Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 16


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




   Hebat bukan main ilmu pedang nona ini. Dalam segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya, masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat berbahaya. Segera terdengar pekik kaget dan kesakitan. Ternyata yang menangkis serangan ini merasa tangannya tergetar, hanya Lu-piauwsu seorang yang dapat mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui, terhuyung-huyung sambil memegangi lengannya yang terluka dan hampir putus!

   "Hati-hati, bantu saja aku," seru Lu-Tiang Sek sambil memutar goloknya dengan pengerahan tenaga dan kepandaian, karena maklum bahwa lawan ini biarpun seorang gadis muda namun memiliki kiamsut yang lihai sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan kiri dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Sek sehingga setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga batang golok. Dengan cara demikian untuk sementara mereka dapat menahan gadis berpakaian pria itu.

   Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal roboh dari atas kereta, pundaknya ditembusi sebatang piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil tertawa cekikikan.

   Kembali seorang pengeroyok roboh tercium ujung pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok sehebatnya, namun sia-sia, dengan tusukan indah gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut terlepas sambungannya karena tendangan nona itu.

   "Tahan dulu!" seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak merampok.

   "Tahan senjata!"

   "Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?" tanya gadis berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya dipalangkan di depan dada.

   "Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang biasanya menyerah sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah.

   "aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini dan mengapa kalian memusuhi kami!"

   "Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada perlunya kami memperkenalkan nama. Akan tetapi oleh karena aku tidak ingin kaubilang kami takut kepada Siang-kim-sai, kauketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin dan kami membutuhkan isi peti berukir Kilin."

   "Mengapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin hendak menjadi perampok?" tanya Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (Dewa Sungai Huangho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak sungai. Gadis berpakaian pria itu tertawa, manis sekali.

   "Ketahuilah, piauwsu yang hanya bekerja untuk uang. Benda-benda ini adalah hasil korupsi dan hasil curian dari pembesar jahanam she Kwee itu. Setelah berhenti dari jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang ke tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."

   Lu Tiang Sek meringis.

   "Kami hanya piauw su yang melakukan tugas, Mena kami tahu asal usul barang orang? Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami kawal, itu baru berarti kami tidak patut menjadi piauwsu. Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi mau ambil apa saja."

   "Cih, aku disuruh memandang mukamu" Piauwsu kampungan, jangan banyak cerewet. Kauberikan tidak peti itu?"

   "Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan!" jawab piauwsu tua itu gagah.

   "Bagus, kan rebahlah!" Gadis itu menyerang dengan hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan ujungnya sampai tergetar menjadi empat lima buah, melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan sinar gemerlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat golok menangkis sekuat tenaga.

   "Tringg...........! Tringg...........!" Dua kali goloknya dapat menangkis, namun pedang itu selaIn berpindah-pindah, begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya, membuat pauwsu tua itu bingung dan tahu-tahu ujung pedang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek terjungkal dan pingsan.

   "Moi-moi, lekas kita bongkar peti...," kata wanita gagah itu kepada adiknya, tetapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi kaget ketika melihat kereta itu bergerak maju dan di tempat duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.

   "Bocah gunung, kau menggelundunglah turun!" seru gadis berwajah manis sambil mengayun tangannya, Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir itu. Si dara manis sudah tersenyum-senyum menanti pemuda itu terjungkal dari atas kereta, dan bersama cicinya ia melompat-lompat menghampiri kereta. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika melihat pemuda itu tidak jatuh terjungkal, malah kereta itu mulai bergerak cepat ditarik oleh empat ekor kuda.

   "Kurang ajar, kau mesih belum menggelundung turun?" gadis manis itu berseru marah dan heran. Apakah sambitannya tadi luput? Mustahil, jelas ia lihat piauw yang ia sambitkan tadi mengenai dada pemuda itu. Mengapa tidak terjungkal ke bawah? Apakah.......... tahu-tahu piauwnya telah mencabut nyawa pemuda itu dan membuat ia mati di tempatnya? Demikian pikir gadis itu sambil lari mengejar. Setelah dekat, gadis itu mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam kereta melalui pintu sutera.

   Ketika gadis yang muda melompat ke atas kereta, tiba-tiba pemuda kusir yang bukan lain adalah Tiang Bu itu, mengayun cambuk di tangannya.

   "Tarr..........!" dan betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan cambukan ini.

   "Bret"..........!" pakaiannya di sekitar pinggang robek dan kulit pinggangnya lecet-lecet. Biarpun
(Lanjut ke Jilid 16)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 16
hanya cambuk, namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali. Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu! Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa ia menyambut dengan tangannya dan........... karena gadis itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!

   "Kau......... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu aturan......!" Gadis itu menjadi lemas dan pingsan! Dapat dibayangkan betapa terguncang perasaannya ketika gadis itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan pemuda itu dan??. sebagian pakaiannya robek-robek di bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.

   Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah tahu-tahu memangku seorang gadis namun ia dapat mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan menyuruh binatang-binatang berhenti.

   Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan letaknya karena bagian pinggangnya sudah putus, tiba-tiba terdengar bentakan.

   "Manusia hina, kau apakan adikku?"

   Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia mengelak dan tangannya menyampok. Terdengar seruan kaget dan gadis berpakaian pria yang menyerangnya meloncat ke belakang dengan muka berubah. Sampokan tangan Tiang Bu pada pedangnya membuat pedang itu hampir terlepas dari pegangan. Hal ini belum pernah ia alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini berdiri melongo.

   Tiang Bu tersenyum.

   "Kau tak usah bingung. Adikmu tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas hadiahnya itu dengan sekali cambukan pada pinggangnya. Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa kuturunkan."

   Gadis itu cepat membungkuk dan memeriksa adiknya. Hatinya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk. Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman kembali dan begitu siuman melihat Tiang Bu berdiri tak jauh dari situ, ia melompat marah.

   "Moi-moi?? hati-hati pakaianmu........!" seru cicinya dan gadis manis yang galak itu cepat-cepat memegangi pakaiannya yang hampir saja merosot turun karena tidak ada ikat pinggangnya lagi! Tiang Bu menahan ketawanya menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan kedodoran.

   "Cici, kau balaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali. Dia mencambuk pinggangku!"

   "Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan piauw?"

   "Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici lekas kauserang dia dengan pedangmu!"

   "Tidak ada waktu, mot-moi. Mari kita pergi!"

   "Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan orang kan malu!" kata Tiang Bu sambil membalikkan tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.

   "Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku!" Lagi-lagi gadis manis itu merajuk, kini dengan mulut hampir mewek,

   "Biar lain kali kita mencari dia, moi-moi. Sahabat, siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu untuk membikin perhitungan!" tanya gadis cantik berpakaian pria.

   Tiang Bu menjura.

   "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?"

   "Cih, tak tahu malu?" gadis berwajah manis itu menyemprot.

   "Tanya-tanya nama gadis mau apakah? Laki-laki ceriwis, Mari pergi, cici!" Dengan tangan kiri memegang pakaian di bagian pinggang supaya tidak melorot dan tangan kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa adiknya ke tempat kuda mereka berada.

   "Tidak memberi tahu juga baik." Tiang Bu mengomel.

   "Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik tukang rampok!" Kani gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan menoleh. Senyum dan kerlingan manis sekali.

   "Saudara Tiang Bu, namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian." Setelah berkata demikian, ia mengajak adiknya melompat ke atas kuda dan di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali pergi dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah bungkusan kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti Teratai Putih. Nama-nama yang bagus, seperti orangnya akan tetapi betul-betulkah itu nama mereka? Mengapa tidak pakai she? Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan nama sendiri yang di perkenalkan tanpa she pula. Ia tersenyum. Mudah saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin.

   Ia lalu meruntun kuda-kuda yang menarik kereta itu, dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta mereka dituntun kembali oleh seorang pemuda tanggung yang tidak mereka kenal.

   "Nih, terima kembali keretamu,? kata Tiang Bu.

   "Baiknya aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia tertawa.

   Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini. Tiang Bu tidak mau menyebutkan namanya.

   "Untuk apa namaku? Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima kembali kereta, cukup kan?"

   Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia mengeluarkan keruan kaget.

   "Celaka! Peti sepasang Kilin titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya lenyap!"

   Seruan ini membuat Tiang Bu kaget setengah mati. Bukan kaget karena hilangnya benda itu, akan tetapi terutama sekali kaget mendengar disebutnya nama Pangeran Wanyen Ci Lun.

   "Apa kau bilang? Siapa punya yang hilang?"

   "Sahabat, kaulihat sendirilah," kata Lu Tiang Sek sambil membuka tirai. Betul saja sebuah peti hitam yang indah, berukirkan sepasang Kilin di atas tutupnya, telah terbuka dan isinya lenyap.

   "Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap!" Ia membanting-banting kaki.

   "Tentu mereka yang ambil....." kata Tiang Bu perlahan, masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanyen Ci Lun bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga pada pembesar she Kwee itu?

   Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawannya memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga mereka mulai mengurungnya.

   "Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan mereka?"

   "Ya, habis mengapa?"

   "Kalau kau kenal baik berarti kan sudah bersekongkol dengan mereka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah pembantu mereka!"

   "Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta. Kalau aku tahu........... hemm, tentu kuminta barang itu kembali."

   "Siapa namamu? Kami harus menangkapmu sebagai saksi..........." kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat pemuda itu telah melompat jauh dari tempat itu, hanya terdengar suaranya meninggalkan pesan. ?Kalian cari sendiri, aku tidak bersekongkol dengan mereka!"

   Tiang Bu cepat sekali mengejar dua orang gadis yang telah lama melarikan diri menunggang kuda tadi. Kini teringatlah Tiang Bu akan bungkusan bungkusan yang dibawa oleh dua orang gadis itu. Mengapa ia begitu bodoh? Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerargnya di atas kereta, tentu gadis ke dua, yang berpakaian pria dan lebih tinggi kepandaiannya, mempergunakan kesempatan itu untuk memasuki kereta dan membuka peti mengambil isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia harus mendapatkannya kembali. Inilah pembuka jalan baginya untuk menghadap pangeran itu.

   Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari penyelidikannya ia tahu bahwa, dua orang gadis yang dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota ini. Cepat ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan kepandaiannya yang tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng dan berlari-lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel Peng An.

   Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An bahwa dua orang gadis itu bermalam di kamar bagian belakang. Dengan tubuh ringan Tiang Bu menuju ke bagian ini. Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk bercakap-cakap di dalam kamar, agaknya memang tidak akan tidur malam itu.

   "Cici, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong ini....

   " terdengar Ang Lian berkata perlahan.

   "Hush, untut apa? Paling-paling isinya seperti yang kita lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemerasan dari rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu kalau-kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong ini."

   "Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet hitam itu.........."

   "Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid orang sakti, aku mempunyai dugaan bahwa dia itu biarpun kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar........"

   Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar, mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali kalau saja kelihatan. Ang Lian tertawa cekikikan.

   "Hi hi hi agaknya cici tertarik hati kepadanya, ya? Awas, kuberi tahu pada ayah nanti......

   "

   "Kurang ajar, mulutmu benar jahat! Awas kau, sekali lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"

   "Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik engkau mana sudi dengan pemuda muka monyet itu? Eh, cici, bunglutan yang satu ini agak lain, lebih ringan akan tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh. Aku ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian membuka ikatan mulut bungkusan itu. Kini perhatian Tiang Bu dicurahkan ke bawah lubang kecil dari mana mengintai. Bungkusan itu dibuka dan terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba terdengar suara.

   "kok! kok! kok!" yang keras sekali.

   "Cici, cepuk ini ada kodoknya!"

   "Moi moi, cepat tutup kembali......! Awas jangan sampai ia terlepas!"

   "Gila betul, mengapa kodok saja disimpan? Dan dalam cepuk emas berukir begini indah?"

   "Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh? Di dalam istana kaisar terdapat banyak barang-barang pusaka. Kalau aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di antara banatang-binatang ajaib yang dapat dipergunakan sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh lebih berharga dari pada semua barang permata atau emas."

   "Dan ini, apakah ini........? Eh, eh, eh, mengapa tanganku terbetot........!" Ang Lian memegang sebuah benda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan, akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya terbetot dan nempel pada benda hitam itu.

   "Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang sering kali disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah pasti akan girang sekali melihat serous popwee (jimat) ini!"

   Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil bercakap-cakap lirih. Tiang Bu manjadi serba salah. Ingin turun tangan merampas kantong-kantong itu, tentu akan menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja. Menjelang pagi, dua orang gadis itu meninggalkan kamar dengan jalan melompati jendela, terus menuju ke kandang kuda. Tiang Bu maklum bahwa mereka tentu akan pergi pagi-pagi sebelum orang-orang lain bangun.

   Benar saja, tak lama kemudian dua oran gadis itu melarikan kuda mereka keluar kota menuju ke utara. Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan satu dengan sambungan tali panjang dan tali ini digantungkan di pundak sehingga dua buah kantong itu tergantung di depan dan belakang.

   Dapat dibayangkan betapa kagetnya dua orang gadis ini ketika tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang gesit sekali muncul di depan mereka. Sekali menggerakkan kedua tangannya dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang. Tentu saja dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat menekan kuda mereka. Lapat-lapat mereka melihat pemuda yang bernama Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat bungkusan-bungkusan itu telah direnggut dari pundak mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekali dan pada saat mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka tidak sempat mencegah. Ketika mereka berseru kaget, pemuda itu telah lari cepat ke utara!

   "Maling busuk bertenti kau!" teriak Ang Lian marah sekali dan dua tangannya diayun.

   "Serr...........! Serr...........!" Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.

   "Plak-plak" Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggungnya dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong-kantong mereka, cepat mereka mengeprak kuda dan membalapkan kuda tunggangan mengejar. Namun, ginkang dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya. Ilmu lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri. Hanya sayangnya Tiang Bu belum lama mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki sepuluh bagian atau seluruhnya, kiranya kecepatan kuda-kuda istimewa dari utara sekali pun belum dapat menyusulnya.

   Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih membalap mengejar terus. Akan tapi Tiang Bu juga tak dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah mempermainkan dan berlari seenaknya.

   "Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba-tiba terdengar suara Pek Lian.

   "Kalau kau memang laki-laki sejati, jangan main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!"

   Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan larinya, membalikkan tubuh menanti datangnya dua dara itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu melompat turun dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirinya, Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya marah akan tetapi, hanya kelihatan dari sinar matanya saja.

   "Tentu saja aku laki-laki sejati karena bukan seorang wanita yang menyaru laki-laki," kata Tiang Bu sambil memandang kepada Pek Lian. Entah mengapa. Tiang Bu merasa senang sekali menggoda wanita, perasaan suka menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan atau dicegahpula. Ia mempunyai perasaan suka mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati nuraninya membatasi dirinya dalam godaanini, dan karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan hati bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.

   Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian menjadi tertegun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak dapat menahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.

   "Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benar-benar sudah bosan hidup! Hayo serahkan empat bungkusan itu berikut kepalamu!" Sambil terkata demikian, Ang Lian mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.

   "Hayaaa......!" Sambil tertawa-tawa Tiang Bu mengelak ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya.

   "Galak amat! Kau ini bocah perempuan berani main-main pedang tajam, apa tidak takut, nanti mengenai baju sendiri sehingga robek?"

   Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin, betapa pakaiannya sampai kedodoran, bahkan ia sampai terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.

   "Tikus sawah, mampus kau!" makinya dan pedangnya berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san, maka selalu sambaran pedangnya hanya mengenai angin saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.

   "Tringg.....!" Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian, pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat itu terpental membalik dan menyerang pundak sendiri.

   "Brett!...........! Ayaaaaa........!!" Ang Lian menjerit dan melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih untung baginya bahwa dalam menyentil pedang tadi Tiang Bu masih ingat dan tidak bermaksud mencelakainya. Kalau sentilan itu dirubah arahnya dan pedang bukan membalik ke pundak melainkan ke dada atau perut, tentu lain lagi akibatnya. Kini yang terobek oleh ujung pedang hanya pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian kaget setengah mati.

   "Apa kataku tadi? Bocah perempuan kecil tidak baik bermain-main pedang, seharusnya bermain pisau dapur membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.

   "Tiang Bu manusia sombong, kau terlalu menghina orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan pukulan. Gerakan tangan kiri itu adalah gerakan yang disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), sedangkan pedang itu melakukan serangan dengan gerak tipu Bi-li-tauw-su (Gadis Cantik Menenun). Sekaligus dapat mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan ilmu tangan kosong, benar-benar sudah membuktikan kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan serangan berantai, jadi memang sudah terlatih menggunakan serangan berganda, setiap serangan didahului oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan mengagumkan.

   "Pantas dia bisa membongkar peti tanpa kuketahui, kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya....." pikir Tiang Bu yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendo-rongkan tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.

   Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan, cepat ia menarik pulang kepalan tangannya dan dua kali melangkah maju ia sudah mengirim serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bi-li-hoan-mo (Gsdis Cantik Menukar Payung) sedangkan kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siu-ko-hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakan-gerakannya cepat namun indah sekali,. lemah gemulai seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulang-tulangnya!

   Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini. Ia sengaja menyambuti dua serangan itu dengan kedua tangannya pula. Tangan kirinya dibuka jarinya dan melakukan gerakan menyampok pinggiran pedang, sedangkan tangan kanan memapaki cangkeraman gadis itu, menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke pinggir hanya mencong dan menyeleweng saja, tidak membalik seperti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu dekat pergelangan kena dicengkeram.

   Pek Lian menjadi kaget setengah mati. Jarang ada orang berani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jari-jari tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah gerakan dari Ilmu Mencengkeram Liong jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi mengapa setelah mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah tenaganya dan cengkeraman itu hanya berubah menjadi semacam cubitan tak berarti saja?

   "Aih...aih?., bertempur ya bertempur, tapi jangan main cubit, eh...........!" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.

   Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi ketika Ang Lian tertawa kecil ditahan-tahan di belakangnya, lalu berkata lirih.

   "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?"

   Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak lagi, kini melakukan serangan-serangan nekat dan berbahaya sekali. Mendengar suara sultan ini. Ang Lian menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya marah sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya pula membantu saudaranya mengeroyok Tiang Bu.

   Tiang Bu memang tidak berniat melukai dua orang dara ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang, tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang jauh lebih tinggi dari pada Pek Lian.

   "Ceng moi datang....... bagus.....!" seru Ang Lian ketika mendengar suitan tadi.

   Tiang Bu merasa sudah cukup menggoda maka iapun melompat mundur dengan cara terus lari ke utara. Dua orang gadis itu mengejar, akan tetapi mana mereka dapat melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya? Di atas kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari cepatnya dan mereka hanya mengejar dengan berlari saja. Sebentar saja mereka tertinggal jauh.

   Dari arah depan terdengar derap kaki kuda dan muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat sekali yang berlari seperti terbang cepatnya di tengah tengah debu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk seorang gadis muda berusia antara lima belas tahun, tubuhnya kecil ramping dan mukanya ayu dan angker seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang sebatang ranting yang agaknya dipergunakan sebagai cambuk.

   Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang.

   "Ceng moi......! tolonglah! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami?..!"

   Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol sekali. Gadis itu telah memutarbalikkan kenyataan, pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu. Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu berhenti. Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main. Menghentikan kuda berlari cepat secara mendadak seperti itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian-kin-kang (Tenaga Setibu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benar-benar sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan sendiri.

   Pada saat Tiang Bu masih bengong saking kagumnya, gadis itu sudah "melayang? dari atas kuda ke dekatnya. Memang gadis itu seolah-olah melayang, bukan melompat. Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakan-akan dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadis itu sudah menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk ke depan.

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.

   Tentu saja Tiang Bu tidak membiarkan sepasang mata yang hanya satu-satunya dicolok buta, cepat ia mengelak dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah iga lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan darah Yan-goat-hiat ini letaknya di dekat ketiak, kalau terkena orang akan menjadi kaku seperti patung.

   Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini. Ia lincah dan gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah yang aneh mirip langkah ilmu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke samping menginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari samping. dan hebatnya rantingnya bekerja cepat sekali dan tahu-tahu tali yang menyambung dua buah kantong dan tergantung di pundak Tiang Bu telah putus! Tangan kiri gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.

   "Jangan takut, jiwi cici. biar siauw-moi yang merampas kembali barang-barangmu dari maling kecil ini!"

   Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali dan merasa suka dan sayang. Masih begini muda. lebih muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah memiliki ilmu silat yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan memakinya maling kecil. Hemm, baru berhasil menipuku begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.

   "Siapa maling kecil? Nona cilik, biarpun kaki tanganmu lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja ditipu orang. Mereka berdua itu adalah perampok keji yang merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka, bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling? Dan kau percaya saja. membantu perampok. Apakah kau juga sebangsa perampok?"

   "Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis kau sendiri apakah? Kau hanya maling kecil yang mencuri hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah Tiong-eu-hiat.

   "Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejati, tidak sudi menjadi maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak kukirimkan kembali kepada pemiliknya, Pangeran Wanyen Ci Lun di kota raja."

   Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar penuh selidik kemudian ia tertawa geli.

   "Kau...........? Kau mengira orang macam apa kau ini? Berlaku gagah-gagahan, memangnya kau pendekar sakti dari mana sih? Ketahuilah, manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari Huang-ho Sian-jin!"

   "Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab marah.

   "Dan aku tidak kenal siapa itu Huang-ho Sian-jin, mengapa kausebut-sebut? Yang aku tahu Sungai Huang-ho adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia Dewa) di sana? Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?"

   Gadis lincah itu tertawa geli.

   "Kau betul, kau betul!" Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan menekan perut menahan geli.

   "Krucuk atau cacing cauk macam kau ini mana mengenal nama Huang ho Sianjin? Dia memang betul ada itu Huang-hu Youw koai. Justeru karena Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari Kerajaan Kin itu!"

   Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu bukan bermaksud mempermainkan.

   "Apa artinya kata katamu itu? Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri."

   "Adik Ceng Ceng terhadap maling kecil ini mengapa mesti banyak bicara? Banting saja biar gepeng!" kata Ang Lian yang gemas melihat Tiang Bu karena beberapa kali ia dipermainkan dan dikalahkan.

   "Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi!" Pek Lian mencela adiknya. Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil Cang itu mengerling ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu cemberut.

   "Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kau banting sampai gepeng orang ini dan membiarkan dia merampas empat kantongmu?" Merah wajah Ang Lian.

   "Aku..... aku..." katanya gagap.

   "Ceng-Moi, kau teruskanlah. Kami berdua sebetulnya tadi sudah menyerangnya dan kami kalah." kata Pek Lian. Suaranya lemah-lembut penuh kejujuran dan diam-diam Tiang Bu memuji nona berpakaian pria itu, juga merasa kasihan.

   "Bukan kalah, memang belum bertempur sungguh-sungguh dan aku yang mendahului lari cepat-cepat. Kalau bertempur sungguh-sungguh, nona yang berpakaian pria itu lihai bukan main, aku tidak berani memastikan akan menang."

   Ceng Ceng menyentak Tiang Bu.

   "Kau kasihan kepada enci Pek Lian, ya? Kau......... kau??. tergila-gila kepadanya agaknya, ya? Jangan kau kurang ajar, manusia tak tahu diri!"

   Thing Bu kaget bukan main. Perangai nona cilik ini, benar-benar aneh. Baru saja ramah-tamab sekali, tahu-tahu seperti minyak dijilat api, tiba-tiba marah-marah seperti orang mabok. Saking herannya Tiang Bu memandang bengong.

   "Jiwi cici, jangan salah sangka. Aku sengaja memberi penjelasan kepada bocah ingusan ini??"

   "Aku bukan bocah ingusan, kau......... bocah sombong!" Tiang Bu berteriak marah karena beberapa kali ia dihina.

   Ceng Ceng tersenyum mengejek dan tidak memperdulikannya.

   "Bocah rewel dan manja ini harus diberi penjelasan agar nanti kalau mampus olehku dia tidak penasaran lagi. Jangan sampai arwahnya menghadap Giam-kun (Raja Maut) dan melaporkan bahwa kita ini perampok-perampak jahat, kan cialat (celaka) untuk kita!"

   Terpaksa Ang Lian dan Pek Lian tersenyum lagi dan kembali sikap Ceng Ceng seperti tadi, manis jenaka.

   "Bocah, kau mau tahu segalanya, bukan? Nah, kau dengar baik-baik. Pada dewasa ini, Huang-ho Yauw-koai iblis di Sungai Huang-ho yang agaknya kalau bukan ayahmu tentu mertuamu itu?.."

   "Setan kau.....!" Tiang Bu memaki.

   "Iblis sungai itu sedang mengamuk." Ceng Ceng melanjutkan, tidak perduli akan makin Tiang Bu.

   "membuat air sungai membanjir dan banyak rakyat kehilangan semua benda bahkan banyak yang kehilangan nyawa. Akibatnya kelaparan merajalela. Nah, ayah mengajak aku mengunjungi Huang-ho Sian-jin yang seperti biasa tiap tahun kalau terjadi banjir, sibuk menolong rakyat. Kali ini benar benar dibutuhkan banyak uang untuk mencegah orang-orang mati kelaparan, maka sengaja Huang-ho Sian-jin mengutus dua orang anaknya untuk merampas harta yang tidak halal dari pembesar tukang catut itu. Aku diperintah oleh ayah untuk mengamat-amati, takut kalau-kalau ada bocah-bocah ingusan nakal macam engkau ini mengganggu jiwi cici di tengah jalan."

   "Bagaimana kau tahu kalau barang-barang berharga yang dirampok ini barang barang tidak halal?"

   "Ho-ho kau tidak saja masih ingusan, bahkan kepalamu masih berbau bawang (sindiran untuk orang yang masih hijau). Masa gitu saja tidak tahu? Biarpun masih pelonco, kalau sudah terjun di dunia kangouw harus tahu membedakan ini. Bangsat she Kwee itu adalah seorang pengkhianat yang mengekor Kerajaan Kin. Tadinya ia miskin akan tetapi setelah bekerja di sana, memperoleh kekayaan berlimpah-limpah dan sekarang karena takut akan serbuan balatentara Mongol, ia membawa hartanya lari ke selatan. Dari mana lagi ia mendapat harta begitu banyak kalau bukan dari memeras rakyat dan mencatut Kerajaan Kin? Dia bukan pedagang yang bisa menarik banyak keuntungan. Apakah orang macam itu harus didiamkan saja, dia memang banyak harta rakyat sampai berlebih-lebihan, tidak habis biarpun dimakan oleh anak cucunya sampai tujuh turunan, sedangkan rakyat di sepanjang lembah Huangho menderita kelaparan?"

   "Hemmm, kalau betul kata-katamu ini, memang usaha kalian hebat sekali, patut dipuji. Akan tetapi, aku mendengar dari orang-orang Siang kim-sai Piauwkiok, benda-benda di dalam peti ukiran Kilin itu adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun yang dititipkau. Kilian tidak boleh mengganggu miliknya. Aku mendengar bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun adalah seorang gagah yang berbudi." kata Tiang Bu.

   "Kau mendengar. kau mendengar..... agaknya kau terlalu mengandalkan daun telingamu yang lebar seperti telinga gajah itu. Tidak perduli Wanyen Ci Lun seorang baik seperti dewa, namun ia tetap seorang pangeran yang takkan mampus kelaparan kalau hartanya yang sebegini saja diambil orang. Sebaliknya, harta ini bisa menolong nyawa ribuan, bahkan puluhan ribu orang di sepanjang sungai yang pada saat ini sudah hampir mati kelaparan!" Tiang Bu melongo. Baru kali ini ia mendengar pidato yang begitu panjang akan tetapi mengenai betul pada hatinya. Tepat dan hebat.

   "Kau betul...." akhirnya ia berkata.

   "Akan tetapi aku masih belum percaya. Aku harus menyaksikan sendiri. Dan lagi, kau ini siapakah begini pandai bicara seperti tukang jual obat?"

   "Ha, jadi kau sudah percaya? Kalau begitu lebih baik lagi. Tak usah aku menambah dosa mengantar nyawamu ke alam baka. Serahkan yang dua bungkus itu dan pergilah kau cepat-cepat."

   "Eh, eh, nanti dulu, nona cilik."

   "Aku tidak cilik lagi. Usiaku sudah lima belas tahun, tahu?!"

   "Benarkah?" Tiang Bu sekarang mendapat kesempatan membalas godaan-godaan dan hinaan tadi. ia tersenyum dan matanya berseri-seri.

   "Kau tidak patut kalau berusia lima belas tahun pantasnya kau......... sembilan tahun atau dua puluh tahun."

   "Kau edan!" Ceng Ceng menjerit.

   "Masa kalau tidak sembilan tahun dua puluh tahun. Terkaan macam apa ini?"

   "Dibilang sudah tua, kau suka menggoda dan menghina orang seperti anak kecil saja, maka kau patut berusia sembilan tahun. Dibilang kecil, kau pandai bicara seperti orang tua saja, maka kau tentu lebih dari dua puluh tahun........."

   "Eh. kacoa! Kau sudah bosan hidup, ya.........? Kau mau mampus, ya...? Hemm, sekali tusuk lenyap nyawamu....." Sambil berkata demikian, gadis itu melangkah maju dan ujung rantingnya mengancam jalan darah kematian. Ketika Tiang Bu mundur-mundur dia maju-maju terus mengancam, marahnya bukan main.

   "Sudahlah, apa kau ini tukang bunuh orang? Masa denok-denok kok keji, tidak patut, dong! Pantasnya orang cantik itu ramah-tamah dan halus??." Tangan yang memegang ranting menjadi lemas dan ranting itu diturunkan ke bawah.

   "Awas, adik Ceng Ceng. Jangan kena tipu muslihatnya. Biarpun mukanya seperti monyet hitam, namun ia pandai memikat hati. Cici Pek Lian sendiri hampir-hampir terpikat olehnya........."

   "Plak!" Pipi Ang Lian kena ditampar oleh Pek Lian yang menjadi merah sekali mukanya.

   "Ang Lian, sekali lagi kau bicara begitu akan kulaporkan kepada ibu supaya kau dirangket."

   Sementara itu, sepasang mata Ceng Ceng berapi-api mendengar ini. Ranting di tangannya tergetar.

   "Betul begitukah? Kalau begitu harus mampus........"

   "Hayaaa, kalian ini memang orang orang aneh sukar sekali diajak urusan," kata Tiang Bu.

   "Aku tidak ingin bertempur. Tentang harta ini, biarlah aku ikut kalian, aku hendak menyaksikan sendiri apakah betul ada usaha orang tua kalian menolong rakyat jelata yang kelaparan. Kalau memang betul, tidak hanya empat kantong benda ini kuserahkan dengan rela, bahkan aku sendiri bersedia disuruh membantu apa saja untuk meringankan beban rakyat di sana."

   "Tapi kauserahkan dulu yang dua kantong itu!" kata Ccng Ceng.

   "Bodoh, mana boleh begitu? Aku akan diejek orang di jalan kalau membiarkan kalian orang-orang wanita membawa barang berat sedangkan aku enak-enak saja. Bahkan kalau kalian percaya, yang dua itu boleh kubawakan."

   "Astaga! Jadi dia akan melakukan perjalanan bersama kita? Aku tidak sudi!" kata Ang Lian.

   "Jangan kuatir, enci Ang Lian. Aku tidak akan pergi bersama-sama. Kalian boleh jalan dulu, aku menyusul belakangan karena aku masih ada sedikit urusan di sini."

   Memang Tiang Bu tentusaja tidak mau pergi begitu saja sebelum urusannya yang penting di selesaikan, yaitu mencari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong di lembah Sungai Yangce yang berada tak jauh dari kota Wu-keng. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya dan urusan minta kembali kitab beres, baru ia hendak menyusul ke lembah Sungai Huang-ho.

   Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak setuju. Selagi ia hendak membantah, tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah delapan orang penunggang kuda yang terdiri dari orang-orang bertubuh gagah perkasa dan di tengah-tengah mereka terdapat orang yang memegang sebuah bendera besar.

   "Nah, nah, agaknya pentolan-pentolan Siang-kim sai Piauw-kiok telah menyusul kita......!" kata Ang Lian dengan nada menyesal mengapa Ceng Ceng dan Tiang Bu membuang-buang waktu dengan mengobrol tidak karuan. Memang dugaan Ang Lian ini betul. Yang datang adalah Siang-kim-sai (Sepasang Singa Emas) sendiri, yaitu Twa kim-sai Yo Sang dan Ji-kim-Sai Yo Teng, diantar oleh enam orang murid-muridnya yang pandai. Siang-kim-sai memang pantas berjuluk Singa Emas, karena kedua saudara kakak-beradik ini memiliki wajah yang berbentuk segi empat seperti muka singa, bermata lebar dan galak, bertubuh tegap kuat. Yo Seng muka kuning sedangkan adiknya, Yo Teng bermuka merah. Begitu mendengar laporan Lu Tiang Sek bahwa peti berukir sepasang Kilin dirampas oleh dua orang puteri Huang-ho Sian-jin. dua orang piauwsu ini segera membawa murid-murid mereka melakukan pengejaran.

   Kini melihat di tempat itu selain dua orang gadis yang merampas barang berharga masih terdapat seorang gadis muda dan seorang pemuda yang keduanya membawa buntalan-buntalan itu, mereka menjadi heran akan tetapi girang. Melihat empat kantong itu masih berada bersama para perampok, berarti ada harapan mcrampasnya kembali. Apalagi empat orang perampok itu hanya tiga gadis ayu dan seorang pemuda tanggung.

   "Anak-anak Huang-ho Sian-jin, kalian sungguh lancang sekali berani mengganggu kumis singa!" datang-datang Ji-kim-sai Yo Teng yang berusia empat puluh tahun dan wataknya agak mata keranjang tak boleh melihat jidat halus ini, berkata dengan sombong.....

   "Hayo maju menghadap, hanya kalau kalian mengembalikan barang rampasan dan minta maaf sambil berlutut baru kami dapat mengampuni kalian!"

   "Enci Pek, kaulihat dia ini. Mengakunya singa akan tetapi kalau kulihat baik-baik kok mukanya kaya kucing pemakan bangkai?"

   "Mai moi, jangan bergurau, mari kita siap menghadapi Siang kim-sai," jawab Pek Lian sambil melangkah maju dan mencabut pedangnya. Kemudian ia berkata kepada Yo Seng dan Yo Teng.

   "Jiwi piauwsu mau apakah? Memang betul kami telah mengambil barang yang didapatkan secara tidak halal oleh pembasar Kin pengkhianat bangsa itu."

   Yo Seng sudah mendengar bahwa gadis pertama yang berpakaian pria memiliki kepandaian tinggi, maka kepada Pek Lian ia berkata.

   "Nona, melihat muka ayahmu. Huang-ho Sian-jin, biarlah kita habiskan urusan ini asal saja kau suka mengembilikan barang-barang itu. Biar lain kali kami datang mencari ayahmu untuk menghaturkan terima kasih." Kalau seorang piauwsu hendak mengadakan kunjungan kepada seorang tokoh Liok-lim dan menghaturkan terima kasih, itu artinya sang piauwsu merendahkan diri dan mengalah, tentu akan datang untuk memberi "apa-apa" sekedar tanda penghormatan.

   "Tidak bisa, barang yang sudah kami rampas. tak dapat kami kembalikan begitu saja. Kalau jiwi piauwsu ada kemampuan, boleh coba rampas kembali," kata Pek Lian tenang.

   Mendengar ini, Yo Teng marah.

   "Koko, mengapa mendengarkan ocehan bocah? Kau tangkap yang banci itu, biar aku tangkap yang galak ini" Sambil berkata demikian, Yo Teng menubruk maju hendak menangkap Ang Lian.

   "Kucing pemakan bangkai, mana kumismu?" Ang Lian mengejek dan pedangnya ditusukkan ke depan menyambut tubrukan Yo Teng. Piauwsu ini kaget sekali, dan menyesal telah berlaku sembrono. Tak disingkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepat. Namun piauwsu ini berkepandaian tinggi, dan cepat ia dapat menggulingkan diri ke kiri dan bergulingan di atas tanah menghindari kejaran lawan.

   "Hi hi hi, belum apa-apa kucing busuk sudah gulung koming!" Ang Lian mengejek. Yo Teng marah dan kini ia sudah mencabut goloknya, senjata yang amat ia andalkan. Ejekan gadis itu melenyapkan rasa sayangnya kepada gadis berwajah manis ini. Sambil mengeluarkan geraman seperti singa mengaum, ia menerjang lagi, mempergunakan goloknya. Ang Lian cepat menangkis dengan pedangnya. Tidak berani berlaku sembrono karena dari gerakan golok lawan, ia maklum bahwa piauwsu ini kepandaiannya lihai. Sementara itu, melihat adiknya sudah mulai bertempur, Yo Seng juga mencabut golok dan berkata kepada Pek Lian.

   "Menyesal sekali kau keras kepala. Terpaksa aku harus melayani tantanganmu!" Setelah berkata demikian iapun berseru keras dan goloknya berkelebat dahsyat. Namun Pek Lian yang sikapnya tenang itu sudah siap pula dengan pedangnya. Dengan tangkas dan berani gadis berpakaian pria ini mengangkat pedang menangkis golok, bahkan cepat lakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya. Hebatnya pertempuran antara Ang Lian melawan Yo Teng dan Pek Lian melawan Yo Seng ini. Kepandaian mereka berimbang hanya Ang Lian masih kalah kuat oleh Yo Teng yang memiliki kepandaian sama dengan kakaknya.

   Sementara itu, Tiang Bu dan Ceng Ceng hanya menonton saja. Melihat jalannya pertandingan, Tiang Bu mengerutkan alisnya dan merasa khawatir akan keselamatan dua orang gadis muda itu. Keadaan Pek Lian masih tidak begitu buruk, karena ilmu pedang dari gadis ini berar-benar lihai sehingga tak usah kalah atau terdesak oleh lawannya, keadaan dia dan lawannya benar-benar seimbang dan masih sukar untuk menentukaa siapa yang akan kalah. Yo Seng lebih kuat dan senjatanya amat berat sehingga dalam setiap bentrokan senjata, piauwsu ini dapat melakukan tekanan-tekanan.

   Akan tetapi, Pek Lian lebih lincah dan cepat maka gadis ini dapat menutup kerugiannya kalah tenaga dengan kecepatannya sehingga pedangnya seakan-akan mengurung lawan. Yang amat menggelisahkan hati Tiang Bu adalah keadaan Ang Lian. Gadis ini biarpun lihai namun ilmu pedangnya belum sematang ilmu pedang cicinya, dan pula gerakan-gerakanya masih ceroboh, karena Ang Lian memounyai nafsu besar dan selalu menuruti nafsunya hendak cepat-cepat merobohkan lawannya, akan tetapi ternyata ia kalah setingkat oleh Yo Teng sehingga dialah yang akhirnya terdesak oleh golok lawan.

   Tiang Bu melirik ke arah Ceng Ceng yang berdiri di sebelahnya. Ia melihat gadis ayu ini berdiri sambil menonton, agaknya tertarik dan gembira sekali, tandanya sepasang mata bintang itu tidak berkejap sejak tadi dan sinarnya berseri-seri. Benar benar denok anak ini pikir Tiang Bu dan ia kaget sekali. Lagi-lagi ada dorongan aneh dari dalam dadanya, dorongan yang hampir sama dengan dorongan selera orang kelaparan melihat makanan lezat.

   Dalam perantauannya, bukan jarang Tiang Bu merasa kelaparan karena berhari-hari tidak bertemu nasi, maka ia sudah sering kali merasai bagaimana nafsu seleranya timbul apabila dalam keadaan demikian itu ia mencium bau capcai goreng atau melihat ayam panggang digantung dalam restoran. Sekarang ia kaget sekali karena semenjak bertemu dengan Ang Lian dan Pek Lian, nafsu selera yang hampir sama, bahkan lebih merangsang, selalu timbul di dalam dadanya tiap kali ia melihat gadis cantik. Apalagi melihat wajah Ceng Ceng dari samping ini tanpa diketahui oleh gadis itu, benar-benar membuat ia terpesona dan dia diam-diam Tiang Bu merjadi takut. Ia takut kalau dorongan yang merangsang itu akan mengalahkannya, dorongan yang mendatangkan keinginan yang maha kuat untuk menubruk dan memeluk Ceng Ceng!

   "Setan bodoh!" dengan muka panas Tiang Bu menampar pipinya sendiri dan benar saja dorongan nafsu itu segera terbang pergi dan pipinya terasa pedas panas. Akan tetapi Tiang Bu masih terus menampari pipinya sampai empat lima kali. Mendengar suara plak plak plok di sebelahnya, Ceng Ceng menengok dan mata serta mulutnya tadinya terbuka lebar saking herannya, kemudian tertawa geli.

   "Lho......! Kau ini sudah kumat gendengmu ataukah memang sebangsa o.t.m. (otak miring)? Kok pipi sendiri ditampari, kalau sudah gatal ingin ditampar kenapa tidak maju saja ke medan pertempuran?"

   Tiang Bu bersungut-sungut. Bocah perempuan ini selalu mempergunakan satiap kesempatan untuk mengejek dan menghinanya. Ia melirik dan matanya yang bundar besar itu mendelik.

   "Kau bisa mengejek orang, kau sendiri ini orang macam apa? Benar-benar seorang sahabat yang bagus! Dua orang kawanmu terancam bahaya dan kau enak-enak saja menjadi penonton tanpa bayar, bahkan seperti kelihatan senang melihat kawan-kawan terancam bahaya. Hah, tak tahu malu!"

   "Aaahh, kau anak kecil tahu apa? Mereka itu dua lawan dua, masa aku harus turun tangan mengeroyok? Laginya, membantu enci Pek Lian atau enci Ang Lien sebelum mereka mundur dan mengaku kalah, berarti menghina mereka. Ahh, kau ini benar -benar belum tahu apa-apa. Kasihan!"

   Untuk kesekian kalinya Tiang Bu menjadi merah telinganya. Biarpun ia mendongkol, terpaksa ia mengakui kebenaran ucapan nona ini yang agaknya sudah memiliki pengalaman luas dalam dunia kang-ouw. ia melirik ke arah muka Ceng Ceng yang berdiri di sebelah kirinya, menjadi geli melihat wajah yang masih kekanak-kanakan itu berlagak tua.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 20 Pedang Penakluk Iblis Eps 20 Pendekar Pedang Pelangi Eps 26

Cari Blog Ini