Pendekar Pedang Pelangi 26
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 26
"Baik! Aku juga setuju! Mari kita buat rencana untuk membebaskan dia!" Tiba-tiba pendekar tua itu berkata tegas.
"Hai-ko...?" Chu Bwe Hong menyentuh lengan suaminya. Souw Thian Hai merangkul pundak isterinya.
"Aku tahu bahwa usiaku sudah tua, Hong-moi. Tapi bila kuingat saat-saat kita berjuang bersama saudara Yap, hatiku kembali terbakar. Sungguh tidak adil. Seorang pahlawan dan pejuang besar, yang ikut menegakkan negeri ini malah dikurung di dalam penjara! Sungguh tidak adil! Almarhum Kaisar Liu Pang tentu tidak akan menerima perlakuan ini. Kita harus berbuat sesuatu!"
"Jadi...?" Chu Bwe Hong menatap wajah suaminya.
"Benar apa yang dikatakan saudara Chin. Kita harus berani berkorban. Kalau anak muda seusia dia saja berani meng-ngorbankan nyawanya, apalagi kita yang sudah mau masuk liang kubur ini!"
"Baiklah, Hai-ko. Aku juga setuju pada niatmu. Kita berangkat bersama! Kita tunda dulu urusan anak kita." Wajah Chin Tong Sia yang dingin itu menjadi lega dan gembira sekali. Tanpa harus membujuk atau memberi alasan macam-macam, mereka telah memutuskan sendiri untuk pergi ke Benteng Langit! Kini tinggal Tio Siau In dan Yok Ting Ting yang belum bicara.
"Bagaimana dengan jiwi Lihiap?" Pemuda itu bertanya dengan suara kaku. Tio Siau In dan Yok Ting Ting saling pandang. Keduanya memang belum mengenal Panglima Yap Kim. Tapi melihat Souw Thian Hai yang terkenal itu ingin pergi ke Benteng Langit, mereka merasa tertarik pula. Tak terasa keduanya mengangguk.
"Bagus. Kalau begitu sekarang juga kita ke sana...!" Chin Tong Sia berseru lega. Lalu sambil berjalan pemuda itu menjelaskan apa yang hendak dia kerjakan di Benteng itu bersama teman-temannya.
"Jadi... Itukah yang hendak kau kerjakan bersama teman-temanmu? Ah, Lohu semakin menjadi tidak sabar untuk melihat Souw Hong Lam. Siapa sebenarnya anak itu?" Souw Thian Hai berdesah dengan suara gemetar.
"Taihiap dapat menemuinya nanti. Tapi yang jelas kita harus segera menemui mereka. Kita harus membentahu bahwa salah seorang dari mereka adalah penyelundup."
"Benar. Sementara itu aku bisa mengumpulkan sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit yang kita temui. Siapa tahu mereka dapat membantu rencana ini?" Li Ku si berseru pula dengan wajah gembira. Demikianlah mereka lalu mempercepat jalan perahu mereka. Benteng Langit tinggal setengah hari perjalanan lagi. Sambil melaju mereka juga melihat-lihat, kalau ada sisa-sisa prajurit Jendral Ciang Kwan Sit yang dapat mereka kumpulkan. Sekarang kita ikuti kembali rombongan Liu Wan yang telah tiba lebih dulu di Benteng Langit. Rombongan itu tiba tepat pada waktu tengah malam, di saat rombongan Chin Tong Sia bertempur melawan pasukan Yuen Ka.
Seperti yang pernah mereka dengar sebelumnya, benteng itu didirikan Kaisar Chin di atas tanah karang luas. di tengah-tengah pertemuan dua aliran sungai besar, yaitu Sungai Huang-ho dan Sungai Huai. Tanah berkarang terjal itu menjulang tinggi di atas permukaan air, sehingga sulit dijangkau dari daratan. Dan tempat itu sangat berbahaya bagi perahu-perahu yang lewat. Selain gelombangnya besar, di tempat itu juga banyak pusaran air akibat pertemuan dua aliran sungai. Untuk memasuki benteng juga hanya satu jalan, yaitu dari pintu gerbang depan. Di bagian ini dibangun anak tangga menuju gerbang. Sementara bagian samping dan belakang hanya terdiri dari bangunan tembok tinggi di atas karang terjal. Meskipun demikian tadi malam Liu Wan dan rombongannya telah berhasil memasuki benteng.
Mereka merayap seperti cecak di atas dinding terjal itu. Kenyataan di mana selama ini tidak pernah seorangpun berani memasuki benteng itu, membuat penjaganya lengah, tidak seorangpun menyadari bahwa benteng mereka dimasuki orang. Akan tetapi Liu Wan dan kawan-kawannya menjadi bingung setelah berada di dalam benteng. Tempat itu demikian luas dan rumit. Puluhan gedung atau bangunan tersebar di mana-mana. Ratusan kamar dan ruangan terdapat di dalamnya. Mereka tidak tahu, di mana Panglima Yap Kim disekap. Semalam mereka mondar-mandir. Dengan kesaktian mereka, tidak seorang penjagapun mampu melihat mereka. Namun demikian mereka tetap tidak dapat menemukan Panglima Yap Kim. Sampai matahari terbit usaha mereka belum membawa hasil. Terpaksa mereka mencari tempat bersembunyi. Akhirnya mereka menyelinap di gudang bawah tanah.
"Wah! Sama sekali tidak terbayang-kan olehku, bahwa benteng ini demikian luasnya. Bagaimana kita dapat menemukan ruang itu, tanpa petunjuk dari orang-orang dalam benteng ini sendiri...?" A Liong yang belum pernah melihat benteng itu bersungut-sungut.
"Kau benar. Kita memang harus menangkap seorang dari penjaga itu. Kita paksa dia menunjukkan tempatnya. Benar, cuma itu yang dapat kita tempuh!" Tiau Hek Hoa tersentak lega, seakan dapat menemukan sebuah benda berharga. Liu Wan mengangguk-angguk.
"Baik. Kita coba setelah hari menjadi gelap nanti. Sekarang sangat berbahaya. Lebih baik kita beristirahat dan menyusun tenaga. Rencana kita ini harus berhasil. Apabila gagal, maka Panglima Yap Kim akan mereka sembunyikan di tempat yang lebih sulit lagi!" Mereka lalu mencari tempat sendiri-sendiri yang mereka anggap nyaman untuk beristirahat. Gudang itu sangat luas dan kurang terawat. Rongsokan senjata atau bekas peralatan. bangunan banyak berserakan di tempat itu. A Liong mendapatkan tempat tersembunyi di bawah tangga. Badannya yang besar seperti kerbau jantan itu segera tergeletak di atas papan kayu.
"Awas! Kalau sampai mendengkur, kubunuh kau!" Terdengar suara ancaman Tiau Hek Hoa di belakangnya. A Liong menoleh. Dilihatnya gadis berkulit hitam itu melotot di pojok ruangan, tidak jauh dari tempatnya. Tidak terasa bibir A Liong tersenyum.
"Apakah kau tega membunuh aku? Lihatlah baik-baik! Betapa tampannya aku! Sayang, bukan?" Pemuda itu meledek dengan suara tertahan.
"Srettt!" Gadis bermuka hitam itu tiba-tiba melompat dan menyerang A Liong! Tangannya telah menggenggam kipas baja!
"Kerbau jelek! Lebih baik kubunuh saja kau sekarang!" A Liong mengelak. Pemuda itu telah bersiap sejak tadi. Dua kali dibokong Tiau Hek Hoa, membuat A Liong selalu waspada terhadap gadis itu. Ternyata benar juga kekhawatirannya, gadis berkulit hitam itu telah membokongnya lagi.
"Ssst! Jangan berisik, atau... Kita akan menggagalkan tugas kita, A Liong menggeram. Kali ini suaranya berubah tegas dan bersungguh-sungguh. Tiau Hek Hoa menahan tangannya. Matanya melirik. Sekilas ia melihat rasa kesal dan marah di wajah Tabib Ciok dan Souw Hong Lam. Otomatis tangannya menurun.
"Baik. Kita tunda dulu urusan kita. Tapi setelah tugas ini selesai, hemm... jangan harap bisa lolos dari tanganku!" Tiau Hek Hoa tetap mengancam. A Liong tersenyum geli. Sambil merebahkan tubuhnya kembali, ia menjawab seenaknya.
"Ah, peduli amat! Kalau nasibku memang akan mati, orang lainpun bisa membunuhku. Tidak perlu harus menggunakan tanganmu. Hehehehe...! Apa bedanya mati di tangan gadis ayu atau nenek-nenek jelek?"
"Apa katamu...?" Tiau Hek Hoa hampir kehilangan kendali lagi.
"Tiau Lihiap...! saudara A Liong!" Liu Wan berdesah pendek.
"Kuharap kalian dapat saling menahan diri."
Souw Hong Lam menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Seperti anjing dan kucing saja..." Hari itu terasa panjang sekali. Tiau Hek Hoa selalu bersungut-sungut dan mondar-mandir mengelilingi ruangan itu. Gadis yang biasanya bergerak bebas dan berbuat apa saja itu benar-benar merasa tersiksa harus menunggu. Ingin benar rasanya dia mendobrak pintu ruangan dan mengamuk di luar sana. Untunglah Liu Wan selalu membujuknya. Sambil bermain "petak kerikil," pemuda itu berusaha mendinginkan hati Tiau Hek Hoa.
"Waduh, perutku mulai lapar...! Sialan!" Tiba-tiba A Liong bangkit dari tidurnya dan menggerutu. Liu Wan dan Souw Hong Lam tersenyum.
"Badanmu terlalu besar sehingga cepat lelah dan lapar." Liu Wan menggoda. Pemuda itu tidak meladeni kelakar Liu Wan. Perlahan-lahan dia melangkah-ke pintu samping.
"Hai, saudara A Liong... Mau kemana kau? Di luar banyak prajurit berjaga."
"Ciok Sinshe, jangan khawatir. Aku cuma ingin mengintip saja. Siapa tahu di luar ada makanan. Bisa melihatpun sudah cukup bagiku..."
"Silakan saja, asal tidak keluar!"
"Beres, deh!" A Liong menjawab santai sambil tetap melangkah melintasi ruangan itu.
Mula-mula pemuda itu memang hanya mengintip saja dari celah-celah daun pintu. Tapi begitu melihat di luar kelihatan sepi dan kosong, dia segera menyelinap keluar dengan mengendap-endap. Seluruh uratnya menegang, suatu tanda bahwa dia dalam keadaan siap-siaga penuh. Ternyata lorong di luar pintu itu menembus ke bangunan belakang. Bau asap yang terbawa oleh angin menunjukkan bahwa bangunan tersebut adalah dapur. Diam-diam A Liong gembira. Sungguh sangat kebetulan baginya. Beberapa saat lamanya A Liong berdiam diri di mulut lorong. Matanya beredar ke segala penjuru. Setelah yakin tidak ada orang, baru dia menyelinap ke luar. Dalam sekejap tubuhnya telah melesat ke atas bangunan. Dari atas A Liong dapat melihat beberapa orang petugas sedang menanak nasi dan membuat bubur panas.
"Nasi itu tentu untuk para penjaga, sedangkan buburnya untuk para tawanan." A Liong berkata dalam hati. Ilmu meringankan tubuh A Liong sungguh hebat sekali. Meskipun bertubuh besar, namun A Liong mampu bergerak cepat dan lincah. Pemuda itu berloncatan di atas penglari rumah, seperti seekor tupai berkejaran. Demikian ringan dan gesit gerakannya, sehingga petugas dapur itu tidak ada yang tahu. A Liong cepat berlindung di balik kayu ketika seorang prajurit masuk ke dalam ruangan. Prajurit itu duduk di atas bangku sambil mengeluh.
"Uh, gila! Semalaman aku tak bisa tidur! Kini harus berkumpul pula! Huh! A-sam, berilah aku semangkuk bubur aku lapar sekali."
"Berkumpul? Bukankah sekarang belum waktunya untuk berganti pasukan?" Seorang tukang masak mendekat sambil membawakan bubur panas. Demikian gemuk badannya, sehingga langkahnya terasa berat sekali.
"Bukan itu sebabnya, katanya tadi malam ada utusan dari Kotaraja masuk ke dalam benteng ini. Utusan itu memperingatkan kita, agar bersiap-siaga menerima kedatangan musuh."
"Hei...???" Semua orang yang berada di dalam ruangan itu tersentak kaget. Prajurit itu tidak peduli. Sambil menikmati buburnya, dia melanjutkan ceritanya.
"Katanya... pasukan Raja Mo Tan telah merembes ke selatan. Kemarin telah terjadi pertempuran di hulu sungai, antara sisa-sisa pasukan Jendral Ciang Kwan Sit melawan pasukan Mo Tan. Dan sisa-sisa pasukan itu dibabat habis oleh mereka. Sekarang pasukan Mo Tan dalam perjalanan ke daerah ini. Diperkirakan mereka akan sampai di sini besok lusa"
"Aduh! Celaka, bagiamana mereka dapat menyeberangi tembok besar bukankah di sana ada bala tentara Jendral Kongsun yang kuat dan besar jumlahnya?"
"Ah, piciknya pengetahuanmu! Pasukan Raja Mo Tan juga banyak sekali jumlahnya. Panglima-panglima mereka juga terkenal gagah berani. kau pernah mendengar nama... panglima Solinga? Panglima Yeh Sui? Atau... panglima Huang Yin? Huh, mereka itu tidak kalah hebatnya dengan bekas Panglima Yap Kim!" A Liong kaget juga mendengar cerita itu. Ternyata keadaan telah berubah dengan cepat. Pasukan Mo Tan benar-benar bergerak sangat cepat. Belum ada sepekan khabar tentang gerakan pasukan itu, kini sebagian dari mereka telah menyeberangi Propinsi Syan-si.
"Panglima Solinga yang terkenal kejam itu? Tentu saja semua orang mengenalnya. Memang hanya Panglima Yap Kim yang dapat menandingi dia!" Salah seorang dari tukang masak itu kelepasan bicara.
"Sssst! Berani benar kau omong seperti itu?" Kawannya cepat menyodok pinggangnya.
"Tapi... tapi aku hanya mengikuti omongan dia!" Tukang Masak itu menunjuk ke arah prajurit yang sedang makan bubur.
"Sudahlah. Tidak apa-apa. Kita cuma berbicara tentang kehebatan bekas panglima itu. Kita tidak berbuat hal-hal yang menyalahi aturan. Bekas panglima itu memang hebat dan sangat pandai ilmu perang. Tidak salah, bukan?" Prajurit itu tersenyum santai. Tukang Masak itu menjadi lega. Sambil mengambilkan semangkuk bubur lagi, dia duduk di sebelah prajurit itu.
"Eh! Omong-omong tentang bekas panglima itu, emm... bagaimana khabarnya sekarang? Apakah dia baik-baik saja?" Sambil menyambar bubur yang disodorkan kepadanya, prajurit itu mendengus.
"Tentu saja keadaannya tetap baik. Sebagai bekas panglima, ia tetap diperlakukan secara khusus. Ruangannya selalu bersih. Makanannyapun selalu teratur."
"Ah! Baik sekali kalau begitu. Bagaimanapun juga dia pernah ikut berjasa mendirikan negeri ini. Ehm, lalu... apakah ruangnya masih tetap di atas Ruang Penyiksaan itu? Tidak dipindah-pindahkan lagi?" Tukang Masak yang gemuk itu bertanya lagi dengan suaranya yang nyaring.
"Dulu memang harus selalu dipindah-pindah untuk mengelabuhi kawan dan para pendukungnya. Tapi sekarang? Sudah bertahun-tahun tidak ada orang yang datang kemari. Mereka telah bosan. Kekuatan mereka telah habis. Sekarang kita tak perlu khawatir lagi." A Liong beringsut. Tiba-tiba muncul sebuah rencana di idalam benaknya. Prajurit itu dapat dipergunakan sebagai penunjuk jalan menuju ruang penjara. Selesai menghabiskan dua mangkuk bubur, prajurit itu menguap. Sambil mengelus-elus perutnya, ia melangkah ke luar menuju baraknya. Di luar pintu ia berpapasan dengan petugas pengambil air, seorang lelaki tua berambut putih. Orang tua itu memikul dua gentong besar tanpa kesulitan.
"Persediaan air di sini masih cukup banyak, Lo Liu. kau tidak perlu menambahnya lagi." Prajurit itu menegur sambil menghadang di depan Tukang Air. Tukang Air itu berhenti. Tanpa meletakkan pikulannya dia memasang teli nga, sementara matanya justru terpejam.
"Ah, Prajurit Go rupanya. Maaf. Air di dapur ini memang masih banyak. Tapi aku ingin menambahnya lagi barang sepikul..."
"Hohoho, ternyata ingatan dan pendengaranmu hebat sekali. Hanya dengan mendengar suaraku, kau langsung bisa menebak namaku."
"Prajurit Go, orang buta seperti aku harus dapat menggunakan panca indera yang lain sebaik-baiknya."
"Baiklah, silakan..." A Liong tertegun. Tukang air itu ternyata buta. Namun demikian langkahnya amat mantap dan tegas. Sama sekali tidak canggung atau ragu. Gerakannya seperti orang waras saja. Ketika lewat di bawah penglari di mana A Liong bertengger, tukang air bernama Lo Liu itu berhenti sebentar. Mulutnya terbatuk-batuk, kemudian berjalan lagi. A Liong berdebar-debar. Dia merasa orang itu tahu akan kehadirannya.
"Wah, kalau orang itu benar-benar pekerja beteng ini, aku harus berhati-hati. Firasatku mengatakan kalau dia memiliki kepandaian sangat tinggi." Ketika orang-orang itu mulai bekerja lagi, A Liong lalu beringsut keluar. Dilihatnya prajurit Go itu masih berjalan santai menuju baraknya. Sebuah barak panjang di dekat kandang kuda. Dan di depan barak itu berkumpul belasan prajurit lainnya. A Liong melihat seorang Tukang Kuda melintas di dekat gudang penyimpan jerami. Dan kesempatan itu tidak disia-siakannya. Sekejap saja ia telah berada di belakang orang itu.
"Tukk! Tukk!" Tukang Kuda itu roboh pingsan terkena totokannya. Sebelum ada yang tahu, orang itu telah diseret A Liong ke dalam gudang jerami. Bergegas celana dan bajunya dia ambil dan dipakai. A Liong tidak peduli meskipun agak kekecilan. Setelah menyembunyikan tubuh Tukang Kuda itu di balik tumpukan jerami, A Liong keluar sambil menggendong seikat jerami.
"Prajurit Go...!" A Liong memanggil prajurit yang sedang melangkah ke barak itu. Prajurit itu menoleh.
"Ada apa...? Hmm, kau Tukang Kuda baru, ya?" Kata prajurit itu kemudian sambil melangkah kembali mendekati A Liong. A Liong melirik ke sekelilingnya. Perasaannya menjadi lega ketika para prajurit di depan barak itu tidak melihat ke arahnya.
"Prajurit Go, di dalam gudang jerami ada... Kantung emas. Lihatlah!" Setelah berhadapan A Liong berbisik. Mendengar perkataan "emas," prajurit itu segera kehilangan kewaspadaannya. Dengan wajah kaget prajurit itu segera masuk ke dalam gudang.
"Mana...?" Tapi belum juga habis perkataannya, jari A Liong telah menotok pangkal lehernya.
"Bruuug!" Prajurit itu terpuruk di atas jerami.
"Bagus. Sekarang tinggal memikirkan, bagaimana caranya membawa dia ke gudang bawah tanah." A Liong berpikir. Belasan orang petugas telah mulai membawa nasi dan bubur dari dapur ke beberapa tempat. Dalam kesibukan seperti itu A Liong menyelinap keluar dengan sebongkok besar jerami di atas kepalanya. Dia sengaja mengambil jalan memutar, melewati semak-semak perdu yang banyak terdapat di antara kandang kuda dan dapur. Seorang petugas dapur melihatnya, tetapi dia menyangka A Liong sedang memindahkan jerami ke bangunan belakang.
"Hei, apakah gudang jeramimu sudah penuh?" Tanpa mengendorkan langkahnya A Liong mengiyakan. Tapi demikian lolos dari penglihatan semua orang, pemuda itu segera masuk ke dalam lorong bawah tanah. Dan tentu saja kedatangannya sangat mengagetkan kawan-kawannya. Apalagi setelah dari gulungan jerami yang dibawanya itu muncul tubuh Prajurit Go tadi.
"Saudara Aliong dari mana kau dapatkan orang ini...?" Liu Wan bertanya dengan suara tegang.
"Benar, kemana saja kau ini...?" Souw Hong Lam mendesak pula.
"Dia seorang prajurit penjaga benteng ini. Aku membawanya kemari karena dia mengetahui tempat Panglima Yap Kim disembunyikan. Dia dapat menunjukkan tempat itu." Dengan tenang A Liong menjelaskan. Begitu siuman, prajurit itu terkejut sekali. Dia segera bangkit, namun segera jatuh kembali di atas lantai. Tiau Hek Hoa menghantam tengkuknya dengan gagang kipasnya.
"Kau tidak boleh pergi. kau harus menunjukkan tempat di mana Panglima Yap Kim dikurung." Gadis itu mengancam.
"Kalian siapa? Kalian mau menyerang benteng ini?" Dalam keadaan terdesak prajurit itu mencoba menggertak.
"Jangan banyak bicara! Pilih saja salah satu! Mengantar kami ke tempat Panglima Yap Kim nanti malam, atau... Kubunuh saja kau sekarang!" Tiau Hek Hoa yang kejam itu menghardik.
"Nona Tiau, jangan terlalu keras...!" Liu Wan berdesah pendek. Prajurit itu melirik Liu Wan, lalu ia menggeram.
"Bagaimana kalau aku tidak bersedia?" Tiba-tiba tangan kiri Tiau Hek Hoa mencengkeram rambut prajurit itu, sementara tangan kanannya mengeluarkan sebutir pel merah dari kantungnya. Sebelum yang lain dapat mencegah, pel itu telah dijejalkan ke mulut Prajurit Go.
"Nah! Dengarlah...! Tanpa obat pemunah dari aku, jangan harap kau bisa hidup! Lihatlah...!" Sekali lagi gadis itu bergerak. Kali ini dia menyambar cecak yang sedang merayap di atas dinding. Binatang itu lalu diletakkan di depan Prajurit Go. Cecak itu lalu dijejali dengan pel yang sama. Hanya kali ini tidak diberikan seluruhnya, tapi hanya sepotong kecil saja.
"Nih, lihatlah...!" Gadis itu lalu meletakkan binatang tersebut di atas lantai. Baik A Liong maupun Liu Wan hanya saling pandang sambil mengerutkan dahi mereka. Seperti halnya Souw Hong Lam, mereka juga belum memahami maksud Tiau Hek Hoa.
"Nona Tiau, kasihan cecak ini. Kembalikan dia ke..." Belum habis kata-katanya, mata Liu Wan terbelalak. Tubuh cecak yang menggeliat-geliat di atas lantai itu tiba-tiba mencair. Mula-mula dari kepalanya, kemudian merata ke seluruh badannya. Sebentar saja binatang itu telah berubah menjadi cairan kuning kehijauan!
"Oooh...!" Prajurit Go memekik ketakutan. Tapi bukan hanya prajurit itu yang! merasa ngeri melihat keganasan pel Tiau Hek Hoa. Ternyata A Liong, Liu Wan dan Souw Hong Lampun diam-diam merasa ngeri juga.
"Gadis ini sungguh berbahaya..." Masing-masing berkata di dalam hati. Sekarang Prajurit Go benar-benar ketakutan setengah mati. Dia tak ingin dagingnya mencair seperti cecak itu.
"Lihiap, to-tolonglah...! Jangan bunuh aku! Akan aku tunjukkan tempat itu! Percayalah! Tapi... t-tapi... berilah aku obat pemunahnya dulu! Tolonglah!" Tiau Hek Hoa mencibirkan bibirnya.
"Huh, aku tidak sebodoh yang kau kira. Obat pemunah itu baru akan kuberikan kepadamu setelah kau menunjukkan tempat Panglima Yap Kim. Untuk sementara kamu tak usah takut pada Pel Pemusnah Dagingku. Aku hanya memberimu sebutir pel saja. Berarti tubuhmu masih dapat bertahan sampai besok pagi. Percayalah!"
"Jadi... jadi...??"
"Sudahlah. Kita tunggu saja sampai matahari terbenam. Setelah kau tunjukkan ruang Panglima Yap Kim, pel pemunahnya akan kuberikan padamu." Gadis itu sekali lagi mencibirkan bibirnya. Liu Wan menggeleng-gelengkan kepalanya. Meskipun gertakan itu sangat jitu, namun rasanya terlalu keji dan semena-mena.
"Tapi... Lihiap, bagaimana kalau racun pel itu terlanjur merusak isi perut-ku? Lihiap, kumohon... berikan obat pemunahnya sekarang! Aku bersumpah tidak akan ingkar janji! Kasihanilah aku..." Prajurit itu merintih dan mengiba-iba di depan Tiau Hek Hoa.
"Diam kau! Sekali kukatakan nanti... ya nanti! Keputusanku tidak dapat diubah-ubah lagi!" Tiau Hek Hoa membentak. A Liong merasa kasihan. Bagaimanapun juga dialah yang membawa prajurit itu ke sini.
"Ah! Mengapa kita harus takut padanya? Berikan saja pel pemunahmu itu! Aku tanggung dia takkan berani melarikan diri!" Mata Tiau Hek Hoa mendelik. Suaranya terdengar kaku dan ketus ketika menjawab perkataan A Liong.
"Huh! Tampaknya kau memang tidak tahan lagi! kau ingin bertarung dengan aku sekarang juga! Baik! Akan kulayani sampai salah seorang diantara kita mampus di tempat ini!" A Liong berdiri tegak. Tampaknya pemuda itu juga tidak mau mengalah lagi. Wajahnya tampak keruh dan kesal, sorot matanya juga kelihatan seram dan menakutkan. Dari kedua belah tangannya yang terkepal terdengar suara ber-kerotokan.
"Kau memang perempuan tak tahu diri. Orang sudah mau mengalah, kau tetap saja menindas dan memojokkan! Hmh, kau kira orang lain juga tidak dapat berbuat gila sepertimu? Baik! Kalau kau memang ingin bermain gila-gilaan, bermain menang-menangan, kau akan mendapatkannya! kau akan mendapat lawan main yang cocok! Aku dapat berbuat lebih edan dan lebih menyeramkan dari pada kamu!" Sebagai manusia yang sudah kenyang dengan segala macam pengalaman buruk, maka A Liong memang dapat berbuat apa saja. Dia pernah. diperlakukan orang seperti anjing, seperti benda mati, seperti kotoran! Sebagai pengemis hidupnya memang penuh penghinaan dan kesengsaraan! Ternyata sikap pemuda itu cukup menggetarkan hati Tiau Hek Hoa. Wajahnya yang galak sedikit meredup. Namun sebelum mereka benar-benar bertarung, Liu Wan sudah lebih dulu melerainya.
"Hentikan! Kalian mau berhenti atau tidak?" Pemuda yang sedang menyamar sebagai tabib tua itu berteriak tertahan. Dua orang yang siap berlaga itu menggeram. Keduanya tampak marah dan penasaran.
"Baiklah, Ciok Sinshe. Maafkanlah aku." Akhirnya A Liong mengendorkan tangannya.
"Terima kasih, saudara A Liong. Dan... Kau, Lihiap! Kuharap kaupun dapat menahan diri. Kita semua sedang melaksanakan tugas berat. Kita harus menggalang kekuatan kita. Singkirkan dulu segala macam pertengkaran dan perbedaan kita! Bagaimana...? Emm, baiklah... sekarang kuminta Tiau Lihiap mau memberikan obat pemunah racunnya! Berikan kepada orang ini supaya dia dapat menunjukkan tempat itu dengan hati tenang!" Mata yang menyala itu perlahan-lahan meredup.
"Baiklah, aku turuti katamu. kAu-yang paling tua. Dan... Kau pula yang memimpin tugas ini. Tapi setelah tugas ini selesai, jangan harap kau dapat melarangku lagi. Kerbau dungu ini tetap akan kubunuh!"
"Terserah...! Lohu memang tidak berhak untuk mencampuri urusan kalian." A Liong tidak mau berbicara lagi. Setelah gadis itu memberikan pel pemunah racunnya, dia segera kembali pula ke tempatnya. Souw Hong Lam yang jarang berbicara itu datang mendekatinya.
"Saudara A Liong, bersabarlah! Kami tahu bahwa kau sudah banyak mengalah kepadanya. Tapi demi keberhasilan tugas kita, kuharap kau lebih banyak mengalah lagi. Rasanya kau lebih dapat berpikir jernih daripada dia. Nah, sekarang beristirahatlah...!" A Liong tersenyum.
"Jangan khawatir, saudara Souw. Aku bukan macam orang suka berkelahi. Bahkan sejak kecil aku sudah terbiasa hidup bergotong-royong dengan orang lain. Aku bekas gelandangan, yang tumbuh diantara kawanan pengemis. Rasanya aku lebih banyak memiliki rasa perdamaian daripada permusuhan."
"Gelandangan...? kau bekas gelandangan? Ah, aku tidak percaya. Tubuhmu besar dan kuat!" Sekali lagi A Liong tersenyum.
"Saudara Souw! Aku berkata sebenarnya. Aku benar-benar tidak mempunyai sanak-keluarga seperti engkau. Sejak kecil aku selalu berkelana dari kota ke kota. Kawanku banyak sekali. Kalau akhirnya badanku bisa tumbuh seperti ini, aku sendiri juga tidak tahu. Mungkin karena nafsu makanku besar sekali. Sekali makan aku bisa menghabiskan sebakul nasi."
"Ah, kau bisa saja...!" Ternyata pada saat yang sama, Tiau Hek Hoa juga sedang mendekati Prajurit Go. Dengan suara geram bibir tipis itu berbisik di telinga prajurit itu. Perlahan saja, tapi sangat mengejutkan pendengarnya!
"Awas! Jangan macam-macam kau! Obat yang kuberikan itu obat palsu, bukan obat pemunah racunku! Obat pemunah yang asli baru akan kuberikan setelah tugasmu selesai! Tahu...?" Demikianlah, malam itu mereka mulai bergerak setelah lonceng berdentang sembilan kali. Prajurit Go yang tidak mau mati konyol membawa mereka menyelinap melalui tempat-tempat yang aman. Mereka melewati lorong-lorong rahasia, yang tidak mungkin mereka ketahui tanpa bantuan Prajurit Go. Setelah naik-turun tangga dan berputar-putar melewati puluhan lorong rahasia, mereka muncul di tempat terbuka. Prajurit Go berhenti. Kulit mukanya tampak pucat.
"Nah! Mulai dari tempat ini kita tidak dapat melalui jalan rahasia lagi. Kita harus menyeberang halaman ini dan masuk ke pintu gerbang di tengah-tengah bangunan itu. Tapi hal itu tidak mungkin kita lakukan tanpa diketahui penjaga. Di sekeliling halaman ini banyak pos-pos penjagaan yang dihuni oleh pasukan prajurit pilinan. Lihatlah lampu-lampu minyak itu...! Itulah pos-pos penjagaan!" Liu Wan termangu-mangu. Prajurit itu tentu tidak berbohong. Memang sulit melintas di halaman luas itu tanpa terlihat oleh penjaga. Apalagi bulan bersinar dengan cerahnya.
"Bagaimana pendapatmu, saudara Souw? kau jarang. sekali berbicara. Mungkin kau dapat menemukan jalan yang terbaik?" Pemuda ganteng itu tidak segera menjawab. Matanya menatap ke ujung halaman tanpa berkedip. Tiba-tiba ia melihat kesibukan di setiap pos penjagaan itu.
"Ciok Sinshe, lihat...! Prajurit-prajurit itu keluar dari pos masing-masing! Mereka menyusun barisan dengan tergesa-gesa! Tampaknya telah terjadi sesuatu dalam benteng ini...!" Tangan Tiau Hek Hoa dengan cepat menyambar lengan Prajurit Go.
"Cepat katakan! Apakah mereka tahu kedatangan kita?" Gadis itu menggeram marah.
"Aku~. aku tidak tahu! Benar! Aku tidak tahu! Bukankah seharian penuh aku bersama kalian? Mana sempat aku berbuat yang bukan-bukan?" Prajurit itu mendesis kesakitan.
"Kalau begitu... Mengapa mereka ber-siap-siaga seperti itu?" A Liong cepat-cepat menengahi.
"Sungguh! Aku tidak tahu! Oh, ya... Mungkin... Mungkin pasukan Mo Tan itu benar-benar sudah datang! Jadi... jadi mereka bersiap untuk mempertahankan benteng ini. Pertempuran besar akan segera berlangsung...!"
"Pasukan Mo Tan? Oh? Begitu cepatnya mereka datang?" Sekejap kemudian suasana di dalam benteng itu menjadi sibuk luar biasa. Ratusan prajurit yang sedang berada di dalam benteng itu segera menyebar ke segala penjuru. Mereka menempati pos masing-masing. Segala macam perleng-^ kapan tempur mereka siapkan. Mereka mengeluarkan gerobag-gerobag senjata, kereta berisi batu-batu peluncur dan segala macam peralatan perang lainnya. Semua itu mereka lakukan tanpa banyak menimbulkan suara. Mereka bekerja seperti kawanan hantu.
"Bagus! Keributan ini justru membantu kita! Ayoh, sekarang kita menyeberang ke pintu gerbang itu!" Liu Wan berbisik sambil mencengkeram lengan Prajurit Go.
"Nanti dulu! Bagaimana kalau ada yang melihat kita...?" Souw Hong Lam mencegah niat itu. Semuanya tertegun. Ucapan itu memang mengandung kebenaran. Walaupun suasana sedang ribut, tapi hanya mereka sendiri yang tidak mengenakan seragam.
"Hei, dimana Kerbau Dungu itu?" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru lirih ketika matanya tidak melihat A Liong. Liu Wan dan Souw Hong Lam terkejut. Tapi mereka segera menghela napas lega. Pemuda tinggi besar itu melangkah dari tempat gelap. Kedua tangannya memeluk tumpukan seragam prajurit.
"Maaf, aku baru saja mencari seragam prajurit! Nih! Silakan pakai! Pilihlah yang cocok! Kita pergunakan untuk menyamar seperti mereka!" Liu Wan saling pandang dengan Souw Hong Lam. Mereka benar-benar kagum atas kecekatan pemuda itu.
Hanya Tiau Hek Hoa yang semakin masam mukanya. Hampir saja ia tak mau memakainya. Dalam situasi kalut seperti itu, maka seragam mereka benar-benar membantu. Apalagi disamping mereka ada Prajurit Go yang mengenal baik isyarat atau kode-kode di dalam benteng itu. Namun demikian ketika hendak masuk ke dalam pintu gerbang, Prajurit Go sempat gemetar juga. Pintu gerbang itu dijaga ketat oleh pasukan khusus, yang terdiri dari tiga puluh enam orang. Pasukan itu dibagi menjadi empat kelompok, yang bergantian menjaganya. Tapi A Liong tidak takut. Pemuda itu tetap melangkah dengan tenang, seperti layaknya seorang prajurit jaga. Di tengah pintu dia berhenti. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia tak melihat seorang penjagapun di tempat itu. A Liong justru menjadi curiga. Jangan-jangan para penjaga itu telah mengetahui kedatangan mereka dan memasang jebakan.
"Tidak ada penjaga di sini. Hei, Prajurit Go... benarkah pintu ini "tidak ada penjaganya?" Katanya perlahan.
"Hemm! Ada yang tidak beres di sini! Biasanya tempat ini dijaga ketat, karena gerbang ini merupakan pintu penghubung menuju ke benteng dalam. Di sanalah tempat Panglima Yap Kim dipenjara!" Prajurit Go menerangkan.
"Ssssst!" Tiba-tiba Souw Hong Lam memperingatkan. Sesosok bayangan tampak berkelebat dalam gelap. Bayangan itu melesat ke atas genting dan hilang di balik bubungan.
"Benar! Memang ada orang yang mendahului kita!" Liu Wan berdesis pendek.
"Inilah mereka! Penjaga-penjaga itu dibuang ke sini!" Tiba-tiba Tiau Hek Hoa berseru pula. Kepalanya melongok ke balik gardu jaga. Liu Wan menghela napas panjang. Hatinya berdebar. Siapa orang itu? Kawan atau lawan?
"Sudahlah! Kita masuk saja! Kita hadapi bersama semua rintangan! Nah, Prajurit Go...! Di mana... ruang Panglima Yap Kim?" A Liong bertanya kepada Prajurit Go.
"Di dalam bangunan itu! Di ruang belakang! Tapi... Hati-hatilah! Tempat ini penuh dengan jebakan! Setiap lorong pasti ada jebakannya! Aku... Hei!!" Belum juga habis dia berkata, sekonyong-konyong terdengar suara ledakan keras di bagian belakang bangungan itu. Bahkan berbareng dengaji itu, di luar benteng juga terdengar suara terompet dan genderang memecah kesunyian malam!
"Ada musuh menyerang benteng ini...!" Prajurit Go berkata dengan suara gemetar.
"Tapi... Ledakan di dalam bangunan itu?" A Liong berkata pula dengan suara ragu.
"Jebakan...! Orang yang masuk tadi telah melanggar salah satu dari jebakan itu!" Prajurit Go menjelaskan. Sekejap kemudian halaman kecil itu menjadi ramai sekali! Penjaga berlarian keluar. Mereka berlari ke tempat di mana telah terjadi ledakan tadi. Beberapa orang membawa obor sambil berteriak-teriak.
"Musuh menyerang benteng!"
"Awas! Ada penyelundup yang masuk ke dalam bangunan ini! Kita cari dia...!"
"Musuh datang menggempur benteng...!"
"Tutup semua pintu! Cepat...!" Liu Wan menarik tangan Prajurit Go ke jurusan lain. Tiau Hek Hoa, Souw Hong Lam dan A Liong mengikuti di belakangnya. Mereka langsung masuk ke dalam gedung dan menyelinap ke pintu belakang. Setiap kali bertemu penjaga mereka menghindar. Tapi dalam keadaan terpojok, Tiau Hek Hoa tidak segan-segan menggunakan senjatanya!
"Lihiap, hindari pembunuhan!" Liu Wan memperingatkan. Mereka tiba di ruang tengah. Belasan prajurit tampak berjaga di sana. Mereka seperti tidak terpengaruh oleh keadaan di sekeliling mereka. Demikian berhadapan dengan Liu Wan dan Prajurit Go, salah seorang diantara mereka segera menggertak sambil mengacungkan tombaknya.
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Berhenti! Prajurit dari kesatuan mana kalian ini, heh? Mengapa datang ke mari? Jawab!" Liu Wan menekan tangan Prajurit Go agar menjawab pertanyaan itu. Tapi terlambat. Samaran mereka segera terbaca oleh penjaga-penjaga itu! Rambut Tiau Hek Hoa yang panjang itu terjulur keluar dari seragamnya!
"Awaaaas, penyelundup! Ringkus mereka!" Belasan penjaga itu segera menghambur datang. Mereka menyerang tanpa memberi kesempatan lagi. Tombak dan panah segera beterbangan ke arah Liu Wan dan kawan-kawannya. Dalam keadaan gawat seperti itu semuanya tidak dapat mengekang diri lagi. Masing-masing segera mengeluarkan kesaktiannya. Apalagi mendengar keributan itu, penjaga yang berada di bagian lain segera datang mengalir ke tempat itu.
"Perajurit Go! Di mana kamar itu? Lekas katakan!" Sambil menangkis panah-panah itu Liu Wan berteriak.
"T-t-t-tapi... bagaimana dengan obat pemunah itu?" Prajurit itu berseru ketakutan.
"Apa... Maksudmu? Obat apa?" Liu Wan bertanya heran.
"Nona itu... belum memberikan obatnya! Sebentar lagi dagingku akan mencair...!" Prajurit itu menjerit dengan air mata bercucuran. Mata Liu Wan bagaikan menyala saking marahnya. Dengan suara kasar ia berteriak kepada Tiau Hek Hoa.
"Mengapa tidak kau berikan juga obat itu? Di pihak mana sebenarnya kau ini...? Tugas ini tinggal selangkah saja lagi! Lihat! Apakah kau benar-benar ingin menggagalkannya?" Belasan orang penjaga kembali menyerang dengan tombaknya. Semuanya menyerang Liu Wan dan Prajurit Go. Karena sedang marah Liu Wan tidak dapat mengendalikan diri lagi. Pemuda itu dengan cepat menggeser ke depan. Kedua tangannya terayun tanpa disadari.
"Thuuaaaas...!" Terdengar suara letupan kecil seperti tepukan tangan! Tapi akibatnya sungguh hebat! Separuh dari prajurit itu terpental jatuh tanpa dapat bangun kembali! Sekejap Mo Goat yang menyamar sebagai Tiau Hek Hoa itu terkejut. Rasanya dia pernah melihat pukulan itu!
"Kau... Kau, eh... baik! Baik! Inilah obatnya!" Dalam keadaan gugup gadis itu menyerahkan obatnya. Sementara itu beberapa langkah di dekat mereka, Souw Hong Lam dan A Liong juga dipaksa untuk bertempur pula.
Kehebatan pukulan Liu Wan sama sekali tidak mempengaruhi daya tempur prajurit-prajurit pilihan itu. Tanpa ragu-ragu mereka menerjang Souw Hong Lam dan A Liong, sehingga keduanya terpaksa harus bekerja keras untuk menahan mereka. Souw Hong Lam mengerahkan ginkangnya dan berloncatan di antara kepala lawan-lawannya. Badannya yang jangkung itu melayang-layang seperti burung rajawali di antara kawanan serigala. Sementara tangannya menyambar kesana-kemari, bagaikan tangan malaikat mencabut nyawa! Setiap kali tangan itu menyambar, seorang prajurit pasti terpe-lanting tak berdaya.
(Lanjut ke Jilid 26)
Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono
Jilid 26
Tapi setiap kali ada prajurit terjatuh, prajurit yang lain segera datang menggantikan. Mereka mengalir seperti semut yang tidak ada habisnya. Melihat kesibukan kawannya, A Liong tidak dapat tinggal diam. Dia turun tangan membantu.
Tapi karena pada dasarnya memang tidak ingin melukai orang, maka pemuda itu hanya berusaha untuk melumpuhkan perlawanan lawannya. Namun demikian apa yang dilakukan A Liong cukup membuat lawan-lawannya terkejut. Tanpa membawa senjata pemuda itu menyongsong serbuan mereka. Dan hanya dengan mengandalkan lengan dan kakinya, pemuda itu menangkis hujan senjata yang datang menghantam dirinya. Tapi apa yang terjadi selanjutnya, sungguh membuat lawan-lawannya ternganga. Ternyata bukan tangan atau kaki pemuda itu yang patah atau terpotong, sebaliknya justru pedang dan golok mereka sendiri yang patah atau rusak! Pemuda itu seolah-olah telah berubah menjadi patung besi, yang mampu menahan sabetan golok dan pedang! Bahkan sambil melayani para perajurit itu, A Liong masih sempat berteriak ke arah Liu Wan.
"Ciok Sinshe! Kita jalan ke mana...?"
"Pintu sebelah kanan!" Prajurit Go yang sudah mendapatkan obat pemunah itu menjawab dengan keras.
"Baik! Kalau begitu biar aku yang membuka jalan! Kalian semua mengikut di belakangku!" A Liong kembali berteriak. Lalu tanpa menanti jawaban lagi pemuda itu benar-benar membuka jalan. Dengan kekebalan tubuhnya dia terus menerjang ke pintu sebelah kanan. Siapapun yang berusaha menghalang di depannya, segera terlempar bersama senjata mereka. Liu Wan cepat menyeret Prajurit Go di belakang A Liong. Souw Hong Lam dan Tiau Hek Hoa juga mengikuti di belakang mereka. Mereka berlari menuju pintu yang ditunjuk oleh Prajurit Go. Mereka masuk ke dalam ruangan yang lebih luas. Namun kedatangan mereka di sana sudah dinantikan oleh kelompok penjaga lain. Begitu datang mereka segera dikepung pula. Bahkan penjaga di tempat itu kelihatan lebih ganas dan lebih terlatih daripada tadi.
"Tangkap mereka...!" Seorang perwira tinggi dengan seragam gemerlapan, tampak berdiri di tengah ruangan. Suaranya bergetar penuh kekuatan. A Liong tetap menerjang ke depan. Barisan pejijaga itu segera tersibak dan berjatuhan begitu berhadapan dengan A Liong. Mulai dari lapisan terdepan sampai ke lapisan yang ke empat langsung terpental ke kanan dan ke kiri. Tetapi karena A Liong tidak berusaha melukai mereka, maka merekapun segera berdiri kembali dan menyerang dari kanan dan kiri. Sambil menghalau prajurit-prajurit itu A Liong melihat ke sekitarnya. Ia melihat belasan buah pintu keluar di dalam ruangan itu.
"Ciok Sinshe, lihatlah! Banyak sekali pintu di sini! Pintu mana yang harus kita lalui?" Pemuda itu berseru sambil menoleh ke arah teman-temannya yang selalu mengikut di belakangnya. Liu Wan menggenggam lengan Prajurit Go.
"Katakan...!" Di mana ruangan itu?"
"Pintu hijau! Pintu itu menuju ke lorong bawah, tempat Panglima Yap Kim dikurung!"
"Baik! Kita menuju ke sana!" A Liong kembali berteriak seraya menerjang ke depan. Bagaikan kawanan serigala yang tidak takut mati barisan penjaga itu tetap menyerang dan menghalangi langkah A Liong.
Walaupun mereka harus berjatuhan setiap kali bentrok dengan lengan pemuda itu, tapi mereka tetap saja me-rangsek ke depan. Mereka sama sekali tidak takut menyaksikan kehebatan A Liong. Mereka benar-benar memiliki disiplin prajurit yang tinggi. Melihat kehebatan A Liong, akhirnya perwira tinggi itu terjun pula ke dalam arena. Dengan golok di tangan perwira itu menyerang A Liong. Demikian kuat ayunan goloknya sehingga terdengar suara desing yang mengerikan. A Liong tidak berani menangkis golok itu. Ia menghindar ke samping sambil menghantam pinggang lawannya. Tapi dengan tangkas perwira itu menggeliat ke samping pula. Goloknya yang gagal mengenai A Liong, berputar ke belakang dan kembali menebas ke depan. A Liong cepat membungkukkan badannya, sehingga golok itu nyelonong ke belakang, ke arah Tiau Hek Hoa!
"Traaaang!" Bunga api berhamburan ketika golok itu bertemu dengan kipas baja Tiau Hek Hoa.
"Aduh...!" Perwira itu menjerit sambil melepaskan goloknya. Kekuatan gadis bermuka hitam itu membuat kulit tangannya seperti terkelupas. Namun ketika gadis itu kembali mengayunkan kipasnya ke depan, A Liong cepat-cepat menepisnya ke samping! Dalam keadaan terluka perwira itu tak mungkin dapat mengelakkan serangan tersebut. Dan A Liong tidak tega melihat perwira itu mati.
"Gila! Kenapa kau... Halangi aku? Bukankah dia ingin membunuh kita?" Tiau Hek Hoa menjerit penasaran. Namun gadis itu tidak dapat melanjutkan kemarahannya. Belasan prajurit lainnya segera datang menolong perwira itu. Mereka menyerbu seperti lebah yang keluar dari sarangnya. Hal itu membuat Tiau Hek Hoa marah bukan main sambil menjerit kesal ia menyebar paku beracunnya! Maka tiada ampun lagi kawanan prajurit itu berjatuhan ke lantai! Liu Wan tertegun. Kipas baja dan paku-paku beracun itu mengingatkan dia pada gadis cantik yang ditemuinya lima tahun lalu.
"Dia...?" Tapi belum sempat menyebut nama gadis itu, dari Pintu Hijau tiba-tiba keluar belasan prajurit yang ketakutan! Mereka berlari seperti dikejar setan!
"Ada apa pula ini...?" Perwira yang. selamat dari tangan Tiau Hek Hoa tadi berseru mengatasi keributan tersebut.
"Panglima Yap Kim lolos dari penjara! Dua orang penyelundup telah membebaskan dia!" Seorang perwira yang ikut berlari di antara prajurit-prajurit itu berkata gugup. Seragamnya telah basah dengan darah.
"Panglima Yap Kim lolos? Kemana dia sekarang?"
"Aku ada di sini!" Tiba-tiba prajurit yang ada di dekat pintu hijau itu menyibak. Seorang kakek berperawakan sedang, berusia sekitar enam puluh lima tahun, dengan rambut berwarna kelabu, keluar dengan langkah gagah. Sambil mengelus kumis dan jenggotnya yang tertata rapi orang tua itu menatap dengan penuh wibawa. Dan tak seorangpun dari para prajurit di ruangan itu yang berani menentang matanya.
"P-p-p-panglima...?" Perwira yang garang tadi ternyata menjadi gentar juga berhadapan dengan bekas panglima itu. Sementara itu di pihak lain, wajah Tiau Hek Hoa kelihatan berubah ketika melihat Panglima Yap Kim. Matanya berkilat penuh nafsu membunuh. Namun ketika gadis itu melangkahkan kakinya ke depan, Liu Wan segera mengejarnya. Pemuda itu merasa curiga.
"Lihiap, kau mau ke mana? Kita tidak boleh bertindak sendiri-sendiri. Panglima Yap Kim telah bebas. Seseorang telah mengeluarkannya dari penjara. Sekarang tugas kita untuk melindungi dan membawanya keluar dari tempat ini." Tiau Hek Hoa tertegun. Sesaat timbul keraguan di hatinya. Tapi keraguan itu segera lenyap. Perintah ayahnya lebih penting dari segalanya. Dan sekarang adalah waktu yang paling tepat untuk melaksanakan perintah itu. Mantan panglima yang sangat berpengaruh itu harus dibunuhnya sekarang. Apabila orang tua itu sampai lolos dan terlanjur dikelilingi para pengikutnya, maka akan sulit sekali untuk mendekatinya. Mulut Tiau Hek Hoa menggeram. Tiba-tiba ia membalikkan badannya. Tangannya terangkat dan mendorong dengan kekuatan penuh, menyongsong kedatangan Liu Wan.
"Aku memang hendak melindungi Panglima Yap Kim. Minggirlah!" Gadis itu mengeram. Angin dingin tiba-tiba menyerang Liu Wan. Pemuda itu gelagapan. Sesaat timbul rasa tak percaya bahwa gadis itu menyerang dirinya. Tapi kenyataan memang demikian. Gadis itu benar-benar hendak membunuhnya. Dalam keadaan terpojok, tiada jalan lain selain membela diri. Otomatis kedua tangan Liu Wan menyongsong ke depan pula. Hong-lui-kang tersalur sepenuhnya.
"Whhuuuuus...!" Tetapi sekali lagi Liu Wan menjadi gelagapan. Tangannya yang terulur penuh tenaga itu sama sekali tidak membentur tangan Tiau Hek Hoa. Pukulannya menggapai tempat kosong. Ternyata dalam waktu singkat, Tiau Hek Hoa sudah mengubah serangannya. Gadis itu bergeser ke samping. Bahkan sambil bergeser ia mengerahkan ilmu-pamungkasnya. Tubuhnya yang ramping kecil itu mendadak berubah menjadi delapan orang. Bentuk dan wajahnya sama. Bahkan pakaiannyapun juga sama pula. Semuanya bergerak menuju ke arah Panglima Yap Kim. Tentu saja kejadian itu mengejutkan semua orang. Tidak terkecuali Panglima Yap Kim sendiri. Malah A-liong juga kaget pula melihatnya.
"Awas! Tahan Dia!" Liu Wan menjerit kuat-kuat. Souw Hong Lam yang kebetulan berada paling dekat dengan gadis itu segera menusukkan jarinya ke depan!
"Srrrt!" Seleret sinar kemerahan menyerang salah seorang dari delapan Tiau Hek Hoa itu. Persis pada punggungnya.
"Cuuus!" Sinar itu dengan tepat mengenai sasarannya.
"Haaah...?!?" Souw Hong Lam ternganga kaget. Punggung itu jelas kena, malah sampai bolong! Tapi gadis itu seolah-olah tak merasakannya. Bahkan luka bolong itu sama sekali tidak mengucurkan darah!
"Ilmu sihir...?" A-liong berdesah.
"Tangkap dia! Dia orang Hun, anak buah Mo Tan!" Liu Wan sekonyong-konyong berteriak begitu ingat siapa gadis itu. Tapi Mo Goat atau Tiau Hek Hoa sudah tidak memikirkan jiwanya lagi. Sejak kecil dia sudah dididik dengan keras oleh ayahnya. Seorang warga Hun selalu siap mengobankan nyawa untuk negerinya. Apalagi dia adalah puteri Raja Hun yang sangat dijunjung tinggi oleh rakyatnya. Sesaat kemudian kedelapan orang itu kembali bergerak. Mereka berpencar, lalu menerobos kepungan prajurit yang mengelilingi Panglima Yap Kim. Masing-masing bergerak seolah-olah mereka memang hidup sendiri-sendiri.
Namun teriakan Liu Wan tadi sudah cukup untuk membuka kedok Mo Goat. Sehingga A Liong dan Souw Hong Lam seperti mendapatkan, komando untuk meghentikan gadis itu. Hampir berbareng keduanya melompat tinggi ke udara, melewati kepala prajurit yang mengepungnya! Mereka berusaha secepatnya mendahului lawan agar dapat lebih dulu tiba di dekat Panglima Yap Kim. Mereka harus melindungi bekas panglima itu. A Liong benar-benar mengeluarkan segala kemampuannya, sehingga tubuh kekar itu benar-benar melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Dan sekejap saja pemuda itu telah berada di dekat Panglima Yap Kim. Jauh mendahului Souw Hong Lam, Liu Wan, maupun kedelapan bentuk Mo Goat itu sendiri! Tetapi kedcatangannya segera disambut dengan tusukan pedang. Sedangkan lelaki gemuk berpakaian pelayan dapur menyerangnya.
"Traaaang!" A Liong menepis pedang itu dengan ujung sepatunya.
"Ughhh!" Pelayan dapur itu mengeluh pendek. Tubuhnya yang gemuk terhuyung, sementara pedang pendeknya hampir terlepas dari genggaman.
"Hah...?" A Liong sendiri juga tersentak kaget pula. Ternyata lelaki gemuk itu adalah pelayan dapur yang dilihatnya pagi tadi. Sesaat mereka saling pandang dengan rasa kagum. Dan keduanya baru sadar ketika rombongan manusia Mo Goat itu datang menyerbu. Tanpa direncanakan lebih dulu mereka berdiri berdampingan menghadapi "delapan bayangan" Mo Goat tersebut. Dan selanjutnya pertempuran sengit tidak bisa dihindarkan lagi. Para prajurit di dalam ruangan itu. segera bergabung pula dengan Mo Goat. Mereka beramai-ramai menyerang rombongan Liu Wan yang berusaha melindungi Panglima Yap Kim. Melihat pelayan dapur itu juga melindungi Panglima Yap Kim, maka A Liong segera tahu di mana lawannya berpijak.
"Apakah... saudara yang membebaskan Panglima Yap Kim? Ah, maaf! Kami semua telah salah sangka. Kukira saudara penghuni benteng ini..." A Liong menjelaskan. Pelayan dapur itu tidak menanggapi omongan A Liong. Matanya justru mengawasi Liu Wan yang bertempur di dekat mereka.
"Bukankah dia itu... tabib Ciok?" Katanya seperti tak percaya.
"Siapa? Oh, kawanku itu? Benar! Dia memang Ciok-sinshe."
"Ough? Jadi benar dia itu Tabib Ciok?" Pelayan dapur itu kelihatan gembira sekali! Tapi kegembiraannya segera terputus oleh desakan para prajurit yang mengepungnya. Mereka menyerang seperti air bah yang tumpah dari bendungan. Gempuran mereka membuat A Liong dan pelayan dapur tidak sempat lagi untuk saling berbicara. Masing-masing harus melayani belasan prajurit, yang menyerang tanpa rasa takut. Suasana benar-benar ruwet dan campur aduk tidak karuan. Tentu saja Liu Wan menjadi cemas sekali. Pertempuran brutal seperti itu sangat membahayakan jiwa Panglima Yap Kim. Tanpa pelindung atau pengawal, mantan Panglima itu dapat dibo-kong oleh lawan-lawannya.
"A Liong! Lindungi Panglima Yap Kim.! Cepat...!" Liu Wan berteriak keras mengatasi kegaduhan itu. Tanpa diperintah dua kali, A Liong segera menerjang lawan yang menghalangi dirinya. Begitu dahsyat tenaganya, sehingga prajurit yang menghalang di depannya terlempar ke kanan dan ke kiri.
"Panglima aku akan mengawalmu keluar..." Pemuda itu berseru kepada Yap Kim. Orang tua itu menoleh. Sikapnya masih sangat tenang, walaupun empat sosok bayangan Mo Goat dan belasan orang prajurit mengepungnya. Ia selalu dapat menghindari serangan lawan. Bahkan sekali-sekali dari telapak tangannya meluncur pukulan jarak jauh yang perba-wanya sampai menggetarkan udara di ruangan itu. Bagaimanapun juga Yap Kim adalah ahli waris keluarga Yap, keluarga pendekar yang sangat terkenal di dunia persilatan. Selain ilmu silatnya sangat hebat, dia juga pernah menjabat sebagai Panglima Perang di jaman Kaisar Liu Pang. Bahkan kakaknya, Yap Kiong Lee, adalah jago silat nomer satu di Kotaraja.
"Anak muda, ilmu silatmu sangat tinggi. Engkau murid siapakah?" Orang tua itu bertanya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Ah, Guruku sama sekali tak dikenal orang. Beliau belum pernah menginjakkan kakinya di daratan Tiongkok, karena beliau tinggal di sebuah pulau kecil di Laut Utara. Beliau bernama Soat Bun Ong dan Bok Kek Ong..."
Benar juga. Panglima itu mengerutkan keningnya. Nama-nama yang disebutkan A Liong itu sama sekali belum pernah didengarnya. Tapi sebelum dia bertanya lagi, salah seorang dari bentuk Mo Goat itu kembali menyerang dirinya. Yap Kim tidak tahu, orang itu Mo Goat asli atau palsu. Yang jelas serangan itu menebarkan hawa dingin! Serangan gadis itu memang hebat. Selain kuat dan cepat, ternyata waktunya sangat tepat. Kedua tangan Yap Kim baru saja menepis pedang dan golok yang menyerangnya dari kanan dan kiri, sehingga dadanya otomatis terbuka. Sesaat orang tua itu menjadi bimbang. Kalau dia menghindar, maka korban akan berjatuhan. Kipas itu tentu akan menyelonong dan mengenai prajurit-prajurit di dekatnya. Tapi kalau dia tidak menghindar, berarti nyawanya yang akan melayang.
"Ah...!?" Orang tua itu berdesah bingung. A Liong melihat kesulitan itu. Tiba-tiba kakinya melangkah dan berputar beberapa kali. Dan dalam sekejap saja ia telah berada di samping Panglima Yap Kim. Ketika tangannya terayun ke depan, maka tangan itu telah menggengam sebilah pedang kecil mirip belati. Dan dari ujung belati itu melesat cahaya berwarna-warni. Semuanya tertuju ke arah kipas Mo Goat!
"Criiing! Cring! Criiiing!" Kipas itu terdorong ke belakang, seolah-olah membentur dinding baja!
"Panglima, marilah kita keluar dari ruangan ini!" Pemuda itu berseru sambil mengayunkan kembali pedang kecil yang dapat mengeluarkan cahaya pelangi itu. Seleret cahaya berwarna-warni kembali meliuk-liuk seperti naga terbang. Benda apapun yang membentur cahaya itu tentu terpental bagaikan membentur benteng yang amat kuat.
"Oh! Ilmu pedang apa itu?!" Dalam keadaan terdesak orang tua itu masih saja tergagap keheranan. Ternyata cahaya pelangi itu benar-benar ampuh. Ke manapun cahaya itu bergerak, korban segera berjatuhan... Tidak terkecuali bentuk-bentuk Mo Goat berjumlah delapan buah itu. Walaupun setiap saat selalu dapat berdiri dan hidup kembali, namun bentuk-bentuk Mo Goat itu tidak dapat menahan setiap kali diterjang cahaya pelangi! Tiba-tiba terdengar bunyi menggelegar, diikuti sorak-sorai setinggi langit! Sesaat para perajurit di dalam ruangan itu terkejut! Wajah mereka tampak puas! Beberapa saat kemudian di luar gerbang terdengar suara terompet dan tambur bertalu-talu. Beberapa orang prajurit berbegas meninggalkan ruangan itu.
"Pasukan musuh berhasil membobol benteng! Kita harus keluar menghadapi mereka!" Prajurit itu berteriak dan berlari keluar.
Ternyata langkah mereka diikuti pula oleh prajurit yang lain. Berbodong-bondong mereka berlari keluar untuk menyongsong pasukan musuh. Tambur dan terompet tadi merupakan aba-aba buat mereka. Akhirnya Mo Goat terpaksa harus bertempur sendirian. Meskipun dengan ilmunya Pat-sian ih-hoat, ia dapat berubah menjadi delapan orang, tapi dia tidak dapat menghadapi Liu Wan dan kawan-kawannya. Mereka terlalu kuat untuk dilawan seorang diri. Terutama A Liong, pemuda yang memiliki ilmu pedang aneh itu. Mo Gpat benar-benar menjadi repot. Cahaya pelangi yang muncul dari pedang A Liong mempunyai gerakan yang sulit diduga. Cahaya itu meliuk-liuk di atas kepala, seperti naga yang terbang di atas langit. Ilmu silat Pat-sian ih-hoat miliknya, yang selama ini belum pernah menemukan tandingan, ternyata dibuat tak berkutik oleh permainan pedang kecil tersebut.
Oleh karena itu Mo Goat tidak bisa berbuat apa-apa ketika Panglima Yap Kim dibawa keluar dari gedung itu. Dia justru ikut menyelinap keluar pula setelah melepas Pat-sian ih-hoatnya. Dia berbaur dalam arena pertempuran. Sementara itu suasana di dalam benteng benar-benar kacau-balau. Pintu gerbang utama sudah terbuka lebar dan pasukan penyerbu yang terdiri dari para pendekar persilatan menyebar di mana-mana. Mereka mencari ruang penjara Panglima Yap Kim. Seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan, tampak mengamuk di dekat jembatan gantung. Pemuda itu bertempur bersama-sama dengan seorang gadis manis, yang selalu mengekor di belakangnya. Walaupun dikepung oleh belasan prajurit bertombak, mereka sa-ma sekali tidak mengalami kesulitan.
Memburu Iblis Eps 13 Memburu Iblis Eps 22 Pendekar Penyebar Maut Eps 47