Tangan Geledek 1
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 01
LULIANG-SAN! Nama Pegunungan Luliang-san ini amat terkenal. Bagi rakyat jelata hanya terkenal sebagai pegunungan yang indah dan panjang, yang mempunyai banyak puncak tinggi menembus awan dan sukar didatangi orang. Akan tetapi bagl orang-orang di dunia kang-ouw, nama Pegunungan Luliang-san lebih terkenal lagi. Di pegunungan ini terjadi banyak hal-hal hebat yang takkan dapat mudah terlupa oleh tokoh-tokoh dunia persilatan. Di sebuah puncak pegunungan ini pula terdapat makam dari dua orang detuk persilatan, dua orang kakak-beradik seperguruan yang tinggi ilmu silatnya, yang padasaat terakhir sebagai dua orang kakek tua renta saling bunuh.
Di pegunungan ini pula menjadi perebutan kaum rimba persilatan kitab dan pedang warisan kakek sakti itu. Akhir-akhir ini Luliang-san menjad. makin terkenal karena bengcu baru yang memimpin semua partai persilatan bertempat di puncak pegunungan itu. Bengcu itu adalah Wan Sin Hong. seorang pendekar gagah perkasa yang tinggi ilmu silatnya.
Pegunungan Luliang-san berderet-deret di sepanjang perbatasan Propisi Shensi sebelah timur, memisahkan Propinsi Shensi dari Propinsi Sansi. terus ke utara sampal di perbatasan Mongol. Bukit-bukit indah berjajar di sepanjang Sungai Huangho atau Sungai Kuning yang terkenal itu. Karena pegunungan ini berada di lembah Sungai Huangho, maka tanahnya amat subur penuh tetumbuhan dan pohon besar.
Diantara puncak-puncak yang tinggi terdapat sebuah puncak yang menjulang menembus awan, puncak inilah yang amat terkenal karena di situlah adanya , dua buah makam yang terkenal itu, makam dari dua orang kakek sakti kakak beradik seperguruan yang bernama Pak Hong Siansu dan suhengnya Pak Kek Siansu. Di puncak ini pula dahulu menjadi tempat pertapaan kakek sakti Pak Kek Siansu dan di sini terdapat bagian puncak yang disebut Jeng-in-thia (Ruang-an Awan Hijau). Indah sekali tempat ini dan jarang terinjak kaki manusia biasa.
Agak ke bawah terdapat tiga makam dari Luliang Sam-lojin (Tiga Orang Tua dari Luliang-san). Mereka ini adalah murid-murid Pak Kek Siansu yang tewas ketika orang-orang gagah memperebutkan kitab dan pedang wasiat peninggalan Pak Kek Siansu dan kesemuanya terjatuh ke dalam tangan Pendekar Besar Wan Sin Hong yang sekarang menjadi bengcu dan dipuja serta ditaati oleh seluruh dunia kang-ouw. (Baca PEDANG PENAKLUK IBLIS).
Waktu itu musim dingin telah tiba. Puncak Luliang-san diliputi hawa dingin yang luar biasa sekali. Orang-orang biasa takkan kuat menahan serangan hawa dingin ini dan awan dingin merupakan tangan-tangan maut yang menjangkau mencari korban. Matahari tak dapat menembus halimun yang amat tebalnya, hanya setelah matahari naik tinggi kabut itu mulai menipis dan orang akan dapat melihat ke depan. Setelah matahari naik tinggi barulah burung-burung dan binatang hutan berani ke luar.
Tanpa lindungan matahari, biarpun tubuh para binatang ini diselimuti oleh bulu tebal, tetap saja kabut dingin akan menembus dan membunuh mereka. Apalagi di bagian puncak Jeng-in-thia itu! Dalam musim panas sekalipun puncak ini selalu diliputi awan kehijauan yang dingin. Dalam musim dingin seperti itu, tak tertahankan lagi, baik oleh orang-orang yang sudah terlatih dan memiliki hawa dalam tubuh yung kuat sekalipun.
Akan tetapi, pada saat sedingin itu, seorang laki-laki muda belum tiga puluh tahun usianya, duiduk berslla di depan gua Jeng-in--thia begitu asyik dia dalam semadhinya dan hawa yang perlahan-lahan ke luar dari lubang hidungnya merupakan uap putih, menimbulkan pemandangan yang menyeramkan karena ia kelihatan seperti bukan rnanusia melainkan seorang penjaga gunung itu. Apalagi setelah dari ubun-ubun kepalanya juga mengepul uap putih ke atas!
Orang ini bukan lain adalah Wan Sin Hong, bengcu daripada sekalian partai persilatan, semuda ini sudah menjadi bencu dan dianggap sebagai pemimpin oleh tokoh-tokoh seluruh dunia persilatan benar-benar merupakan hal luar biasa sekali dan menjadi bukti betapa tingginya ilmu kepandaian laki-iaki muda ini Pada saat seperti itu, bengcu ini ternyata sedang berlatih Iweekang! Semenjak pedang pusaka Pak-kek Sin-kiam terjatuh di dalam tangannya dari seorang yang jahat seperti iblis bernama Liok Kong Ji (baca Pedang Penakluk Iblis), Wan Sin Hong memperdalam ilmu kepandaiannya berdasarkan pelajaran dalam kitab peninggalan Pak Kek Siansu yang telah dibakarnya namun yang isinya telah pindah dalam ingatannya. Kitab wasiat itu me-mang mengandung sari pelajaran ilmu silat yang hebat. Juga di situ te dapat pelajaran ilmu Iweekang dan lain ilmukesaktian tinggi.
Wan Sin Hong sudah menamatkan pelajaran ilmu pedang dan dalam hal ilmu pedang, kiranya sukar dicari kedua-nya yang memiliki tingkat setinggi ting-katnya pada masa itu. Akan tetapi ia masih muda dan dalam hal ilmu Iweekang dan kesaktian lainnya, memerlukan latih-an yang tekun dan lama di samping pe-lajaran yang tepat dan baik. Pelajaran ilmu Iweekang yang terdapat dalam kitab warisan Pak Kek Siansu bukan hanya luar biasa, bahkan ajaib sehingga dalam usia muda Sin Hong sudah menriiliki sinkang (hawa sakti dalam tubuh) yang luar biasa.
Apalagi selama empat lima tahun ini Wan Sin Hong melatih diri di Jeng-in-thia, puncak dari Luliang-san. Lweekang yang ia pelajari terdiri dari dua bagian, yaitu bagian Yang (panas/aktip). Melatih-nya harus di bawah panas terik matahari, atau di dekat api unggun, di tempat yang sepanas-panasnya. Untuk melatih ini Sin Hong sengaja pergi ke daerah Mongol di. hrtara dan berlatih di tengah gurun pasir yang panas Jnar biasa. Dan sekarang bengcu ini tengah berlatih Iweekang bagian ke dua, yaitu bagian Im (dingin/ pasip) yang biasanya dilatih di tengah malam di puncakgunung pada saat "hawa sedingin-dinginnya. Sekarang musin dingin telah tiba, maka puncak Jeng-in-thia itu merupakan tempat yang amat/ baik sekali untuk melatih Im-kang (tenaga Im).
Setelah matahari naik tinggi dan uap putih dari kepala dan hidungnya menipis tanda bahwa di iuar tidak begitu dingin lagi, Sin Hong menyudahi latihannya. Selagi ia menggerakkan tubuh hendak bangkit, telinganya yang tajam itu men-dengar sesuatu dan matanya berkilat ke arah suara. Dllihatnya bayangan, orang sedang mendatangi dari bawah puncak.
Setelah tiba di puncak, sekali meng-gerakkan kaki bayangan itu telah tiba di hadapannya. Jarak yang dicapai oleh sekali lompatan ini tidak kurang dari lima tombak. Melihat betapa kaki dan tangan orang itu hampir tidak kelihatan bergerak, dapat dibayangkan betapa ing-gi ilmu ginkang (meringankan tubuh) dari orang itu.
Sin Hong memandang tajam dan me-lihat seorang wanita muda dan cantik jelita berdiri di depannya. Wanita ini merias wajahnya secara sederhana sekali. Rambut yang hitam dan panjang itu digelung ke atas dan diikat dengan sehelai kain sutera kecil. Akan tetapi pakaiannya cukup indah dan mewah. Bajunya ber-kembang, di dadanya terdapat lukisan burung garuda. Celananya terbuat dari-pada sutera halus berkembang pula. Pa-kaian yang ringkas ini mencetak tubuh-nya dan membuat bentuk tubuhnya yang bagus nampak nyata.
Di pinggangnya tergantung pedang yang indah gagangnya, membuat ia ke-lihatan gagah sekali. Wajahnya yang cantik nampak kemerahan, bibirnya ter-senyum akan tetapi sepasang alis di atas mata bintang itu terangkat tanda bahwa ia sedang tak senang hati.
"Wan Sin Hong, kau manusia sombong...!" inilah kata-kata pertama yang keluar dari bibir merah itu membuat Wan Sin Hong tersenyum.
"Hui-eng Niocu, kau masih belum berubah. Sama benar dengan beberapa tahun yang lalu!"
Wanita itu adalah Siok Li Hwa yang berjuluk Hui-eng Nipcu (Nona Garuda Terbang) dan menjadi ketua dari Per-kumpulan Hui-eng-pai yang berada di Go-bi-san. Dia masih gadis, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun. Li Hwa ada-lah seorang gadis yang memiliki kepandaian tinggi karena dia adalah ahli waris " tunggal dari Put-jiu Nio-nio, seorang nenek tokoh kang-ouw yang namanya pernah menggemparkan empat penjuru jagat.
Bibir yang merah dan indah bentuknya itu tersenyum mengejek.
""Orang gagah memang tidak seharusnya berubah-ubah, tanda bahwa kulit sama dengan isi. Tidak seperti engkau, setelah menjadi bengcu, kau berubah sama sekali. Hai, Wan-bengcu (Ketua Wan), apa namanya orang yang tidak memegang teguh janjinya?"
Melihat gadis itu makin naik darah. Sin Hong memperlebar senyumnya.
"Namanya tentu saja orang pelupa atau seorang yang tidak boleh dipercaya."
"Sin Hong, kau termasuk golongan pertama atau ke dua?" kata-kata gadis ini dikeluarkan dengan suara penuh penjelasan.
"Ini..... hemmmm, entahlah, Niocu, Mungkin kedua-duanya."* ;
"Kau memang berubah banyak sekali semenjak menjadi bengcu. Kau pertapa muda yang pikun, mengapa menyebut Niocu kepadaku? Apa kau sudah lupa lagi siapa namaku? Kalau lupa, kuingatkan. Namaku Siok Li Hwa dan dahulu kau menyebutku cukup memanggil namaku saja. Atau kau sengaja mengubah sikap!"
"Aaah, aku lupa. Maafkahlah, karena sudah lama, aku lupa dan tentu saja aku? tadi tidak berani sembarangan menyebut namamu. Sekarang aku ingat, maafkan aku, Li Hwa."
"Sedikitnya kau masih mau mengubah kesalahan," Li Hwa mengomel dan tampak agak senang.
"Kau tadi mengaku mungkin kau pelupa dan tak boleh dipercaya. Memang kau pelupa dan pikun ini sudah terang. Akan tetapi apakah kau tak boleh dipercaya?"
"Agaknya begitulah, Li Hwa. Orang pelupa mana boleh dipercaya?"
Li Hwa membanting-banting kakinya.
"Sin Hong, apakah kau sengaja hendak mempermainkan aku? Lupakah akan janjimu dahulu bahwa kau pasti datang ke Go-bi-san mengunjungi aku? Mengapa sampai sekarang kau belum pernah datang? Dahulu aku memberi waktu setahun, dan aku telah menanti-nanti sampai bertahun-tahun. Sin Hong, kau benar-benar tak punya hati dan menyiksa aku " secara kejam sekali....." Gadis ini tiba-tiba menjadi merah matanya, tanda bahwa air matanya sudah memenuhi pelupuk matanya.
Tentu saja Wan Sin Hong ingat akan semua itu, ingat bahwa dahulu memang ia berjanji hendak mengunjungi gadis itu di Go-bi-san. Masih ingat ia betapa empat lima tahun yang lalu berjumpa untuk pertama kalinya dengan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa ini di puncak Ngo-heng-san di mana sedang diadakan pe-rebutan bengcu (baca Pedang Penakluk Iblis). Di puncak itu Li Hwa selain menyatakan hendak menanti kunjungannya dan hendak mencari kalau selama setahun dia tidak juga datang mengunjungi, juga gadis ini dengan terus terang menyatakan cinta kasihnya! Inilah sebetulnya yang memberatkan hatinya. Kalau dahuJu Li Hwa tidak menyatakan cinta kasihnya, agaknya ia sudah mengunjungi gadis itu di Go-bi-san. Akan tetapi pe-rasaan gadis itu terhadapnya membuat Sin Hong merasa bingung dan serba salah.
"Jangan kau marah, Li Hwa. Selama ini aku sibuk, banyak terjadi kekacauan di dunia kang-ouw dan aku sebagai bengcu tentu saja berkewajiban untuk membereskan semua ini."
"Aku pun tahu akan hal itu, Sin Hong, kau kira aku tidak tahu akan segala gerak-gerikmu selama ini? Kau t6lah meredakan pertikaian yang timbul antara Teng-san-pai dan Kong-thong-pai di An-wei, kau telah membantu Siauw-lim-pai menangkap muridnya yang murtad di daerah Shantung, kau telah memulihkan keamanan di sekitar Ta-pa-san, dan kau telah membantu membereskan keributan di Kun-lun-pai karena pemilihan Ketua. Akan tetapi aku juga tahu bahwa kau telah berjasa besar dalam menindih penyelewengan kaum liok-lim yang berpusat di kaki Go-bi-san. Kau sudah sampai da sana, sudah dekat tempat tinggalku, mengapa tidak juga berkunjung? Pendeknya, kau ini menjadi sombong, atau me mang sudah lupa kepadaku, atau barang kali sengaja kau menjauhkan diri karena kau..... benci kepadaku!" Sekarang air mata itu tak dapat ditahan lagi, menitik turun ke pipi bertitik-titik.
Sin Hong melongo. Bagaimana gadis ini benar-benar mengetahui segala sepak terjangnya selama ini? Behar-benar seorang gadis luar biasa sekali!
"Bukan itu saja, Li Hwa. Terus terang saja, selebihnya waktu selama ini kupergunakan untuk melatih Iweekang dan....."
"Tak perlu menjual omongan seperti tukang obat! Kau kira aku pun tidak tahu? Kau pergi ke daerah Mongol, berjemur di tengah gurun pasir. Ah, kukira kau sudah gila, tidak tahunya kau melatih Yang-kang yang luar biasa. Kau ingat untuk melakukan hal-hal baik, akan tetapi lupa untuk mengunjungi aku. Sin Hong, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu. Di dunia ini hanya kau seorang yang kucinta, dan hanya satu kali saja dalam hidupku aku mencinta orang. Akan tetapi kau betul-betul tidak pnempunyai hati, kau kejam."
Kembali Sin Hong melengak. Kalau gadis itu mengetahui akan semua yang ia lakukan selama ini, tidak bisa lain tentu gadis ini melakukan pengintaian, atau mungkin juga anggauta-anggauta Hui-eng-pai yang melakukan. Demikian besar perhatian gadis ini terhadap dirinya sampai bertahun-tahun masih saja ingat dan mengejar-ngejar, membuktikan bahwa Cinta kasihnya bukan main-main!
Selagi Sin Hong berpikir-pikir untuk mencari alasan dan untuk memberi jawaban yang tepat dan tidak menyakitkan hati, tiba-tiba ia mendengar tindakan kaki orang mendatangi dari bawah puncak. Biarpun yang berjalan itu memiliki kepandaian tinggi, namun Sin Hong yang sudah terlatih baik itu dapat mendengar datangnya tiga orang yang naik ke pun-cak, Sin Hong menjadi bingung. Biasanya yang datang mengunjungi tentu tokoh-tokoh kang-ouw yang ternama. Kalau sampai mereka melihat dia sedang bercakap-cakap dengan Li Hwa, seorang gadis muda yang cantik, tentu mereka akan salah sangka dan mengira yang bukan-bukan.
"Li Hwa, ada orang datang. Harap kau masuk ke gua dulu."
"Aku tahu ada orang datang. Biar saja, aku tidak takut kepada mereka!" katanya gagah sambil meraba gagang pedangnya.
"Kalau yang datang orang jahat masih tidak mengapa, akan tetapi kalau mereka itu sahabat-sahabat kang-ouw, bukankah akan..... akan tidak baik.....?" -.
"Sin Hong, orang muda canggung se-perti engkau ini masih menjadi bengcu? Hemm, sungguh lucu. Kau takut apakah? Seorang gagah tidak akan rnundur se-tapak, tidak akan takut menghadapi apa pun juga asal dia berdiri di atas tee-benaran, Kita berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa mengapa kau takut-takut dan malu-malu?"
Sin Hong terpukul. Memang ucapan gadis ini tepat sekali. Diam-diam ia pun merasa aneh. Kalau dia sudah tidak am-bil pusing tentang gadis ini, tidak mem-punyai perasaan apa-apa terhadap gadis ini, mengapa kehadirannya membikin dia merasa malu kepada orang lain?
Sementara itu, dari bawah puncak berkelebat tiga bayangan orang dan di lain saat, tiga orang aneh telah berdiri menghadapi Sin Hong dan Li Hwa. Sin Hong kaget bukan main melihat orang-orang ini. Melihat cara mereka naik ke puncak membuktikan kelihaian mereka. Akan tetapi bukan ini yang mengejutkan Sin Hong, melainkan wajah dan keadaan tubuh mereka itu. Orang pertama ber-tubuh jangkung kurus dengan jari-jari tangan panjang berkuku seperti cakar setan, nampaknya kuat bukan main. Ke-i palanya gundul pelontos tidak kelihatan t akar rambut sehelai pun, agaknya kulit kepala itu sudah mati. Tidak saja gundul bahkan kepala itu potongannya lonjong ke atas pletat-pletot seperti buah waluh.
Orang ke tiga lebih lucu lagi. Tubuhnya kurus kering seperti cecak mati, apalagi sepasang lengannya hanya kulit, membungkus tulang seperti rangka jerangkong. Dilihat dari depan, kepalanya seperti gundul akan tetapi kalau orang melihat dari samping atau belakang, kepalanya ada rambutnya lurus ke bela-kang seperti duri binatang landak. Mata-nya lebar hidungnya pesek dan mulutnya lebar.
Potongan mukanya tajam hingga kalau dilihat dari samping,persis kepala burung siluman! Seperti juga si kepala gundul, si botak ini potongannya tidak karuan ma-camnya. Bedanya kalau si gundul itu me-makai selendang pada dadanya yang me-ngalungi pundaknya, adalah si botak ini setengah telanjang karena bajunya ter-buka dan awut-awutan!
Orang ke tiga paling menyeramkan. Tubuhnya besar dan kuat. Mukanya seperti singa dan rambutnya memenuhi kepala, kasar dan panjang riap-riapan, pakaiannya seperti yang biasa dipakai oleh pertapa, longgar dan sederhana.
"liihh, kalian inl manusia atau silu-;, man?" Li Hwa bertanya sambil melangkah mundur dan mencabut pedangnya. Akan tetapi Sin Hong menegurnya dengan pandangan mata, kemudian ia melangkah maju dan menjura dengan penuh hormat.
"Kedatangan Sam-wi Locianpwe yang terhormat, di puncak Jeng-in-thia dari Luliang-san ini, aku yang muda meng-ucapkan selamat datang. Tidak tahu Sam-wi Locianpwe datang dari mana dan ada keperluan apakah?"
Tiga orang itu saling pandang, ke-mudian bagaikan mendapat komando, ke-tiganya tertawa terbahak-bahak. Suara ketawa mereka nyaring, aneh dan me-nyeramkan sehingga terdehgar seperti ringkik kuda dan suara burung hantu. Mendengar suara ketawa ini, bulu teng-kuk Li Hwa sampai meremang semua. Cadis ini maklum bahwa di dalam suara ketawa ini terkandung pengerahan khi-kang yang kuat, maka cepat ia menge-rahkan tenaga dalam untuk melindungi bagian-bagian lemah dari tubuhnya agar jangan terpengaruh oleh suara ketawa itu.
Si Jangkung Gundul melangkan maju.
"Apakah kau Wan-bengcu?" Suaranya serak dan kasar seperti burung gagak.
"Aku yang muda memang betul Wan Sin Hong yang mendapat kehormatan dipilih sebagai bengcu."
Kembali tiga orang itu saling pan-dang dan tertawa bergelak. Kakek ke tiga yang rambutnya riap-riapan dan mu-kanya seperti Singa itu menoleh ke arah Li Hwa sambil menyeringai, kemudian tanyanya dengan suara yang besar dan dalam sekali.
"Si manis itu binimu?"
Sebelum Sin Hong menjawab, Li Hwa sudah membentak marah.
"Siluman busuk jangan asal buka mulut saja! Aku Hui-eng Niocu Siok Li Hwa kalau sudah me-rasa terhina, tidak akan menjanin ke-palamu tinggal utuh lagi!"
"Aduh galaknya"" kata Si Jangkung Gundul yang menyambut kata-katanya dengan suaranya yang parau menyakitkan telinga.
"Wan-bengcu, ketahuilah bahwa aku bernama Ci Kui, mereka berdua ini adalah sute-suteku."
"Aku Ang Bouw," kata Si Botak.
"Aku Ang Louw," kata Si Rambut Riap-riapan.
Li Hwa mengeluarkan suara menyindir lalu berkata nyaring.
"Sudah lama aku mendengar bahwa raja besar di utara makin berkuasa dan pemerintahnya makin maju berkat bantuan orang-orang pandai dari barat dan dari utara. Di antara mereka itu ada yang disebut Pak-kek Sam-kui (Tiga Siluman dari Kutub Utara) tidak tahu apakah kalian ini yang disebut Pak-kek Sam-kui?"
Tiga orang kakek aneh ItU saling pandang, kemudian tertawa besar.
"Tidak kusangka Nona mengenal nama besar kami. Memang betul, kami bertiga yang dimaksudkan dengan sebutan Pak-kek Sam-kui itu. Aku berjuluk Giam-lo-ong (Raja Maut), Sute Ang Bouw ini Liok-te Mo-ko (Iblis Bumi), Sute Ang Louw disebut Sin-sai-kong (Pendeta Singa Sakti)."
"Setelah kami mengenal Sam-wi, apa-kah selanjutnya yang Sam-wi kehendaki dengan kunjungan ini?" tanya Sin Hong yang merasa tidak senang mendengar bah-wa mereka ini adalah pembantu-p^mbantu dari Temu Cin, raja baru di Mongol yang makin lama makin berkuasa dan merupa-kan ancaman bagi pedalaman Tiongkok.
Dengan mulut terkekeh Giam-lo-ong Ci Kui Si Kepala Gundul menjawab.
"Wan-bengcu, kami datang bukan dengan maksud buruk. Kami adalah utusan raja besar kami, disuruh mencarimu meng-undangmu ke Mongol. Khan (Raja) kami ingin berjumpa dengan Wan-bengcu, oleh karena itu Wan-bengcu diperlntahkan untuk segera menghadap ke sana bersama kami."
Terang bahwa tiga orang kakek aneh yang menjadi utusan Raja Mongo! itu memandang rendah kepada bengcu yang rpasih muda ini, buktinya undangan itu mereka ubah menjadi perintah rneng-hadap. Akan tetapi Sin Hong masih ber-sikap sabar. Dengan senyum lebar ia berkata.
"Apakah Sam-wi tidak salah? Mungkin bukan aku yang diperintahkan menghadap oleh karena selanna hktupku belui-n pernah aku bertemu dengan rajamu. Aku dan dia tidak pernah berkenalan, bagaimana bisa tahu tentang diriku dan minta menghadap?"
"Wan-bengcu jangan salah mengerti. Sudah tentu Khan kami mendengar ten-tang diri bengcu maka bengcu dipanggil menghadap. Khan kami mengenal bengcu dari keterangan Thian-te Bu-tek Taihiap."
Sin Hong dan Li Hwa heran men-dengar sebutan ini. Thian-te Bu-tek Tai-hiap berarti Pendekar Besar Tanpa Tan-dingan di Seluruh Dunia! Siapa orangnya yang sudah begitu nekad dan berani mati menggunakan julukan macam itu?
"Harap Sam-wi sampaikan terima ka-sihku kepada rajamu atas undangan itu, juga maafkan bahwa aku terpaksa tidak dapat memenuhi permintaannya. Aku pun tidak pernah kenal dengan orang yang mengaku sebagai Thian-te Bu-tek Taihiap itu. Kalau rajamu ada kepentingan se-suatu boleh disampaikan melalui utusan saja, tak usah. aku datang menghadap kesana
"Wan-bengcu, jangan sekali-kali kau berani memandang rendah kepada tai-hiap!" kata Sin-sai-kong Ang Louw dengan suaranya seperti singa mengaum.
"Wan-bengcu harap jangan menolak. Raja kami sudah berlaku sabar dan baik terhadapmu sehingga tahun ialu ketika bengcu melanggar wilayah Mongol di gurun pasir, kami tidak berbuat sesuatu " kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw.
Kaget hati Sin Hong mendengar ini. Jelas bahwa Temu Cin Raja Mongol itu benar-benar mempunyai pembantu-pem-bantu yang hebat sehingga ketika ia berlatih Iweekang di gurun pasir, mereka juga.mengetahui
"Maafkan, terpaksa aku membikin kecewa Sam-wi Locianpwe. Sungguh aku tidak dapat memenuhi kehendak rajamu 8 untuk menghadap."
Tiga orang kakek itu nampak marah. Sayang," kata Liok-te Mo-ko Ang Bouw dengan suaranya yang tinggi kecil.
"sayang sekali tai-hiap melarang kita turun tangan. Kalau tidak ingin aku mencoba-coba kelihaian bengcu yang muda ini. Hi hi hi...".
Kalau Wan Sin Hong mendengarkan dengan sabar dan tenang, adalah Li Hwa yang menjadi panas hatinya. Digerak-gerakkan pedangnya di depan dada dan ia membentak.
"Kalian ini tiga siluman macam apakah? Bukan begitu menjadi utusan raja. Kalian sudah menyampaikan undangan, yang diundang sudah menolaknya, kau tinggal melapor kepada yang mengutus. Habis perkara. Mengapa banyak cerewet dan ngoceh di sini? Mau coba-coba mengapa mesti ada perkenan dari segala ma-cam taihiap? Kalau sudah bosan hidup dan mau coba-coba, majulah. Tak usah dengan bengcu, dengan aku pun kaiian ber-tiga siluman-siJuman jelek boleh maju terima binasa!"
"Li Hwa, jangan kasar terhadap tamu....." Sin Hong mencegah.
Sin-sai-kong Ang Louw yang wataknya mata keranjang, mendengar tantangan Li Hwa ini, segera melompat maju dan berkata kepada suhengnya.
"Suheng, kita belum boleh mengganggu Wan-bengcu, akan tetapi tiada jeleknya main-main sebentar dengan Nona manis ini."
Sebelum Giam-lo-ong Ci Kui menjawab, Li Hwa dengan pedang hijaunya menyerang Ang Louw. Pedang di tangan nona ini lenyap berubah men;adi sinar hijau yang menyilaukan mata. Ini tidak mengherankan oleh karena yang dipegang-nya itu adalah Cheng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau), pedang pusaka peninggalan mendiang Pat-jiu Nio-nio gurunya. Apa-lagi yang memainkan adalah Li Hwa yang memiliki kiamsut ilmu pedang) tinggi dan gerakannya cepat bagaikan kilat menyambar.
"Pedang bagus!" Pendeta bermuka singa itu menggeram. Suaranya meng-getar seperti auman singa. Kalau Li Hwa tidak memiliki sinkang yang tinggi tentu akan lumpuh mendengar geraman. Biarpun ia sudah mengerahkan tenaga, tetap saja jantungnya berdebar dan kedua kakinya agak gemetar karena pengaruh geraman jini sehingga ia terkejut bukan main dan menyerang dengan sungguh-sungguh. Pedangnya membuat gerakan memutar, lalu meluncur maju dengan ieerakan berlenggok seperti ular merayap, mengarah tubuh lawan bagian dada, sukar diketahui lebih dulu ke mana pedang hendak menusuk, ke tenggorokan atau ke ulu hati. Inilah gerak tipu ilmu pedang-nya yang disebut Hui-eng-tok-cia (Garuda Terbang Mematuk Ular), sebuah )urus lihai dari ilmu pedangnya Hui-eng-kiam-sut.
Akan tetapi, Sin-sai-kong Ang Louw ternyata bukan orang sembarangan. Melihat hebatnya tusukan pedang yang meng-arah dua jurusan ini, ia berlaku tenang dan otomatis kedua lengannya diangkat, sepuluh jari tangannya yang berkuku singa menjaga di depan dada, yang kin menjaga ulu hati, yang kanan menjaga dekat leher. Pedang sinar hijau datang menusuk, secepat kilat menerobos hendak menusuk ulu hati.
"Cringgg.....!" Pedang terpental akan tetapi terus meluncur agak ke atas, kini menusuk tenggorokan. Kembali Ang Louw menggerakkan tangan dan sekarang jari tangan kiri melakukan gerakan menyentil.
Sin Hong kagum sekali. Menangkis pedang setajam pedang pusaka Cheng-liong-kiam hanya dengan sentilan kuku jari, benar-benar hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang sudah tinggi ting-kat kepandaiannya. la maklum oahwa kakek bermuka singa ini merupakan la-wan berbahaya dan tangguh sekali bagi Ll Hwa, maka ia segera berseru.
"Li Hwa, cukuplah main-main ini""
Akan tetapi gadis seperti Siok Li Hwa ini mana mau mengalah dan puas begitu saja? la memang berwatak aneh dan tidak pernah kenal apa artinya takut.
"Aku harus memberi hajaran kepada singa kaki dua ini!" serunya dengan pena-saran karena pedangnya ditangkis iawan dua kali hanya dengan sentilan kuku Jari. Cepat ia mengerahkan tenaga pada dua kakinya dan tahu-tahu tubuh yang lang-sing itu melesat ke atas bagaikan seekor burung garuda dan ketika lawannys me-mandang ke atas, secepat garuda me-nyarnbar Li Hwa melayang turun dengan pedang bergulung merupakan sinar hijau menyambar-nyambar ke arah lawannya dari atas. Serangan ini lebih hebat dari tadi dan inilah ilmu serangan yang di-sebut Hui-eng-lo-thian (Garuda Terbang Mengacau Langit).
"Lihai sekaii.....!" Sin-sai-kong Ang Louw berseru kaget. la tidak dapat me-nangkis seperti tadi karena kini pedang pusaka itu bukan menusuk, melainkan menyambar dengan bacokan hebat. Juga untuk mengelak sukar sekali karena se-rangan datang daci atas secara bertubi-tubi. Terpaksa Si Muka Singa ini menggulingkan dirinya ke atas tanah. Sambil bergulingan kedua tangannya bergerak-gerak ke atas melindungi tubuh sehingga ketika Li Hwa turun menusuknya berkali-kaii, kembaii terdengar suara nyaring "cring, cring, cring.....!" dan kini per-temuan antara pedang pusaka dan kuku jari tangan itu bahkan menimbulkan bu-nga api berpijar!
"Hebat.....!" Sin Hong berkata perlahan menahan napas menyaksikan kelihaian Si Muka Singa ini.
Li Hwa menjadi marah, dan ketika melihat kesempatan baik, kaki kirinya bergerak dan sebuah tendangan tepat mengenai pundak lawannya yang masih bergulingan sehingga tubuh lawannya itu terlempar tiga tombak lebih! Hebatnya begitu tiba di tanah, si Muka Singa me-lompat berdiri, sama sekali tidak ke-lihatan sakit atau terluka, padahal tendangan Li Hwa tadi dapat membunuh lawan lain dengan mudah.
"Hui-eng Niocu lihai sekali!" kata Sin-sai-kong Ang Louw sambil menyeringai dengan muka mengandung ejekan.
"Cukup, Sute. Jangan-jangan W& mendapat marah dari taihiap kalau sampai, salah tangan," kata Glam-lo-ong Ci Kui.
"Kita sudah menguji kelihaian ilmu silat dan Hui-eng Niocu, juga kelihaian ilmu pengobatan dari Wan-bengcu. Nah, Wan-bengcu, sampai jumpa kembaii da-lam waktu dekat." Setelah berkata de-mikian, Giam-lo-ong Ci Kui meiompat sambil menyambar tangan Liok-te Mo-ko Ang Bouw, di lain fihak Ang Bouw juga menyambar tangan Sin-sai-Kong Ang Louw adiknya dan di lain saat tiga orang kakek itu sambil bergandengan tangan 4 melayang turun dari puncak Jeng-in-thia.
"Sungguh mereka itu lihai......" kata Sin Hong sambil mengheia napas.
"Kalau orang-orang seperti itu datang memusuhi dunta kang-ouw, tugasku makin berat saja."
"Sin Hong, mengapa kaupusingkan semua itu? Lihat, jauh-jauh dari Mongol orang datang mencari kau yang menjadi bengcu. Mari kautinggalkan tempat ini dan ikut aku ke Go-bi-san saja, di mana kita bisa hidup tenteram. Aku yang men-jamin bahwa hidupmu akan bahagia dan tidak terganggu, Sin Hong." Kata-kata ini diucapkan penuh perasaan oleh Li Hwa sehingga suaranya menggetar. Tangan kanan yang memegang pedang tergantung di samping, ujung pedangnya roenyentuh tanah.
Sin Hong tersenyum.
"Terima kasih, Li Hwa. Kau baik sekali. Akan tetapi aku tak dapat memenuhi ajakanmu itu. Tak mungkin aku meninggalkan kawan-kawan, apalagi kalau keadaan mereka terancam oleh orang-orang Mongol itu."
"Sin Hong, mengapa kau begitu keras hati? Kau tahu aku mencintannu, dan hasrat hidupku .satu-satunya hanya ingin membahagiakan kau, ingin hidup di sam-pingmu menghabiskan usia yang tidak berapa banyak lagi ini. Sin Hong, kita sudah sama-sama bertambah tua, mau tunggu kapan lagi kalau kita tidak lekas-lekas berumah tangga? Sin Hong, apakah sedikit pun kau tidak dapat membaias cinta kasihku yang setulusnya?" Suara gadis itu kini merayu penuh keharuan.
Sin Hong merasa susah sekali. Dengan bingung ia menggosok-gosok dagunya dan kemudian ia mengeraskan hati mengambil keputusan untuk memberi jawaban yang sebenamya.
"Li Hwa, kau tadi bilang bahwa kau hanya dapat mencinta seorang saja di dunia ini. Demikian pun aku, Li Hwa. Aku pernah mencintai seorang gadis dan biarpun aku gagal dalam percintaan itu, akan tetap setia kepadanya dan tidak mungkin aku menerima cinta kasih gadis lain."
Muka Li Hwa menjadi pucat sekali kemudian berubah merah. Matanya memancarkan cahaya berapi penuh cemburu dan kecewa.
"Kau mencinta Gak Soan Li?" tanyanya sambil melintangkan pedangnya di dada, tangan kirinya menuding ke dada Sin Hong.
Disebutnya nama Gak Soan Li mengingatkan Sin Hong akan semua pengalamannya yang dulu. Pengalaman yang menyedihkan. Gak Soan Li adalah se-orang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, murid Hwa 1 Enghiong yang masih terhitung suhengnya sendiri. Gak Soan Li mencinta kepadanya, cinta kasih yang murni dan suci, mencinta kepadanya dengan sepenuh jiwa biarpun gadis itu mengira dia seorang pemuda tani biasa saja, karena daJam pertemuannya dengan Gak Soan Li dia mengaku sebagai seorang pemuda dusun. Sampai gadis itu menjadi gila oleh karena perbuatan keji dari manusia iblis Liok Kong 3i, gadis itu masih terus mencintanya sepenuh hati. Sekarang gadis itu telah menjadi isteri muda dari Pangeran Wanyen Ci Lun yang wajahnya sama benar dengan dia karena memang Wanyen Ci Lun itu masih terhitung saudara misannya dan dia sendiri adalah keturunan Pangeran Wanyen juga. Semua ini terbayang kembali di depan matanya membuat ia termenung (baca Pedang Penakluk Iblis).
"Sin Hong, kau betul-betul mencinta Gak Soan Li yang sudah menjadi isteri Pangeran Wanyen Ci Lun?" tanya lagi Li Hwa dengan suara sayu.
Sin Hong menggeleng kepalanya dengan ragu-ragu. Memang sejak dahulu ia pun ragu-ragu, entah Soan Li entah Hui Lian yang teiah merampas hati dan cinta kasihnya. Terhadap dua orang wanita ini ia mempunyai kenangan mesra.
"Kalau begitu, tak saiah lagi, kau tentu mencinta Go Hui Lan"" kata pula Li Hwa yang mulai menangis.
"Cih, laki-laki tak tahu malu. Sin Hong, di manakah kegagahanmu? Ke mana perginya semangatmu? Go Hui Lian sudah menjadi isteri orang, mungkin sekali sudah menjadi ibu, dan kau masih setia dan tetap mencinta kepadanya? Bukankah perasaan yang demikian itu rendah dan hina?"
Sin Hong hanya menundukkan kepala, keningnya berkerut, pandang matanya muram, nampaknya bersedih sekali. Melihat ini, Li Hwa menjadi kasihan lagi. la melangkah maju, ditariknya lengan Sin Hong.
"Sin Hong, lupakanlah kenangan lama. Marilah kau Ikut aku ke Go-bi-san. Biarpun kau tidak menyintaku, biarlah. Aku cukup bahagia kalau melihat kau hidup tenteram dan aku dapat melayanimu, dapat selalu berada di sampingmu....."
Sin Hong memandang kepada gadis itu, hatinya terharu. Alangkah akan ba-hagianya hidup bersama seorang isteri seperti Li Hwa ini. Kalau saja ia dulu bertemu dengan Li Hwa sebelum ia berjumpa dengan Soan Li dan Hui Lian. Kini tak dapat ia berlaku rendah, tak mau ia menuruti maksud gadis itu hanya untuk menghibur hatinya. Tidak tega ia mem-permainkan cinta kasih yang begitu men-dalam dari gadis ini.
"Tidak, Li Hwa. Aku akan berbuat keliru dan berdosa kalau aku ikut dengan engkau. Aku tidak berharga untukmu. Pula, tugasku masih berat, dan aku harus memenuhi tugas dan kewajibanku sebagai bengcu yang sudah mendapat kepercayaan semua saudara di dunia kang-ouw."
Li Hwa menjadi lemas.
"Kau..... kau dulu berjanji hendak datang ke Go-bi san..... aku selama ini menanti-nanti..... ternyata sia-sia..... Sin Hong, kau menyakiti hatiku. Kalau aku bersaing dalam cinta kasih dengan seorang gadis lain, aku akan mengalah. Akan tetapi, sainganku adalah isteri orang, mungkin ibu anak-anak. Kau terlalu..... menghinaku!"
Li Hwa membanting-banting kakinya. Tiba-tiba ia menjerit dan roboh pingsan. Tubuhnya tentu akan terbanting di atas tanah kalau saja Sin Hong tidak cepat-cepat memeluknya. Wajah gadis itu men-jadi kebiruan, matanya mendelik dan mulutnya berbusa.
Sin Hong kaget sekali. Dia adalah ahli waris dari Tabib Dewa Kwa Siucai, sekali pandang saja tahulah ia bahwa gadis itu telah menjadi korban racun yang amat berbahaya. la tidak melihat datangnya senjata gelap dan tidak me-lihat seekor pun binatang berbisa yang| menggigit gadis itu. Mengapa begItuH membanting-banting kaki kinnya gadis itu lalu menjerit roboh pingsan? Sin Hong membaringkan Li Hwa di atas rumput, lalu ia cepat melepaskan sepatu kiri gadis itu dan memeriksa. Ternyata di dekat ibu jari di telapak kaki kin itu terdapat sebuah bisul merah kecil sekali.
"Kurang ajar, ini tentulah perbuatan Sin-saikong Ang Louw." gerutunya dan tahulah ia kini apa artinya kata-kata Giam-lo-ong Cl Kui yang menyatakan bahwa mereka telah menguji ilmu pengobatan dari Wan-bengcu. Tidak ia sangka sama sekali bahwa di waktu Li Hwa menendang tubuh Sin-sai-ong Ang Louw sampai terguling-guling tadi, Si Muka Singa ini telah berhasil melukai kaki gadis itu, luka yang dilakukan dengan sebuah jarum halus berbisa!
"Benar-benar mereka lihai. Berbahaya sekali orang-orang seperti itu menjadi lawan," katanya sambil memeriksa luka di kaki Li Hwa yang membengkak.
Dengan jarum peraknya, Sin Hong menusuk beberapa jalan darah di kaki kiri, kemudian membelek sedikit kuht kaki dekat luka itu, mengeluarkan jarum yang halus berbisa, mengeluarkan pula "darah kehijauan yang berada di sekitar luka. Setelah itu, ia menempelkan te-lapak tangannya di pinggang gadis itu, mengerahkan hawa sinkang untuk me-munahkan racun di tubuh Li Hwa. Per-lahan-lahan muka yang kebiruan itu mu-
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lai menjadi merah lagi.
Setelah yakin bahwa gadis ini telah terhindar dari pengaruh racun, Sin Hong menarik kembali tangannya, mengatur pernapasannya supaya pulih kembali, kemudian ia mengobati luka bekas belek-an dengan obat tempel yang luar biasa manjurnya sehingga dalam sekejap saja, kulit yang dibelek telah rapat kembali.
Setelah bahaya lewat dan hati pe-muda ini merasa tenteram, baru ternyata olehnya betapa mungil dan bagus bentuk-nya kaki kiri Li Hwa yang dipegang-pegangnya itu. Teringatlah ia akan pe-ngalamannya dahulu ketika ia menolong Gak Soan ti dan menyambung tulang tulang kedua paha gadis itu yang remuk dipukul oleh seorang penjahat keji bernama Giok Seng Cu (baca Pedang Pe-nakluk Iblis). Wajahnya menjadi merah dan hatinya berdebar. Cepat-cepat ia mengenakan kembali kaus kaki dan sepatu di kaki gadis itu.
Li Hwa membuka matanya. Cepat ia meloncat berdiri dan menyambar pedang Cheng-liong-kiam yang tadi terletak di atas tanah. la memandang kepada Sin Hong dan mulutnya meringis sedikit me-nahan sakit ketika kaki kirinya dipakai berdiri. Ada rasa perih sedikit karena luka bekas belekan belum sembuh benar.
"Li Hwa, kau tadi pingsan karena pengaruh racun jarum gelap yang dilepaskan oleh Sin-sai-kong Ang Louw pada kakimu ketika kau menendangnya tadi. Aku telah melepaskannya dan mengobatinya, kau akan sembuh....."
Li Hwa nampak tercengang. Hal im tidak pernah diduganya dan kini ia ber-kata dengan suara cemas.
"Sin Hong, mereka begitu lihai.....! Kalau mereka datang lagi dan mengeroyokmu..... Marilah kau ikut aku saja ke Go-bi-san, di sana aman dan mereka tak mungkin dapat memasuki daerahku."
Sin Hong terharu. Gadis ini yang baru saja teriepas dari bahaya maut, tidak memikirkan keadaan diri sendiri, sebalik-nya begitu siuman dan mendengar tentang kelihaian musuh, malah merasa cemas untuk keselamatannya. Dari sini saja dapat dilihat nyata betapa besar cinta kasih gadis ini terhadap dirinya.
"Aku akan melawan mereka, Li Hwa. Kau pulanglah dan rawat dirimu baik-baik." Air mata bercucuran dari sepasang mata yang jelita itu. Dengan terisak-isak gadis im berkata.
"Merawat diri baik-baik? Untuk apa-kah? Kau..... kau menolak dan mencinta seorang wanita yang sudah menjadi isteri orang lain. Kau terlalu menyakiti hati-ku, kau terlalu menghinaku....." Dengan isak tertahan gadis ini melompat, tidak mempedulikan lagi telapak kaki kirinya yang sakit, lalu lari cepat turun dari puncak Jeng-in-thia.
Sin Wong menahan napas, meriyilang-kan lengan di depan dada dan menunduk-kan kepala, kedua matanya dipejamkan. Sampai lama ia berada dalam keadaan demikian, kemudian terdengar la menarik napas panjang berkali-kali.
Kim-bun-to (Pulau Pihtu Emas) adalah sebuah pulau kecil yang indah di dekat pantai timur. Pulau ini dekat saja de-ngan pantai, hanya terpisah oleh air laut sejauh dua li. Rumah-rumah di atas pu-lau itu kelihatan jelas dari pantai. Oleh karena air laut yang memisahkan pulau dan daratan Tiongkok ini airnya selalu tenang, jernih, dan banyak ikannya, maka tempat ini menjadi tempat pesiar dan terkenal di seluruh Tiongkok. Selain men-jadi tempat menghibur hati, juga pantai-nya menjadi pusat perdagangan yang ramai.
Rumah di Kim-bun-to bagus-bagus dan kelihatan semua masih baru. Memang, lima tahun yang lalu, rumah-rumah di atas pulau ini telah dibakar habis oleh barisan Pemerintah Kin yang ditipu oleh penjahat siluman Liok Kong Ji. Akhirnya, berkat bantuan Pangeran Wanyen Ci Lun, kaisar insyaf akan kekeliruannya dan memerintahkan supaya semua ru-mah yang terbakar diganti dengan rumah baru!
Pulau ini menjadi makin tersohor semenjak terjadi peristiwa serbuan oleh tentara Pemerintah Kin itu. Di atas pulau itu terjadi geger besar yang meng-guncangkan dunia kang-ouw. Terjadi pertempuran hebat antara tokoh-tokoh persilatan yang terkenal menjagoi dunia kang-ouw di masa itu. Dalam pertempur-an inilah jago-jago silat berguguran, di antaranya Cam-kauw Sin-kai, sepasang suami isteri Pendekar Go Ciang Le yang berjuluk Hwa 1 Enghiong dan isterinya Sian-li Eng-cu Liang Bi Lan, dan masih banyak orang-orang gagah lain yang ke-betulan menjadi tamu di waktu serbuan terjadi.
Di fihak para penyerbu, tewas pula See-thian Tok-ong dan isterinya, Kwan Ji Nio. Sepasang suami isteri inl bukan orang-orang sembarang, melainkan tokoh-tokoh besar dari barat yang sudah meng-goncangkan dunia persilatan di Tiongkok. Semua ini terjadi pada saat dilangsungkan pernikahan antara puteri Hwa I Eng-hiong Go Ciang Le yang bernama Go Hui Lian dengan Coa Hong Kin, pemuda tampan dan gagah murid dari Cam-kauw Sin-kai (baca Pedang Penakluk Iblis).
Di antara sekian banyak rumah-rumah baru di atas Pulau Kim-bun-to, terdapat sebuah rumah besar di tengah-tengah, yang menonjol karena paling tinggi di antara semua bangunan di situ. Inilah rumah yang menjadi tempat tinggal Coa Hong Kin dan isterinya. Pangeran Wan-yen Ci Lun yang membangun rurr.ah ini untuk membalas budi Coa Hong Kin yang dulu menjadi tangan kanannya yang setia.
Keluarga Coa ini disegani dan di-hormati oleh semua crang baik penduduk Pulau Kim-bun-to maupun orang-orang yang datang dari daratan Tiongkok. Siapakah yang berani mengganggu mereka dan bagaimana semua orang tidak menghormati keluarga ini? Coa Hong Kin terkenal gagah perkasa di samping sikap-nya yang halus dan lemah lembut seperti seorang terpelajar yang rainah tamah. Akan tetapi di dalam pertempuran ia akan berubah menjadi seorang yang lihai bukan main dengan senptanya yang isti-mewa, yaitu sebatang twigkat pendek berkepala ular yang disebut Coa-thouw-tung, ia dapat mainkan Ilmu Silat Cam-kauw-tung-hoat (Ilmu Tongkat Pembunuh Anjing) dan kiranya tidak banyak orang yang dapat mengalahkan dia dengan ilmu tongkatnya ini.
Di samping dia, masih ada isterinya yang tidak kalah lihainya, kalau tidak boleh dibilang lebih lihai malah! Isterinya ini Go Hui Lian, adalah anak tunggal dari mendiang Hwa 1 Enghiong Go Ciang Le yang kepandaiannya sudah dikenal oleh semua tokoh kang-ouw. Sudah tentu saja Go Hui Lian ini mewarisi kepandaian dari ayahnya dan juga dari ibunya yang memiliki kepandaian sangat tinggi pula. Kelihaian Hui Lian adalah permainan pedang, akan tetapi di samping ini, ia pandai pula memainkan delapan belas macam senjata dan ilmu silat tangan kosongnya Juga sudah berada di tingkatan tinggi.
Suami isteri ini mempunyai dua orang anak, seorang anak laki-laki berusia em-pat tahun lebih, yang ke dua seorang anak berusia dua tahun. Sebetulnya, anak pertama yang laki-laki itu bukan anak mereka sendiri, melainkan anak angkat. Anak ini mereka pelihara semenJak kecil-,nya dan mereka beri nama Coa Tiane Bu. Rahasia bahwa anak Jaki-laki ini bukan anak mereka yang sesungguhnya, mereka simpan rapat sekali sehingga tidak ada orang lain yang mengetahuinya. Hal mi adalah untuk menjaga nama baik ibu yang aseli daripada anak itu. Ibunya bukan lain adalah Gak Soan Li, suci dari Hui Lian.
Dalam cerita Pedang Penakluk Ibiis telah diceritekan betapa Gak Soan Li ketika masih gadis terjatuh ke dalam tangan penjahat siluman Liok Kong Ji dan dalam keadaan tidak sadar dan setengah gila, Soan Li menjadi korban kekejian Liok Kong Ji. Oleh karena itu, ketika Gak Soan Li mengandung dan melahirkan anak, anak ini dianggap sebagai anak yang tidak berayah. Diam-diam anak yang hendak dibunuh Gak Soan Li inl, dipelihara baik-baik oleh Hui Lian yang mengaku sebagai puteranya sendiri.
Anak ke dua, yaitu puteri yang se-sungguhnya dari Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, diberi nama Coa Lee Goat. Semenjak kecil Coa Tiang Bu nampak sayang sekali kepada Lee Goat. Setiap kali ia makan sesuatu tentu ia ingat kepada adiknya ini dan memberinya. Kalau Lee Goat yang baru dua tahun usianya itu menangis, Tiang Bu meng-hiburnya sedapat mungkin sehingga nam-pak lucu sekali. Bahkan kalau Lee Goat sedang rewel dan menangis tidak mau diam-diam, saking binguhg dan ikut se-dih Tiang Bu juga ikut-ikutan menangis!
Tiang Bu nampak cerdik sekali sejak ia masih kecil. Sayangnya, bocah ini tidak bisa dikatakan tampan. Mukanya berbentuk segi empat, kulit mukanya agak kemerahan tanda sehat, jidatnya lebar sekali sampai hampir setengah kepala; seperti botak, rambutnya hitam kaku seperti bulu kuda, sepasang alisnya berbentuk golok tebal dan hitam, mata-nya tajam sekali kelihatan seperti mata penjahat kejam, hidungnya pesek dan bibirnya tebal sekali. Dari kecil sudah dapat dilihat bahwa bentuk tubuhnya padat dan kuat.
Sering kali di waktu malam apabila anak itu sudah tidur, Hui Lian dan Hong Kin memandang muka Tiang Bu ini dan Hui Lian berkata menyatakan keheranannya.
"Benar-benar aneh sekali, Enci Soan Li cantik manis, juga Kong Ji orangnya tampan, mengapa dia ini begitu jelek?"
Suaminya menarik napas panjang.
"Dapat dimengerti. Bocah Ini tercipta dalam keadaan yang tidak sewajarnya, ibunya dalam keadaan sengsara lahir-batin, ayahnya dikuasai oleh iblis, tidak mengherankan apabila keturunan yang keluar bermuka buruk. Akan tetapi kita harap saja biarpun mukanya buruk, wataknya jangan seburuk rupanya, dan semoga iblis yang menguasai ayahnya jangan menurun kepadanya."
Hong Kin dan Hui Lian memang berhati mulia. Melihat keburukan Tiang Bu, mereka sama sekali tidak membenci, bahkan merasa kasihan kepada anak yang tidak diakui oleh ayah bundanya ini," yang kini telah menjadi putera mereka sendiri. Apalagi melihat Tiang Bu begitu sayang kepada Lee Goat, mereka makin suka kepada Tiang Bu.
"Kita jangan memberi pelaj"aran ilmu silat kepadanya siapa tahu kalau-kalau sifat keturunan ayahnya ada padanya. Tanpa memiliki kepandaian silat, ia tidak mempunyai andalan untuk menyeleweng di kemudian hari," kata Hong Kin. Isteri-nya merasa setuju sekali sungguhpun agak kecewa mengapa Tiang Bu bukan putera mereka sendiri yang boleh diberi pelajaran ilrnu silat mereka yang tinggi tanpa ragu-ragu lagi.
Berbeda dengan sepasang suami isteri yang baik hati ini, anehnya hampir se-mua orang yang melihat Tiang Bu merasa tak senang kalau tak boleh dikata-kan benci. Entah mengapa wajah anak ini segala gerak-geriknya menimbulkan kebencian dan kegemasan. Semua pelayan yang berada di dalam rumah besar itu, benci belaka kepada Tiang Bu.
Memang para pelayan inilah yang mengetahui bahwa Tiang Bu bukanlah putera aseli dari majikan mereka, bahkan mereka mendengar dari para pelayan tua yang semenjak dahulu telah menjadi pelayan dari keluarga Go dan sekarang ikut pula bekerja di rumah Go Hui Lian, bahwa bocah itu adalah putera suci dari nyonya majikan mereka dan tidak karuan ayahnya! Inllah agaknya yang menimbulkan rasa tak senang dan benci.
Baiknya Tiang Bu masih terlalu kecil untuk mengerti atau merasa akan hal ini. Di depan Hong Kin atau Hui Lian, tidak ada orang berani mengganggu Tiang Bu, akan tetapi di belakang dua orang ini, para pelayan suka menggodanya dan mentertawakannya.
Pada suatu hari pagi-pagi sekali Tiang Bu yang berusia lima tahun itu sudah berada di dalam kebun bunga luas. Anak ini mencari-cari dengan pandang mata-nya, kemudian dengan girang ia melihat yang dicarinya, yaitu kembang berwarna merah yang mekar di dalam pohonnya yang agak besar. Cepat anak ini menghampiri batang pohon itu dan tanpa ragu-ragu ia mulai memanjat ke atas.
"Eh, bocah bengal, pagi-pagi kau sudah mau main panjat-panjatan. Kalau kau jatuh dan kepalamu pecah, aku yang dimaki, tahu?" tiba-tiba terdengar bentakan dan tukang kebun menarik turun anak itu.
"Aku tidak mau turun!" Tiang Bu merengek dan kedua tangannya memeluk batang pohon erat-erat.
"Jangan tarik-tarik kakiku."
"Tidak boleh naik, turun kau!" bentak tukang kebun gemas, ditambahnya makian perlahan.
"Dasar anak haram!"
"Tidak, aku tidak mau turun. Aku hendak mencarikan bunga merah yang diminta Adik Lee Goat!" Melihat tukang kebun itu masih saja menarik-narik kakinya, ia mengancam.
"Lepaskan kalau tidak kau kukencingi!"
Tukang kebun itu sesungguhnya bukan takut melihat anak ini jatuh, karena memang sudah sering Tiang Bu main panjat-panjatan, melainkan ia lebih cepat disebut menggoda anak itu supaya ke-hilangan kegembiraannya. Maka ia membetot-betot terus sambil tertawa-tawafi menggoda. Tiba-tiba ia melepaskan pegangannya dan melompat mundur sambil menyumpah-nyumpah. Mukanya menjadi basah oleh air kencing yang betul-betul dikeluarkan oleh anak itu.
"Bangsat kecil, bocah haram..... Makinya perlahan, karena biarpun ia merasa marah dan mendongkol, ia tidak berani memaki anak itu keras-keras.
"Apa kaubilang, Sam-lopek?" ana-; itu menunda panjatannya ketika mendengar sebutan terakhir yang tidak dimengerti-nya, Akan tetapi tukang kebun itu tidak menjawab dan Tiang Bu melanjutkan usahanya memetik bunga merah yang hendak diberikan kepada Lee Goat.
Tiba-tiba mata tukang kebun melihat seekor kumbang besar beterbangan di sekitar pohon kembang itu, agaknya hen-dak mencari madu kembang. Untuk me-lampiaskan marahnya, juga dengan hati setengah mengharap agar kumbang itu menyengat Tiang Bu, ia mengambil batu kecil dan melempari kumbang yang sedang inenghisap madu. Lemparan itu tepat sekali mengenai kumbang itu dan si kumbang terlempar, akan tetapi tidak mati. Kumbang menjadi marah sekaJi dan dl laln saat, kumbang itu terbang me-nyambar ke arah pohon dan menyerang Tiang Bul Tukang kebun menyeringai kegirangan.
Terdengar pekik kesakitan dan tubuh anak itu terguling jatuh dari atas pohon. Malang baginya, di bawah pohon terdapat batu besar. Jatuhnya menimpa batu dan anak itu tidak berkutik lagi, mertngkuk pingsan. Barulah tukang kebun men}adi pucat dan panik.
"Bangsat keji!" Bentakan nyaring-ini mengejutkan tukang kebun yang tidak jadi lari masuk. la menengok "dan me-lihat seorang wanita cantik tahu-tahu telah berdiri di depannya.
"Kau memaki siapa?" tukang kebun yang berangasan ini bertanya marah.
"Siapa lagi kalau bukan kau! Kau yang menyebabkan anak itu jatuh, orang macam kau harus dipukul mampus". Tukang kebun itu menjadi marah, marah karena ia takut kalau-kalau dakwaan ini terdengar oteh majikannya.
"Apa kau gila? Dia itu putera majikanku, bagaimana aku berani membuatnya jatuh? Kau perempuan gila sembarangan memaki orang. Kutampar mukamu!"
Wanita itu tersenyum mengejek.
"Kau? Macam engkau bisa memukul orang? Hah, seekor sernut pun akan mentertawa-kanmu kalau mendengar obrolanmu ini!"
Diejek seperti itu, tukang kebur ini menerjang maju dan tangan kanannya diayun untuk menampar pipi wariita can-tik itu. Akan tetapi, sungguh luar biasa. Sebelum tangan itu mengenai pipi yang halus kemerahan, tiba-tiba tukang kebun itu menjerit, tubuhnya terpental, jatuh dan napasnya empas-empis.
Dengan tenang wanita itu menghampiri bawah pohon, menyambar tubuh Tiang Bu yang masih pingsan. la meman-dang muka yang jeiek itu, tersenyum mengejek dan berkata lirih.
"Macam ini putera Hdi Lian? Hah, menyebalkan!"
Pada saat itu, terdengar desiran angin dan dua orang berkelebat dari dalam rumah. Mereka ini bukan lain adalah Hui Lian dan Hong Kin. Melihat datangnya kedua orang majikannya itu, tukang kebun yang sudah siuman kembali menuding ke arah wanita itu sannbil berkata, suaranya lemah terengah-engah.
"Dia..... dia hendak menculik Kong-cu....." Dan ia roboh pingsan lagi karena dadanya sesak seperti dipukul oleh benda keras yang berat.
Hui Lian dan Hong Kin me-lompat ke depan wanita yang memondong Tiang Bu itu dan melihat wajjah yang cantik itu tersenyum mengejek.
"Kau..... bukankah kau Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.....?" tanya Hui Lian kaget.
Li Hwa tersenyum.
"Kalian tidak patut menjadi ayah bunda bocah ini. Aku hendak membawanya dan biarpun di sana ada Wan Sin Hong bengcu yang akan membela kalian mati-matian, aku tidak takut." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Li Hwa telah berada di atas tembok taman.
"Lepaskan anakku" Hui Lian membentak dan sekali berkelebat ia pun. telah mengejar dan kembali dua orang wanita yang sama cantik dan sama gagahnya ini telah saling berhadapan di luar tembok taman, diikuti oleh Hong Kin yang hampir berbareng menyusul .
"Hui-eng Niocu, di antara kita tidak ada permusuhan, nw.gapa kau hendak menculik-anakku?" bentak Hui Lian yang sudah mencabut pedangnya.
"Hei, Tiang Bu seperti pingsan dan tubuhnya berdarah....!" Hong Kin berseru kaget sambil menuding ke arah Tiang Bu yang masih pingsan dalam pondongan Li Hwa."
"Memang dia jatuh dari pohon, kaki-nya patah....." kata Li Hwa seenaknya seakan-akan hal itu tidak berarti apa-apa.
"Kau hendak mencelakai anakku. Kembalikan!" Hui Lian sudah tak sabar lagi dan maju menusukkan pedangnya ke arah lambung Li Hwa dan tangan kirinya menyambar tubuh Tiang Bu yang dipondong oleh Hui-eng Niocu.
"Galak seperti Ibunya.....!" U Hwa mengejek dan cepat melompat mundur.
"Tentang jatuhnya, lebih baik kausiksa tukang kebunmu suruh dia mengaku!" Li Hwa terus melompat jauh dan melarikan diri.
"Penculik jangan lari!" Hong Kin berseru marah dan bersama isterinya ia pun mengejar cepat.
Li Hwa memutar tubuh dan berseru.
"Awas senjata!" Tangannya yang kiri bergerak dan belasan sinar hijau menyambar ke arah dua orang pengejamya. Inilah senjata rahasia Cheng-chouw-ciam (Jarum Rumput Hijau) yang amat lihai. Sampai tiga kali Li Hwa menggerakkan tangannya dan tiga kali beiasan jarum hijau ini menyambar ke arah Hui Lian dan Hong Kin. Suami isteri ini lihai ilmu Silatnya, tentu saja mereka dapat meng-hindarkan diri dari bahaya dengan mudah akan tetapi kejaran mereka tertunda dan sebentar saja Li Hwa sudah lenyap dari situ, mereka terus mengejar, bahkan mencari sampai ke pinggir laut. Akan tetapi karena tidak tahu arah mana yang diambiJ oleh Li Hwa untuk menyeberang ke daratan, mereka menjadi bingung. Hui Lian mengaJ"ak suaminya terus meyeberang dengan perahu akan tetapi Li Hwa seperti lenyap ditelan ombak laut dan tidak kelihatan bayangannya lagi.
Hui Lian membanting-banting kakinya dan menangis. Hong Kin menghiburnya.
"Kita tidak ada permusuhan dengan Li Hwa. Bu-ji (anak Bu) tentu selamat di tangannya."
"Mari kita susul perempuan siluman itu ke Go-bi-san! Perbuatan ini sungguh merupakan penghinaan
(Lanjut ke Jilid 02)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 02
bagi kita." kata .Hui Lian marah.
"Kau tidak melihat Bu-ji tadi terluka dan pingsan? Siapa tahu kalau siiuman itu mempunyai niat keji....."
"Sabar dan tenanglah, isteriku. Palirtg perlu mari kita pulang duiu dan bertanya kepada tukang keburi apa sebenarnya yang telah terjadi di dalam taman bunga."
Kata-kata ini mengingatkan Hui Lian akan ucapan Li Hwa agar supaya mereka menyiksa tukang kebun dan menyuruhnya mengaku. Cepat-cepat mereka pulang dan alangkah kecewa dan menyesal mereka ketika melihat bahwa tukang kebun itu ternyata telah tewas! Hong Kin memeriksa dan mendapatkan beberapa batang jarum hijau menembus dadanya yang juga terkena pukulan tenaga "lweekang. Agaknya Li Hwa marah sekali kepada tukang kebun ini dan mengirim serangan maut.
Pendekar Pedang Pelangi Eps 29 Pendekar Budiman Eps 9 Pedang Penakluk Iblis Eps 29