Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 12


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   Akan tetapi akibatnya hebat. Segera terdengar pekik kesakitan susul-menyusul diikuti rubuhnya banyak orang ke belakang! Ternyata bahwa rontokan daun bunga yang kecil itu kitika mengenai tangan ada yang menancap dan ada pula yang menggetarkan serta melumpuhkan seluruh tangan. Bahkan ada yang tidak kuat menahan hawa dorongan yang luar biasa hingga roboh terguling ke belakang!

   Tak usah dibilang lagi betapa kaget dan takut hati mereka yang tidak kuat menerima timpukan daun bunga tadi. Tanpa berkata apa-apa lagi mereka lari turun dari puncak dan tempat itu sebentar saja menjadi sepi karena lebih banyak yang lari turun daripada yang tinggal. Yang masih herdiri di situ karena kuat mererima timpukan tadi adalah Wan Sin Hong, Ang-jiu Mo-li, Toat-beng Kui bo, Liok Kong Ji, Bouw Gun, Pak kek Sam-kui, delapan orang tokoh selatan termasuk Le Thong Hosiang, dan tiga orang tokoh utara serta suami isreri pemilik burung-burung rajawali, Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya. Masih ada beberapa orang lagi dan jumlahnya hanya dua puluh tiga orang. Yang lain semua lari.

   Tiong Jin Hwesio tersenyum. Tiong Sin Hwsio masih tetap duduk sambil meramkan mata, sama sekali tidak menghiraukan yang terjadi di situ.

   "Cuwi sudah dapat menerima suguhan pinceng dengan baik. bagus sekali! Itu menjadi tanda bahwa cuwi sekalian cukup berharga untuk merundingkan sesuatu dengan kami. Kalau pinceng tidak salah sangka, cuwi sekalian para tokoh kang-ouw dari daerah selatan hendak membujuk kami supaya suka menjadi bengcu. Bukankah demikian kehendak cuwi?"

   "Betul demikian dan kami harap locianpwe berdua takkan menolak. Bahaya perang sudah di depan mata. Kaum kang-ouw terpecah belah. Kalau bukan jiwi locianpwe yang rnemimpin kami, siapa lagi?" jawab Le Thong Hosiang tokoh Tai yung pal yang mewakili kawan-kawannya.

   Kembali Tiong Jin Hwesio tersenyum ramah.

   "Belum pernah ada di dunia kang-ouw diangkat dua orang bengcu. Bukankah sudah ada seorang bengcu yang amat baik di dunia kangouw dan sekarang bahkan hadir di sini? Bukankah Wan-bengcu biarpun masih amat muda merupakan pemimpin yang baik sekali. Pinceng sudah banyak mendengar kebaikan-kebaikan dan jasa-jasanya."

   "Akan tetapi dia adalah keturunan Wanyen keluarga Raja Kin! Mana bisa kami mempunyai bengcu seorang keturunan musuh ratyat? Hanya orang-orang utara yang tolol mau memilih dia!" kata Le Thong Hosiang sambil memandang kepada semua orang yang hadir, lalu berkata,

   "Bukankah di sini terdapat pula saudara-saudara yang mewakili daerah utara?" Bu Kek Siansu, ketua Bu-tong-pai yang bertubuh tinggi kurus dan berjenggot panjang, menjura sambil menjawab.

   "Pinto dari Bu-tong-san mewakili sobat-sobat dari utara untuk mengunjungi jiwi twa-suhu menghaturkan hormat. Memang betul dahulu kami telah memilih Wan Sin Hong sicu untuk menjadi bengcu berdasarkan kepandaiannya yang tinggi dan memang harus kami akui bahwa Wan-sicu adalah seorang gagah perkasa. Akan tetapi setelah kami ketahui bahwa dia adalah keluarga raja, kami mangambil keputusan untuk membebaskannya dari tugas bengcu. Kami yang tidak sudi menjadi kaki tangan kaisar penjajah tentu saja tidak mau mempunyai bengcu keluarga kaisar. Kenudian kami mendengar bahwa jiwi twa-suhu berdiam di 0mei-san dan mengingat babwa jiwi adalah ahli waris dari Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Cawsu, sudah sepatutnya kalau jiwi memegang pucuk pimpinan para orang gagah sedunia agar segala pertentangan dapat dilenyapkan dan semua tenaga dapat dicurahkan untuk melindungi rakyat jelata dari pada penindasan kaum penjajah dari manapun juga." Tiong Jin Hwesio menggeleng-geleng kepalanya.

   "Omitohud, alangkah sempitnya pandangan orang sekarang!" Ia menoleh kepada Sin Hong dan berkata kepada Bu Kek Siansu.

   "Binatang boleh dipilih jenisnya untuk membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Akan tetapi manusia tak mungkin dapat dilihat baik buruknya dari keturunan maupun keadaan lahirnya. Wan-bengcu adalah murid dari mendiang Pak Kek Siansu yang masih sealiran dan sstingkat dengan kami. Kalau Wan bengcu dapat melakukan tugasnya dengan baik, mengapa menggantinya? Kami dua saudara tidak mau mencampuri urusan dunia mengapa kalian mendesak? Pulanglah, pulanglah. Biar Wan bengcu, memimpin kalian, pasti semua beres." Sambil berkata demikian Tiong Jin Hwesio melambai-lambaikan tangan mengusir semua orang supaya pergi.

   Liok Kong Ji melompat maju. Dia tahu betapa lihainya dua orang kakek Omei-san itu. Baru sambitan daun bunga saja tadi ketika ia menyambutnya, telapak tangannya sudah terasa kcsernutan. Ia tahu
(Lanjut ke Jilid 12)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 12
bahwa kalau daun bunga itu diganti dengan benda keras biarpun kepandaiannya tinggi, ia takkan sanggup menerima sambitan kakek yang lihai itu.

   Dua orang kakek yang berilmu tinggi ini akan menjadi pembantu-pembantu yang tak ternilai harganya bagi pergerakan Temu Cin, akan tetapi juga dapat menjadi lawan yang amat berat. Oleh karena itu, ia harus berdaya menarik dua orang kakek ini di pihaknya atau kalau tidak berhasil membasmi mereka!

   "Jiwi locianpwe bicara dengan tepat dan bijaksana sekali," Kong Ji mulai berkata dengan suara lantang.

   "Orang-orang yang sudah tua seperti jiwi locianpwe memang sudah sepatutnya tidak diganggu lagi dengan urusan duniawi sehingga jiwi dapat tekun menenteramkan batin."

   Tiong Sin Hwesio yang sejak tadi meramkan matanya, kini membuka mata dan semua orang mclihat betapa sinar mata hwesio ini sudah layu dan tak parsemangat seperti orang yang menderita sakit berat. Memang sesungguhnya hwesio tua ini sudah lama menderita sakit, sakit tua yang membuat semangatnya bosan tinggal di tubuh tua itu.

   "Pinceng mendengar lagu indah dinyanyikan secara sumbang," katanya sambil menatap wajah Kong Ji "Sicu siapakah?"

   Biarpun pandang mata dan suaranva sudah lemah, namun dalam sikap kakek tua ini membayangkan pengaruh luar biasa dan membuat orang mau tak mau menaruh segan dan hormat. Sekelebatan kakek ini sepeti gambar Nabi Locu yang kecil tubuhnya, tua sekali bongkok dan jenggotnya sudah putih semua. Berbeda dengan Tiong Jin Hwesio yang tidak berambut dan tidak berjenggot, adalah Tiong Sin Hwesio ini kepalanya ditumbuhi beberapa helai rambut-rambut di pinggirnya, rambut-rambut putih halus seperti benang sutera. Juga jenggotnya halus dan putih.

   Kong Ji cepat memberi hormat kepada kakek itu.

   "Teecu bernama Liok Kong Ji, nama yang tidak terkenal bagi losuhu. Akan tetapi akan menjadi berarti kalau teecu memberi tahu bahwa anak muda yang duduk di belakang jiwi losuhu itu adalah puteraku!"

   Orang yang merasa paling terkejut mendengar pengakuan ini adalah Tiang Bu sendiri. Hampir saja ia menjerit "bohong!" kalau saja ia tidak ingat dan taat akan pesan gurunya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleb mengeluarkan suara dan tak boleh berbuat sesuatu. Maka hanya mukanya saja yang berubah pucat. Ia mengenal Liok Kong Ji sebagai seorang panglima di daerah Mongol. la pernah berjumpa dengan orang itu ketika dahulu ia dibawa ke utara oleh Pak kek Sam kui. Dan dahulu Liok Kong Ji tidak bicara sesuatu tentang pengakuan anak. Mengapa sekarang orang itu mengaku bahwa dia anaknya? Terbayang dalam ingatan Tiang Bu ucapan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa bahwa dia bukanlah putera Coa Hong Kin dan Go Hui Lian.

   Ketika Hui eng Niocu Siok Li Hwa menculiknya dari Kim bun-to dan memaksanya bersumpah di depan makam Pat-jiu Nio-nio untuk menjadi murid Hui-eng pai dalam marahnya Hui-eng Niocu Siok Li Hwa menyatakan bahwa dia bukanlah anak Coa Hong Km dan Go Hui Lian, melainkan anak ayah bunda lain yang pada waktu itu ia tidak memperhatikan. Dianggapnya Hui-eng Niocu bohong maka ia tidak ingat lagi nama ayah bunda yang disebut itu. Sekarang teringatlah ia bahwa dahulu Hui-eng Niocu menyebut nama Liok Kong Ji! Jadi inikah ayahoya? Mengapa begitu?

   Tiong Jin Hwesio menoleh kepada muridnya dan bertanya.

   "Tiang Bu, benarkah kau putera situ ini?"

   "Dia berkata bohong, suhu. Setahu teecu, ayah teecu bernama Coa Hong Kin dan ibu teecu bernama Go Hui Lian puteri Hwa I Enghiong Go Ciang Le."

   Kini Tiong Jin Hwesio berpaling kepada Kong Ji dan suaranya berubah keren ketika ia berkata.

   "Liok-sicu, pinceng tidak kenal padamu namun serasa pernah pinceng mendengar namamu yang kurang scdap. Kau jangan main-main di sini. Mengapa kau berani mengaku murid kami sebagai puteramu?"

   Liok Kong Ji tertawa. Panahnya mengena sasaran, pancingannya berhasil baik.

   "Locianpwa, mana aku berani membohong atau main-main? Tadinya teecu sendiri juga tidak tahu akan rahasia ini yang dipegang penuh serta ditutup rapat oleh Wan Sin Hong. Locianpwe" agaknya dapat diperdayai sehingga amat memuji dan percaya kepada Wan Sin Hong. Maka harap locianpwe tanya kepadanya akan hal ini."

   "Wan-bengcu, betulkah kata-kata Lie situ ini bahwa Tiang Bu adalah puteranya?" tanya Tiong Jin Hwesio. Keadaan menjadi sunyi. Semua orang menaruh perhatian sepenuhnya akan perkara ini yang biarpun barsifat pribadi namun cukup menarik karena urusan ini saja dapat menimbulkan heboh dan keributan. Semua orang memandang ke arah Sin Hong, ingin tahu apa jawabannya.

   Sin Hong memandang ke arah Tiang Bu yang seakan-akan hendak menelannya dengan pandang mata yang tajam itu, kemudian menoleh ke arah Kong Ji, kemudian berpaling kepada Tiong Jin Hwesio din menundukkan kepalanya.

   "Memang betul," jawabnya lemah.

   "Bohong....!" Tiang Bu menjerit, lupa akan pesan gurunya dan ia melompat ke depan Sin Hong, kedua tangan terkepal, matanya berapi.

   "Wan-siok-siok, bukankah kau sudah tahu bahwa ayah bundaku di Kim-bun-to. Dia itu, muridmu itu, bukankah dia Lee Goat, adikku? Aku tahu ketika ia masih kecil sekali, masih bayi. Aku yang menggendongnya, mengajaknya main-main! Mengapa pula dia pura-pura tak kenal padaku? Siok-siok, katakan sebenarnya bahwa aku bukan anak orang itu!"

   Sin Hong tersenyum pahit, merasa amat kasihan kepada bocah ini. Salahnya sendiri, pikirnya. Dialah yang berdosa, membuka rahasia itu kepada Kong Ji katena khawatir akan keselamatan isterinya yang tertawan oleh Kong Ji, anak ini harus menelan kenyataan pahit sekali.

   "Tiang Bu, kau memang puteranya. Semenjak masih bayi kau dipelihara oleh ayah bundamu di Kim bun-to......

   "

   Wajah Tong Bu menjadi pucat.

   "Aku masih belum percaya!" Ia menoleh dan memandang kepada orang yang mengaku ayahnya itu dengan pandangan mata menantang.

   "Wan siok-siok, kauceritakan mengapa semenjak bayi aku dipelihara oleh ayah bunda di Kim.bun.to. Mengapa kalau aku memang anak orang lain, orang tuaku yang aseli tidak memeliharaku sendiri?"

   Muka Sin Hong sebentar pucat sebentar merah. Keningnya berkerut. Ia berada dalam keadaan yang amat sukar. Tidak menjawab bagaimana dan kalau ia menjawab dan meceritakan hal sebenarnya, berarti ia akan membanting nama bocah itu ke dalam jurang kehinaan! Mana ia tega untuk merendahkan bocah ini dengan bercerita di depan orang banyak bahwa bocah ini terlahir dari ibu yang gila dan yang dipermainkan oleh Kong Ji. Sama saja dengan membuka rahasia bahwa Tiang Bu adalah anak dari perhubungan gelap, anak yang tidak karuan ayahnya atau anak haram!

   Sin Hong menggeleng geleng kepalanya sambil menarik napas panjang.

   "Aku......... aku tak dapat menceritakannya, Tiang Bu"".."

   "Wan siok-siok, kau harus.........! Kau harus menceritakannya kepadaku. Harus.........!" Tiang Bu mendesak.

   Sing Hong menggeleng kepalanya dengan sedih dan memandang kepada bocah itu dengan kasihan.

   "Tidak bisa, Tiang Bu ""."

   "Kalau begitu kau bohong! Kau pembohong besar di dunia ini...... atau kau pengecut besar!" Tiang Bu melangkah maju dan matanya bcrsinar marah dan kedua tangannya dikepal seakan-akan dia hendak menyerang Sin Hong.

   Terdengar Kong Ji tertawa mengejek dan Sin Hong menjadi pucat sekali.

   "Tiang Bu...l" bentaknya keras.

   "Siapapun tidak boleh menyebut aku pengecut!"

   "Mengapa kau menyembunyikan rahasia orang? Mengapa kau tidak berani bicara terus terang? Hanya seorang pengecut yang menyimpan rahasia orang dan membuat orang mendapat malu dan terhina!" kata Tiang Bu makin berani.

   "Hayo katakan......... atau harus aku memaksa.........??"

   "Tiang Bu.........!!" Sin Hong hampir tak dapat menahan kesabarannya lagi. Mukanya sebentar merah sebentar pucat.

   Pada saat itu, Tiong Sin Hwesio membentak.

   "Tiang Bu, kau memalukan guru-gurumu. Hayo mundur dan masuk ke rumah!"

   Mendengar bentakan ini, terdengar isak naik dari dada Tiang Bu, mukanya pucat sekali dan dengan kaki limbung dan maka pucat ditundukan, ia lalu berlari masuk ke dalam pondok, di mana ia membanting diri di atas lantai dan menangis! Baru kali ini selama hidupnya Tiang Bu merasa sakit sekali hatinya. Sementara itu, Le Thong Hosiang berkata mengejek,

   "Dasar keturunan pangeran penjajah, tidak lurus hatinya, berani menghina murid tuan rumah. Dasar pengecut tetap pengecut!" Sin Hong menggerakkan lehernya dan menengok ke arah pembicara.

   "Le Thong Hosiang, kau memaki siapa?" tanyanya, suaranya lambat dan agak tergetar.

   "Ho ho-ho, mcmaki kau, siapa lagi?"

   Baru saja kata-kata ini keluar dari bibir Le Thong Hosiang tubuh Sin Hong mencelat dan dengan marah ia menyerang Le Thong Hosiang. Akan tetapi Ketua Tai-yun-pai memang sengaja mencari percekcokan dengan Sin Hong dan karenanya ia sudah siap sedia. Dua orang sutenya yaitu Lo Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang, sudah menjaga. Begitu Sin Hong bergerak, dua orang hwesio ini menggerakkan toya mereka menyerang Sin Hong dari dua jurusan. Juga Le Thong Hosiang menggerakkan toyanya sambil berkata kepada Tiong Jin Hwesio,

   "Jiwi locianpwe, harap maafkan, pinceng hendak memberi hajaran kepada pangeran kesasar ini!"

   Akan tetapi, kata-katanya terhenti karena Sin Hong dengan gerakan cepat sekali mangeluarkan kepandaiannya. Bagaikan halilintar menyambar tubuhnya berkelebat di antara tiga barang toya lawan dan di lain saat Le Tak Hosiang terlempar ke kanan, Le Kong Hosian, terjungkal dan Le Thong Hosiang roboh dengan toyanya patah-patah! Baiknya Sin Hong masih ingat bahwa ia berada di Omei-san dan di depan dua orang kakek sakti yang menjadi tuan rumab. Pula dia ingat bahwa pertempuran hanya urusan kecil saja. maka ia tidak sampai menurunkan tangan maut, hanya membuat Le Thong Hosiang patah patah toya berikut tulang lengan kanannya sehingga hwesio menjadi pingsan. Adapun Le Kong Hosiang dan Le Tak Hosiang hanya terlempar mendapat kepala benjol saja.

   Semua orang menjadi kaget sekali menyaksikan kehebatan Sin Hong. Kong Ji tersenyum masam. Ang jiu Moli memandang kagum penuh gairah kepada Sin Hong. Mulut Toat-beng Kui-bo bergerak-gerak seperti orang makan kacang goreng, atau seperti mulut domba menggayem kembali makanan dari perutnya. Keadaan menjadi sunyi sekali. Tiba-tiba terdengar. suara Tiong Jin Hwesio, bernada tak senang.

   "Wan-bengcu, kau kasar sekali. Apakah di sini kau hendak memamerkan kepandaianmu?"

   Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.

   "Maaf locianpwe. Bukan sekali-kali boanpwe berani bersikap kurang ajar, akan tetapi orang-orang itu terlalu mendesak boanpwe."

   "Hemmm, memang tIdak keliru kata kata Tiang Bu tadi. Seorang yang tidak berani berkata terus terang, biarpun sikapnya itu hendak menolong orang lain misalnya, tetap saja ia mendekati sikap pengecut. Kau datang ini ada keperluan apakah?"

   Merah wajah Sin Hong dan sikapnya menjadi berani. Dia tidak mau membuka rahasia itu semata-mata untuk melindungi muka dan nama baik Tiang Bu, akan tetapi bocah kurang terima itu mengatakannya pengecut dan kakek ini malah membenarkan bocah itu.

   "Locianpwe memang bukan menjadi watakku untuk membuka rahasia orang lain di depan umum. Oleh karena itu pulalah maka aku yang muda dan bodoh kali ini juga tidak membuka rahasia mengapa aku datang ke tempat ini. Hanya terus terang saja, kedatanganku ke sini sama sekali tidak ada hubungannya dengan segala keributan urusan bengcu dan segala tetek-bengek lain tetapi aku datang untuk mencari isteriku yang diculik orang. Akan tetapi aku belum begitu kurang ajar untuk mengganggu Iocianpwe sebagai tuan rumah yang hendak melayani tamu-tamunya, maka silakan. Biar aku menanti setelah urusan semua selesai, barulah aku berurusan dengan pcnculik isteriku!"

   Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio tertawa geli.

   "Heh-heh-heh, murid Pak Kek Siansu ini bersemangat juga. Sayang ia terlalu seeji (sungkan) dan mengalah sehingga diinjak-injak orang jahat." Kemudian ia berkata kepada Tiong Jin Hwesio.

   "Sute, lekas kaubereskan orang-orang ini. Pinceng sudah lelah."

   Tiong Jin Hwesio dengan muka sebal dan hilang sabar berkata.

   "Siapa lagi yang masih ada urusan hayo lekas katakan, jangan bikin capai hati orang!"

   Liok Kong Ji melaugkah maju. Dengan senyum cerdik sekali ia berkata.

   "Jiwi Locianpwe tadi menyatakan tidak hendak mencampuri urusan dunia, itu baik sekali. Biarpun kita semua tidak berani minta pertolongan jiwi untuk segala urusan keduniaan. akan tetapi kami sangat mengharapkan agar kelak jiwie memenuhi janji dan tidak turun gunung untuk mencampuri urusan kami."

   "Eh, lancang! Kauanggap kami ini siapa sudi melanggar janji dan kau ini punya hak apa bicara seperti itu?" Tiong Jin membentak.

   "Bagus, locianpwe. Memang aku percaya penuh bahwa locianpwe kelak takkaa melanggar janji. Adapun aku memang hendak mewakili para orang gagah karena ketahuilah bahwa aku pernah mereka pilih sebagai Tung Nam Bengcu dan sekarang setelah Wan Sin Hong tidak berhak menjadi bengcu lagi, aku mewakilkan diri untuk menjadi calon bengcu. Bagaimana, para sobat yang hadir di sini. Setujukah mengangkat siauwte sebagai bengcu?" tanyanya kepada kawan-kawannya.

   Yang hadir di situ sebagian besar adalah kawan-kawan Kong Ji. Maka tokoh-tokoh selatan seperti La Thong Hosiang yang sudah siuman, bersama sute-sutenya dan Nam Kong Hosiang berdua Nam Sion; Hosiang ketua Kaolikung-bio (kelenteng di Bukit Keolikung-san), Heng.tuan-san Lojin, Pak-kek Sam-kui, Bouw Cun beberapa orang ternama lain. serentak menyatakan setuju dengan suara gemuruh.

   "Tidak, kami tidak setuju." Tiba.tiba Bu Kek Siansu berseru keras.

   "Semua tokoh utara tidak setuju kalau Liok-sicu yang menjadi bengcu!"

   "Habis kau mau apa?" Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun naelompat maju di depan Bu Kek Siansu sambil melotot dengan sikap menantang.

   Bu Kek Siansu tidak melayani orang kasar itu, melainkan menghadap Tiong Jin Hwesio dan berkata.

   "Harap locianpwe sudi turun tangan. Liok Kong Ji itu seorang manusia jahat, kalau dia menjadi bengcu, akan celakalah dunia kang-ouw..........

   "

   "Bu Kek Siansu, tak malukah kau memburukkan orang lain di depan umum? Laginya kau lupa bahwa dua orang kakek sakti dari Omei-san sudah berjanji tidak akan mencampuri urusan kita."

   Dengan mendongkol sekali Tiong Jin Hwesio menggerak-gerakkan tangannya.

   "Pergilah kalian urus sendiri persoalan ini, jangan mengganggu kami."

   Liok Kong Ji tertawa bergelak. Tercapailah maksud hatinya, berhasillah tipu maslihatnya walaupun ia tak mungkin dapat mengharapkan bantuan dua orang kakek itu, tetapi sudah berhasil mengikat mereka dengan janji takkan mencampuri urusannya. Kelak dalam penyerbuan tentara Mongol ke selatan, kiranya ia mempunyai senjata janji ini untuk membuat dua orang sakti ini tak berdaya andaikata mereka hendak turun tangan.

   "Cuwi bengyu sekalian, mari kita turun dan jangan mengganggu lagi dewa-dewa Omei-san!" katanya sambil mengajak kawan-kawannya turun dari puncak.

   "Hemm Liok Kong Ji, biarpun akan hancur tubuhku, kelak akulah yang akan menjadi lawanmu," kata Wan Sin Hong dengan suara lantang, akan tetapi Kong Ji hanya tertawa.

   "Jiwi locianpwe harap ingat bahwa anak itu adalah puteraku, jadi kelak aku membawanya pulang."

   "Tutup mulutmu," Sin Hong membentak.

   "Mana buktinya bahwa dia puteramu?" Kong Ji hanya tertawa mengejek lalu pergi dari situ.

   Tiong Jin Hwesio menghela napas, dongkol sekali.

   "Benar-benar hari ini kami sedang sial, didatangi oleh orang-orang dogol, tukang berkelahi. Eh, eh kalian ini masih belum pergi, mau apa lagikah? Apakah masih ada urusan lain? Ini nenek tua bukankah Toat beng-Kui-bo dari Laut Selatan? Hemm, kau sudah tua mau mampus seperti kami masih berkeliaran di sini, mau apakah?" tegur Tiong Jin Hwesio. Terdengar suara ketawa cekikikan ketika nenek mengerikan itu menggerakkan mulutnya. Tiga ekor kelelawar terbang dari tongkatnya ketika nenek itu tertawa, beterbangan di atas kepala nenek itu seakan-akan suara tawa tadi merupakan isarat bagi mereka untuk siap menjaga keselamatan majikan mereka!

   "Hi-hi-hi-hi, Tiong Jin Hwesio dan kau tua bangka Tiong Sin Hwesio tukang tidur! Dari tadi aku heran apakah kalian sudah lupa kepadaku. Kiranya kalian masih ingat. Alangkah sombongnya kalian, makin tua makin sombong sehingga sejak tadi kalian berlaku seolah-olah tidak kena! lagi padaku! Cihh, laki-laki memang selalu berwatak tinggi hati."

   Tiong Sin Hwesio tiba-tiba membuka matanya dia menarik napas panjang.

   "Kau masih sama saja seperti lima puluh tahun yang lalu sedikitpun tidak berobah!"

   Harus diketahui bahwa ketika masih mudanya, Toat-beng Kui-bo adalah seorang wanita yang cantik jelita, oleh karena itu, kini mendengar kata-kata Tiong Sin Hwesio, ia merasa mendapat pujian. Oleh karena itu, kembali mengeluarkan suara ketawa haha-hihi menyeramkan sekali.

   "Hi-hi-hi hi, Tiong Sin Hwesio biarpun sudah tua bangka, tetap saja seorang laki-laki yang pardai mengambil hati! Tiong Sin Hwesio biarpun tadinya aku agak gentar menghadapimu dan berniat mengajak pibu sutemu saja, namun melihat kebaikan hatimu, aku merubah niatku dan sekarang aku ingin mancoba sampai di mana kelihaianmu yang amat disohorkan orang. Orang bilang bahwa ilmu silat warisan Tat Mo Couwsu lebih lihai dari pada warisan Hoat Hian Couwsu. Akan tetapi aku tetap berpendirian bahwa selain dua orang couw-su itu, masih ada ilmu silat lain yang tak kalah hebatnya!"

   Tiong Sin Hwesio merem-melekkan matanya, lalu mengambil napas panjang,

   "Toat-beng Kui-bo, kata-katamu itu benar belaka. Memang banyak sekali ilmu silat dunia ini yang Iihai-lihai dan hebat-hebat akan tetapi sebagian besar adalah ilmu silat yang sengaja diciptakan orang untuk orang-orang jahat. Maka kalau dibandingkan dengan peninggalan cauw-su, ahh, jauh sekali."

   "Pandai kau bicara, orang tua. Coba kau jelaskan, bagai mana bedanya!" nenek itu menuntut.

   "Sute, nenek ini bawel amat. Coba kau menjelaskannya, bukan hanya untuk Toat beng Kui-bo, juga untuk orang yang menyebut diri ahli ilmu silat di sini agar supaya membuka matanya "

   Tiong Jin Hwesio mengangguk, lalu berkata dengan suara lantang.

   "Ilmu silat adalah kelaujutan dari pada ilmu batin. Manusia harus lebih dulu belajar memperkuat batin membersihkan hati dan pikiran. Kalau pikiran dan hati tidak bersih, mana bisa mempelajari ilmu batin untuk mencari Nirwana? Manusia terdiri dari lahir dan batin, keduanya harus maju bersama, tak boleh pincang sebelah. Batinnya saja yang kuat tanpa lahir yang kuat takkan selaras, sebaliknya lahirnya kuat batinnya tidak kuat mendatangkan kekerasan dan penyelewengan. Setelah mempelajari ilmu batin dan sudah memiliki jiwa yang kuat dan bersih, sudah semestinya melatih lahir supaya kuat pula karena sudah menjadi kewajiban setiap mahluk untuk menjaga dan melindungi tubuh sendiri dari bahaya yang mengancam dari luar. Inilah mengapa orang-orang pandai di jaman dahulu menciptakan ilmu silat, diciptakan penuh kesadaran dan kesucian batin, ditujukan dalam mencipta untuk memberi perisai dan pelindung kepada manusia lemah supaya dapat menjaga tubuh. Kemudian oleh orang orang yang bersemangat dan berjiwa besar, malah ilmu ini dipergunakan untuk membantu berputarnya keadilan dan mendorong terlaksananya kebajikan. Akan tetapi, sungguh celaka, banyak sekali disamping ilmu silat yang bersih ini muncul ilmu silat yang dipergunakan untuk mengagulkan diri, untuk menyombongkan diri dan memamerkan kepandaian, untuk berkelahi dan mengalahkan orang lain. Alangkah sesatnya!"

   Setelah Tiong Jan Hwesio berhenti bicara Tiong Sin Hwelio berkata,

   "Nah, kaudengar itu, Toat beng Kui-bo. Pinceng tahu kau berilmu tinggi. Apakah kau masih hendak menantangku mengadu ilmu? Itu tandanya ilmumu sesat."

   "Kakek tua bangka banyak lagak! Aku belajar ilmu untuk dipergunakan, bukan seperti kalian ini belajar puluhan tahun hanya untuk dipakai bekal mampus. Kalau kalian tidak mau melayani aku pibu, juga tidak apa. Akan tetapi segala macam ilmu peninggalan Tat Mo Couwsu dan Hoat Hian Couwsau itu untuk apakah? Lebih baik kalian berikan kapadaku sebelum kalian mampus agar dapat kuperkembangkan dan kuturunkan kepada orang baik."

   Mendengar ini, Tiong Sin Hwesio bergerak dan tahu-tahu kakek tua yang sejak tadi duduk sudah berdiri ke depan Toat-beng Kui-bo. Gerakannya tak dapat dibilang cepat karena ia nampak lambat-lambatan, akan tetapi tak seorangpun dapat melihat kapan dia bangkit dari duduknya!

   "Toat-beng Kui-bo, apakah kau juga seperti orang-orang yang berwatak maling itu? Kitab-kitab pusaka tak boleh diganggu oleh siapa-pun juga. Kau sendiripun tidak boleh" Nenek itu tertawa, memperlihatkan giginya yang jarang dan runcing seperti gigi tikus atau gigi kelelawar.

   "Ini berarti kau mau melayani aku bertanding!"

   "Lebih baik main-main sebentar dengan tulang-tulangku yang sudah lapuk dari pada membiarkan kau mengotori kitab-kitab kami!" kata Tiong Sin Hwesio.

   "Kalau begitu kau terimalah ini!" seru nenek itu dan kedua tangannya yang berkuku panjang itu mendorong ke depan. Gerakannya biasa saja akan tetapi ketika kedua lengan itu menyambar, orang-orang yang berdiri beberapa tombak jauhnya dari tempat itu masih merasai hawa dorongan yang dahsyat! Dan ketika kedua kaki nenek itu berganti-ganti dibantingkan ke tanah, tempat di sekitar itu tergetar seperti gempa bumi.

   Tiong Sin Hwesio menyebut.

   "0mitohud!" dan dengan gerakan sederhana pula ia meluruskan kedua lengan tangannya. Di lain saat dorongan nenek itu sudah diterimanya dan dua pasang telapak tangan itu saling menempel.

   "Omitohud, kau hendak mengadu lweekang. Bagus...... kau takkan menang, Toat-beng Kui-bo.......!" kata Tiong Sin Hwesio sambil tersenyum memperlihatkan mulut yang tak bergigi lagi.

   Yang masih hadir di tempat itu hanya tinggal Sin Hong, Ang-jiu Mo-li dan suami isteri Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong berdua. Mereka merasa kagum bukan main terhadap kakek tua itu. Mengadu tenaga lweekang seperti itu adalah pertandingan yang amat berbahaya. Seluruh perhatian dan tenaga dalam harus dikerahkan kepada telapak tangan untuk mendesak hawa pukulan atau hawa dorong lawan. Akan tetapi kakek itu masih dapat bicara seenaknya!

   Juga Toat-beng Kui-bo terkejut sekali dan menyesal bukan main mengapa ia datang-datang mengadu tenaga lweekang dengan kakek tua yang sudah mau mati itu. Begitu mendengar kakek itu bicara, tahulah ia bahwa tenaga lweekangnya kalah jauh. Namun nenek ini adalah seorang yang terkenal keras hati dan tidak mau kalah. Ia mengerahkan seluruh tenaganya, kedua kakinya berganti-ganti menjejak tanah, dan dari dalam petutnya keluar suara gerengan seperti harimau dan tanah di sekitarya bergerak gerak terkena getaran tenaganya yang dahsyat. Pohon kembang di belakang dua orang kakek itu tergetar dan berhamburanlah bunga dan daun segar ke bawah sehingra sebentar saja pohon itu telah menjadi gundul sama sekali tak berbunga atau berdaun lagi.

   Melihat orang-orang gagah yang hadir di situ kembali terkejut. Harus mereka akui bahwa nenek buruk rupa ini memiliki tenaga lweekang yang lebih tinggi dan pada mereka sendiri. Namun, kakek Tiong Sin Hwcsio masih tampak tenang-tenang saja.

   "Omitohud, Toat-beng Kui-bo, mengapa kau berlaku nekad?. Kau tak kan menang. Tariklah tenagamu dan kau melompat mundur, kita sudahi.saja adu tenaga ini." Akan tetapi-nenek itu bukannya menurut bahkan makin hebat ia mengerahkan tenaganya, sampai uap putih rnengcpul dari kepalanya dan peluh membasahi dadanya.

   Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kau tidak mau mundur baik-baik? Terserah, terpaksa pinceng mcndorongmu mundur. Satu......... dua.......... tiga........!" Tubuh Toat-beng Kui-bo tiba-tiba terlempar ke belakang seperti disambitkan. Baiknya nenek ini lihai sekali.

   Ia cepat mengerahkan ginkangnya, berjumpalitan dan hanya terhuyung-huyung, tidak sampai roboh terlentang. Mukanya pucat, napasnya memburu dan peluhnya memenuhi tubuh. Ia berdiri meramkan mata sebentar untuk mengatur napas. Lega hatinya karena kakek itu ternyata tidak melukainya. Ketika ia membuka matanya, ia melihat Tiong Sin Hwesio masih berdiri. Segera melompat maju dan berkata,

   "Kita masih belum main ilmu silat. Hayo, kaulayani aku barang sepuluh jurus. Kalau dalam adu tenaga lweekang aku kalah, kini aku akan menebus kekalahanku!" katanya menantang.

   Aneh sekali, tubuh Tiong Sin Hwesio gemetar, kedua kakinya menggigil dan suaranya terdengar lemah sekali ketika menjawab.

   "Aku tidak bisa......... tidak mau mengadu ilmu silat dengan kau, ilmu silatmu jahat dan kotor...."

   "Kau takut? Hi-hi hihi, Tiong Sin Hwesio takutkah? Kau mau atau tidak, harus kau layani aku kalau tidak mau kusebut pengecut dan penakut yang ngeri menghadapi kekalahan!"

   "Pinceng bukan takut, kau takkan menang. Muridku saja cukup untuk melayanimu. Tiang Bu""!" Kakek ini menoleh ke arah pondok memanggil muridnya. Dalam suara panggilannya itu terdengar getaran yang aneh sehingga Tiong Jin Hwesio tidak hanya memandang kepada suhengnya itu, bahkan kini menghampirinya dan tanpa berkata sesuatu hwesio jangkung kurus ini menaruh tangan di punggug suhengnya, lalu keningnya berkerut. Sementara itu, Tiang Bu berlari keluar. Pada mukanya masih nampak bekas air mata. biarpun ia merasa sungkan keluar menemui atau menghadapi orang-orang itu terutama sekali Sin Hong, namun tentu saja ia tidak berani membantah panggilan twa-suhunya. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tiong Sin Hwesio, siap menanti perintah selanjutnya.

   "Tiang Bu, seorang jantan pantang mengalirkan air mata keluar." Tiong Sin Hwesio menegur muridnya.

   "Ampunkan teecu, suhu. Hati teecu terasa sakit dan perih, air mata keluar tanpa dapat teecu cagah lagi."

   "Kau sakit hati? Bagus, asal saja jangan kau menjadi buta karena perasaan itu. Tiang Bu, kau akan mewakili pinceng menyambut tantangan untuk berpibu dengan Toat-beng Kui-bo. Beranikah kau?" kata Tiong Sin Hwesio sambil menunjuk ke arah nenek itu. Tiang Bu memandang. Nenek ini rupanya saja sudah demikian mengerikan dan membuat semangat lawan terbang setengahnya, apalagi nama julukannya yang begitu menyeramkan Toat beng Kui-bo yang berarti Iblis Wanita Pencabut Nyawa!

   "Tentusaja teecu akan mentaati perintah suhu, dan teecu tidak penasaran andaikata locianpwe ini benar-benar akan mencabut nyawa teecu," jawabnya.

   Tiong Sin Hwesio tertawa girang.

   "Ha, kau seperti anak itik yang takut air! Akan tetapi lebih baik seperti anak itik takut air dari pada menjadi seperti anak ayam tenggelam di sungai!"

   Perumpamaan anak itik takut air adalah sikap orang yang merendah, tidak tahu akan kepandaian sendiri maka takut-takut seperti anak itik takut air padahal pandai sekali renang! Sebaliknya anak ayam mati di sungai menyindirkan sifat seorang sombong yang tidak insaf akan kepandaian sendiri yang terbatas sehingga ia akan tenggelam dalam kesombongannya sendiri.

   "Tiang Bu, selama aku berada di sini, kau telah mempelajari ilmu-ilmu yang kalau kau pergunakan benar-benar akan dapat mengatasi atau setidaknya mengimbangi kepandaian Toat-beng Kui-bo. Majulah!" Tiang Bu merangkak maju dan berlutut di depan kaki suhunya.

   "Coba kau lakukan Khai-khi-jiu hiat!"

   Sin Hong dan yang lain-lain kagum sekali. Khai-khi-jiu-hiat (Membuka Hawa Melemaskan Jalan Darah) adalah semacam ilmu yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang hanya dapat dilkukan oleh orang yang sudah memiliki sinkang di tubuhnya dan sudah mempelajari dasar ilmu lweekang yang paling tinggi. Khai-khi-jiu-hiat ini biasanya dipergunakan dalam keadaan samadhi untuk menerima sarinya bulan sebagai tenaga Im-kang dan sarinya matahari sebagai tenaga Yang-kang. Apakah benar-benar bocah ini dapat melakukannya? Dan kakek itu menyuruhnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat untuk apakah?

   Setelah Tiang Bu bersila dan melakukan Khai-khi-jiu-hiat, Tiong Sin Hwesio melangkah maju mendekati Tiang Bu, lalu mengangkat kedua tangan ke atas kepala. Tiba-tiba Tiong Sin Hwesio melompat maju dan memegang lengan suhengnya.

   "Suheng, jangan.........!" Hwesio jangkung kurus ini sudah dapat menduga apa yang hendak dilakukan oleh suhengnya maka dengan hati ngeri ia hendak mencegah. Tiong Sin Hwesio tersenyum ramah kepada sutenya itu.

   "Sute, kau sudah dapat mengerti niatku. Memang jalan ini yang terbaik. Ketahuilah bahwa setelah mengadu lweekang tadi, pertahananku melawan datangnya Giam lo ong karena usia tua sudah lumpuh. Kematian sudah di depan mata, mengapa harus mati sia-sia. Lebih baik kuwariskan dia yang kelak harus melanjutkan riwayat kita. Toat-beng Kui-bo berkata benar, sayang pelajaran puluhan tahun dibawa ke lubang kubur begitu saja."

   Tiong Jin Hwesio mengangguk-angguk, tak dapat berkata apa-apa lagi kecuali memandang kepada kakek tua itu dengan pandang mata terharu.

   "Kau mendahului aku, suheng? Terserah sesukamulah....." katanya perlahan sekali.

   "Tiang Bu, bersiaplah kau, buka selebar-lebarnya jalan darahmu!"

   Sambil berkata demikian, kembali Tiong Sin Hwesio mengangkat kedua lengan tangannya ke atas, jari-jari tangan dibuka sepeti hendak mencengkeram sesuatu dari udara. Makin lama jari-jari tangan ini makin tergetar mula-mula hanya jari tangan saja yang bergetar, makin lama menjalar ke lengan, pundak, tubuh dan tak lama kemudian seluruh tubuh kakek itu tergetar hebat. Demikian hebat tenaga getaran sampai-sampai Sin Hong yang sudah tinggi lweekangnya ikut pula tergetar kedua kakinya, seakan-akan tenaga itu menjalar melalui tanah dan udara! Hebat bukan main kakek tua itu ketika mengerahkan seluruh tenaga sinkangnya.

   Mau apakah dia? Sin Hong sendiri tidak dapat menduga kakek ini mau berbuat apa, ia hanya khawatir kalau-kalau kakek ini menyerang orang, kiranya biarpun Tiat beng Kui-bo sendiri takkan mungkin dapat menahan.

   "Terimalah!" Teriakan ini keluar bagaikan jerit mengerikan dari mulut Tiong Sin Hwesio dan tiba-tiba sepuluh jari tangannya bergerak dan memukul ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu!

   "Celaka......." Sin Hong melompat bagaikan seekor burung walet menyambar ke arah kakek itu untuk menolong Tiang Bu. Dengan mcngerahkan seluruh lweekangnya karena maklum akan kelihaian kakek itu. Sin Hong cepat menggunakan kedua lengannya untuk menangkis gerakan ke dua tangan kakek yang memukul ubun-ubun kepala Tiang Bu.

   "Ptak-.....!" terdengar suara keras dan tubuh Sin Hong terlempar jauh kebelakang sampai lima tombak lebih! Baiknya kepandaian Sin Hong sudah tinggi, maka dapat ia mangatur keseimbangan tuhuhnya dan turun ke bumi dalam keadaan berdiri. Namun ia merasa tubuhnya lelah bukan main seperti kehabisan tenaga sama sekali. Seakan akan tenaga sinkangnya terbetot dan terhisap habis ketika lengannya bertemu dengan lengan kakek itu. Kini ia hanya dapat berdiri memandang dengan mata ngeri.

   Setelah teradu dengan lengan Sin Hong lengan tangan kakek itu seakan-akan ditambah tenaga lagi dan kini meluncur cepat ke arah ubun-ubun kepala Tiang Bu tanpa dapat dicegah lagi.

   "Capp.........!" Orang orang melihat seakan-akan sepuluh buah jari tangan itu menancap kepala Tiang Bu yang masih duduk bersila. Tubuh anak itu seperti orang disambar petir, berkelojotan dan rambut kepalanya berdiri semua! Setelah berkelojotan dan matanya mendelik, lalu tubuh Tiang Bu roboh di atas tanah, tak bergerak lagi. Juga Tiong Sin Hwesio jatuh duduk di dekat tubuh anak itu bersila dan tak bergerak seakan-akan tubuh hwesio tua itu sudah menjadi patung. Hanya jenggotnya yang putih panjang saja bergerak-gerak tertiup angin.

   "Suheng.........!" Tiong Jin Hwesio mengeluarkan suara seperti mengeluh kemudian ia merangkap kedua tangan ke dada memberi hormat kepada suhengnya yang duduk tak bergerak itu.

   "Eh, apa apaan ini?" Toat.beng Kui-bo berseru tak senang merasa diabaikan oleh kakek Omei-san.

   "Diamlah, Toat bang Kui-bo!" Tiong Jin Hwesio mernbentaknyn marah. `Tunggu saja sebentar, kalau kau demikian haus berkelahi, murid kami yang akan mewakili suheng mengajar adat kepadamu!"

   Sementara itu, Sin Hong melompat ke dekat Tiang Bu yang menggeletak terlentang di dekat Tiong Sin Hwesio. Akan tetapi ia melompat balik lagi dan matanya terbelalak. Ia tadi hampir saja menyentuh tubuh Tiang Bu akan tetapi cepat ia menjauhkan diri ketika melihat pemuda cilik itu menggerak-gerakkan dua tangan seperti orang kepanasan, mengeluh menoleh ke kanan kiri seperti orang sakit demam.

   Dan dari gerakan kedua tangan Tiang Bu itu menyambar hawa pukulan yang membuat Sin Hong melompat mundur dengan terkejut sekali.

   Ia menoleh ke arah Tiong Sin Hwesio dan". ia segera merangkapkan kedua tangan sebagai tanda penghormatan. Tahulah kini Sin Hong akan keanehan kakek tadi, atau sedikitnya ia dapat menduga apa yang sesungguhnya telah terjadi. Tentu kakek itu telah menurunkan ilmunya yang terakhir kepada Tiang Bu, boleh jadi telah mendatangkan kekuatan hebat pada diri anak itu melalui pukulan tadi. Dan kakek itu telah melakukan ini dengan mengorbankan nyawanya!

   Dugaan Sin Hong memang banyak betulnya. Akan tetapi ia tidak mengetahui hal yang sesungguhnya. Hanya Tiong Jin Hwesio saja yang tahu sejak tadi apa yang dilakukan oleh suhengnya. Ternyata bahwa ketika tadi mengadu lweekang dengan Toat. beng Kui-bo, keadaan Tiong Sin Hwesio sudah payah sekali. Hwesio ini sudah lama menderita sakit tua, usianya sudah terlalu tua dan agaknya ia hanya "menanti saatnya" saja. Kemudian ia ditantang oleh nenek itu sehingga terpaksa turun tangan.

   Tentu saja Toat-beng Kui-bo bukan lawannya dan mudah ia mengalahkan pertandingaa lweekang itu. Namun, tubuhnya yang sudah rapuh itu mana kuat menahan pertandingan lweekang? Segera kakek ini merasa bahwa isi dadanya terluka hebat akibat pengerahan tenaga lweekang dan tahulah ia bahwa ia menghadapi kematian yang tak dapat ditolong lagi. Maka ia lalu mengambil keputusan, mempergunakan saat terakhir itu untuk menurunkan seluruh tenaga sinkangnya kepada muridnya yang terkasih, Tiang Bu.

   Anak ini cerdik sekali dan sudah banyak mempelajari ilmu pukulan yang tinggi-tiuggi. Namun oleh karena tubuhnya masih amat muda dan belum memiliki sinkang yang tinggi apabila bertemu dengan lawan tangguh masih belum dapat diandalkan. Oleh karena itu, di saat terakhir itu ia menyuruh muridnya melakukan Khai-khi-jiu-hiat, kemudian ia melakukan pukulan hebat itu untuk memindahkan tenaga sinkang ke dalam tubuh muridnya.

   Pukulannya tadi adalah semacam pukulan hebat sekali, tidak dikenal oleh ahli silat lain dan merupakan pukulan gaib yang disebut Sin-siang-hoan-kang (Tangan Sakti Memindahkan Tenaga). Pukulan ini kalau dipergunakan untuk menyerang lawan jarang ada lawan dapat menghindarkan diri karena setiap gerak mengandung aliran tenaga sinkang yang luar biasa.

   Akan tetapi kakek itu telah dapat mempergunakan untuk memindahkan tenaga sinkangnya ke dalam tubuh Tiang Bu yang sedang "terbuka," benar-benar hebat luar biasa. Dalam keadaan "terbuka", seperti Tiang Bu tadi, jangankan pukulan sehebat Sin ciang hoan-kang, walaupun pukulan biasa dari seorang ahli lweekeh saja sudah akan mematikannya.

   Baiknya Tiang Bu sudah diberi latihan dasar lweekang dan tubuhnya sudah berisi hawa murni. Maka ia tidak mati oleh pukulan dan biarpun tubuhnya kemasukan tenaga hebat seperti aliran listrik, ia hanya roboh pingsan dan berkelojotan saja. Tak lama kemudian, gerakan kaki tangannya yang seperti orang menghadapi sakratul maut itu makin mengendur akhirnya terhenti dan ia bangkit duduk sambil meramkan matanya. Kepalanya masih puyeng, kedua telingannya mendengar suara "ngiiiiiiiing"...". tak kunjung henti.

   "Tiang Bu, loncatlah berdiri dan gunakan Lo pai-hud (Kakek Menyembah Buddha) ke arah angkasa tiga kali!" terdengar Tiong Jin hwesio berkata kepada muridnya itu. Biarpun kepalanya masih pening, namun anak ini yang selalu mentaati suhunya, tanpa ragu-ragu lagi lalu meloncat berdiri dan melakukan gerak itu memukul udara di atas kepalanya tiga kali dengan kedua mata masih meram.

   "Krotok......... kratok......... krekkk.........! Terdengar bunyi di seluruh bagian tubuhnya ketika ia melakukan tiga kali pukulan udara kosong itu, dan......... Tiang Bu baru membuka mata dan tersenyum memandang suhunya.

   "Suhu, aku merasa segar sekali!"

   "Tiang Bu, sekarang kau bersiaplah menghadapi tantangan Toat-beng Kui-bo sebagai wakil guru-gurumu."

   Tiang Bu kaget bukan main mendengar kata suhunya ini sehingga tak terasa ia memandang. Akan tetapi gurunya itu tidak main-main, bahkan menatap wajahnya penuh ketegasan. Ia tidak berani membantah, lalu bangun berdiri, menjura kepada suhunya, berkata.

   "Baik suhu," lalu menghampiri Toat beng Kui-bo.

   "Nenek tua, aku datang mewakili guru. guruku. Kau mau memberi pelajaran cepatlah bergerak." katanya, suaranya membayangkan kenekadan. Memang hati Tiang Bu amat perih karena peristiwa tadi, batinnya masih sakit sekali kepada Liok Kong Ji yang sikapnya mendatangkan benci dan yang mengakuinya sebagai putera dan juga ia merasa sakit hati kepada Wan Sin Hong yang menutup rahasianya. Oleh karena merasa hancur hatinya mendengar bahwa ia bukan putera ayah bundanya di Kim-bun-to, ia menjadi sedih dan nekad. Dia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya ketika ia "dipukul" pingsan oleh Tiong Sin Hwesio tadi.

   Toat beng Kui-bo adalah seorarg sakti yang tinggi ilmu silatnya. Tentu saja setelah hilang kaget dan herannya, seperti Sin Hong iapun dapat menduga apa yang tadi dilakukan oleh Tiong Sin Hwesio yang kini bersila dalam keadaan tak bernyawa lagi itu. Ia tersenyum sindir lalu tertawa cekikikan menyeramkan sekali.

   "Hi hi-hi-hi, Tiong Sin Hwesio tua bangka yang sudah tahu nyawanya akan terbang, lalu mengoperkan segalanya kepada bocah ini masih mending. Akan tetapi Tiong Jin Hwesio tidak malukah kau bersembunyi di balik bocah goblok ini untuk menutupi kegentaranmu. Majulah sendiri jangan mengirim bocah ini ke neraka menyusul suhengmu."

   "Nenek tua ngacaubalau! Kau tidak saja menghina ji-suhu. bahkan kau menghina twa-suhu. Siapa bilang twa-suhu sudah meninggal lihat dia masih bersila dan tidak mati. Kau benar-benar perlu diusir dari sini!" Setesai memaki demikian, Tiang Bu rnelompat ke arah nenek itu dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.

   Tiang BU merasa kaget sendiri. Memang ia sudah memiliki ginkang yang tInggi bahkan dapat dengan baik melakukan ilmu lompat Liap in sut (Ilmu Mengejar Awan) akan tetapi kali ini begitu ia menggerakkan kedua kakinya tubuhnya melesat bagaikan didorong orang dari belakang. Ia mengira tentu suhunya yang membantunya, maka hatinya besar lagi dalam melakukan penyerangannya kepada nenek yang menakutkan ini.

   Toat-beng Kui-ho tertawa mengejek.

   "Kau seperti burung baru tumbuh sayap...." Akan tetapi kata-katanya terputus dengan terpaksa karena tahu-tahu pukulan anak itu sudah mendekati dadanya dan didahului angin pukulan yang kuat sekali. Cepat nenek ini mengangkat lengan menangkis dan untuk kedua kalinya ia terkejut karena lengan tangannya tergetar hebat. Sebaliknya Tiang Bu juga merasa lengannya tergetar, akan tetapi hanya sebentar, Dari dalam perutnya naik semacam hawa panas yang mengalir ke lengaan yang membuatnya merasa kuat sekali. Sebelum tubuh turun ke atas tanah, ia telah dapat manggerakkan tangan kanan menampar pundak kiri Toat beng Kui-bo. Gerakan ini bukan tamparan biasa karena sekali menampar ia telah mengancam tiga pusat jalan darah terutama di tubuh bagian atas.

   "Hayaaaa".!" Toat-beng Kui-bo menjerit dan cepat ia mengeluarkan gerakan ilmu silatnya yang aneh. Kedua tangannya ying seperti cakar ayam itu mencakar ke depan yang kiri mengejar gerakan tangan Tiang Bu, yang kanan mencakar ke arah muka bocah itu. Perlu diketahui bahwa kuku-kuku tangan nenek ini mengandung hawa pukulan beracun yang amat lihai, yaitu racun kelelawar yang selalu mengawaninya. Jangankan kuku-kuku itu sampai masuk di daging lawan, baru menggurat kulit saja sudah cukup membuat lawan roboh binasa!

   Akan tetapi Tiang Bu sudah mempelajari banyak gerukan ilmu silat yang amat tinggi. Sebelum ia berlatih di bawah pengawasan dua orang kakek sakti Omei-san itu, diapun sudah paham Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang hebat dan cukup kuat untuk menghadapi tokoh-tokoh besar, serta sudah ahli malakukan gerakan kaki Lam-hoan.sam-hu untuk membebaskan diri dari segala macam serangan aneh. Cuma saja, kepandaiannya itu dahulu masih belum masak, belum kuat dasarnya.

   Apalagi dia masih belum memiliki sinkang, maka tentu ia takkan menang kalau menghadapi lawan tangguh. Sekarang lain lagi, di luar pengetahuannya sendiri, anak ini sudah memiliki lwee-kang yang tiada taranya di dalam tubuhnya, warisan dari twa-suhunya. Sayang ia selain belum mengetahui akan hal ini, juga belum biasa mempergunakan sinking dengan sebaiknya. Begitu melihat bergeraknya kedua tangan lawan, Tiang Bu cepat mengangkat tangan kiri, dengan jari telunjuknya ia melakukan sentilan ke arah pergelangan tangan itu.

   Inilah gerakan dari It-ci-tia:n-hoat (Menotok Satu Jari) dan tangan kanannya tetap saja melakukan serangan. Ketika hendak dicakar, tangan kanannya itu otomatis mengelak sambil melanjutkan serangan.........

   "kokk!" leher nenek itu telah kena dipukul dengan jari-jari miring. Nenek itu mengeluh, tubuhnya terhuyurg huyung sampai lima tindak. Inilah hebat! Tadi melihat datangnya pukulan yang tak mungkin dapat dihindarkannya lagi, ia sudah bersiaga. Dengan pengerahan tenaga Chian-kin jat (Tenaga Seribu Kati) ia menanti datangnya serangan anak itu sambil dia diam-diam mentertawai Tiang Bu karena sudah banyak orang gagah berjungkir balik roboh memukul nenek yang mengerahkan tenaga hebat ini.

   Akan tetapi. alangkah kagetnya ketika tangan bocah itu mengenai lehernya ia merasa jalan pernapasan di lehernya seperti dicekik setan dan tubuhnya terhuyung tak dapat ditahan lagi! Masih baik bahwa tubuhnya terhuyung dan ia tidak mengerahkan tenaga pada kedua kakinya. Kalau sekiranya demikian tentu pukulan itu datangnya akan lebih hebat dan sangat boleh jadi tulang lehernya akan remuk.

   Kejadian ini benar benar hebat dan luar biasa. Toat-beng Kui-bo adalah seorang yang kepandaiannya amat tinggi dan tenaga lweekangnya sudah sampai di puncak yang amat tinggi. Biarpun harus ia akui bahwa semua kesalahannya itu memang sebagian besar karena kesalahannya sendiri, yaitu terlalu memandang rendah lawan, namun seorang bocah seperti ini dapat memukulnya sampai sedemikian benar-benar hampir tak dapat dipercaya.

   "Setan iblis anak haram, kau ingin mampus?" bentak Toat-bong Kui-bo yang merasa tersinggung kehormatannya sebagai seorang datuk persilatan. Tongkatnya diputar sampai berubah menjadi sinar hitam bergumpal-gumpal menyilaukan dan menggelapkan pandangan mata. Akan letapi pada saat itu terdengar Tiong Sin Hwesio berseru kaget.

   "Celaka, penjahat membakar gedung kitab......!!" Ketika semua orang memandang, benar saja pondok itu bagian belakangnya sudah menjadi lautan api dan di antara asap dan api itu berkelebatan beberapa bayangan orang.

   "Tiang Bu! Bantu pinceng menangkap pcnjahat dan melindungi kitab.kitab!" seru Tiong Jin Hwesio. Akan tetapi pada saat itu, Tiang Bu sedang memandang ke arah Tiong Sin Hwesio yang kini sudah rebah terlentang dengan muka ditutup kain. Ia tidak tahu bahwa tadi Tiong Jin Hwesio merawat janazah suhengnya yang sudah mulai mendoyong letak duduknya dan membaringkan jenazah itu dengan baik di atas tanah serta menutupi muka itu dangan kain. Kini Tiang Bu tidak memperdulikan seruan Tiong Jin Hwesio, bahkan tidak perdulikan gurunya itu berlari ke arah tempat kebakaran.

   Anak itu sebaliknya lari menghampiri tubuh suhunya, berlutut dan menyingkap kain pcnutup muka. Melihat muka suhunya pucat kebiruan dan tak bergerak lagi, ia kaget bukan main. Apa lagi setelah ia menjamah tangan gurunya itu dan mendapatkan bahwa kakek ini sebcnarnya telah putus nyawanya. Tiang Bu lalu menangis mengggerung-gerung.

   Kebakaran itu merubah keadaan di depan pondok. Toat-beng Kui-bo tiba-tba lupa kepada Tiang Bu dan sambil mengeluarkan suara ketawa cekikikan, ia menutulkan tongkatnya di atas tanah dan tubuhnya berkelebat menengejar Tiong Jin Hwesio.

   "Toat bcng Kui-bo, berhenti dulu" Tubuh Sin Horg berkelebat dan cepat sekali ia mengejar Toat-beng Kui-bo.

   Juga Ang jiu Mo-li sambil menggandeng dua orang muridnya telah pergi dari situ, demikian pula Pek-tbow-tiauw-ong Lie Kong betsama isterinya saling pandang dan cepat mcnyusul orang.orang itu menuju ke tempat kebakaran. Mudah saja diduga niat mereka. Tentu akan mcncoba-coba barangkali mereka dapat memperoleh sebuah dua buah kitab pusaka.

   "Tiang Bu.........! siniii.........!!"

   Teriakan dahsyat dari Tiong Jin Hwesio ini menyadarkan Tiang Bu. Bocah ini mendengar suara ji-suhunya seperti orang minta tolong. Cepat ia menutupkan kain di atas muka suhunya yang sudah mati itu dan menggerakkan tubuh, ia telah melesat cepat sekali ke arah suara itu. Untuk kedua kalinya ia merasa heran atas keringanan tubuhnya sendiri. Akan tetapi ia tidak ada tempo lagi untuk banyak berpikir akan hal ini. Ketika ia tiba di tempat itu, yaitu di belakang pondok, di situ telah terjadi pertempuran hebat.

   Bagian yang lerbakar adalah di sebelah kamar kitab dan kini api sudah mulai membakar gudang kitab di mana terdapat ratusan buah kitab kuno dari macam-macam pelajaran. Dan di luar tempat kebakaran itu. di sana-sini menggeletak tubuh orang yang sudah menjadi mayat. Pek-thouw-tiauw.ong Lie Kong yang beradu punggung dengan isterinya, bertempur melawan enam orang yang tak dikenal oleh Tiang Bu. Kalau saja dua ekor burung rajawali mereka tidak membantu, tentu suami isteri ini akan terdesak hebat. Agaknya beberapa pengcroyok tadi telah tewas oleh dua cakar burung itu, terbukti adanya tanda-tanda darah pada paruh dan cakar mereka dan di dekat tempat itu terdapat beberapa orang yang kepalanya dan mukanya pecah-pecah penuh darah.

   Di lain bagian, Ang.jiu Mo-li juga mangamuk. Tokoh utara ini mainkan pedang yang bersinar merah, tangan kirinya juga memukul-mukul, bahlcan kadang-kadang tangan kirinya menyebar pat-kwa-ci, senjata rahasianya yang mengintai nyawa para pengeroyoknya. Ia dikeroyok oleh empat orang yang kosen juga.

   Tak jauh dari situ, Toat-beng Kui-bo bertempur melawan Sin Hong dan dua orang tak terkenal membantu Sin Hong mengeroyok nenek itu. Yang mengherankan hati Tiang Bu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya yang semua berpakaian seperti orang-orang asing dan melihat pakaian mereka, mudah duga bahwa mereka itu adalah orang-orang segolongan yang entah datang diri mana.

   Akan tetapi ia tidak dapat memperhatikan terlalu lama karena segera ia melihat gurunya tengah dikeroyok oleh tiga orang. Orang pertama adalah seorang tosu berkaki satu, yang luar biasa lihainya. Orang ke dua ia kenal yaitu Bu-tek Sin-ciang Bouw Gun dan orang ke tiga membuat Tiang Bu marah bukan main karena orang ini adalah Liok Kong Ji yang mengaku berjuluk Thian-te Bu-tek Taihiap mengaku pula sebagai calon bengcu seluruh dunia dan paling celaka mengaku sebagai.. ayahnya!

   Keadaan Tiong Jiu Hwesio payah sekali Tangan kiri hwesio jangkung kurus ini memeluk tiga buah kitab dan ia menghadapi tiga orang lawannya hanya dengan sebelah tangan, namun ia terdesak hebat. Terutama sekali tosu buntung kakinya itu lihai bukan main, sedangkan Bouw Gin dan Liok Kong Ji juga bukan orang-orang lemah. Jelas sekali bahwa Tiong Jin Hwesio sudah terluka hebat.

   Tanpa membuang banyak waktu lagi, Tiang Bu mengeluarkan suara bentakan dan cepat menyerbu, membantu suhunya. Karena ia paling benci kepada Kong Ji yang mengaku-aku sebagai anaknya, Tiang Bu menyerang Kong Ji dengan memukulkan tangan kanannya ke dada orang itu.

   Liok Kong Ji adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia adalah ahli ilmu-ilmu keji seperti Ilmu Pukulan Tin-san-kang (Pukulan Merobohkan Gunung) yang lihai dari Giok Seng Cu, Hek-tok-ciang ( Tangan Racun Hitam) dari See thian Tok-ong, bahkan ia paham pula Thian-bong-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Angin Taufan) yang dipelajarinya dari Hwa I Enghiong Go Ciang Lee dahulu. Di samping ilmu-ilmu hebat ini, ia masih memiliki banyak macam ilmu silat yang lihai dan ganas. Oleh karena itu, tentu saja ia memandang rendah kepada Tiang Bu. Akan tetapi oleh karena ia tahu bahwa bocah ini adalah puteranya, ia tentu saja tidak mau mencelakai Tiang Bu. Pukulan bocah itu diterimanya dengan tangkisan pelahan agar jangan sampai ia melukai tangan bocah itu.

   Akan tetapi ia kccele dan alangkah terkejutnya ketika belum juga tangan Tiang Bu mengenainya, hawa pukulan yang menyambar keluar dari tangan anak itu sudah terasa olehnya, kuat sekali! Kedua lengan bertemu ".. Kong Ji mengeluarkan seruan kaget dan tak dapat ditahan lagi ia terjengkang roboh ketika Tiang Bu yang cepat sekali gerakan tangannya telah merobah serangannya yang tertangkis tadi menjadi dorongan. Dengan gemas Tiang Bu melompat mendekati dan hendak mengirim pukulan pula. Kong Ji menyesal sekali mengapa tadi ia memandang ringan bocah ini sehingga saking kurang hati-hatinya ia kena dorongan roboh. Ia melihat sinar maut di dalam pandang mata anak itu dan serangan yang datang bukan main cepatnya.

   

Pendekar Budiman Eps 12 Pedang Penakluk Iblis Eps 26 Pedang Penakluk Iblis Eps 26

Cari Blog Ini