng adalah seorang pemuda yang sama sekali belum berpengalaman tentang wanita dan asmara, maka ia tidak tahu dan tidak mengerti akan sikap ini. Ia malah merah mukanya karena jengah mendengar teguran Lu Sian.
"Ah, mengapa kau bilang begitu, Sian-moi? Pelacur atau bukan, dia hanya seorang lemah yang diperkosa oleh seorang jahat yang kuat. Sudah menjadi kewajibanku untuk membelanya, dan sudah semestinya kalau aku marah melihat kejahatan Ban-pi Lo-cia. Aku mengharapkan perjumpaan sekali lagi dengan pendeta iblis itu!"
Makin tak senang hati Lu Sian karena dianggapnya bahwa kematian pelacur itu membuat Kwee Seng sakit hati dan ini menandakan bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Si Pelacur.
"Koko, apakah kau mencinta perempuan hina itu?"
Tiba-tiba ia bertanya, matanya memandang tajam. Kwee Seng juga memandang dan melihat sinar mata bening tajam itu bertambah kagumlah hatinya.
"Tidak, aku hanya kasihan kepadanya."
Jawab Kwee Seng, suaranya jelas menyatakan isi hatinya. Akan tetapi agaknya Liu Lu Sian belum puas. Gadis ini mengerutkan keningnya dan mendesak lagi.
"Pernahkah kau jatuh cinta? Adakah seorang wanita yang kau cinta di dunia ini?"
Bertemu dengan pandang mata tajam bening penuh selidik itu, muka Kwee Seng menjadi makin merah. Sebelum menjawab ia menggigit bibir menekan perasaan, kemudian katanya.
"Selama ini aku tidak pernah jatuh cinta. Hanya setelah bertemu dengan engkau, Sian-moi. Ah".. entahlah. Agaknya kalau ini yang dinamakan cinta, berarti aku jatuh cinta kepadamu!"
Mendengar kata-kata ini, lu Sian hanya tertawa, tertawa senang sekali. Kemudian ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata.
"Kwee-koko, mari kita melanjutkan perjalanan."
"Apa? Hampir tengah malam begini?"
Akan tetapi Lu Sian sudah melangkah ke kamarnya dan tak lama kemudian ia keluar lagi membawa buntalan pakaian dan memanggil pelayan dengan suara nyaring. Ketika pelayan berlari-lari datang, ia cepat memerintahkan pelayan untuk menuntun dua ekor kuda mereka dan menyiapakannya di depan rumah penginapan.
"Mengapa tidak, Koko? Apa salahnya melakukan perjalanan malam? Setelah keributan tadi, aku tidak senang disini, ingin lekas-lekas pergi saja. Aku ingin berada ditempat bebas dan udara terbuka untuk mendinginkan kepala agar dapat aku enak memikirkan."
"Memikirkan sesuatu saja harus pergi tengah malam ditempat terbuka? Kwee Seng mengomel karena sesungguhnya ingin ia mengaso. Memikirkan apa saja, sih?"
Liu Lu Sian tersenyum manis,
"Memikirkan pernyataan cintamu tadi itu!"
Kwee Seng melongo dan pipinya menjadi merah, akan tetapi cepat-cepat ia pun mengambil pakaian dan keduanya lalu keluar dari rumah penginapan, melompat keatas kuda dan meninggalkan pelayan-pelayan yang memandang dengan mata terbelalak, terheran-heran menyaksikan dua orang muda yang lihai dan royal itu, yang meninggalkan hadiah tidak sedikit di tangan mereka sebelum pergi. Begitu keluar dari kota, Lu Sian membalapkan kudanya, Kwee Seng terpaksa mengikutinya dengan perasaan heran. Alangkah anehnya gadis ini, pikirnya, dan hatinya berdebar kalau ia teringat betapa tadi ia telah mengucapkan pengakuan cintanya kepada Lu Sian. Akan tetapi ternyata gadis ini melakukan perjalanan setengah malam suntuk tanpa bicara dan Kwee Seng yang masih marasa malu karena pengakuan cintanya, tidak berani bicara sesuatu, hanya mengiringkan gadis itu dari belakang.
"He, paman tukang perahu! Mari kau seberangkan aku dan kudaku kesana! Berapa biayanya kubayar!"
Tukang perahu yang kurus dan bermata sipit memakai topi lebar itu segera meminggirkan perahunya, perahu yang cukup besar. Ternyata ia seorang nelayan karena di atas dek perahu tampak alat-alat pancing dan jaring. Dibagian belakang perahu duduk seorang anak tanggung memegang dayung bambu panjang.
"Baiklah, nona. Memang setiap hari kerjaku hanya menyeberangkan orang yang lari mengungsi. Akan tetapi dari seberang sana kesini. Sungguh heran sekali pagi-pagi buta begini nona malah hendak menyeberang kesana."
Kata si tukang perahu dengan suara penuh keheranan. Lu Sian menuntun kudanya dan mengajaknya melompat keatas dek perahu, sedangkan Kwee Seng mengikutinya tanpa banyak bicara. Dalam keadaan remang-remang kini ia dapat melihat wajah gadis itu, masih berseri-seri gembira dan cantik sekali. Kali ini Lu Sian melirik kepadanya dan tersenyum-senyum manis, akan tetapi juga tidak bicara apa-apa.
"Ah, Paman, kau tadi bilang apa?"
Ketika perahu sudah meluncur ke tengah, Lu Sian bertanya.
"Orang-orang mengungsi dari sana? Ada terjadi apakah diseberang sana?"
Si Tukang Perahu memandang, keningnya berkerut.
"Apakah nona belum tahu? Daerah San-si mulai geger. Sejak gubernur Li Ko Yung berkuasa dan kerajaan Tang ditumbangkan belum pernah terjadi kehebohan di kalangan rakyat. Akan tetapi setelah Jenderal Muda Kam menentang kekuasaan gubernur dan tidak setuju dengan pemberontakan melawan kerajaan, keadaan menjadi geger karena jenderal Kam mempunyai banyak pengikut. Malah sesungguhnya rakyat banyak yang menyokong jenderal muda gagah perkasa itu. Banyaklah dilakukan penangkapan-penangkapan oleh gubernur, dengan tuduhan memberontak. Ah.."
"Dan bagaimana dengan jenderal itu? Apakah ditangkap juga? Dan dimana dia sekarang?"
Lu Sian agaknya tertarik sekali, akan tetapi Kwee Seng mendengar semua itu dengan hati dingin. Memang sama sekali ia tidak ada perhatian terhadap keributan negara yang tiada hentinya, semenjak pemberontakan yang terjadi puluhan tahun yang lalu terus menerus, sampai tumbangnya Kerajaan Tang dan tanah air menjadi pecah-pecah karena diperebutkan. Entah berapa banyaknya sekarang raja-raja dan raja-raja muda atau bekas-bekas gubernur yang mengangkat diri sendiri, mendirikan kerajaan-kerajaan kecil yang saling curiga-mencurigai, seakan-akan sekelompok anjing masing-masing mendekap sebatang tulang. Ia muak dengan itu semua, muak melihat manusia-manusia yang demi mencari kemuliaan dan kedudukan duniawi, berebutan tak tahu malu, mempergunakan rakyat yang dipecah-pecah untuk memihak demi kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan korban berjatuhan di kalangan rakyat jelata yang selalu hidup miskin dan bodoh!
"Mana bisa Jenderal Kam ditangkap? Biar gubernur sendiri takkan berani menangkapnya, hanya berani menangkapi rakyat yang tak berdaya! Pula, tanpa adanya jenderal yang gagah perkasa dan dicinta rakyat itu, bagaimana mungkin Shan-si akan dapat bertahan terhadap serangan dari luar?"
"Paman yang baik, bukankah jenderal itu bernama Kam Si Ek?"
"Betul, bagaimana nona dapat mengenal nama jenderal kami itu sedangkan tadi nona tidak tahu apa-apa tentang keributan di daerah San-si?"
Kini Kwee Seng mulai memperhatikan apalagi ketika disebut nama Kam Si Ek. Ia sudah mendengar akan kehebatan sepak terjang Jenderal Muda itu, bahkan belum lama ini Kam Si Ek muncul pula di pesta Beng-kauw dan telah memperlihatkan sikap dan wataknya yang memang gagah perkasa ketika mencegah Lu Sian menjatuhkan tangan maut kepada seorang pengagumnya. Seorang pemuda gagah yang berwatak satria, tidak melayani tantangan Lu Sian padahal pemuda yang menjadi jenderal itu belum tentu kalah oleh gadis puteri Beng-kauwcu ini. Laki-laki yang tidak tunduk oleh wajah cantik! Tidak seperti aku, demikian Kwee Seng memaki diri sendiri.
"Ah, Sian-moi. Kau menyebrang sungai ini, apakah hendak melakukan perjalanan ke utara? Mau kemanakah? Ingat, perjalanan ini adalah perjalananku, kau hanya ikut denganku,"
Kata Kwee Seng setelah tukang perahu itu pergi ke kepala perahu untuk membantu penyebrangan karena air mulai agak deras alirannya dan tidak amanlah kalau hanya mengandalkan tenaga pembantunya yang masih anak-anak. Dengan kerling tajam Lu Sian mencibirkan bibirnya yang merah. Jantung Kwee Seng serasa ditarik-tarik. Manisnya gadis ini kalau begitu!
"Kwee-koko, seorang suami boleh membawa kehendak sendiri, ada kalanya harus menghormati dan menuruti keinginan si isteri, tunangan pun bukan. Bagaimana aku harus selalu menuruti kehendakmu! Kau bukan suamiku, bukan tunanganku, juga bukan atau belum menjadi guruku karena kau belum menurunkan apa-apa seperti yang telah kau janjikan kepada ayah. Aku ingin ke utara, kalau kau hendak mengambil jalan lain tanpa menurunkan kepandaian kepadaku yang berarti kau melanggar janji, terserah."
Kwee Seng mengeluh didalam hatinya. Terlalu sekali gadis ini menggodanya. Ia tertawa dengan sabar.
"Adik yang baik, kata-katamu seperti ujung pisau tajamnya. Aku sih tidak mempunyai tujuan tertentu, kemana pun boleh. Akan tetapi kalau di utara terjadi keributan perang, mengapa kau hendak kesana?"
Lu Sian tertawa dan giginya yang putih berkilau terkena matahari pagi yang mulai muncul dan sinarnya menembus celah-celah daun pohon.
"Justeru karena ada perang aku ingin kesana. Aku hendak menonton keramaian! Kwee-koko, ada tontonan bagus, mengapa kita lewatkan begitu saja? Pula, melakukan perjalanan bersamaku, biarpun menempuh bahaya, bukankah amat menyenangkan bagimu?"
Gadis itu mengerling, manis sekali dan Kwee Seng menahan napasnya. Sinar matahari pagi jatuh pada kepala gadis itu, membuat sekeliling kepala seperti dilingkungi sinar keemasan!
"Kau cantik sekali, Moi-moi,"
Katanya perlahan, penuh kekaguman. Lu Sian tertawa. Gadis di pagi hari belum berhias,
"mana bisa cantik? Ihhh, kau sudah mabok lagi, Koko, kini bukan mabok arak, melainkan mabok asmara!"
Lu Sian tertawa-tawa menggoda, lalu berjongkok dipinggir perahu, tangannya menyambar air yang jernih dan mulailah ia mencuci mukanya, digosok-gosoknya sehingga seluruh kulit mukanya menjadi kemerahan dan segar laksana bunga mawar merah tersiram embun pagi.
Digoda secara terang-terangan seperti itu, Kwee Seng menjadi lemas dan selanjutnya ia tidak mau banyak bicara lagi, karena setiap godaan gadis itu merupakan tusukan di hatinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi begini lemah? Mengapa ia tidak pergi saja tinggalkan gadis ini? Kemana perginya keangkuhannya yang selama ini ia banggakan? Ah, ia masih mengharap. Ia masih menanti. Lu Sian telah mendengar pengakuan cintanya, dan gadis ini sukar sekali diraba isi hatinya. Kadang-kadang begitu mesra seakan-akan gadis itu pun mencintainya sungguhpun ingin memperlihatkan kebalikannya, akan tetapi mengapa kadang-kadang begitu kejam menyerangnya dengan kata-kata sindiran? Setelah menyeberang, kembali Lu Sian membalapkan kudanya. Kwee Seng mengikuti dari belakang dan sebentar saja mereka sudah memasuki sebuah hutan.
Benar saja seperti yang dikatakan tukang perahu, setelah agak siang tampaklah berbondong-bondong orang mengungsi ke selatan. Karena jalan mulai ramai dengan rombongan pengungsi, Lu Sian dan Kwee Seng mengambil jalan hutan yang kecil akan tetapi sunyi.
"Mengapa mengungsi saja harus beramai-ramai seperti itu? Memenuhi jalan saja."
Lu Sian mengomel karena jalan hutan yang dilalui sempit dan seringkali pohon-pohon kecil berduri mengganggunya.
"Rakyat sudah terlalu banyak mengalami tindasan dan kekerasan, Sian-moi. Mereka tahu bahwa mengungsipun tidak terlepas dari intaian bahaya gangguan orang jahat atau binatang buas maka mereka merasa lebih aman untuk melakukan pengungsian beramai-ramai. Pada perang sekacau ini biasanya orang-orang jahat suka mempergunakan kesempatan merampok."
"Hah, kau benar, koko dan agaknya kita yang akan menjadi korban. Kau dengar itu?"
Kwee Seng mengangguk.
"Derap kaki banyak kuda dari belakang! Akan tetapi belum tentu perampok-perampok yang mengejar kita, Moi-moi."
Mereka berdua berhenti dan menoleh ke belakang.
Tak lama kemudian derap kaki kuda berbunyi lebih jelas dan muncullah tiga orang penunggang kuda yang membalapkan kuda mereka cepat sekali. Tiga ekor kuda tunggangan mereka itu besar-besar dan ternyata merupakan kuda pilihan, malah lebih besar dan baik daripada kuda tunggangan Kwee Seng dan Lu Sian. Sedangkan tiga orang penunggangnya adalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan berpakaian mewah akan tetapi ringkas. Pedang berukir indah bergantung dipunggung mereka, tangan kiri memegang kendali kuda, tangan kanan memegang cambuk. Melihat kesigapan mereka menunggang kuda, mudah diduga mereka itu adalah wanita-wanita yang pandai ilmu silat, apalagi pedang mereka membayangkan pedang pusaka yang baik.
Yang terdepan paling tua usianya, antara dua puluh lima tahun, pakaiannya serba merah, yang kedua berusia dua puluh tahun, pakaiannya serba kuning dan yang ketiga baru delapan belas tahun berpakaian serba hijau. Melihat raut muka mereka, dapat diduga bahwa mereka itu kakak beradik, dan sukar dikatakan mana yang paling cantik diantara mereka. Semua cantik dan pandang mata mereka tajam. Akan tetapi wajah yang berkulit halus itu diperbagus lagi dengan bedak dan yanci (pemerah bibir/pipi) sehingga menimbulkan kesan dihati Kwee Seng bahwa tiga orang wanita ini adalah gadis-gadis pesolek, seperti Ang-siauw-hwa. Berbeda dengan Liu Lu Sian yang ia lihat tak pernah memakai bedak dan yanci, sungguhpun hal ini memang tidak perlu karena kulit muka Lu Sian sudah terlalu putih halus dan bibirnya selalu merah membasah, pipinya kemerahan seperti buah apel masak.
Tangan Geledek Eps 6 Tangan Geledek Eps 17 Tangan Geledek Eps 36