Ceritasilat Novel Online

Pendekar Pedang Pelangi 21


Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono Bagian 21




   "Tenang, Beng Goanswe. Jangan panik. Jangan berbuat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan orang di sekitar kita. Ingat...! Siapa tahu ada kawan Yo Keng berada di tengah-tengah kita?"

   "Tidak mungkin!" Beng Goanswe melotot. Tapi Lao-Goanswe cepat menyentuh lengan rekannya.

   "Goanswe, jangan memandang enteng lawan. Apalagi orang seperti Kong-sun Goanswe dan Yo-Ciangkun ini." Beng Goanswe terdiam.

   "Baiklah. Lalu... apa tindakan kita selanjutnya?" Lao-Goanswe berbisik di telinga atasannya.

   "Kita berbuat seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Anggap saja Yo Keng tertidur sekejap karena terlalu lelah. Sementara itu isi surat itu kita ubah isinya. Bagaimana?" Beng Goanswe menatap wakilnya dengan gembira.

   "Jadi Yo Keng tetap kita biarkan menghadap Menteri Kui Hua Sin, tapi... dengan membawa surat yang telah diubah isinya? Wah, kau benar-benar hebat dan cerdik luar biasa! Bagus! Mari kita laksanakan! Tapi... apa yang harus kita tulis di dalam surat itu?" Lao Cing tersenyum licik.

   "Mudah saja. Kita tulis saja, seakan-akan Kong Sun Goanswe minta prajurit untuk memperkuat pasukannya, karena mendapat gempuran pasukan Mo Tan. Kini pasukannya dalam keadaan porak poranda." Beng Goanswe menepuk pundak rekannya.

   "Yah, benar. Dengan demikian akan terjadi salah pengertian di antara mereka. Menteri Kui setelah membaca surat itu tentu minta kepada Au-yang Goanswe untuk mengirimkan pasukan, sementara Yo Keng menerimanya sebagai bantuan untuk Pangeran Liu Wan Ti nanti. Padahal pasukan itu justru akan membereskan Pangeran Liu Wan Ti di sana. Bagus! Tapi kita harus berusaha agar Yo Keng tidak berbicara langsung dengan Menteri Kui Hua Sin." Katanya gembira.

   "Tentu saja. Suasana tegang dalam pertemuan ini justru membuat Menteri Kui tidak punya waktu untuk menemui Yo Keng. Paling-paling dia hanya memanggil Beng Goanswe untuk menyampaikan pesannya kepada Au-yang Goanswe." Demikianlah ketika Yo Keng sadar kembali, Beng Goanswe seakan-akan menggoyang-goyang lengannya.

   "Yo-Ciangkun! Yo-Ciangkun! Wah, tampaknya kau lelah sekali! Masa berbicara sambil memejamkan mata! Marilah, Menteri Kui telah memanggilmu!" Yo Keng terkejut. Matanya menatap tajam ke sekitarnya. Dan diam-diam tangannya meraba sarung pedangnya. Perasaannya menjadi lega melihat benda itu masih tetap di tempatnya.

   "Beng Goanswe...? Apakah aku tertidur tadi?"

   "Tertidur sih... tidak! Hanya tampaknya kau sangat lelah, sehingga berbicara sambil terantuk-antuk." Beng Cun berbohong.

   "Aaaah...!"

   "Ayolah, Yo-Ciangkun! Menteri Kui Hua Sin telah menunggumu. Mari, kuantar kau ke sana...!"

   "Sekarang...? Beng Goanswe sendiri yang akan mengantarku? Ah, jangan! Biarlah prajuritmu saja, atau... di manakah Lao-Goanswe sebenarnya? Tadi aku bertemu dia di jalan. Dia mengatakan bahwa hendak ke mari pula..." Beng Goanswe berdiri dan menarik lengan Yo-Ciangkun.

   "Marilah, kebetulan aku juga akan ke Ruang Pertemuan. kau tentu bertemu dengan Lao-Goanswe di sana. Dia memeriksa semua pos penjagaan Istana setiap hari. Ayoh...!" Tanpa menyadari kelicikan orang, Yo-Ciangkun menurut saja ketika dibawa masuk halaman dalam Istana.

   Mereka menuju ke Ruang Pertemuan, di mana sepanjang jalan Yo Keng tak habis-habisnya mengagumi keindahan bangunan Istana. Walaupun dia seorang perwira, tapi selama hidupnya Yo Keng belum pernah menginjakkan kakinya di halaman Istana. Sementara itu Lao-Goanswe buru-buru mengirimkan surat pemberitahuan kepada Au-yang Goanswe. Lalu memberi pesan kepada para perajurit jaga, dia segera berangkat menuju ke Ruang Pertemuan pula. Dia harus mendampingi Beng Goanswe agar rencananya berjalan dengan baik. Dan memang benar pula, bahwa pada saat itu Menteri Kui Hua Sin sedang mengadakan pertemuan dengan menteri menteri lainnya. Bahkan Menteri Kui Hua Sin juga mengundang seluruh anggota Dewan Penasehat Kerajaan pula, karena kali ini Menteri Kui Hua Sin benar-benar ingin membicarakan keadaan negeri mereka.

   Hal itu dilakukan Menteri Kui karena keadaan di luar tembok kora raja benar-benar semakin memburuk. Menteri Kui menerima banyak laporan tentang situasi di daerah. Baik laporan tentang masuknya pasukan Mo Tan ke selatan, maupun laporan tentang kerusuhan dan ketidak amanan di seluruh pelosok negeri. Bahkan Menteri Kui juga menerima laporan tentang semakin jauhnya wibawa dan pengaruh kerajaan atas propinsi dan daerahnya. Terutama propinsi-propinsi yang jauh dari Kotaraja. Dan semua itu sangat menyedihkan hati Menteri Kui. Dia bersama enam menteri lainnya hampir tak bisa berbuat apa-apa semenjak mendapatkan mandat itu. Sekarang Menteri Kui sudah nekad. Dia harus menyelamatkan kerajaan, sebelum terlambat.

   "Apabila keadaan ini kita biarkan berlarut-larut, niscaya negeri ini akan runtuh. Lebih celaka lagi kalau Mo Tan menguasai negeri kita. Kita semua akan dijadikan budak-budaknya. Harta dan ke-kayaan kita akan dijarah rayah dan dirampok. Lalu... apa jadinya dengan anak keturunan kita nanti?" Menteri Kui membuka pertemuan itu dengan suara lantang.

   "Benar. Tahun ini sudah ada empat kota yang jatuh ke tangan Mo Tan. Dan sekarang pasukannya sudah mulai mengalir ke arah selatan. Menurut laporan, mereka mulai menuju ke perbatasan Se-cuan, Kang-su dan Cing-hai. Kalau kita tidak segera mengambil tindakan, maka pasukan Mo Tan akan segera menguasai Propinsi Si-kang. Apabila hal itu benar-benar terjadi, maka jalan perdagangan kita ke barat akan putus, suatu yang sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup negeri kita."

   Menteri si Sun Ong yang duduk di sebelah Kui Hua Sin tak terduga juga berkata pula dengan berani. Sekejap para menteri dan para Penasehat Kerajaan lainnya, terpaku diam di tempat masing-masing. Diam-diam semuanya melirik ke arah pintu dan jendela Ruang Pertemuan yang tertutup rapat. Mereka tahu bahwa di luar ruangan banyak prajurit Kim-i-wi, anak buah Au-yang Goanswe, sementara masalah yang mereka bicarakan itu adalah tanggung jawab Au-yang Goanswe sebagai Panglima Bala Tentara Kerajaan.

   "Baiklah, semua ini memang menjadi tugas Bala Bantuan Kerajaan. Namun kita sebagai penerima mandat dari Ibu Suri, berhak pula meminta pertanggungjawaban Panglima Bala Tentara Kerajaan. Panglima Kerajaan harus bisa mengatasi masalah ini. Apa jadinya kalau serbuan Mo Tan itu tidak secepatnya ditanggulangi?" Akhirnya Menteri Kui memecah kesunyian mereka.

   "Memang benar apa yang diucapkan oleh Menteri Kui. Kita tidak boleh diam saja melihat hal ini. Kita wajib menanyakan kepada Panglima Kerajaan. Sampai di mana tindakan yang telah dilaku-kannya untuk menangani masalah itu?" Lagi-lagi Menteri si Sun Ong memberi dukungan kepada rekannya.

   "Tapi...?" Menteri Go Hak tiba-tiba menyela, namun segera terdiam kembali. Wajahnya tampak pucat.
Go Hak adalah Menteri Bendahara Kerajaan. Sebagai menteri yang bertanggung jawab atas kekayaan dan harta benda kerajaan, dia paling sering berurusan dengan petugas-petugas kerajaan. Dan dalam masalah yang mereka bicarakan itu, dia pula yang paling banyak mendapat tekanan dari Au-yang Goanswe.

   "Apakah yang ingin kau katakan, Menteri Go? Maksudmu terlalu berbahaya bagi kita untuk menanyakan hal tersebut kepada Au-yang Goanswe. Begitukah?" Menteri Kui mendesak dengan suara gemas.

   "Bukan! Bukan itu! Kukira... Kalau kita hanya menghubungi panglima saja, tidak segera menyelesaikan masalah ini. Kita perlu mengusahakan jalan lain selain hal itu... Misalnya... Kita perlu segera menemukan kembali Pangeran Liu Wan Ti atau... pangeran Liu yang kun! Saat ini kita membutuhkan sosok penguasa yang berwibawa serta disegani orang untuk membangkitkan kekuatan rakyat!"

   "Benar. Aku sependapat dengan Menteri Go. Pada saat-saat seperti ini baru kita ingat akan kebutuhan seorang kaisar yang kuat dan bijaksana." Menteri Liang Wei memberikan suaranya. Sebagai Menteri Urusan Hukum dan Keadilan Liang Wei memang selalu mendambakan sandaran yang kuat. Kui Hua Sin dan si Sun. Ong terperangah.

   "Bagus. Pendapat kalian memang benar sekali. Rasanya kami berdua juga sependapat pula dengan kalian." Menteri Kui makin bersemangat.

   "Ada saran yang lain?" Menteri si Sun Ong memandang Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To yang belum mengeluarkan pendapatnya sejak tadi.

   "Aku pribadi juga setuju dengan pendapat Menteri Go. Tapi bagaimana kita harus melaksanakan hal itu? Kita semua tahu, bahwa selama ini sudah diusahakan untuk mencari Pangeran Liu Wan Ti. Namun selama itu pula kita tidak dapat menemukannya. Lalu... tindakan apalagi yang harus kita usahakan?" Menteri Gan Jit Kong berkata pelan.

   "Benar. Selama ini kita sudah menyebar petugas rahasia ke seluruh negeri, bahkan juga sudah menghubungi para Kepala Daerah pula. Tapi ternyata Pangeran Liu Wan Ti tetap belum ditemukan. Oleh karena itu kita harus mencari jalan lain. Eemm... aku punya usul. Bagaimana kalau kita menawarkan hadiah besar bagi orang yang bisa memberi petunjuk tempat tinggal Pangeran Liu Wan Ti...?" Menteri Kiat Peng To mengajukan sarannya.

   "Usulmu memang bagus. Tapi... apakah hal itu tidak membikin malu kita sendiri? Bagaimana bisa terjadi seorang putera mahkota sampai hilang dari Istana?." Menteri Gan Jit Kong memotong ucapan Menteri Kiat Peng To. Menteri Kiat Peng To tersenyum.

   "Menteri Gan, kukira kita tidak perlu merasa malu lagi. Penduduk di selurur pelosok negeri ini rasanya sudah tahu semua akan hilangnya Pangeran Mahkota. Kita tidak dapat menutup-nutupi lagi. Kita justru harus bisa segera menemukannya, karena hal seperti ini akan meresahkan rakyat banyak. Bagaimana, Menteri Kui?" Menteri Kui Hua Sin mengerutkan dahinya. Pendapat Menteri Kiat Peng To memang masuk akal juga. Bahkan usul itu tampaknya memang paling mengena. Tapi karena usul tersebut berkaitan dengan kehormatan negara, Menteri Kui tidak bisa memutuskan begitu saja.

   "Bagaimana menurut pendapat para menteri yang lain?" Demikianlah, karena semua juga sependapat dengan usul Menteri Kiat Peng To, maka Menteri Kui Hua Sin lalu meminta nasehat serta pendapat sepuluh anggota Dewan Penasehat Kerajaan. Dan akhirnya para anggota dewan itu menyetujui niat mereka.

   Kemudian Menteri Kui membagi tugas yang harus mereka kerjakan. Menteri Go Hak diminta untuk menyiapkan hadiahnya, sedangkan Menteri Liang Wei diminta untuk menyiapkan orang yang bertugas menyiarkan pengumuman itu keseluruh negeri. Menteri Gan Jit Kong dan Kiat Peng To bertugas menyiapkan orang yang akan melihat dan meneliti propinsi-propinsi mana yang perlu dicurigai. Sementara Menteri Kui dan si Sun Ong akan menghubungi Au-yang Goanswe. Di tengah kesibukkan pertemuan itu, tiba-tiba pintu ruangan diketuk dari luar. Beng Goanswe masuk disertai Yo-Ciangkun. Mereka berdiri di dekat pintu. Untuk sesaat semua menteri terkejut. Mereka baru saja membicarakan Au-yang Goanswe, kini tahu-tahu tangan kanan jendral yang sangat berpengaruh itu telah berada di depan mereka.

   "Beng Goanswe, ada perlu apa?" Menteri Kui cepat menyapa.

   "Maaf, Kui Taijin. Yo-Ciangkun dari perbatasan utara ingin menghadapmu. Dia membawa berita dari Kong-sun Gon-swe." Menteri Kui Hua Sin terkesiap.

   "Silakan masuk! Apa yang hendak kau lapor-kan kepadaku?" Yo Keng cepat mengambil surat rahasia yang dia sembunyikan di dalam sarung pedangnya. Surat itu buru-buru diberikan kepada Beng Goanswe untuk dihantarkan ke tangan Menteri Kui. Setelah itu dia kembali berdiri tunduk di tempatnya. Menteri Kui menerima surat tersebut dan membukanya. Wajahnya sedikit berubah. Yo Keng berdebar-debar ketika tidak melihat sinar kegembiraan di wajah menteri tua itu. Apakah penemuan Pangeran Liu Wan Ti itu tidak disukai mereka? Surat itu dibaca secara bergilir oleh para menteri. Dan rata-rata wajah mereka menjadi masam dan kurang gembira malah. Yo Keng semakin bingung dan penasaran. Jangan-jangan semua pejabat di Kotaraja memang telah berubah pikiran.

   "Bagaimana, Taijin?" Yo Keng tak kuasa menahan hatinya.

   "Baiklah, Yo-Ciangkun. Kami telah mengerti kesulitan Kongsun Goanswe. Kami akan memikirkannya. Jangan khawatir. Biarlah kami berbicara dulu dengan Panglima Kerajaan. Nah, Beng Goanswe...! Tolong kirimkan prajurit untuk mengundang Au-yang Goanswe ke mari! Kami ingin merundingkan situasi negara dengan dia..." Menteri Kui menghela napas panjang.

   "Tapi Taijin, Kong-sun Goanswe..." Yo Keng mencoba melaporkan maksud kedatangannya. Tapi entah sejak kapan Lao-Goanswe datang, tahu-tahu ia telah berada di samping Yo Keng.

   "Sudahlah, Yo Keng. Menteri Kui akan berbicara dulu dengan Au-yang Goanswe. Kita tunggu keputusannya di luar. Ayolah...!" Wakil Komandan Kim-i-wi. itu cepat-cepat menarik lengan Yo Keng keluar dari ruangan itu. Yo Keng tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia terpaksa menurut saja apa yang diperintahkan Lao-Goanswe. Bahkan dia juga tak dapat menolak pula ketika dibawa ke Istana Au-yang Goanswe. Sebagai seorang prajurit dia tidak bisa membantah perintah atasannya. Demikianlah Yo Keng terpaksa menunggu di Istana Au-yang Goanswe.

   Ketika sampai malam hari jendral itu juga belum kembali dari Istana, Yo Keng terpaksa menginap pula. Dia baru merasa curiga ketika esok harinya dipanggil Au-yang Goanswe ke pendapa. Ketika menerima tugas dari Kong-sun Goanswe, Yo Keng telah dipesan dengan sungguh-sungguh agar menghadap langsung kepada Menteri Kui Hua Sin. Dia tidak boleh percaya kepada siapapun juga selain kepada menteri itu. Dan dia harus berhati-hati bila berhadapan dengan Au-yang Goanswe beserta anak buahnya. Termasuk di antaranya adalah para anggota Pasukan Kim-i-wi dan Gin-i-wi, karena merekalah sebenarnya yang berkhianat terhadap kerajaan dan kemudian memfitnah Panglima Yap Kim ke dalam penjara. Tapi apa dayanya sekarang. Dia justru beradadalani ceugkeraman Au-yang Goanswe begitu datang di Kotaraja. Sebagai perajurit dia tak bisa menolaknya.

   "Selamat pagi, Goanswe...!" Yo Keng menyapa dengan cara dan sikap seorang prajurit.

   "Aha, kau kah... perwira yang datang dari perbatasan itu? Bagus. Mari kita minum teh dulu. Setelah itu aku akan menyampaikan kehendak dan perintah Menteri Kui Hua Sin kepadamu."

   "Terima kasih, Goanswe."

   "Yo Keng! Aku mendapat perintah dari Menteri Kui Hua Sin untuk mengirim empat ribu orang prajurit ke benteng Kong-sun Goanswe. Tapi aku tidak diberitahu maksudnya. Nah, sekarang katakan padaku... apa sebenarnya yang terjadi di sana? Apakah Raja Mo Tan menyerang bentengmu?" Au-yang Goanswe bertanya dengan suara menyelidik. Yo Keng terkejut. Sekejap matanya berkilat ke arah jendral itu. Dan dalam sekejap itu pula pikirannya menjadi tegang. Pertanyaan itu memojokkan dirinya dan mengandung bisa yang sangat berbahaya. Begitu jawabannya salah, jiwanya tak mungkin tertolong lagi.

   "Bagaimana Yo Keng? Mengapa kau diam saja?" Au-yang Goanswe mendesak. Matanya mulai kemerahan. Sebagai prajurit yang biasa bertempur di medan perang, maka naluri keprajuritan Yo Keng segera timbul. Dalam situasi demikian, otaknya segera bekerja, menghitung untung-ruginya.

   "Tampaknya dia belum tahu isi surat itu dan sekarang ingin mengorek kete- rangan dari aku. Kalau aku mengatakan apa adanya, bahwa Pangeran Liu berada di dalam benteng, maka dia bisa kalap dan mengirimkan pasukan sandinya untuk membunuh Pangeran Liu. Tapi kalau aku berbohong dan tepat pada sasarannya, dia akan menjadi penasaran, sehingga... Kematianku dapat tertunda." Sama sekali Yo Keng tidak menyangka bahwa jendral itu telah tahu semuanya. Kalaupun sekarang dia pura-pura dia tidak tahu dan bertanya kepada Yo Keng, hal itu hanya untuk mengetahui hasil dari pada tipu daya Jendral Lao Cing. Sekalian juga untuk mengetahui, kepada siapa saja berita tentang Pangeran Liu itu disampaikan.

   "Yo Keng! kau dengar pertanyaanku?" Au-yang Goanswe membentak, sehingga prajurit yang bertugas di halaman Istana itu terkejut mengawasi mereka.

   "Ah! Maaf, Goanswe! Aku... aku memang sulit untuk menjawab pertanyaan Goanswe itu!" Tiba-tiba Yo Keng mendapatkan jalan. Benar juga. Au-yang Goanswe menjadi penasaran.

   "Kenapa mesti sulit, heh? kau mau merahasiakan sesuatu dari aku?"

   "Bukan! Bukan begitu, Goanswe! Bukan...! Goanswe tentu tahu bahwa pasukan di daerah perbatasan tidak selalu terkumpul menjadi satu. Mereka terdiri dari beberapa kelompok besar yang selalu berkeliling dan berpindah tempat di sepanjang perbatasan itu. Hanya Kong-sun Goanswe saja yang secara resmi selalu berkedudukan di dalam benteng, meskipun pada kenyataannya beliau juga selalu berkeliling pula..."

   "Ayoh, jawab saja pertanyaanku! Jangan melingkar-lingkar!"

   "Baik! Baik, Goanswe! Terus terang saja aku... aku sebenarnya tidak begitu tahu apa yang terjadi di dalam benteng. Kebetulan... Kebetulan kami sudah lebih dari tujuh bulan meninggalkan benteng-itu. Dan selama itu pula kami tidak pernah bertemu dengan Kong-sun Goanswe. Oleh karena itu kami kaget sekali ketika seorang kurir Kong-sun Goanswe tiba-tiba datang ke tempat kami. Ternyata dia membawa surat yang harus kuantar sendiri kepada Menteri Kui. Tugasku adalah tugas rahasia, yang tak seorangpun boleh tahu. Dan lagi... surat itu hanya boleh kuserahkan kepada Menteri Kui." Akhirnya Yo Keng dapat juga berbohong. Au-yang Goanswe memandang Yo Keng dengan tajamnya. Roman mukanya kelihatan lega. Tampaknya dia percaya apa yang dituturkan Yo Keng. Tapi sebaliknya Yo Keng sendiri justru tidak menyadari bahwa ceritanya semakin mengu-ajjcan niat jendral ^U^ttl^L menyingkirkan dia.

   "Mumpung berita tentang keberadaan Pangeran Liu Wan Ti di benteng Kong-sun Goanswe belum tersebar kemana-mana, aku harus cepat-cepat melenyapkan dia! Besok akan kukirim pula sepuluh ribu orang prajurit, secara terpisah dari beberapa tempat, untuk menghancurkan Pangeran Liu Wan Ti dan Kong-sun Goanswe! Akan kubuat seolah-olah benteng itu telah diduduki musuh. Biarlah Lao-Goanswe yang menghubungi Raja Mo Tan." Au-yang Goanswe membuat rencana di dalam hatinya. Kemudian seolah-olah memahami penuturan Yo Keng, Au-yang Goanswe mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu, bersiaplah! Pasukan akan berangkat besok pagi. kau bisa berjalan bersama mereka" Yo Keng cepat-cepat membungkukkan badannya.

   "Terima kasih, Goanswe! Tapi... bersama sebuah pasukan besar akan menghambat perjalananku. Sementara itu kedatanganku akan sangat dinan-tikan oleh Kong Sun Goanswe: Oleh karena itu, Goanswe... biarlah aku berangkat lebih dulu" Diam-diam wajah Au-yang Goanswe menjadi gembira. Dengan berjalan seorang diri justru lebih mudah untuk membunuh Yo Keng.

   Demikianlah, pada hari itu juga Yo Keng berangkat meninggalkan Kotaraja. Au-yang Goanswe memberinya bekal dan pakaian karena ia harus berjalan selama, tiga hari penuh untuk mencapai benteng Kong-sun Goanswe. Sama sekali tidak di sadari oleh Yo Keng bahwa Au-yang Goanswe telah mempersiapkan lubang kuburan bagi dirinya. Jendral tua itu telah memerintahkan Beng Goanswe untuk mengirim pasukan rahasia untuk membunuhnya. Yo Keng harus mati sebelum tiba di perbatasan. Ketika matahari mulai condong ke barat, perlahan Yo Keng sudah mendekati kota An-yang. Sejak dari -Kotaraja sampai di An-yang, Yo Keng selalu mem beri tanda di tempat-tempat yang mudah terlihat. Seperti dugaan Lao-Goanswe, kepergiannya ke. Kotaraja memang selalu diawasi oleh beberapa orang pengawalnya.

   Tapi Yo Keng tidak ingin singgah di kota An-yang. Selain kota itu penuh dengan prajurit kerajaan, Yo Keng juga tak mau berjumpa dengan banyak orang. Dia justru ingin lewat di jalan sepi, karena dia harus tetap waspada terhadap siapa saja, termasuk kepada Au-yang Goanswe dan anak buahnya. Menurut penuturan Kong-sun Goanswe,-jendral tua itu sangat licik dan berbahaya. Yo Keng mengambil jalan kecil ke arah barat. Ia ingin lewat di bagian selatan Propinsi Sian-su, menyusuri daerah perbukitan di sebelah kota Lia-feng dan selanjutnya meneruskan perjalanan menuju kota kecil Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Dan jika tidak ada hambatan atau rintangan, dia akan sampai di kota itu menjelang matahari terbenam. Dan menurut rencana ia akan berjumpa dengan para pengawalnya di sana.

   Kuda Yo Keng memang kuda pilihan. Kuda itu tahan berlari disegala medan. Selama tiga hari berjalan menuju ke Kotaraja kemarin, Yo Keng hanya sempat memberi istirahat kudanya itu pada malam hari. Sementara pagi sampai sore terus mereka berjalan tanpa mengenal lelah. Tiba-tiba kuda tunggangan itu berhenti dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi. Yo Keng mencabut pedangnya. Kuda itu memberi firasat bahwa ada orang di sekitar tempat itu. Benar saja. Dari balik semak pepohonan sekonyong-konyong muncul belasan orang bertopeng menghadang di tengah jalan. Ketika Yo Keng menoleh, ternyata di belakangnyapun telah berloncatan pula orang-orang yang sama. Dia telah dikepung dari segala jurusan. Tanpa bertanya lagi Yo Keng menghentakkan tali kekang kudanya, sehingga kuda itu menerjang ke depan dengan garangnya. Pedangnya berkelebat melindungi badannya.

   "Berhentiiiii...!"

   "Traaang...! Traaaang! Traaaaaang!" Orang-orang bertopeng itu beramai-ramai menyerang Yo Keng yang bertahan di atas pungung kudanya. Dan pertempuran brutalpun segera berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang berto-peng itu mengeroyok dengan senjata mereka. Beberapa orang di antara mereka mulai terluka akibat sabetan pedang Yo Keng. Perwira dari perbatasan itu memang tidak bisa dianggap enteng. Pengalamannya dalam pertempuran sangat banyak. Dan tampaknya orang-orang itu han yalan perampok-perampok jalanan. Mereka berkeliaran akibat situasi keamanan yang buruk.

   Kini menghadapi Yo Keng, seorang perwira yang biasa berlaga di medan pertempuran, mereka tidak dapat berbuat banyak. Walaupun mereka berjumlah banyak, tetapi Yo Keng sendiri hampir tak bisa disentuh. Di atas punggung kuda yang biasa membawanya dalam setiap pertempuran, Yo Keng benar-benar seperti garuda yang terbang di atas awan. Sesekali dia menyambar ke kanan dan ke kiri untuk merobohkan mangsanya. Beberapa saat kemudian para perampok mulai tampak kebingungan. Kuda perang yang dinaiki Yo Keng itu semakin garang mengobrak-abrik mereka. Korban mulai berjatuhan, Bukan karena pedang Yo Keng, tapi karena tendangan kaki kuda gila itu. Akhirnya mereka tak tahan lagi. Mereka lalu lari berserabutan menyelamatkan diri. Mereka lari sambil membawa teman-temannya yang terluka.

   "Gila! Siang hari bolong begini ada juga perampok berkeliaran! Kurang ajar!" Begitu musuh-musuhnya hilang, Yo Keng menggeram kesal. Ketika sampai di sebuah sungai kecil Yo Keng turun dari kuda dan dibiarkannya kudanya itu beristirahat. Dia sendiri lalu duduk di bawah pohon rindang. Hembusan angin segar hampir membuatnya terlena, kalau tiba-tiba tidak terdengar suara. jeritan meminta tolong. Yo Keng bangkit dengan cepat. Kudanya juga kaget dan melompat keluar dari da-lam air. Kemudian Yo Keng bergegas memanjat pohon. Matanya nyalang mencari asal suara tadi. Tiba-tibaJ dia melihat serombongan wanita berlarian dikejar oleh belasan lelaki kasar. Mereka berkejaran di pinggir hutan.

   "Gila! Tampaknya ada perampok lagi! Benar-benar rusak negeri ini!" Yo Keng menggeram marah. Tanpa memikirkan rasa lelahnya lagi Yo Keng memacu kudanya untuk menolong wanita-wanita itu. Tapi ketika sampai di pinggir hutan itu, semuanya sudah hilang. Orang-orang itu tidak keli- hatan lagi. Bahkan di atas tanah juga tidak ada bekas-bekasnya pula.

   "Eh, kemana mereka? Masa mereka bisa menghilang?" Tapi Yo Keng tidak segera menyerah. Dia malah menjadi penasaran, sehingga tempat itu justru diaduknya dengan teliti. Tidak sejengkal tanahpun luput dari pengamatannya. Dan akhirnya ia dapatkan juga apa yang dia inginkan. Tepat di tengah-tengah semak belukar, tak jauh dari tempat itu, Yo Keng menemukan sebuah lubang gua. Tidak begitu besar, tapi manusia dapat masuk dengan mudah. Dan dari bekas-bekas yang ada, Yo Keng yakin bahwa orang-orang itu benar-benar lewat melalui lubang tersebut. Setelah mengikat kudanya di tempat yang tersembunyi, Yo Keng nekad masuk ke dalam lubang itu. Sungguh menakjubkan. Beberapa saat kemudian ujung terowongan itu menembus ke lereng te-bing curam, di mana di bawahnya mengalir sungai deras.

   "Ah, sungai di bawah itu tentu meru- pakan kepanjangan dari sungai tempat aku beristirahat tadi. Tapi... Kemana orang-orang itu tadi? Apa ada jalan setapak ke bawah?" Ketika Yo Keng melongok ke bawah, di bawah tebing tampak belasan buah tenda didirikan berjajar di tepian sungai. Puluhan lelaki bertubuh tegap tampak berjalan hilir-mudik di antara tenda-tenda itu. Sepintas lalu mereka kelihatan seperti kawanan perampok yang membangun sarang di lembah sempit itu. Tempat itu memang strategis sekali. Selain tersembunyi, juga sulit dijangkau orang. Jalan keluarnyapun hampir tidak ada pula. Bagian samping dibatasi oleh tebing yang tinggi, sementara di bagian depan dan belakang merupakan aliran sungai yang terjal bertingkat-tingkat. Sehingga satu-satunya jalan hanya dari lubang gua itu.

   "Tempat ini memang sangat baik untuk bersembunyi, tapi berbahaya untuk sebuah pasukan. Memang sulit untuk ditemukan, namun mudah diserang dan dihancurkan lawan. Heran, siapakah mereka?" Yo Keng lalu mencari akal untuk menuruni tebing itu. Tapi belum juga cara itu dia temukan, telinganya mendengar langkah orang memasuki terowongan itu. Cepat dia bersembunyi di tempat gelap. Tujuh orang lelaki lewat di depannya.

   Masing-masing membawa perempuan dipundaknya. Mereka kelihatan tergesa-gesa sehingga tidak memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Mereka melangkah dengan terburu-buru. Begitu pula ketika menuruni tebing itu. Kebetulan lelaki yang paling belakang agak sedikit ketinggalan dari kawan-kawannya. Dan kesempatan itu tak disia-siakan oleh Yo Keng. Sekali sodok dengan sarung pedangnya, lelaki itu ro-boh tak berkutik. Dan perempuan yang ada dalam pelukan orang itu cepat disambarnya serta ditaruh pula di atas pundaknya. Lalu dengan cekatan orang itu diseretnya ke tempat yang tersembunyi. Selanjutnya, seperti tak pernah terjadi apa-apa, ia berjalan di belakang rombongan tersebut. Dia sengaja memperlambat langkahnya. Kemudian buru-buru menyelinap pergi, begitu rombongan tersebut menginjakkan kaki di bawah tebing. Yo Keng menyuruk ke dalam semak-semak.

   "Hei, mau apa sebenarnya kau? Kenapa kau gantikan orang itu dengan kekerasan? kau... siapa?" Tiba-tiba terdengar bisikan di belakang Yo Keng. Suaranya kecil. Bukan main kagetnya Yo Keng! Otomatis tubuhnya berbalik, sehingga perempuan di atas pundaknya itu hampir saja terjatuh.

   "Sia-siapakah... Kau?" Mata Yo Keng jelalatan mencari lawannya. Tapi tak seorangpun di sekitarnya.

   "Celaka...! Bagaimana kau ini? kau sekarang sedang menggendong aku! Wah, gobloknya!" Suara itu terdengar kembali, bahkan lebih keras dan berkesan jenaka. Suaranya berubah besar seperti suara lelaki. Yo Keng terkejut. Dan lebih kaget ketika jalan darah tong-tie-hiat di lehernya telah dicengkeram oleh perempuan itu.

   "Hei, awas! Jangan dibanting! Nanti suaranya akan terdengar oleh mereka!" Suara itu lagi-lagi memperingatkan. Yo Keng menggeram. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Orang yang menyamar menjadi wanita itu telah mencengkeram jalan darah kematian di lehernya.

   "Si-siapa kau...? Mengapa kau menyamar menjadi perempuan dan membiarkan diri dibawa oleh lelaki kasar itu?" Yo Keng menggeram dengan suara tertahan.

   "Wah, jangan bertanya sekarang! Nanti saja setelah kita benar-benar aman. Kini turunkanlah aku dulu dan jangan banyak bicara!" Untunglah kedatangan rombongan itu tidak begitu diperhatikan oleh yang lain, sehingga penyusupan Yo Keng berjalan dengan mulus. Hanya seorang saja di antara ketujuh lelaki tadi yang berteriak mencarinya.

   "Hei...? kemana Ogilai tadi? Apakah ia masih di atas?"

   "Aaa, sudahlah! Biarkan saja ia berbuat sekehendak hatinya. Paling-paling berada di antara semak-semak itu! Hehehehe!" Sementara itu di Kotaraja, Au-yang Goanswe sudah mengirimkan pasukan rahasianya untuk mengejar Yo Keng. Pasukan yang amat terlatih itu menyamar seperti rombongan penduduk biasa.

   Mereka bergerak di dalam beberapa kelompok. Semula mereka bermaksud menghadang Yo Keng di kota Lia-feng. Namun rencana mereka berubah lagi karena Yo Keng tidak menuju ke kota itu. Mereka lalu menuju ke kota berikutnya, yaitu kota Leng-fu di tepian Sungai Huang-ho. Untuk itu mereka membagi rombongan menjadi dua bagian. Sebagian melewati perbukitan di selatan Lia-feng dan sebagian lagi menerobos terus ke barat melalui Tai-bong-sui, daerah rawa-rawa berbahaya. Demikianlah, pada saat matahari mulai bergeser turun ke barat, beberapa kelompok di antara pasukan itu telah ti ba di kota Leng-fu. Mereka segera berkumpul di luar pintu gerbang kota bagian selatan. Mereka dipimpin oleh Tongkat Bocor Ho Bing, yang kini telah berhasil menjadi orang kepercayaan Au-yang Goanswe.

   "Heran! Mengapa Ciang Ciangkun belum juga datang? Dia seharusnya tiba di sini. Jarak yang mereka tempuh lebih pendek daripada kita." Lelaki bermuka kelimis itu menggerutu, karena Ciang Kwan Sit, pemimpin rombongan mereka, belum juga tiba di tempat itu. Padahal rombongan Ciang Kwan Sit lewat Tai-bong-sui.

   "Biarlah kita bersabar sedikit." Salah seorang di antara temannya yang berkepala gundul mendinginkan hatinya.

   "Tapi... Kita tidak mempunyai banyak waktu, Tiat-tou (Kepala Besi)! Sebentar lagi Yo-Ciangkun akan tiba. Kita belum mengatur rencana untuk menghadapinya..."

   "Kalau begitu, mengapa tidak kau saja yang menyusun rencana? Bukankah Ciang Ciangkun telah memberi wewenang kepadamu?" si Gundul itu menjawab enteng.

   "Hei, mengapa aku...?" Ho Bing berteriak.

   "Mengapa...? Hehehee, sudah kukatakan, selain lebih cerdik dan lebih banyak akal, kau sudah diberi wewenang oleh Ciang Ciangkun. Mau apa lagi? Ayolah...!"

   "Tapi ilmu silat kalian banyak yang lebih tinggi daripada ilmu silatku."

   "Waah... Itu tidak menjadi soal. Sekarang yang penting adalah rencananya, bukan pertempurannya. Ayolah!" Ho Bing tidak dapat menolak lagi. Terpaksa dia mengambil alih pimpinan rombongan itu. Dia lalu membagi rombongan tersebut menjadi tiga kelompok kecil. Kelompok pertama dipimpin oleh Tiat-tou dan tetap berada di tempat itu. Kelompok ke dua, dipimpin Siang-kim-eng (Sepasang Elang Emas), menunggu di pintu gerbang kota sebelah timur. Sedang Ho Bing bersama lima orang sisanya, masuk ke dalam kota. Mereka bersiap-siap untuk membantu kelompok yang nanti berhadapan dengan Yo Keng.

   "Dengan pembagian kelompok seperti ini kita berharap tidak akan kehilangan buruan kita. Kelompok yang menerima kedatangan Yo Keng harus segera memberi tanda kepada yang lain. Bagaimana?"

   "Baiklah... Kita semua sependapat. Mari kita berangkat!" Tiat-tou mewakili teman-temannya. Demikianlah mereka lalu berpencar bersama kelompok mereka masing-masing Mereka tidak sempat lagi menunggu kedatangan rombongan Ciang Kwan Sit. Sama sekali mereka tidak menyangka kalau rombongan Ciang Kwan Sit mendapat rintangan di tengah jalan. Begitu melewati rawa-rawa Tai-bong-sui, rombongan itu bertemu dengan sebagian kecil dari iring-iringan pasukan Raja Mo Tan yang menyusup ke Propinsi Siangsi. Dan tanpa berbasa-basi lagi pasukan itu mengepung dan menyerang rombongan Ciang Kwan Sit. Kelompok kecil pasukan Raja Mo Tan yang tidak mengenakan seragam peraju- rit itu dipimpin oleh Sogudai, seorang keturunan Mongol yang mengabdi kepada Raja Mo Tan.

   Rombongan itu merupa-kan sebagian dari pasukan besar Raja Mo Tan yang mulai menyusup ke wilayah Tionggoan. Ternyata berita tentang Pangeran Liu Wan Ti itu telah diketahui pula oleh Raja Mo Tan. Bahkan raja dari berbagai suku bangsa liar di luar Tembok Besar itu sudah menyusun rencana untuk menyerbu Kerajaan Han. Demikianlah, selagi Jenderal Au-yang sendiri sibuk dengan rencana pengkhianatannya, Raja Mo Tan justru mulai menabuh genderang perangnya. Panglima Solinga dengan pasukan besarnya telah berangkat menuju ke benteng Kong-sun Goanswe. Sedangkan panglima-panglima Raja Mo Tan yang lain, seperti Panglima Yeh Sui dan Huang Yin, berangkat ke timur dan ke selatan. Mereka berdua diperintahkan untuk memotong bala bantuan yang datang dari Tionggoan. Dan di dalam rombongan pasukan yang menuju ke timur itulah kelompok pasukan Sogudai berada.
Seperti halnya Panglima Solinga, Panglima Yeh Sui dan Panglima Huang Yin merupakan jago-jago yang handal. Bahkan seperti halnya Panglima Solinga, mereka berdua juga memiliki kesaktian yang hebat pula. Perbedaan mereka hanyalah dalam usia. Panglima Yeh Sui dan Huang Yin adalah jago-jago tua yang berusia lebih dari lima puluh tahun, sementara Panglima Solinga yang anak keturunan suku Mongol itu masih sangat muda. Di dalam penyamarannya ini Panglima Yeh Sui membawa lima ribu orang perajurit. Dan untuk mengurangi kesan sebagai sebuah barisan besar ataupun arak-arakan prajurit, Panglima Yeh Sui membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil. Setiap kelompok terdiri dari empat puluh atau lima puluh orang dan dipimpin oleh seorang pemimpin kelompok.

   Mereka sengaja menyamar seperti rakyat biasa, agar perjalanan itu tidak terlalu menarik perhatian orang. Mereka berjalan berombongan, kelompok demi kelompok, seakan-akan rombongan pengungsi yang melarikan diri dari daerah perbatasan. Namun di sepanjang jalan pasukan itu banyak membuat kesengsaraan penduduk, apalagi tingkah laku mereka sering tidak terkendali. Mereka merampas dan menjarah rayah persediaan pangan penduduk, bahkan mereka berlaku kasar terhadap wanita, sehingga acapkali timbul kerusuahan diantara mereka dengan penduduk setempat dan kadangkala kerusuhan yang mereka timbulkan itu berkembang menjadi pertempuran-pertempuran kecil di sepanjangan perjalanan mereka, akibatnya bisa diduga, banyak penduduk yang tidak tahu memegang senjata menjadi korban kebrutalan mereka.

   Penduduk desa menganggap pasukan itu sebagai gerombolan pengungsi yang bertindak brutal karena kelaparan, sehingga mereka terpaksa menjadi perampok. Sama sekali mereka tidak menduga kalau gerombolan itu adalah pasukan asing yang hendak menduduki negeri mereka. Akhirnya situasi seperti itu mengundang simpati para pendekar di seluruh negeri, tanpa diundang mereka datang dari propinsi kiangsu, siang si, ho pak, san tung dan sekitarnya, mnereka mencoba membantu penduduk mengatasi gerombolan tersebut. Bahkan beberapa waktu kemudian muncul beberapa kelompok kekuatan yang lebih tersusun rapi dan memiliki pandangan lain terhadap kemelut di daerah itu, mereka terdiri dari kelompok para pendekar yang dianggap mampu memimpin mereka.

   Demikianlah belasan orang dari rombongan Ciang Kwaan Sit itu harus menghadapi pasukan Sogudai yang berlipat ganda banyaknya, meskipun demikian karena mereka rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, maka untuk sementara mereka dapat bertahan dengan baik. Mereka tetap melawan dengan semangat tinggi. Tapi bagaimanapun juga jumlah mereka terlalu sedikit, satu banding empat dalam sebuah pertempuran tetap merupakan masalah yang serius. Walaupun mereka rata-rata memiliki ilmu silat yang baik, namun di pihak Sogudai terdapat pula jago-jago gulat yang tangguh. Bahkan beberapa saat kemudian Sogudai dan dua orang pengawalnya telah menunjukkan keunggulannya. Beberapa orang anak buah Ciang Kwan Sit terlempar dari arena pertempuran.

   Peristiwa itu semakin membesarkan hati anak buah Sogudai. Mereka lalu mengamuk dan berkelahi seperti serigala haus darah. Apalagi sebagai suku-suku liar dari padang rumput, mereka memang sangat mahir berkelahi dalam kelompok. Di daerah mereka, mereka sudah terbiasa bertarung dalam kelompok melawan harimau ataupun kuda-kuda liar. Dan kini mereka mulai bersikap seperti itu pula. Mereka berkelahi seperti kawanan serigala yang sedang mengepung binatang mangsanya. Ciang Kwan Sit menjadi marah. Di kalangan keprajuritan dia merupakan seorang perwira menengah yang disegani. Ilmu cambuknya tidak ada duanya di jajaran pasukan rahasia. Kini melihat anak buahnya terdesak, kemarahannya tak bisa ditahan lagi. Tangannya segera mengurai cambuk baja yang terbelit d pinggangnya. Lalu dengan garang ie menghentakkan ujungnya!

   "Thaaaaaar! Taaaaar...!" Dua orang anak buah Sogudai terjungkal roboh!

   "Gila! Kubunuh kau...!" Sogudai menjerit marah. Tubuh Sogudai yang tinggi besar itu meloncat ke atas melampaui kepala anak buahnya. Dari ujung lengan bajunya melesat sebuah belati ke arah Ciang Kwai Sit!

   "Siiiiiinggg" Sekali lagi Ciang Kwan Sit menghentakkan cambuknya. Kini ditujukan ke arah datangnya belati.

   "Taaaas!" Ujung cambuknya menghantam badan belati tersebut sehingga arahnya melenceng ke kanan.
(Lanjut ke Jilid 21)

   Pendekar Pedang Pelangi (Seri ke 04 " Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 21
Selanjutnya kedua orang itu berhadapan muka seperti ayam aduan. Dan tampaknya mereka tak ingin saling berbicara lagi, karena kemudian senjata mereka ternyata lebih bersemangat daripada mulut mereka. Ciang Kwan Sit tetap memegang cambuk, sementara tangan Sogudai telah memegang belati besar sepanjang siku tangannya. Belati itu bersinar biru karena tajamnya. Dan di tangan Sogudai benda itu benar-benar mengerikan. Mereka segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sogudai yang kasar dan kuat itu berkelahi dengan liar dan ganas... Belati besarnya melayang-layang mengejar lawan.

   Sementara Ciang Kwan Sit menghadapinya dengan tenang, namun penuh dengan perhitungan. Dia sama sekali tidak melayani kegarangan Sogudai. Dia lebih banyak menghindar dan menjauhi lawannya. Bahkan untuk menahan desakan Sogudai, ia sering melecutkan ujung cambuknya keras-keras. Beberapa kaii senjata mereka beradu di. udara. Dan dengan sifatnya masing-masing, kedua senjata itu berusaha untuk menekan lawannya. Ciang Kwan Sit dengan cambuknya yang lemas dan pan-jang itu selalu mencoba memotong dan menahan gerakan lawan. Sementara Sogudai dengan belati besarnya, tetap merangsak ke depan dengan kekuatan besarnya. Keduanya memang bukan orang sem-barangan. Seperti halnya keturunan suku Mongol lainnya, Sogudai memiliki tubuh yang kokoh dan kuat. Ditambah dengan ilmu silatnya yang tinggi, maka kekuatannya semakin menjadi dahsyat sekali.

   Sebaliknya Ciang Kwan Sit juga mempunyai ilmu silat yang hebat pula. Di kalangan Pasukan Rahasia ilmu cambuknya sangat terkenal. Rekan sepasukannya, mendiang Su Hiat Hong dan Lim Kok Liang, amat segan terhadap ilmu cambuknya. Begitulah, semakin lama pertempuran mereka menjadi semakin seru. Demikian sengitnya, sehingga masing-masing tidak ada waktu lagi untuk melihat sekelilingnya. Mereka tidak sempat pula melihat anak buah mereka. Apalagi arena pertempuran semakin menebar ke segala penjuru. Bahkan sebagian dari mereka kembali memasuki rawa-rawa. Tapi jumlah mereka memang tidak seimbang. Pasukan Sogudai berlipat lebih banyak, sehingga dengan menebarnya arena itu semakin membuat pasukan Ciang Kwan Sit terpecah-belah. Akhirnya setiap prajurit Ciang Kwan Sit harus melawan enam atau tujuh orang lawan. Akibatnya bisa diduga. Satu persatu mereka mati terbunuh.

   
"Lihat! Teman-temanmu sudah mati semua! Mengapa kau tidak menyerah saja?" Sogudai berseru gembira melihat lawannya tinggal Ciang Kwan Sit seorang. Ciang Kwan Sit menggerakkan giginya.

   "Bangsat! Dari mana kau menda-patkan pasukan sedemikian banyaknya, heh? kau tentu bukan gerombolan perampok biasa! Anak buahmu amat terlatih dalam pertempuran! Jangan-jangan kau mau memberontak, ya?"

   "Gerombolan perampok? Kurang ajar...! kau kira kami siapa, heh? Jangankan cuma kau dan kawan-kawanmu itu, bala tentara dari negerimupun takkan mampu melawan pasukan kami, hohohehe!"

   "Hei, kalian...? Jadi kalian ini... pasukan asing?" Ciang Kwan Sit tersentak kaget, sehingga pertahanannya m sedikit mengendor. Akibatnya belati Sogudai menyerempet bahunya. Membuat bahu itu tergores dalam dan hampir memutuskan uratnya. Darah mengucur membasahi pakaian Ciang Kwan Sit. Dan lengan itu terasa lemas dan sulit digerakkan.

   "Gila! kau benar-benar gila!" Ciang Kwan Sit mengumpat. Tapi Sogudai tidak meladeni sumpah serapah Ciang Kwan Sit. Melihat lawannya terluka, sepak-terjangnya justru semakin ganas. Matanya melotot penuh hawa pembunuhan, membuat Ciang Kwan Sit semakin turun semangat tempurnya.

   "Aduuuuh...!" Sekali lagi Ciang Kwan Sit menjerit ketika belati besar itu menghunjam lengannya. Otomatis cambuknya terlepas dari pegangan.

   "Mati kau sekarang...!" Sogudai bersorak kegirangan. Belatinya menyambar ke arah tenggorokan.

   "Traaaaang!" Tiba-tiba belati besar itu terlempar ke udara! Sebutir kerikil menghantam badan belati tersebut! Namun pada saat terakhir ujung belati itu masih sempat menyayat leher Ciang Kwan Sit! Perwira itu terjungkal pingsan dengan darah mengalir dari luka barunya!

   "Aaaah!" Sogudai juga menggeram kesakitan. Dengan muka merah padam Sogudai melihat ke sekelilingnya, mencari orang yang telah mengganggu perkelahiannya. Dan di tepi rawa, di atas sebuah cabang pohon, dilihatnya seorang lelaki setengah baya tertawa ke arahnya. Sogudai tidak segera mengenalnya. Tetapi suara tertawa itu cepat mengingatkannya kembali kepada musuh bebuyutannya selama ini, Bun-bu Siucai (Si Pelajar Serba Bisa) Liu Wan. Dan seperti halnya lima tahun lalu, pemuda itu masih juga menyamar sebagai tabib keliling. Bahkan pakaian dan buntalan obatnya juga masih memakai yang dulu pula.

   "Sogudai! kau masih ingat kepadaku?" Pemuda itu menyapa dan sama sekali tidak peduli pada kawan-kawan Sogudai yang mengepung di bawah pohonnya.

   "Bun-bu Siucai!" Sogudai berdesah dengan suara gemetar.

   "Hahaha" Sogudai... ternyata dugaanku selama ini memang benar. Kedatanganmu ke Tionggoan dulu adalah untuk mencari jalan bagi pasukan Raja Mo Tan. Kini saat untuk menyerbu tampaknya sudah tiba. kau benar-benar dikirim bersama pasukan perangmu menyeberangi Tembok Besar!" Pemuda yang tidak lain adalah Liu Wan itu berseru dari atas. pohon.

   "Bunuh dia...!" Sogudai berteriak marah. Belasan anak panah melesat menuju ke tempat Liu Wan berada. Namun dengan cepat pemuda itu melompat ke cabang yang lain, kemudian berjumpalitan ke bawah, sehingga anak panah itu gagal memburunya. Begitu berdiri di atas tanah, Liu Wan tidak segera melayani Sogudai dan anak buahnya. Sebaliknya dengan tenang pemuda itu menghampiri tubuh Ciang Kwan Sit dan memeriksa luka-lukanya. Baru setelah yakin Ciang Kwan Sit masih hidup, dia berdiri menghadapi lawannya.

   "Sekarangpun belum terlambat! Katakan kepada Rajamu, bahwa kami telah mencium maksudnya! Katakan pula, bahwa bangsa Han tidak akan membiarkan tanah ini diinjak oleh orang seperti dia! Para pendekar telah besatu, menyusun kekuatan untuk menghadapi serbuannya. Lihatlah...! Pasukan para pendekar telah siap bertempur denganmu!" Kata Liu Wan berapi-api. Telunjuknya menuding ke tengah rawa, di mana puluhan kepala tersembul di antara semak dan alang-alang.

   "Gila! Sejak dulu kau selalu merintangi jalanku!" Liu Wan tertawa panjang.

   "Sudah kukatakan dari dulu, bahwa aku paling tidak suka melihat orang asing menginjak-injak dan merusak negeriku!"

   "Bagus! Tampaknya kau memang telah menunggu kedatangan kami. Nah, mari kita selesaikan saja secepatnya! Prajurit, cepat lepaskan panah berapi! Kita undang pasukan yang lain ke tempat ini!"

   Liu Wan terkejut. Otomatis otaknya bekerja. Kalau Sogudai benar-benar mengundang bantuan, berarti kekuatan mereka akan bertambah. Dan bila jumlah bantuan itu sama banyaknya dengan jumlah kekuatan Sogudai sekarang, berarti para pendekar persilatan yang dibawanya takkan menang melawan mereka. Liu Wan cepat memanggil tiga orang kawannya yang bersembunyi di dalam semak di pinggir rawa. Salah seorang di antara mereka berbadan kecil, namun. lengannya tampak lebih panjang dari ukurannya. Orang itu berjalan seperti kera. Tapi ketika sebuah anak panah melesat ke arahnya, tiba-tiba tubuhnya melenting ke udara dengan gesitnya. Dan di lain saat anak panah itu telah berada dalam cengkeraman jarinya.

   "Si Pencuri Sakti Ang Jit Kun!" Sogudai yang sudah terbiasa berkeliaran di Tionggoan itu segera mengenali orang berbadan kecil itu.

   "Ang-heng, pilihlah lima orang berkepandaian tinggi di antara teman-teman kita! Bawalah mereka ke belakang untuk menjaga jalan ke dalam rawa! Kita tidak tahu persis, berapa jumlah musuh yang akan tiba nanti. Kita harus siap untuk mundur bila diperlukan!" Liu Wan berbisik kepada Ang Jit Kun.

   "Baik, Ciok-heng!" Pencuri Sakti itu lalu berkelebat cepat memasuki rawa-rawa kembali. Gerakannya cepat bukan main.

   Pendekar Pedang Pelangi Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ciok-heng! Apa yang harus kami kerjakan?" Dua orang yang datang bersama Ang Jit Kun tadi bertanya kepada Liu Wan.

   "Saudara Un dan saudara Lo, kita bertiga tetap di sini. Kita pimpin rekan-rekan kita menghadapi mereka! Tapi ingat...! Kita harus tetap menjaga, agar kawan-kawan kita tidak keluar dari garis pertempuran! Kita tidak boleh menerobos ke dalam lingkungan musuh! Kita harus tetap berada dalam satu baris tempur." Un Kao dan Lo Su Ti, dua pendekar yang tampaknya merupakan pembantu utama Liu Wan, menganggukkan kepala.

   "Baik, kami tahu maksud Ciok-heng. Kita harus segera bisa menyelamatkan diri kalau terdesak. Tetapi, sebelum bala bantuan mereka datang, kita harus secepatnya mengurangi jumlah mereka. Siapa tahu bala bantuan mereka tidak banyak, sehingga kita bisa menumpasnya? Begitu bukan?" Liu Wan mengangkat ibu jarinya.

   "Bagus! Jiwi memang berpandangan tajam! Marilah! Mereka sudah tidak sabar lagi!" Demikianlah pertempuran tak bisa dielakkan lagi. Masing-masing berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya. Anak buah Sogudai menyerang dengan ganas dan penuh semangat, sementara para pendekar yang dipimpin oleh Liu Wanpun melayani mereka dengan penuh semangat pula. Meski secara perorangan para pendekar itu memiliki kepandaian lebih tinggi, tapi dalam pertempuran besar mereka tetap harus waspada dan dapat menempatkan diri dalam kelompoknya. Sekejap saja dia terlepas dari kelompoknya dan terjebak dalam kepungan lawan, maka akan sangat sulit untuk meloloskan djri.

   Betapapun lihai ilmu silat seorang perajurit, namun siasat dan cara bertempur tetap diperlukan dalam setiap arena. Walaupun demikian kemampuan perorangan juga tak bisa diabaikan. Seorang jago silat tetap lebih berbahaya daripada prajurit biasa. Tanpa senjatapun mereka masih lebih berbahaya daripada prajurit bersenjata. Korban mulai berjatuhan, sehingga jumlah mereka semakin berkurang pula. Tempat yang licin berlumut itu kini mulai tampak kemerahan. Sogudai yang sedang berhadapan dengan Liu Wan juga mulai gelisah pula. Bantuan belum datang, sementara anak buahnya banyak yang telah menjadi korban. Tapi wajah itu segera berseri kembali ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai mendatangi. Benar juga, dari balik pepohonan tiba-tiba muncul belasan orang bersenjata yang segera menceburkan diri ke dalam pertempuran.

   Datangnya bala bantuan yang tidak kecil itu membuat perubahan kekuatan di arena. Pasukan Sogudai yang tadi terdesak, kini berbalik mendesak lawan. Apalagi bala bantuan yang datang masih tetap bermunculan tiada putusnya. Mereka langsung menggempur pasukan pimpinan Liu Wan. Liu Wan cepat memberi isyarat kepada Un Kao dan Lo Su Ti. Perlahan-lahan mereka mundur sambil membawa teman mereka yang terluka. Ang Jit Kun bersama lima orang kawannya segera menebar membuka jalan. Karena mereka memang tak pernah meninggalkan jalan masuk ke dalam rawa, maka pasukan para pendekar itu dengan mudah dapat meloloskan diri. Pasukan Sogudai yang tidak tahu keganasan rawa itu mencoba mengejar mereka. Namun beberapa orang "di antara mereka segera tenggelam-ke dalam lumpur.

   "Jangan masuk ke dalam rawa! Hujani mereka dengan panah!" Sogudai berteriak. Berpuluh-puluh anak panah meluncur mengejar para pendekar itu. Tapi sudah terlambat. Selain gerakan para pendekar itu sangat cepat, kondisi rawa-rawa itu benar-benar sangat membantu mereka Sebentar saja mereka telah lenyap ke dalam rimbunnya semak belukar. Dan di lain saat rombongan para pendekar itu telah menaiki sampan masing-masing dan pergi dari tempat itu. Sogudai berteriak marah. Musuh lama yang telah berada dalam genggaman, ternyata lepas begitu saja.

   * * *

   Sementara itu Liu Wan membawa kawan-kawannya ke kota Lau-ying, sebuah kota kecil di sebelah utara Tai-bong-sui. Mereka langsung menuju ke markas darurat mereka, di sebuah kuil kosong di luar kota. Kedatangan mereka disambut oleh kawan-kawan mereka yang lain.

   "Ciok-heng, kita mendapat tamu dari kota Ling-fu. Sekarang ia berada di dalam bersama kawan-kawan." Seorang lelaki bersenjata golok memberi laporan. Liu Wan mengangguk. Setelah mengatur dan menugaskan beberapa orang kawannya untuk mengurusi yang luka, Liu Wan mengajak si Pencuri Sakti Ang Jit Kun ke dalam untuk menemui tamunya.

   "Ahh...?" Liu Wan berdesah ketika melihat tamunya. Tapi rasa kaget itu cepat disembunyikannya. Dia sedang menyamar sebagai Tabib Ciok sekarang.

   "Selamat bertemu, Ciok Sinshe! Perkenalkan... aku yang rendah bernama Tan Sin Lun, dari Aliran Im-yang-kauw. Mungkin Sinshe masih ingat padaku, karena aku pernah datang mengunjungi pondokmu di kota Hang-ciu lima tahun lalu..." Tamu itu memperkenalkan diri.

   "Ah, tentu saja... tan Siau-heng. Meskipun sudah tua ingatanku masih tetap baik. Hemm, apakah sumoimu yang hilang itu sudah kau temukan?" Liu Wan tetap berusaha bersikap wajar, walaupun hatinya tetap berdebar-debar. Bagaimanapun juga ia harus berhati-hati, sebab sebagai Liu Wan maupun sebagai Tabib Ciok ia sama-sama telah mengenal Tan Sin Lun. Ia harus pandai membawakan perannya. Tan Sin Lun menghela napas panjang.

   "Belum. Malah aku juga kehilangan kakaknya pula. Dan sampai sekarang... Kedua sumoiku itu tak pernah kembali." Mereka lalu duduk di ruangan tengah. Sebelum menanyakan maksud kedatangan tamunya, Liu Wan memperkenalkan kawan-kawannya. Setelah itu baru dia menanyakan keperluan Tan Sin Lun.

   "Ciok Sinshe, rasanya kita semua sudah tahu bahwa suku bangsa Hun bermaksud mencaplok negeri kita. Bertahun-tahun mereka mempersiapkan diri. Dan tampaknya niat itu benar-benar mereka laksanakan sekarang. Mereka melintasi Tembok Besar secara diam-diam!."Liu Wan tidak segera menyahut. Dia tetap berdiam diri menunggu habisnya ucapan Tan Sin Lun.

   "Tapi... gerakan mereka tetap saja tercium oleh para pendekar persilatan. Banyak tokoh-tokoh persilatan yang datang ke daerah ini. Semuanya ingin menghadapi para penyerbu itu. Dan kami dengar... ciok Sinshe berhasil mempersatukan para pendekar itu." Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.

   "Ah, hanya sebagian kecil saja. Di kota-kota lain juga banyak perkumpulan-perkumpulan seperti ini." Liu Wan merendah.

   "Benar, Ciok Sinshe. Di kota Leng-fu, kami juga mendirikan perkumpulan seperti ini. Kami memberi nama Pek-lian-eng (Pendekar Teratai Putih)." Tan Sin Lun melanjutkan kata-katanya.

   "Ya, kami juga sudah mendengarnya, Tan-heng. Bahkan kami pernah bertemu pimpinannya, Huang-ho Siang-kiam Ma Sing." Tan Sin Lun tersenyum gembira.

   "Nah, Ciok Sinshe... Kedatanganku ke sini justru atas perintah Ma Susiok itu. Beliau mengharapkan bantuan Ciok Sinshe."

   "Bantuan? Bantuan apa?" Liu Wan mengerutkan keningnya.

   "Tan Siau-hiap...! Selain memimpin Pek-lian-eng, Ma Taihiap adalah ketua cabang Aliran Im-yang-kauw di bagian utara. Ilmu silat Ma Taihiap jauh lebih tinggi di atas kami. Lalu... bantuan apa lagi yang dapat kami berikan kepadanya?" Ang Jit Kun ikut berbicara. Tan Sin Lun memperbaiki letak duduknya, kemudian merogoh saku dan mengeluarkan segulung kain putih selebar saputangan.

   "Ciok Sinshe...! Sekarang Pangeran Liu Wan Ti berada di dalam benteng Kong-sun Goanswe. Di mana Pangeran Liu mencoba mengajak para pendekar untuk memerangi Raja Mo Tan. Beliau mulai mengumpulkan orang-orang yang betul-betul dapat dipercaya untuk mewujudkan maksudnya itu. Dan kebetulan Ma Susiok terpilih sebagai salah seorang yang mendapat kepercayaan tersebut. Sekarang Ma Susiok juga mulai mengumpulkan kawan-kawan pula. Nah, salah seorang yang sangat dipercaya oleh Ma Susiok adalah... ciok Sinshe! Dan kedatangan kami ke mari untuk menyerahkan undangan. dari Ma Susiok kepada Ciok Sinshe. Silakan diterima...!"

   Liu Wan menerima kain yang disodorkan Tan Sin Lun dan membacanya. Isinya antara lain mengajak Ciok Sinshe dan kelompoknya untuk bergabung dengan barisan Pangeran Liu. Dan dalam waktu dekat Pangeran Liu ingin merundingkan cara mewujudkan rencana mereka. Selesai membaca Liu Wan meminta pendapat rekan-rekannya. Terutama kepada si Pencuri Sakti Ang Jit Kun.

   

Memburu Iblis Eps 12 Pendekar Penyebar Maut Eps 28 Memburu Iblis Eps 8

Cari Blog Ini