Ceritasilat Novel Online

Pendekar Penyebar Maut 5


Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono Bagian 5




   "Jadi maksud saudara Chu, oleh karena kedua macam racun yang masuk ke dalam tubuh anak muda ini sudah bersahabat sejak semula, maka biarpun kedua racun itu sangat berbahaya tapi tidak akan membahayakan lagi pada tubuh anak muda ini, begitukah?" Baginda menegaskan lagi dugaannya.

   "Benar! Karena sudah bersahabat, maka kedua buah racun itu sudah tidak lagi berbahaya bagi anak muda ini." Pemuda she Chu itu mengangguk.

   "Lalu... kalau racun-racun itu sudah tak membahayakan lagi, kenapa dia masih tetap meninggal dunia juga?"

   "Secara umum anak muda ini memang telah dianggap mati, tetapi dipandang dari sudut ilmu ketabiban, keadaan seperti yang terjadi pada tubuh anak muda ini belumlah dianggap mati. Jantungnya belum berhenti sama sekali. Hanya karena denyut itu sudah sangat lemah sekali, maka orang sudah tidak merasakannya lagi. Padahal jantung itu masih bergetar dan getaran yang amat lemah inilah yang Hongsiang rasakan sebagai getaran-getaran aneh itu."

   "Jadi menurut pendapat saudara Chu anak muda ini belum mati, bukan? Tetapi yang sangat kuherankan ialah apa yang menyebabkan hawa murninya menjadi hilang lenyap? Padahal yang aku ketahui hawa murni itu hanya dapat hilang apabila orang itu sudah mati!"

   "Iya... ya. bagaimana sih sebenarnya hal ini? Sudah mati dikatakan belum mati, dikatakan masih hidup hawa murninya khok sudah lenyap...jadi yang mana yang benar?" nona Ho tampak sangat penasaran.

   "Hongsiang, hawa murni yang asli dari anak muda ini masih tetap ada di dalam tubuhnya, karena hawa murni tersebut merupakan dasar daripada kekuatan hidup manusia pada umumnya. Tapi apabila hawa murni yang Hongsiang maksudkan itu adalah hawa murni yang diperoleh anak muda ini sejak ia berlatih silat, maka dugaan dari Hongsiang bahwa hawa murninya telah lenyap adalah benar. Hawa murni atau tenaga murni yang diperoleh anak muda ini sejak ia mulai berlatih silat telah lenyap bersamaan dengan hilangnya denyut nadi serta berhentinya aliran darahnya. Hal itu disebabkan karena hawa murni yang didapatkan orang ketika berlatih ilmu silat disimpan di dalam aliran darahnya, supaya hawa murni tersebut dapat bergerak terus berputar-putar di seluruh tubuh. Maka ketika jantung dari anak muda ini sudah tidak mampu lagi mengalirkan darahnya, otomatis hawa murni yang terkandung di dalamnya merembes dan bergerak keluar hingga habis."

   "Wah, kalau begitu percuma juga, ya...buat dia! Walau dapat hidup kembali seperti semula, tetapi sudah hilang lenyap semua tenaga murninya. Percuma saja ia belajar silat selama ini," nona Ho turut menyesal, apalagi bila teringat kembali pada penuturan guru dari anak muda ini. Pemuda ini baru saja menamatkan pelajaran silatnya dan bermaksud merantau untuk menambah pengalaman sebanyak-banyaknya. Tidak tahunya malah mendapatkan kerugian bagi hidupnya!"

   "Benar. Anak muda ini harus mulai berlatih serta menghimpun lagi tenaga murninya sejak dari awal kembali, jika ingin pulih kembali seperti sediakala. Dan hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun pula untuk dapat mencapai tingkatan seperti yang ia capai sekarang..." pemuda she Chu itu menegaskan pendapat nona Ho.

   "Lalu kapan anak muda ini menjadi sembuh dan hidup kembali?" nona Kwa yang sedari tadi hanya diam saja itu bertanya.

   "Tunggu saja hingga besok pagi...!" orang she Chu itu menjawab.

   "Ha... kalau begitu sambil menanti dia hidup kembali, harap saudara Chu bercerita tentang enci Bwe Hong...!bagaimana khabarnya bidadari itu?" nona Ho menagih janji. Pemuda she Chu itu menunduk sambil menghela napas berulang-ulang, sehingga teman gadisnya yang cantik itu menghibur dengan lemah lembut.

   "In-kong (tuan penolong), ceritakanlah semuanya! Bukankah kita sampai kemari juga ingin menanyakan kepada mereka, kalau-kalau mereka pernah melihat adik Bwe Hong?"

   "Eh... ada apa sebenarnya dengan enci Bwe Hong? Apa...apakah dia telah...ooh!" nona Ho menjadi khawatir juga melihat tingkah kedua kawan akrabnya itu.

   "Hongsiang, maafkan hamba kalau kesedihan hamba ini membuat pesta kecil ini menjadi agak terganggu kegembiraannya..." Pemuda itu meminta maaf kepada Kaisar Han.

   "Tenanglah, saudara Chu! Baiklah kau ceritakan saja semuanya kepada kami! Siapa tahu aku dapat memberi bantuan kepada kalian," Baginda bersabda.

   "Terima kasih, Hongsiang." Maka berceriteralah pemuda itu dengan jelas apa yang telah terjadi di dalam keluarga mereka selama beberapa tahun ini. Setelah Kaisar Chin jatuh dan Kaisar Han naik takhta pada lima tahun yang lalu, mereka berdua, pemuda itu dan adik perempuannya yang bernama Chu Bwe Hong, kembali ke rumah mendiang orang tua angkat mereka, yang mengasuh mereka semenjak masih kecil. Sebenarnya mereka berdua masih mempunyai seorang ayah, yang kini menjabat sebagai pendeta agung, di kuil istana sejak Kaisar Chin masih berkuasa. Tetapi mereka lebih suka menyendiri di tempat yang terpencil itu untuk merawat makam ayah ibu angkat mereka yang tercinta.

   Mereka berdua menolak dengan halus tawaran Kaisar Han yang kini berada di hadapan pemuda itu untuk menduduki sebuah jabatan di kalangan pemerintahan. Ibu dari kedua kakak beradik tersebut adalah keturunan langsung dari salah seorang datuk persilatan, yang hidup pada kira-kira delapan puluhan tahun yang lalu. Kakek mereka tersebut bergelar Bu eng Sin-yok-Ong (Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan), yaitu salah seorang dari Empat Datuk Besar Persilatan yang hidup pada jaman itu! Maka dari itu biarpun mereka berdua kakak beradik berdiam di tempat yang terpencil, ternyata setiap harinya banyak orang berdatangan ke rumah mereka untuk berobat. Mereka berdua sudah terkenal sebagai ahli waris dari kakek mereka yang mahir ilmu pengobatan itu.

   Bertahun-tahun kedua kakak beradik itu hidup berbahagia di tempat itu. Apa lagi ketika selang dua tahun kemudian sang kakak telah meresmikan peminangannya dengan Kwa Siok Eng, seorang gadis yang pernah ditolong oleh pemuda itu dari penyakit lumpuh yang menyerang seluruh anggota badannya. Padahal gadis itu adalah putri dari seorang tokoh ilmu sesat yang sangat sakti, bernama Kwa Eng Ki, yang kini menjabat sebagai ketua Tai Hong-pai (Partai Silat Kuburan Besar). Sebuah partai silat yang didirikan oleh salah seorang dari Empat Datuk Besar Persilatan juga!

   Kwa Siok Eng sering datang dan menginap di rumah itu untuk beberapa hari sehingga mereka bertiga benar-benar kelihatan berbahagia. Sang kakak juga tidak ingin lekas-lekas meresmikan perkawinannya, karena pemuda tersebut bermaksud untuk mengawinkan adik perempuannya terlebih dulu. Ternyata suasana berbahagia di rumah itu tidak dapai bertahan lama. Kwa Siok Eng yang sering datang ke tempat itu merasakan adanya suatu perubahan pada calon adik iparnya yang cantik bagai bidadari itu. Terasa gadis ayu itu semakin kelihatan kurus dan menderita batinnya. Ketika hal itu disampaikan oleh Kwa Siok Eng kepada Chu Seng Kun calon suaminya, pemuda itu juga sangat heran sekali. Beberapa kali dia juga memergoki adik perempuannya tersebut yang melamun sendirian di tempat sepi. Akhirnya datanglah malapetaka itu!

   Jilid 04
Pada suatu hari Chu Bwe Hong pergi berbelanja ke kota yang terdekat seperti yang dia lakukan selama ini, sedangkan Chu Seng Kun berada di rumah melayani tamu-tamu yang datang berobat kepada mereka. Tetapi hingga larut malam hari Chu Bwe Hong belum juga pulang. Tentu saja Chu Seng Kun menjadi gelisah main! Maka itu begitu orang-orang yang datang berobat kepadanya habis, malam itu juga Chu Seng Kun menyusul adiknya ke kota. Semua toko dan warung telah menutup pintu mereka. Waktu telah menunjukkan jam 10 malam. Jalan telah menjadi sepi, hanya sebuah warung minum saja yang masih kelihatan terbuka pintunya. belasan orang tamu tampak memenuhi tempat itu.

   Suara mereka terdengar sampai ke jalan, memecahkan kesunyian malam. Chu Seng Kun lebih dahulu menanyakan ke toko langganan mereka, tetapi pemilik toko yang telah menutup pintu itu mengatakan bahwa nona Chu Bwe Hong telah pulang sejak siang tadi. Tentu saja keterangan itu membuat Chu Seng Kun semakin merasa khawatir dalam hatinya. Khawatir terhadap keselamatan adiknya, biarpun dia tahu bahwa adiknya bukanlah seorang gadis yang lemah. Sebagai ahli waris dari salah seorang Datuk Besar Persilatan yang berkepandaian sangat tinggi. Tetapi Chu Seng Kun juga menyadari betapa banyaknya orang sakti di dunia ini. Chu Bwe Hong adalah seorang gadis yang cantik. Luar biasa cantik malah! Hal itulah yang membuat kakaknya semakin mengkhawatirkan keselamatan adiknya tersebut.

   Chu Seng Kun tahu betapa banyaknya hidung belang di dunia ini. Padahal biarpun telah berusia 23 tahun. Chu Bwe Hong masih merupakan seorang gadis yang hijau dalam pengalaman, terutama dalam hubungan laki-laki dan wanita. Apalagi menghadapi kelicikan manusia! Chu Seng Kun berusaha menanyakan kepada setiap kenalan mereka di kota itu. Tapi setiap kali ia mengetuk pintu, jawaban mereka selalu sama. Mereka tidak tahu. Malam semakin larut. Akhirnya Chu Seng Kun pergi ke warung yang masih terbuka pintunya tadi. Ia ingin sekedar mengurangi ketegangan dan beban pikirannya dengan sedikit minum arak di tempat itu. Tak seorangpun dari sekian banyaknya orang yang sedang duduk-duduk di dalam warung itu memperhatikan kedatangannya, selain pemilik warung yang telah dikenal baik oleh pemuda itu.

   "Oh, Chu siauw-sinshe! Mari! Mari! Wah... tumben malam-malam begini pergi ke kota. Ada keperluan yang penting agaknya...!" dengan tersenyum lebar pemilik warung itu mempersilahkan Seng Kun masuk. Chu Seng Kun tersenyum pula sambil mengangguk. Diambilnya kursi yang terletak di dekat pintu yang kebetulan sedang kosong. Dari tempat itu ia dapat mengawasi seluruh ruangan tanpa terlihat oleh siapapun. Lalu ia mengamit pemilik warung itu agak mendekat.

   "Paman Ciu, engkau kebanjiran langganan rupanya. Alamat banyak untung, nih!" Chu Seng Kun membuka pembicaraan.

   "Iya... Siauw-sinshe (tabib muda). Dari pagi belum beristirahat, hampir patah rasanya tulang-tulangku yang tua ini" minum apakah Chu siauw-sinshe?"

   "Arakmu saja bawa ke sini! Aku mau minum sebanyakbanyaknya malam ini!"

   "Hei? Sungguh? Tumben benar! Baru kali ini Chu siauwsinshe kulihat minum arak!" pemilik warung itu terbelalak keheranan. "Sedang resah hati agaknya!"

   "Benar, paman Ciu. Aku sedang kehilangan adikku. Sejak pagi tadi ke kota ini dan sekarang belum pulang!"

   "Ah, siang tadi nona Chu juga lewat di depan warungku ini.Setiap orang saya kira mengetahuinya juga."

   " Ya" tapi sampai sekarang dia belum pulang juga," Chu Seng Kun mengeluh.

   "Ahh... Chu siau-sinshe jangan putus-asa dahulu. Siapa tahu nona Chu mengambil jalan memutar dan kini sudah ada di rumah malah. Atau" mungkin nona Chu telah berjumpa dengan kawan lama dan... hei! Tadi siang nona Chu memang berjalan dengan seorang teman""

   "Hah? Benarkah? Ke mana perginya? Macam apakah temannya itu?" Seng Kun lupa diri sehingga pundak pemilik warung itu ia cengkram serta diguncang-guncang dengan keras. "Ohh... paman Chu, maafkan aku!" katanya meminta maaf begitu menyadari tindakannya yang kasar itu.

   "Aduh" Chu Siauw-sinshe hampir saja meremukkan tulang pundakku"" pemilik warung itu meringis kesakitan. Tapi orang itu lantas menyadari isi hati pemuda yang berdiri di hadapannya, sehingga dengan cepat iapun tersenyum kembali. Lalu dibimbingnya Chu Seng Kun ke tempat duduknya lagi.

   "Tenanglah, Chu siauw-sinshe! Memang siapa yang takkan bingung kalau salah seorang keluarganya sampai hilang tak tentu rimbanya. Apalagi dia seorang gadis yang telah dewasa. Nah, Chu sauw-sinshe" kulihat tadi siang nona Chu berjalan bersama-sama dengan seorang laki-laki muda berperawakan tinggi kurus, berpakaian secara orang terpelajar. Mereka berdua berjalan ke arah utara. Orang itu" "

   "Terima kasih, paman Ciu!" Seng kun berbisik dan sekejap kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dari depan pemilik warung itu.

   "Bukan main"!" orang she Ciu itu menggeleng-gelengkan kepala saking kagumnya.

   "Siapa dia? Diakah yang digelari orang Keh-sim Siauwhiap (Pendekar Patah Hati)?" Tiba-tiba pemilik warung itu merasa tangannya dipelintir orang dari belakang. Sakitnya bukan main!

   "Bu-bukan"! D-dia bukan", bukan", eh siapa yang kau sebut tadi?" pemilik warung itu menjawab dengan gagap dan lucu.

   "Dia bukan Keh-sim Siauwhiap maksudmu?" orang yang memelintir tangan pemilik warung itu menggertak lagi,

   "Jangan membohong! Kupatahkan lenganmu nanti!"

   "Jangan! Jangan kau patahkan lenganku! aku tidak membohong", Pemuda itu bukanlah Keh-sim Siauwhiap! Pemuda itu bernama Chu Seng Kun...dia...dia adalah seorang tabib ter... aduuh!" Orang itu kembali ke tempat duduknya setelah mendorong tubuh pemilik warung tersebut hingga membentur tembok.

   "Heh" lama benar kau keluar? Apakah Twa-suheng sudah datang?" Enam orang kawannya yang duduk di meja itu bertanya. Tak seorangpun dari mereka yang mengetahui peristiwa di depan pintu warung itu.

   "Huh, Twa-suheng belum kelihatan datang. Sebenarnya aku tak sabar lagi. Kenapa untuk menghadapi satu orang saja, suhu memerintahkan kita semua berangkat? Kenapa tidak salah seorang saja dari kita yang disuruh berangkat menghadapi bangsat itu?" orang yang baru datang itu bersungut-sungut.

   "Jit-te ( adik seperguruan ke-7)! Tahan kata-katamu! Kita tidak boleh terlalu memandang rendah Keh-sim Siauwhiap!" Salah seorang dari mereka membentak orang yang baru datang itu. Tiba-tiba dari meja yang berada di dekat mereka berdiri seorang laki-laki berbadan kekar memberi hormat ke arahmereka.

   "Ah, agaknya cuwi sekalian juga berurusan dengan Keh-sim Siauwhiap seperti kami..." Orang yang membentak adik seperguruannya tadi cepat pula berdiri membalas penghormatan itu untuk mewakili adik-adik seperguruannya.

   "Benar! Kami memang mempunyai sebuah urusan yang harus kami selesaikan bersama. Antara kami dan Keh-sim Siauwhiap! Maaf, apakah cuwi mengenal dia pula?" jawabnya berhati-hati.
"Ahaa, kalau begitu kita mempunyai tujuan yang sama.Kami juga mempunyai sebuah urusan yang harus kami selesaikan dengan dia! Ah, maaf kami belum memperkenalkan diri. Kami empat orang ini adalah pembantupembantu Song-tie-koan (pembesar Song) dari kota Tie-an. Orang memanggil kami berempat dengan Tiat-I Su-jin (Empat Orang Berbaju Besi). Sekarang bolehkah kami mengenal nama besar dari cuwi sekalian?" kata orang berbadan kekar itu sambil memperkenalkan diri mereka.

   Tiga orang yang duduk satu meja dengan orang itu segera berdiri pula untuk memberi hormat kepada ke-7 orang itu dengan penghormatan pula. Mereka tidak ingin berbuat sembrono dihadapan petugas petugas Negara, meskipun di dalam hati mereka tidak begitu menyukainya. Soalnya setiap mereka melakukan tugas pekerjaan mereka, mereka harus selalu berhubungan dengan para petugas Negara.

   "Oh, kami ber-7 benar-benar tidak mengira dapat berjumpa dengan Tiat-i Su-jin di tempat ini. Kami semua adalah pengawal Kim-liong Piauw-kiok (Perusahaan Pengangkutan Naga Mas) yang berkedudukan di kota Sin-yang."

   "Kim-liong Piaw-kiok? Wah, kalau begitu kita masih merupakan sahabat lama sebenarnya. Kami telah sering bertemu dengan saudara Thio Lung, pemimpin Kim-liong Piaw-kiok. saudara Thio Lung sering berkunjung ke tempat tinggal Song-tie-koan. Haha" kalau begitu mari kita duduk dalam satu meja saja. Kita rayakan pertemuan malam ini dengan arak!" ajak orang bertubuh kekar tersebut dengan sangat gembira. Mereka lalu makan minum sepuas-puasnya.

   "Thio Lung adalah Twa-suheng kami (kakak seperguruan yang tertua). Karena sedang mengurus sesuatu urusan maka Twa-suheng kami itu akan datang kesini agak terlambat" Tapi sebentar lagi tentu akan tiba," kata orang yang membentak adik seperguruannya tadi.

   "Ji-sute"! Ini aku sudah datang!" Tiba-tiba terdengar suara di luar pintu. Dan sebelum gema suara itu lenyap, orangnya telah berada di antara mereka. Pertemuan itu menjadi semakin meriah. Orang yang bernama Thio Lung itu benar-benar seorang yang ramah dan pandai bicara. Sesuai benar dengan jabatannya sebagai pemimpin perusahaan pengangkutan yang selalu berhubungan dengan para langganan. Itulah agaknya menjadi sebab mengapa suhunya mempercayakan perusahaan Kim-liong Piaw-kiok itu kepadanya.

   "Saudara Thio"! Lama sungguh kita tidak pernah berjumpa...!" Mendadak pula terdengar sebuah suara dari pojok ruangan. Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahun dengan kumis dan jenggot lebat tampak berdiri menghadap ke arah mereka.

   "Hei... Li-Taihiap rupanya (pendekar Li)!" Thio Lung tersentak keheranan. "Angin apakah kiranya yang meniup Li-Taihiap, sehingga jauh-jauh dari kota Tie-kwan di lembah Sungai Huang-ho, sampai di kota kecil ini?"

   "Ha-ha... Agaknya sama juga persoalannya dengan cuwi semua. Aku juga ada sedikit urusan dengan Keh-sim Siauwhiap,"kata orang yang disebut dengan nama Pendekar Li itu sambil mengambil tempat duduk di antara mereka pula. Thio Lung memperkenalkan pendekar itu kepada teman-temannya yang lain.

   "Inilah Li-Taihiap yang ternama itu. Beliau menjadi sangat ternama tidak hanya disebabkan oleh Jit-seng Kiam-hoat (Ilmu Pedang Tujuh Bintang) beliau yang hebat, tetapi juga disebabkan karena harta benda beliau yang berlimpah-limpah. Beliaulah ahli waris satu-satunya dari mendiang Perdana Menteri Li Su"" katanya. (Li Su adalah perdana menteri dari Kaisar Chin yang lama).

   "Ah, saudara Thio ini... kenapa mesti mengungkit-ungkit nama seseorang yang telah tiada"" sahut Pendekar Li kurang senang.

   "Maafkan siauwte kalau begitu. Sebenarnya siauwte hanya ingin meyakinkan kepada semua orang bahwa Li-Taihiap bukanlah seorang pendekar sembarangan seperti kami semua ini."

   "Ya" tapi justru karena khabar seperti itulah yang menyebabkan Keh-sim Siauwhiap mengirim orang-orangnya untuk merampok semua isi rumahku. Sehingga aku terpaksa pergi ke tempat ini untuk mengambil kembali barangbarangku itu," kata Pendekar Li dengan geram.

   "Oh" jadi hal itukah yang menyebabkan Li-Taihiap jauh jauh datang ke sini? Kalau begitu memang hampir sama juga persoalannya dengan urusan kami orang-orang Kim-liong Piauw-kiok. Hanya bedanya barang-barang yang mereka rampok dari kami itu bukan barang-barang kami sendiri tapi barang-barang yang dititipkan orang kepada kami," kata Thio Lung dengan menggeram pula.

   "Wah, agaknya Keh-sim Siauwhiap itu memang seorang manusia yang serakah dan suka mengganggu orang lain." Tiat-I Su-jin ikut berbicara.

   "Beberapa orang tahanan yang berada di bawah pengawasan kami juga mereka ambil dan mereka lepaskan begitu saja. Maka kami terpaksa mencari pula orang itu untuk mempertanggungjawakan perbuatan yang dilakukan oleh para anak buahnya tersebut." Sementara itu selagi orang-orang tersebut memperbincangkan urusan mereka masing-masing.

   Chu Seng Kun tampak mendatangi tempat itu kembali. Wajahnya kelihatan kusut dan lelah. Ia telah jauh berlari-lari ke arah utara untuk mencari adiknya tanpa hasil. Ia malah bertemu dengan rombongan gadis-gadis cantik yang sangat mencurigakan. Gadis-gadis itu menanyakan letak warung minum milik orang she Ciu itu, sehingga hampir saja Chu Seng Kun yang sedang berhati kusut itu bentrok dengan mereka. Dan ternyata di dalam warung itupun Chu Seng Kun hampir bentrok pula dengan orang-orang tersebut. Roman mukanya yang muram, lesu dan tak bergairah hidup itu membuat orang-orang yang sedang mencari Keh-sim Siauwhiap tersebut menjadi salah duga terhadap dirinya. Wajahnya yang tampan, usia yang masih muda dan roman mukanya yang seperti orang patah hati itu membuat orang-orang tersebut menyangka dirinya Keh-sim Siauwhiap!

   Pemilik warung yang sekali lagi memberi keterangan tentang siapa sebenarnya pemuda itu ternyata juga tidak dipercaya oleh mereka. Apalagi kedatangan Chu Seng Kun saat itu tepat tengah malam seperti saat yang dijanjikan oleh Keh-sim Siauwhiap kepada mereka.Baru setelah rombongan gadis yang pernah dijumpai Chu Seng Kun di luar kota itu memasuki warung tersebut, kesalahpahaman itu menjadi jelas. Orang-orang itu baru menyadari akan kesalahan mereka. Ternyata gadis-gadis tersebut adalah anak buah Keh-sim Siauwhiap yang diperintahkan untuk menjemput mereka semua. Akhirnya orang-orang itu meninggalkan warung tersebut bersama-sama dengan gadis-gadis cantik itu. Chu Seng Kun dengan lesu duduk kembali di atas kursi ditemani pemilik warung itu.

   "Chu siauw-sinshe, bagaimanakah"? Kenapa tadi terus berlari begitu saja? Tidak bertemu dengan nona Chu, bukan? Tentu saja tidak! Bukankah nona Chu telah berangkat siang tadi? Sekarang sudah tengah malam. Paling tidak nona Chu telah menempuh jarak 100 lie lebih... Eh, Chu Siauw-sinshe! Kata-kataku tadi sebenarnya belum habis. Aku menyimpan sebuah barang kepunyaan orang yang pergi bersama-sama dengan nona Chu tapi""

   "Heh? Benar? Benda apakah itu?" Chu Seng Kun terlompat dari tempat duduknya. "Cepat perlihatkan kepadaku, paman! Apa...Apakah orang itu menginap di sini?" Pemilik warung itu mengangguk lalu bergegas masuk ke dalam diikuti oleh Chu Seng Kun. Dari dalam almari penyimpanan arak orang itu mengambil sebuah topi lebar dengan kain sutera tipis sebagai penutup pinggirannya. Benda itu diperlihatkan kepada Chu Seng Kun yang lalu mengamat amati benda tersebut dengan teliti.

   "Sudah pernah mengenal topi ini, Chu siauw-sinshe?"

   "Belum pernah!" Chu Seng Kun menjawab lemah.

   "Nah, siauw-sinshe. Sekarang pulang beristirahatlah!"

   "Tidak! Aku mau pulang malam ini juga. Siapa tahu Chu Bwe Hong telah berada di rumah"" Tapi rumahnya tetap sepi. Ia menanti lagi sampai pagi, siang, sore" adiknya tetap tidak kembali. Beberapa hari ia menanti, kadang-kadang ia pergi ke kota untuk menanyakan tentang Chu Bwe Hong, tetapi adiknya tetap juga belum kembali. Akhirnya ia meninggalkan rumahnya untuk mencari Chu Bwe Hong!

   Satu bulan telah berlalu, berita tentang Chu Bwe Hong belum juga terdengar. Dua bulan tiga bulan telah berlalu pula. Chu Seng Kun pergi pula ke tempat calon mertuanya dan mengajak tunangannya untuk turut mencari adiknya. Sehingga kini enam bulan telah terlewatkan pula tanpa hasil. Akhirnya pada hari ulang tahun penobatan Kaisar Han ini mereka teringat untuk mengunjungi Baginda. Untunglah dari salah seorang perwira yang mengiringkan Baginda ke kota ini mereka diberi tahu tentang kunjungan Baginda di sini, sehingga sekarang mereka bisa berhadapan dengan junjungannya itu. Demikianlah pemuda itu mengakhiri kisahnya, sementara hari ternyata juga telah menjelang pagi. Terdengar suara kokok ayam di sekitar pondok itu. Para prajurit penjaga telah mulai sibuk dengan
tugasnya masing-masing.

   "Ooh... jadi sampai sekarang enci Bwe Hong belum juga terdengar kabar beritanya? Ah, enci Bwe Hong... enci Bwe Hong!" Nona Ho mengeluh sedih. Teringatlah gadis itu akan pengalamannya bersama-sama Chu Bwe Hong beberapa tahun yang lalu tatkala mereka berkelana bersama, berpetualang bersama, mengalami pahit getir bersama. Terbayang pula di depan mukanya saat mereka berdua diombang-ambingkan gelombang laut yang sangat luas.

   "Enci" enci!" keluhnya lagi. Hatinya seakan-akan juga mengetahui apa sebenarnya yang menjadi beban pikiran gadis ayu itu. Kaisar Han yang biasanya berhati keras itupun tampak menghela napas berulang-ulang. Baginda telah mengenal baik gadis itu sebelum Baginda menduduki singgasana, karena kedua kakak beradik tersebut juga turut berjuang bersamanya dalam menumbangkan kekuasaan Kaisar Chin yang kejam itu.

   "Sudahlah"! Kita tidak boleh hanya merenung dan menyesalinya saja. Kita harus berusaha untuk menemukan nona Chu kembali secepatnya! Nah, aku juga akan membantu saudara Chu dalam hal ini." Kaisar Han berkata dengan penuh semangat.

   "Penjaga! Panggillah Yap Tai-Ciangkun ke sini sekarang juga! Bawa kim-pai (tanda perintah) ini! Lekas!" Kaisar Han memanggil penjaga pintu dan menyuruhnya memanggil Yap Tai-Ciangkun yang sedang berada di gedung kepala daerah.

   "Baik Hongsiang!" penjaga itu berdatang sembah. Lalu dengan gemetar diterimanya "kim-pai" itu di atas kepalanya.

   "Hongsiang" maaf, apakah yang akan Hongsiang lakukan dengan memanggil Yap Tai-Ciangkun kemari?" Chu Seng Kun bertanya dengan perasaan tidak enak.

   "Saudara Chu, kau tenang-tenang sajalah di sini! Aku akan berusaha menolong pula untuk mencari nona Chu... Soalnya... hei, lihat! Anak muda ini telah membuka matanya!" mendadak Kaisar Han menunding ke arah di mana Chin Yang Kun dibaringkan.

   Tampak pemuda yang hampir saja mati terkena racun itu berusaha membuka pelupuk matanya yang terpejam. Dan beberapa saat kemudian tampak mata yang telah terbuka termangu-mangu seakan tidak mempercayai kalau dirinya masih tetap hidup. Tetapi begitu mata itu memandang berkeliling dan melihat wajah-wajah keempat orang yang mengerumuni dirinya, kontan mata itu menjadi beringas. Agaknya ia telah teringat kembali akan dirinya yang berada di penjara bawah tanah. Tiba-tiba pemuda itu melompat dari tempat tidurnya. Tetapi karena luka-lukanya yang parah pada kedua belah pahanya serta habisnya lweekang yang ia pelajari selama ini, maka tubuh itu jatuh terduduk di atas lantai dan terguling pingsan kembali. Chu Seng Kun dan Kaisar Han bergegas mengangkatnya kembali ke atas pembaringan.

   "Kelihatannya anak muda ini telah mengetahui tadi bahwa tenaga dalamnya telah musnah"" Kaisar Han berguman pelan.

   "Tetapi hamba kira hal itu justru kebetulan sekali, terutama demi keselamatan umum dan kaum persilatan"" Chu Seng Kun bergumam pula.

   "Apa maksud saudara Chu?" Kaisar Han bertanya kaget.

   "Hongsiang, di dalam darah anak muda ini telah mengalir sebuah campuran racun yang kekuatannya telah berlipat ganda. Racun itu telah bersenyawa menjadi satu dengan cairan darah sehingga tidak mungkin terpisahkan lagi. Pada hal sifat racun itu adalah hidup, artinya mereka akan berkembang biak menjadi berlipat ganda banyaknya, sejalan dengan bertambahnya cairan darah di dalam tubuh manusia. Nah" tanpa kepandaian apa-apapun anak muda ini sudah menjadi orang yang sangat berbahaya bagi lingkungannya. Apalagi kalau sampai dia memiliki tenaga dalam yang mampu mengantar keistimewaan tubuhnya yang mengandung racun itu untuk melukai atau menyerang orang... Wah, dunia persilatan tentu akan menjadi geger!" Chu Seng Kun menerangkan.

   "Tetapi bukankah sudah banyak tokoh-tokoh persilatan yang mempunyai pukulan-pukulan beracun?" nona Ho membantah.

   "Benar, tetapi lain sifatnya. Orang yang mempelajari ilmu pukulan beracun biasanya merendam lengannya di dalam cairan racun, sehingga sedikit demi sedikit cairan racun itu akan melekat pada kulit lengannya tanpa membahayakan jiwanya. Jadi selain mempelajari ilmu silat, orang itu juga melatih daya tahan tubuhnya terhadap racun itu. Maka seseorang yang berlatih ilmu pukulan racun hanya bagian kulit lengan saja yang mengandung racun. Cairan darahnya tetap bersih! Lain halnya dengan anak muda ini" Darahnya benar benar beracun sehingga boleh dikata ia menjadi seorang manusia beracun, tidak ada bedanya dengan binatang ubur-ubur atau tikus laut itu sendiri!" Chu Seng Kun menghentikan kata-katanya sebentar, kemudian melanjutkannya lagi. "Maka dari itu semakin tinggi anak muda ini berlatih lweekang semakin berbahaya pula dia bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Sebab, berbeda dengan seseorang yang berlatih ilmu pukulan beracun, di mana letak kemanjuran dari racunnya baru terbukti apabila lengan itu sudah berhasil menyentuh tubuh lawannya, maka bagi manusia beracun seperti anak muda ini sentuhan terhadap tubuh lawan itu sudah tidak diperlukan lagi! Karena setiap anak muda ini mengerahkan lweekangnya maka otomatis tenaga dalam itu telah mengandung racun yang telah mengalir di dalam darahnya."

   "Hongsiang, hamba Yap Kim telah datang menghadap!" tiba-tiba di luar pintu terdengar suara orang mengetuk pintu.

   "Yap Tai-Ciangkun, silahkan masuk! lihat teman-teman lamamu berada di sini!" Seorang laki-laki yang masih sangat muda tetapi memakai seragam panglima perang yang paling tinggi di dalam kalangan keperajuritan, tampak memasuki ruangan itu. Untuk beberapa saat Chu Seng Kun hampir tidak mengenali wajah itu. Wajah seorang pemuda yang tegas, gagah dan berwibawa. Padahal dahulu wajah itu sempat membuat ayah ibunya dan kakaknya menjadi kalang-kabut karena ulahnya yang badung serta nakal.

   "Hongsiang... ada keperluan apakah pagi-pagi begini telah mengirim seorang utusan untuk memanggil hamba?" panglima itu berlutut di depan Kaisar Han.

   "Yap Tai-Ciangkun, coba lihat orang-orang yang kini sedang duduk bersamaku ini! kau mengenal mereka tidak?"

   "Oh" saudara Chu! Nona Kwa"!" panglima muda itu terkejut. Kemudian dengan tersenyum ramah panglima itu menyalami mereka. "Aha, akhirnya kita dapat berjumpa pula. Tadi malam Hongsiang memang telah mengatakannya kepadaku""

   "Yap Tai-Ciangkun, bagaimana dengan orang-orangmu yang tergabung dalam barisan Sha-cap mi-wi (30 Orang Pengawal Rahasia Kaisar)?" Baginda memanggil panglima muda itu.

   "Mereka selalu bersiap diri siang malam untuk menjadi pagar bernyawa bagi keselamatan Hongsiang!" panglima itu menjawab tegas.

   "Bagus! Sekarang aku ingin meminta pertolongan mereka untuk mencari nona Chu yang hilang!"

   "Hongsiang...!" Chu Seng Kung berseru untuk mencegah maksud Baginda itu. Bagaimanapun juga pemuda itu menjadi tak enak hati kalau dalam mencari adiknya ini harus melibatkan pasukan yang hebat itu. Ia telah mendengar khabar angin bahwa untuk dapat menjadi anggota pasukan pengawal ini harus melalui pendadaran yang sangat berat lebih dahulu.

   Sehingga setiap anggota pasukan itu tentulah merupakan seorang jago silat berkepandaian tinggi dan telah lulus dari perguruan mereka masing-masing. Yap Tai-Ciangkun memandang Kaisar Han dengan sinar mata kaget. Sedikitpun ia tidak mengetahui maksud Baginda itu. Barulah ia menjadi maklum akan maksud junjungannya itu setelah Baginda sendiri yang menerangkan apa yang telah terjadi. Meskipun demikian, sebetulnya ia tidak begitu cocok dengan maksud dan keinginan Baginda itu. Bagaimanapun pentingnya masalah tersebut, tak perlu sebenarnya harus mempergunakan pasukan yang hebat itu, sehingga Baginda sampai melupakan kepentingannya sendiri pula. Tapi tentu saja keputusan Baginda tersebut sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.

   "Yap Tai-Ciangkun, sebarlah seluruh anggota Sha-cap mi-wi ke seluruh negeri! Suruh mereka berangkat besok pagi setelah kau beri keterangan yang lengkap tentang keadaan nona Chu. Beri juga batas waktunya, yaitu ketemu atau tidak ketemu harap sudah tiba kembali di istana pada tanggal 10
bulan depan. Nah, Yap Tai-Ciangkun, silahkanlah kau kembali mempersiapkannya sekarang juga!"

   "Akan hamba kerjakan, Hongsiang!" Yap Tai-Ciangkun minta diri. Kaisar Han berjalan ke jendela dan membukanya lebarlebar. Sang sinar matahari pagi masuk menerangi ruangan itu. Burung-burung kecil tampak beterbangan di antara pohonpohon bunga dan cemara yang ditanam di halaman. Anginpun meniup perlahan menyegarkan suasana.

   "Besok pagi aku juga akan kembali ke Kotaraja. Anak muda yang terluka parah ini biarlah kubawa serta pula. saudara Chu... Kalian berdua lebih baik juga pergi bersamaku. Kalian dapat menanti khabar dari orang-orangku itu di sana sekalian beristirahat..." Baginda berkata perlahan.

   "Hongsiang... kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila kami terpaksa menolak ajakan Hongsiang ini. Selain kami memang ingin berusaha dengan sekuat tenaga kami. Kami merasa tak enak pula di dalam hati apabila hanya berpangku tangan saja di rumah, sementara Hongsiang telah bersusah payah mengerahkan Sha-cap mi-wi ke seluruh pelosok negeri. Maka dari itu besok pagi kami juga ingin mohon diri untuk meneruskan perjalanan kami... sedangkan pada tanggal 10 bulan depan kami juga akan menghadap Hongsiang untuk mengetahui hasil dari perjalanan para anggota Sha-cap mi-wi ini..." Nona Kwa berkata dengan halus mewakili calon suaminya.

   "...Dan hamba menghaturkan banyak terima kasih atas perhatian Hongsiang pada masalah yang hamba derita ini." Chu Seng Kun menambahkan.

   "Baiklah! Aku tahu perasaan kalian. Sekarang kalian beristirahatlah, nanti sore aku ingin bertukar pikiran dengan kalian lagi!"

   "Terima kasih, Hongsiang!" Sepeninggal sepasang merpati itu dari ruangan tersebut nona Ho segera mendekati Kaisar Han.

   "Suhu, aku ingin sekali mengikuti mereka untuk mencari enci Bwe Hong. Selain itu aku juga ingin menemui teman teman lama yang sudah bertahun-tahun tak kujumpai. Boleh... ya, suhu? Bosan juga disuruh menjadi puteri pingitan di istana terus-menerus." Rengeknya. Kaisar Han menatap wajah muridnya yang disayanginya.

   "Baiklah, kau boleh ikut mereka apabila mereka memperbolehkan" Haha, biar aku larangpun engkau tentu akan tetap pergi juga!" Kaisar Han tersenyum.

   "Terima kasih, suhu!" teriak nona Ho sambil berlari keluar.Hatinya tampak senang bukan main.

   Gadis itu segera berlari menemui kedua temannya itu serta mengatakan maksudnya untuk ikut dengan mereka mencari Chu Bwe Hong. Tentu saja Kwa Siok Eng juga merasa senang sekali mendapat teman seperjalanan seperti Ho Pek Lian. Sementara itu Kaisar Han kembali berdiri di samping pembaringan Chin Yang Kun. Baginda memandang wajah yang agak kurus tapi tampan sampai lamaa" sekali. Entah kenapa Baginda sendiri tidak tahu. Sejak Baginda melihat untuk pertama kalinya di dalam penjara bawah tanah itu, di mana anak muda itu terkapar terluka parah badannya, Baginda seperti tersentuh perasaan simpatinya. Baginda secara tidak sadar sampai memanggul sendiri tubuh anak muda ini, Padahal di sana terdapat beberapa orang hamba sahayanya.

   Baginda sampai lupa juga akan kedudukannya ketika Baginda memanggul anak muda itu ke pondok ini, sehingga para pengawal dan para prajurit yang telah mengenal penyamaran Baginda menjadi sangat heran dibuatnya. Para prajurit itu seakan-akan melihat junjungan mereka memanggul salah seorang putera Baginda sendiri saja. Padahal mereka semua tahu bahwa biarpun telah berusia 40 tahun lebih, junjungan mereka itu masih tetap belum berkeluarga, apalagi mempunyai seorang putera. Ketika tubuh itu mulai bergerak Baginda segera memegang lengannya, dan sebelum pemuda itu sempat berpikir yang bukan-bukan Baginda cepat pula menerangkan duduk perkaranya, mengapa anak muda itu sampai di tempat tersebut, sehingga akhirnya pemuda itu menjadi tenang kembali.

   "Tenanglah, anak muda! Kini engkau telah terbebas dari mereka, engkau telah berada di tempatku yang aman. Aku adalah seorang perwira kerajaan yang membebaskan engkau dari tangan penjahat-penjahat itu. Biarlah setelah engkau dapat berjalan kembali seperti sedia kala, terserah kepadamu untuk pergi ke mana saja. Nah, aku akan beristirahat dahulu. Kalau membutuhkan sesuatu, kau panggil sajalah penjaga yang berada di luar pintu itu!"

   Baginda berkata sedikit berbohong agar tidak mengagetkan anak muda itu, kemudian Baginda keluar dari ruangan tersebut setelah lebih dahulu membisiki para penjaga agar berusaha membantu penyamaran Baginda itu. Sampai lama Yang kun masih tetap berdiam diri saja di tempatnya. Pikirannya melayang jauh mengenangkan semua peristiwa yang baru saja dia alami. Bermula dari keberangkatan keluarganya yang masih utuh sampai musnahnya mereka satu persatu di dalam perjalanan.

   Sehingga pada akhirnya tinggal dia sendirilah yang masih hidup. Itu pun kalau tidak ditolong oleh perwira itu tadi niscaya nyawanya akan melayang seperti yang lainnya. Sebenarnya Yang Kun tak menyangka sama sekali bahwa dirinya masih dapat diselamatkan dari kematian oleh para penolongnya itu. Maka secara diam-diam tumbuh di dalam hatinya suatu perasaan terima kasih yang tak terhingga terhadap mereka itu. Hanya ada sedikit rasa kecewa di hatinya ketika pemuda itu menyadari betapa himpunan tenaga dalam yang telah dikumpulkannya selama ini telah hilang lenyap dari tubuhnya. Pada sore hari ketika perwira yang menolongnya itu datang kembali bersama-sama dengan kawan-kawannya, Yang Kun menyambutnya dengan senyuman terima kasih. Perwira itu memperkenalkan kawan-kawannya itu kepada Yang Kun.

   "Hiante (saudara kecil), mari kuperkenalkan engkau dengan kawan-kawanku ini. Mereka semua ini yang bersama-sama dengan aku menyelamatkan engkau dari penjara bawah tanah itu. Pertama-tama kenalkanlah pemuda jangkung ini.Dia bernama Chu Seng Kun, seorang ahli pengobatan yang menyelamatkan dirimu dari kematian." Yang Kun dengan susah payah berusaha untuk duduk di atas pembaringannya.

   "Terima kasih, in kong!" katanya perlahan. Kemudian Kaisar Han itu memperkenalkan Yap Tai-Ciangkun juga, meskipun panglima itu hanya diperkenalkan sebagai salah seorang bawahannya saja. Begitu juga ketika Baginda itu memperkenalkan nona Ho dan nona Kwa, kedua gadis itu hanya diperkenalkan sebagai kawan dari Chu Seng Kun saja. Pokoknya Baginda tidak ingin dia berserta para pengawalnya dikenal orang sebagai seorang Kaisar dan prajurit-prajuritnya.

   "Nah" kau beristirahatlah sebanyak mungkin agar supaya cepat sembuh! Kami akan berbincang-bincang sebentar di ruangan lain." Kaisar Han minta diri.

   "Terima kasih, tuan!" Yang Kun mengangguk dalamdalam.

   "Oh, iya"" Tiba-tiba Kaisar Han membalikkan tubuh ketika mereka telah berada di ambang pintu.

   "Bolehkan kami mengetahui namamu, hiante? Siapa tahu kita akan sering bertemu di jalan nanti?" Chin Yang Kun tampak gelagapan. Tak ingin sebenarnya ia dikenal orang, tapi tak enak pula hatinya kalau harus membohong terhadap orang yang telah menyelamatkan nyawanya.

   "Siauwte bernama... Yang Kun!"

   "Bagus! Yang-hiante, gurumu telah dibebaskan oleh Liok Cianbu pagi-pagi tadi. Mungkin dia telah berangkat lebih dahulu ke kampungmu, sehingga kau tak usah mencarinya lagi." Sekali lagi pemuda itu gelagapan hatinya. Dia tak mengerti dan tidak tahu apa yang dimaksud oleh perwira itu. Tapi ketika berkelebat bayangan Hek-mou-sai di otaknya, segera ia menangkap siapa yang dimaksud oleh perwira itu. Agaknya Hek-mou-sai telah membohongi mereka dengan mengatakan bahwa mereka berdua adalah dua orang guru dan murid.

   "Terima kasih, tuan!" Kelima orang itu pergi meninggalkan Chin Yang Kun seorang diri lagi. Mereka turun ke halaman dan berjalan menuju sebuah bangunan kecil yang berada di tengah-tengah kolam ikan. Ternyata di sana telah menunggu para pembesar kepala daerah, para perwira dan para penasehat Kaisar yang telah dibawa oleh Baginda dari Kotaraja. Chu Seng Kun dan nona Kwa menjadi terkejut di dalam hati. Tak mereka sangka Baginda mengajak mereka ke sebuah pertemuan di antara para pembesar Negara. Mereka menjadi canggung dan tak tahu apa yang mesti mereka perbuat.

   "Hongsiang, lebih baik hamba menanti saja di tempat saudara Yang Kun tadi. Hamba tidak berani menganggu apabila Hongsiang sedang berkenan untuk mengadakan pertemuan di sini." pemuda itu berkata kepada Kaisar Han.

   "Hah? Tak apa-apa... ayolah! Aku memang bermaksud mengajak kalian dalam pertemuan kali ini. Ada sesuatu yang ingin kukatakan juga kepada kalian sebelum kalian berangkat besok pagi." Baginda menyahut. Semuanya menjatuhkan diri berlutut ketika Kaisar Han memasuki bangunan kecil itu dan baru bangun kembali ketika Baginda telah duduk di kursinya. Mereka juga mengambil tempat duduk mereka masing-masing.

   "Yap Tai-Ciangkun!" langsung saja Baginda memulai pertemuan itu tanpa melalui basa-basi.

   "Siapakah yang kau tunjuk sebagai pengganti dari Si Ciangkun di sini?"

   "Belum ada, Hongsiang. Sementara waktu kedudukan itu hamba berikan kepada Liok Cianbu. Tetapi hamba bermaksud menarik separuh dari prajurit hamba yang berada di sini untuk hamba tempatkan di kota lain."

   Pendekar Penyebar Maut Karya Sriwidjono di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Bagus... begitupun juga baik. Dan lebih baik lagi kalau prajurit-prajurit yang kau tarik itu kau tempatkan saja di kota-kota kecil di pantai timur sana agar dapat menghadapi para perampok yang sering menganggu kota-kota itu."

   "Akan hamba kerjakan, Hongsiang!"

   "Baik! Kini tinggal kepala daerah yang harus membersihkan sisa-sisanya dan memperbaiki daerahnya!"Baginda meneruskan.

   "Akan hamba kerjakan semua titah Hongsiang!" Kepala daerah itu menyanggupi.

   "...Sementara itu aku juga tidak akan berhenti sampai di sini saja. Akan kukirimkan beberapa orang petugas khusus untuk menyelidiki hal ini sampai tuntas!"

   "Ampunkan hamba, Hongsiang! Hamba juga telah berusaha melacak jejak-jejak orang luar yang ikut tersangkut dalam usaha pengkhianatan terhadap negara ini," panglima yang masih muda itu memberi laporan.

   "Orang luar? Benarkah ada pihak lain yang turut campur dalam peristiwa ini?"

   "Benar... Hongsiang! Agaknya Si Ciangkun telah mempergunakan orang-orang kang-ouw sebagai tulang punggung kekuatannya. Hal ini terbukti ketika tadi malam hamba menggerebeg rumahnya, pasukan hamba telah dikagetkan dengan munculnya belasan tokoh kang-ouw yang mempunyai kepandaian sangat tinggi, sehingga maksud hamba untuk mengepung rumah itu menjadi berantakan malah. Salah seorang di antara orang-orang itu sudah berhadapan pula dengan hamba," Dengan agak ragu-ragu Yap Tai-Ciangkun memberi keterangan kepada Kaisar Han.

   Keraguan ini disebabkan oleh karena laporan tersebut sebenarnya tidak perlu lagi disampaikan kepada Baginda dalam pertemuan ini, sebab dengan menyamar sebagai Liu suhu Baginda telah melihat sendiri pertempuran tadi malam. Justru Baginda sendiri juga telah bertempur dengan salah seorang di antaranya.

   "Lalu apakah yang telah kau lakukan untuk melacak orang orang kang-ouw yang ikut terlibat itu!" Kaisar Han bertanya.

   "Kakak hamba sendiri telah menyanggupkan diri untuk melacak mereka..."

   "Aha... Hong-lui-kun Yap Kiong Lee sendiri yang berangkat? Ha-ha-ha" inilah baru dapat dikatakan sebuah langkah yang benar. Kukira selain orang seperti Hong-lui-kun (Si Tinju Petir dan Badai) Yap Kiong Lee sendiri yang berangkat takkan ada lagi orang-orang kita yang mampu menghadapi mereka." Kaisar Han berkata dengan lega dan gembira. Telah sejak lama Kaisar Han berusaha membujuk kakak Yap Tai-Ciangkun itu agar mau menjadi pembantunya, tetapi pendekar sakti itu dengan halus selalu menolaknya. Pemuda itu hanya mempunyai suatu keinginan di dalam hidupnya, yaitu membalas budi gurunya yang telah mendidik dan merawat dia sejak kecil. Dan salah satu jalan untuk berbuat seperti itu ialah dengan mengawasi dan melindungi Yap Kim (Yap Tai-Ciangkun), putera satu-satunya dari gurunya itu.

   "Terima kasih atas kepercayaan Hongsiang terhadap kakak hamba."

   "Sudahlah! Sekarang aku mempunyai sebuah persoalan lain yang kita akan bicarakan." Kaisar Han mengalihkan pembicaraannya. Dengan tersenyum Baginda menoleh ke arah tempat duduk Chu Seng Kun dan nona Kwa. "...Dan khusus dalam persoalan ini nanti, aku mengharapkan pertolongan sepasang tamu kita ini." Kedua muda-mudi itu segera berdiri menghormat kepada Kaisar Han.

   "Silahkan Hongsiang mengatakannya, hamba berdua akan selalu siap untuk melaksanakannya," mereka berkata.

   "Terima kasih! Begini cuwi semua..." Kemudian Kaisar Han bercerita tentang sebuah benda kuno yang sejak jaman purbakala selalu menjadi rebutan para raja-raja. Benda itu berwujud sebagai "cap" terbuat dari batu giok berwarna kuning dan berbentuk persegi empat. Di bagian bawah terukir sebuah huruf "TIONG" yang memenuhi seluruh permukaannya. (Tiong berarti : Tengah).

   Konon khabarnya benda itu dibuat oleh dewa yang turun ke tengah bumi untuk mendidik manusia agar lebih mengenal peradaban. Dewa itu mengumpulkan orang-orang yang masih hidup di dalam goa-goa untuk diberi pelajaran hidup bermasyarakat serta mendirikan sebuah dusun dan kota. Oleh manusia-manusia purba tersebut sang dewa itu lalu diangkat sebagai raja mereka. Begitulah, setelah dewa itu mempunyai seorang putera yang nantinya dapat menggantikan dirinya sebagai raja, maka dewa tersebut lalu kembali lagi ke kahyangan. Tetapi sebelum kembali dewa itu membuatkan sebuah mainan dari batu giok untuk anaknya yang ia beri nama TIONG itu. Benda mainan itu oleh sang dewa diberi tuah agar menjadi pelindung bagi keselamatan anaknya yang masih kecil itu.

   Tenyata benda mainan yang sederhana itu benar-benar sangat bertuah sekali. Begitu anak kecil tersebut memegang benda mainan itu maka seakan-akan ia mempunyai perbawa dan pengaruh yang menakutkan, seakan-akan sedang berhadapan dengan sang dewa itu sendiri, sehingga segala binatang buas pun tunduk kepadanya. Demikianlah, benda itu akhirnya menjadi sebuah benda pusaka yang diberikan turun-temurun kepada raja-raja pengantinya, sehingga akhirnya beberapa ribu tahun kemudian benda pusaka yang sangat bertuah itu menjadi rebutan bagi raja-raja lain yang menginginkan keselamatan, seperti halnya si anak dewa tersebut. Sampai sekarangpun benda itu masih tetap diperebutkan oleh orang yang menginginkan dirinya agar dapat menjadi raja di Negara TIONG yaitu negara yang dikuasai oleh anak dewa itu. (Tiongkok sekarang).

   "Menurut catatan yang tertulis di dalam perbendaharaan buku istana, benda pusaka itu hilang dari istana kira-kira 90 tahun yang lalu, yaitu pada masa permulaan pemerintahan Raja Chin Lu. Raja ini masih berusia belasan tahun ketika menggantikan ayahnya, Raja Chin Bun, yang wafat karena musibah gempa bumi. Benda itu dicuri oleh Bit-bo-ong asli yang hidup pada jaman itu"!" Semua orang yang berada di tempat itu menjadi termangu mangu ketika mendengarkan dongeng Baginda tersebut. Sebagian dari mereka memang sudah pernah mendengar cerita itu dari nenek moyang mereka masing-masing.

   "Ternyata lima tahun yang lalu benda pusaka itu telah muncul lagi di istana, biarpun hanya untuk beberapa hari saja. Benda pusaka itu telah dibawa masuk lagi ke istana oleh mendiang "duplikat Bit-bo-ong" yang sempat menikmati singgasana kerajaan selama 40 hari! Tetapi dengan runtuhnya dia dari istana maka benda itu ternyata juga lenyap kembali... hingga sekarang." Kaisar Han meneruskan dongengnya. Chu Seng Kun saling berpandang dengan nona Kwa. Meskipun tidak saling mengutarakan pendapatnya tapi keduanya telah menduga apa yang akan dimaksudkan oleh Baginda tentang permintaan tolong kepada mereka itu.

   "Selama 5 tahun ini aku telah memerintahkan Yap Tai-Ciangkun untuk menyelidikinya, di mana sebenarnya benda pusaka itu disimpan oleh duplikat Bit-bo-ong almarhum. Akhirnya sebulan yang lalu Yap Tai-Ciangkun mencium jejak dari keluarga duplikat Bit-bo-ong itu. Mereka tenyata bersembunyi di suatu tempat yang terpencil. Keluarga itu terdiri dari tiga orang kakak beradik berserta keluarga masing-masing yaitu Chin Yang, Chin Kong dan Chin Bu! Tetapi ketika aku memerintahkan Yap Tai-Ciangkun untuk menggerebeg tempat tersebut ternyata telah terlambat. Tempat itu telah menjadi puing-puing berserakan, sehingga kami kehilangan jejak dari pada benda pusaka itu lagi." Kaisar Han menghentikan ceritanya lagi.

   "Kemudian Yap Tai-Ciangkun menyebar lagi orangorangnya guna mendapatkan tempat persembunyian mereka itu, tapi belum lagi ketemu dengan mereka, Yap Tai-Ciangkun justru menemukan bukti bukti bahwa salah seorang perwira tingginya yang berada di kota Tie-kwan telah berhianat! Itulah sebabnya hari ini aku dan Yap Tai-Ciangkun berada di sini..." Kaisar Han turun dari kursi lalu berjalan perlahan ke tengah ruangan. Ujung pedangnya yang panjang terseret di atas lantai. Dengan penuh kewibawaan Baginda menyilangkan tangannya di depan dadanya.

   "Menurut penyelidikan yang terakhir, keluarga Chin itu menuju ke arah pantai timur. Oleh karena itu aku minta laporan pertolongan cuwi sekalian apabila melaporkan kepada kami apabila melihat atau mendengar tentang mereka. Cuwi sekalian saya kumpulkan di tempat ini karena cuwi adalah penguasa-penguasa di daerah ini. Siapa tahu mereka lewat di daerah cuwi..." Kaisar Han menutup keterangannya. Kemudian Kaisar Han berjalan mendekati Chu Seng Kun dan nona Kwa.
"Chu-hiante... aku juga minta pertolongan kalian dalam persoalan ini. Aku menginginkan agar benda pusaka ini berada kembali di dalam perbendaharaan istana. Kalian tentu mengerti maksudku yang sebenarnya dalam hal ini. Aku tidak ingin benda itu menjadi penyebab dari arena pertempuran berdarah di antara rakyat karena masing-masing orang ingin memilikinya. Kalian tentu tidak akan menuduhku sebagai seorang yang serakah yang ingin berkuasa sebagai dewa dan menginginkan ditakuti oleh binatang-binatang buas... karena seperti yang pernah kukatakan kepada kalian, kalau toh aku diperbolehkan memilih di antara dua pilihan, raja atau petani...aku akan memilih sebagai petani saja!"

   "Hongsiang hamba berdua akan berusaha untuk membantu Hongsiang dalam hal ini." Chu Seng Kun menjawab. Kaisar Han mengucapkan rasa terima kasihnya berulang ulang. Kemudian perlahan-lahan Baginda mendekati tempat duduk Yap Tai-Ciangkun.

   "Yap Tai-Ciangkun! Perintahkan kepada seluruh anggota Sha-cap mi-wi yang akan berangkat besok pagi agar melacak juga tempat persembunyian dari keluarga Chin!"

   "Akan hamba kerjakan, Hongsiang!"

   "Nah, kukira apa yang ingin kubicarakan di dalam pertemuan ini telah aku keluarkan semua. Maka siapa yang mempunyai suatu pendapat atau persoalan yang lain silahkan berbicara"!" Kaisar Han menutup ucapannya. Karena tak seorangpun yang mau berbicara maka Kaisar Han menutup pertemuan itu. Dengan diantar Yap Tai-Ciangkun Baginda kembali ke kamarnya.

   Keesokan harinya, di tempat itu terjadi kesibukan yang luar biasa. Belum juga matahari pagi menampakkan sinarnya,berbondong-bondong beberapa kelompok orang meninggalkan tempat itu. Mereka tersebar ke segala arah. Kelompok yang paling sedikit adalah rombongan Chu Seng Kun dan kedua gadis itu. Mereka menuju arah timur, ke arah kota-kota yang berada di pinggir pantai. Rombongan yang terakhir adalah rombongan Kaisar Han sendiri yang akan pulang kembali ke Kotaraja. Rombongan itu terdiri dari 4 kereta dan 1 pasukan prajurit terlatih. Dengan diantar oleh Kepala Daerah Tie-kwan sampai di perbatasan rombongan ini berangkat tanpa menimbulkan kecurigaan penduduk. Penduduk tetap menyangka bahwa prajurit-prajurit itu adalah pasukan yang diperbantukan untuk menjaga keamanan selama berlangsungnya pesta perayaan itu.

   Sedikitpun mereka tidak menyangka kalau Kaisar junjungan mereka hari itu berada di antara mereka. Hampir sebulan lamanya. Yang Kun terbaring saja di atas pembaringannya. Tabib yang setiap hari datang menjenguknya ternyata bukan Chu Seng Kun yang menolong dirinya itu. Tabib yang kini selalu mengobati luka-lukanya adalah seorang tabib tua yang suka berkelakar dan sangat sabar. Yang kun tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana, takut kaki yang terluka parah itu akan menjadi lumpuh. Tabib itu berkata bahwa luka itu sebenarnya tidaklah begitu membahayakan, tetapi pengaruh racun yang terlanjur bercampur dengan darahnya itulah yang justru sangat berbahaya bagi tubuhnya.

   Kalau kaki yang terluka itu dipaksa untuk berjalan juga sebelum sembuh, maka kemungkinan untuk menjadi lumpuh semakin besar pula. Oleh karena itu Yang Kun menjadi sangat patuh sekali, tak sekejappun selama sebulan itu dia turun dari tempat pembaringannya. Ternyata setelah lolos dari kematian yang hampir saja merenggut nyawanya itu, semangatnya untuk hidup dan sembuh kembali seperti sedia kala menjadi sangat berkobar-kobar. Maka biarpun di dalam minggu terakhir ini kakinya telah terasa normal kembali, pemuda itu masih tetap tidak berani mendahului perintah tabibnya. Padahal semuanya itu hanya merupakan sebuah taktik dari Kaisar Han agar pemuda yang dibawanya ke dalam istana itu tidak berkeliaran keluar dari kamarnya, sehingga akan mengetahui bahwa dia sedang berada di dalam istana.

   Baginda tetap menginginkan agar anak muda yang bernama Yang Kun ini masih beranggapan bahwa dirinya sedang berada di rumah seorang "perwira", yang tentu saja mempunyai rumah besar dan indah serta dijaga oleh para pengawal pula. Setiap dua tiga hari sekali Kaisar Han dengan pakaian sederhana menjenguk pemuda itu di dalam kamarnya, sehingga hal itu membuat semua orang yang tinggal di istana menjadi terheran-heran dibuatnya. Sungguhpun sebagai seorang jago silat yang berkepandaian tinggi, Kaisar junjungan mereka itu memang seringkali berbuat yang aneh-aneh. Dan selama sebulan itu memang terjadi suatu persahabatan yang tulus antara dua orang manusia yang berwatak aneh, yaitu persahabatan antara seorang "perwira" dan seorang anak kepala desa yang baru saja lulus dari belajar silat!

   "Yang-hiante, beberapa hari lagi mungkin engkau sudah diperbolehkan turun dari tempat tidurmu ini. Engkau bisa berjalan-jalan dan berlari-lari kembali tanpa merasa khawatir kakimu akan menjadi lumpuh..." Perwira itu menghibur hati Yang Kun.

   "Hmm... tapi selama sebulan ini engkau tentu sangat menderita bukan?"

   "Memang! Apalagi kalau malam telah tiba, di mana aku sudah ditinggalkan seorang diri di kamar yang luas ini... Wah, rasa-rasanya aku justru lebih tersiksa dengan rasa sepi itu dari pada dengan rasa sakitku ini. Selama sebulan berbaring saja di atas pembaringan ini membuat diriku seolah-olah akan menjadi sinting. Setiap malam di mana kegelapan telah menyelubungi kamar ini, maka otakku mulai berkhayal yang bukan-bukan. Aku merasa seperti tidak lagi berada seorang diri di kamar ini. Apabila malam telah larut, seakan-akan ada suara seruling yang ditiup perlahan" sekali di samping telinga saya. Sesekali apabila malam benar-benar sunyi malah terdengar pula suara nyanyian wanita di pojok sana itu"" kata pemuda itu sambil menunjuk ke arah sudut kamarnya.

   

Darah Pendekar Eps 11 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 14 Darah Pendekar Eps 17

Cari Blog Ini