Ceritasilat Novel Online

Memburu Iblis 2


Memburu Iblis Karya Sriwidjono Bagian 2




   "Hmmm... Kalau begitu benar juga perkataan Ang-leng Kok-jin tadi. Jadi Lo-Cianpwe dulu pernah mengganggu isteri Ang-leng Kok-Jin. Benarkah..?" Tapi kakek itu tiba-tiba memelototkan matanya.

   "Siapa bilang aku mengganggu isterinya? Huh! Kurang ajar" Justru bocah gila itulah yang menyuruh isterinya untuk menggodaku! Mereka bersekongkol untuk mencuri Im-Yang Tok-Keng dan Po-tok-cu milikku...!" serunya berapi-api.

   "Apa...? Ang-leng Kok-Jin menyuruh isterinya sendiri untuk menggoda" eh, mencuri pusaka milik LoCianpwe? Jadi... jadi?" Tui Lan tak mampu melanjutkan kata-katanya. Gadis itu benar-benar pusing memikirkan urusan orang yang selain amat memalukan juga sangat ruwet itu. Sungguh amat sulit bagi gadis itu untuk menentukan, siapa yang telah berbohong kepadanya dalam hal ini. Ternyata kakek itu merasakan pula keragu-raguan Tui Lan terhadapnya. Maka dengan geram dan penasaran ia berkata,

   "Huh...kau tak percaya kepadaku? Kau lebih mempercayai Ang-leng Kok-jin daripada gurunya, si Giok bin Tok Ong ini, heh"?" Kini giliran Tui Lan yang sangat kaget mendengar nama kakek itu! Giok Bin Tok-ong adalah nama yang tertera di dalam buku Im-Yang Tok-keng. Benarkah kakek yang genit dan tampak kurang ajar ini si Giok-bin Tok-ong, penyusun Im-Yang Tok-keng itu? Ataukah kakek ini hanya membual dan mengaku-aku saja untuk menakut-nakutinya? Tiba-tiba Tui Lan teringat akan kecurigaannya kepada orang tua itu. Tadi malam dia telah mencoba bertanya kepada Ang-leng Kok-jin, sebelum orang tua itu menghembuskan napasnya yang penghabisan. Tapi Ang-leng Kok-jin tidak sempat memberi jawaban. Kini dia ingin bertanya langsung kepada kakek itu.

   "Lo-Cianpwe...? Apakah Lo-Cianpwe ini... si Penyebar Maut yang sangat terkenal itu?" tanyanya hati-hati. Gadis itu sengaja membuang kata-kata "Iblis" di depan sebutan itu, agar supaya kakek tersebut tidak tersinggung dan menjadi marah karenanya. Tapi kakek genit itu ternyata masih tetap marah juga.

   "Kurang ajar! Kau bocah kemarin sore berani menghina aku, ya? Kau persamakan aku dengan pencuri kampungan macam si Iblis Penyebar Maut itu, heh? Bangsat"! Cuh!" tak disangka-sangka kakek itu mengumpat-umpat kasar dan sama sekali tak peduli kalau yang ia hadapi itu seorang gadis. Tui Lan sangat tersinggung dan merah padam mukanya. Apalagi melihat kakek itu meludah seenaknya di depannya sampai-sampai airnya memercik mengenai sepatunya. Namun kemarahan itu terpaksa dipendamnya di dalam hati, karena ia menyadari kelemahannya di hadapan kakek sakti itu. Kakek itu hendak mengumpat lagi namun dari atas tebing tiba-tiba terdengar suara orang memanggil. Suara wanita"!

   "Tui Laaaannn"!" suara itu bergema di dalam jurang.

   "Eh! Itu suara suboku...!" Tui Lan berseru kaget.

   "Siapakah subomu itu, heh?" Kakek itu memotong dengan suara geram.

   "Suboku biasa disebut orang dengan gelar... Si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai!" Tui Lan yang sedang merasa kesal itu menjawab ketus, membanggakan nama gurunya.

   "Apa? Dia bekas pendeta Im-Yang-kauw di desa Ban-cung di Teluk Po-hai...?" kakek yang sangat memandang remeh Si Iblis Penyebar Maut itu tiba-tiba berseru dan membelalakkan matanya.

   "Ya!" Mendadak kakek itu menjadi pucat dan tampak ketakutan. Sikapnya sungguh bertolak-belakang dengan kegarangannya tadi.

   "Wah, kalau yang satu ini,.. yang satu ini... lebih baik aku pergi saja!" gumamnya dengan suara gemetar, lalu melesat pergi dengan tergesa-gesa. Sekejap saja bayangannya telah hilang dari pandangan Tui Lan. Tentu saja Tui Lan melongo keheranan. Gadis itu tak tahu apa yang menyebabkan Giok-bin Tok-ong yang lihai itu menjadi ketakutan mendengar nama gurunya! Mungkinkah kepandaian gurunya itu lebih tinggi daripada Giok-bin Tok-ong?

   "Tui Laaannn!"

   "Subo, teecu disini..." gadis itu berteriak pula menjawab panggilan gurunya. Gadis itu memandang keatas tebing. Dilihatnya gurunya merayap turun dengan cepatnya. Dan sebentar kemudian perempuan tua itu telah memeluk dirinya sambil menangis lega.

   "Anak nakal...! Kemana saja kau semalaman tadi? Habis sudah harapanku untuk bisa bertemu lagi denganmu. Kukira... kukira kau telah berjumpa dengan Iblis itu. Ooohhh...!" Perempuan tua itu berkata tersendat-sendat. Diam-diam Tui Lan juga meneteskan air mata. Baru kali ini ia me lihat gurunya yang terkenal keras dan kejam itu menangis mengkhawatirkan dirinya. Hampir-hampir ia tak percaya melihatnya.

   "Subo...! Teecu sehat-sehat saja. Teecu tidak sampai hati membiarkan keledai itu jatuh ke jurang. Teecu... teecu terpaksa turun melihatnya. Subo... maafkanlah teecu." Akhirnya perempuan tua itu sadar kembali akan keadaannya. Sambil menyeka sisa-sisa air matanya, perempuan tua itu menghela napas panjang.

   "Lalu... di mana keledai itu?" tanyanya perlahan.

   "Dia" dia sudah kukuburkan disana!" Tui Lan menjawab perlahan pula seraya menundukkan kepalanya.

   "Hmm... Lalu bagaimana dengan gigitan ular di kakimu itu?"

   "Seperti yang subo lihat sekarang, teecu tidak apa-apa! Racun ular itu tak berpengaruh apa-apa terhadap tubuh teecu...!" Tui Lan menjawab tegas.

   "Heran! Sungguh mengherankan sekali! Memang sejak kecil keadaan tubuhmu sangat berbeda sekali dengan anak-anak yang lain, tapi aku tak menyangka kalau tubuhmu kebal terhadap racun. Padahal ular itu adalah sejenis ular yang amat berbahaya sekali. Akupun takkan tahan bila terkena gigitannya." Kedua orang guru dan murid itu lalu berdiam diri. Masing-masing sibuk dengan pikiran mereka sendiri. Tapi perempuan tua itu terkejut bukan main ketika melihat bekas ledakan dan sisa-sisa tulang manusia berserakan di dekat tebing.

   "Itu... itu... eh, apa yang telah terjadi di sini?" Perempuan tua itu bertanya dengan mata melotot. Tui Lan terpaksa menceritakan semuanya. Tak satupun yang terlewatkan kecuali tentang buku dan mustika pemberian Ang-leng Kok-jin itu. Tui Lan ingin menepati janjinya untuk tidak memperlihatkan benda-benda itu kepada orang lain, biarpun kepada gurunya sekalipun. Kepada gurunya, Tui Lan juga menuturkan kecurigaannya terhadap Giok-bin Tok-ong yang ketakutan mendengar nama gurunya itu.

   "Giok-bin Tok-ong? Dia mengaku sebagai kakek-guru para iblis ternama dari Ban-kwi-to itu? Ah" yang benar saja! Berapa kira-kira umurnya sekarang...?"

   "Entahlah, subo. Kakek itu masih suka berdandan dan mematut-matut dirinya sehingga masih kelihatan muda. Tapi kalau me lihat kumis dan jenggotnya yang putih, serta punggungnya yang sudah membungkuk, dia tentu berusia lebih dari tujuh puluh atau delapan puluh tahun."

   "Delapan puluh tahunan? Ah, kalau begitu pengakuannya itu mungkin benar juga. Mendiang Tee-tok-ci itu kira-kira berumur empat puluh lima tahun. Jikalau Ang-leng Kok-jin itu berusia enam puluhan tahun, maka kira-kira memang wajar kalau Giok-bin Tok-ong berusia delapan puluhan tahun. Di kalangan mereka memang sudah biasa mengambil murid selagi masih muda. Tapi, mengapa Giok-bin Tok-ong itu takut kepadaku? Rasa-rasanya aku belum pernah mengenalnya. Mendengar namanya pun baru sekali ini. Lain halnya dengan cucu-cucu muridnya yang sangat terkenal itu..." Pendeta Palsu dari teluk Po-hai itu berpikir keras.

   "Subo... kemana saja subo mencari teecu tadi malam? Kenapa subo baru menuruni jurang ini sekarang?"

   "Anak nakal! Subomu mengira kau diculik si Iblis Penyebar Maut itu, sehingga subomu terpaksa mencari kau di kota Soh-ciu dan sekitarnya. Dan ketika subomu sudah hampir putus asa, barulah subomu teringat akan jurang yang dalam." Demikianlah, kedua wanita itu mendaki tebing jurang itu kembali. Berkali-kali si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai itu harus membantu muridnya agar mereka dapat segera berada di atas jurang kembali.

   "Tadi malam aku telah menemui Kang-lam Koai-hiap yang belum sembuh dari luka-lukanya di kota Soh-ciu. Subomu terpaksa menjumpai dia dan para pendekar yang berkumpul di rumahnya untuk meminta pertolongan mereka mencarikan kau." perempuan tua itu berkata kepada Tui Lan setelah mereka berada di atas jurang kembali.

   "Apakah sudah banyak pendekar yang berkumpul di sana, subo?"

   "Bukan main banyaknya. Itu saja belum termasuk dengan para pendekar yang berkeliaran di dalam kota. Dan juga belum termasuk para pendekar sakti yang datang secara diam-diam, karena mereka ingin bergerak sendiri-sendiri."

   "Ah... kalau begitu sungguh kasihan sekali si Iblis Penyebar Maut itu," bibir Tui Lan bergumam tanpa terasa.

   "Apa? Tui Lan, kau bilang apa..?" Pendeta Palsu dari teluk Po-hai tiba-tiba membentak Tui Lan. Matanya mendelik menahan kesal dan marah. Gadis itu cepat menundukkan mukanya dengan ketakutan. Bibirnya yang mungil itu sampai gemetaran ketika menjawab,

   "M-m-maaf subo... Teecu tidak sadar m-me-mengatakannya. T-teecu... teecu..."

   "Anak cengeng! Lalu" apa maksudmu berkata demikian itu? Jawab!" perempuan tua itu menghardik lagi semakin marah. Tui Lan menatap gurunya dengan wajah pucat dan hampir menangis. Air matanya mulai berlinang-linang.

   "Teecu... Teecu tidak bermaksud apa-apa.Sungguh. Entah apa sebabnya... entah apa sebabnya... tiba-tiba saja teecu teringat akan ujar atau kata-kata para arif bijaksana zaman dulu... yang mengatakan... yang mengatakan bahwa... di empat penjuru lautan itu semua manusia bersaudara! Dan.. dan bayi manusia yang dilahirkan di dunia itu... semua putih bersih. Tiada cacat-celanya tanpa noda dan dosa. Kalau toh" kalau toh akhirnya setelah bayi itu menjadi dewasa, masing-masing mempunyai "warna hati" dan "warna kehidupan" yang berbeda, hal itu... Hal itu bukan salah mereka. Mereka terdidik dan terpengaruh oleh lingkungan dan keadaan di sekitar mereka! Begitu pula halnya dengan... dengan si Iblis Penyebar Maut itu! Tentu ada alasannya, kenapa dia sampai berbuat demikian. Sebab... sebab diapun juga seorang manusia pula seperti kita...," gadis itu berkata tersendat-sendat.

   Dapat dibayangkan betapa kesal dan mendongkolnya perempuan tua itu. Baru saja mereka bertemu lagi, gadis itu sudah mulai dengan khotbahnya yang menjengkelkan.

   "Kurang ajar! Kau ini anak kecil tahu apa tentang kehidupan? Berapa usiamu sekarang? Berapa banyak pengalaman hidup yang kau peroleh? Sungguh lancang...! Kau ini benar-benar seekor anak ayam yang belum mengenal kerasnya kehidupan, kejamnya dunia, tapi sudah berani berbicara tentang kehidupan manusia! Jangan kau persamakan 'dunia Angan-angan" yang kauperoleh dari dalam buku itu dengan 'dunia nyata" yang selalu kita hadapi setiap hari ini!" perempuan tua itu berteriak-teriak saking marahnya.

   "Tapi... tapi..." Tui Lan masih juga mau membantah.

   "Diam! Jangan berbicara lagi yang bukan-bukan! Mari kita sekarang berangkat ke kota Soh-ciu...I"

   Tui Lan tak berani menyanggah lagi. Sambil menyeka air matanya, gadis itu melangkahkan kakinya mengikuti gurunya. Mereka menuruni bukit itu dan menyusuri jalan besar yang membelah dusun-dusun di bawah bukit. Beberapa orang petani tampak sedang menggarap sawah ladang mereka, tapi sepanjang jalan itu Tui Lan dan gurunya tak menjumpai seorang wanita atau gadis sekalipun. Yang mereka jumpai selalu laki-laki atau anak kecil seakan-akan dusun-dusun yang mereka lalui itu cuma dihuni oleh laki-laki dan anak-anak. Dan suasananyapun tampak aneh, penduduk Kang lam yang biasa ramah itu kini tampak pendiam dan acuh. Kalau toh mereka berpapasan, mereka tentu melengos atau pura-pura tidak tahu. Anak-anak kecilpun akan segera lari bersembunyi apabila mereka lewat.

   "Lihatlah...! Penduduk Kang lam yang terkenal ramah-tamah itu kini menjadi gelisah dan ketakutan setiap dilihat orang asing. Dan tanahnya yang subur makmur itupun kini menjadi terbengkalai akibat ditinggalkan pemiliknya. Dusun-dusunnya yang dulu bersih dan rapi itu kini juga menjadi rusak dan kotor pula. Nah! Coba kaurenungkan! Siapa yang menyebabkan semua itu? Siapa...?"

   "Si Iblis Penyebar Maut..." Tui Lan menjawab seret.

   "Nah! Itulah...!"

   "Tapi... tapi iblis itu belum tentu orang yang telah membunuh kedua orang tua teecu."

   "Ya, benar. Tapi apa bedanya? Menjadi kewajiban kita untuk menyingkirkan para perusuh dan penjahat yang mengganggu rakyat. Seorang pendekar haruslah..."

   "Tapi teecu bukanlah seorang pendekar..." Tui Lan memotong.

   "Gila! Ya.. sudah! Sudah!" perempuan tua itu berseru kesal dan jengkel, lalu melangkahkan kakinya lebih cepat lagi sehingga gadis itu terpaksa berlari-lari kecil mengejarnya.

   "Subo.!" Perempuan tua itu berjalan terus tanpa mempedulikan panggilan muridnya. Tapi langkahnya mendadak terhenti ketika dari arah depan muncul lima orang lelaki berjalan tergesa ke arahnya. Dan perempuan tua itu segera memegang lengan Tui Lan yang menyusul tiba.

   "Hati-hati!" perempuan tua itu memperingatkan muridnya. Kelima orang lelaki itu dengan cepat telah berada di depan mereka. Langkah kaki kelima orang itu sungguh mantap dan gesit, dan hampir tidak menimbulkan debu sama sekali, sehingga sekali pandang saja setiap orang akan tahu bahwa mereka adalah tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi.

   "Ah, kiranya Kong-tong Ngo-hiap (Lima Pendekar Dari Kong tong) yang datang..!" Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai itu menyambut kedatangan orang-orang itu dengan gembira.

   "Bagaimana khabarnya pertemuan di lembah itu tadi malam? Apakah kita telah mendapatkan cara untuk menangkap iblis itu?"

   "Hei! Rupanya lo-ni (pendeta wanita) telah menemukan kembali anak gadis yang hilang itu!" orang tertua dari Kong-tong Ngo-hiap itu menyapa pula dengan ramahnya. Matanya menatap Tui Lan dari ujung kepala sampai keujung kaki, seolah-olah ingin bertanya, kemana saja gadis itu tadi malam sehingga gurunya sampai kebingungan setengah mati.

   "Dia berada di dalam jurang dibawah bukit itu!" perempuan tua itu cepat menerangkan. Kong-tong Ngo-hiap itu saling berpandangan satu sama lain, kelihatannya ada sesuatu yang mereka pikirkan. Kelima orang itu adalah kakak beradik seperguruan dari Aliran kong tong-pai di Kong-tong-san. Dan secara kebetulan pula mereka berlima adalah saudara sekandung. Masing-masing berusia antara tiga puluh lima sampai empat puluh lima tahun. Dan mereka itu adalah putera sekaligus murid-murid utama dari Kong-tong Cin jin atau Ketua Kong-tong-pai sekarang.

   "Jadi... jadi" lo-ni yang berada di jurang itu pagi tadi?"

   "Eh... ataukah masih ada orang yang lain lagi di sana? Hmm... begini, lo-ni. Jangan kaget..! Tadi pagi salah seorang dari para pendekar telah mendengar suara letusan di dalam jurang itu. Ketika ia mencoba turun ke sana, dia melihat bayangan seseorang di tempat yang gelap itu. Dia tak berani melihat sendiri, oleh karena itu ia melaporkannya kepada Kang Lam Koai-hiap. Kemudian Kang Lam Koai-hiap memerintahkan ayahku untuk memeriksanya. Dan ayahpun lalu mengerahkan kami semua... Dan itulah sebabnya kami berada disini sekarang." Ji Tai lm, orang tertua dari Kong-tong Ngo-hiap itu berkata lagi.

   "Kang Lam koai-hiap...? Dia memberi perintah kepada Kong-tong Cin Jin...?" Si Pendeta Palsu dari Teluk po-hai memotong tak mengerti.

   "Ah, maaf... kami belum memberitahukan hasil dari pertemuan kita tadi malam kepada lo-ni." tiba-tiba Ji Tai Jiang, orang kedua yang bersuara lantang dan keras, menyela percakapan tersebut.

   "Samte (Adik ketiga), coba kau ceritakan sekali lagi kepada lo-ni tentang pertemuan kita tadi malam agar beliau ini tidak bingung!" sambungnya lagi seraya menoleh ke arah Ji Tai Song, pendekar yang paling pandai dan berbakat di dalam Kong-tong Ngo-hiap. Ji Tai Song, yang berusia empat-puluh tahun dan berbadan tegap itu tersenyum menganggukkan kepalanya.

   "Lo-ni! Di dalam pertemuan malam tadi telah diputuskan untuk mengangkat Kang Lam Koai-hiap sebagai pemimpin umum di dalam perburuan ini. Meski Kang Lam Koai-hiap bukanlah orang terpandai atau yang tertua diantara kita, apalagi dia belum sembuh dari lukanya namun semua pendekar telah satu-padu dan bersepakat untuk mengangkatnya sebagai pemimpin. Hal itu kita lakukan demi untuk menghormatinya dan menghargainya sebagai tuan rumah yang paling berkepentingan di dalam urusan ini. Semula orang tua itu memang menolaknya. Tapi kami semua segera mendaulatnya, sehingga dengan berat hati dia terpaksa menerimanya pula," katanya halus dan teratur.

   "Oh... jadi itukah sebabnya dia berani memberi perintah kepada Kong-tong Cin-jin yang berkedudukan tinggi itu?" Si Pendeta Palsu Dari teluk Po-hai tersenyum maklum.

   "Tidak cuma ayahku yang harus tunduk oleh perintahnya. Masih ada ketua partai persilatan lagi yang bernasib sama dengan ayahku. Namun kami semua itu memang sudah kami kehendaki sendiri, semuanya tidak menjadi sakit hati karenanya..." Ji Tai song tersenyum pula diikuti oleh saudara-saudaranya.

   "Tiga ketua partai persilatan? Siapa sajakah mereka itu?" Pendeta Palsu Dari Teluk po-hai menegaskan.

   "Mereka itu adalah ketua-ketua partai persilatan Tai-khek-pai, Ngo-bi-pai dan Tiam-jong-pai."

   "Hei? Ketua Tiam-jong-pai... hek-pian-hok Bi bun Ting (Si Kelelawar Hitam) itu juga datang?" Pendeta Palsu dari Teluk Po-hai itu berseru girang.

   "Benar. Beliau datang bersama-sama dengan ketua Ngo-bi-pai, Ang-kin Siu Li Bidadari Berselendang Merah)."

   "Oh... dia juga datang?" tiba-tiba wajah Pendeta Palsu itu menjadi gelap kembali. Kong-tong Ngo-hiap merasa sangat heran melihat perubahan wajah lawannya. Tapi, mereka berlima tidak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain. Oleh karena itu mereka berlima tidak mau menanyakan terlebih lanjut. Sebaliknya, Ji-Tai Song malah meneruskan ceritanya.

   "Lo-ni...! Oleh Kang Lam Koai Hiap kita semua dibagi menjadi lima rombongan, agar supaya para pendekar yang banyak jumlahnya dan belum saling mengenal itu tidak menjadi ribut atau saling gasak sendiri di dalam menjalankan tugasnya nanti. Dan setiap rombongan itu juga telah memperoleh daerah-daerah sendiri dalam tugasnya. Sementara di dalam operasinya nanti, setiap rombongan itu masih dibagi-bagi lagi menjadi beberapa kelompok, dimana masing-masing pemimpin kelompok itu harus sudah saling mengenal satu sama lain."

   "Ah... begitu rapinya!" si Pendeta Palsu dari teluk Po-hai berdecak kagum.

   "Tentu saja, lo-ni. Selain itu setiap rombongan dan setiap kelompok juga memiliki tanda pengenal dan kata-kata sandi tersendiri, sehingga bentrokan dan salah tangkap diantara kita sendiri dapat dihindari."

   "Wah...kalau begitu aku masuk rombongan yang mana?" Si Pendeta PaIsu dari Teluk Po-hai bertanya bingung.

   "Sebaiknya lo-ni menghubungi sahabatmu dari kelima rombongan itu. Lo-ni bisa menghubungi pimpinannya. Rombongan pertama dipimpin sendiri oleh Kang Lam Koai-hiap. Rombongan kedua dipimpin oleh Ketua Tai-khek-pai Ouw Yang Su. Rombongan ketiga dipimpin oleh Ketua Tiam-jong-pai, Hek-pian hok Li Bun Ting. rombongan ke empat dipimpin oleh Ketua Ngo-bi-pai, Ang kin Siu-li Siauw Hong Li. Dan rombongan terakhir dipimpin oleh ayahku sendiri, Kong-tong Cin-jin." Ji Tai Im memberikan pandangannya.

   "Tetapi...yang lebih baik lo-ni menghubungi Kang Lam Koai-hiap saja. Sebab selain dia itu menjabat sebagai pimpinan umum, dia bisa mencarikan rombongan yang cocok buat lo-ni nanti." Ji Tai Song yang cerdik itu menyela.

   "Ya! Agaknya pendapat adikku tadi memang benar," Ji Tai Im cepat mengiakan kata-kata adiknya.

   "Dimana aku bisa menemui Kang lam Koai-hiap?"

   "Dia berada di dalam kota, di rumah muridnya, yang kini telah disulap menjadi 'markas' para pendekar..."

   "Baiklah! Kalau begitu kami mohon diri untuk menemui Kang lam Koai-hiap," Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai memberi hormat dan menarik lengan Tui Lan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Demikianlah guru dan murid kembali menyusuri jalan yang menuju ke kota Soh-ciu. Semakin dekat dengan kota. semakin sering pula mereka berjumpa dengan para pendekar yang mengambil bagian dalam "perburuan' itu.

   "Subo, demikian banyaknya pendekar-pendekar persilatan yang hadir, tapi kenapa tak satupun terdengar para pemimpin Im-Yang-kauw kita?" Tui Lan tiba-tiba bertanya kepada gurunya.

   "Bukankah dahulu subo pernah bercerita bahwa di kuil Pusat kita terdapat tokoh-tokoh sakti yang mempunyai kesaktian seperti dewa?"

   "Wah, engkau ini benar-benar ceroboh sekali! Tentu saja beliau-beliau itu tidak mempunyai minat sama sekali terhadap urusan-urusan seperti ini. Beliau-beliau itu cuma memikirkan masalah keagamaan saja setiap harinya. Lain tidak..."

   "Tapi subo pernah bercerita, bahwa beberapa orang diantara mereka itu pernah menggegerkan persilatan beberapa tahun yang lalu. Misalnya... sesepuh kita yang bergelar Lojin-ong atau Toat-beng-jin (Manusia Pencabut Nyawa) itu! kata subo, beliau itu bersama dengan Kauw-cu-si (Pengurus Keagamaan Pusat) yang bernama Tong Ciak, pernah malang-melintang di dunia kang-ow tanpa lawan..."

   "Ah, itu kan dulu! beliau itu keluar kuil karena masalah agama atau urusan kita. Beliau itu terpaksa keluar oleh karena telah terjadi bentrokan antara pengikut aliran kita dengan para pengikut aliran Beng kauw dan Mo-kauw!" Tui Lan mengerutkan keningnya.

   "Subo, apakah kedua aliran kepercayaan itu juga mempunyai tokoh-tokoh sakti pula sehingga mereka itu berani melawan kita?"

   "Kau ini bodoh benar! Tentu saja mereka itu mempunyai tokoh-tokoh sakti pula. Kalau tidak, masakan mereka berani bentrok dengan kita?"

   "Siapa sajakah mereka itu, subo?" gadis itu mendesak dengan nada sedikit memaksa.

   "Aaaah...kau ini mau apa bertanya tentang mereka? Mau mengajak berkelahi? Jangan mengada-ada!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu membentak Tui Lan, namun bibirnya tampak sedikit tersenyum.

   "Bukan begitu, subo..." Gadis itu merajuk dengan mulut cemberut.

   "Teecu memang tidak suka berkelahi tapi teecu sangat mengagumi keperwiraan dan kesaktian seseorang, yang digunakan untuk mencipta kebaikan dan kedamaian dunia seperti beliau-beliau itu..."

   "Omong kosong! Siapakah yang mencipta kedamaian dan kebaikan melalui bentrokan dan perkelahian yang membawa korban jiwa? Siapa...?"

   "Ah... semua itu hanya karena salah paham saja! Tak sebuahpun agama yang menganjurkan pertumpahan darah di dunia ini. Apalagi beliau-beliau itu adalah penganut dan pengurus agama yang tekun. Tak mungkin rasanya kalau mereka itu menjadi lalai dan terhanyut ke dalam arus buruk yang tak mereka kehendaki sendiri." Tui Lan cepat menyanggah. Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu terperangah,

   "Nah! Kau sudah mulai dengan khotbahmu lagi!" hardiknya kaku. Tui Lan menjadi kaget pula.

   "Oh, maafkan teecu, subo!" pintanya cepat. Mereka lalu berdiam diri. Perempuan tua itu mempercepat langkahnya, sehingga Tui Lan terpaksa mengikutinya pula. Dan gadis itu sudah tidak berani pula untuk bertanya-tanya lagi. Keinginannya untuk mengetahui tokoh-tokoh tingkat tinggi itu dipendamnya saja didalam hati. Beberapa waktu kemudian tembok kota Soh-ciu telah terlihat di depan mata mereka. Bangunannya yang tinggi-kokoh mengelilingi kota itu tampak megah dan perkasa, meskipun dinding-dindingnya telah berwarna kehitaman dimakan jamur. Pintu gerbangnya yang luar biasa besar itu dicat dengan warna merah tua, meskipun di beberapa tempat juga telah luntur dimakan usia tua pula.

   Parit dalam dan lebar yang digali mengelilingi tembok itu tampak penuh dengan air, sehingga sepintas lalu bagaikan sebuah sungai yang mengalir mengitari kota Soh-ciu. Tui Lan dan gurunya melintasi jembatan gantung yang melintang di atas parit itu. Banyak orang lalu-lalang melewati jembatan itu, namun tak seorang wanitapun yang mereka lihat selain mereka sendiri, sehingga kedatangan mereka itu benar-benar menarik perhatian orang-orang di sekeliling mereka, apalagi wajah Tui Lan yang cantik menarik itu benar-benar merupakan sebuah pemandangan yang menyegarkan mata. Pintu gerbang itu dijaga oleh enam orang perajurit bersenjata tombak, mata mereka segera melotot begitu melihat Tui Lan datang. Empat orang diantara mereka segera mencegat langkah gadis itu.

   "Berhenti sebentar! Nona siapa dan datang dari mana? Apakah nona tidak tahu kalau kota ini sedang dilanda kerusuhan? Mengapa nona datang kemari?" salah seorang bertanya. Wajahnya yang kasar itu tampak berkeringat, sementara tombaknya yang panjang itu dilintangkan di depan Tui Lan. Tui Lan berhenti dan melirik ke arah gurunya yang berdiri tak jauh darinya.

   "Terima kasih! Cuwi tak usah mengkhawatirkan nasib kami berdua. Kedatangan kami kemari sekali ini justru hendak menengok atau melihat-lihat kerusuhan itu. Kami berdua ingin melihat macam apa Si Iblis Penyebar Maut yang ditakuti orang itu. Nah... bolehkah kami lewat sekarang?" gadis itu berkata dengan tenang dan halus.

   Para penjaga itu tersentak kaget. Begitu pula dengan orang-orang yang tanpa sengaja berhenti memperhatikan mereka. Semua orang malah menjadi gelagapan melihat ketenangan gadis cantik itu dan semua orang itu baru menjadi sadar tatkala gadis dan gurunya itu tiba-tiba telah lenyap dari tempat mereka! Para penjaga itu melongo dan membalikkan badan mereka. Dan mereka melihat gadis cantik itu telah melangkah memasuki kota bersama perempuan tua itu. Semuanya benar-benar tidak tahu cara bagaimana kedua wanita itu lewat dari depan mereka. Semuanya hanya melihat perempuan tua itu berkelebat cepat ke depan, seperti menyambar ke arah gadis cantik itu, dan kemudian hilang lenyap dari pandangan mereka.

   "Uh! Ternyata... ternyata mereka berkepandaian tinggi!" penjaga itu bergumam kecewa malah, karena tak bisa menggoda gadis yang sangat menarik hatinya itu.

   "Ya! Untunglah gadis itu tidak menjadi marah""

   "Itulah kalau kita melupakan pesan pimpinan. Bukankah Han Cian-bu kemarin telah memperingatkan kita semua, agar berhati-hati menghadapi orang-orang yang berdatangan ke kota kita? Dalam beberapa hari ini kota Soh-ciu dibanjiri para pendekar dari seluruh negeri. Kita tidak boleh sembrono menghadapi mereka."

   "Ya. Tapi siapa yang tak terpikat dengan gadis secantik dia? Sudah beberapa hari kita cuma melihat lelaki me lulu...

   " penjaga yang pertama tadi membela diri. Sementara itu Tui Lan dan gurunya telah jauh meninggalkan mereka.

   "Subo, kemanakah kita sekarang?" gadis itu bertanya kepada gurunya setelah beberapa saat lamanya mereka berjalan di dalam kota.

   "Kita makan dahulu. Nah, di seberang jalan itu ada restoran! Mari kita ke sana!" Sekali lagi kedatangan mereka didalam restoran itu telah menarik perhatian semua orang. Selain Tui Lan itu memang sangat cantik, di dalam ruangan yang penuh pengunjung itu memang tiada wanita lain selain mereka berdua. Namun demikian perempuan tua itu tenang-tenang saja ketika mengajak Tui Lan duduk di kursi yang tersedia. Tui Lan melirik ke sekitarnya. Dilihatnya semua mata memandang ke arah dirinya, sehingga diam-diam ia menjadi kikuk juga.

   "Subo, semua orang memandang ke arah kita," bisiknya perlahan kepada gurunya.

   "Siapa bilang? Lihat ke belakangmu! Pemuda itu sama sekali tak menggerakkan kepalanya meskipun kita duduk di dekatnya." Pendeta Palsu dari teluk Po-hai itu mencibirkan mulutnya ke arah belakang Tui Lan.

   Tui Lan menoleh sekejap. Tapi waktu yang hanya sekejap itu telah lebih dari cukup bagi Tui Lan untuk mengetahui s iapa yang duduk di belakang dirinya. Seorang pemuda tinggi kurus, sangat kurus sekali malah, tampak sedang menghadapi cawan kecil yang penuh berisi arak hangat. Di atas mejanya terletak dua guci arak yang kelihatannya telah habis isinya. Sebenarnya wajah pemuda itu sangat tampan. Namun karena terlalu kurus serta kurang terawat dengan baik, maka wajah itu tampak pucat seperti orang yang baru menderita penyakit berat. Apalagi kulit di sekitar matanya yang tajam luar biasa itu tampak kehitam-hitaman, seakan-akan pemuda itu tidak pernah tidur selama berhari-hari. Dan pemuda itu hanya duduk sendirian di mejanya. Pelayan rumah makan itu datang mendekati Tui Lan dan mencatat masakan yang dipesan oleh gadis itu dan gurunya.

   "Nona, rombongan pemuda yang ada di dekat pintu itu mengundang nona untuk makan bersama kalau mau..." pelayan itu tiba-tiba berbisik kepada Tui Lan. Jari tangannya menunjuk ke arah pintu dimana empat orang pemuda yang sedang memandang dan tersenyum ke arah mereka.

   "Hmm, kurang ajar...!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai menggeram namun cepat-cepat ditahan oleh Tui Lan.

   "Subo jangan lekas marah! Kita tak perlu melayani kekurang-ajaran mereka." gadis itu membujuk gurunya seraya tersenyum.

   "Tapi orang itu terlalu menghinamu! Dikiranya kau ini gadis apa? Huh!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai itu tetap mengomel.

   "Sudahlah, Subo! Bersabarlah. Kita tak perlu melayani segala macam lelaki seperti mereka! Itu hanya akan merendahkan martabat kita sendiri nanti. Tujuan kita kemari adalah untuk makan lalu mencari Kang Lam Koai-hiap. Yang lain tak usah kita pikirkan!" Tui Lan terus saja menenangkan hati gurunya. Gadis itu lalu berkata kepada pelayan yang masih berdiri gemetar di dekatnya.

   "Nah, katakan kepada mereka bahwa aku sedang sibuk dan tidak ada waktu untuk melayani kelakar mereka! Begitu! Dan... eh, ya... kau tahu rumah Kang Lam Koai-hiap di kota ini?"

   "Ya... ya, saya tahu, kouw-nio (nona). Rumahnya berada di ujung jalan ini! Apakah kouw-nio ini keluarganya?" pelayan itu bertanya semakin ketakutan. Tui Lan tidak mengacuhkan pertanyaan pelayan itu. Sebaliknya gadis itu merogoh sekeping uang tembaga dari dalam sakunya, dan memberikannya kepada pelayan itu.

   "Nah, kau pergilah sekarang...!" perintahnya halus.

   "Terima kasih! Terima kasih!" pelayan itu mengucapkan terima kasih dengan membungkukkan tubuhnya berulang-ulang, lalu cepat-cepat pergi meninggalkan Tui Lan dan gurunya yang galak itu. Di dekat pintu pelayan itu berhenti lalu mengatakan pesan Tui Lan tadi kepada rombongan pemuda yang telah menunggunya. Dan pelayan itu segera pergi ketika tamu-tamunya itu menjadi marah.

   "Siapa yang berkelakar? Kurang ajar...!" salah seorang di antaranya berdiri sambil menggebrak meja.

   "Kami mengundangnya secara baik-baik! Siapa bilang para pendekar Tai-khek-pai suka berkelakar?" serunya penasaran.

   "Klinting...! klinting...klinting...!" Selagi para tamu di dekat pintu itu menjadi ribut melihat ulah pendekar Tai-khek-pai tersebut, tiba-tiba di luar halaman terdengar kelintingan kuda mendatangi. Dan sebentar kemudian seorang pemuda tampan berpakaian bagus dan mahal memasuki restoran tersebut. Seorang bocah tanggung berpakaian sederhana, yang agaknya adalah seorang pelayan atau kacung, tampak membuntuti di belakangnya. Dua buah tangannya menjinjing barang-barang bawaan pemuda tampan tersebut. Pemuda itu menoleh kesana-kemari mencari tempat duduk. Pelayan restoran cepat menyambutnya. Tapi serentak terlihat oleh pemuda itu wajah Tui Lan yang cantik kakinya segera melangkah mendekati.

   "A Cang...Beli meja ini!" pemuda itu berbisik kepada kacungnya seraya menunjuk meja pemuda kurus tadi. Bocah tanggung itu cepat menghubungi pelayan restoran yang menyambutnya tadi. Dikeluarkannya uang setengah tail perak dari kantung uang yang dibawanya.

   "Nih, uang setengah tail! Terimalah...! Tapi tolong kaukosongkan meja di belakang gadis cantik itu karena majikanku hendak memakainya! Cepat!" katanya berlagak seperti orang besar. Tentu saja pelayan restoran itu melongo melihat uang sebanyak itu. Uang sebanyak itu bisa untuk makan tiga atau empat orang di restorannya. Tapi perintah itu sungguh sulit dilaksanakan. Bagaimanapun juga tak mungkin ia mengusir tamu yang belum selesai menikmati makanannya.

   "Ini... ini... oh, bagaimana ini..?" pelayan itu berdesah gugup seraya memandangi uang perak yang ada di telapak tangannya. Kacung itu tersenyum acuh, lalu mendekati tuannya kembali. Dan pemuda tampan itu sendiri tampak sedang pasang aksi di belakang Tui Lan. Sambil mengipasi tubuhnya dengan kipas sutera yang mahal, pemuda kaya itu sebentar sebentar mematut-matut pakaian yang dikenakannya. Berkali-kali matanya melirik kepada Tui Lan.

   "Brengsek benar anak-anak muda sekarang!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai ini mengomel lagi dengan kesal melihat lagak si kaya itu. Sementara itu si pelayan restoran masih tetap salah tingkah dan kebingungan. Sambil mendekati pemuda kurus yang sedang menikmati araknya itu ia mengeluh panjang-pendek.

   "Ini..., ini... wah, bagaimana ini? Aku... aku..." Tiba-tiba si pemuda kurus itu berdiri dari kursinya. Sekilas matanya menyambar ke arah Tui Lan dan pemuda kaya itu. Kemudian mulutnya yang sejak tadi diam itu berkata kepada si pelayan restoran,

   "Jangan bingung menerima uang sebanyak itu! Kebetulan aku juga sudah tidak berselera lagi untuk meneruskan minumku. Aku akan pergi. Nih, akupun dapat memberimu uang pula! Terimalah!" Pemuda kurus itu melangkah pergi. Tangannya melemparkan uang setengah tail pula kepada pelayan itu. Bukan perak, tapi...emas!

   "Hah? Ini...? Tuan, ini...?" pelayan itu terbelalak, lalu pingsan. Tangannya masih tetap mencengkeram uang emas itu! Uang emas yang nilainya dapat untuk membayari semua tamu yang sedang makan-minum saat itu! Untuk beberapa saat tempat itu menjadi ribut. Para pelayan yang lain segera berdatangan menolong pelayan itu. Mereka menggotongnya ke ruangan dalam, sementara para tamu yang lain segera duduk kembali di tempat masing-masing. Dan si pemuda kaya itu mempergunakan kesempatan tersebut untuk mengambil alih meja si pemuda kurus tadi.

   "Hei! Hei...! Enak saja duduk di tempat orang! Kami telah menungguinya sejak tadi. Ayoh! Sllahkan mencari meja yang lain!" mendadak para tamu itu dikejutkan lagi oleh suara bentak orang. Semua mata tertuju ke bekas meja si kurus lagi. Di sana terlihat si pemuda kaya itu telah dikepung oleh empat orang Pendekar Tai-khek-pai tadi. Tapi pemuda itu sendiri masih tampak tenang-tenang saja di kursinya.

   Memburu Iblis Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Sungguh menyebalkan!" Si Pendeta Palsu Dari Teluk Po-hai yang menyaksikan ulah anak-anak muda di depannya itu menggerutu kesal. Tui Lan menundukkan mukanya yang kemerah-merahan. Namun di dalam hatinya ada juga perasaan bangga, karena dirinya menjadi pusat perhatian orang orang itu, bahkan secara tidak langsung menjadi rebutan malah. Mereka berlomba-lomba mendekatinya dan berlomba-lomba menarik perhatiannya. Sementara itu "perang dingin" yang terjadi di belakang dirinya semakin menjadi panas juga! Rombongan pemuda yang mengaku sebagai pendekar-pendekar dari Tai-khek-pai itu sudah mulai membentak dan menggebrak meja lawannya! Meskipun demikian si pemuda kaya dan kacungnya itu ternyata masih tetap tenang-tenang saja di tempatnya.

   "Anak manis! Kau jangan mentang-mentang mengandalkan uangmu yang banyak itu untuk berbuat seenakmu di sini. Ini bukan rumah nenekmu! Ini tempat umum, tahu?" Si pemuda kaya itu akhirnya mengerutkan dahinya. Lambat-laun ia menjadi risih dan marah juga. Namun demikian tampaknya ia masih belum mau melayani para pengganggunya. Sambil menghela napas ia menoleh kepada kacungnya.

   "A Cang! Aku baru enggan berbicara dengan orang lain. Wakililah aku melayani orang-orang dari hutan ini! Terserah kepadamu, apa yang hendak kaulakukan terhadap mereka! Kau lempar ke halamanpun juga boleh!"

   "Baik, Siauwya (tuan muda)...

   " Bisa dibayangkan, bagaimana marahnya keempat pendekar Tai-khek-pai itu. Mereka adalah murid-murid utama Ouw-yang Su, pendekar kenamaan yang kini menjabat sebagai Ketua Tai-khek-pai di Siong-san. Belum pernah mereka menerima hinaan serupa itu.

   "Bangsat keparat! Kau sudah bosan hidup rupanya!" Salah seorang dari empat pendekar Tai-khek-pai itu yang sejak tadi selalu mengumpat-umpat dan marah-marah tiba-tiba menendangkan kakinya ke arah meja si pemuda kaya itu! Tapi bersamaan dengan itu si kacung juga melintangkan kakinya di depan meja tersebut. Maka tak dapat dicegah lagi kedua kaki mereka lantas beradu satu sama lain! Bresssss!

   "Aduuuuuuuuuh!" pendekar Tai-khek pai itu berteriak setinggi langit. Tubuhnya berputar-putar sambil terpincang-pincang sementara kedua tangannya berusaha memegangi kakinya yang sakit. Sebaliknya kacung yang bernama A Cang itu kelihatan tersenyum simpul ditempatnya. Dengan lagak yang kocak ia membungkuk, lalu menyibakkan pipa celananya. Dan semua orang segera melihat sarung pedang yang terbuat dari besi terselip di sana. Benda itulah yang membikin pendekar Tai-khek-pai tadi melolong-lolong kesakitan.

   "Kurang ajar! Kau anak kecil bermain curang!" pendekar Tai-khek-pai yang lain segera melabrak kacung itu.

   "Hei! Hei! Kenapa kalian mengeroyokku? Sungguh tidak punya malu! Kalau berani...satu lawan satu, dong!" kacung itu menjerit-jerit seraya mengelak dan berputaran mengelilingi tuannya.

   "Samwi suheng (suheng bertiga) lepaskan monyet itu untukku. Biar aku saja yang meremukkan tempurung kepalanya!" pendekar yang kesakitan kakinya tadi berteriak.

   "Cap-sute(adik ke sepuluh), berhati-hatilah..! Bocah ini ternyata berisi juga!" ketiga orang Tai-khek-pai yang mengejar-ngejar A Cang itu berteriak pula, lalu berhenti. Dan dibiarkannya saja kacung itu berhadapan sendiri dengan adik seperguruan mereka. Sementara itu mereka bertiga lalu mengepung si pemuda kaya, yang masih enak-enakan duduk di kursinya. Suasana menjadi tegang. Para tamu yang duduk berdekatan dengan tempat itu segera menyingkir, termasuk Tui Lan dan gurunya. Perempuan tua itu hampir saja tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Untunglah Tui Lan dengan cepat bisa mengekangnya.

   "Subo, marilah kita mencari kursi yang lain saja di pojok sana!" Gadis itu membujuk seraya menarik lengan gurunya.

   "Hitung-hitung kita menonton sebuah pertandingan silat secara gratis..."

   "Hmm... mau menonton atau ingin menghindari kekerasan? Kalau ingin menonton... ya, di sini dong! Dekat!" perempuan tua itu mengikuti langkah muridnya seraya mengejek.

   "Ah, subo ini...sudah tua senangnya cuma bertengkar melulu!" Tui Lan menggerutu. Tapi sebelum pertempuran itu benar-benar meletus, dari ruangan dalam tiba-tiba muncul si pemilik restoran sambil menjerit-jerit.

   "Tahan! Jangan berkelahi! Jangan berkelahi! Jangan rusakkan rumah makanku! Silahkan cuwi keluar saja kalau ingin berkelahi...!" Tubuh yang gemuk itu menghambur keluar dan menerjang ke arah arena. Namun dengan sigap si pemuda kaya itu bangkit menahannya. Kemudian pemuda itu mengeluarkan uang satu tail emas dari sakunya.

   "Sssst! Jangan ganggu permainan ini! Aku sudah terlanjur berminat untuk menikmatinya. Nih, uang satu tail emas! Uang ini dua kali lipat pemberian si kurus yang sombong tadi bukan? Simpanlah. Tapi biarkanlah pertunjukan ini terus berlangsung, kukira uang itu lebih dari cukup untuk mengganti seluruh perabotan rumah-makan ini. Bagaimana...?"

   "Oh, terima-kasih! Terima kasih..!" pemilik rumah makan itu tiba-tiba tertawa kemudian melangkah mundur dengan mengangguk-angguk.

   "Nah, A Cang... teruskan permainanmu! Lemparkan orang hutan itu keluar halaman!" si pemuda kaya itu lalu berseru ke arah kacungnya.

   "Baik, Siauwya...!" A Cang menjawab gembira.

   "Keparat! Kubunuh kau, haram jadah!" lawan si A Cang menggeram dan menyerang. Orang itu adalah murid termuda dari Ouw-yang Su yang berjumlah sepuluh orang.

   Wataknya berangasan dan suka berkelahi. Sebenarnya sebagal murid ketua partai persilatan terkemuka, kepandaiannya cukup tinggi. Namun karena terlalu sering bertindak sembrono dan kurang waspada, maka dia sering memperoleh kesulitan apabila berhadapan dengan musuh yang setingkat atau lebih tinggi kepandaiannya. Begitu pula halnya dengan ketiga suhengnya yang kini sedang mengepung si pemuda kaya itu. Sebagai murid Ouw-yang Su yang nomer tujuh, delapan dan sembilan, kepandaian mereka itu juga cukup tinggi. Lebih tinggi dari pada murid yang kesepuluh itu malah. Namun karena mereka bertiga itu juga masih terlalu muda pula, apalagi mereka itu juga terlalu membanggakan kesohoran guru mereka maka keadaan mereka juga tidak berbeda dengan adik seperguruan mereka itu.

   Sebaliknya, kacung itu meskipun masih sangat muda, tapi sikap dan pembawaannya ternyata lebih tenang dan berhati-hati dibandingkan lawannya. Oleh karena itu biarpun ilmu silat yang dikeluarkannya itu biasa-biasa saja tapi kenyataannya dia bisa melayani semua gebrakan lawannya dengan baik. Malahan sering kali dengan ketenangannya itu dia bisa mencuri kesempatan untuk mendahului musuhnya. Akibatnya bisa diduga, murid ke sepuluh dari Tai-khek-pai itu sering kecolongan sebuah pukulan atau tendangan. Memang tidak begitu telak, namun hal itu sudah membikin pendekar Tai-khek-pai itu semakin marah dan penasaran! Tentu saja ketiga suhengnya semakin terbakar melihat keadaan itu!

   "Bangsat! Siapakah sebenarnya kau ini?" murid yang ke tujuh menggeram dan membentak ke arah lawannya, sipemuda kaya itu.

   "Kulihat kau tidak mengenakan tanda-tanda yang diberikan oleh Kang Lam Koai-hiap, Apakah engkau Si Iblis Penyebar Maut itu hah?" Pemuda kaya itu tiba-tiba tertawa panjang.

   "Hahaha... siasat kuno! Kau sungguh cerdik sekali! Melihat keadaan adikmu yang tidak menguntungkan itu kau lantas menuduh orang seenaknya untuk mencari dukungan orang luar, haha...!"

   "Diam! Kalau kau memang bukan Si Iblis Penyebar Maut itu, hayo... katakan kepada kami! Siapakah kalian ini?"

   "Nah, pertanyaan itu baru patut untuk dijawab. Tapi... benahilah dulu hatimu sebelum mendengarkan jawabanku, agar engkau tidak menjadi kaget atau... ketakutan. Hahahaha...!"

   "Bangsat sombong! Lekas katakan!" Pemuda kaya itu tertawa lagi dengan pongahnya. Lalu serunya kepada A Cang yang sedang bertempur melawan musuhnya,

   "A Cang...! Coba sebutkan namaku di depan mereka!" Kacung itu juga tertawa seperti tuannya. Kemudian untuk sesaat ia mendesak lawannya dengan pukulan dan tendangan berganda, sehingga pendekar Tai khek-pai itu terpaksa meloncat mundur menjauhi. Dan kesempatan itu dipergunakan oleh A Cang untuk melaksanakan perintah tuannya.

   "Majikanku ini putera keluarga Tiauw dari Lautan Timur! Beliau bernama... Kiat Su! Di dunia kang-ouw beliau digelari orang Kim-mou-eng (Rajawali Berbulu Emas)!" teriaknya keras sekali. Untuk beberapa saat nama itu memang sangat mengejutkan para pengunjung rumah-makan itu, terutama jago-jago dari Tai-khek-pai tersebut. Namun bukan nama si pemuda itu yang mengejutkan mereka, melainkan disebutkannya nama Keluarga Tiauw dari Lautan Timur itulah yang sangat mengagetkan mereka! Nama Keluarga Tiauw sangat tersohor di dunia kang-ouw, terutama di pantai laut Timur, karena nama itu adalah nama keluarga raja perompak, yang ditakuti dan berkuasa di seluruh Lautan Timur. Tidak seorangpun yang tidak mengenal nama Tung-hai-tiauw (Rajawali Laut Timur) yang sangat ganas dan kejam itu!

   "Kau... kau she Tiauw? Apakah kau masih mempunyai hubungan keluarga dengan Tung-hai-tiauw?" Salah seorang dari pendekar Tai-Khek itu menegaskan, suaranya mulai goyah.

   "Beliau adalah ayahku!" Tiauw Kiat Su menjawab dengan suara galak. Lalu katanya lagi dengan nada mengejek,

   "Nah..., apa kataku! Kalian mulai ketakutan, bukan?"

   "Kurang ajar! Siapa yang takut kepadamu? Samwi suheng, bunuh bocah sombong itu!" lawan A Cang berteriak berang, kemudian menyerang kacung itu lagi.

   "Bagus! Siapa takut kepada sampah masyarakat seperti ayahmu? Lihat serangan!" pendekar ke tujuh dari Tai-khek-pai membentak, lalu menyerang Tiauw Kiat Su. Otomatis kedua adik seperguruannya ikut menyerang juga. Demikianlah, pertempuran itupun tak dapat dielakkan lagi. A Cang menghadapi murid termuda dari Tai-khek-pai sementara Tiauw Kiat Su melawan keroyokan tiga orang suhengnya.

   Dalam gebrakan pertama itu masing-masing pihak belum mempergunakan senjata mereka. Masing-masing baru mempergunakan ilmu silat tangan kosong mereka. Tai-khek-pai mengandalkan Tai-khek-kun mereka yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Yaitu suatu ilmu pukulan yang didasarkan atas keuletan dan kedalaman Iweekang pemiliknya. Semakin tinggi dan semakin dalam lweekang pemiliknya, maka semakin dahsyat pula pengaruh ilmu itu atas lawannya. Gerakan-gerakannya sangat halus dan selalu diawali dengan gerakan orang bersemadi, sehingga ilmu itu mempunyai pengaruh yang kuat dan menghanyutkan lawannya. Sebaliknya ilmu silat Tiauw Kiat Su dan Kacungnya tampak sangat kasar dan buas, seolah-olah semua gerakannya hanya bertujuan membunuh atau membikin cacat lawannya.

   Jurus-jurusnyapun penuh dengan jebakan atau tipuan yang mematikan lawan, sehingga rasa-rasanya ilmu itu sangat brutal dan tak berperikemanusiaan! Memang ilmu itu sungguh amat cocok untuk para perompak atau bajak-laut yang mengandalkan hidupnya di dunia kekerasan dan kekejaman. Dua puluh jurus telah berlalu. A Cang telah mulai mendesak lawannya, begitu pula dengan Tiauw Kiat Su, tuannya. Meskipun dikeroyok tiga, putera Tung-hai-tiauw itu dengan mudah dapat menguasai lawan-lawannya. Ilmu silatnya yang kasar dan ganas, apalagi dengan lweekang dan ginkangnya yang jauh lebih tinggi dari pada lawan-lawannya itu, membuat dia seperti algojo yang sedang mengejar-ngejar binatang buruannya.

   "Srrrrt!" Tiba-tiba seperti diberi komando saja, keempat pendekar Tai-khek-pai itu mencabut senjata mereka secara berbareng! Senjata yang dapat dilipat dan disembunyikan di bawah baju itu, ternyata adalah sebuah tombak pendek, sepanjang lengan pemiliknya, dengan mata tombak bercagak di kedua ujungnya! Dan mereka memegang tombak itu tepat di tengah-tengahnya, dimana terdapat lobang sebesar ibu jari tempat untuk memutar-mutarkan senjata itu bila diperlukan. Melihat lawan mereka telah mengeluarkan senjata Tiauw Kiat Su dan kacungnya juga tidak mau ketinggalan pula. Pemuda itu cepat-cepat mengeluarkan kipasnya.

   Namun yang ia keluarkan bukanlah kipas suteranya tadi, tapi yang dia keluarkan adalah kipas khusus yang terbuat dari lembaran-lembaran baja tipis. Sedangkan A Cang dengan tangkas juga mencabut pedang pendeknya pula, yang tadi ia selipkan di dalam kain celananya. Maka merekapun lalu bertempur pula lagi dengan sengitnya. Dengan pedang di tangannya, A Cang yang masih sangat muda itu bertempur semakin keras dan liar. Sebaliknya dengan tombak kebanggaannya, lawannya yang berwatak berangasan itu juga melayaninya dengan brutal pula. Alhasil mereka berdua berkelahi bagaikan binatang buas yang kesetanan. Sehingga mereka itu rasa-rasanya bukan bermain silat, tetapi sedang mengadu otot melalui ayunan senjata mereka. Terdengar gemuruh dentang senjata mereka, bila kedua senjata mereka saling bertemu di udara.

   Akibatnya para pengunjung restoran itu terpaksa tidak bisa menikmati makanan mereka. Pertempuran sengit tersebut memaksa mereka untuk pergi meninggalkan meja mereka. Mereka berkumpul berdesakan di pinggir arena, menyaksikan pertempuran itu. Termasuk pula diantara mereka itu adalah Tui Lan dan gurunya. Namun berbeda dengan gurunya yang amat asyik menonton pertandingan itu, Tui Lan yang tak suka kekerasan itu justru menoleh kesana-kemari, mencari pemuda kurus yang tadi duduk di belakang dirinya. Namun sampai lelah matanya mencari, si pemuda kurus itu tetap tak diketemukannya juga. Tampaknya pemuda itu telah pergi meninggalkan halaman restoran tersebut. Sementara itu pertempuran antara Tiauw Kiat Su melawan tiga orang pengeroyoknya ternyata juga tidak kalah pula dahsyatnya dari pada pertempuran kacungnya itu.

   Hanya saja cara perkelahian mereka sungguh amat jauh berbeda dengan cara kacungnya itu. Meskipun jurus-jurus yang dikeluarkan oleh pemuda itu juga amat kasar dan keji, namun cara membawakannya ternyata amat berlainan. Pemuda itu lebih menitik-beratkan lweekang dan ginkangnya dari pada beradu tenaga menonjolkan gwa-kangnya. Bagaikan seekor lebah beracun Tiauw Kiat Su berterbangan kesana-kemari mengelilingi lawan-lawannya, untuk kemudian sesekali tampak menyengat lawan apabila mereka lengah. Ternyata dengan modal lweekang dan ginkangnya yang lebih tinggi dari pada lawan-lawannya, pemuda itu tetap bisa menguasai pertempuran. Malah beberapa waktu kemudian kipas besinya mampu mengoyak kulit para pengeroyoknya pula.

   "Heh he he, monyet-monyet malang! Sekarang kalau kalian hendak meminta ampun kepadaku, jangan harap aku akan mengabulkannya. Apapun yang akan terjadi, kalian tetap akan kubunuh, hehehe! Tapi kalau kalian mau memilih cara kematian yang kalian ingini, aku masih mempertimbangkannya. Hmm, apakah kalian ingin mati... dengan kepala terpisah dari tubuh kalian? Atau..., kalian ingin dipotong dulu tangan dan kaki kalian, sebelum isi perut kalian nanti kukorek keluar seluruhnya? Coba, mana yang kalian pilih?" pemuda itu mengejek dengan kata-katanya yang sangat menyakitkan.

   "Kurang ajar! Bajak laut keji adooouh!!" pendekar yang ke tujuh dari Tai-khek-pai itu tiba-tiba memekik, lalu roboh terguling-guling di atas lantai. Darah segar tampak menyembur bagai pancuran dari lengan kirinya yang putus tersabet kipas lawan.

   "Jit-suheng...!" ketiga orang Sutenya menjerit pilu. Untuk sesaat ketiga orang itu menjadi lengah. Dan kesempatan ini tentu saja tak disia-siakan oleh Tiauw Kiat Su dan kacungnya yang kejam itu. Dengan amat licik mereka menyerang dari belakang.

   "Srrrrt! Srrirrrrrt!"

   "Auwgh...!" lawan A Cang dan pendekar ke delapan dari Tai-khek-pai yang berada di depan Tiauw Kiat Su menjerit berbareng. Keduanya lantas jatuh berkelojotan di atas lantai. Pinggang mereka benar-benar terbuka lebar sehingga isi perutnya juga benar-benar tertumpah keluar seperti kata-kata Tiauw Kiat Su tadi.

   "Oooooooooh!" semua penonton berdesah ngeri. Sebaliknya Tiauw Kiat Su dan kacungnya tertawa tergelak gelak!

   "Wah... ternyata kalian berdua memilih kematian yang nomor dua! Hahaha...!" pemuda itu mencemooh lawannya itu.

   "Subo...!" Tui Lan menjerit lirih seraya memeluk gurunya. Tak tahan melihat pemandangan yang mengerikan itu.

   "Tidak apa-apa, anakku. Itulah akibatnya kalau mempunyai ilmu silat terlalu rendah. Dengan gampang ia akan dihina dan dipermainkan oleh yang kuat," dengan tenang gurunya berkata.

   "Subo! Marilah kita pergi dari tempat ini!" Tui Lan memohon kepada gurunya.

   "Sebentar! Lihatlah! Ada dua orang wanita memasuki arena...!"

   "Tahaaaaaan...!" dua orang gadis manis tiba-tiba meloncat ke dalam arena seraya berseru nyaring. Kedua gadis yang baru datang itu masih amat muda pula.Usia mereka sekitar delapan belas atau sembilan belas tahun. Masing-masing membawa selendang berwarna kuning dan putih di pundaknya. Gadis yang berselendang kuning cepat menghampiri pendekar Tai-khek-pai yang putus tangan kirinya tadi. dengan cekatan ia mengobati dan membalut lengan yang putus tersebut. Sedangkan gadis yang berselendang putih segera menghadapi Tiauw Kiat Su dan kacungnya. Sementara pendekar Tai-khek-pai yang masih sehat, yaitu pendekar yang ke sembilan, tampak menangisi kematian suheng dan Sutenya.

   "Ah! Ini dia datang lagi dua gadis manis. Hemm, ternyata banyak juga gadis yang masih tertinggal di kota ini. Tapi kenapa sejak kemarin aku tak melihatnya?" dengan sikap congkak Tiauw Kiat Su menyambut kedatangan dua orang gadis manis itu. Sambil berkata pemuda itu menoleh kesana-kemari mencari Tui Lan.

   "Pemuda kejam, siapakah kau?" gadis berselendang putih itu membentak.

   "Hati-hati, Cici! Dia putera kesayangan Tung-hai-tiauw dari Lautan Timur.!" pendekar ke sembilan dari Tai-khek-pai itu cepat memberitahu.

   "Lebih baik Cici pergi saja meninggalkan tempat ini dan memberitahukan keadaan di sini kepada gurumu, Ang-kin Sian-li! atau Cici menolong aku untuk memberitahukan keadaan kami ini kepada guruku!"

   "Kukira kita tak perlu repot-repot, Twako. Biar kucoba saja dahulu kepandaian pemuda ini...!" gadis berselendang putih, yang ternyata adalah murid Ang-kin Sian-li Siauw Hong Li itu menjawab tenang.

   Gadis itu tersenyum membesarkan hati pendekar Tai-Khek-pai tersebut. Perlahan-lahan gadis itu me lolos gelang emas yang melingkar di kedua pergelangan tangannya, lalu mengikatnya di ujung selendangnya. Dan sementara itu saudara seperguruannya yang tadi mengobati pendekar ke tujuh dari Tai-khek pai, juga telah selesai membalut lengan pendekar itu.

   "Twa-suci (kakak seperguruan tertua), berhati-hatilah! Senjata mereka mengandung racun," katanya seraya mendekati gadis berselendang putih itu. Dan seperti kakak seperguruannya yang berselendang putih itu gadis yang memakai selendang kuning tersebut juga mengikatkan gelang emasnya di ujung selendangnya.

   'Wah! Wah! Nanti dulu, nona manis. Aku tidak bermusuhan dengan kalian berdua, aku dan kacungku ini tak pernah bermusuhan dengan wanita. Sungguh! Marilah kita berbicara baik-baik!" Tiauw Kiat Su yang tak dapat menemukan Tui Lan itu cepat-cepat menyambut dengan suara manis kepada murid-murid Ngo-bi-pai itu.
(Lanjut ke Jilid 03)

   Memburu Iblis (Seri ke 03 - Darah Pendekar)
Karya : Sriwidjono

   Jilid 03
"Tak perlu bermanis muka di depan kami. Kalian telah membunuh dua orang kawan kami. Dan hal itu sudah berarti tidak ada perdamaian diantara kita. Sekarang kalian tinggal memilih ikut bersama-sama kami menghadap Kang Lam Koai hiap atau bertanding mengadu jiwa di s ini!"

   "Oho...sombongnya! Lihat, A Cang! Kita berdua disuruh menakluk kepada mereka. Maukah kau?" Tiauw Kiat Su tertawa menyeringai.

   "Siauwya disuruh menyerah kepada mereka? Uh?.. enaknya! Dari pada begitu, lebih baik kita membunuh saja mereka! Habis perkara!" pemuda tanggung itu menjawab seenaknya.

   "Bagus! Kalau begitu bersiaplah!"

   "Tampaknya kedua gadis ini agak berbeda dengan orang-orang Hutan itu!" Kedua orang gadis Ngo-bi-pai itu segera menyiapkan senjata selendangnya. Mula-mula ujung selendang itu di putar-putarkannya seperti baling-baling. Semakin lama semakin besar, sehingga akhirnya putaran selendang itu menyerupai sebuah payung yang dapat digerakkan di sekeliling tubuh mereka.

   

Pendekar Penyebar Maut Eps 11 Pendekar Penyebar Maut Eps 11 Pendekar Penyebar Maut Eps 5

Cari Blog Ini