Tangan Geledek 6
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
Gak Soan Li menjadi kaget dan ka-gum sekali. Tidak saja wanita ini dapat mendahului mereka, bahkan dapat me-masuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi ke-pandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget se-kali karena tidak mengira bahwa pe-s nolongnya seorang wanita demikian cantiknya.
Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya, karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah) sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena sudah yakin bahwa inilah pe-nolongnya, Soan Li tanpa ragu-ragu iagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu sekeluarga menghaturkan te-rima kasih atas pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga ter-pelihara," kata Soan Li dengan sikap merendah sekali. Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. la memberi hormat dengan menjura dan berkata.
"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan kalau kami terialu lama di jalan membuat Siankouw tenalu larha menanti."
Wanita itu menggerak-gerakkan ta-ngan kirinya dan terdengar jia berkata.
" suaranya halus akan tetapi tajam rne-nusuk telinga.
"Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang rendah seperti aku? Hujin, bangunlah!" Sekali ia mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bang-kit berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak me-nyuruh dua orang bocah itu berdiri.
"Locianpwe, silakan duduk....." kata pula Soan Li.
(Lanjut ke Jilid 06)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 06
"Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit urusan hendak di-sampaikan kepada kalian suami isteri."
Wanyen Ci Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali. Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat pentingnya.
"Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah sebetulnya Siankouw ini? Sung-guh tidak enak bagi kami kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku sembrono dan lan-cang sebelum mengenal siapa wanita ini. Kalau kawan tidak apa, akan tetapi ka-lau lawan ia dapat bersiap-siap men-datangkan bala bantuan.
"Lihat saja kedua tanganku yang merah dan kalian akan tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara di-ngin seakan-akan mengejek.
"Kalau teecu tidak -salah duga, Locianpwe ini tentulah Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.
Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patuf terdengar di tengah malam di dalam kuburan yang sunyi. Suara ketawa siluman!
"Hujin terlalu sungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang menyebut aku de-ngan sebutan Nio-nio. Panggil saja sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)."
"Mana berani teecu berlaku kurang ajar? Seorang sakti seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis wanita," kata Soan Li penasaran. la merasa amat kagum terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.
"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Mo-li berkata dengan wa-jah ramah dan senyum manis. Biarpun dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling su.ka akanpujian! "Sekarang baik kuberi-tahukan tentang maksud kunjunganku. Aku melihat dua orang anakmu ini ber-tulang baik sekali dan kebetulan sekali mernang aku hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk membawa me-feka bersama-sama dan menjadi murid-muridku."
Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun mendengar ini. la cepat memandang kepada isterinya untuk melihat reaksi isterinya akan maksud wanlta aneh itu, dan (intuk mempersiap-kan segala kemungkinan kalau saja isteri-nya .sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya de-ngan wajah berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.
"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat kepada Nio-nio!" Dua orang anak itu mentaati perintah ibunya dan mereka cepat memberi hormat sam-pai jidat mereka membentur lantai. Ada-pun Soan Li sendiri tanpa menanti suami-nya menyatakan sesuatu yang tidak se-suai dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.
"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan tenang untuk Nio-nio dan menyedia-kan tiga orang pelayan untuk melayai^ segala keperluan Nio-nio di sini."
Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan meneri-ma usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang meng-gembirakan karena pangeran ini dapat merasai pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa khawatir hanya kaJau kedua anaknya dibawa pergi oleh wanita itu. Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi ancaman musuh-musuhnya dan ia mem-punyai rencana untuk menyuruh anak isterinya mengungsi. Kalau dua orang anaknya dibawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya meng-ungsi ke Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh dipercaya.
Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagum atas kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua bocah itu.
"Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni bermaksud mengajak mereka me-" rantau di dunia kang-ouw dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang kelak akan menjagoi kolong langitl"
Wanyen Ci Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan wajah tenang tidak berubah menjawab.
"Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang berartl, namun dahulu aku adalah murid Hwa 1 Enghiong, maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata Nio-nio tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau sewaktu-waktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan tetapi tentu saja janganf sekarang di waktu mereka masih kanak-kanak, selain membutuhkan kaslh sayangp ayah ibu, juga mereka perlu mempelajari ilrnu surat. Tentusaja Nio-nio tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw bilang bahwa kedua orang mund Nio-nio hanyalah orang-orang kasar yang tidak mengenal mata surat bukan? Oleh karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat, memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di antara kita.
Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar mereka di sini dan kami ber-janji takkan mengganggu Nio-nio, dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh saja Nio-nio ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik dan adil dan Nio-nio tidak mengecewakan menjadi pujaan kami keluarga Wanyen?"
Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia hendak marah mendengar orang berani membantah kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seoranp bodoh. la sudah tahu betapa besa kekuasaan Pangeran Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawan-an, ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak jum-lahnya. la amat suka melihat dua orang anak itu, terutama sekali Bi Li. Sinar mata anak ini mendatangkan rasa say ng dalam hatinya karena ia maklum bahwa kalau anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa salahnya kalau dia tinggal di si-tu untuk beberapa lamanya? Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.
"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua anakmu.
Dapat dibayangkan betapa girangiiya hati suami isteri itu. Sibuk mereka nrte-nyediakan kamar yang indah dan bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamhya Pangeran Wanyen Ci Lun menjamu ma-kan minum kepada guru anak-anaknya. Dalam perJamuan ini mereka bertiga bicara dengan ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang kakek itu.
"Mereka bertiga adalah kaki tanigan Raja Mongol yang bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah adalah Bu Hok Lokai, seorang kang-ouw yang tidak berdosa dan tak pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui karena pinni pernah .melihat dia bersama tiga orang Mongol itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok Lokai."
Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung HimaJaya, dan dalam kesombongannya ia menyatakan bahwa jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orang-orang seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok Seng Cu, kalau mereka itu masih hidup, mudah ia akan dapat mengalahkan mereka Biarpun Gak Soan Li dan suami-nya masih kurang percaya, namun suan-iE isteri ini sudah merasa girang dan ber-untung sekali bahwa kedua anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ sekarang tinggal seorang sakti yang selain dapat menurunkan kepandaian ke-pada Wan Sun dan Wan Bi Li juga me-rupakan pembantu dan penjaga keamanan yang boleh diandalkan.
Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui, tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa. Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak sia-sia. Memang se-sungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li! Diam-diam Pangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat baik dan saudara-nya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih pandai, pikirnya, antara guru anak-anak-nya ini dengan Wan-bengcu?
Malam harinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam kamar tidur bersama isterinya ia berkata.
"Aku makin meng-khawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak-kek Sam-kui. Kalau mere-ka itu orang-orang Mongol yang kejam?dan jahat, kasihan sekali bocah itu. En-tah mengapa, sebaliknya dari perasaan-mu, aku merasa suka dan kasihan kepada anak itu."
"Aah, mengapa mesti memikirkan bocah buruk seperti dia? Melihat muka-nya saja aku sudah tidak suka dan muka itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pak-kek Sam-kui mana bisa baik? Lebih baik kita pikirkan keadaan anak-anak kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak hendak membawa mereka merantau sebelum mereka dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi begitu saja menerima Ang-jiu Nio-nio sebagai guru anak-anak kita, karena selain dia memang berilmu tinggi, kalau kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat menahan dia mem-bawa pergi anak-anak kita?"
Wanyen Ci Lun mengangguk-angguk dan merangkul pundak isterinya yang terkasih.
"Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja..... sayang bocah bermuka buruk tadi....."
"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah buruk rupa itu!" jawab Soan Li.
Kalau saja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa yang akan diperbuatnya? Menerima bocah itu seperti anak sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya? Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati seorang wanita seperti Gak Soan Li!
Sekarang kifa ikuti perjalanan Ti"ang Bu. Bocah ini sama sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat se-kali karena Ci Kui dan dua orang sute-nya takut setengah mati kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Sam-kui adalah orang-orang utara, tentu saja mereka sudah tahu siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu ketika Temu Cin mencoba mem-bujuk Ang-jiu Mo-li ; supaya membantu barisan Mongol dan ^anita itu rnenolak sehingga terjadi pertfempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai kelihaian tangan wanita itu. Mereka tentu akan tewas dalam tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima Mo-ngol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong 3i dan Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglima-panglima tertinggi dari Temu Cln di waktu itu, baru Ang-jiu Mo-li melarikan diri, tidak kuat imenghadapi keroyokan sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang ketika melihat pat-kwa-ci, senjata raha-sia Ang-jiu Mo-li yang amat lihai.
Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa. Dengan pengerah-an tenaga sepenuhnya dan tidak pernah berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan besar, puluhan!i jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-lo-ong Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu. Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain perasaan yang sukar dilukiskan!
"Tiang Bu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"
Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui.
"Karena dulu Suhu sekalian berlari cepat ke tempat orang-orang bertempur, teecu tertinggal di belakang. Selagi teecu kebingungan mencari jalan yang amat sukar itu, tiba-tiba muncul seorang hwesio besar yang aneh, jubahnya merah-merah dan ia memegang sebuah tongkat panjang. Tiba-tiba saja munculnya entah dari mana, dan hwesio galak itu begitu bertemu dengan teecu, lalu mendorong teecu masuk ke dalam jurang di pinggir lorong kecil itu."
Pak-kek Sam-kui saling pandang dan tahu bahwa yang dimaksudkan oleh Tiang Bu tentulah Thai Gu Cinjin, pendeta Lama dari Tibet yang lihai itu. Mereka juga percaya atas keterangan Tiang Bu karena dengan menyebut pendeta Lama itu kiranya bocah ini tidak bohong.
"Kenapa dia mendorongmu masuk jurang?" tanya Liok-te Mo-ko Ang Bouw mata burungnya memandang penuh selidik.
"Mana teecu bisa tahu? Dia seperti orang gila sedang marah-marah, begitu bertemu di jalan kecil itu, ia berkata.
"Minggir, setan cilik" dan teecu didorongnya sampai terjungkal ke dalam jurang."
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Ci Kui tertarik.
"Teecu tidak ingat apa-apa lagi, ketika teecu sadar ternyata teecu telah dipondong oleh seorang pengemis tua yang kakinya pincang. Kemudian menurut jembel itu, teecu terjatuh di dalam jurang dan pingsan. Pengemis itulah yang menolong teecu dari bahaya maut. Kemudian pengemis itu membawa teecu merantau sampai ke kota raja. Tadinya teecu hendak menolak ajakannya merantau dan mengemis, akan tetapi teecu tidak berdaya karena teecu masih lemah dan tidak bisa berjalan akibat jatuh itu. Terpaksa teecu ikut dengan pengemis tua itu dan sampai akhirnya bertemu dengan Suhu bertiga di kota raja."
"Mengapa kau berada di sana dengan Pangeran Wanyen Ci Lun sekeluarganya, dan apa yang dikatakan oleh pangeran itu padamu?"
"Setibanya di kota raja, kakek jembel itu terserang penyakit aneh dan meninggal dunia di pinggir jalan. Teecu yang tinggal seorang dirl menjadi ke-bingungan. Lalu muncul kereta pangeran itu dan pangeran itu sendiri berjanji hendak mengurus jenazah kakek jembel. Dia tidak berkata apa-apa, hanya ber-tanya apa yang terjadi di situ." Tiang Bu yang melihat peristiwa di kota raja, maklum bahwa tiga orang kakek ini tidak suka kepada Pangeran Wanyen Ci Lun maka ia pun tidak mau memuji-mujinya walaupun di dalam hatinya Tiang Bu amat kagum dan berterima kasih kepada keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun itu.
"Selama kau ikut jembel busuk itu, apakah kau tidak belajar silat?"
"Jembel tua begitu mana mengerti silat? Teecu hanya belajar mengemis dan sedikit membaca menulis." Bocah ini memang cerdik. la tahu bahwa Bu Hok Lokai bukanlah orang tidak ternama. Kalau kelak tiga orang gurunya ini tahu bahwa kakek jembel itu Bu Hok Lokal adanya, tentu mefeka akan menaruh curiga apabila ia bilang tidak belajar apa-apa. Bu Hok Lokai adalah seorang bun-bu-coan-jai, maka orang seperti itu kalau tidak mengajar ilmu silat, tentu mengajar ilmu surat. Dan ia mengaku belajar ilmu surat ini agar jangan mem-bangkitkan amarah tiga orang kakek yang galak-galak itu.
"Bocah bodoh! Lain kali biar dipukul sampai mampus Jangan kau mau secara sembarangan saja dibawa pergi orang. Kau sudah belajar dari kami, mengapa kau tidak mau membunuh mati saja jembel tua itu lalu pergi mencari kami?" kata Sin-saikong. Ang Louw.
"Tangan dan kaki teecu sakit-sakit semua, salah urat ketika teecu terjatuh, juga kepala amat pening. Bagaimana teecu bisa rnelawannya? Apalagi ketika teecu siuman, teecu telah dipondongnya. Jembel tua itu ternyata hatinya baik sekali maka teecu tidak tega untuk mem-bunuhnya. Pula, teecu tidak tahu kemana harus mencari Sam-wi Suhu, maka teecu mau saja ikut dengan dia sambil mencari Suhu dalam perantauan."
"Sudahlah, lain kali kalau kau lari dari kami dan ikut orang lain, akan kami bunuh. Kau menyia-nyiakan waktu. Apa kau masih ingat semua pelajaran yang kau terima dari kami?"
Tiang Bu terkejut. Selama ini ia hanya menghafal kitab dan melatih ilmu silat Sam-hoan Sam-bu. la tidak pernah melatih dasar-dasar ilmu silat yang ia dulu terima dari Pak-kek Sam-kui. Cepat otak dan ingatannya bekerja, diperasnya untuk mengingat-ingat, lalu berkata.
"Teecu masih ingat, Suhu hanya selama ini tidak ada yang memberi petunjuk, tentu saja teecu tidak mendapat kemajuan."
"Haya kauperlihatkan padakul" k"ta Ci Kui.
"Malu aku kalau orang lain melihat muridku tidak becus apa-apa"
Diam-diam Tiang Bu gembira karena dari kata-katanya ini, Glam-Lo-ong Ci Kui sudah memaafkannya. Dengan muka riang bocah ini lalu bersilat seperti yang dulu pernah ia latih ketika masih ikut dengan tiga kakek ini.
"Waah..... waaah..... celaka! Buruk sekali!" seru Sin-saikong Ang Louw.
"Hah, memalukan punya murid semacam ini"
Giam-lo-ong Ci Kui melangkah maju dan berkata dengan suara sungguh-sungguh kepada Tlang Bu.
"Tiang Bu, ingatlah bahwa kau adalah murid Pak-kek Sam-kui dan bahwa kau sekarang sudah besar. Sungguh memalukan hati kami kalau ilmu silatmu seburuk Itu. Hayo kauperhatikan baik-baik dan" mulai latihan. Ikuti gerakan-gerakanku ini dan jangan salah."
Setelah berkata demlkian, Giam-lo-ong Ci Kui lalu bersilat tangan kosong, sepuluh jari tangannya dengan kuku panjang-panjang itu berbentuk cakar harimau dan ia bersilat secara menyeramkan sekali. Dulu pernah Tiang Bu menerima pelajaran ini akan tetapi belum berlatih, maka ia tahu bahwa ia harus belajar ilmu silat yang oleh gurunya disebut Ilmu Silat Hu-houw-tong-tee (Harimau Terbang Menggetarkan Bumi). la memperhatikan gerakan-gerakan suhunya secara sungguh-sungguh dan penuh perhatian, kemudian ia mulai meniru gerakan-gerakan suhunya itu. Tiang Bu bersilat penuh semangat meniru gerakan Giam-lo-ong Ci Kui.
Ang Bouw dan Ang Louw menonton dan kadang-kadang merek" m"mberi petunjuk kalau gerakan bocah itu ada yang keliru. Sampal tiga jam lebih Ci Kui memberl pelajaran kepada rnuridnya tanpa mengenal lelah sampai akhirnya Tiang Bu dapat menguasai gerakan-gerakan yang sukar dan hati Si Jangkung Gundul ini puas.
"Mulai besok kau harus latlhan memukul pasir dan batu agar kedua tanganmu dapat cepat menjadi tok-ciang (tangan beracun) seperti kami," kata Glaro-lo-ong dengan puas sambil menghapus peluh yang memenuhi kepala gundulnya.
Tiang Bu mengucapkan terima kasih sungguhpun di dalam hati ia tidak suka akan ilmu-ilmu silat yang aneh dan menyeramkan ini. la lebih suka mempelajari Sam-hoan Sam-bu atau Pat-hong-hong-i dari kitab yang isinya sudah ia hafalkan itu. Akan tetapi ia tidak dapat memilih dan terpaksa harus rncnerima pelajaran yang diberikan oleh tiga orang kek dari utara ini. Tiang Bu yang sudah tahu betul akan watak aneh dari Pak-kek Sarn-kui, sama sekali ti-dak berani mencoba melatih Sam-hoan Sim-bu atau Pat-hong-hong-i dihadapan mereka. Hanya sewaktn ia berada seorang diri saja, sambil mengingat-ingat tangannya bergerak-gerak melakukan gerakan-gerakan Pat-hong-hong-i yang sudah ia hafal di luar kepala.
Darl kota raja Pak-kek Sam-kui mengajak Tiang Bu melekukan perjalanan yang jauh dan lama sekall tidak tahu bahwa ia diajak oleh tiga orang kakek itu ke Mongol, di pusat bangsa MongoJ yang mulai berkembang, ke tempat dl mana Raja Beaar Temu Cin sedang menghimpun kekuatan untuk melakukan penyerbuan besar-besaran sesuai dengan cita-citanya, yaitu menguasai dunia dan memperlihatkan kekuatan bangsa Mongolia!"
Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan dan makin lama makin jarang bertemu dengan kota, bahkan mulai mendaki gunung dan menyeberang laut pasir yang luas dan ganas, Tiang Bu baru berani bertanya kepada guru-gurunya.
"Suhu, mengapa makin lama makin sunyi, dan makin jarang kita bertemu manusia? Kita sedang menuju ke mana-kah?"
Giam-lo-ong Ci Kui tertawa bergelak "Kita menuju pulang"
"Pulang ke rumah Sam-wl Suhu?" tanya Tiang Bu, yang cerdik.
"Betul, kau akan ikut dengan kaml ke sebuah negara yang besar, sebuah negara yang sebentar lagi akan menjagoi di dunia ini. Kau akan belajar ilmu epada kami dan kelak kau pun akan membantu negara itu menjadi suatu negara yang jaya dan kuat, ditakuti oleh semua negara lain."
"Suhu, melihat munculnya matahari dari sebelah kanah kita, teecu tahu bahwa kita sedang menuju kte utara. Akan tetapi, teecu belum pernah mendengar dari negara manakah asal Sam-wi, dan negara besar itu negara apakah?"
Ketiga orang kakek itu tertawa bergelak.
"Bocah bodoh, masa kau tidak mendengar tentang Mongol yang jaya dan kuat, dan tentang raja besar kami yang tlada taranya. Raja Temu Cin?"
Tentu saja Tiang Bu tidak pernah "mendengar nama negara atau raja itu, bahkan ia tidak tahu yang bagaimanakah bangsa Mongol itu. Melihat wajah ketiga orang suhunya, bangsa Mongol tentu jelek.
"Jadi di Negara Mongol itu kita akan menjumpai bangsa Mongol semua, seperti Sam-wi Suhu?" tanyanya dengan hati kecewa akan tetapi wajahnya tetap tidak berubah.
"Tentu saja di Negara Mongol kau akan bertemu dengan bangsa Mongol," jawab Ang Louw, gemas melihat kebodoh-an muridnya.
Mendengar suara Ang Louw dan tahu bahwa guru ke tiga ini gemas, Tiang berkata sambil tertawa.
"Bukan deintkian maksud teecu. Tentu saja betul seperti kata Sam-wi Suhu bahwa di Negara Mongol tentu kita akan bertemu dengan bangsa Mongol. Maksud teecu, apakah di sana tidak terdapat bangsa lain dan apakah disana tidak ada pula bangsa Han?"
"Kau tidak tahu, bangsa kami sudah menjadi bangsa besar. Hanya ada be-berapa suku bangsa saja yang belum me-naluk dan menyatukan diri di daerah utara, akan tetapi sebagian besar sudah bersatu di bawah pimpinan Khan kami yang besar dan semua suku bangsa itu kini menjadi bangsa Mongol. Tentu saja masih ada bangsa-bangsa lain seperti orang-orang Tibet dan suku-suku bangsa di pedalaman yang berada di Mongol. Mereka ini termasuk orang-orang yang membantu perjuangan kami. Bahkan yang menjadi kepala dari semua orang gagah pembantu kaisar kami adalah seorang Han yang berilmu tinggi. Dia itu ber-nama Llok Kong Ji dan berjuluk Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar Tiada Bandingan di Kolong Langit). Kepandaiannya hebat dan dia menjadi tangan kanan raja besar kami."
Agak terhibur hati Tiang Bu men-dengar bahwa di utara sana terdapat bangsa Han dan yang lain-lain, karena ia dapat membayangkan bahwa ia akan merasa tidak kerasan kalau harus tinggal di sebuah negara yang orang-orangnya macam Pak-kek Sam-kui ini buruknya!
Akan tetapi segera kekhawatirannya i ini lenyap. Setelah ia bertemu dengan beberapa kelompok suku bangsa di antara pegunungan dan padang pasir, ia melihat suku bangsa yang orang-orangnya terdiri dari orang-orang yang sempurna baik bentuk muka maupun bentuk badannya. Ada kelompok terdiri dari orang-orahg berkulit agak coklat kemerahan, akan tetapi wanita-wanitanya manis-manis dan yang laki-laki gagah tinggi besar tubuh . ijaereka kokoh kekar.
Ada kelompok yang orang^-prangnya nnempunyai kulit putih kuning seperti orang-orang Han biasa, bahkan wanita-wanitanya memiliki kecantikan yang me-.nyendiri dan para prianya juga tampan-tampan, dengan tulang pipi menonjol, hidung mancung dan dagu meruncing kadang-kadang ada belahan di tengahnya. Ada pula kelompok yang prianya me-melihara kumis panjang semua baik yang tua maupun yang baru remaja hingga kelihatan iucu sekali. Bahasa mereka juga bermacam-macam, akan tetapi pada unriumnya para wanitanya tidak berwatak malu-malu seperti wanita Han, pandang mata dan senyum pada wajah yang manis-manis itu terbuka dan ramah.
Yang nnenyenangkan hati Tiang Bu, setiap kelompok yang bertemu dengan tig"a orang gurunya, bersikap menghormat. Di mana-mana Pak-kek Sam-kui disambut seperti rakyat menyambut pembesar ting-gi, dijamu dengan hidangan-hidangan pilihan dan diadakan pesta-pesta tarian untuk menyenangkan hati Pak-kek Sam-kui. Ketika para kelompok suku bangsa taklukan itu mendengar bahwa Tiang Bu menjadi murid Pak-kek Sam-kui, me-reka juga menghormati anak ini sehingga Tiang Bu yang dipuja-puja merasa sungkan dan malu, akan tetapi perutnya lalu kenyang.
Akhirnya mereka tiba dikaki Gunung Kangai, di mana pada waktu itu Raja Besar Temu Cin dan bala tentaranya tinggal. Markas besar ini dikelilingi pagar tembok dan dijaga amat kuat. Di seke-liling markas ini terdapat dusun-dusun yang ramai. Markas besar itu sendiri merupakan sebuah kota tentara yang megah dan di dalamnya dilengkapi de-ngan tempat-tempat hiburan bagi ang-gauta pasukan yang bebas tugas dan beristirahat. Di mana-mana nampak kelom-pok pasukan yang amat berdisiplin dan bersikap gagah perkasa sehingga diam-diann Tiang; Bu merasa gentar juga.
Pak-kek Sam-kui di tempat ini pun selalu disambut dengan hormat oleh para penjaga. Tiga orang kakek itu membawa Tiang Bu masuk ke dalam markas dan langsung menuju ke sebuah bangunan besar di mana berkumpul banyak orang yang aneh-aneh sikapnya. Tiang Bu me-lihat orang-orang yang berpakaian seperti hwesio, ada yang seperti pendeta tosu, acla pula yang compang-camping pakaiannya seperti pengemis. Bahkan banyak pula terdapat wanita-wanita tua yang sikapnya menunjukkan bahwa mere-ka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggal Serdadu-serdadu Mongol dengan sikap menghormat sekali rnelayartl orang-orang ini makan minum.
Ketika Pak-kek Sam-kui tiba di tempat itu, mereka semua menyambut dan menyalam dengan gembira. Ketika Pak-kek Sam-kui yang bercakap-cakap dengan mereka dengan sikap seperti sahabat-sahabat lama memberi tahu atau mem-perkenalkan Tiang Bu sebagai muridnya, oran"g-orang itu segera merubung Tiang Bu dan dari sana sini terdengar pujian-pujian. Sayangnya Tiang Bu tidak mengerti bana-sa mereka karena mereka bicara dalam bahasa Mongol. Akan tetapi banyak di antara mereka yang pandai bicara daiam bahasa Han dan segera bocah ini dihujani pertanyaan tentang nama dan sebagainya.
"Tiang Bu, mereka semua ini adalah sahabat-sahabat baik kami yang mem-bantu pergerakan bangsa Mongol yang besar, Mereka ini adalah orang-orang berilmu yang datang dari segala pelosok, kepala-kepala suku bangsa yang me-nyatukan diri dengan pasukan kami. Ka-lau kau dapat menyenangkan hati mere-Ra, dan dapat memetik pelajaran-pelajaran dari mereka, kau akan beruntung sekali. Sekarang kau tinggal dulu di sini, kami ; hendak menghadap raja," kata Ci Kui kepada muridnya. Tiang Bu mengangguk dan menelan ludah. la merasa gelisah juga ditinggalkan seorang diri di antara orang-orang asing yang rata-rata aneh dan menyeramkan itu.
Jumlah mereka kurang lebih dua puluh orang dan ruangan yang amat luas itu masih terus kedatangan orang baru. Juga ada yang menihggalkan ruangan itu. Agaknya tempat ini menjadi tempat is-tirahat bagi mereka, beristirahat sambil bercakap-cakap dengan kawan yang di-jumpainya dan minum-minum arak. Benar-benar mereka kelihatan hidup senang. Dari percakapan beberapa orang di anta-ra mereka yang dilakukan dalam bahasa Han, Tiaog Bu mendapat kenyataan bahwa mereka ini adalah orang-orang gagah yang membantu Raja Temu Cin. Mereka ini bercerita betapa mereka sudah ber-hasil memimpin pasukan menaklukan suku bangsa ini atau itu sehingga kedudukan bangsa Mongol bertambah lagi.
Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti tentang politik dan tentang ke-adaan pemerintahan di masa itu. Akan tetapi karena sudah banyak mendengar dari Pak-kek Sam-kui, ia dapat men-duga bahwa mereka ini tentulah. orang-orang berilmu yang datang ke tempat itu untuk membantu Temu Cin karena ber-bagai alasan. Ada yang memang ditakluk-kan, ada yang memang suka membantu secara suka rela, ada pula yang karena mengharapkan hadiah yang secara royal dikeluarkan oleh Temu Cin. Melihat cara mereka menyambut Pak-kek Sam-kui seperti sahabat yang setingkat, diam-diam Tiang Bu kagum sekali.
Kepandaian mereka tentu tinggi se-perti kepandaian Pak-kek Sam-kui maka mereka berani bersikap seperti itu. Dan dugaan ini memang betul. Pergerakan bangsa Mongol yang dipimpin Temu Cin dapat berkembang dengan cepat dan ber-hasil, bukan saja karena pandainya Temu Cin memimpin bala tentaranya yang ber-disiplin dan gagah, akan tetapi juga terutama sekali karena di belakang raja ini terdapat banyak sekali orang pandai yang membantunya.
Pak-kek Sam-kui memasuki bangunan terbesar yang berada di dalam lingkungan benteng itu. Bangunan ini selain besar juga terjaga kuat sekali. Di sebelah da-lamnya indah dan megah. Inilah tempat tinggal Raja Besar Temu Cin! Raja yang berhasil memimpin bangsa yang tadinya! awut-awutan dan terpisah-pisah menjadi satu bangsa kesatuan yang amat hebat.
Pak-kek Sam-kui diterima oleh lapisan penjaga yang tujuh lapis banyaknya dan diantar dari penjaga pertama ke pos penjaga ke dua dan selanjutnya sampai ia tiba di pos penjagaan terakhir. Semua penjaga mengenal mereka maka mereka dapat langsung ke dalam tanpa banyak halangan. Dari para penjaga Pak-kek Sam-kui mendapat tahu bahwa raja sedang berundlng dengan dua orang panglima besarnya.
"Kebetulan sekali, bahwa kami meng-hadap," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
Setelah seorang penjaga melapor dan mendapat perkenan dari raja, tiga orang kakek aneh itu lalu diperkenankan masuk. Ruangan sidang yang mereka masuki besar dan berlantai mengkUap. Di sudutt sudut delapan penjuru terlihat pengawal-pengawal berdiri tegak dengan tombak dan pedang di tangan. Mereka itu tidak bergerak seperti patung, pandang mata tak pernah terlepas dari raja mereka dan sekelilingnya.
"Pak-kek Sam-kui Suhu datang! Selamat datang, silakan duduk dan mari minum dulu menghilangkan dahaga!" sambutan meriah ini adalah kebiasaan dari Raja Temu Cin setiap kali ia menyambut panglima-panglima atau utusan-utusannya dari sebuah tugas yang berat. Dan dengan ramahnya, tangan raja besar ini sendiri yang menuangkan arak wangi ke dalam cawan untuk tiga orang kakek itu. Pak-kek Sam-kui yang tadinya berlutut memberi hormat, lalu bangkit membung-kuk-bungkuk, menghampiri meja besar, memberi hormat lagi sebelum menerima cawan arak dan menghaturkan terima kasihnya. Kemudian mereka dip^rsilakan duduk di bangku agak bawah.
Temu Cin adalah seorang raja muda berusia tiga puluh lima atau empat puluh tahun. Tubuhnya tegap. dengan dada bi-dang, mukanya berbentuk segi empat dengan daun telinga lebar panjang, alis-nya kecil cocok dengan matanya yang kecil siplt. Kumisnya dipelihara pendek dan di bawah bibir bawah juga terdapat rambut pendek, akan tetapi jenggotnya di bawah dagu dibiarkan panjang. Sinar matanya yang kelihatan ramah dan lem-but itu membayangkan kekerasan hati yang tiada bandingannya, hati membaja yang tak dapat dilipat. Inilah Raja Muda Temu Cin calon raja besar di Mongol, pendiri bangsa Mongol yang kuat sekali. Nama besarnya kelak sebagai Raja Jengis Khan akan terkenal di seluruh jagad!
Di dekat kaisar ini duduk dua orang laki-laki yang berpakaian sebagai panglima perang. Yang sebelah kanan adalah seorang laki-laki tampan dan gagah se-kali, kulit dan bentuk mukanya jelas menunjukkan bahwa dia adalah seorang Han. Inilah dia Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji, kenalan lama dari para pembaca cerita "Pedang Penakluk Iblis". Liok Kong Ji yang berjuluk Pendekar Besar Tiada Banriingan di Kolong Langit ini sekarang telah berhasil menduduki tempat terhormat di sebelah Raja Muda Temu Cin. Bagi para pembaca yang tidak mendapat kesempatan membaca cerita Pedang Penakluk Iblis, baiklah kita terangkan secara singkat siapa adanya Liok Kong Ji ini.
Liok Kong Ji adalah seorang laki-laki yang sekarang berusia hampir empat puluh tahun. Semenjak kecilnya, Liok Kong Ji memiliki kecerdikan yang ainat luar biasa. Dia amat jahat dan berbahaya. Kecerdikannya membuat ia lebih ber-bahaya lagi sampai-sampai ia berhasil menipu tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, di antaranya Hwa 1 Enghiong Go Ciang Le, See-thian Tok-ong, Giok Seng Cu, Ba Mau Hoatsu dan yang lain-lain sehingga tokoh-tokoh besar ini telah tertipu oleh, Liok Kong J1 di waktu dia masih kecil dan menurunkan ilmu-ilmu mereka yang tinggi kepada bocah setan ini! Dengan kecerdikannya yang luar biasa itu akhirnya Liok Kong Ji berhasil membuat dirinya pandai dan lihai sekali ilmu silatnya.
Bahkan dengan kepandaiannya dan kecerdikannya ia telah berhasil mencuri hati semua tokoh besar di selatan dan timur sehingga ia pernah diangkat oleh mereka ini sebagai Tung-nam-bengcu (Ketua Persilatan Daerah Selatan dan Timur).
Kejahatannya melebihi iblis. Banyak orang menderita oleh kejahatannya, dan akhirnya karena tidak dapat menahan kejaran Wan Sin Hong yang ternyata lebih pandai daripadanya, Liok Kong Ji melarikan diri ke utara. Sebelum melarikan diri, ia melakukan penipuan yang hebat pula dan yang hanya diketahui oJeh Wan Sin Hong seorang. Hal ini terjadi ketika Nyonya Pangeran Wanyen Ci Lun, yaitu Gak Soan Li yang di waktu masffif gadis pernah menjadi korban kekejian Liok Kong Ji sehingga melahirkan anak di luar kehendaknya, berhasil membunuh Liok Kong Ji! Bagi semua orang, terutama sekali Gak Soan Li sendiri, yang dibunuh itu tentu Liok Kong Ji si manusia jahanam.
Akan tetapi pada hakekatnya, dan ini hanya diketahui oleh Wan Sin Hong, Liok Kong Ji masih hidup dan yang terbunuh" itu hanya orang lain, yaitu orang yang dipergunakan oleh Liok Kong Ji untuk melindungi dirinya karena orang itu ke-betulan sekali memiliki bentuk muka dan tubuh yang serupa dengan dia. Semua inl dapat anda baca dalam cerita Pedang Penakluk Iblis yang amat menarik.
Demikianlah perkenalan secara singkat dengan tokoh besar ini, yang sekarang memakai nama julukan Thian-te Bu-tek Taihiap. Hanya kecerdikannya semata yang dapat membuat ia diterima dan. diangkat sebagai komandan oleh Raja Temu Cin. Raja orang-orang Mongol injl memang seorang pemimpin yang amat pandai. Raja Temu Cih-maklum betul bahwa Liok Kong Ji bukan manusia baik, berhati palsu, berwatak keji dan dengki dan kalau menjadi musuh.
"merupakan lawan yang amat berbahaya. Akan tetapi Temu Cin tidak membutuhkan wataknya, tidak peduli apakah orang jahat atau baik, yang penting baginya adalah tenaga orang itu. Asalkan dapat membantu per-juangannya, memperkuat bala tentaranya, ia akan menutup mata terhadap kejahat-an orang itu dan akan mengangkatnya sebagai pembantu.
Justeru orang semacam Liok Kong Ji ini amat dibutuhkan oleh Temu Cin. Ilmu silatnya tinggi, orangnya kejam, dan memiliki kecerdikan luar biasa dan tipu muslihat yang hebat-hebat! Oleh karena itu, ia menerima Liok Kong Ji dengan senang hati, memberi hadiah dan pangkat tinggi, dan menyenangkan hati orang she Liok ini. Raja orang Mongol ini maklum akan watak Kong Ji yang mata keran-jang, maka untuk menyenangkan hatinya, sengaja Temu Cin memberi hadiah puteri-puteri dan dara-dara cantik hasil rampasan dari berbagai suku bangsa yang ditalukkan. Makmur dan senanglah peng-hidupan Liok Kong Ji dengan belasan orang selirnya yang cantik-cantik!
Namun kebahagiaan hidup seseorang tak mungkin dapat diukur dengan keada-an lahir saja, dan biasanya kebahagiaan hanyalah khayal pandangan orang-orang luar berdasarkan harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, sesungguhnya bahagiakah hidup Liok Kong Ji? Tidak! la sudah terlalu biasa dengan kemewahan dan kecukupan sehingga pangkat tlnggi dan harta benda serta belasan orang selir itu tidak mendatangkan kebahagiaan, dan semua itu tidak terasa lagi kesenangan-nya. Sering kali ia duduk termenung me-mikirkan kekecewaarf hatinya yang kadang-kadang mengganjal isi dadanya.
la sering kali murung kalau sedang demikian dan apabila selir-selirnya da-tang hendak menghlburnya, ia mengusir mereka pergi seperti orang mengusir ayam. Kadang-kadang ia memaki-maki belasan orang selirnya ini, dimakinya mereka itu bodoh, tidak sehat, tidak setia dan lain-lain makian kotor. Semua selirnya tahu belaka mengapa Liok Kong Ji bersikap seperti ini dan di belakang mereka mengomel dan berkata.
"Dia sendiri yang tidak becus, meng-apa marah-marah kepada orang lain? Kalau hanya seorang isteri saja yang tidak bisa punya anak, bolehlah dipersalahkan isteri itu, akan tetapi kalau lima belas orang selir tak seorang pun yang bisa punya anak, sudah jelas letak kesalahannya bukan pada seiir-selir itu melainkan kepada suaminya! Demikian mereka mengomel.
"Memang, ganjalan hati Liok Kong Ji yang sering membuat ia termenung dan marah-marah adalah karena ia tidak mempunyai keturunan. Inilah sebabnya mengapa ia sampai mempunyai demikian banyak selir, di samping lain sebab bahwa ia memang seorang mata keranjang.
" Makin tua ia merasa makin gelisah kalau mengingat bahwa ia tidak mempunyai keturunan seorang pun! Akhirnya atas nasihat Temu Cin, Liok Kong Ji me~ mungut dua orang anak, keduanya adalah anak-anak perempuan yang manis-manis berusia lima dan enam tahun. Mengapa ia memungut anak perempuan dan bukan laki-laki? Ini tentu ada sebabnya.
Seperti telah diceritakan di bagian depan. Kong Ji adalah seorang yang me-miliki watak rendah dan jahat. Tak mungkin ia dapat sayang kepada orang, lain yang bukan anaknya sendiri, kalau orang itu laki-laki. Kalau perempuan lain lagi karena ia mengandung harapan bah-wa kalau kelak anak-anak itu menyenangkan hatinya, ia bisa mengambilnya se-bagai..... bukan sebagai anak, melainkan sebagai selir muda! Memang dalam batin bejat seperti ini selalu terkandung mak-sud-maksud yang kotor dan tidak suci.
Karena maksud hati kotor ini"maka pengangkatan dua orang anak itu tidak memuaskan hatinya dan sering kali kalau sedang termenung seorang diri, ia ter-ingat kepada Gak Soan Li. Sama sekali bukan teringat karena ia amat mencinca wanita ini, bukan. Orang macam Kong Ji ini mana mempunyai perasaan cinta kasih yang suci? la bersifat mata keranjang dan suka akan waflita hanya berdasarkan nafsu-nafsu kotor semata. la sering kali termenung kepada Soan Lii oleh karena hanya wanita inilah yangj telah melahirkan seorang anak keturunan-i nya! Ingin sekali la tahu di mana adanyai anaknya itu, laki-laki atau perempuan?
Lima belas orang selirnya selaini muda-muda dan cantik-cantik, juga kelihatan amat sayang dan cinta kepadanya. Hal ini tidak aneh oleh karena Kongl Ji pernah membunuh seorang selir yangi berani memperlihatkan sikap membenci kepadanya. la mencekik selir itu begitu saja sampai mati di depan semua selirnya sehingga mereka menjadi takut se-kali kalau-kalau mengalami nasib me-ngerikan seperti itu. Oleh karena ini i maka mereka berlumba mengambil hati Kong Ji. Hanya seorang saja di antara lima belas orang selir itu yang bersikap sewajarnya dan tidak mengambil-ambil hati. Namun Kong Ji pun tidak meng-ganggunya, oleh karena selir ini memang paling cantik dan paling disayangi, se-lain itu Kong Ji pun tidak berani menyiksanya apalagi membunuhnya.
Selir ini adalah bekas isteri seorang ipanglima besar Mongol yang masih muda. melihat kecantikan isteri panglima muda itu, Kong Ji tak dapat menahan nafsunya tdan dengan kepandaiannya yang tinggi ia mendatangi kamar panglima itu untuk "mengganggu isterinya. Panglima itu melihatnya dan terjadi pertempuran, akan tetapi dia bukan lawan Kong Ji. Dalam ;belasan jurus saja panglima itu tewas idan Kong Ji menculik isteri panglima tu ke rurinahnya.
Temu Cin mendengar tentang hal ini. Akan tetapi dia tidak menghukum Kong Ji, bahkan dengan sah memberikan wanita itu kepada Kong Ji sebagai selirnya dengan pesan supaya Kong Ji memperlakukan janda muda itu baik-baik, kemudian menyuruh orang mengubur jena-zah panglima mudanya. Habis perkara! Temu Cin bukan seorang hakim, melainkan seorang raja yang sedang membangun kerajaannya. Oleh karena itu segala keputusannya bukan berdasarkan keadilan melainkan berdasarkan rugi untung bagi kemajuan kerajaannya. Kong Ji adalah orang panglima yang boleh diandalkan, apakah artinya seorang panglima. Muda seperti yang telah terbunuh itu? Dan lagi, soalnya adalah perebutan perempuan. Perkara yang tidak ada artmya bagi Temu Cin.
Cukuplah kiranya tentang Liok Kong Ji panglima besar yang usianya hampir empat puluh tahun, berwajah tampan, bersikap halus terpelajar, dan berkepandaian tinggi serta memilikl kecerdikan luar biasa ini. Kita kembali ke ruangan sidang di mana Raja Temu Cin sedang menyambut kedatangan Pak-kek Sam-kui.
Di sebelah kiri TemuCin duduk seorang berpakaian panglima pula. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa. Mukanya penuh brewok dan hampir menutupi hidung dan mulutnya. Hanya matanya saia yang kelihatan nyata, sepasang matanya setengah keluar, menakutkan Inilah panglima besar yang usianya sudah Lima puluh tahun, bernama Bouw Gun dengan julukan Bu-tek Sin-ciang (TanganSakti Tiada Bandingan). Oleh karena julukan inilah kiranya maka Liok Kong Ji mengambil julukan yang lebih unggul, yaitu Thian-te Bu-tek Taihiap (Pendekar Besar Tanpa Bandingan di Kolong Langit). Dan ia memang berhak memakai julukan yang lebih hebat dan tinggi daripada Bouw Gun karena dalam sebuah pertandingan ketika hendak diterima oleh Temu Cin, ia telah mengalahkan Bouw Gun ini.
Dua orang ini, Liok Kong Ji dan Bouw Gun, pada waktu itu merupakan pembantu-pembantu lihai.
.Setelah Pak-kek Sam-kui minum arak yang disuguhkan oleh Temu Cin sendin, mereka lalu membuat laporan tentang perjalanan mereka melakukan tugas. Me-reka melaporkan bahwa Wan Sin Hong menolak undangan Temu Cin dan men-ceritakan pula tentang peristiwa yang mereka alami di puncak Luliang-san, di mana Sin-saikong Ang Louw telah men-coba kepandaian Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.
"Sayang," kata Liok Kong Ji.
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kepandaian Wan Sin Hong benar-benar ting-gi dan kalau kita berhasil menariknya, tentu ia akan dapat menghadapi orang-orang seperti Ang-jiu Mo-li."
Kemudian Pak-kek Sam-kui melanjut-kan pelaporan mereka. Dengan menarik hati mereka menceritakan bahwa mereka telah berhasil merebut simpati dari para tokoh kang-ouw di daerah selatan. Temu Cin girang sekali mendengar ini, sambil tertawa bergelak ia kembali menuang-kan arak ke dalam tiga cawan dan mem-persilakan Pak-kek Sam-kui minum. Inilah penghormatan besar sekali bagi tiga orang utusan ini!
"Bagus-bagus! Dan bagaimana penye-lidikan kalian tentang sikap suku bangsa Shia-shia yang berkepala batu itu?" tanya Temu Cin kepada Pak-kek Sam-kui.
"Mereka masih tetap hendak berdiri sendiri, merdeka dan terlepas dari kita maupun dari kerajaan-kerajaan di sela-tan. Bangsa Shia-shia itu biarpun hanya sekelompok saja namun merupakan rin-tangan yang besar dalam cita-cita kita menyerbu ke selatan. Akan tetapi, hamba bertiga berani memastikan bahwa mereka pun takkan sudi bersekutu dengan Kerajaan Cin," kata Giam-lo-ong Ci Kui.
"Biarlah, jumlah mereka besar. Kelak dalam pergerakan kita, kalau mereka suka membantu sukur, kalau tidak kita harus mempergunakan kekerasan."
Kemudian Giam-lo-ong Ci Kui men-ceritakan pengalamannya di Go-bi-san, ketika ia dan dua orang sutenya menft-bawa pasukan menyerbu Hui-eng-pai.
"Karena hamba mendengar bahwa Hui-eng-pai di bawah pimpinan Hui-eng Niocu merupakan perkumpulan wanita yang kuat, maka hamba bermaksud me-naklukan mereka dan menarik mereka membantu kita."
"Bagus sekali! Selain tenaga mereka kita butuhkan, juga mereka terdiri dari banyak wanita-wanita cantik yang dapat menggembirakan hati anak buah kita!" kata Liok Kong Ji gembira mendengar penuturan Ci Kui.
"Liok-taihiap tak pernah ketinggalan kalau mendengar wanita-wanita cantik," kata Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun sambil tersenyum. Juga Temu Cin tertawa lebar.
"Tentu saja, kalau kita dapat meng-gembirakan hati para pemimpm pasukan bukankah mereka akan makin bersemangat?" jawab Kong Ji.
"Tentu saja diberikan kepada mereka setelah dipilih dan diambil yang paling baik untuk pengisi taman bungamu ser^ diri. Bukankah begitu, Saudara Liok? kata Temu Cin menggoda.
Liok Kong Ji tersenyum dan meng-angguk.
"Dengan seijin Paduka tentu saja akan terjadi demikian, karena bukankah panglima mendapat hak lebih dulu dari anak buahnya, bukan?" Temu Crn tidak menjawab hanya tertawa bergelak lalu menyuruh Giam-lo-ong Ci Kui me-lanjutkan penuturannya.
"Sayangnya hamba tidak berhasil ka-rena di Tuar dugaan hamba bertiga di sana sudah muncul Wan Sin Hong!
Temu Cin dan Liok Kong Ji tertank sekali dan mendesak supaya Ci Kui segera melan)utkan laporannya.
"Lalu bagaimana selanjutnya?"
"Hamba sudah mengerahkan kawan-kawan dan bertempur mati-matian, akan tetapi Wan Sin Hong benar-benar lihai sekali. Akhirnya karena anak; buah hamba semuanya binasa terpaksa hamba melari-kan diri."
Terdengar Temu Cin menggebrak meja. Raja ini marah sekali. mendengar sepasukan orang-orangnya telah binasa oleh Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa. Juga Liok Kong Ji menjadi kecewa se-kali.
"Bawa pasukan yang lebih besar dan tangkap anjing Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa itu!" seru Kong Ji lupa diri saking marahnya. la benci sekali kepada Sin Hong dan ini sudah sewajarnya karena ia sampai lari dari pedalaman dan tinggal di Mongol hanya karena takut menghadapi kejaran Sin Hong.
Akan tetapi Temu Cin mengangkat tangan dan memandang kepadanya dengan mata tajam.
"Saudara Liok, tenanglah. Seorang yang dapat melawan Pak-kek Sam-kui dan tidak saja mengalahkan mereka bahkan membinasakan sepasukan tentara pilihan, tidak seharusnya dibunuh. Pak-kek Sam-kui, sekarang kalian kuberi tu-gas, usahakan sedapat mungkin agar supaya Wan Sin Hong bisa menghadap ke sini dan membantu aku. Persidangan selesai!"
Dengan hati masih panas Liok Kong Ji terpaksa menjura dengan hormat bersama yang lain-lain, lalu mengundurkan diri keluar dari ruangan itu. Sesampainya di luar, Kong Ji minta kepada Pak-kek Sain-kui supaya menceritakan lagi sejelas-jelasnya tentang pertempuran di Go-bi-san itu. Ci Kui menuturkan dengan jelas, bahkan menceritakan pula betapa nama Liok Kong Ji masih dihormati dl selatan. Hal ini menggirangkan hciti Kong Ji dan diam-diam la merasa rindu untuk pulang ke pedalaman hanya ia masih gentar menghadapi Wan Sin Hong.
Ketika mereka tiba di tempat peristirahatan dan melihat seorang bocah dikerumuni para perwira, Kong Ji laki bertanya.
"Siapakah bocah ini?" Ia merasa heran melihat seorang bocah bangsa Han berada di tempat itu.
"Taihiap, dia ini murid Pak-kek. Sam-kui, apa kau belum tahu?"
Kong Ji menatap wajah bocah itu, wajah yang buruk dan tidak menyenangkan hatinya, kemudian ia berpaling kepada Ci Kui.
"Apakah kau mendapatkan murid ini di selatan?"
Ci Kui tertawa.
"Bocah ini bukan sembarangan bocah, karena dia sudah diperebutkan antara Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa!" Kemudian ia menuturkan tentang keadaan Hui-eng-pai ketika Tiang Bu diperebutkan oleh Sin Hong dan Siok Li Hwa. Kong Ji merasa heran sekali mendengar ini. Kalau sampai Sin Hong dan Li Hwa memperebutkan bocah ini, tentu ada hal yang luar biasa pada anak ini. la menjadi tertarik dan memanggil bocah itu mendekat.
Melihat seorang panglima gagah memanggilnya dengan suara dan bahasa Han, Tiang Bu segera maju menghadap dan berdiri di depan Liok Kong Ji. Setelah dekat, Kong Ji melihat bahwa di balik kulit muka yang kotor dan pakai-an yang compang-camping itu ia me-lihat sinar mata yang tajam sekali, wa-jah yang tidak tampan namun memba-yangkan ketabahan luar biasa dan gerak-an bocah itu ketika berjalan membayang-kan bakat ilmu silat yang besar.
"Siapa namamu?" tanyanya.
"Nama saya Tiang Bu," jawab anak itu tegas, dan sedikit pun tidak kikuk atau takut-takut.
"Siapa ayah bundamu?" tanya pula Kong Ji yang tertarik hatinya bukan karena bocah ini sendiri, melainkan oleh kehyataan bahwa bocah itu diperebutkan oleh Sin Hong dan Li Hwa.
"Saya tidak punya ayah bunda, entah siapa mereka saya tidak tahu."
"Kau yatim piatu dan sebatangkara?"
"Tiang Bu mengangguk dan membalas tatapan sinar mata Kong Ji tanpa takut.
"Mengapa kau diperebutkan oleh Wan Sin Hong dan Slok Li Hwa?"
"Hui-eng Niocu ingin mengambil murid padaku, lalu datang laki-laki itu yang hendak merampasku. Entah apa sebabnya saya sendiri pun tidak tahu."
Jawaban-jawaban ini tidak menarik hati Kong Ji dan ia beranggapan bahwa tentu dua orang itu melihat bakat baik dalam diri anak ini dan berebutan hendak menjadi gurunya. Tidak aneh dan tidak menarik. la menoleh kepada Ci Kui.
Giam-lo-ong Ci Kui tersenyum.
"Tadinya kami merampasnya hanya untuk membalas dendam kepada Wan Sin Hong dan Hui-eng Niocu. Kemudian kami tertarik melihat bakat pada bocah ins dan melihat ketabahannya. Oleh karena itu-lah" maka kami lalu mengambil keputusan untuk mengambilnya sebagai murid."
Kong Ji tidak berkata apa-apa lagi dan meninggalkan ruangan itu untuk kembali ke gedungnya sendiri. Mendengar penirturan Pak-kek Sam-kui tentang pedalaman Tiongkok, ia menjadi rindu sekali akan tanah airnya. Ini bukan ber-arti bahwa dalam dada Liok Kong Jt ada sedikit semangat patriotik, melainkan ia ingin menikmati segala kesenangan yang bisa didapatkan di selatan dan yang sukar dicari di daerah utara yang dingin itu.
Adapun Pak-kek Sam-kui lalu mengiajak Tiang Bu ke sebuah dusun tak jauh dari benteng itu di mana memang biasanya Pak-kek Sam-kui tinggal kalau mereka tak sedang menjalankan tugas. Dusun ini merupakan dusun istimewa yang boleh dibilang paling baik keadaannya di antara semua dusun di sekitar pegunungan itu, di sinilah sebagian besar perwira| tinggal bersama anak isteri mereka. Juga didusun ini berdiri gedung tempat tinggal Liok Kong Ji bersama lima belas orang selir, dua orang anak angkat dan sejumlah besar pelayan, Di gedung yang terbuat dari kayu ini Liok Kong Ji tinggal seperti seorang raja muda.
Pak-kek Sam-kui tinggal di sebuah rumah besar dan mereka mempunyai banyak pelayan laki-laki dan wa-Kita. Tiang Bu mendapat sebuah kamar sendiri dan bocah ini merasa lega dan senang karena. ternyata tiga orang suhunya tidak tinggal bersama banyak orang yang dijumpainya tadi.
Dengan amat tekun Tiang Bu berlatih ilmu silat di bawah pimpinan Pak-kek Sam-kui. Biarpun bocah ini tidak suka dengan ilmu-ilmu silat mereka yang dianggapnya kasar dan penuh gerakan-gerakan curang, namun harus ia akui bahwa ilmu silat mereka itu hebat sekali, lagi sukar dipelajari. Dengan sabar dan rajin ia berlatih terus, dan kini ia mendapat kesempatan untuk mulai melatih diri dengan gerakan-gerakan Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang sudah dihafal teorinya. Tiap malam ia berlatih di dalam kamarnya dengan amat tekun sehingga dalam waktu setahun saja Tiang Bu telah memperoieh kemajuan pesat. Ilmu silat yang ia dapat dari kitab dari Omei-san itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakan kaki tangan dalam Ilmu Silat Pat-hong-hong-i ini mengandung kekuatan yang mendorong kemampuannya dalam berlatih Iweekang menurut petunjuk Pak-kek Sam-kui.
Pedang Penakluk Iblis Eps 33 Pendekar Pedang Pelangi Eps 21 Pendekar Budiman Eps 20