Ceritasilat Novel Online

Tangan Geledek 30


Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo Bagian 30




   Lebih dari dua puluh jurus Lie Kong dan isterinya terdesak dan mereka ini hanya mampu mempertahankan diri, karena jika sewaktu-waktu mereka hendak melakukan serangan balasan, tentu muncul serangan yang tak terduga-duga dari fihak lawan. Baiknya ilmu pedang Lie Kong memang hebat luar biasa, maka biarpun amat terdesak, ia dan isterinya masih mampu membuat benteng pertahanan yang tak mudah dibobolkan.

   "Kau jaga buntutnya, biar aku kepalanya!" tiba-tiba Lie Kong yang sudah mendapat akal lagi berseru kenapa isterinya. Kini mereka melawan dengan teratur. Keadaan mereka berimbang karena kalau Souw Cui Eng agak terdesak oleh serangan bagian buntut yang terdiri dari tiga orang itu adalah Lie Kong dapat menindih bagian kepala dan perutnya. Dalam jurus ke tujuh, terdengar suara nyaring dan dua pisau pendek terpental, lepas dari tangan si baju merah dan baju hitam!

   Si baju merah mengeluarkan aba-aba sambil melompat ke belakang dan meringis, karena telapak tangan yang memegang pisau tadi sakit. Secepat kilat barisan Liong-sang itu telah berubah lagi, kini berbentuk Bintang Sisir, merupakan setengah Iingkaran yang mengurung dari depan. Serentak tujuh orang mengirim serangan dengan pisau pendek yang disambitkan ke arah suami isteri perkasa itu!

   Lie Kong dan Cui Eng tidak menjadi gentar. Putaran pedang mereka meruntuhkan semua pisau pendek yang menyambar seakan-akan burung-burung kecil terpukul kitiran angin besar. Akan tetapi segera barisan bergerak maju, lima orang menyerang dengan cambuk. yang dua tetap mengirim sambitan pisau pendek. Dua orang penyambit ini berganti-ganti, kedudukan mereka amat teratur dan menyulitkan kedudukan lawan.

   Diam-diam Lie Kong memuji. Memang Lam-thian-chit-ong telah menciptakan Chit-seng-tin yang luar biasa kuatnya. Tahu bahwa kalau dilanjutkan, fihaknya, terutama isterinya akan menghadapi bahaya, Lie Kong cepat mengeluarkan suara bersuit panjang.

   Inilah tanda rahasia bagi dua ekor pek-thouw-tiauw untuk bergerak maju. Dua ekor burung yang amat setia itu tadinya hanya terbang berputarao di atas saja, bingung melihat cara Chit-seng-tin bergerak, tidak tahu harus berbuat apa, lagi pula, belum ada tanda dari majikan mereka untuk bergerak maka mereka hanya cecowetan dan beterbangan di atas, tidak berani sembarangan bergerak. Kini mendengar suitan Lie Kong, dua ekor burung rajawali raksasa itu mengeluarkan pekik menantang dan dua tubuh yang besar ini menukik dan menyambar ke bawah dengan kecepatan luar biasa.

   Begitu dua ekor rajawali ini menggebrak dengan sayap yang besar, kuat dan paruh yang mengerikan, terdengar teriakan-teriakan kaget. Dua orang anggauta Chit-seng-tin telah kehilangan cambuknya, terampas oleh dua ekor burung itu! Kedudukan barisan menjadi kacau-balau dan rusak. Lie Kong tidak menyia-nyiakan waktu baik ini, pedangnya bekerja cepat sekali dan si baju putih berteriak kesakitan, pundaknya tergores pedang dan cambuknya terampas. Juga si baju coklat yang kurang hati-hati saking kaget melihat datangnya dua ekor rajawali ini, terluka lengannya dan cambuknyn juga terlepas dari pegangan ketika Souw Cui Eag menyerangnya dengan hebat.

   Sudah dapat diperhitungkan bahwa sebentar lagi tentu tujuh orang Lam-thian-chit-ong itu akan menderita kekalahan mutlak karena mereka kini sudah kacau-balau bergerak melindungi tubuhnya sendiri sendiri, tidak merupakan barisan teratur lagi!

   Kong Ji melihat hal ini dengan hati khawatir. Tujuh orang itu merupakan pembantu-pembantunya yang boleh diandalkan. Kalau sekarang dibiarkan tewas oleh Lie Kong, ia yang akan merasa rugi sekali. Ia memberi isyarat kepada Cun Gi Tosu dan Cui Kong kemudian ia sendiri meloncat maju dan membentak,

   "Orang: she Lie. jangan menjual lagak di sini!" Kong Ji merendahkan diri hampir jongkok, mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya dua ekor pek thouw tiauw yang menyambar lagi. Melihat sikap Kong Ji itu, Lie Kong yang bermata awas dapat duga niat musuhnya ini, akan tetapi sendiri sedang menghadapi serangan Cun Gi Tosu sehingga ia hanya bisa berseru,

   "Tiauw-ji, jangan dekat!"

   Akan tetapi terlambat. Sepasang burung sudah menyambar turun. Burung-burung ini setia sekali dan mereka mulai mengamuk membela majikan mereka, tidak tahu bahwa Kong Ji sudab siap mengumpulkan tenaga lweekang. Ketika sepasang burung ini sudah menyambar dekat,. Kong Ji memukulkan kedua lengannya dengan gerakan Tin-san-kang yang luar biasa hebatnya.

   "Blekk!" Tubuh dua ekor burung itu terpental ke atas, bulu-bulu mereka berhamburan dan dua ekor binatang itu terbanting ke bawah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Mereka telah menjedi korban pukulan Tin-san-kang yang dahsyat dan semua isi perut telah hancur lebur oleh pukulan ini!

   "Liok Kong Ji manusia jahanaml" Lie Kong berseru keras sekali melihat dua ekor binatang kesayangannya tewas. Pedangnya diputar cepat dalam usahanya hendak menggempur Kong Ji, akan tetapi tongkat kakek buntung itu amat kuatnya menghadang dan menyerangnya. Ketika dua buah senjata bertemu, kedua tokoh ini terdorong ke belakang, tanda bahwa tingkat tenaga lweekang mereka memang tidak jauh selisihnya. Lie Kong terkejut, tidak mengira bahwa kakek buntung ini demikian lihai, maka ia pusatkan perhatiannya dan menghadapi Cun Gi Tosu. Segera pertempuran seru terjadi, di mana fihak Lie Kong dan isterinya terdesak hebat karena tujuh orang Lam-thian-chit ong dan Cui Kong juga sudah membantu.

   "Manusia iblis, kau harus mampus!" bentak Souw Cui Eng. marah sekali melihat?anak mantunya? yang manis itu. Pedang nyonya ini berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyambar ke arah Cui Kong. Akan tetapi orang muda yang tak tahu malu ini sudah siap, menangkis dengan senjatanya yang istimewa, yaitu lengan tangan kering. Tahu bahwa ia menghadapi lawan tangguh, Cui Kong juga mengeluarkan huncwe mautnya dan melawan "ibu mertuanya" dengan senjatanya ini. Karena Cui Kong sibantu oleh sebagian dari Lam-thian-chit-ong, maka sebentar saja Souw Cul Eng terdesak hebat.

   Pertempuran ini betapapun juga membuat muka Kong Ji menjadi merah saking jengah dan malu. Ia tahu bahwa benar-benar akan memalukan sekali apa bila terdengar oleh orang-orang kang-ouw bahwa dia telah mengeroyok dua orang besannya. Melihat kenekatan suami isteri yang gagah perkasra itu, ia menjadi tidak sabar. Pertempuran yang memalukan fihaknya ini harus segera diselesaikan, pikirnya. Diam-diam ia menyiapkan Hek-tok ciam di tangannya Kepandaian istimewa dari Kong Ji memang banyak macamnya.

   Selain ilmu pedangnya yang kini bertambah tinggi saja setelah ia mempelajari kitab-kitab Omei-san yang dicuri dan dirampasnya juga ia memiIiki Ilmu Pukulan Tin-san-kang yang amat lihai seperti yang telah ia perlihatkan ketika ia sekali pukul menewaskan dua ekor burung pek-thouw-tiauw tadi. Di samping itu, ia masih memiliki Ilmu Pukulan Hek-tok ciang (Pukulan Tangan Racun Hitam) dan jarum-jarumnya yang disebut hek-tok-ciam adalah jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.

   Tiba-tiba terdengar jeritan menyayat hati dan Ceng Ceng berlari-lari ke luar dengan rambut riap-riapan. Nyonya muda ini tadi sedang mencuci rambutnya ketika ia mendengar berita bahwa di luar terjadi pertempuran hebat. Tempat pertempuran memang jauh darI tempat tinggalnya. maka ia segera membawa pedang dan berlari ke luar ketika mendengar dari penjaga bahwa musuh yang datang menyerang diikuti oleh dua ekor burung rajawali.

   Mukanya pucat sekali, jantungnya hampir meledak dan rambutnya riap-riapan ketika ia berlari menuju ke arah pertempuran. Melihat bahwa betul-betul ayah bundanya yang dikeyok hebat dan hampir kalah itu, ia mengeluarkan jerit dan menyerbu. Tentu saja ia menyerbu dan menyerang Cui Kong, suaminya yang sedang bertanding mengeroyok ibunya.

   "Manusia berhati binatang! Kau berani mengeroyok ibuku?" bentak Ceng Ceng, pedangnya dengan hebat mengamuk dan menyerang Cui Kong. Cui Kong menjadi kaget dan bingung sekali. Ia memang betul-betul sayang kepada isterinya ini, dan menghadapi serangan Ceng Ceng ia hanya main mundur dan menangkis.

   "Niocu, mereka yang mendesak, bukan kami........" ia mencoba membela diri.

   Sementara itu, ketika Souw Cui Eng dan Lie Kong melihat munculnya Ceng Ceng dengan rambut riap riapan dan melihat puteri mereka itu datang-datang membantu mereka dan menyerang Cui Kong, hati ayah dan ibu ini menjadi girang. Bagaimanapun juga pernikahan antara anak mereka dan Cui Kong adalah suatu kesalahan yang tidak disengaja oleh Ceng Ceng, karena Cui Kong menggunakan bujukan palsu. Puteri mereka masih tetap seorang gagah dan baik.

   "Ceng-ji.......... dari pada kau menjadi isteri manusia iblis ini, lebih baik kita melawan mati-matian" teriak Souw Cui Eng dengan air mata bercucuran saking terharu.

   "Ceng-ji, kita telah ditipu oleh jahanam Cui Kong, mari kita bikin pembalasan!" teriak ayahnya.

   Mendengar ini, hati Ceng Ceng makin panas. Ia memang sudah merasa terjeblos dalam perangkap yang dipasang oleh Cui Kong dengan umpan wajah tampan, sikap halus dan kepandaian tinggi. Tadinya ia masih terhibur, karena pandainya Cui Kong bicara. Akan tetapi melihat betapa ayah bundanya dikeroyok, dan kini melihat sepasang burung rajawaii tewas dan mendengar kata-kata ayah bundanya, kemarahan dan sakit hatinya meluap-luap. Ia menyerang Cui Kong makin nekat lagi. mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

   "Niocu, jangan..... niocu, jangan......!" Cui Kong mengeluh sambil mudur terus. Karena ia tidak mambalas dan karena kemarahan membuat Ceng Ceng menjadi ganas, pundaknya terserempet ujung pedang dan mengeluarkan darah.

   Pada saat itu menyambar sinar-sinar hitam ke arah dada dan tenggorokan Ceng Ceng. Nyonya muda ini menjerit dan roboh, tewas di saat itu juga. Sebatang Hek-tok ciam menancap di tenggorokan dan sebatang lagi di dada.

   "Niocu......!" Cui Kong menubruk dan memeluk mayat isterinya, sedih sekali akan tapi tak dapat marah karena yang membunuh isterinya adalah Liok Kong Ji. Kong Ji tadi sudah menyiapkan Hek-tok ciam. Melihat sikap Ceng Ceng, ia maklum bahwa kalau mantunya itu tidak dibunuh, kelak tentu selalu akan menimbulkan keributan.

   Setelah menyambitkan Hek-tok ciam ke arah Ceng Cen iapun mempergunakan kesempatan selagi Lie Kong dan Souw Cui Eng terkejut melihat puteri mereka roboh, cepat Kong Ji membidik dan menyambitkan enam buah Hek-tok-ciam dengan kedua tangannya. Dua batang menyambar Cui Eng, yang empat batang menyambar Lie Kong.

   Cut Eng tak dapat mengelak, sebatang Hek tok ciam menancap di lambungnya. Nyonya ini menjerit, limbung akan tetapi masih sempat melompat ke dekat Cui Kong dan menusuk orang muda itu dengan pedangnya. Cui Kong mendengar sambaran angin mengelak ke samping, melepaskan tubuh isterinya. Souw Cui Eng menubruk dan memeluk mayat puterinya, terguling dan roboh tewas dengan memeluk Ceng Ceng!

   Lie Kong lebih lihai. Dengan pedangnya ia berhasil menangkis empat batang Jarum Racun Hitam itu, akan tetapi biarpun berhasil menyelamatkan diri dari ancaman empat jarum hek-tok-ciam, saat itu tongkat Lo-thian-tung Sun Gi Tosu sudah menyambar. Ilmu tongkat tosu ini hebat sekali dan tadipun dengan susah payah Lie Kong dapat melawan. Sekarang dalam keadaan terdesak oleh serangan jarum-jarum berbahaya, ia kurang dapat mempertahankan diri. Ia masih mencoba untuk mengelak, akan tetapi sambaran ke dua mengenai kepalanya.

   "Tak!" Tongkat terpental, seakan-akan mengenai besi. Kepala Lie Kong kelihatan tidak apa-apa, akan tetapi jago pantai timur ini terhuyung-huyung. Dengan mata melotot ia masih dapat melontarkan pedangnya yang meluncur cepat seperti pedang terbang ke arah Liok Kong Ji, akan tetapi sekali mengebutkan lengan baju pedang itu tergulung lengan baju dan jatuh ke bawah. Lie Kong terhuyung dan roboh tak berkutik. Napasnya putus setelah melontarkan pedang. Biarpun kepalanya dari luar tidak kelihatan luka, akan tetapi sebelah dalam sudah tergoncang hebat pukulan tongkat yang mengandung tenaga lweekang itu.

   Habislah riwayat Pek-thouw-tiauw ong Lie Kong dengan isteri dan anaknya! Sungguh amat sayang dan menyedihkan kematian keluarga ini dibasmi oleh Liok Kong Ji dan kaki tangannya,

   "Bibi.........! Bibi........! Siapa yang membunuh bibi....... ah, bibi jangan.......... tinggalkan Leng Leng.....!" Bocah perempuan berusia lima tahun itu datang berlari-lari menubruk mayat Ceng Ceng. Akan tetapi sekali tangkap Liok Kong Ji mencegahnya.

   "Jangan pegang!" bentaknya. Ia merasa sebal sekali melihat bocah yang semenjak kecil dipelihara dengan kasih sayang itu sekarang berbalik mencurahkan kasih sayang kepada pihak lawan.

   "Bibi?...!" Leng Leng menangis dan meronta dalam pegangan Kong Ji.

   "Manusia jahat mana yang membunuhmu........? Akan kupukul kepalanya!"

   "Anak setan!" Kong Ji menggerakkan tangan dan tubuh Leng Leng terlempar sampai empat tombak lebih jatuh terguling-guling dan anak itu menangis kesakitan.

   "Leng Leng, kau pulanglah, jangan turut campur urusan orang tua!" Can Gi Tosu membentak bocah itu. Akan tetapi Leng Leng tetap berdiri di situ, memandang ke arah mayat Ceng Ceng sambil menangis terisak-isak.

   "Totiang, bocah ini kelak tentu akan menimbulkan bencana saja. Pohon buruk lebih baik dicabut selagi masih kecil,? kata Liok Kong Ji, mengerutkan kening. Ia memang jengkel dan sebal melihat Cui Kong masih menangisi kematian isterinya,

   "Taihiap, dia masih kecil. Kalau dididik sepatutnya, kelak dapat menjunjung tinggi nama kita," bantah Cun Gi Tosu yang masih merasa sayang kepada bocah itu. Sebetulnya kesayangan ini bukan merupakan sebab utama mengapa ia hendak melindungi Leng Leng. Yang utama sekali, ia diam diam menganggap Leng-Leng sebagai jimat pelindungnya. Tosu kaki buntung ini sebetulnya merasa gentar juga terhadap Sin Hong dan kalau Leng Leng masih berada di tangannya. Sin Hong tentu takkan berani mengganggunya. Kalau keadaan mendesak, ia dapat menukarkan nyawanya dengan anak ini kelak.

   Liok Kong Ji merasa tidak baik pada saat seperti itu meributkan hal bocah kecil.

   "Hemm, harus mulai sekarang dipimpin baik-baik," katanya, dan dengan langkah lebar ia menghampiri Leng Leng.

   "Leng-ji, jangan menangis. Bibimu itu jahat, hendak membunuh kita, maka dia harus mati. Kalau tidak dibunuh dia tentu membunuh kita semua. kaupun akan dibunuhnya."

   "Tidak, tidak bisa! Bibi tidak jahat!" bantah Leng Leng dengan berani.

   Kong Ji mengerutkan kening.

   "Bocah tolol! Kau tidak menurut kata orang tua? Dia jahat! Hayo kau bilang bibimu itu jahat!"

   "Tidak!" Leng Leng berkukuh sambil menggeleng geleng kepala dan membanting-banting kakinya yang kecil.

   "Bibi tidak jahat!"

   "Plak" Kong Ji menampar pipi bocah cilik itu sehingga tubuh Leng Leng tergelimpang. Akan tetapi anak itu merayap bangun. Pipi kirinya bengkak. Namun tanpa memperdulikan rasa sakit pada pipinya ia memandang Kong Ji tanpa kenal takut.

   "Bilang dia jahat!" bentak Kong Ji makin marah.

   "Tidak, tidak! Bibi tidak jahat!" Leng Leng tetap menggeleng kepala.
(Lanjut ke Jilid 30)

   Tangan Geledek/Pek Lui Eng (Seri ke 03 -Serial Pendekar Budiman)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 30
"Plakk!" Kembali tubuh kecil itu terpelanting. Kini agak sukar Leng Leng merayap bangun dan pipi kanannya juga bengkak, kepalanya serasa berputar putar. Anehnya, bocah ini tadi menangisi kematian Ceng Ceng. Sekarang dipukul sampai bengkak-bengkak mukanya ia tidak mau menangis, malah memandang kepada Kong Ji dengan mata bersinar marah.

   Kong Ji sudah melangkah maju, akan tetapi melihat sepasang mata bocah itu, ia bergidik teringat ia akan sepasang mata Sin Hong dan menahan tangannya yang sudah diangkat hendak memukul. Sementara itu Cun Gi Tosu yang khawatir kalau-kalau Kong Ji membunuh bocah itu, sudah mendekati dan memondong Leng Leng sambil berkata,

   "Leng Leng, kau tidak boleh melawan. Harus menurut kata-kata orang tua." Kemudian kakek buntung ini menjura kepada Liok Kong Ji.

   "Harap Liok-taihiap bersabar. Serahkan saja pendidikan bocah ini kepada pinto." Setelah berkata demikian, Cun Gi Tosu melompat-lompat dengan kakinya yang tinggal sebuah itu, pergi dari situ.

   Juga Kong Ji pulang ke rumahnya dengan hati mengkal, baiknya selir-selirnya yang cantik-cantik dan muda menyambut dan menghiburnya dengan sikap dan kata-kata manis sehingga tak lama kemudian Liok Kong Ji sudah tidur mendengkur di kamarnya, dipijit dan dikipasi oleh selir-selirnya.

   Sementara itu, dengan hati sedih Cui Kong mengurus pemakaman Ceng Ceng dan jenazah Lie Kong dan isterinya serta bangkai dua ekor burung itu diurus baik-baik dan dimakamkan. Pekerjaan ini dibantu oleh Lam-thian-chit-ong dan para anak buah.

   Tanpa mengenal lelah, Tiang Bu melaksanakan perjalanan ke selatan. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tiang Bu yang mengobrak-abrikt Ui tiok-lim hanya berhasil membasmi Ui tiok-lim dan menewaskan kaki tangan Liok Kong Ji, akan tetapi Liok Kong Ji sendiri bersama Liok Cui Kong dapat melarikan diri. Ketika berjumpa dengan Lai Fei puteri penebang kayu yang lihai itu menrengur bahwa ayah Fei Lan terbunuh oleh Lo-thian tung Cun Gi Tosu dan dari gadis ini ia mendengar bahwa kakek buntung itu pergi ke laut selatan.

   Tentu Kong Ji dan Cui Kong juga ke sana, pikir Tiang Bu. Kakek buntung itu seorang sahabat baik dan komplotan Kong Ji kalau dua orang keparat itu hendak bersembunyi, tentu tempat kakek buntung itu yang paling aman. Oleh katena sangkaan inilah tanpa mengenal letih Tiang Bu menuju ke selatan.

   Pada suatu senja ia memasuki sebuah dusun. Saatet itu keadaan sunyi sekali dan yang kelihatan hanya beberapa orang petani sedang pulang memanggul pacul, ada yang menggiring kerbau. Ketika pemuda ini tengah berjalan memasuki dusun, ia melihat berkelebatnya dua bayangan orang di sebelah depan. Tahu bahwa dua orang itu tentu ahli-ahli silat yang mempergunakan ilmu lari cepat, Tiang Bu tertarik dan iapun lalu menggunakan ginkangnya, meloncat dan berlari mengejar.

   Ilmu lari cepat dua orang itu ternyata hebat juga. Sebentar saja mereka sudah keluar dari dusun. Tiang Bu makin tertarik dan terus mengejar sampai tiba di sebuah hutan. Dua orang itu lenyap di dalam hutan. Tiang Bu penasaran dan mempercepat larinya. Sebentar saja ia sudah memasuki hutan itu dan melihat seorang wanita setengah tua namun masih cantik sekali sedang duduk bersila di bawah sebatang pohon besar.

   Kaget hati Tiang Bu ketika mengenal wanita ini. Andaikata ia lupa lagi akan wajah wanita ini, ia takkan melupakan sepasang tangan yang kecil mungil akan tetapi berwarna merah itu. Ang-jiu Mo-li Si Iblis Wanita Tangan Merah! Akan tetapi di samping kekagetannya, ia juga menjadi girang oleh karena ia teringat bahwa wanita ini dahulu juga membawa lari sebuah kitab dari Omei-san.

   Sementara itu, Ang jiu Mo Li sudah memandang kepadanya dan bertanya, suara nyaring galak.

   "Orang muda, sejak tadi kau mengejarku, kau mau apakah?"

   Tiang Bu memang biasa jujur dan sederhana dalam kata-katanya. Melihat sikap wanita tengah tua ini dan tahu bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar di dunia kang-ouw, ia segera menjura dan menjawab,

   "Tadi di luar dusun aku melihat dua orang berlari-lari. Karena tertarik maka aku segera mengejar sampai ke sini. Tidak tahunya orang di antaranya adalah locianpwe, sungguh kebetulan sekali karena memang aku masih mempunyai sebuah urusan untuk dibereskan dengan locianpwe." Ang-jiu Mo-li mengangkat muka memandang tajam. Bocah seperti ini mempunyai urusan dengan dia?

   "Eh, orang muda. Kau ini siapakah? Jangan kau lancang membuka mulut. Orang seperti kau ini ada urusan apakah dengan aku?"

   Tiang Bu tersenyum, maklum bahwa orang dengan tingkat setinggi Ang-jiu Mo-li tentu saja bersikap tinggi dan sombong terhadap seorang pemuda biasa seperti dia. Akan tetapi biarpun ia mendongkol, pemuda ini masih mengingat bahwa Ang-jiu Mo li adalah guru Bi Li, maka ia tetap bersikap hormat.

   "Tentu saja locianpwe lupa lagi kepadaku. Akan tetapi pernah satu kali kita saling bertemu di Omei-san."

   Ang-jiu Mo li memandang lagi penuh perhatian ke arah wajah yang tidak tampan namun membayangkan kegagahan dan kejujuran itu. Tiba-tiba ia teringat akan bocah murid dua orang kakek Omei-san yang dulu pernah bertempur melawan Toat-beng Kui bo. Terkejutlah Ang-jiu Mo li dan ia serentak melompat berdiri. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda yang mengejarnya tadi ini adalah bocah murrid Omei-san itu.

   "Hemm, kaukah ini? Sekarang katakan apa urusan itu," tanya Ang jiu Mo-li, hatinya mulai terasa tidak nyaman.

   "Sebelum suhuku menghembuskan nafas terakhir, beliau meninggalkan pesan kepadaku agar supaya aku pergi mencari kitab-kitab Omei-san yang dilarikan orang dan mengambilnya kembali. Oleh karena cianpwe termasuk orang di antara mereka yang membawa pergi kitab Omei-san, kalau tidak salah kitab pelajaran Ilmu Silat Kwan-im cam-mo, maka bukankah pertemuan ini kebetulan sekali? Kuharap saja cianpwe sudah merasa cukup puas meminjam kitab itu selama bertahun-tahun dan sudi mengembalikannya kepadaku."

   Ang-jiu Mo-li tersenyum mengejek. Alangkah besarnya nyali pemuda ini. pikirnya. berani minta kembali kitab begitu saja!

   "Orang muda bernyali naga, siapakah namamu?"

   "Namaku Tiang Bu"" Ang-jiu Mo-li hilang senyumnya, nampak tercengang.

   "Aha, kaukah yang bernama Tiang Bu? Kau anak keluarga Coa di Kim bun-to?" Kini Tiang Bu yang tercengang. Bagaimana wanita sakti ini dapat tahu akan hal ini? Padahal ia tidak pernah bercerita kepada siapapun juga, kecuali kepada Bi Li, tentu.

   Apakah Bi Li pernah bercerita kepada gurunya ini? Akan tetapi belum lama ia berkumpul dengan Bi Li dan baru saja berpisah, apa Bi Li sudah berjumpa dengan Ang jiu Mo-li semenjak buntung lengannya? Betapapun juga, pertanyaan itu harus dijawabnya.

   "Aku hanya.......... anak angkat mereka..."

   "Bagus sekali permintaanmu! Kau betul-betul hendak merampas kembali kitab Kwan-im-cam-mo itu dari tanganku? Lihat, memang kitab ini masih kubawa. Kau mau merampasnya?" Ang-jiu Mo-li mengeluarkan sebuah kitab dari saku bajunya.

   "Mana berani aku berlaku kurang ajar? Aku hanya mengharapkan kebijaksanaan untuk mengembalikan barang orang lain."

   "Betul-betul kau hendak minta kembali?"

   "Aku adalah seorang murid yang harus mentaati pesan suhu sampai di manapun juga."

   "Kitab-kitab Omei-san terjatuh ke dalam tangan orang-orang pandai yang sama sekali bukan lawanmu. Amat berbahaya kalau kau menghendaki semua orang itu mengembalikan kitab. Mengapa kau bersusah payah, toh gurumu sudah meninggal dunia? Kalau kau tidak memenuhi pesan gurumu yang sudah tidak ada lagi itu, tidak ada orang tahu."

   Tiang Bu mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Kali ini cianpwe khilaf! Cianpwe menyatakan tidak ada orang tahu, bukankah aku sendiri dan cianpwe mengetahui kalau aku menjadi murid tidak setia? Apakah cianpwe dan aku bukan orang? Biarpun aku akan menghadapi orang orang sakti dan akhirnya aku harus berkorban nyawa, tetap aku akan memenuhi pesan suhu."

   Diam-diam Ang-jiu Mo-li makin kagum kepada pemuda yang setia dan berbakti ini. Tadipun ia hanya menguji hati Tiang Bu.

   "Betul-betul kau akan memaksaku menyerahkan kitab ini?"

   "Kalau cianpwe tidak suka mengembalikan dengan suka rela, terpaksa aku yang muda akan berlaku kurang ajar dan mencoba kebodohan sendiri." jawab Tiang Bu, sikapnya menantang.

   Ang-jiu Mo-li masih hendak mencoba sekali lagi. Ia menoleh ke belakang dan berseru keras lalu berkata,

   "Muridku, kau keluarlah!" Dari balik gerombolan pohon berkelebat suatu bayangan dan di saat lain, seoring gadis telah berdiri di samping Ang-jiu Mo-li. Wajahnya menjadi pucat ketika ia memandang kepada pemuda itu.

   "Tiang Bu?.....

   "

   Tiang Bu girang bukan main. Ia melangkah maju dan mengulurkan kedua tengannya.

   "Bi Li...... kau di sini..........? Payah aku mencari carimu........!" Akan tetapi ia segera teringat bahwa di situ ada Ang-jiu Mo-li, maka dengan muka sebentar merah sebentar pucat, Tiang Bu menarik kembali tangannya memandang kepada gadis buntung lenganya itu dengan wajah diliputi keharuan, kedukaan juga kasih sayang besar. Juga Bi Li memandang pemuda itu, dan dua titik air mata membasahi sepasang pipi Bi Li yang pucat. Gadis ini menggigit bibirnya, seakan-akan menahan isak tangis dan menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan kata-kata. Mata Ang-jiu Mo-li yang tajam melihat keadaan dua orang ini, wajahnya berseri. Kemudian ia berkata,

   "Bi Li, kawanmu Tiang Bu ini datang hendak memaksa aku mengembalikan kitab Kwan-im-cam mo. Karena dia kawanmu, aku tidak tega menjatuhkan tangan mencelakainya. Akan tetapi dia berkepala batu dan hendak menggunakan kekerasan. Kausuruh dia membatalkan maksudnya itu."

   Bi Li cukup mengenal watak gurunya yang keras hati dan tidak mau mengalah, Ia tahu bahwa kalau Tiang Bu berkeras minta kembali kitab, pasti akan terjadi pertempuran hebat sampai salah seorang menderita luka. Dan ia sayang keduanya, tidak menghendaki seorang di antara mereka terluka.

   "Tiang Bu, aku minta kau suka mengalah dan jangan memaksa guruku mengembalikan kitab Omei san." kata Bi Li dengan suara lemah sambil menundukkan muka tidak mau melihat Tiang Bu karena ia sendiri merasa fihaknya yang bocengli (tidak pakai aturan), Tiang Bu menggelengkan kepala perlahan. Mengapa Bi Li begitu tak adil?

   "Bi Li, kitab itu milik mendiang suhu yang sudah memesan supaya aku mengambil semua kitab yang dirampas orang dari Omei-san. Siapapun orangnya yang mengambil kitab itu, harus kuminta kembali. Dalam hal lain aku boleh mengalah terhadap gurumu, akan tetapi dalam hal ini...... tak mungkin."

   Ang-jiu Mo li segera berkata.

   "Bi Li, mulai saat ini aku memberikan kitab ini kepadamu, akan tetapi dengan pesan jangan kau berikan kepada sianapun juga!"

   Bi Li maklum akan maksud gurunya ini. Dia sudah menceritakan tentang keadaaannya dan hubungannya dengan Tiang Bu, maka kini gurunya hendak mempergunakan cinta kasih Tiang Bu terhadapnya untuk mengalahkan pemuda itu.

   "Tiang Bu, mengapa untuk kitab yang satu ini kau tidak dapat mengadakan pengecualian. Kuharap sekali lagi kau suka mengalah demi.......... mengingat akan..... persahabatan kita??.." Kata-kata terakhir ini dikeluarkan perlahan sekali dan kini air matanya, tak dapat dibendung lagi, mengucur dari kedua matanya. Gadis ini sebenarnya amat cinta kepada Tiang Bu yang sudah berkali-kali membuktikan kegagahan, kecintaan, dan kesetiaannya.

   Tiang Bu menjadi pucat mendengar kata-kata ini. Untuk sejenak ia memandang Bi Li. Ah, alangkah inginnya ia mendekati, menghibur gadis yang buntung lengannya akan tetapi baginya malah mempertebal kasih sayangnya karena kasih sayang itu ditambah oleh rasa kasihan besar sekali. Jangankan baru sebuah kitab, biar seribu buah kitab tentu akan ia relakan demi mengingat Bi Li. Akan tetapi bukan kitab ini, kitab yang harus ia ambil kembali, biarpun ia harus menukar dengan nyawanya.

   "Bi Li." katanya mengeraskan hati biarpun suaranya gemetar.

   "Seorang laki-laki harus dapat mengesampingkan perasaan hati dan urusan sendiri. Mana bisa aku mengkhianati mendiang suhu hanya untuk urusan pribadiku sendiri? Kebaktian dan kesetiaan murid terhadap gurunya adalah suci, dan harus berjalan di atas jalan kebenaran. Andaikata mendiang suhu meninggalkan pesan supaya aku merampas kitab yang bukan menjadi milik dan haknya, tentu dengan senang hati aku melanggar pasan yang tidak benar ini. Akan tetapi pesan suhu ini berlandaskan kebenaran. Kitab ini adalah kitab dari Omei-san yang diambil oleh gurumu. Suhu berpesan agar aku mengambil kembali semua kitab yang hilang, oleh karena kalau kitab-kitab itu terjatuh ke tangan orang jahat, hanya akan menambah kacau dan kotornya dunia. Sekarang aku sudah bertemu dengan gurumu, dan kitab itu sudah bertahun tahun berada di tangan gurumu, tentu isinya sudah hafal olehnya. Mengapa masih harus mengukuhi kitab yang bukan menjadi miliknya?"

   Bi Li tak dapat menjawab. Dalam hatinya, tentu saja ia membenarkan pendirian Tiang Bu, akan tetapi di depan gurunya ia tidak berani berkata apa-apa.

   Adapun Ang-jiu Mo-li yang sengaja bersikap keterlaluan itu hanya untuk menguji hati Tiang Bu, makin lama makin kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang muda yang demikian teguh hatinya, demikian tebal rasa bakti dan setianya. Seorang pemuda gagah perkasa, hanya tinggal menguji kepandaiannya saja.

   Ang-jiu Mo li telah mendapatkan murid yang ia sayang itu di dalam hutan. Bi Li hendak memhunuh diri dengan jalan menggantung leher pada angkinnya di sebuah pohon besar. Setelah Ang jiu Mo-li menolongnya Bi Li dengan air mata bercucuran menceritakan nasibnya yang malang, kehilangan sebuah lengannya yang ditabas buntung oleh Liok Kong Ji. Kemudian diakuinya betapa Tiang Bu amat mereintanya dan bahwa sesungguhnya iapun suka kepada pemuda itu. Hanya karena lengannya sudah buntung ia merasa tidak berharga menjadi jodoh pemuda itu, maka diam-diam meninggalkan Tiang Bu dan mencoba membunuh diri di situ.

   Ang-jiu Mo-li marah bukan main, menghibur muridnya dan berjanji hendak mencari Liok Kong Ji untuk membalaskan sakit hati muridnya. Kebetulan di tengah jalan bertemu dengan Tiang Bu, Ang-jiu Mo-li sengaja hendak menguji batin pemuda yang dipilih muridnya dan ia makin kagum saja menyaksikan sikap Tiang Bu. Seorang ksatria tulen, dan kini ia hendak mencoba kepandaian Tiang Bu.

   "Orang muda, kau pandai bicara. Kalau kau bertekad mengambil kembali kitab-kitab Omei-san, tentu kau sudah mempunyai kepandaian. Kitab ini dulu kudapat tidak dengan jalan mudah, bukan diberi hadiah, hanya diambil dengan mempergunakan kepandaian. Kalau kau hendak minta kembali, kau juga harus mempergunakan kepandaian. Coba kaulayani aku beberapa jurus, kalau kau bisa menangkan aku, tentu saja kitab ini boleh kau ambil kembali."

   Inilah sebuah tantangan dan Tiang Bu memang sudah bertekat takkan mundur setapak dalam usaha memenuhi pesan suhunya. Hatinya amat tidak enak terhadap Bi Li, akan tetapi apa boleh buat. Demi kebenaran, ia bersedia mengorbankan segala, baik nyawanya ataupun kebahagiaannya. Ia melirik ke arah Bi Li dan berkata lirih.

   "Bi Li, maafkan kalau aku melawan gurumu. Kau tahu aku melakukannya karena terpaksa oleh kewajiban." Lalu ia menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura sambil berkata,

   "Aku yang muda bersedia."

   Ang-jiu Mo li masih memandang rendah pemuda itu. Ia hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Tiang Bu, biarpun pemuda itu takkan dapat memenangkannya, tetap saja ia akan mengembalikan kitab karena ia pikir lebih baik muridnya yang sudah buntung itu menikah dengan pemuda pilihan ini. Ia mengangkat kitab Kwan-im Cam-mo itu tinggi di atas kepala sambil berkata,

   "Kau sudah siap sedia? Nah, lekas rampas kitab ini!"

   Diam-diam Tiang Bu mendongkol. Ia tahu bahwa pendekar wanita ini memandang rendah kepadanya, maka iapun tidak mau sungkan-sungkan lagi.

   "Maafkan aku yang bodoh," katanya tahu-tahu tubuhnya sudah melesat ke depan tangan kiri menampar pundak, tangan kann menyambar untuk merampas kitab.

   Ang jiu Mo-li masih memandang rendah. Tangan kanannya menyampok tamparan pemuda itu dengan pengerahan tenaga. Menulut perhitungannya, tangkisan sudah cukup kuat untuk membuat pemuda itu terpelanting dan tentu usahanya merampas kitab akan gagal.

   Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tangan kanannya bertemu dengan lengan pemuda itu, ia merasa lengannya kesemutan dan seperti lumpuh, tanda bahwa ia tadi kurang mengerahkan tenaga sehingga tenaganya tertindih dan kalah kuat, dan sebelum ia dapat menguasai diri, tahu-tahu kitab di tangan kirinya telah terambil oleh pemuda itu yang sudah melompat mundur kembali.

   Dalam segebrakan saja kitab sudah dirampas! Ini tak boleh jadi, pikir Ang-jiu Mo-li. Cepat laksana kilat menyambar, tubuh Ang-jiu Mo-li sudah berkelebat maju mengejar Tiang Bu, kedua tangannya bergantian mengirim Pukulan Ang-jiu-kang ke arah dada dan perut Tiang Bu!

   Harus diketahui bahwa pukulan Ang-jiu-kang dari Ang-jiu Mo-li ini hebatnya bukan main. Pernah ia bertemu Liok Kung Ji dan bertanding dan ternyata Ang jiu kang malah lebih hebat dari pada Hek-tok ciang dari Liok Kong Ji. Karena kelihaian tangan merahnya inilah maka Ang Jiu Mo-li menjadi terkenal sekali dan ia ditakuti orang di wilayah utara.

   Tangan itu belum sampai, hawa pukulannya sudah terasa. panas dan kuat sekali. Tiang Bu berlaku waspada, maklum bahwa menghadapi pukulan macam ini ia tidak boleh sembrono. Juga ginkang dari Ang jiu Mo-li hat bleu ?dell, gerakannya cepat seperti kilat luar biasa sekali, gerakannya cepat seperti kilat menyambar.

   
Tangan Geledek Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Pemuda itu mengerahkan tenaga untuk menjaga diri. Sinkangnya berputar-putar dan berkumpul di bagian dada dan perut untuk melawan hawa pukulan itu, sedangkan ia sendiri lalu miringkan tubuh agar jangan tersentuh kedua tangan yang memukul. Akan tetapi, karena perhatiannya dicurahkan ke arah pukulan-pukulan yang dapat mengancam nyawanya meninggalkan badan itu, ia tidak mengira sama sekali bahwa Ang jiu Mo li hanya menggertak dan tahu-tahu tubuh nyonya sakti aku melejit ke atas dan..... kitab itu sudah terampas kembali oleh Ang jiu Mo-li

   Wajah yang tadinya pucat dari Ang-jiu Mo li menjadi merah kembali. Wanita sakti ini tadinya sudah pucat karena sekali gebrakan saja kitab di tangannya sudah terampas oleh seorang pemuda. Hal ini benar-benar langka dan luar biasa sekali. Akan tetapi dalam gerakan kedua ia dapat merampas kembali kitab itu, berarti ia sudan dapat membela mukanya. Akan robohlah namanya kalau terdengar orang betapa dalam satu jurus ia dikalahkan oleh seorang bocah yang masih ingusan! Setelah sekarang ia dapat merampas kembali kitab itu juga dalam satu gebrakan berarti keadaan mereka masih seri.

   "Bi Li, kau bawa dulu kitab ini" katanya dan kitab itu di lemparkan ke arah Bi Li yang menyambutnya dengan sebelah tangan dan memegangnya.

   "Nah, sekarang majulah, orang muda. Aku ingin sekali melihat sampai di mana lihainya murid Omei-san," kata Ang jiu Mo-li menantang.

   Tiang Bu maklum bahwa menghadapi seorang wanita sombong seperti Ang-jiu Mo-li, kalau ia tidak memperlihatkan kepandaiannya tentu sukar untuk mengambil kembali kitab itu. Juga ia maklum akan kelihaian wanita ini yang tadi sudah memperlihatkan pukulan Ang-jiu-kang yang berbahaya dan kecepatan gerakan yang amat mengagumkan. Maka ia berlaku hati-hati sekali.

   Sebaliknya, tahu bahwa bocah ini benar-benar lihai, timbul kegembiraan hati Ang-jiu Mo-li. Seperti sebagian besar tokoh kang-ouw, dia juga termasuk orang yang gila silat. Bertemu dengan lawan tangguh, hilanglah sikapnya tadi dan lupalah wanita ini bahwa dia berniat menguji kepandaian calon jodoh muridnya. Ia menjadi bersungguh-sungguh dan mabok kemenangan. Oleh karena itu, setelah melihat Tiang Bu siap, Ang-jiu Mo-li berseru nyaring dan maju menyerang dengan ganas dan dahsyat!

   Tiang Bu mengimbangi kecepatan lawannya dan tidak hanya menghindarkan dari serangan, bahkan membalas dengan sarangan yang tak kalah dahsyalnya. Ang jiu Mo-li kaget sekali melihat betapa tiga kali pukulan yang dilancarkan secara bertubi-tubi itu dielakkan dengan amat mudah oleh Tiang Bu bahkan pemuda itu membalas dengan tamparan yang kuat.

   Melihat Tiang Bu menamnpar ke arah pundaknya, diam-diam Ang-jiu Mo-li memuji lagi sikap pemuda ini yang selalu menjaga agar jangan melanggar susila, maka tamparan yang menurut teori silat harus ditujukan ke arah kepala itu dlturunkan menjadi tamparan arah pundak! Ang-jiu Mo-li melihat datangnya tamparan perlahan saja namun membawa hawa pukulan yang kuat sekali, cepat menyambut dengan tangkisan Ang-iiu-kang. Ia hendak capat-cepat mengalahkan Tiang Bu kalau sampai pemuda ini terluka oleh tangan merahnya. hal itu tidak apa karena ia selalu membekal obat penawarnya.

   "Prakk!" Sepasang lengan bertemu dan kesudahannya, Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sedangkan tangan Tiang Bu tidak apa, hanya kuda-kudanya kena gempur sedikit. Ang-jiu Mo-li penasaran sekali, juga kaget bukan main. Mungkinkah pemuda ini memang lebih lihai darinya dalam hal lweekang? Sukar diperca ya! Sekali lagi Ang-jiu Mo-li menyerang dengan dorongan kedua tangannya, kini dilakukan dengan pengerahan lweekang repenuhnya. Tiang Bu cerdik, tahu akan maksud lawan mengadu kekuatan, maka iapun cepat mengerahkan sinkangnya, dan mendorong pula dengan kedua tangannya. Sebelum empat buah tangan itu bertemu di udara, hawa pukulan masing-mesing sudah saling dorong dan akibatnya sekali lagi Ang-jiu Mo-li terdorong mundur sampai empat langkah! Sedangkan kali ini Tiang Bu tetap tidak bergeming, tanda bahwa memang pemuda ini masih jauh lebih menang.

   Ang-jiu Mo-li menjadi pucat. Sudah jelas bahwa ia kalah dalam hal tenaga lweekang. Ia makin penasaran dan masih berkeras kepala. Kalau dalam lweekang aku kalah, belum tentu ginkang pemuda ini dapat menangkan aku, pikirnya. Memang Ang jiu Mo-li selain terkenal karena Ang-jiu-kang, juga terkenal sebagai seorang wanita yang tinggi ilmu gin-kangnya,

   Lihat serangan serunya dan tiba-tiba tubuh Ang-jiu Mo li berkelebat dan menyambar-nyambar. Bi Li yang menonton pertandingan itu sampai menjadi silau matanya. Gurunya lenyap berubah menjadi bayangan yang sukar diikuti pandangan mata, gerak-geriknya cepat dan ringan sekali. Kali ini Tiang Bu akan kalah, pikir Bi Li, hatinya tidak enak karena ia mengenal gurunya sebagai seorang yang telengas sekali kalau sudah marah. Melihat ginkang sehebat ini, diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Ia pernah bertempur menghadapi orang-orang lihai, termasuk. Wan Sin Hong. Akan tetapi harus ia akui bahwa dalam hal ginkang, baru sekarang ia bertemu dengan lawan yang benar-benar hebat, mengatasi ginkang dari orang-orang gagah lainnya bahkan Sin Hong sendiri kiranya masih kalah sedikit.

   Akan tetapi, Tiang Bu adalah seorang muda yang sudah mewarisi kepandaian sakti dari dua orang kakek Omei-san dan terutama sekali semenjak mempelajari isi kitab Sen thian-to, di dalam tubuh pemuda ini mengandung sinkang atau hawa sakti yang hebat, tak dapat diukur lagi betapa tingginya. Maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Bi Li ketika tubuh Tiang Bu tiba-tiba lenyap, bayangan sekalipun tidak kelihatan lagi. Ke mana perginya pemuda itu?

   Dilihat begitu saja tubuh Tiang Bu seperti sudah lenyap dan tidak berada pula di tempat itu, akan tetapi melihat gurunya masih seperti orang bertempur, menjadi bukti bahwa sebenarnya Tiang Bu masih berada di situ, bertanding melawan Ang-jiu Mo-li! Bi Li sampai bengong terlongong melihat gurunya seakan-akan bertanding melawan setan yang tidak kelihatan.

   Kalau Bi Li menjadi bengong terheran-heran adalah Ang-jiu Mo-li yang menjadi kaget setengah mati dan kagum bukan main. Ia telah mengerahkan ginkangnya, hendak mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menangkan pemuda itu. Akan tetapi perkiraannya meleset sekali karena ke manapun juga ia bergerak, ia telah didahului oleh Tiang Bu. Kecepatan ditambah dengan Ang-jiu-kang yang ia andalkan itu seperti mati kutunya menghadapi Tiang Bu.

   Ia tadinya bergerak dan memutar cepat untuk membikin lawannya pening, kiranya sekarang Tiang Bu bergerak lebih cepat lagi sehingga akibatnya Ang-jiu Mo-li sendiri yang menjadi pusing! Tadinya Ang-jiu Mo-li berniat mendesak pemuda itu mempergunakan kecepatannya agar Tiang Bu menyerah, kiranya sekarang malah dia yang didesak hebat, setiap pukulan Ang jiu kang didahului oleh totokan-totokan lihai pemuda itu ke arah pergelangan tangan atau siku dan pundak sehingga selalu Ang jiu Mo-li harus membatalkan serangannya.

   Karena ilmu silatnya sendiri terang takkan dapat menguntungkan, Ang-jiu Mo-li tidak merasa malu-malu lagi, terus saja mainkan Ilmu Silat Kwan-im cam mo yang ia dapat dari kitab Omei-san! Ilmu silat ini hebat sekali, gerakannya lembut dan lambat, sesuai dengan sifat Kwan lm Pouwsat dewi welas asih itu, namun di dalam kelemah-lembutan mengandung unsur kekuatan yang hebat, di dalam kelambatan mengandung unsur kecekatan yang luar biasa. Juga Ang-jiu Mo-li yang memang cantik nampak agung ketika melakukan ilmu silat ini, seperti seorang dewi baru turun dari kahyangan sambil menari-nari.

   Bi Li mengeluarkan seruan kagum. Juga Tiang Bu kaget sekali. Ia mengenal dasar-dasar ilmu silat gurunya, akan tetapi sebagai seorang pria ia belum pernah mempelajari ilmu silat yang khusus diciptakan untuk murid-murid wanita ini. Tiang Bu berlaku hati-hati tidak berani sembarangan menyerang. Baru sekarang setelah Ang-jiu Mo-li mainkan ilmu Silat Kwan im cam-mo, keadaan mereka seimbang. Untuk mengimbangi ilmu silat secabang ini, Tiang Bu mainkan gerakan -gerakan dari kitab sajak Thian-te-si-keng, berpangkal pada gerakan lawan.

   Pertempuran berjalan lambat namun angin pukulan menyambar-nyambar di sekeliling dua orang ini, membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang seperti tertiup angin besar, bahkan Bi Li yang berdiri dalam jarak lima tombak dari gelanggang pertempuran, merasai sambaran-sambaran angin yang mengiris kulit. Dari ini saja dapat dbayangkan betapa lihainya dua orang itu.

   Seratus jurus telah lewat dan pertempuran masih berlangsung ramai. Sebetulnya adalah karena Tiang Bu terlampau sungkan sungkan terhadap guru kekasihnya ini maka pertempuran tidak segera berakhir. Kalau pemuda ini berlaku kejam dan mencari kemenangan, kiranya pertempuran takkan berlangsung selama itu.

   Ang-jiu Mo-li merasa penasaran di samping kekagumannya dan keheranannya. Selama hidup, belum pernah ia bertemu dengan lawan sehebat ini. Memang pernah ia berhadapan dengan orang-orang lihai, bahkan dahulu Toat-beng Kui-bo pernah membuat ia kewalahan dan harus mengakui bahwa kepandainnya masih kalah setingkat kalau dibandingkan dengan kepandaian Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi, tak seorangpun di dunia ini pernah menghadapinya dengan cara yang demikian mudah dan banyak mengalah seperti pemuda ini.

   Karena penasaran, Ang jiu Mo-li mengeluarkan jurus yang paling ampuh dari ilmu silat Kwan-im cam-mo yaitu gerakan yang disebut Kwan-im lauw ci (Kwan lm Mencari Mustika). Jurus ini terdiri dari gerakan serangan beruntun dengan kedua tangan yang kelihatannya seperti maraba atau menangkis ke depan, akan tetapi sesungguhnya merupakan pukulan-pukulan Ang jiu-kang disusul totokan-totokan ke arah jalan darah penting di tubuh lawan. Kehebatan serangan ini adalah apabila dielakkan, serangan susulan menyambar sehingga kedudukan lawan makin lama makin buruk sampai tak mungkin dapat dielakkan lagi.

   Untuk menangkis juga amat berbahaya karena kedua tangan Ang-jiu Mo-li sudah menjadi merah darah, tanda bahwa seluruh tenaga Ang-jiu kang telah terkumpul ke dalam seluruh jari tangannya. Bau amis dan hawa panas menyelimuti setiap gerak tangan, semua merupakan ancaman maut yang mengerikan. Ang jiu Mo-li dalam penasarannya telah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya!

   Tiang Bu kaget bukan main. Ia sekarang merasa yakin bahwa menghadapi wanita ganas ini percuma saja ia berlaku halus, percuma saja menyuruhnya mundur hanya dengan demonstrasi kepandaian yang lebih tinggi. Wanita seperti ini harus dikalahkan, biarpun terpaksa ia harus melukainya.

   Cepat ia menggerakkan kedua tangan pula. Tidak ada jalan lain untuk melawan jurus Kwan-im lauw-cu yang dilakukan dengan Ang-jiu-kang sepenuhnya ini kecuali melawannya keras dengan keras. Berturut-turut ia manerima serangan Ang-jiu Mo-li dengan kedua tangannya dan di lain saat dua pasang tangan telah saling tempel pada telapak tangan, tak dapat dipisahkan lagi!

   Ang jiu Mo-li terkejut. Tak disangkanya pemuda ini berani menerima serangan Ang-jiu-kang dengan cara demikian. Akan tetapi diam-diam ia girang karena sekarang ia mendapat kesempatan untuk menang. Ang-jiu-kang ia kerahkan untuk menyerang Tiang Bu melalui telapak tangan. Kedua tangan Ang-jiu Mo-li mengeluarkan hawa panas sampai mengepulkan asap putih. Kalau tangan orang biasa yang terkena tempel tentu akan menjadi hangus dan orangnya akan mati seketika itu juga, akan tetapi Tiang Bu yang maklum bahwa keadaan sekarang bukan main-main lagi melainkan pertandingan adu sinkang yang dapat mengakibatkan maut, mengumpulkan seluruh tenaga dalam yang ia dapatkan dengan berlatih Seng-thian-to, menggerakkan hawa sinkang itu untuk melawan pengaruh Ang-jiu-kang yang mendesak.

   Ang-jiu Mo-li merasa betapa telapak tangan pemuda itu dingin seperti salju, makin lama makin dingin. Sebaliknya telapak tangan Ang-jiu Mo-li makin lama makin panas. Ternyata bahwa kalau Ang jiu Mo-li mempergunakan sari hawa Yang-kang untuk merobohkan lawannya, Tiang Bu menghadapi dengan sari tenaga Im-kang. Panas lawan dingin atau keras lawan lembut!

   Bi Li berdiri terpukau. Biarpun tingkat kepandaiannya belum mencapai setinggi ini namun gadis ini maklum apa artinya orang yang ia kasihi berdiri tegak dengan dua tangan ke depan saling menempel. Ia melihat kini tidak hanya kedua tangan gurunya yang mengepulkan uap, bahkan dari kepala Ang jiu Mo-li juga mengepulkan uap putih. Anehnya, Tiang Bu nampak tenang-tenang saja, hanya matanya memandang lawan tanpa berkedip. Dari sepasang mata pemuda yang biasanya memang tajam dan aneh ini keluar cahaya yang membuat jantung Bi Li berdebar.

   Juga Ang-jiu Mo-li tidak kuat menghadapi sinar mata pemuda ini, seakan akan kepalanya tembus oleh sinar mata itu. Ia tahu bahwa ilmu batin pemuda ini sudah mencapai tingkat tinggi sekali sehingga tenaga sakti itu dapat menembus melalui sinar mata.

   Setelah tidak kuat menahan sinar mata Tiang Bu, kedudukan Ang-jiu Mo li makin lemah. Hawa panasnya makin berkurang dan sepeminum teh lagi, ia merasa dingin. Sinar merah pada kedua tangannya mulai buyar, bahkan membiru!

   Ang jiu Mo-li masih berusaha mempertahankan, namun ia tidak kuat lagi. Uap yang mengebul dari kepalanya makin tebal mukanya mulai berpeluh.

   "Cianpwe, belum cukupkah?" terdengar Tiang Bu bertanya.

   Bukan main kagumnya Ang-jiu Mo-li. Kini takluk betul-betul. Karena Tiang Bu masih sanggup bertanding tenaga sambil mengeluarkan kata-kata, itu saja sudah menjadi bukti nyata bahwa pemuda ini masih jauh berada di atasnya.

   Tanpa malu-malu lagi Mo-li mengerahkan tenaga terakhir dan menarik kedua tangannya sambil melompat mundur. Kalau Tiang Bu menghendaki, tentu saja perbuatan ini dapat berarti matinya Ang-jiu Mo-li. Dalam pertandingan dengan musuh tentu saja Ang-jiu Mo-li tidak mau melompat mundur dan mati konyol, lebih baik mati dalam pertandingan dari pada mati melompat mundur dan terpukul oleh tenaganya sendiri. Akan tetapi Tiang Bu juga membarengi gerakan lawan dan menarik kembali tenaga sinkangnya.

   Ang-jiu Mo-li terhuyung-huyung akan tetapi tidak sampai jatuh. Cepat ia duduk bersila mengatur pernapasannya dan menenteramkan jantungnya yang sudah terguncang hebat. Mukanya pucat sekali, namun setelah berlalu beberapa lama, mukanya menjadi merah kembali. Ia lalu membuka mata, berdiri perlahan dan berkata kepada Bi Li,

   "Bi Li, anak bodoh. Kalau kau tetap menjauhkan diri menolak cinta kasih pemuda ini berarti kau menyiksa hati sendiri dan menyia-nyiakan hidupmu. Tiang Bu inilah jodoh yang paling tepat dan baik, di atas dunia kau tak mungkin berjumpa dengan orang seperti ini. Bi Li, mulai sekarang kau ikutlah Tiang Bu calon jodohmu ini mencari musuh yang telah membuntungi lenganmu. Kita bertemu di Pek houw-to dan kelak kalau sudah selesai membasmi orang jahat, aku sendiri akan mengatur pernikahanmu dengan pemuda sakti ini!"

   Setelah berkata demikian, Ang-jiu Mo-li lalu berkelebat dan lenyap dari tempat itu meninggalkan Bi Li yang masih berdiri bengong menyaksikan perempuran hebat yang mendebarkan hatinya itu. Ketika ia mengangkat kepala memandang, ia melihat Tiang Bu sedang memandang kepadanya dengan mata penuh perasaan cinta kasih dan keharuan.

   "Tiang Bu..........!" Tak terasa lagi Bi Li menutupi muka dengan tangannya yang tinggal sebelah dan menangis terisak-isak. Air mata mengucur turun melalui celah-celah jari tangannya, pundaknya berguncang. Tiang Bu makin terharu dan kakinya melangkah maju sampai ia berdiri di depan gadis buntung itu.

   "Bi Li...... , mengapa kau lari meninggalkan aku..........?" tanyanya, suaranya tergetar. Bi Li tak dapat menjawab, hanya isak tangisnya makin menjadi, sampai terdengar ia sesenggukan.

   "Bi Li, mengapa kau meninggalkan aku?" Setelah menahan isaknya dengan mengeraskan hatinya, Bi Li mencoba untuk bicara, akan tetapi sukar sekali sehingga setelah beberapa kali mengulang, baru ia dapat mengeluarkun kata-kata,

   "Tiang Bu, apa perlu kau bertanya lagi.....? Kau sudah tahu isi hatiku........."

   "Tidak, Bi Li. Justeru aku sama sekali tidak tahu bagaimana maksud hatimu. Kalau kau membenciku dan pergi, aku hanya bisa menerima dengan segala kesadaran bahwa aku orang yang buruk dan tak berharga. Akan tapi.......... kau cinta padaku sepertt aku mencintaimu, mengapa kau.......... pergi meninggalkan aku??.. Apakah kau sengaja hendak membikin aku mati merana? Bi Li, bagaimana kau bisa begitu kejam dan tega??."

   Bi Li meramkan mata dan menggigit bibir, jantungnya terasa perih seperti tertusuk duri. Air mata mengucur keluar dari bulu-bulu matanya.

   "Tiang Bu.......... justeru karena cintaku padamu maka aku sengaja pergI meninggalkanmu. Aku.......... aku telah menjadi seorang gadis buntung, bercacad selama hidup, tak berharga lagi.......... hanya akan membikin kau malu. Itulah mengapa aku mengambil keputusan pergi. biar hatiku merana asal kau tidak menjadi buah tertawaan orang......"

   "Bi Li!" Suara Tiang Bu menggeledek.

   "Orang mentertawakan aku masih tidak mengapa, akan tetapi siapa berani mentertawakan kau, akan kuhancurkan mulutnya! Jangan kau memandang begitu rendah kepadaku. Kau kira aku akan lupa kepadamu setelah kau bercacad? Tidak, sebaliknya cintaku kepadamu makin kekal, makin mendalam. Aku tidak mau berpisah lagi darimu Bi Li. Kita sama-sama sebatang kara, kau hanya punya aku dan aku hanya punya kau seorang. Bi Li. buntungnya lenganmu tidak mengurangi cintaku, karena bukan tanganmu yang kucinta, melainkan kau, pribadimu. Bi Li, jangan kau khawatir, biarpun lenganmu tinggal sebelah saja. dengan mempelajari ilmu dariku, kau takan kalah oleh orang-orang berlengan dua yang manapun juga!"

   "Tiang Bu......!" Bi Li menjatuhkan badannya ke dalam pelukan Tiang Bu dan menangis sepuasnya. Hatinya diliputi keharuan dan juga kebahagiaan besar.

   "Tidak, Tiang Bu. Aku takkan meninggalkan kau, kecuali kalau aku mati......."

   "Hush, gadis bodoh, jangan bicara soal mati. Kau akan hidup seribu tahun lagi! Tunggu kalau kita sudah membasmi habis orang-orang jahat yang menjadi musuh kita, bukankan gurumu sudah berjanji hendak menikahkan kita?"

   Merah wajah Bi Li dan gadis ini merenggutkan kepalanya dari dada kekasihnya.

   "Hih, tak tahu malu, Bicara soal kawin! Aku tak sudi mendengar." Dengan air mata masih menetes turun, Bi Li terseyum. Tiang Bu juga tersenyum, wajahnya berseri-seri. Bi Li masih seperti dulu, lincah dan menarik hati.

   Dari Bi Li yang sudah diberi tahu oleh Ang-jiu Mo-li, Tiang Bu mendengar bahwa Liok Kong Ji dan Liok Cui Kong telah pindah ke Pulau Pek-houw to di selatan, memboyongi semua selirnya dan membawa harta bendanya, juga bahwa di pulau itu berdiam Lo-thian tung Cun Gi Tosu yang lihai.

   Dengan penuh kebahagiaan oleh karena Bi Li sudah berada di sampingnya, Tiang Bu mengajak kekasihnya itu melakukan perjalanan ke selatan dengan cepat. Lengan yang buntung itu sudah sembuh sama sekali berkat rawatan Ang-jiu Mo-li. Buntungnya di bawah pundak ditutup dengan lengan baju yang pendek. Juga gadis ini karena terhibur oleh sikap Tiang Bu yang amat mencinta, seakan-akan lupa bahwa lengan kirinya buntung dan ia melakukan perjalanan dengan gembira. Sementara itu, semeniak penyerbuan Sin Hong kemudian disusul oleh penyerbuan Pek thouw tiauw ong Lie Kong dan isterinya, Liok Kong Ji berlaku hati-hati sekali. Ia mempergunakan hartanya, menyebar mata-mata di sekitar daerah pantai untuk mengetahui kalau kalau ada musuh datang menyerang lagi agar ia dapat bersiap-siap.

   Oleh karena itu, kedatangan Tiang Bu dan Bi Li ke pantai laut telah diketahui oleh Liok Kong Ji. Di dunia hanya ada dua orang yang mendatangkan debar ketakutan dalam hati Kong Ji. Pertama adalah puteranya sendiri, Tiang Bu, yang ia tahu takkan mau memberi ampun kepadanya dan yang kepandaiannya amat luar biasa, lebih lihai dari pada tokoh manapun juga biarpun usianya masih sangat muda. Orang ke dua adalah Wan Sin Hong musuh besarnya semenjak muda dulu, ia takut terhadap kepandaian dan kecerdikan Wan Sin Hong.

   Pada hari itu, Liok Kong Ji menerima berita dari mata-matanya, berita yang amat mengejutkan dan menggelisahkan hatinya. Tidak saja Tiang Bu dan Bi Li telah berada di pantai, juga ia mendengar bahwa Wan Sin Hong dan kawan-kawannya sudah menuju ke pulaunya, dan akan datang tak lama legi. Inilah hebat, pikirnya. Kalau dua orang ini datang berbareng di Pulau Pek-houw-to, hal ini merupakaa bahaya hebat!

   "Lebih baik mereka dipisahkan. Selagi Sin Hong belum datang dan masih akan makan waktu satu dua hari baru tiba di pantai kita harus memancing Tiang Bu agar dapat cepat datang ke sini untuk kita sambut. Mustahil kalau dengan keroyokan tak dapat merobohkan bocah itu. Kalau dia sudah roboh, soal Sin Hong tak perlu dikhawatirkan lagi. Pokoknya ssal dua setan itu jangan muncul dalam saat yang sama." Demikian Liok Kong Ji berunding, dengan anak angkatnya Liok Cui Kong.

   

Pedang Penakluk Iblis Eps 20 Pendekar Pedang Pelangi Eps 21 Pendekar Pedang Pelangi Eps 21

Cari Blog Ini