Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 20


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 20




   "Lihat...! Rawa ini sudah memakan banyak korban. Baik penduduk di sekitarnya, maupun para pendatang yang belum paham seluk beluk rawa ini." Jeng-bin Lokai menerangkan.

   "Lalu... sampai di mana para anggota Tiat-tung kai-pang tadi menyusuri rawa ini?" Lojin-Ong bertanya. Jeng-bin Lokai tersenyum malu.

   "Wah, maafkanlah kami. Kami hanya sampai pada jarak satu lie dari sini. Kami terpaksa kembali karena keadaan rawa semakin berbahaya dan sulit dilalui. Di malam hari semua binatang melata akan keluar dari sarangnya. Padahal sebagian besar dari binatang itu memiliki racun yang sangat berbahaya. Terutama racun ular rawa berjengger merah. Sekali patuk racunnya akan membuat orang menjadi buta dan gila."

   "Oh... sedemikian berbahayanya? Wah, benar-benar mengerikan!" Giam Pit Seng mengerutkan dahinya.

   "Baiklah! Kalau begitu biarlah kami menunggu di sini sampai besok pagi. Kami akan mencoba sekali lagi menyusuri rawa ini pada siang hari. Siapa tahu kami dapat menemukan orang-orang itu. Nah, terima kasih atas bantuan Jeng-bin Lokai. Untuk selanjutnya, biarlah kami yang menangani sendiri. Kami tidak berani terus-terusan mengganggu para sahabat dari Kai-pang..." Lojin-Ong berkata pelan. Tiba-tiba wajah pengemis tua itu berubah.

   "Apa yang kau katakan itu, Lojin-Ong? Jangan katakan bahwa kami para pengemis ini adalah orang-orang yang takut mati. Kalau tadi kami harus menunda pencarian di dalam rawa, hal itu bukan karena kami takut. Tapi semua itu kami lakukan demi keselamatan orang-orang kami pula. Kami tak ingin asal berani saja. Kami juga harus memperhitungkan keselamatan kami sendiri pula."

   "Ah, maafkan kami! Maafkan...! Kami tidak bermaksud begitu. Kami benar-benar tidak ingin mengganggumu. Itu saja, lain tidak!" Lojin-Ong cepat-cepat menjelaskan.

   "Benar, Lo-Cianpwe. Kami sangat berterima kasih sekali atas bantuanmu. Namun demikian kami juga sangat sungkan kalau harus selalu merepotkan orang..." Giam Pit Seng ikut berbicara.

   "Tidak! Lohu tidak merasa terganggu sama sekali. Oleh karena itu kami akan tetap tinggal pula sampai besok." Jeng-bin Lokai berkata tegas. Mereka lalu masuk ke dalam pondok lagi. Lojin-Ong dan Jeng-bin Lokai segera bersila dan bersamadhi di pojok ruangan. Begitu pula dengan Giam Pit Seng, setelah mengatur penjagaan ia lalu bersamadi pula di belakang sesepuhnya itu. Sementara itu Liu Wan dan Tan Sin Lun merasa kegerahan di dalam pondok. Keduanya melangkah keluar mencari udara segar.

   "Nona Tio juga datang ke pondokku beberapa hari yang lalu." Liu Wan membuka percakapan. Tan Sin Lun menoleh. Matanya memandang Liu Wan, kemudian menghela napas panjang.

   "Dia juga menanyakan Siau In, adiknya?" Liu Wan mengangguk.

   "Benar. Dan jawabku sama dengan jawaban yang kuberikan kepada Tan-heng. Nona Siau In memang tidak pernah dibawa ke tempatku." Sin Lun berdesah panjang. Sambil memandang bintang-bintang di langit ia bergumam.

   "Heran. kemana sebenarnya anak itu? Apabila tidak ada apa-apa, tentunya sudah kembali menemui Suhu."

   "Yah, kita hanya bisa berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang jelek padanya." Liu Wan mencoba membesarkan hati pemuda itu. Keduanya lalu berbincang-bincang sambil berjaga. Semakin lama Liu Wan semakin yakin bahwa pemuda itu memang amat mencintai Tio Ciu In. Dan entah mengapa, kenyataan itu benar-benar sangat memukul hatinya. Malam semakin larut, udarapun terasa semakin dingin pula. Rasa kantuk mulai menyerang Liu Wan dan Tan Sin Lun, sehingga untuk menghilangkannya Liu Wan lalu berdiri dan berjalan menuju ke halaman depan.

   "Mau ke mana...?" Tan Sin Lun bertanya.

   "Berjalan-jalan saja. Mataku mengantuk sekali. Aku...? Hei, awas! Aku seperti melihat bayangan di jembatan!" Tiba-tiba Liu Wan berbisik dan berlindung di bawah rimbunnya dedaunan.

   "S-s-siapa...?" Tan Sin Lun tergagap kaget.

   "Entahlah! Tolong kau beritahu yang lain bahwa ada orang datang ke tempat ini! Aku akan mengawasi orang itu..." Tanpa membantah Tan Sin Lun menyelinap masuk, kemudian melaporkan kecurigaan Liu Wan itu kepada gurunya. Sementara itu Liu Wan mencoba memotong gerak bayangan itu.

   "Berhenti...!" Liu Wan menghardik begitu bayangan tersebut kelihatan lagi. Bayangan itu tersentak kaget dan berhenti dengan tiba-tiba. Di dalam kegelapan malam tampak bayangan mengkilap panjang terpegang di dalam tangannya.

   "Kau siapa? Mengapa berkeliaran di sini? Apa yang kau cari?" Tak terduga bayangan itu justru membentak Liu Wan.

   "Gila! Aku yang bertanya kepadamu! Jawab dulu!" Liu Wan berseru marah.

   "Persetan! kau... yang gila! Enak saja memaksa orang! kau pikir ini rumahmu, heh?" Ternyata bayangan itu menjadi berang pula. Bahkan sambil berteriak dia menyerang dengan benda mengkilap itu.

   "Wuuuuuut!" Terdengar suara mencicit ketika benda yang tidak lain adalah sebatang tongkat besi itu menerjang ke arah ulu hati Liu Wan!

   "Traaaaaang!" Liu Wan menangkis dengan kursi yang ada di dekatnya, sehingga kursi itu pecah berantakan! Liu Wan melompat mundur. Dia tetap tak bisa mengenali lawannya. Malam memang terlalu gelap untuk melihat wajah orang. Tetapi yang jelas orang itu bersenjatakan tongkat besi seperti halnya kaum pengemis. Begitulah, karena tak ada yang mau mengalah, maka mereka berdua segera terlibat dalam pertempuran sengit. Bayangan itu menyerang Liu Wan dengan ganas. Tongkatnya menyambar-nyambar seperti burung elang melihat mangsa. Begitu cepat dan kuat ayunannya sehingga Liu Wan dibuat repot untuk menghindarinya. Liu Wan terpaksa mengurai sabuknya, sebuah sabuk terbuat dari kulit ular berbandul perak. Sabuk itu segera dia pergunakan untuk melayani lawannya.

   "Siiiuuut! Traaaaaang! Thiiiiing...!" Berkali-kali kedua macam senjata itu berbenturan di udara. Bunga api memercik kemana-mana. Semakin lama semakin sering, sehingga lengan mereka menjadi kesemutan dibuatnya.

   "Bagus! Ternyata orang ini boleh juga! Siapa dia...?" Liu Wan berkata di dalam hati. Sebaliknya orang itu benar-benar kaget melihat kemampuan Liu Wan. Permainan tongkatnya yang selama ini sangat disegani orang, ternyata mendapat perlawanan sengit dari sabuk kulit lawannya. Sementara itu Lojin-Ong dan Jen-bin Lokai telah berlari ke halaman depan. Giam Pit Seng dan Tan Sin Lun mengikut di belakang mereka. Melihat Liu Wan telah bertarung dengan seseorang, mereka berempat segera bersiap-siap untuk membantu. Melihat lawan berjumlah banyak, Orang itu diam-diam menjadi keder juga hatinya.

   "Kurang ajar! Ternyata kau membawa banyak orang untuk merampok rumahku!" Orang itu berteriak geram.

   "Rumahmu...? kau? kau... si Tongkat Bocor Ho Bing?" Liu Wan berseru kaget. Orang itu tertawa panjang.

   "Hehehe... tampaknya kau terkejut mendengar namaku, ya? Bagaimana? Masih mau merampok juga?" Tiba-tiba Jeng-bin Lokai melangkah ke depan.

   "Kami para pengemis Tiat-tung Kai-pang tidak pernah menjadi perampok! Bahkan menjadi penipu atau pembohongpun belum pernah! Nah, Ho Bing... Katanya kau juga menjadi anggota kami pula! Benarkah...?" Bukan main terkejutnya Ho Bing. Dia berbohong ketika berhadapan dengan Liu Wan dan Tio Ciu In pagi tadi. Semua itu dia lakukan hanya untuk menjebak Tio Ciu In. Tak terduga tokoh Tiat-tung Kai-pang yang ia catut namanya itu sekarang berada di depannya. Sekejap timbul maksud Ho Bing untuk melarikan diri. Tetapi keinginannya menjadi batal ketika Jeng-bin Lokai dan pengawalnya bergerak mengepungnya.

   "Bagus!" Ho Bing justru menggertak.

   "Aku memang bukan orang Tiat-tung Kai-pang! Aku... Ho Bing si Tongkat Bocor!" Jeng-bin Lokai tertawa mengejek.

   "Ho Bing! kau jangan terlalu sombong di depanku. Meskipun ilmu silatmu terkenal hebat, tapi tenaga murnimu kau hambur-hamburkan di segala tempat. kau hanya seperti harimau kertas, tampaknya saja garang dan menakutkan, tapi sebenarnya kropos tak berdaya. Menghadapi lawan bertenaga dalam tinggi, kau takkan bisa berbuat apa-apa." Ucapan pengemis tua itu laksana peluru meriam yang menghantam dada Ho Bing. Dia memang merasa lemah dalam hal tenaga dalam. Melawan Jeng-bin Lokai dia tidak takut, tapi yang perlu dia perhitungkan justru pemuda yang baru saja bertempur dengan dirinya tadi. Terasa olehnya pemuda itu belum mengeluarkan semua kepandaiannya.

   "Sayang Yok si Ki sudah pergi..."

   "Hei! Mengapa kau diam saja? Ayoh, katakan... di mana sumoiku? Jawab!" Tan Sin Lun berteriak tak sabar. Ho Bing mendelik.

   "Bangsat! kau... siapa?"

   "Aku kakak seperguruan Tio Ciu In! Ayoh, cepat katakan!" Sambil menjerit Tan Sin Lun menyerang Ho Bing. Pemuda itu tidak bisa mengekang hatinya lagi. Kekhawatirannya terhadap keselamatan Tio Ciu In membuatnya mata gelap.

   "Tan-heng, jangan...!" Liu Wan yang sudah merasakan kehebatan tongkat Ho Bing berseru. Terlambat. Hanya dengan miringkan tubuhnya, Ho Bing mampu meloloskan diri dari serangan Tan Sin Lun. Sebaliknya, pada saat yang hampir bersamaan tongkat Ho Bing menusuk ke arah dada Tan Sin Lun dengan cepatnya. Wajah Giam Pit Seng menjadi pucat seketika. Muridnya yang belum berpengalaman itu benar-benar dalam bahaya. Untuk menolong jelas tidak bisa. Jaraknya terlalu jauh. Sesuatu yang dapat ia lakukan hanyalah menyerang Ho Bing dengan bintang terbangnya!

   "Siiiiiing! Taaaaassh! Tuuuk! Gedubrak! Bruk!" Ternyata tidak hanya Giam Pit Seng yang kaget atas serangan Ho Bing tadi. Dalam kagetnya ternpata^"-jin-ong dan Liu Wan juga menyerang pula. Masing-masing dengan ilmu andalannya. Lojin-Ong dengan Ilmu Silat Kulit Dombanya, melempar tongkatnya ke lengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dengan Hong-lui-kun-hoat juga berusaha menghalau tongkat pengemis hidung belang itu.

   Ketika serangan itu datang pada saat yang sama. Mula-mula tongkat Ho Bing yang sudah menyentuh baju Tan Sin Lun itu tergetar hebat, akibat tangan yang memegangnya tak mampu mengelakkan terjangan tongkat Lojin-Ong. Na-mun pada saat itu juga jari Ho Bing sudah memencet tombol rahasianya, sehingga asap tebal berwarna kuning menyambar ke wajah Tan Sin Lun. Tapi pada saat asap kuning itu menyembur keluar, maka pukulan petir Liu Wan juga persis datang menyambar tongkat itu. Terdengar sebuah letupan kecil ketika tongkat tersebut terpental dari tangan Ho Bing. Namun demikian tongkat itu sempat merobek baju Tan Sin Lun dan menggores kulit dadanya. Bahkan asap kuning itu sudah terhisap pula oleh hidung Tan Sin Lun.

   "Bruuuuk!" Tubuh Tan Sin Lun terbanting pingsan di atas tanah! Sementara itu senjata rahasia bintang terbang milik Giam Pit Seng juga mengenai punggung Ho Bing dengan telak, bahkan persis pada jalan darah Tai-hung-hiat di bawah pundak. Akibatnya tubuh pengemis hidung belang itu juga tersungkur pula di samping Tan Sin Lun. Giam Pit Seng segera menghambur ke depan untuk menolong muridnya. Kedua jari telunjuknya beberapa tempat. Kemudian tangannya bergegas mengambil beberapa ramuan obat serta memasukkannya ke dalam mulut Tan Sin Lun.

   "Bagaimana? Lukanya parah?" Lojin-Ong bertanya khawatir.

   "Lukanya memang tidak seberapa, karena tongkat itu hanya menggores sedikit saja. Tapi asap kuning itulah yang berbahaya. Anak ini terlanjur menghisapnya, walaupun tidak banyak." Mereka lalu membawa Tan Sin Lun ke dalam pondok dan meletakkannya di atas lantai. Liu Wan dan Jeng-bin Lokai juga meringkus Ho Bing yang sudah terluka itu dan membawanya ke dalam rumah pula.

   "Kurang ajar! Lepaskan aku...!" Pengemis hidung belang itu mengumpat-umpat.

   "Jangan khawatir! Aku akan melepaskanmu kalau kau sudah mengatakan di mana Tio Ciu In berada..." Liu Wan menggeram dengan suara kesal.

   "Persetan! Perempuan hina itu sudah mati!" Plok! Plok! Telapak tangan Liu Wan menampar pipi Ho Bing beberapa kali, meskipun tidak sampai merontokkan giginya.

   "Aduh...! Bangsat! Keparat! Lepaskan tanganku!" Ho Bing menjerit-jerit. Setelah mengobati Tan Sin Lun, Giam Pit Seng menghampiri Ho Bing. Dengan suara tertahan pendekar Aliran Im-yang-kauw itu bertanya tentang murid perempuannya. Dari sikap dan roman mukanya, kelihatan sekali kalau dia menahan rasa marahnya.

   "Aku tidak tahu! Tanyakan sendiri kepada Yok si Ki! Orang itu yang membawa muridmu!" Liu Wan menyambar leher baju Ho Bing.

   "Jangan coba-coba melibatkan orang lain! Aku tahu sendiri, kau lah yang membawa gadis itu! kau ingat Tabib Ciok yang datang bersama gadis itu? Akulah tabib itu!" Ho Bing terperanjat. Matanya terbelalak memandang Liu Wan. Tiba-tiba mulutnya berdesis.

   "Kau... siapa?"

   "Namaku Liu Wan. Tapi banyak yang menyebutku Bun-bu Siucai. Tabib Ciok adalah penyamaranku di kota Hang-ciu ini..." Jawaban itu benar-benar mengejutkan Ho Bing. Bahkan tidak cuma Ho Bing, tapi juga semua tokoh yang ada di situ. Nama Bun-bu Siucai sangat terkenal di pantai timur Tiongkok. Namun demikian tak seorangpun di antara mereka yang pernah melihat wajahnya. Lojin-Ong mengangguk-anggukkan kepalanya. Bayangan wajah Hong-lui-kun Yap Kiong Lee, orang yang pernah dikenalnya, kembali terbayang di depan matanya. Dan dia semakin yakin, bahwa pemuda ini tentu mempunyai hubungan dengan orang itu.

   "Oh, jadi kaulah pendekar ternama itu? Bagus! Kalau begitu, siapa orang tua bongkok ini? Gurumu?" Ho Bing berkata lantang. Sama sekali tidak kelihatan takut menghadapi lawan banyak. Liu Wan tersenyum.

   "Hari ini nasibmu memang kurang beruntung. Locianpwe ini adalah tokoh paling tinggi di dalam aliran Im-yang-kauw saat ini. Beliau adalah Lojin-Ong atau Toat-beng-jin!" Ho Bing mengerutkan keningnya, kemudian tertawa panjang.

   "Kau benar, Liu Wan. Nasibku memang kurang baik hari ini. Begitu mendapat lawan, sekaligus dari tokoh-tokoh ternama dari dunia persilatan. Hohoho, baiklah. Rasanya aku tidak perlu berbelit-belit lagi sekarang. Akan kukatakan apa yang kalian inginkan..."

   "Jangan bertele-tele! Cepat katakan! Di mana Nona Tio sekarang?" Jeng-bin Lokai membentak.

   "Sabarlah, Hu-pangcu! Aku akan bercerita..." Begitulah, Ho Bing lalu bercerita apa adanya. Bagaimana ia dan Yok si Ki meloloskan diri melalui pintu rahasia dan kemudian bertemu pendekar bermata buta di dalam Gua Seribu Jalan...

   "Bohong! Dia tentu berbohong, Suhu!" Tan Sin Lun yang sudah berangsur baik dan ikut mendengarkan cerita Ho Bing, tiba-tiba berteriak.

   "Huh! Terserah kalian... Mau percaya atau tidak! Kalau kalian ingin mencoba kesaktian Pendekar Buta itu, akupun bersedia mengantarnya. Tapi... jangan salahkan aku, bila kalian mendapat celaka nanti! Harap tahu saja, pendekar itu mampu meruntuhkan atap gua... Hanya dengan getaran suaranya! kau dengar! Hanya dengan getaran suaranya!" Ho Bing berteriak pula dengan suara mendongkol. Semuanya terdiam di tempatnya. Mereka tahu bahwa Ho Bing tidak berbohong atau ingin menakut-nakuti mereka. Dari roman mukanya dapat dilihat bahwa pengemis hidung belang itu juga ketakutan pula ketika bercerita.

   "Baiklah, antarkan kami ke gua itu! Kami juga ingin berkenalan dengan Pendekar Buta itu. Siapa tahu dia masih hidup dan dapat menyelamatkan Tio Ciu In? Kukira orang yang memiliki kemampuan meruntuhkan atap gua dengan getaran suaranya, tentu dapat pula mengatasi bencana yang terjadi..." Akhirnya Lojin-Ong berkata pelan.

   "Aku sependapat dengan ucapan Lojin-Ong. Ho Bing, cepat... antarkan kami ke gua itu!" Seru Liu Wan tidak sabar.

   "Baik, kalian mau lewat mana? Lewat pintu rahasia... atau lewat rawa-rawa di belakang itu?" Jeng-bin Lokai mendengus dengan suara di hidung.

   "Huh! Aku tahu rencanamu. Manusia licik seperti kamu tentu mempunyai rencana-rencana busuk untuk mencelakakan kami dalam usahamu meloloskan diri. Bagimu, lewat terowongan di bawah tanah ataupun lewat rawa-rawa, sama saja. kau akan berusaha menyesatkan kami, bahkan menjebloskan kami ke tempat-tempat berbahaya, kemudian menyelinap pergi meninggalkan kami. Begitu, bukan? Hoho... jangan harap kau bisa mengelabuhi aku! Aku akan menjagamu seperti seorang ibu menjaga bayinya!" Ho Bing menyeringai senang, seolah-olah tidak peduli dengan ucapan Jeng-bin Lokai.

   "Bagaimana? Kalian pilih lewat mana...?" Giam Pit Seng mendekati Lojin-Ong.

   "Sebaiknya kita lewat rawa-rawa saja, Lojin-Ong. Lebih aman serta lebih cepat sampai, karena kita selalu tahu di mana kita berada. Di dalam terowongan kita sulit menentukan arah." Dia berbisik perlahan.

   "Baiklah! saudara Ho, kami ingin lewat rawa-rawa saja." Lojin-Ong memberi kepastian. Demikianlah, Giam Pit Seng lalu mengatur rencana keberangkatan mereka. Tan Sin Lun tidak diperkenankan ikut.

   Pemuda itu tetap tinggal bersama para pengawal Jeng-bin Lokai di rumah itu. Sementara itu karena sampan yang tersedia hanya dua buah, maka Jeng-bin Lokai dan Lojin-Ong berada satu sampan dengan Ho Bing. Sedang Liu Wan dan Giam Pit Seng berada dalam sampan yang lain. Untuk menjaga agar Ho Bing tidak lari, Jeng-bin Lokai sengaja menotok beberapa jalan darah di pangkal paha pengemis palsu itu. Bahkan demi keamanan mereka, Ho Bing ditempatkan di tengah-tengah. Malam semakin larut, sementara bintang di langit telah jauh bergeser ke arah barat. Kedua sampan kecil itu bergeser perlahan di antara semak-semak belukar yang banyak terdapat di tengah rawa itu. Selain berpedoman pada bintang-bintang, mereka juga mengandalkan pengalaman dan daya ingat Ho Bing, yang telah biasa bertualang di tempat itu.

   Rawa itu seperti tidak ada ujungnya. Semakin jauh sampan mereka melaju, maka semakin bingung pula mereka menentukan arah. Rasanya sampan itu hanya berputar-putar saja di antara gerumbul perdu dan alang-alang. Tapi dengan tenang dan penuh keyakinan, Ho Bing menunjukkan jalan yang harus mereka lalui. Dengan berpedoman pada letak bintang di langit, Ho Bing membawa rombongan itu ke arah yang benar. Akhirnya ketika sinar kemerahan mulai semburat di ufuk timur, rombongan tersebut sampai juga di seberang. Mereka menyembunyikan sampan mereka, kemudian naik ke daratan. Lojin-Ong kembali membebaskan totokan Ho Bing. Sementara itu udara bertiup dengan kencang menerpa tubuh mereka, sebagai bukti bahwa mereka telah berada di dekat pantai.

   "Bagus Ho Bing! Tampaknya kau memang benar-benar tahu cara melintasi rawa-rawa ini. Kata orang, rawa ini penuh dengan binatang-binatang berbahaya, yang setiap saat bisa membunuh orang. Tapi sejak berangkat tadi, kita tidak menemuinya sama sekali. Bagaimana kau bisa menghindari mereka? Apakah cerita tentang binatang-binatang berbahaya itu hanya bohong belaka?" Jeng-bin Lokai bertanya sambil berdecak kagum. Tiba-tiba Ho Bing tertawa.

   "Kalau kukatakan apa yang ada di tengah perjalanan tadi, mungkin kita belum sampai di tempat ini."

   "Apa katamu...?" Liu Wan tersentak tak paham.

   "Sebenarnya kita baru saja lolos dari dua kali kematian. Pertama, kita lolos dari keroyokan ular berjengger merah. Kedua, kita lolos dari pusaran maut." Semuanya mengerutkan dahi.

   "Jangan berbelit-belit! Jelaskan kata-katamu!" Mereka berdesis hampir berbareng. Ho Bing kembali tertawa.

   "Ketahuilah, ular rawa berjengger merah itu hidup di tempat yang banyak ditumbuhi pohon bunga. Turun-temurun ular itu selalu beristirahat pada saat pohon bunga sedang mekar. Dan waktunya tidak lama. Mungkin cuma sepeminuman teh saja. Setelah itu mereka akan keluar lagi..."

   "Oh, begitukah...? Sungguh berbahaya sekali! Untung kita tidak ribut selama berada di tempat itu..." Jeng-bin Lokai berdesah ngeri.

   "Benar, Hu-pangcu. Sedikit saja kita membangunkan mereka, hohoho... tempat itu akan penuh dengan ular bercengger merah! Dan bila sudah demikian keadaannya, maka cuma manusia bersayap saja yang mampu keluar dari tempat itu." Liu Wan menarik napas lega.

   "Lalu... di mana bahaya kematian yang ke dua itu berada?" Kami tidak melihat pusaran Ho Bing menatap pemuda tampan itu dengan perasaan puas. Puas karena memiliki pengalaman lebih baik daripada mereka.

   "Liu-heng, kau masih ingat ketika hendak mengayuh sampan... Ke daerah yang terbuka tadi?"

   "Maksudmu... bagian yang tidak ada tumbuh-tumbuhan dan semak-belukar itu? Airnya sangat dalam?" Sekali lagi pengemis hidung belang itu tertawa lepas.

   "Jadi Liu-heng berpendapat demikian? Oho...untunglah aku cepat-cepat membawa Liu-heng menghindari tempat itu. Kalau tidak...wah, kau dan Giam Lo-Cianpwe sudah bertemu dengan Giam-lo-ong (Dewa Kematian) sekarang."

   "Mengapa begitu, saudara Ho?" Lojin-Ong yang jarang sekali berbicara itu mendesak menyela pembicaraan mereka.

   "Ah, Lo-Cianpwe... biasanya orang yang belum tahu tentang rawa ini, cenderung memilih lewat di tempat yang terbuka. Selain tidak ada tumbuh-tumbuhan yang menghalangi pandangan, bahaya yang datangpun segera bisa dilihat. Namun... justru di sanalah tempat yang paling berbahaya pada rawa-rawa ini."

   "Paling berbahaya? Mengapa?" Karena memang belum tahu, Lojin-Ong minta penjelasan.

   "Seharusnya orang merasa curiga. Paling tidak... berpikir tentang keanehan itu. Mengapa di tempat itu tidak ada tanaman, sementara di perairan di sekitarnya penuh dengan semak belukar?"

   "Yaya... cepat katakan! Apanya yang berbahaya? Heh?!" Jeng-bin Lokai membentak tak sabar. Tapi dengan tenang Ho Bing melanjutkan keterangannya. Sama sekali tak terpengaruh oleh bentakan Jeng-bin Lokai.

   "Seperti yang diduga oleh saudara Liu tempat itu memang dalam airnya. Tapi bukan itu yang ditakuti orang. Yang ditakuti adalah... pusaran airnya! Pada waktu-waktu tertentu terjadi pusaran air yang dahsyat, yang akan menelan benda apa saja ke dalam dasarnya. Apabila sampan kita berada di sana, kemudian muncul pusaran air tersebut, maka kita semua akan tersedot ke bawah dan hilang entah ke mana. Kata orang di dasar rawa itu terdapat lobang, yang berhubungan dengan sungai di bawah tanah." Semuanya termangu-mangu mendengar keterangan pengemis hidung belang itu.

   "Tapi... Mengapa baru sekarang hal itu kau katakan? Mengapa tak kau beritahukan pada saat kita berada di sana?" Jeng-bin Lokai mendongkol.

   "Oh-oh, aku tak ingin mati bersamamu, Lokai. kau tidak mungkin percaya kepadaku. Kalau saat itu aku berkata demikian, engkau akan menuduhku bohong. kau tentu berprasangka bahwa aku hanya merancang jalan untuk melarikan diri. Dan yang paling kutakutkan, ketidak percayaanmu itu akan membuahkan keputusan untuk memaksa lewat di tempat itu. Bukankah hal itu sangat mengerikan?"

   "Sudahlah, saudara Ho. Mari kita lanjutkan perjalanan kita!" Lojin-Ong menghentikan pembicaraan mereka. Demikianlah bersamaan dengan terbitnya matahari, mereka menjejakkan kaki mereka di pantai Gua Seribu. Sorot matahari yang merah kekuningan itu seolah-olah melapis permukaan laut dengan hamparan emas berlikauan. Kebetulan pula angin yang bertiup tidak begitu kencang, sehingga gelombangpun tidak segarang biasanya.

   "Itulah gua-gua itu!" Ho Bing menunjuk ke tebing pantai yang memanjang jauh ke selatan, di mana lubang-lubang gua itu bertaburan bagai sarang tawon. Begitu banyaknya, sehingga sulit untuk menghitung, apalagi mencari lubang gua yang dikehendaki.

   "Ah! Bagaimana kau mencari lubang gua di mana kau berada tadi malam?" Giam Pit Seng mulai ragu. Ho Bing melangkah maju, diikuti oleh Jeng-bin Lokai yang tak pernah lekang barang seujung rambut pun.

   "Tidak sulit, Lokai. Kita tak usah mencari lubang gua yang berada di tebing atas, Kita cari saja lubang gua yang sejajar dengan permukaan laut, karena lubang gua yang kita cari itu merupakan muara sebuah sungai bawah tanah. Nah, setelah itu kita lihat di dalamnya. Bila di situ terdapat bekas reruntuhan tadi malam, maka lubang itulah gua yang kita cari..." Liu Wan mengangguk-angguk.

   "Baik! Marilah kita mulai mencarinya...!" Meskipun lubang gua yang berada di bawah sangat banyak dan setiap saat harus melongok ke dalam, namun lubang gua yang mereka cari akhirnya ketemu juga. Bahkan jejak-jejak sepatu Ho Bing dan Yok si Ki banyak terdapat di sana.

   "Nah, lihatlah! Reruntuhanya masih baru..." Ho Bing berkata lantang. Semua berebut masuk. Mereka melihat batu-batu besar berserakan di mana-mana. Dari pecahan-pecahan batu yang ada, mereka percaya bahwa kejadiannya memang belum lama. Bahkan batu-batu itu banyak yang runtuh begitu tersentuh tangan mereka. Semakin dalam mereka masuk, keadaannya semakin porak poranda. Rasanya tidak mungkin kalau hal itu disebabkan oleh getaran suara manusia. Kerusakan itu lebih pantas disebabkan oleh goncangan gempa yang hebat.

   "Bukan main! Benarkah semua ini disebabkan oleh kekuatan seorang manusia? Hmm, jangan-jangan hanya kebetulan, saja..." Lojin-Ong tak henti-hentinya berdecak heran.

   "Apa maksud Lo-Cianpwe?" Liu Wan bertanya tak mengerti.

   "Hmm... jangan-jangan memang ada gempa bumi di tempat ini. Atau... Mungkin keadaan gua ini memang sudah rapuh sebelumnya, sehingga getaran sedikit saja sudah membuat batu-batu di atas berguguran ke bawah... Hal seperti itu memang banyak terjadi di gua-gua berusia ribuan tahun." Lojin-Ong menerangkan.

   "Benar, Lojin-Ong. Aku berpikir demikian. Rasanya sulit dipercaya kalau hal ini diakibatkan oleh manusia." Giam Pit Seng memberikan tanggapannya pula. Jeng-bin Lokai menyentuh batu yang melekat di dinding gua. Ketika tangannya mencoba mendorong, batu tersebut tak bergerak sedikit pun. Begitu pula ketika ia mencoba menggoyang batu lainnya.

   "Tapi batu-batu di gua ini tampak kokoh kuat..." Dia bergumam kurang percaya. Liu Wan menoleh. Ketika matanya tak melihat Ho Bing, ia berteriak.

   "He...? Di mana Ho Bing tadi?" Semuanya tersentak kaget. Pengemis hidung belang itu benar-benar tidak ada di antara mereka.

   "Kurang ajar...! Sekejap saja aku berpaling, orang itu sudah menghilang!" Jeng-bin Lokai mengumpat-umpat.

   "Jangan-jangan dia juga berbohong tentang semua ini. Mungkin Tio Ciu In tak pernah dibawa ke sini. Dia hanya mencari jalan untuk melepaskan diri dari kita." Giam Pit Seng semakin ragu. Tiba-tiba Liu Wan meloncat ke depan dan mendorong sebongkah batu besar. Dengan sebat tangannya menarik sesuatu dari bawah batu tersebut.

   "Lo-Cianpwe, lihat...! Bukankah ini sepatu Tio Ciu In?" Pemuda itu berseru keras sekali. Lojin-Ong dan Giam Pit Seng bergegas melihat sepatu itu.

   "Benar. Sepatu ini memang milik Tio Ciu In. Anak itu sendiri yang membuatnya setiap kali menyelesaikan latihan silatnya..." Giam Pit Seng mengangguk-angguk. Matanya berkaca-kaca.

   "Ciu In...!!" Lojin-Ong berseru dengan kekuatan tenaga dalamnya. Suaranya bergema, bergulung-gulung, menembus lorong-lorong gua itu. Begitu kuat getarannya sehingga lapisan tanah dan bongkahan batu kecil yang masih tersisa di atap gua berguguran ke bawah.

   "Lojin-Ong, awaaaas...! Susunan batu di dalam gua ini masih belum mantap benar. Semuanya masih mudah runtuh." Liu Wan memperingatkan.

   "Benar. Aku memang kurang memperhitungkannya. Aku terlalu khawatir terhadap keselamatan Tio Ciu In." Mereka lalu masuk lebih ke dalam lagi. Ketika mereka mendapatkan lubang-lubang yang lain, mereka mulai bingung. Apalagi ketika mereka masuk ke dalam salah satu lubang di antaranya, mereka kembali mendapatkan sebuah gua besar yang memiliki beberapa buah lubang terowongan lagi.

   "Awassss...! Gua ini memiliki terowongan yang berbelit-belit seperti sarang laba-laba! Sebelum kita berjalan lebih dalam dan kehilangan arah, kita harus mencari cara agar tidak tersesat. Kita tidak boleh kehilangan jalan untuk kembali ke gua besar tadi. Nah, bagaimana pendapatmu... jeng-bin Lokai?" Lojin-Ong menghentikan langkahnya dan bertanya kepada wakil ketua Tiat-tung Kai-pang.

   "Kau benar, Lojin-Ong. Sekali kita kehilangan arah, maka kita semua akan berputar-putar di dalam gua-gua ini sampai mati. Sudah banyak cerita yang kudengar tentang hal itu. Hemmmmm, menurut pendapatku... Kita harus memberi tanda setiap memasuki lubang gua yang lain. Bagaimana...?"

   "Baiklah. Mari kita mencobanya..." Kemudian setiap kali berbelok dan masuk ke dalam gua yang lain mereka memberi tanda dengan goresan-goresan pada dindingnya. Mereka melakukannya berkali-kali, hingga suatu saat mereka menjadi kaget ketika tiba-tiba telah berada di tempat semula. Padahal mereka yakin bahwa mereka tidak merasa berputar atau berbalik arah.

   "Gila! Gua ini benar-benar membingungkan. Bagaimana kita bisa kembali ke tempat ini? Bukankah kita tadi maju terus ke dalam tanpa mengambil jalan ke kiri atau ke kanan?" Liu Wan bingung.

   "Benar, Liu-heng. Tapi kita keluar dari lubang yang lain lagi. Jadi benar dugaan Lojin-Ong, bahwa lubang terowongan di dalam tanah ini berbelit-belit seperti sarang laba-laba." Giam Pit Seng membenarkan. Lojin-Ong mendekati mereka. Sambil menepuk pundak Liu Wan dia mengajak keluar dari gua tersebut.

   "Sebaiknya kita keluar dulu. Kita rundingkan cara yang baik untuk mengatasi hal ini. Selain daripada itu kita perlu makan pula, bukan? Nah, mari kita keluar...!"

   Ternyata matahari telah sepenggalah tingginya. Panasnya memancar, mengusap dinding-dinding karang yang tinggi, seolah-olah mau menghangatkan suasana yang kaku di siang hari itu. Mereka mencoba mencari ikan apa saja untuk mengisi perut. Sungai-sungai di bawah tanah itu memang menyediakan ikan yang biasa mereka ambil. Demikianlah, selama enam hari mereka mencoba terus mencari Tio Ciu In. Pada hari ke tiga Giam Pit Seng menemukan tali rambut muridnya itu, sehingga mereka menjadi bersemangat kembali. Tapi penemuan itu ternyata merupakan petunjuk mereka yang terakhir. Selanjutnya mereka tak pernah menemukan apa-apa lagi. Hingga pada hari yang ke tujuh mereka mulai putus asa.

   "Bagaimana menurut pendapat Lojin-Ong? Apakah Tio Ciu In masih hidup atau mati?" Giam Pit Seng bertanya kepada sesepuhnya.

   "Entahlah, Pit Seng. Sama sekali tak ada gambaran yang dapat menjadi petunjuk untuk meramalkan hal itu. Pikiran dan perasaanku serasa gelap dan buntu. Tetapi kecil rasanya kemungkinan untuk hidup bagi anak itu..."

   "Hmmh, si Keparat Ho Bing itu juga tidak muncul pula. Dialah yang menjadi gara-gara semua ini. Ah, Lo-Cianpwe... apa yang harus kita kerjakan sekarang?" Liu Wan berdesah dengan suara tersendat-sendat.

   "Apa boleh buat, kita telah berusaha selama enam hari di sini. Kami terpaksa pulang."

   Liu Wan duduk termangu-mangu. Semua bayangan Tio Ciu In selama ini kembali terbayang biji matanya. Senyumnya. Cara bicaranya. Demikianlah, seperti apa yang dikatakan oleh Lojin-Ong, walaupun sangat berat mereka terpaksa meninggalkan tempat itu. Mereka harus kembali, karena banyak tugas yang harus mereka lakukan selain itu. Liu Wan sendiri selama hampir sebulan masih tetap mondar-mandir di pantai tersebut. Pemuda itu masih berharap dapat bertemu kembali dengan Tio Ciu In. Tapi setelah sekian lamanya tidak juga bersua, akhirnya pupus juga harapannya. Dengan sedih dia pergi melanjutkan pengembaraannya. Kenangan tentang gadis ayu itu dibawanya kemanapun dia pergi.

   
* * *

   Lima tahun kemudian...

   Waktu lima tahun memang tidak terlalu lama. Namun selama kurun waktu yang tidak terlalu lama itu ternyata telah banyak sekali perubahan yang terjadi di negeri Tiongkok. Pasukan Mo Tan dengan panglima-panglimanya yang gagah berani telah banyak menyusup ke selatan. Mereka melewati Tembok Besar, kemudian menyerang dan menguasai beberapa kota kecil di sepanjang Sungai Ho-ang-ho. Sementara itu pemberontakan suku-suku kecil di hulu Sungai Yang-tse juga semakin merajalela.

   Begitulah, hanya dalam waktu lima tahun semenjak Au-yang Goanswe memperoleh kepercayaan penuh dari Permaisuri Li, maka suasana di dalam negeripun mulai berubah buruk. Cita-cita untuk mencapai negeri yang aman dan nyaman, yang telah dirintis oleh Permaisuri Li semenjak wafatnya Kaisar Liu Pang, mulai goyah dan siap untuk runtuh kembali. Dengan kekuasaannya yang besar, Au-yang Goanswe menguasai para menteri dan penasehat kerajaan. Dengan siasat dan kelicikannya pula, Au-yang Goanswe memfitnah Panglima Besar Yap Kim, sehingga pahlawan yang berjasa besar terhadap negara itu justru dibuang dan dipenjarakan oleh Permaisuri Li. Oleh karena secara diam-diam di kotaraja sendiri terjadi persaingan dan permusuhan di antara para penguasanya, maka di daerahpun suasananya juga semakin jelek dan rusuh.

   Para Gubernur atau Raja Muda yang berkuasa di luar Kotaraja, seolah-olah tidak terkendali lagi. Dengan longgarnya pengawasan dari pusat, maka kekuasaan mereka benar-benar penguasa di daerahpun tidak kalah buruknya daripada mereka. Rakyat kecil menjadi ketakutan, karena merekalah yang akhirnya menjadi korban kebrutalan itu. Para petani tidak berani sembarangan turun ke sawah. Selain banyak penjahat yang mengancam mereka, hasil sawah merekapun belum tentu dapat mereka nikmati dengan baik. Kalau bukan perampok yang menjarah-rayah hasil panenan mereka itu, para penguasa lalimpun sering mengambilnya dengan dalih untuk negara. Begitulah, mereka yang bermandi keringat, tetapi orang lain yang berpesta pora. Bagi mereka cukup diberi jatah sebagian kecil saja dari hasil sawah ladang mereka itu.

   Suasana negeri yang demikian itu juga menimbulkan pelecehan terhadap wanita secara semena-mena. Penculikan, perkosaan dan segala tindak kekerasan terhadap wanita terjadi di mana-mana. Tentu saja keadaan itu menimbulkan gelombang kemarahan dari para pendekar persilatan. Muncullah dewa-dewa penyelamat yang berusaha melindungi rakyat banyak. Meraka secara sendiri-sendiri atau berkelompok, memburu para penjahat itu dan berusaha untuk mengenyahkan mereka. Maka bentrokanpun tidak bisa dielakkan lagi. Dunia persilatan menjadi gempar oleh pertempuran-pertempuran-mereka. Korban segera berjatuhan di antara dua golongan itu. Mereka tidak mengindahkan peraturan dan hukum negara lagi. Hanya hukum alam yang berlaku di kalangan mereka. Siapa yang lebih kuat, dialah yang menang.

   Sementara itu suasana prihatin terasa mengambang di seluruh negeri. Ibu Suri Li, yang pada tahun-tahun pertama memegang kekuasaan sangat disukai rakyat, kini sedang menderita sakit. Oleh karena Pangeran Mahkota Liu Wan Ti, yang seharusnya menggantikan kedudukannya belum juga ditemukan, maka untuk sementara waktu kekuasaan negeri terpaksa dilimpahkan kepada tujuh menteri. Mereka dibantu oleh Dewan Penasehat kerajaan yang terdiri dari sepuluh orang. Aturan yang berlaku memang tertulis demikian, namun diantara aturan yang tertulis dan kenyataan yang ada ternyata sangat berlainan, resminya saja kekuasaaan ada pada tujuh menteri dan sepuluh dewan penasehat kerajaan, tapi kenyataannya mereka sama sekali tidak punya kekuatan apa-apa.

   
Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Au-yang Goanswe yang sekarang memiliki kekuatan yang sangat besar, justru lebih berkuasa daripada tujuh menteri itu, dengan dukungan pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, ditambah lagi dengan bantuan sebagian besar panglima kerajaan yang terbujuk oleh rayuannya, maka kekuasaannya justru lebih menentukan daripada mereka. Sebagai seorang pembesar yang mendapat kepercayaan dari Ibu Suri atau bekas Permaisuri Li, apalagi kini memiliki kedudukan sebagai Panglima besar bala tentara kerajaan, maka jenderal Au-yang merupakan orang terkuat di Kotaraja dan semua yang didapatnya tersebut memang merupakan cita-cita semenjak dulu. Melalui jalan yang sangat panjang, disertai dengan segala macam cara dan tipu daya, Jendral yang menyimpan dendam kesumat terhadap dinasti Han itu, akhirnya berhasil menyingkirkan hampir semua lawannya.

   Impian dan cita-citanya untuk mengembalikan pamor keluarga Beng, serta melampiaskan dendam ayahnya terhadap keluarga Kaisar Liu Pang, tinggal beberapa langkah lagi. Dua puluh tahun lalu, pada permulaan langkahnya, Au-yang Goanswe berhasil menyingkirkan pangeran Liu yang kun dari lingkungan Istana, walaupun tidak dapat membunuh pangeran mahkota yang tersohor sangat sakti itu, namun dengan segala tipu dayanya Au-yang Goanswe mampu menyingkirkannya, bahkan juga sekalian melenyapkan seluruh keluarganya. Setelah langkah pertama itu terlaksana, Au-yang Goanswe lalu mengincar Pangeran Liu Wan Ti, adik Pangeran Liu yang kun. Tetapi sebelum rencana tersebut dilaksanakan, pangeran muda itu sudah keburu meloloskan diri dari Istana. Pergi entah ke mana.
(Lanjut ke Jilid 20)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 20
Namun kepergian Pengeran Liu Wan Ti tidak mempengaruhi kelangsungan rencana Au-yang Goanswe selanjutnya. Jendral tua yang sudah teracuni dendam kesumat itu segera meneruskan rencananya. Dan langkah berikutnya, langkah yang paling berat dan sulit dilakukan, yaitu menyingkirkan Panglima Besar Bala Tentara Kerajaan, Panglima Yap Kim beserta para perwira kepercayaannya. Namun sekali lagi dengan tipu daya dan kelicikannya, Au-yang Goanswe juga berhasil menjatuhkan dan menyingkirkan mereka pula. Bahkan salah seorang di antara perwira tinggi yang ikut tersingkir bersama Panglima Yap Kim itu adalah Kong-sun Goanswe, Komandan Pasukan Rahasia Kerajaan, yang menjadi saingan beratnya selama ini.

   Panglima Yap Kim dituduh berkhianat dan dianggap bersalah terhadap kerajaan, sehingga ibu suri Li lalu mencopot jabatannya dan membuangnya ke benteng langit yaitu sebuah bangunan kuno yang didirikan di atas pulau karang kecil ditengah-tengah aliran sungai Huangho, ketika Liu Pang naik tahta, bangunan kokoh kuat seperti benteng tersebut diubah fungsinya menjadi sebuah penjara. Sedangkan jendral Kong Sun yang sebelumnya menjadi komandan pasukan rahasia kerajaan yang dianggap bersalah karena tidak mengetahui penghianatan panglima Yap Kim, dipindah tugaskan ke daerah perbatasan bagian utara. Jendral Kong Sun yang mahir ilmu perang itu hanya ditugaskan sebagai komandan pasukan kecil yang mengawasi suku bangsa liar di luar tembok besar.

   Selama lima tahun itu pula, Au-yang Goanswe masih selalu menyelenggarakan "Perlombaan Mengangkat Arca" disetiap peringatan tahun baru, dengan cara yang sangat rahasia ia masih tetap mencari pemuda bertato naga yang dicurigainya sebagai keturunann Kaisar Liu Pang harus dilenyapkan. Namun dengan dalih perlombaan tersebut dia juga berhasil mengumpulkan jago-jago silat kelas tinggi untuk diangkat menjadi pengawalnya. Persahabatan rahasia dengan Raja Mo Tan juga masih tetap dilakukan oleh Au-yang Goanswe, meskipun persahabatan tersebut terasa mulai mengendor setelah Au-yang Goanswe merasa dirinya kuat dan tidak memerlukan bantuannya lagi. Demikianlah setelah semua lawannya tersingkir, maka perjalanan cita-cita Au-yang Goanswe tinggal beberapa langkah lagi.

   Rencananya sekarang adalah menunggu kematian Ibu Suri Li, setelah pemangku kekuasaan negeri yang sedang sakit berat itu meninggal dunia, maka Au-yang Goanswe merencanakan untuk mengangkat dirinya menjadi Wali Kerajaan, dengan kekuasaan dan dukungan para pengikutnya, Jendral Au-yang yakin bahwa rencananya itu akan mudah dilaksanakan. Kemudian pada suatu saat yang tepat nanti, ia akan mengangkat dirinya sendiri menjadi Kaisar. Dan pada saat itu dia akan menggunakan nama marga Beng kembali. Begitulah, dalam suasana penuh keprihatinan itu, Au-yang Goanswe beserta para pendukungnya justru tidak sabar lagi dalam menunggu berita kematian dari Istana. Di dalam Istananya yang besar dan megah, yang dibangun di atas puing-puing reruntuhan Istana Pangeran Liu yang kun, Au-yang Goanswe terus mengikuti semua perkembangan di Istana Kaisar.

   Tiba-tiba seorang prajurit kelihatan berlari melintasi halaman Istananya. Prajurit itu berlari ke gardu jaga dan melaporkan maksudnya kepada perwira yang berada di sana. Perwira tua itu mengerutkan keningnya, lalu bergegas masuk ke ruang dalam.

   "Goanswe...! Ada berita dari Istana bahwa Menteri si Sun Ong dan Kui Hua Sin memasuki Ruang Pertemuan. Bahkan di ruang itu juga sudah siap pula beberapa orang dari Dewan Penasehat Kerajaan. Beng Goanswe menduga, mereka akan membicarakan sesuatu yang sangat penting..." Perwira tua itu melapor. Au-yang Goanswe yang sedang minum teh bersama para pembantu dekatnya, cepat meletakkan cangkirnya. Wajahnya berseri-seri.

   "Bagaimana dengan... Ibu Suri? Apakah... sudah ada kabar tentang dia?" Au-yang Goanswe berdiri dan bertanya penuh semangat. Perwira tua itu memberi hormat dengan cepat.

   "Sama sekali belum ada berita, Goanswe." Jenderal Au-yang menggeram dengan suara kesal.

   "Lalu... apa maksud pertemuan mereka? Apakah mereka ingin menyusun rencana untuk melawan aku, heh? Lao Cing, pergilah ke Istana menemui Beng Cun! Selidiki, apa maksud pertemuan itu!" Seorang perwira Kim-i-wi yang sedang tidak berdinas dan sedari tadi berada di dekat Au-yang Goanswe, segera berdiri dan bergegas meninggalkan tempat itu.

   Di luar pendapa perwira Kim-i-wi itu memanggil para pengawalnya, kemudian bersama-sama meninggalkan Istana itu dengan naik kuda. Di tengah jalan mereka bertemu dengan seorang perwira berseragam lusuh, naik kuda diiringkan sekelompok prajurit penjaga pintu gerbang kota. Perwira itu tampak sangat kusut dan kelelahan. Baju seragamnya tampak kotor penuh debu, sementara topi kebesarannya hanya digantungkan pula di belakang punggungnya. Rambutnya yang tebal dibiarkan lepas tertiup angin. Dilihat dari penampilannya bisa diduga bahwa usia perwira itu tentu belum ada empat puluh tahun. Namun kalau dilihat dari sikap dan penampilannya, maka dapat ditebak bahwa perwira itu tentu telah banyak mengarungi ganasnya medan pertempuran. Apalagi kalau dilihat dari beberapa luka yang tergores di wajah dan tangannya.

   "Siapa perwira yang datang berpapasan dengan kita itu, Prajurit?" Perwira berpakaian lusuh itu bertanya kepada prajurit yang mengawalnya.

   "Beliau... jendral Lao Cing, Wakil Komandan Pasukan Kim-i-wi, Yo-Ciangkun!"

   "Jendral Lao Cing? Ah, sudah belasan tahun aku di perbatasan sehingga tak mengenal lagi rekan-rekanku di Kotaraja. Hmm! Semua sudah berubah. Dia telah menjadi jendral sekarang."

   "Ciangkun pernah bertemu dengan Lao-Goanswe?" Prajurit itu bertanya pula. Yo-Ciangkun yang berseragam lusuh itu tersenyum kecil kemudian menggebrak kudanya agar berjalan lebih cepat. Ketika berpapasan dengan rombongan Lao-Goanswe, Yo-Ciangkun cepat mengangkat tangannya. Karena terlalu lama di perbatasan, maka sopan-santun keprajuritannya juga tidak sekuat dulu lagi. Apalagi yang dia jumpai adalah bekas teman dekatnya. Tangannya tetap teracung untuk memberi hormat, namun mulutnya berkata seenaknya.

   "Wah, saudara Lao! Apa khabar? Tidak kusangka kita bisa bertemu lagi." Jendral Lao kelihatan tersentak di atas kudanya. Pandangan matanya berkilat tegang, sementara dahinya berkerut melihat ke arah Yo-Ciangkun. Melihat sikapnya mudah diduga bahwa hatinya merasa kurang senang menyaksikan kelancangan Yo-Ciangkun. Mereka berhadapan dalam jarak yang amat dekat. Dan baru beberapa saat kemudian Jendral Lao dapat mengingat wajah Yo-Ciangkun. Namun wajah jendral itu tidak berubah ketika membalas sapaan Yo-Ciangkun. Bahkan suaranya berkesan acuh dan dingin.

   "Ah... Kau Yo Keng, mengapa kamu berada disini?" Yo-Ciangkun terkesiap. Namun demikian dia segara menyadari kekeliruannya. ini semuanya telah berubah dan keadaannya tidak seperti dulu lagi. Sekarang Lao Cing telah menjadi jendral, bahkan selah menjadi Wakil Komandan Pasukan Cim-i-wi yang termashur itu. Tentu saja dia bukan apa-apa dibandingkan Lao-Goanswe. Apakah arti seorang perwira rendah dari daerah perbatasan seperti dia.

   "Aaah, celaka! Bodoh benar aku!" Geramnya menyesali diri. Yo Keng cepat turun dari kudanya. Sambil membungkuk dia memberi hormat.

   "Maafkan aku, Lao-Goanswe. Terimalah hormatku." Ucapnya tergesa... untuk memperbaiki kekeliruannya. Wajah Lao-Goanswe justru semakin keruh. Apa yang dilakukan Yo Keng tersebut malah berkesan meledek atau mengolok-olok dirinya.

   "Yo Keng, jangan bergurau! Katakan saja apa keperluanmu di tempat yang daerah tugasmu ini?" ganti Yo Keng yang kaget. Tidak terduga langkah pertamanya di Kotaraja justru jatuh di bara api yang berbahaya. Padahal kedatangannya ke Kotaraja membawa persoalan penting bagi pasukannya di perbatasan.

   "Aku... ah, maafkanlah aku. Aku menjadi gugup sekali, karena aku harus segera menemui Menteri Kui Hua Sin." Yo Keng menjadi bingung dan salah tingkah. Lao Cing tetap berada di atas punggung kudanya. Sama sekali ia tak mau turun menyambut kedatangan teman dekatnya itu.

   "Mengapa harus menemui Menteri Kui Hua Sin? Apakah tidak dapat disampaikan kepada orang lain?"

   "Ah, bukan begitu maksudku." Yq Keng buru-buru menjelaskan.

   "Persoalan yang kubawa ini bukan persoalan biasa. Tapi menyangkut persoalan negara. Aku akan dianggap bersalah, bahkan bisa dianggap membocorkan rahasia kerajaan, kalau persoalan yang kubawa ini kukatakan kepada orang lain. Jadi, hanya kepada Pemangku Kekuasaan Negeri saja hal ini harus kukatakan. Maafkanlah aku..." Mata Jendral Lao Cing yang sipit itu tampak berkilat-kilat lagi. Namun kali ini mengandung sinar keji dan licik. Hal itu dapat dilihat dari sikapnya yang mendadak berubah ramah dan bersahabat.

   "Baiklah. Aku takkan mencampuri urusanmu. Tapi ketahuilah, hari ini Menteri Kui Hua Sin dan Menteri-menteri lainnya sedang mengadakan pertemuan di Istana. Bahkan mereka sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Lebih baik kau datang nanti sore saja. Percuma kau datang ke sana. Tak seorangpun diperbolehkan masuk ke Istana..." Yo Keng semakin bingung.

   "Tapi... apa yang harus kuperbuat? Laporan itu tidak boleh ditunda-tunda lagi. Kong-sun Goanswe akan marah sekali kalau laporan itu sampai terlambat."

   "Yaa, kalau begitu... Kau bisa mencobanya. Mudah-mudahan Beng Goanswe mengijinkan niatmu. Nah, selamat jalan. Kuharap kita bisa bertemu lagi." Selesai berbicara, Lao-Goanswe menghentakkan tali kudanya, sehingga kudanya melompat ke depan dengan garangnya. Para pengawal cepat memacu kuda mereka pula, takut ketinggalan.

   "Lao-Goanswe...!!!" Yo Keng berseru gugup, tapi Lao Cing dan anak buahnya tak ada yang peduli lagi. Mereka tetap memacu kuda dengan kencang. Yo Keng menundukkan mukanya. Sekarang dia benar-benar memaklumi ucapan Kong-sun Goanswe tentang keadaan di Kotaraja. Kotaraja sekarang memang sudah berubah dan amat berbeda dengan keadaan lima atau enam tahun lalu. Orang tidak dapat lagi membedakan mana kawan dan mana lawan. Istana Kaisar penuh dengan serigala-serigala berbulu angsa, yang setiap saat bisa berubah wujud untuk menikam kawan sendiri dari belakang.

   "Benar juga kata-kata Kong-sun Goan swe. Semuanya sudah berubah. Ternyata akupun tak bisa mengenali kawanku pula. Sungguh tak kusangka. Padahal aku benar-benar mengenalnya di masa-masa yang lalu. Hemmmm...!"

   "Yo-Ciangkun, kau tidak apa-apa bukan? Mengapa Yo-Ciangkun tidak sekalian minta tolong kepada Jendral Lao? Dia dapat membawa Yo-Ciangkun masuk ke Istana..." Tiba-tiba Yo Keng terkejut mendengar suara prajurit pengawalnya. Yo Keng menghela napas panjang.

   "Kau benar, Prajurit. Bagaimana aku bisa lupa bahwa dia adalah Wakil Koman- na."

   "Lalu... apa yang akan Yo-Ciangkun lakukan sekarang?"

   "Apa boleh buat. Aku terpaksa ke Istana untuk menemui Lao-Goanswe lagi. Biarlah aku akan sedikit mengalah kepadanya. Dalam keadaan begini, kepentingan negara di atas segala-galanya."

   "Kalau begitu kami akan mengantar Yo-Ciangkun ke Istana." Prajurit itu berkata pula. Demikianlah, Yo Keng lalu meneruskan perjalanannya ke istana. Prajurit-prajurit penjaga Pintu Gerbang Kota itu mengantarnya sampai di depan pintu halaman istana. Di sana mereka diterima oleh para pengawal istana berbaju emas, yang biasa disebut pasukan Kim-i-wi (Pasukan Baju Emas).

   "Aku Yo Keng, perwira dari pasukan ke tiga di perbatasan utara. Aku diperintahkan Kong-sun Goanswe untuk menghadap Menteri Kui Hua Sin, yang saat ini sedang mengadakan pertemuan dengan Dewan Penasehat Kerajaan. Antarkan aku menghadap Beliau. Penting sekali. Inilah tanda pengenalku dari Pasukan Perbatasan." Yo Keng mengeluarkan selembar perak sebesar tapak tangan bertuliskan huruf "SENG" dari emas, yang merupakan tanda kebesaran pasukan Kong-sun Goanswe di perbatasan.

   "Baiklah, Ciangkun. Kami akan melaporkan masalah ini ke atasan kami. Kebetulan Beng Goanswe sedang berbincang-bincang dengan Lao-Goanswe di Gedung Bendera."

   "Tunggu! Mengapa aku tidak kalian bawa langsung ke Ruang Pertemuan itu? Laporan yang hendak kusampaikan kepada Menteri Kui Hua Sin ini tidak boleh terlambat. Tolonglah...!"

   "Maaf, kami tidak bisa, Ciangkun. Pada saat-saat seperti ini tak seorangpun boleh masuk ke tempat itu. Hanya Beng Goanswe dan Lao-Goanswe yang berhak mengijinkan orang ke sana." Yo Keng berdesah. Hatinya mulai kecewa dan ragu. Ragu akan keberhasilan tugasnya. Sebelum dia berangkat, Kong Sun Goanswe sudah mengatakan bahwa tugasnya ini akan banyak menghadapi rintangan. Terutama dari orang-orang yang kini berkuasa, yang pada lima tahun lalu telah memfitnah Panglima Yap Kim dan Kong-sun Goanswe. Dan ramalan itu ternyata benar. Kini hidungnya sudah mulai mencium bahaya yang akan tiba.

   "Baiklah. Sekali lagi aku akan mencoba untuk membujuk dan memberi pengertian kepada Beng Goanswe dan Lao-Goanswe. Kalau mereka masih tetap tidak memberikan ijin, yaaaa... aku terpaksa nekad masuk ke dalam, walaupun taruhannya adalah nyawa." Sambil menunggu Yo Keng bergumam di dalam hati. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan Yo Keng. Utusan Jendral Kong-sun itu melihat Jendral Beng sendiri yang keluar menemuinya. Sedang Lao-Goanswe, yang dikatakan sedang berbicara dengan jendral itu, tidak tampak batang hidungnya. Mungkin menunggu di ruangan dalam.

   "Yo-Ciangkun...? Ayoh, masuklah!" Dengan ramah Beng Goanswe mempersilakan Yo Keng masuk. Yo Keng dibawa Beng Goanswe ke Ruang Bendera. Beberapa orang prajurit Kim-i-wi tampak berjaga-jaga di dalam ruangan itu. Namun demikian Yo Keng tidak melihat Lao-Goanswe di sana.

   "Yo-Ciangkun, duduklah! Jangan khawatir! Sebentar lagi kau akan diantar ke Ruang Pertemuan. Aku sudah memerintahkan anak buahku untuk memberita-hukankan kedatanganmu kepada Men teri Kui. Sekarang bersihkan dulu badanmu, agar penampilanmu tidak memalukan di hadapan Beliau...!" Yo Keng tidak dapat menolak sambutan yang ramah tersebut. Dia menurut saja ketika dibawa ke Ruangan Belakang dan diberi sepasang pakaian bersih. Bahkan dia juga tidak bisa menghindar pula ketika diajak minum teh lebih dahulu. Sama sekali Yo Keng tidak menyada ri akan tipu muslihat dan kelicikan lawan-lawannya. Begitu teh di dalam cangkirnya habis, tiba-tiba kepalanya terasa berputar. Semakin cepat, sehingga tubuhnya seperti mengambang di udara. Dan sebentar kemudian semua yang dilihatnya menjadi gelap.

   "Bagus! Nah, prajurit... geledah tubuhnya!" Tiba-tiba Lao-Goanswe muncul dari ruangan dalam dan memberi perintah kepada para prajurit pengawalnya.

   "Kau yakin dia membawa surat rahasia Kong-sun Goanswe?" Beng Goanswe bertanya kepada Lao-Goanswe, wakilnya. Lao-Goanswe mengangguk.

   "Ya! Lihatlah sarung pedangnya itu! Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu di sana. Sejak bertemu di jalan tadi, kulihat dia tak pernah melepaskan benda itu."

   "Benar, Goanswe. Ada surat di sini." Prajurit yang menggeledah Yo Keng tiba-tiba berseru sambil memperlihatkan gulungan kain berwarna putih.

   "Apa isinya?" Beng Goanswe yang tidak sabar menunggu cepat mendesak. Lao Cing memberikan gulungan kertas itu setelah membaca isinya. Dia tampak puas walaupun masih kelihatan tegarjg.

   "Nah, Beng Goanswe... dugaanku benar, bukan? Aku mengenal Yo Keng sudah puluhan tahun lamanya. Aku tahu betul siapa dia. Turun-temurun keluarganya adalah prajurit. Jangan harap bisa mempengaruhi atau memaksa dia. Orang seperti dia bersedia mati atau berkorban apa saja demi keyakinannya. Dan prajurit tangguh seperti dia, selalu mempersiapkan tindakannya dengan cermat dan telituTampaknya saja dia sendirian, tapi sebenarnya tidak. Aku yakin beberapa orang pengawalnya berkeliaran mengawasinya dari jauh. Kalau tadi kita bersikap keras dan main paksa kepadanya, yaah... jangan harap surat ini bisa jatuh ke tangan kita. Sebelum kita dapat meringkusnya, dia akan memberi isyarat kepada kawan-kawannya. Dan sebelum kita menggeledahnya, dia akan lebih dulu menghancurkan surat ini dengan pedangnya..." Beng Goanswe mengangguk-angguk- kan kepalanya.

   "Kau benar. Yo Keng membawa berita buruk bagi kita. Kong-sun Goanswe melaporkan bahwa Pangeran Liu Wan Ti sudah ditemukan dan sekarang berada dalam lingkungan pasukannya. Wah, gawat! Seharusnya orang itu kita buang saja sejak dulu, sehingga tidak menimbulkan kesulitan seperti sekarang. Hmmm, kita harus cepat-cepat memberitahukan hal ini kepada Au-yang Goanswe. Berita ini sangat berbahaya bila sampai di tangan Dewan Penasehat Kerajaan. Lao-Goanswe... apa rencana kita selanjutnya"

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 51 Memburu Iblis Eps 26 Memburu Iblis Eps 30

Cari Blog Ini