Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 21


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 21




   Pada saat itu muncul Coa Hong Kin dan Go Hui Lian. Nyonya ini sambil tertawa berseru keras.

   "Coba lihat, siapa yang datang bersama kami?".

   Pangeran Wanyen Ci Lun mengeluarkan suara girang, melompat dari kursinya, berlari maju dan di lain saat ia sudah berpelukan dengan Wan Sin Hong! Gak Soan Li duduk seperti patung di atas kursinya, wajahnya dan matanya terbelalak memandang ke Wan Sin Hong dan Pangeran Wanyen Ci Lun. Dua orang laki-laki setengah tua yang serupa benar wajahnya, tampan dan gagah, hanya pakaian saja yang berbeda. Pangeran Wanyen berpakaian seperti seorang panglima sedangkan Wan Sin Hong berpakaian sederhana.

   "Aku pernah bertemu dengan dia ....... aku pernah bertemu dengan diaa......" demikian kata hati nyonya ini dan dadanya berdebar aneh, keningnya yang masih halus itu berkerut-kerut seakan-akan ia sedang mengerahkan tenaga otaknya untuk mengingat-ingat. Di belakang Sin Hong muncul Siok Li Hwa yang masih cantik gagah, akan tetapi kelihatan lesu dan berduka..Nyonya ini digandeng oleh Coa Lee Goat, murid suaminya juga muridnya.

   "Saudaraku yang baik..........! Tentu Thian yang menuntunmu mengunjungi kami yang sedang amat mengharap-harapkan kedatanganmu. Silakan duduk di dalam. kita bicara....."

   Wan Sin Hong menjadi terharu dan matanya basah ketika ia memandang kepada pangeran itu dan kepada Gak Soan Li yang masih duduk mematung, kemudian ketika ia melirik dan melihat Wan Bi Li sudah bergandeng tangan dengan Lee Goat dan dua orang gadis itu berbisik-bisik agaknya membicarakan. mereka yang baru datang, wajahnya yang tadinya muram menjadi agak berseri.

   "Ah, sekarang kalian sudah menjadi sahabat baik, bukan? Memang semua adalah orang sendiri. dulu di Omei-san kalian berkelahi!"

   "Suhu, dulu teecu tidak tahu bahwa Bi Li adalah puteri dari bibi guru sendiri. Kalau tahu masa bertempur" jawab Lee Goat tertawa.

   Sin Hong memperkenalkan isterinya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan mereka memberi hormat sebagaimana mestinya. Sin Hong menghadapi Soan Li dengan wajah tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, ia menjura sambil berkata sopan.

   "Harap hujin banyak bailk......."

   Soal Li hanya menjura kepada Sin Hong dan isterinya, bibirnya bergerak tanpa mengeluarkan suara, akan tetapi hatinya berbisik.

   "Aku pernah mengenalnya, pernah mengenalnya??.."

   Pangeran Wanyen Ci Lun mengajak tamu-tamunya masuk ke ruangan dalam untuk bercakap-cakap dan tak lama kemudian Pangeran Wanyen Ci Lun duduk menghadapi Wan Sin Hong dan Coa Hong Kin, sedangkan di ruangan belakang Gak Soan Li bercakap-cakap gembira dengan Go Hui Lian dan Siok Li Hwa.

   Baik penuturan Li Hwa kepada Soan Li dan Hui Lian, maupun penuturan Sin Hong pada Pangeran Wanyen Ci Lun dan Hong Kin, amat mengejutkan para pendengarnya. Hati siapa yang takkan terkejut dan menyesal mendengar bahwa anak perempuan yang tadinya dibawa oleh Toat-beng Kui-bo dan yang baru kemarin siculik oleh mata-mata Mongol, bukan lain adalah onak tunggal dari Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa!

   Pangeran Wanyen Ci Lun menggebrak meja.

   "Celaka! Kalau tahu demikian. tentu anak itu takkan pernah kubiarkan terpisah dari sampingku. Pantas saja kami amat suka kepadanya, kiranya dia Itu anakmu.....?" Cepat ia menceritakan semua peristiwa yang terjadi malam tadi di mana anak itu telah terculik oleh seorang tosu buntung dan seorang pemuda putera Liok Kong Ji.

   Wan Sin Hong menjadi pucat mendengar ini.

   "Putera Liok Kong Ji? Sampai sekarang iblis itu masih tetap menggangguku. Tunggu saja kau. Kong Ji. lain kali kita bikin perhitungan. Awas, kau kalau sampai anakku terganggu," kata Sin Hong mendengar penuturan itu. Kemudian atas permintaan Pangeran Wanyen Ci Lun, ia lalu menuturkan pengalamannya secara singkat selama ini.

   Seperti telah kita ketahui, kurang lebih tiga tahun yang lalu ketika Tiang Bu mengunjungi Toat-beng Kui-bo di Ban-mo-tong, Wan Sin Hong berada di sana bersama istertnya yang ketika itu sedang mengandung. Tadinya Wan Sin Hong mengejar Toat berg Kuibo yang membawa Siok Li Hwa, akan tetapi ketika tiba di Ban-mo-tong, ia mendengar hal yang amat mengherankan hasinyat, yaitu bahwa Toat beng Kui-bo sesungguhnya adalah ibu sendiri dari Li Hwa! Li Hwa amat percaya kepada keterangan Toat-beng Kui-bo yang dapat menceritakan segala hal tentang Pat-jiu Nio-nio gurunya dahulu ketika ia masih berada di perkumpulan Hui-eng-pai. Juga Li Hwa amut kasihan melihat nenek itu maka nyonya yang memang sejak kecil rindu sekali untuk bertemu dengan ibunya, menjadi tidak tega meninggalkan Toat-beng Kui-bo dan membujuk suaminya untuk mengawan "ibunya" di tempat yang menyeramkan itu.

   Pada waktu itu Sin Hong sedang menghadapi hal-hal yang tidak menyenangkan terutama sekali karena sikap bermusuh dari tokoh-tokoh kang-ouw setelah mereka mendengar bahwa dia masih keturunan keluarg pangeran Kin. Inilah sebabnya mengapa Sin Hong menuruti permintaan isterinya dan suami isteri ini tinggal di tempat itu seperti mengasingkan diri sambil melayani keperluan Toat-beng Kui-bo dan mengawasi nenek itu. Betapapun juga, di dalam lubuk hatinya Sin Hong masih ragu-ragu dan curiga, belum sepenuh hati dapat menerima bahwa isterinya adalah anak kandung dari nenek yang mangerikan itu.

   Waktu berjalan cepat sekali, Li Hwa melahirkan seorang anak perempuan, Toat-beag Kui-bo kelihatan sayang sekali kepada?cucunya" ini dan seringkali nenek itu datang menimang-nimang bayi itu. Sin Hong sudah mulai bosan tinggal di tempat itu, akan tetapi Li Hwa selalu membujuknya agar supaya mereka tinggal di situ dan mengawani ibunya sudah sangat tua.

   "Ibu sudah berusia tua sekali, bagaimana kalau kita tinggalkan seorang diri lalu jatuh sakit? Siapa yang akan merawatnya? Kau harus tahu bahwa semenjak kecil aku tidak pernah dekat dengan dia, kalau tidak sekarang pada saat dia sudah sangat tua aku melakukan kewajiban dan baktiku sebagai anak, mau tunggu kapan lagi?" demikian isteri ini membantah dan terpaksa Sin Hong menahan sabar. Memang kesabaran Sin Hong luar biasa sekali, hasil latihannya ketika ia berada di Luliangsan. Kembali dua tahun lebih lewat dan Wan Leng atau yang biasa mereka panggil Leng Leng anak itu sudah berusia dua tahun dan menjadi seorang anak yang mungil.

   Pada suatu hari ketika Sin Hong sedang duduk di lereng memandang ke tempat jauh, agaknya rindu untuk berkelana turun dari tempat itu. bertemu dengan sahabat-sahabat baik dan orang-orang gagah di dunia kangouw, tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu, ia kaget sekali karena maklum bahwa orang yang dapat datang di dekatnya tanpa ia dengar, banyalah orang yang sudah memiliki kepamdaian tinggi sekali. Ketika ia melompat berdiri dan memutar tubuh, ternyata yang berdiri di depannya adalah Ang-jiu Mo-li, masih tetap cantik seperti dulu biarpun usia sudah empat puluh tahun lebih, hampir lima puluh tahun.

   "Ang-jiu Mo-li mengejutkan orang. Ada keperluan apakah kau sampai datang ke tempat ini?"

   "Wan Sin Hong manusia pelamun! Makin tua kau makin tidak ada tidak ada guna!? Ang Jiu Mo-li mengejek.

   "Hmmm, mungkin?..? jawab Sin Hong sebal karena memang sudah sering kali ia merasa bahwa ia makin tiada guna, maka ejek orang amat mengenai hatinya.

   "Akan tetapi mengapa kau berkata demikian?"

   "Di utara api peperangan sudah bernyala-nyala. Orang-orang gagah mempergunakan kesempatan untuk mengeluarkan kepandaian agar tidak sia-sia. Akan tetapi kau, yang katanya berdarah bangsawan Kin, yang terkenal sebagai pangeran bangsa Kin berpakaian Han. kau memeluk lutut melamun di sini bersenang-senang dan berbulan madu yang tiada berkesudahan dengan isterimu, menjadi kaki tangan dari siluman tua Toat-beng Kui-bo. Cihh, tak tahu malu dan betul betul seorang pengecut besar."

   "Ang jiu Mo-li, kau datang-datang memaki aku apakah maksudmu? Mau apa kau datang ke sini?"

   "Lupakah kau akan pertemuan kita yang lalu ketika aku menampar muka wanita yang sekarang menjadi isterimu? Aku datang untuk membuktikan sampai di mana kepandaianmu, orang pemalas dan pelamun yang sudah pernah berani mengagulkan diri sebagai seorang bengcu! Bersiaplah kau!"

   Sin Hong melihat betapa kedua tangan wanita itu perlahan-lahan berubah warnanya, menjadi merah muda menjadi merah tua. Ia makum apa artinya. Memang Ang-jiu Mo-li amat terkenal namanya oleh kedua tangan ini yang mengandung sinkang beracun luar biasa kuat dan berbahaya. Ia menarik napas panjang.

   "Ang-jiu Mo-li, sebetulnya aku merasa enggan untuk bertempur dengan seorang wanita tanpa sebab-sebab yang kuat. Akan tetapi karena kau tadi sudah memaki aku seorang pengecut, terpaksa aku harus membela diri dan membuktikan bahwa makianmu tidak berdasar. Aku sudah siap. Ang-jiu Mo-li.?

   "Bagus, jaga seranganku!" seru wanita itu gembira. Sudah lama sekali ia rindu untuk mengukur kepandaian pendekar yang terkenal ini dan baru sekarang ia mendapat kesempatan. Selain itu, semenjak ia bertemu dengan Sin Hong dahulu, diam-diam Ang-jiu Mo-li sering kali duduk termenung dan melamun. Belum pernah selama hidupnya ia tertarik oleh laki-laki, akan tetapi bengcu muda ini benar-benar telah merebut hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa sakit hatinya dan betapa kecewanya ketika ia mendengar bahwa kini Wan Sin Hongsudah menjadi suami Hui-eng Niocu Siok Li Hwa.

   Wan Sin Hong berlaku hati-hati sekali dalam menghadapi serangan Ang-jiu Mo-li. Ia maklum bahwa wantia ini bukanlah lawan biasa, sama sekali tidak boleh dipandang ringan karena memiliki kepandaian yang tingkatnya sudah amat tinggi. Dengan penuh perhatian ia menghadapi serangan lawan, mengerahkan kepandaian dan tenaganya untuk mempertahankan diri dan balas menyerang. Kepandaian Ang-jiu Mo-li memang sudah setingkat dengan Sin Hong. Wanita sakti ini ketika menjelajah di utara, sudah mengemparkan tokoh-tokoh utara, bahkan sudah menggegerkan tokoh-tokoh Mongol dengan kepandaiannya yang tinggi. Liok Kong Ji sendiri di utara hampir menjadi korban tangannya ketika Liok Kong Ji yang mata keranjang tertarik oleh kecantikannya dan mencoba mengganggunya. Kalau saja tidak dikeroyok oleh banyak tokoh Mongol yang tinggi kepandaiannya, tentu Ang-jiu Mo-li tidak akan melarikan diri dan Kong Ji dapat selamat terlepas dari tangannya.

   Sebaliknya Wan Sin Hong yang sudah bertahun-tahun tak pernah bertempur melawan orang-orang
(Lanjut ke Jilid 21)
Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 21
pandai, juga tidak merosot kepandaiannya, bahkan selama ini ilmu lweekangnya meningkat. Dalam pertempuran menghadapi lawan ini ia berlaku tenang sehingga biarpun Ang jiu Mo-li mengeluarkan semua kepandaian dan menyerang dengan cepat dan gencar, Sin Hong dapat mengimbanginya. Jarang ada pertempuran tangan kosong demikian ramainya, di mana tipu dilawan tipu dan kegesitan dilawan ketangkasan. Bayangan dua orang ini sampai sukar dikenal lagi, seperti sudah menjadi satu.

   Kegagahan Sin Hong ini makin menggerakkan hati Ang jiu Mo-li yang mencinta Sin Hong. Dahulu ketika masih muda wanita ini selalu bersumpah bahwa ia takkan mau menikah dengan orang yang tidak dapat melawan kepandaiannya, dan benar saja. Tak pernah ia menemui laki-laki yang wajahnya mencocoki hatinya dan kepandaiannya dapat mengimbangi kepandaiannya. Kini menghadapi Sin Hong yang memang sudah menarik hatinya ia menjadi kagum bukan main sehingga wajahnya menjadi merah napasnya memburu dan matanya bersinar-sinar.

   "Wan Sin Hong, tahan dulu!" katanya.

   Sin Hong pun menghentikan serangannya dan memandang heran.

   "Kau mau bicara?" tanyanya tenang. Diam-diam ia harus mengakui bahwa kecuali Toat-beng Kui-bo, belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang wanita sehebat ini kepandaian silatnya.

   "Sin Hong, kepandaian kita seimbang"". tidak melihatkah kau betapa cocoknya kalau kita berdampingan, kau dan aku berdua akan dapat menguasai dunia! Pek-thouw-tiauw-ong dan isterinya yang terkenal bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kita berdua! Sin Hong, di dunia ini tidak ada jodoh yang lebih setimpal dari pada kita!" Kalau pipinya ditampar, kiranya Sin Hong takkan semerah itu mukanya.

   "Ang-jiu Mo-li, bagaimana kau bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu? Kau tahu aku sudah beristeri. Kau memang patut ditampar seperti yang diminta oleh isteriku!" bentak Sin Hong sambil melompat maju dan mengirim tamparan ke arah pipi Aug-jiu Mo-li. Memang Sin Hong tidak pernah lupa akan hinaan yang dilakukan oleh Ang-jiu Mo-li terhadap Siok Li Hwa ketika belum menjadi isterinya.

   Pipi Li Hwa ditampar sampai merah oleh Ang jiu Mo-li dan Li Hwa menjadi sakit hati sekali, bahkan menuntut agar supaya Sin Hong berjanji untuk membalaskannya. Namun tadinya Sin Hong sama sekali tidak ingin menanam permusuhan dan tidak mau menghina Ang-ji Mo-li dengan menampar pipinya. Hanya setelah mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya terlalu dan tak tahu malu, Sin Hong menjadi marah dan menamparnya.

   Ang-jiu Mo-li mana mau membiarkan dirinya ditampar? Dengan marah ia mengelak dan memaki.

   "Manusia sombong ! Aku akan mcmbunuh binimu itu! Lebih dulu aku akan membunuhmu pelamun tiada guna!? Kembali Ang jiu Mo li menyerang dan begitu ia bergerak, Sin Hong mengeluarkan seruan kaget. Serangan-seranyan Ang-jiu Mo-li sekarang ini benar-benar hebat dan sama sekali berbeda dengan tadi. Dalam gebrakan pertama saja sudah hampir saja lehernya terkena totokan, dan selanjutnya ia terdesak terus dan terpaksa hanya bisa menjaga diri dan main mundur menghadapi gclombang serangan yang dahsyat itu. Ia tidak tahu, bahwa inilah Ilmu Silat Kwan-im-cam-mo yang dipelajari oleh Ang jiu Mo li dari kitab Omei-san yang dulu terjatuh ke dalam tangannya. Tidak heran apabila Sin Hong sendiri tidak mengenal ilmu ini dan menjadi terdesak olehnya.

   Sin Hong adalah seorang pendekar besar yang berjiwa gagah perkasa. Biarpun sudah amat terdesak oleh pukulan-pukulan aneh dan sakti dari lawannya, tetap ia tidak sudi mengeluarkan Pak-kek sin-kiam untuk melawan seorang wanita yang bertangan kosong. Ang-jiu Mo-li tadi sudah menyatakan bahwa kedatangannya hendak menguji kepandaian. Setelah sekarang mereka bertempur dan wanita itu melawannya dengan tangan kosong, bagai mana ia ada muka untuk mempergunakan pedangnya? Ia lebih suka kalah dan roboh dari pada menurunkan kehormatannya dengan bersikap curang atau licik.

   Pada saat itu. muncul Siok Li Hwa yang berlari-lari sambil memondong anaknya, Leng Leng. Melihat bahwa suaminya sedang bertempur melawan Ang-jiu Mo-li, Li Hwa menjadi marah sekali dan berseru.

   "Suamiku, balaskan sakit hatiku. Kau tampar pipinya biar bengkak-bengkak!"

   Akan tetapi Ang-jiu Mo-li yang menjawab sambil mengejek dan mendesak Sin Hong.

   "Bagus. perempuan tiada guna kau sudah datang. Tunggu sebentar aku membereskan dulu lakimu ini, baru aku akan mencabut nyawamu berikut nyawa anakmu!"

   Saking marahnya. Li Hwa menurunkan anaknya di bawah pohon dan siap membantu suaminya mengeroyok Wanita Tangan Merah yang lihai itu. Melihat gerakan isterinya, Sin Hong cepat berseru.

   "Li Hwa, jangan.......! Lebih baik kau bawa Leng Leng kepada gakbo (ibu mertua) agar terlindung dari ancaman perempuan ini."

   "Kita robohkan dia bersama!" Li Hwa membantah.

   "Jangan. Isteriku! Ini pertandingan pibu, tidak boleh main keroyokan!" kata pula Sin Hong yang tetap hendak menjaga namanya.

   "Huh, terhadap seorang siluman tangan merah mana perlu menggunakan aturan lagi? Dia jahat dan sudah biasa tidak pakai aturan, perempuan hina macam itu saja meagapa kita harus sungkan-sungkan?" Mendengar makian ini, kemarahan Ang-jiu Mo li tak dapat ditahan lagi. Sambil berteriak nyaring tubuhnya melayang meninggalkan Sin Hong, langsung ia menerjang Li Hwa!

   "Ang-jiu Mo-li, jangan serang isteriku!" bentak Sin Hong mengejar.

   "Li Hwa, jangan lawan dia. Lari!"

   Akan tetapi mana Li Hwa mau lari? Dia sendiri berilmu tinggi dan bukan menjadi wataknya untuk lari menghadapi lawan yang ba gaimana tangguhpun. Melihat serangan Ang-jiu Mo-li, ia cepat menggerakkan kedua tangan menangkis.

   "Plak!" dua lengan tangan bertemu dan Li Hwa terlempar terus muntah darah.

   "Hai, berani melukai anakku?" terdengar bentakan dan sekaligus sebatang tongkat melayang ke arah kepala Ang-jiu Mo-li dan dua ekor kelelawar menyerangnya dari kanan kiri. Ang-jiu Mo-li maklum siapa yang datang maka ia cepat melompat ke belakang menghindarkan diri dari serangan hebat itu.

   "Gakbo, dia datang hendak berpibu dengan aku, biarkan aku melayaninya!" kata Sin Hong yang melihat isterinya menelan sebuah pil putih, ia lalu melompat lagi mendekati dua orang wanita sakti yang kini sudah bertempur.

   "Anak mantu, kau diamlah, sudah tentu kau suka melayaninya karena dia ini masih cantik dan terkenal gila laki-laki. Biar aku mengambil jantungnya untuk makanan kelelawar-kelelawarku. Hi hi-hi!"

   Tongkatnya mendesak terus dan diam-diam Ang-jiu Mo-li terkejut sekali. Tadinya ia tidak gentar terhadap nenek ini karena biarpun dulu kepandaiannya masih kalah setengah tingkat, namun bertambahnya kepandaiannya dengan ilmu Silat Kwan im-cam-mo dari Omei-san, ia kira akan cukup untuk menghadapi nenek itu. Akan tetapi kiranya melihat gerakan tongkat, kepandaian nenek itupun meningkat banyak! Dan Ang-jiu Mo-li ingat bahwa ketika terjadi keributan di Omei-san nenek inipun melarikan sebuah kitab.

   Tentu nenek inipun sudah mendapatkan semacam ilmu silat yang lihai. Mengingat ini, Ang-jiu Mo-li menjadi gentar juga. Menghadapi Sin Hong andaikata ia kalah, ia masih bisa mengharapkan selamat. Akan tetapi nenek ini seperti bukan manusia lagi dan kekejamannya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw. Di samping ini, Ang-jiu Mo-li juga merasa gelisah mendengar sebutan-sebutan antara Sin Hong dan Toat-beng Kuibo. Mantu dan mertua? Gila ia tahu betul bahwa Toat-beng Kui-bo tak pernah punya anak! Otak di dalam kepala Ang-jiu Mo-li memang cerdik sekali. Ia melihat keuntungan dalam keganjilan itu, Tiba-tiba ia tertawa keras. dengan nada mengejek.

   "Toat-beng Kui-bo, manusia tak tahu malu. Apa kau berani mendengarkan kata-kataku sebentar?"

   "Bocah ingusan, mengapa aku takut? Cepat atau lambat, jantungmu pasti akan menjadi mangsa kelelawar-kelelawarku. Syyyyt. Anak-anak baik, nanti dulu, dia mau bicara." katanya kemudian pada dua ekor kelelawar yang anehnya seperti mengerti, menunda serangan dan hinggap di atas pundak itu.

   Ang jiu Mo-li bergidik, akan tetapi ia tetap tertawa.

   "Toat-beng Kui-bo, kau ini sudah tua bangka apakah masih mau membadut? Kau menyebut Wan Sin Hong anak mantumu apa-apaan sih ini? Siok Li Hwa adalah Hue-eng Niocu, bagaimana bisa menjadi anakmu Apakah kau mengangkat anak kepadanya? Ha ha, siluman macam engkau ini, yang sejak muda tidak ada laki-laki yang sudi mengerlingmu sebentarpun juga, bagaimana bisa punya anak dan mantu? Ha. Toat-beng Kui-bo, jangan bikin aku mati tertawa geli!"

   "Iblis, Dia memang anakku. Li Hwa memang anakku....." bentak Toat-beng Kui bo dan tongkatnya bergerak pula.

   "Nanti dulu, jangan kau menipuku. Ketika aku masih kecil sebelum orang-orang seperti Li Hwa ini lahir, aku sudah mendengar dari ayah bahwa kau adalah seorang wanita bermuka siluman yang amat buruk dan orang malah menyangsikan apakah kau ini laki-laki atau wanita. Mungkin kau banci! Sejak kapan kau menikah dan kapan pula kau punya anak? Menurut perhitunganku, ketika aku masih kecil kau sudah berusia lima puluh atau enam puluhan, jadi sekarang kau tidak kurang dari seratus tahun. Sedangkan Li Hwa ini paling banya berusia empat puluh tahun. Dalam usia berapakah kau melahirkan dia? Dalam usia tujuh puluh tahun, barangkali? Ha-ha.ha, Toat-beng Kui-bo, seorang anak kecilpun akan tahu bahwa kau membohong."

   Terdengar jerit tertahan dari Li Hwa ketika mendengar kata-kata ini dan Toat-beng Kui-bo dengan marah sudah memutar tongkatnya pula menyerang Ang-jiu Mo-li Si Tangan Merah cepat mengelak lalu melarikan diri sambil tertawa.

   "Mulut jahat, kau mau lari ke mana?" Toat beng Kui-bo mengejar, akan tetapi Ang-jiu Mo-li menyebar Pat-kwa-ci yang dipukul runtuh oleh tangan baju nenek itu yang terus mengejar.

   Tiba-tiba Sin Hong melompat dan menghadang di depan Toat-beng Kui-bo.

   "Biarkan dia lari, tak perlu membunuh orang."

   Dalam kemarahannya yang luar biasa, Toat-beng Kui-bo membentak.

   "Kau...... mau membela dia?" Dan tongkatnya menghantam Sin Hong. Sin Hong sudah siap sedia karena) memang selama ini ia merasa curiga terhadap nenek yang aneh itu. Dengan sigap ia melompat ke samping. Ketika Toat-beng Kui-bo memandang ke depan, ternyata Any-jiu Mo-li sudah menghilang. Marahlah dia, kemarahannya kini tertuju kepada Sin Hong dan tongkatnya melayang lagi menyerang Sin Hong. Kembali Sin Hong mengelak dan kali ini mencabut Pak-kek-sin kiam.

   "Ibu mengapa kau hendak membunuh mantumu sendiri.....?? tiba-tiba Li Hwa berseru sambil mendekati dengan Leng Leng dalam pondongannya.

   Mendengar ini tiba-tiba Toat-bang Kui-bo menghentikan gerakannya. Matanya yang mengerikan itu menatap wajah Li Hwa penuh selidik, lalu ia berkata,

   "Kau tidak percaya akan obrolan siluman tadi, bukan? Kau masih percaya dan mengaku aku sebagai ibumu?"

   Dengan air muka tidak berubah Li Hwa menjawab.

   "Tentusaja, tentu saja."

   Toat-beng Kui-bo mengampit tongkatnya.

   "Kesinikan cucuku, aku ingin menggendongnya."

   Sesungguhnya, di dalam hatinya Li Hwa sudah terpengaruh oleh ucapan Ang-jiu Mo-li tadi dan kini iapun merasa yakin bahwa tidak mungkin kalau Toat-beng Kui-bo ini ibunya. Akan tetapi ia maklum betapa lihai adanya nenek ini dan kalau ia tidak mengambil hatinya lalu nenek ini mengamuk, berabe juga. Suaminya belum tentu sanggup mengalahkan nenek ini, apalagi dia sendiri masih terluka. Kini nenek itu minta Leng Leng untuk digendong. Sungguh berat ujian ini. Namun, dengan senyum penuh kepercayaan, ia menyerahkan Leng Leng yang segera dipondong oleh Toat-beng Kui-bo, Nenek ini lalu terhuyung-huyung pergi sambil memondong cucunya. Terdengar ia bersungut-sungut,

   "Kalau kau tidak percaya lagi bahwa aku ibumu, hmm, kubunuh kalian semua, kubunuh.......!"

   Setelah Toat-beng Kui bo pergi jauh membawa Leng Leng, barulah Li Hwa memperlihatkan kecemasannya. Ia memandang kepada suaminya, mereka saling pandang penuh pengertian dan Li Hwa lalu menubruk Sin Hong sambil menangis.

   "Kau betul...... dia bukan ibuku....." katanya.

   "kalau saja aku percaya akan keraguanmu dahulu....... sekarang dia membawa pergi Leng Leng, bagaimana baiknya.......?"

   "Tenanglah. Memang kau tadi bersikap tepat sekali. menghilangkan kecurigaannya dengan memperlihatkan kepercayaan. Kalau kau bersikap lain, aku khawatir kita takkan dapat menolong diri. Nenek itu lihai bukan main. Dalam keadaan biasa. kiranya aku masih akan dapat menahannya. Akan tetapi kulihat ilmu tongkatnya tadi luar biasa sekali ketika ia menghadapi Ang-jiu Mo-li. Tak salah lagi dugaanku bahwa kitab DELAPAN JALAN UTAMA itu mengandung sari pelajaran ilmu silat tinggi tentu betul adanya. Tiang Bu telah ditipunya. Aku sudah mengkhawatirkan hal itu. Tak mungkin orang-orang sakti di Omei-san menyimpan kitab pelajaran Agama Budha biasa saja, tentu di situ tersembunyi sari pelajaran Ilmu silat. Dan nenek itu agaknya sudah mulai mempelajarinya. Ilmu tongkat yang dimainkannya tadi benar-benar luar biasa dan aku takkan dapat melawannya, biarpun dengan Pak kek sin-kiamsut."

   "Sekarang bagaimana caranya untuk minta kembali Leng Leng?"

   "Kita harus menggunakan akal. Kau tetap bersikap seperti tadi, penuh kepercayaan. Seperti biasa ia akan mengembalikan Leng Leng kalau kau menyusul ke sana. Kemudian secara diam diam kita akan pergi dari sini."

   Dengan hati berdebar gelisan mereka menanti-nanti, akan tetapi sampai keesokan harinya, Toat-beng Kui-bo tak kunjung datang. Terpaksa Li Hwa lalu naik menyusul ke tempat tinggal nenek itu, sedangkan San Hong menanti dari tempat yang tidak begitu jauh sambil mengintai. Tak lama kemudian ia melihat Li Hwa berlari kembali sambil menangis.

   "Celaka....... dia....... dia sudah pergi membawa Leng Leng!" katanya.

   Sin Hong menjadi pucat dan berlaku nekad. Ia cepat lari ke arah tujuh buah gua besar dan mencari, bersiap untuk menempur Toat beng Kui-bo. Akan tetapi betul seperti kata-kata isterinya, nenek itu tidak kelihatan bayangannya lagi. Agaknya nenek itu dapat menduga bahwa Li Hwa takkan mau mengaku dia sebagai ibu lagi dan dengan marah lalu pergi membawa Leng Leng.

   "Sudahlah, jangan kau menangis." Sin Hong menghibur isterinya.

   "Bagaimanapun juga dia amat sayang kepada Leng Leng. Dia pergi tentu karena takut kalau kita membawa anak itu pergi meninggalkamnya, maka ia mendahului dan membawa anak kita."

   "Ke mana kita harus mengejar dan mencarinya?"

   "Kalau tidak salah dugaanku, dia tentu pergi mencari Ang-jiu Mo-li. Tentu dia marah sekali kepada Ang. jiu Mo-li karena Si Tangan Merah itulah yang membuka rahasianya. Maka kita harus mencari di utara, di kota raja Kerajaan Kin, karena aku mendengar bahwa Ang-jiu Mo-li pernah menjadi guru dari anak-anak Pangeran Wanyen Ci Lun dan kiranya tidak terlalu salah kalau kita mencari dia di sana."

   Tanpa membuang waktu lagi, suami isteri ini menyusul ke kota raja dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka bertemu dengan Pangeran Wanyen Ci Lun setelah berhasil mcmasuki kora raja, hal yang tidak mudah karena kota raja itu sudah terkurung oleh bala tentara Mongol.

   "Demikianlah, kita menyusul ke sini. ternyata terlambat dan baru kemarin anakku diculik oleh kaki tangan Liok Kong Ji." Sin Hong inengakhiri penuturannya sambil membanting kaki. Dari ruangan datang Li Hwa berlari sambil menangis. Nyonya inipun mendengar Gak Soan Li tentang penculikan atas diri Leng Leng pada malam tadi oleh orang-orang Mongol. Sambil menangis ia berlari mencari suaminya.

   "Kita harus mengejar ke sana. sekarang juga!" Nyonya ini berteriak marah.

   "Biar kita mengadu jiwa dengan iblis jahat Liok Kong Ji!"

   Sin Hong menyabarkan isterinya.

   "Mari kita berunding dulu dan mengatur siasat jangan terburu nafsu."

   Gak Soan Li dan Go Hui Lian juga menyusul ke situ untuk menghibur Li Hwa dan sekarang merekapun dipersilahkan duduk di ruangan itu. Mendengar disebutnya nama Liok Ko Ji oleh Li Hwa tadi, tak tertahan lagi Soan Li bertanya.

   "Heran sekali, bukankah iblis yang namanya Liok Kong Ji itu dahulu sudah mampus kubunuh dengan pedangku? Bagaimana sekarang bisa muncul di antara orang-orang Mongol?" ia bertanya demikian sambil memandang kepada suaminya, padahal Pangeran Wanyen jugu maklum kepada siapa pertanyaan ini ditujukan. Maka ia lalu berkata kepada Sin Hong.

   "Saudara Sin Hong hanya kaulah yang dapat menjawab pertanyaan isteriku tadi. Sudah lama kami terganggu oleh pertanyaan yang tak terjawab ini."

   Sin Hong menarik napas panjang.

   "Memang yang terbunuh dahulu itu bukan Liok Kong Ji. Dia terlalu licin dan siang-siang sudah menyediakan orang ke dua yang mukanya memang serupa dengan dia. Orang itulah yang terbunuh sedangkan dia sendiri melarikan diri ka utara dan menggabung kepada orang-orang Mongol."

   "Dan sejak dulu kau sudah tahu akan ini?" tanya Pangeran Wanyen.

   Sin Hong mengangguk.

   "Sengaja aku diam saja agar jangan menggelisahkan hati banyak orang, iblis itu memang jahat sekali dan sampai sekarang ia masih saja mendatangkan kesusahan kepadaku. Akan tetapi sekarang aku akan menyusul ke sana dan sekali ini perhitungan terakhir harus dibuat. Dia atau aku yang mati."

   "Adik Li Hwa. jangan khawatir, kami akan ikut membantumu," tiba-tiba Hui Lian berkata yang disetujui oleh Hong Kin dan Lee Giok.

   Sin Hong menggeleng kepala.

   "Untuk memasuki perkemahan orang orang Mongol secara sembunyi, lebih baik dilakukan oleh seorang saja. Makin banyak makin berbahaya karena ketahuan seorang saja bearti akan menggagalkan urusan. Bahkan Li Hwa sendiri harus menanti di sini dan akuslah yang akan pergi ke sana. Kalau aku berhasil merampas kembali Leng Leng tanpa pertempuran, itulah paling baik. Kalau tidak, terpaksa aku harus mengadu nyawa dengan Liok Kong Ji. Malam nanti aku berangkat dan terima kasih atas kesediaan kalian membantu dan berkorban.?

   Percakapan dilanjutkan dan mereka menuturkan riwayat masing-masing selama berpisah. Dengan girang akan tetapi juga terharu sekali Hong Kin dan Hui Lian mendengar penuturan Sin Hong tentang diri Tian Bu yang menurut Sin Hong kini sudah memiliki kepandaian yang sangat tinggi dan betapa pemuda itu disiksa oleh keraguan karena pengakuan Liok Kong Ji kepadanya sebagai anaknya. Tentu saja ketika menceritakan hal Tiang Bu, Sin Hong sengaja agar jangan sampai terdengar oleh Soan Li yang sedang bercakap-cakap dengan Li Hwa. Juga Lee Goat, Wan Sun dan Wan Bi Li sudah ikut bercakap-cakan dengan gembira. Dalam kesempatan ini terdorong oleh kegembiraan bertemu dengan sababat baik Sin Hong melupakan kedudukannya dan timbul niat yang amat baik. Ia menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun dan membisikkan sesuatu, kemudian iapun memberi tahu dengan suara perlahan kepada Coa Hong Kin. Dua orang ini saling pandang, tersenyum dan kemudian mengangguk setuju.

   Tak lama kemudian larilah Lee Goat keluar sari ruangan itu dengan muka merah ketika Pangeran Wanyen Ci Lun dan Coa Hong Kin mengumumkan pertunangan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat! Adapun Wun Sun yang mendengar ini, juga menjadi merah sekali mukanya, akan tetapi lirikan matanya sekilas ke arah Bi Li membayangkan kehancuran hatinya. Pemudaa ini semenjak mendengar bahwa Bi Li bukan adik kandungnya, yaitu ketika ia mendengarkan percakapan antara ayah bundanya dan Kwan Kok Sun, berubahlah pandangannya terhadap gadis yang selama ini ia sayang sebagai adik sendiri itu.

   Diam-diam bersemi cinta kasih yang lain dalam hatinya terhadap Wan Bi Li. Maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya mendengar keputusan ayahnya bahwa ia dijodohkan dengan Coa Lee Goat, sungguhpun harus akui bahwa Lee Goat bukan gadis sembarangan dan tidak tercela sedikitpun juga. Setelah mengerling sekilas ke arah Bi Li dengan hati hancur, iapun mengerling ke arah Wan Sin Hong dengan hati menaruh dendam.

   Tadinya tiap kali memandang kepada Wan Sin Hong, pemuda ini merasa kagum dan juga bangga karena pendekar itu masih satu she dengan dia dan masih terhitung paman. Akan tetapi setelah Sin Hong mengusulkan perjodohan itu, diam-diam Wan Sun menjadi marah dan sakit hati kepada Sin Hong,

   Malam tiba. Sin Hong sudah berkemas menyiapkan pedangnya dan berpakaian serba ringkas, Li Hwa tadinya merengek hendak ikut karena ia mengkhawatirkan keselamat suaminya, akan tetapi setelah Sin Hong menjelaskan bahwa pergi dua orang akan lebih berbahaya, ia mengalah. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar berkali-kali disusul sorak-sorai menggegap-gempita.

   "Musuh menyerbu??!!"

   "Mereka membobol dari empat jurusan..!"

   "Siap?! Lawan.......!!"

   Teriakan ini simpang siur. Sin Hong dan Li Hwa menjadi pucat karena suara ledakan tadi hebat luar biasa membuat kamar mereka seperti hendak roboh. Cepat mereka melompat keluar dan hampir mereka bertumbukan dengan Coa Hong Kin dan isterinya yang juga berlari keluar.

   Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Tentara Mongol melakukan serbuan besar-besaran," kata Hong Kin.

   "Mari kita cari Pangeran Wanyen Ci Lun. Kita bantu dia!" kata Sin Hong dengan hati tetap dan suara tenang. Tadinya memang pendekar ini tidak ada nafsu untuk mencampuri urusan perang, akan tetapi karena Kong Ji berada di pihak sana dan puterinya sekarang diculik pula oleh orang-orang Mongol, ia tidak bisa tinggal diam saja. Datang pula Lee Goat dan berlima mereka lari ke ruangan besar di mana Pangeran Wanyen Ci Lun sudah berkumpul dengan para panglima, membagi-bagi perintah.

   Juga Kwan Kok Sun, Wan Sun. dan Wan Bi Li sudah berada di situ, semua berpakaian dinas, Gak Soan Li tidak setinggalan. Nyonya ini dulu mendampingi suaminya, sedetikpun tak mau ditinggal. Pedang tajam berkilauan berada di tangan kanannya dan pakaiannya ringkas, membuat ia nampak gagah biarpun wajahnya agak pucat. Setelah selesai membagi-bagi tugas dan semua panglima sudah pergi melakukan penjagaan sekuatnya. Wanyen Ci Lun berpaling kepada Sin Hong dan memegang kedua tangannya.

   "Saudaraku yang baik, sayang sekali sebelum kau merampas kembali anakmu, setan-setan itu sudah datang menyerbu. Seperti sudah kukhawatirkan, mereka kini agaknya mengerahkan seluruh kekuatan, menycrbu dari empat penjuru. Kaudengar tembok bagian utara sudah bobol dan agaknya malam ini kita harus menyerah kalah. Akan jatuh banyak korban......" suara pangeran itu menggetar.

   "akan tetapi aku akan mempertahankannya dengan titik darah penghabisan! Aku hanya minta kepadamu, Wan Sin Hong saudaraku, kauselamatkan dua orang anakku. Jangan mereka ikut berkorban seperti aku dan...... dan isteritu yang setia ini."

   "Jangan khawatir, kami akan membantumu menghadapi iblis-iblis Mongol itu apabila mereka betul-betul menyerbu ke sini," jawab Sin Hong terharu.

   "Jangan....... kau jaga saja Bi Li dan Wan Sun. Jangan biarkan mereka membuang nyawa sia-sia.... nah, selamat tinggal, aku harus pimpin sendiri anak buahku!" Wanyen Ci Lun bersama isterinya keluar, akan tetapi sebelumnya mereka menghampiri Bi Li dan Wan Sun. Pangeran itu dengan suara mamerintah berkata.

   "Kalian kutugaskan menjaga rumah kita agar jangan dimasuki orang-orang jahat dalam keadaan sekacau ini!"

   "Baik, ayah!" jawab mereka bcrbareng, nampak bangga karena mendapat bagian tugas.

   Perang hebat terjadi pada malam itu. Darah membanjiri kota raja. Tentara Mongol mengamuk laksana iblis-iblis neraka mencari kurban. Rumah-rumah dirampok dan dibakar orang-orang dibunuh, wanita-wanita cantik diculik. Jerit tangis bercampur aduk dengan pekik marah dan kesakitan. Api mengaamuk membakari rumah. Perlawanan fihak tentara Kin juga patut dipuji pantang mundur. Namun mereka kalah banyak dan makin lama makin terdesak mundur. Balatentara Kin makin mendekati lingkungan Istana yang sudah hampir kosong karena ditinggalkan oleh para pembesar yang sudah mengungsi lama sebelum penyerbuan terjadi.

   Dalam kekecauan seperti itu balatentara Mongol tak dapat ditahan lagi. Sebagian, mereka yang jahat dan memang tadinya orang-orang jahat seperti perampok dan lain-lain yang menggabungkan diri hanya dengan maksud mencari kesempatan, menyerbu ke dalam istana untuk mencari benda-benda berharga. Akan tetapi beberapa orang yang?kesasar? ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya mengantarkan nyawa karena di sana mereka disambut oleh orang-orang gagah!

   Sin Hong dan isterinya juga keluar. Di sana sini mereka merobohkan beberapa orang musuh yang sedang menyeret wanita atau sedang membakari rumah. Melihat keadaan yang tak tertahankan lagi, Sin Hong maklum bahwa melakukan perlawanan akan sia-sia belaka. Ia mengajak Li Hwa kembali ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun. Ternyata di situ pun sudah terjdi pertempuran. Wan Sun, Wan Bi Li dibantu oleh Hui Lian dan Hong Kin serta Lee Goat sedang mengamuk, dikeroyok oleh belasan orang tentara Mongol yang buas. Sin Hong marah sekali. Pedangnya berkelebatan dan para pengeroyok itu sebentarsaja terbasmi habis.

   "Wan Sun, Bi Li, tak mungkin dapat dipertahankan lagi. Pertahanan sudah bobol, perlawanan hampir tidak ada lagi. Sebentar lagi mereka semua pasti akan menyerbu ke mari dan kita takkan dapat mempertahankan lagi. Mari kita keluar dari sini dengan jalan darah dapat kita keluar dari kepungan." kata Sin Hong.

   "Tidak?.! Kita harus mencari ayah, Bi Li.? Wan Sun menyambar lengan adiknya.

   "Mari......!" Dan tanpa dapat dicegah lagi kakak beradik itu berlari keluar mercari ayah mereka.

   Sin Hong hanya manggeleng kepala, akan tetapi diam-diam ia merasa kagum. Kalau ia mau, tentu saja ia dapat mencegah mereka pergi dan memaksa mcreka itu ikut dengan dia menyelamatkan diri. Akan tetapi ia tak tega berbuat demikian. Ia tidak mau menghalangi sikap mereka yang gagah perkasa yang hendak membela ayah dan membela negara.

   "Biarkan mcreka, mereka memang berhak. Kalau Thian manghendaki, mereka akan dapat lolos dengan selamat." kata Sin. Hong. Kemudian ia bersama isterinya, Hong Kin. Hui Lian dan Lee Goat inenyerbu keluar dan membuka jalan darah ke selatan. Pekerjaan ini bukan mudah karena di mana-mana mereka dihalangi oleh tentara Mongol yang tentu saja tidak mau melepaskan rombongan di mana ada tiga orang wanitanya yang cantik-cantik. Akan tetapi mereka ini bukan lawan berat bagi Sin Hong dan kawan-kawannya. Akhirnya Sin Hong berhasil membawa rombongannya melalui pintu selatan yang sudah tak terjaga lagi. Kota raja menjadi lautan api di sana-sini bertumpukan mayat-mayat dan orang-orang terluka. Jerit wanita-wanita diseret, orang-orang dibunuh, memenuhi udara.

   "Kalian pulang dulu ke Kim-bun-to, aku akan berusaha mencari Kong Ji dan membuat perhitungan!" kata Sin Hong. Li Hwa maklum bahwa suaminya lebih bebas kalau bergerak sendiri menghadapi lawan-lawan yang amat berbahaya seperti Kong Ji dan tokoh-tokoh Mongol, maka ia tidak membantah dan melanjutkan parjalanan cepat ke selatan. Sedangkan Sin Hong barkelebat kembali ke kota raja yang geger itu. Di mana-mana masih terdapat pertempuran mati-matian, yaitu perlawanan dari sisa-sisa pengawal dan panglima yang tidak mau menyearah kalah.

   Dengan tubuh penuh luka-luka dan mandi darah, Pangeran Wanyen Ci Lun berlari terhuyung-huyung menuju ke istana sambil memondong tubuh Gak Soan Li yang juga penuh luka dan sudah pingsan. Pangeran ini bersama anak buahnya melakukan perlawanan juga Soan Li membantunya.

   Ketika memasuki istananya, beberapa orang serdadu menyerbunya. Namun dalam keadaan terluka. Pangeran Wanyen Ci Lun masih gagah dan setelah serdadu perampok kena dirobohkan, yang lain pada lari. Istana itu sudah awut-awutan, barang-barang berharga sudah menjadi rebutan. Akan tetapi Wanyen Ci Lun merasa lega karena tidak melihat anak-anaknya menjadi korban. Ia hanya mengharapkan anak-anaknya sudah pergi bersama Sin Hong. Setelah tiba di ruang tengah, ia tidak kuat lagi. Darah sudah terlalu banyak keluar dari tubuhnya. Ia roboh terguling dengan Soan Li masih dalam pelukannya.

   Soan Li membuka matanya, nampaknya kaget dan takut. Akan tetapi menjadi tenang lagi kelika melihat bahwa ia berada dalam pelukan suaminya yang duduk menyandar tembok.

   "Kau....... kau gagah sekali......." ia memuji suaminya yang mandi darah. Tadi ia mengamuk tanpa memperdulikan keselamatan nyawa sendiri, pada hal para pangeran dan para pembesar yang lain sudah siang-siang lari mengungsi, tak lupa membawa harta mereka.

   Wanyen Ci Lun meraba pipi isterinya dengan sentuhan mesra.

   "Kau pun gagah perkasa dan kau isteriku yang setia......."

   Di luar suara peperangan masih ramai. Sorak-sorai suara serdadu-serdadu Mongol membuktikan bahwa pertahanan tentara Kin makin runtuh. Pangeran Wanyen Ci Lun menghela napas.

   "Runtuhlah kekuasaan Kin dan sebentar lagi kalau iblis-iblis itu masuk ke sini, kita akan mati."

   Akan tetapi Soan Li tidak merasa gentar.

   "Tidak apa mati disampingmu." jawabnya.

   "Suamiku, dalam saat terakhir ini, aku ingin sekali keraguanku lenyap. Jawablah, siapakah sebenarnya Wan Sin Hong itu? Begitu bertemu muka, aku merasa bahwa dahulu aku pernah bertemu dengan dia....... dan....... dia serupa benar dengan....... dengan......" Ia tak berani, melanjutkan kata-katanya dan memandang wajah suaminya.

   Wanyen Ci Lun tersenyum dan mengangguk "Sama dengan Gong Lam......?" Kini Soan Li yang mengangguk.

   "Memang dia itu Gong Lam, isteriku. Mula-mula kau bertemu dengan dia. dengan Win Sin Hong yang mengaku bernama Gong Lam. Kemudian muncul iblis busuk Kong Ji yang mengaku bernama Wan Sin Hong dan kemudian mengaku bernama Gong Lam. Kau diberinya minum racun yang merampas ingatanmu. Kemudian muncullah aku yang begitu melihatmu terus jatuh cinta. Atas kehendak Wan Sin Hong, aku terpaksa mengaku sebagai Gong Lam pula untuk membantu ingatanmu yang ketika itu belum sadar betul."

   Soan Li merangkul suaminya."Kau memang mulia...... dan bagaimana dengan......, dengan anak si keparat itu? Betul-betulkah ketika Hui Lian menyatakan bahwa anak itu sudah?? sudah mati?"

   Pada seat itu, dari luar menerobos seorang pemuda. Gerakannya ringan dan gesit sekali. Ternyata dia ini adalah Liok Cui Kong yang malam kemarin datang di istana ini bersama gurunya dan berhasil menculik Leng Leng. Pemuda ini tentu saja ikut menyerbu kota raja dan begitu tentara Mongol berhasil menguasai istana, pertama-tama yang ia lakukan adalah lari ke istana Pangeran Wanyen Ci Lun, karena ia teringat akan Wan Bi Li gadis jelita yang membuat ia rindu dan gandrung itu. Melihat Pangetan Wanyen Ci Lun duduk bersandar tembok sambil memeluk tubuh isterinya, keduanya bermandi darah dan sudah lemah sekali. Cui Kong tertawa mengejek.

   "Pangeran Wanyen Ci Lun, mana kegagahanmu? Ha-ha-ha ha, akhirnya Kerajaan Kin harus bertekuk lutut juga. Kemarin kau masih kaya raya dan menikmati kemuliaan, sekarang akan habislah semua harta benda berikut nyawa keluargamu. Ha-ha-ha!"

   Gak Soan Li dan Pangeran Wanyen Ci Lun heran sekali mellhat persamaan pemuda ini dengan Liok Kong Ji, yaitu persamaan dalam gerak-gerik dan kekejamannya. Dalam hal rupa memang berbeda, Cui Kong bahkan lebih tampan. Akan tetapi pemuda ini benar-benar mewarisi sifat-sifat jahat dari Liok Kong Ji.

   "Iblis kecil!, kami mati sebagai orang-orang gagah, sebagai patriot bangsa, matipun tidak menyesal, sebaliknya kau dan kawan-kawanmu hidup sebagai manusia-manusia hina. dina, sebagai orang orang Han yang tak tahu malu, panjual negara penjilat bangsa Mongol!"

   "Bangsat!" Cui song marah sekali dan melompat maju. Huncwe digerakkan ke atas siap memukul kepala pangeran itu yang memandangnya dengan mata tak berkedip, sama sekali tidak gentar menghadapi maut. Dia dan isterinya sudah tidak berdaya tidak ada tenaga untuk menggerakkan badan melakukan perlawanan. Akan tetepi Cui Kong menahan huncwenya ketika teringat akan gadis jelita yang tidak ia lihat di situ.

   "Bagaimanapun juga, kalau teringat akan puterimu aku jadi tidak tega membunuhmu. Eh, Pangeran Wanyen, di mana puterimu? Biarkan aku menolongnya dari bahaya. Katakan di mana dia dan puterimu itu akan hidup, terlepas dari bahaya maut dan hidup menikmati kebahagiaan dengan aku....."

   "Keparat!" Soan Li mempergunakan tenaga terakhir, melompat bangun dan menubruk dengan pedangnya. Akan tetapi sekali sampok saja pedang itu terlepas dari pegangan dan tubuh nyonya itu terpelanting ke atas lanyai.

   "Huh huh, kalian memang tidak patut dibaiki. Mampuslah!" Sambil berkata demikian, Cui Kong kembali menggerakkan huncwenya, kali ini hendak memukul kepala Soan Li. Akan tetapi.......? traangg......!? huncwe itu terpental entah ke mana dan di lain detik di depan Cui Kong yang kaget sekali itu telah berdiri....... Tiang Bu!

   "....... kau.....??" Cui Kong menjadi pucat seperti melihat setan. Dua tahun lebih telah lewat dan ia tahu betul bahwa pemuda di depannya ini sudah mati ketika terguling ke dalam jurang. Sekarang tiba-tiba dan dengan pukulan tangan saja mampu membikin huncwenya terlempar. Setankah dia? Apakah ini arwah Tiang Bu yang muncul?

   Tiang Bu tersenyum dingin.

   "Ya, aku Tiang Bu. Masih ingatkah kau? Cui Kong manusia jahanam, di mana-mana kau menyebar kejahatan. Benar-benar iblis seperti kau ini harus diberi hajaran keras!"

   Cui Kong yang mcngingat bahwa ia berada di tempat itu sebagai pemenang dan di seluruh kota terdapat barisan Mongol dan kawan-kawannya, tiba-tiba menjadi berani dan sombong.

   "Kau kita aku takut kepadamu? Terimalah ini!" Cui Kong memukul dengan keras ke arah dada Tiang Bu.

   "Blekkk.,.......!" bukan Tiang Bu yang roboh, melainkan Cui Kong yang terheran heran tercampur kesakitan terbayang pada mukanya. Memang tak masuk di akal kalau ada orang dengan dada terbuka menerima pukulanaya tadi, bukan saja orang ini tidak rubuh, bahkan kepalan tangannya kini lengket pada dada tak dapat ditarik kembali. Sebelum lenyap kagetnya, Tiang Bu menggerakkan kedua tangannya menangkap kaki dan lehernya lalu....... tubuh Cui Kong dilemparkan jauh, nabrak meja bangku sampai bergulingan. Baru saja Cui Kong merangkak bangun, ia sudah ditangkap lagi, dilontarkan ke atas sampai mengenai
langit-langit dan jatuh menimpa meja.

   "Braakkk!" Meja itu remuk. Baiknya Cui Kong bukan orang sembarangan sehingga biarpun tubuhnya dibikin "main bal" oleh Tiang Bu. namun ia hanya merasa sakit-sakit dan lecet-lecet, tidak menderita luka dalam. Cui Kong berusaha menggunakan tenaganya memukul lagi ketika Tiang Bu dengan langkah lebar menghampirinya, akan tetapi seperti seorang dewasa melawan anak kecil, tahu-tahu pundaknya sudah dicengkeram lagi dan kembali ia dilempar.

   "Buuuk...... kraak!" kembali beberapa bangku bergulingan dan tubub Cui Kong menjadi makin lemas.

   "Tiang Bu....... tahan.......!? teriaknya terengah-engah.

   "Apa kau mau membunuh saudara sendiri? ingat, ayah Liok Kong Ji adalah ayahku dan ayahmu pula, biarpun aku pernah bersalah padamu, kau tentu bisa memandang muka ayah dan mengampuninya?.."

   "Aku tidak perduli...." kembali tubuh Cui Kong ditangkap dan dilempar, saking gemasnya dilempar keras sehingga keluar pintu.

   Benar-benar Cui Kong merasa penasaran dan juga mendongkol sekali bagaimana ia diperlakukan orang seperti seekor kirik (anjing kecil) saja, ditangkap dan dilempar seperti benda mati saja. Tiang Bu hendak menghajar lagi, akan tetapi jerit menyayat hati di dekatnya. Ternyata Soan Li sudah bangun dan duduk dengan mata terbelalak, muka yang berlepotan darah itu pucat sekali.

   "Kau...... kau anak Liok Kong Ji.....? Kau....... kau.......!" Soan Li tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ia sudab roboh pingsan lagi.

   Tiang Bu melompat mendekati dan kecepatan pemuda ini luar biasa sekali sehingga ia masih dapat memegang kepala Soan Li sehingga tidak terbanting pada lantai. Dengan lembut ia merebahkan kepala itu dan memandang wajah Soan Li dengan kasihan,

   "Apa kau yang bernama Tiang Bu dan dulu ketika kecil kau ikut Coa Hong Kin dan Go Hui Lian sebagai anak mereka?" pertanyaan yang dikeluarkan dengan lembut ini mengejutkan Tiang Bu. Ia menoleh dan menghampiri Pangeran Wanyen Ci Lun yang juga sudah bangun dan dengan terhuyung-huyung menghampiri isternya. Tiang Bu sekali lompat sudah berada di dekat mereka.

   "Maaf aku datang terlambat Wanyen Taijin," kata Tiang Bu.

   "Seharusnya dua tahun lebih yang lalu aku sudah datang mengahadap, membawa surat dari Wan Sin Hong siok-siok."

   Akan tetapi Wanyen Ci Lun sudah payah keadaannya dan tidak begitu memperhatikan kata-kata anak muda itu. Juga Soan Li yang sudah siuman kembali dan kini menyandarkan kepala pada suaminya, sudah terengah-engah napasnya. Kedua suami isteri ini memandang kepada Tiang Bu.

   "Soan Li, isteriku yang baik, inilah dia Tiang Bu, anakmu yang kau dapat secara paksa dari jahanam Liok Kong Ji itu......". kata Pangeran Wanyen Ci Lun perlahan dan suaranya mengandung penuh kasih sayang.

   Soan Li tersedu "Dia.......dia....... aku tidak sudi mengakuinya sebagai anak....... aku dahulu ingin membunuhnya....... tapi ah??? dia tidak berdosa.. Tiang Bu....... kau....... anakku......."

   Tiang Bu menjadi pucat sekali wajahnya Sin Hong pernah berpesan kepadanya bahwa kalau ia ingin mengetahui rahasia kelahirannya ia harus datang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan apa yang sekarang ia dengar dan saksikan adalah hal-hal di luar dugaannya sama sekali. Bagaimana nyonya pangeran ini mengakuinya sebagai anak pula? Apakah karena terluka hebat dan dalam sakratul maut nyonya ini bicara tidak karuan?

   "Wanyen Taijin, kau orang yang dipercaya penuh oleh Wan siok-siok, katakanlah apa artinya semua ini?" tanyanya, suaranya penuh keharuan dan tubuhnya menggigil

   "Tiang Bu, dia inilah ibumu! Isteriku inilah ibumu yang sejati sebelum dia menjadi Isteriku." Tiang Bu....... anak yang tadinya hendak kubunuh sendiri........ kau tidak berdosa, nak. Ampunkan ibumu.......?

   "Ibu......." Tiang Bu menubruk kaki Soan Li dan membentur-benturkan jidatnya pada lantai di depan ibunya. Air matanya bercucuran. Kemudian kelihatan beringas.

   "Ibu, siapa yang melukaimu seperti ini? Apakah jahanam Cui Kong tadi? Biar kuseret dia ke sini.......!" Ia sudah melompat keluar dengan gerakan yang cepat sekali, akan tetapi tentu saja ia sudah tak dapat menemukan Cui Kong di luar. Pemuda itu sudah menjadi gentar sekali terhadap Tiang Bu dan siang-siang sudah menyeret kakinya lari dari situ.

   "Tiang Bu....... bukan....... bukan...... dia?..!" kata Soan Li lemah. Mendengar kata-kata ini, Tiang Bu berlari cepat kembali ke dalam dan berlutut lagi di depan ibunya "Aku terluka karena membela suamiku melawan orang-orang Mongol. Sudah sepatutnya kami berkorban nyawa demi negara. Aku..... aku girang sekali kau menjadi seorang pandai....... syukur dulu aku tidak membunuhmu...... kau anak........ anakku......." sampai di sini Soan Li tidak kuat lagi dan menghembuskan napas terakhir dalam pelukan suaminya yang juga sudah lemah sekali kehabisan darah.

   "Taijin, katakan siapa sebenarnya ayahku,?.." Tiang Bu mengeraskan hatinya supaya tidak menangis menghadapi ibunya yang telah tewas. Baru saja ia ditemukan dengan ibu kandungnya, ia telah ditinggal lagi untuk selamanya.

   "Ayahmu....... ayahmu......." Pangeran Wanyen Ci Lun tak dapat melanjutkan kata-katanya karena saking sedihnya melihat isterinya mendahuluinya, pangeran ini menjadi lemas dan tidak ingat diri!

   "Taijin....... Taijin.......!"

   Alan terapi pada saat itu dari liar terdengar suara hiruk pikuk dan menyerbulah sepasukan tentara Mongol, dua puluh orang banyaknya. Mereka adalah sebagian dari pada tentara Mongol yang mulai merampoki habis istana-istana di lingkungan istana kaisar itu. Gedung Pangeraa Wanyen amat besar dan indah, maka saking gembira mereka bersorak-sorak. sama sekali tidak mengira bahwa masih ada orang berani berada di gedung itu.

   "Setan-setan keji, kalian mau apa? Mundur!" bentak Tiang Bu dengan suara menyeramkan. Akan tetapi seorang pemuda seperti Tiang Bu ini, mana ditakuti oleh mereka?

   Sambil tertawa-tawa seakan-akan sikap pemuda itu lucu sekali, mereka menyerbu. Akan tetapi suara ketawa mereka itu segera berubah menjadi jerit dan pekik kesakitan, bahkan pekik kematian ketika sekali pemuda itu berkelebat, mereka menjadi sungsang sumbel dan terlempar dengan kepala remuk, kaki tangan patah atau dada pecah! Setelah merobohkan lima orang sekaligus, Tiang Bu melompat ke dekat Wanyen Ci Lun lagi, takut kalau-kalau pangeran ini akan tewas sebelum memberi keterangan kepadanya. Melihat pengeran itu sudah empas-empis ia bertanya di dekat telinganya.

   "Wan Taijin. ini aku Tiang Bu bertanya kepadamu. Siapakah sebetulnya ayahku?"

   Bibir Wanyen Ci Lun begerak-gerak. akan tetapi pada saat itu, enam orang serdadu Mongol menyerbu dengan golok mereka. Tiang Bu menggerakkan kedua kakinya dan empat orang roboh. Yang dua nekad membacok terus akan tetapi tangan Tiang Bu bergerak mereka roboh dengan leher hampir putus terbacok oleh golok sendiri.

   "Taijin, siapakah ayahku......?" Dengan pengerahan tenaga terakhir. Wan-yen Ci Lun menjawab berbisik.

   "Ayahmu..... Liok Kong Ji...... ibumu Gak Soan Li ini ....... ketika masih gadis.....menjadi,....,. korban kakejian Liok Kong Ji.... kaulah keturunannya.......

   " Tiba tiba wajah Wanyen Ci Lun berubah beringas dan ia memaki-maki dengan suara keras.

   "Kong Ji iblis bermuka manusia! Kejahatanmu sudah bertumpuk-tumpuk. dosamu akan menyeretmu ke neraka jahanam.......!" Pangeran itu menjadi lemas dan menghambuskan nafas terakhir di samping tubuh isterinya.

   Tiang Bu menjadi makin pucat. Tak terasa lagi kedua kakinya lemah dan seperti lumpuh. Tubuhnya menggigit, air mata membanjir turun. Jantungnya serasa ditusuk-tusuk. Dia putera seorang penjahat besar, anak seorang yang berwatak iblis, keji dan kejam. Dia terlahir dari perhubungan yang tidak sah, bahkan dari penumpahan nafsu binatang yang serendah-rendahnya di mana manusia iblis itu mempermalukan ibunya yang tidak berdosa.

   "Aku bunuh dia.....! Aku akan bunuh dia.....! Ahhhh..... dia...... ayahku.... Thian Yang Maha Kuasa, apa yang harus kulakukan??..??" Dengan bimbang dan sedih Tiang Bu menangis di dekat janazah ibunya. Teringat ia akan peristiwa yang menimpa dirinya dilempar ke dalam jurang oleh Cui Kong yang jahat, putera angkat Liok Kong Ji.

   Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tiang Bu yang di luar tahunya terpengaruh oleh hawa beracun katak pembangkit asmara, ditambah pula oleh dorongan yang sudah mengeram di dalam darahnya roboh di bawah kekuatan Cui Lin dan Cut Kim, dua gadis jalita yang mempergunakan kecantikan mereka untuk mengalahkannya. Kemudian, dalam keadaan lemas dan tubuh penuh hawa racun katak itu Tiang Bu tidak berda ya sama sekali, kedua kalinya dirusak oleb Cui Kong yang mematahkan tulang-tulang kaki itu kemudian dilempar ke dalam jurang. Kalau saja tidak kebetulan ada pohon yang menahannya dan dapat dipeluknya, tentu, tubuh pemuda itu akan terbanting ke dasar jurang dan hancur binasa.

   Sampai tiga hari tiga malam Tiang Bu tidak mampu bergerak. Tubuhnya sakit dan panas. Tenaga dari hawa sinkangnya sudah hampir habis sehingga tubuhnya lemah sekali. Baiknya ia teringat akan bekal obat-obatan yang masih disimpan di saku bajunya. Obat-obat pemberian dari Wan Sin Hong. Dengan pengetahuannya tentang ilmu pengobatan, Tiang Bu yang kini sudah sudar akan keadaan dirinya itu mengambil beberapa buah pel dan ditelannya pel-pel itu secara berturut-turut dalam tiga hari. Keadaannya banyak baik. Setelah kedua tangannya bertenaga lagi, ia mulai membenarkan tulang kakinya yang patah oleh pukulan huncwe Lui Kong. Ia telah mendapat pelajaran kilat dari Sin Hong tentang cara menyambung tulang patah, kepandaian khusus dan istimewa ini adalah warisan dari Raja Obat Kwa Siucai guru Sin Hong, maka berbeda dengan cara penyambungan tulang biasa.

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 20 Pendekar Pedang Pelangi Eps 20 Pendekar Budiman Eps 12

Cari Blog Ini