Ceritasilat Novel Online

Pendekar Budiman 17


Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo Bagian 17




   "Semua perbuatanku kalian tak berhak mencampuri! Kalau aku bersalah, biar ayah Kaisar sendiri yang memutuskan hukumannya, tidak orang-orang seperti kalian. Keluar dari sini!" Kim Liong Hoat ong, Gin Liong Hoat ong dan Giok Seng Cu saling pandang dengan ragu-ragu. Mereka masih sangsi untuk turun-tangan terhadap Pangeran Wan Yen Kan. Akan tetapi Tiat Liong Hoat ong berseru marah.

   "Hukuman terhadap seorang pengkhianat tak perlu menanti keputusan Kaisar! Kami sendiri berhak menghukummu!" Setelah berkata demikian, ia menggerakkan goloknya hendak menyerang. Wan Yen Kan menangkis dan berseru,

   "Setidaknya tunggu kalau suhu sudah pulang." Ucapan ini membikin empat orang-tua itu makin ragu-ragu. Pangeran ini adalah murid dari Ba Mau Hoatsu yang datang dari Tibet khusus untuk membantu mereka, dan kalau sampai mereka turun-tangan terhadap muridnya. Apakah Ba Mau Hoatsu tidak akan marah? Juga Tiat Liong Hoat ong merasa ragu-ragu dan menahan goloknya. Kesempatan ini dipergunakan oleh Wan Yen Kan untuk menerobos lewat dan keluar dari kamarnya yang sempit. Ia pikir kalau harus bertempur, lebih tidak memilih ruangan depan yang lega agar ia mendapat kesempatan melarikan diri. Akan tetapi empat orang itu cepat mengejarnya dan baru saja Wan Yen Kan tiba di ruangan depan ia telah dihadang oleh empat orang ini.

   "Kau hendak lari ke mana?" bentak Tiat Liong Hoat ong.

   "Siapa mau lari? Aku memilih tempat luas ini agar dapat melayani kalian orang-orang yang berlaku kurang ajar terhadap seorang putera Kaisar!" Kim Li mg Hoat ong kini membuka mulutnya.

   "Siauw Ongya, harap kau tidak salah faham. Sungguhpun Tiat Liong Hoat ong bersikap kasar terhadap siauw Ongya, namun tentu kau dapat memaklumi hal ini. kau telah membebaskan tiga orang tahanan pemberontak dan tentu siauw Ongya mengerti bahwa mereka adalah murid-murid Hoa-san-pai yang berbahaya. Kalau bukan Siauw Ongya yang melakukan hal ini, tentu kami sudah turun-tangan dan membunuhmu tanpa banyak cakap lagi. Akan tetapi dalam hal ini kami harap siauw Ongya suka mengalah dan menyerah. Kami akan menangkapmu dan selanjutnya akan kami serahkan kepada suhumu dan juga kepada Kaisar sendiri."

   Mereka semua tidak tahu bahwa baru saja ada bayangan yang luar biasa cepat gerakannya melayang di atas genteng dan kini bayangan ini mendengarkan percakapan mereka dengan penuh perhatian. Dan bayangan ini bukan lain adalah Go Ciang Le yang tiba di Cin-an lebih dulu karena ia mempergunakan jalan lain dari Bi Lan dan ilmu lari cepatnya juga jauh lebih menang. Kini ia mendengarkan dengan heran dan penuh perhatian percekcokan antara orang-orang Kin ini. Wan Yen Kan tahu bahwa kalau ia menyerah dan ditawan, maka keputusan hukuman yang akan dijatuhkan oleh ayahnya sendiri tentulah hukuman mati! Juga ia sudah mengenal watak suhunya, yang keras dan sombong. Tentu suhunya akan merasa tersinggung dan malu mendengar akan perbuatannya dan dari fihak gurunya, sukarlah diharapkan pertolongan. Maka ia berlaku nekad dan berkata dengan keras,

   "Sam Thai Koksu, dengarlah baik-baik! Wanita murid Hoa-san-pai yang kalian tawan itu kubebaskan tadi, bukan lain adalah isteriku sendiri! Dan dua orang lain adalah saudara seperguruannya. Bagaimana aku tega melihat isteri sendiri dan saudara-saudaranya akan dihukum mati? Aku tahu bahwa memang dipandang dari sudut kebangsaan, aku telah berlaku khianat, akan tetapi dipandang dari sudut perikemanusiaan, kalian tentu tahu bahwa aku tak dapat berbuat lain. Sekarang terserah kepada kalian, kalau kalian melepaskan aku, aku akan pergi ke selatan dan takkan kembali lagi, tak sudi memusingkan diri dengan urusan pemerintahan dan peperangan. Kalau kalian memaksa hendak menawanku, majulah dan biar aku melawan dengan napas terakhir!"

   Mendengar pengakuan ini, Sam Thai Koksu dan Giok Seng Cu tercengang dan terheran sehingga mereka tak dapat berkata-kata. Kemudian Kim Liong Hoat Ong yang berkata,

   "Kami dapat memaklumi keadaanmu, siauw Ongya. Akan tetapi kalau kami melepaskan kau, berarti kami juga berkhianat dan kami tidak mau berlaku khianat. Maka harap kau suka menanti sampai datang keputusan dari Kaisar sendiri."

   "Tidak, sekarang juga aku harus pergi dari sini."

   "Kalau begitu, kami harus menghalangimu," jawab Tiat Liong Hoat ong.

   "Bagus, hendak kulihat bagaimana kalian dapat menghalangiku," seru Wan Yen Kan yang cepat meloncat hendak pergi. Akan tetapi, golok di tangan Tiat Liong Hoat ong berkelebat di hadapannya sehingga terpaksa pangeran ini harus mengelak dan membalas serangan ini. Sebentar saja pangeran ini dikeroyok oleh Sam Thai Koksu dan Giok Seng Cu. Mereka merasa perlu mengeroyok karena mereka tidak hendak membunuh atau melukai pangeran ini, melainkan hendak menangkap hidup hidup. Dan hal ini bukanlah pekerjaan yang mudah, karena kepandaian Wan Yen Kan bukannya rendah. Kalau sekiranya mereka mau merobohkan Wan Yen Kan dan melukainya, kiranya dalam beberapa jurus saja pangeran itu akan roboh.

   Akan tetapi, biarpun demikian, desakan dari empat orang-tua yang berkepandaian tinggi itu sebentar saja membuat Wan Yen Kan mandi keringat dan kepalanya pening. Luka di dadanya akibat tusukan pedang Ling In belum sembuh benar dan lawan lawan yang dihadapinya memiliki kepandaian amat tinggi. Apa lagi tosu itu, Giok Seng Cu murid Pak Hong Siansu! Kepandaian tosu ini bahkan tidak kalah oleh suhunya sendiri, Ba Mau Hoatsu, maka dapat dibayangkan betapa sibuknya Wan Yen Kan mencoba untuk mencari jalan keluar. Ia maklum bahwa kalau sampai tertawan, tidak saja ia akan dihukum mati, akan tetapi juga ia akan menderita malu dan ejekan hebat. Namun, kematian baginya bukan soal berat lagi karena ia teringat bahwa isterinya telah selamat dan bahwa kelak anaknya akan melanjutkan riwayatnya.

   "Kalian menghendaki nyawaku? Baiklah, akan tetapi aku tidak sudi mati di tangan orang lain!" Setelah berkata demikian, pangeran yang malang ini lalu menggunakan senjata rantainya untuk dipukulkan ke arah kepalanya sendiri sekuat tenaga! Sam Thai Koksu dan Giok Seng Cu terkejut sekali, akan tetapi mereka tidak keburu turun-tangan mencegah perbuatan yang nekad dari Wan Yen Kan!

   "Keliru sekali jalan sesat itu diambil!" tiba-tiba terdengar suara orang dan bayangan yang amat gesit menyambar ke arah Wan Yen Kan dan tahu-tahu rantai yang mengancam kepala pangeran itu telah berpindah ke dalam tangan seorang pemuda baju kembang yang semenjak tadi diam-diam mengintai dari atas genteng! Ciang Le yang mendengar semua percakapan terakhir tadi, terkejut ketika mengetahui bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu adalah Pangeran Wan Yen Kan yang telah menjadi suami dari murid Hoa-san-pai! Ia kagum sekali melihat Wan Yen Kan dan mendengar bicaranya yang penuh perikemanusiaan dan cinta kasih terhadap isterinya, maka melihat pangeran itu hendak membunuh diri cepat ia menolong dan merampas rantainya. Melihat pemuda ini, bukan main marahnya Giok Seng Cu.

   "Setan, kau lagi datang mengacau?" bentaknya dan secepat kilat ia mencabut senjatanya yakni rantai baja yang lihai. Tadi ketika menghadapi Wan Yen Kan, ia tidak mempergunakan senjatanya ini. Ciang Le tersenyum dan ia memutar rantai yang dirampasnya dari tangan Wan Yen Kan tadi untuk menangkis. Terdengar suara keras sekali dibarengi berpijarnya bunga api dan rantai di tangan Giok Seng Cu terlepas dari pegangan!

   "Mari kita pergi!" seru Ciang Le kepada Wan Yen Kan yang semenjak tadi berdiri tertegun. Juga Sam Thai Koksu yang sudah merasai kelihaian tangan Ciang Le, ragu-ragu untuk maju menyerbu. Ketika pangeran Kin itu mendengar ajakan ini, ia cepat meloncat ke dalam gelap dan melarikan diri. Ciang Le tidak mau membuang waktu lagi, segera menyusul Wan Yen Kan dan Giok Seng Cu bersama Sam Thai Konsu tidak berdaya mengejar, mereka memang sudah merasa jerih sekali menghadapi pemuda baju kembang yang memiliki kepandaian luar biasa. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali nampak dua orang muda berjalan perlahan di dalam hutan. Mereka adalah Wan Yen Kan dan Ciang Le. Pangeran itu tiada hentinya memuji Ciang Le.

   "Taihiap siapakah dan mengapa sudi menolong seorang pangeran Kin seperti aku ini?" tanyanya ketika mereka telah keluar dari kota Cin-an dan telah selamat berada di dalam hutan. Ciang Le tersenyum.

   "Bukan orang jauh, apa lagi karena kau telah menjadi suami dari seorang murid Hoa-san-pai dan telah menolong murid-murid Hoa-san-pai dari tawanan. Aku bernama Go Ciang Le dan tentu kau akan mengenal nama ayahku yaitu Go Sik An." Terbelalak mata Wan Yen Kan memandang.

   "Apa"? Go Sik An yang dahulu terkenal menentang pemerintah ayahku dan kemudian dihukum mati?? Dan kau sekarang bahkan menolongku dari bahaya maut?" Ciang Le mengangguk.

   "Benar dia. Akan tetapi, yang membunuh ayahku bukanlah kau dan melihat sikap dan mendengar percakapanmu tadi, kau tidak sama dengan orang-orang kejam bangsamu yang menindas rakyat, biarpun kau seorang pangeran. Karena itulah maka kuanggap kau sebagai seorang gagah yang patut ditolong."

   "Aneh, benar-benar kau seorang pemuda aneh..." kata Wan Yen Kan.

   "Kau yang lebih aneh, siauw Ongya..."

   "Jangan sebut aku siauw Ongya, sebut saja namaku, bukan Wan Yen Kan, akan tetapi Wan Kan. Cukup kau menyebutku Wan-twako (kakak Wan) saja. Dan kau bilang aku lebih aneh, bagaimana maksudmu?" Wan Kan suka dan tertarik sekali kepada Ciang Le, ia memandang wajah yang tampan dan gagah itu penuh kekaguman. Seorang pemuda yang "Berisi" lahir batinnya, pikir pangeran ini.

   "Kau memang lebih aneh dari padaku, Wan-twako," kata Ciang Le yang juga merasa cocok dan suka kepada pangeran ini.

   "Kau seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, biasa hidup dalam kemewahan dan kesenangan. Akan tetapi" kau berbeda dengan bangsamu, lebih suka hidup menderita dan sengsara, demi untuk berkorban guna isterimu yang tercinta, isteri seorang Bangsa Han. Bukankah ini ajaib sekali?" Wan Kan menarik napas panjang.

   "Kau masih muda, taihiap. Mana kau mengerti dan dapat merasakan pengaruh dari cinta yang murni? Kalau aku tidak bertemu dengan Ling In isteriku, agaknya biarpun aku tidak suka melihat sepak terjang para pembesar bangsaku, aku takkan sampai berlaku senekad ini..." Merah muka Ciang Le mendengar ini. Kata-kata ini mengingatkan ia akan Bi Lan! Alangkah bahagianya kalau ia dan Bi Lan dapat menjadi suami-isteri penuh cinta kasih seperti Wan Kan dan Ling in!

   "Kau seorang baik dan berbudi mulia, Wan-twako..."

   "Karena kau lain dari pada yang lain maka kau bisa berkata demikian, Go-taihiap. Akan tetapi, seluruh bangsamu, tentu mengutukku sebagai seorang musuh besar. Bahkan saudara-saudara seperguruan Ling In sendiri amat membenciku, dan isteriku sendiri pernah mencoba untuk membunuhku"" Berobah wajah Ciang Le.

   "Apa?!? Mengapa begitu...??" Wan Kan mengajak Ciang Le duduk di bawah pohon dan pada pagi hari itu pangeran ini menceritakan semua pengalamannya, bagaimana Ling In dengan terpaksa sekali mencoba untuk membunuhnya. Mendengar semua penuturan ini, Ciang Le merasa amat terharu.

   "Kasihan sekali kalian suami-isteri yang malang..." komentarnya.

   "Akan tetapi jangan khawatir, Wan-twako. Aku akan membantumu, akan kujelaskan kepada semua orang Han bahwa kau berbeda dengan orang-orang Kin yang telah memeras rakyat. kau kuanggap sebagai saudaraku terdiri, sebagai seorang Han juga karena aku yakin akan kebersihan hatimu." Wan Kan merasa terharu dan ia memegang lengan pemuda baju kembang itu dengan mata basah.

   "Ciang Le... kalau aku mempunyai adik seperti kau " alangkah akan senang hatiku..."

   "Mengapa tidak? Apa salahnya kalau aku menjadi adikmu, Wan-twako?"

   "Benar-benarkah? kau sudi mengangkat saudara dengan aku, seorang pangeran Bangsa Kin yang sudah banyak membikin sengsara bangsamu?"

   "Bukan kau yang membikin sengsara, juga bukan Bangsa Kin, melainkan pemerintah Kin! Kejahatan sesuatu negara bukan dilakukan oleh bangsanya melainkan oleh pemerintahnya? Antara bangsa dan bangsa tidak ada perbedaan faham semua menghendaki keamanan, kesejahteraan dan hidup makmur dan damai! Kita sama-sama hidup merasai suka duka yang sama pula."

   "Aduh, adikku... adikku yang bijaksana... terima kasih," Wan Kan dan Chng Le lalu berlutut dan bersumpah menjadi saudara angkat. Wan Kan yang lebih tua menjadi saudara tua dan Ciang Le menjadi saudara muda. Dua orang asing yang pertama kali bertemu telah saling tertarik dan bersimpati, memang hal demikian ini banyak terjadi di dunia ini. Agaknya kalau mau mempercayai hukum karma, dalam kehidupan dahulu kedua orang ini memang telah mempunyai hubungan yang amat dekat, siapa tahu?

   "Berbahagia sekali hatiku Go te (adik Go), mempunyai seorang saudara muda seperti kau. Mudah mudahan saja aku dapat membawa diri sebagai seorang saudara tua yang tidak mengecewakan hatimu."

   "Dan aku akan berusaha menjadi seorang saudara muda yang baik, Wan-twako," jawab Ciang Le yang didengar dengan penuh perhatian dan amat tertarik oleh Wan Kan.

   "Ah, ternyata kau telah mengalami banyak hal hal yang pahit selama hidupmu, adikku. Semoga saja kelak kau akan menemui kebahagiaan seperti aku yang telah bertemu dengan Ling In. Hal ini benar-benar kudoakan, karena kau telah merampas nyawaku dari cengkeraman maut. Kalau tidak ada kau, tentu sekarang aku telah menggeletak dengan kepala pecah oleh senjataku sendiri ini." Wan Kan meraba-raba rantainya yang sudah dikembalikan oleh Ciang Le.

   "Itu hanya kebetulan saja, twako dan agaknya Thian memang belum menghendaki kau kembali ke asalmu. Baiknya ketika aku tiba di Enghiong Hweekoan, susiokku Pak Hong Siansu dan juga Ba Mau Hoatsu gurumu itu tidak berada di sana. Kalau mereka berdua ini ada di sana belum tentu kita akan dapat meloloskan diri."

   "Ah, mereka sedang pergi untuk mewakili Sam Thai Koksu menghadapi Thian Te Siang mo." Ciang Le terkejut sekali mendengar ini.

   "Mengapa? Ada keperluan apakah Sam Thai Koksu dengan kedua orang-tua itu?"

   "Ah, belum tahukah kau, Go te? Sudah lama Sam Thai Koksu menyiarkan tantangan bertanding kepada Thian Te Siang mo dan akhirnya hal ini terdengar agaknya oleh Iblis Kembar itu karena mereka mengirim berita kepada Enghiong Hwee koan bahwa mereka menanti kedatangan Sam Thai Koksu untuk berpibu (mengadu kepandaian)."

   "Dan San Thai Koksu tidak berani maju sendiri lalu mewakilkan pibu itu kepada susiok Pak Hong Siansu dan gurumu Ba Mau Hoatsu? Alangkah pengecutnya!"

   "Terus terang saja, adikku, tantangan itu hanya siasat untuk membangkitkan amarah kedua orang kakek itu sehingga mereka mau muncul untuk ditewaskan, karena Sam Thai Koksu menganggap mereka sebagai orang-orang berbahaya," kata Wan Kan yang sesungguhnya memang tidak setuju akan siasat siasat licik dan rendah dari Sam Thai Koksu.

   "Di mana pertemuan itu diadakan?" tanya Ciang Le tiba-tiba.

   "Di jembatan Liong thouw (Kepala Naga) yang menyeberangi sungai di kota Paoting." kata Wan Kan yang mengetahui jelas persoalan itu karena ketika hal itu dibicarakan ia masih berada di Enghiong Hweekoan.

   "Kalau begitu, aku akan menyusul ke sana kalau perlu menolong kedua orang guruku itu. Mereka takkan dapat menang dari susiok Pak Hong Siansu!" kata Ciang Le yang segera bangkit berdiri.

   "Aku ikut pergi, Go te. Biar aku akan membujuk Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu mengingatkan mereka bahwa sesungguhnya tidak ada perlunya bermusuhan dengan orang-orang Han. Kelak aku boleh menyusul isteriku," kata Wan Kan. Berangkatlah keduanya dengan cepat menuju ke kota Paoting. Akan tetapi, kebetulan sekali mereka bertemu dengan Bi Lan yang mengakibatkan pertempuran hebat! Mereka sedang berlari dalam sebuah hutan berikutnya ketika tiba-tiba mereka melihat seorang gadis cantik datang dari depan Melihat gadis ini Ciang Le berdebar hatinya dan ia berkata kepada Wan Kan sambil menunda larinya.

   "Wan-twako, harap kau jangan melayani dia kalau dia menyerang. Dia adalah sumoi dari isterimu dan.. dan dia adalah... calon jodohku..."

   Wan Kan memandang dengan tertarik dan gembira sekali. Ketika Bi Lan sudah datang dekat, diam-diam Wan Kan harus mengakui bahwa pilihan hati adik angkatnya benar-benar tepat. Bi Lan seorang gadis muda yang cantik jelita dan sikapnya gagah sekali. Sebaliknya, Bi Lan merasa terkejut dan terheran melihat Ciang Le datang bersama seorang pemuda yang dikenalnya sebagai Pangeran Wan Yen Kan! Dia memang pernah melihat pangeran ini dan tahu bahwa pangeran inilah yang telah menjerumuskan sucinya Thio Ling In, sebagaimana yang ia dengar dari Gan Hok Seng suhengnya. Maka marahnya bukan main melihat musuh besar ini. Wan Yen Kan selain merusak kehidupan Ling In dan Lie Bu Tek, juga dia adalah seorang pangeran Bangsa Kin yang sedang ditumpas oleh rakyat, bagaimana sekarang Ciang Le dapat berjalan bersama seperti dua orang sahabat baik?

   "Lan moi..." kata Ciang Le akan tetapi sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya Bi Lan memotong cepat dengan pertanyaan yang kaku.

   "Apakah orang ini bukannya Wan Yen Kan, pangeran Kin?" Dipandang secara tajam oleh sepasang mata yang jeli itu, mau tidak mau Wan Yen Kan merasa keder juga. Bukan kepandaian gadis ini yang membuatnya jerih, melainkan sikapnya yang galak. Soal kepandaian Bi Lan, karena ia hanya diberi tahu oleh Ciang Le bahwa gadis itu adalah sumoi dari isterinya tentu kepandaiannya tidak berapa hebat. Wan Kan mengangkat kedua tangan memberi hormat dan menjawab pertanyaan itu.

   "Benar dugaanmu, nona. Akan tetapi sekarang aku adalah Wan Kan, suami dari sucimu Thio Ling In dan juga saudara angkat dari adikku Go Ciang Le ini." Untuk sejenak Bi Lan tertegun, ia sudah tahu bahwa Pangeran Wan Yen Kan menjadi suami Ling In dan mempergunakan nama Wan Kan, akan tetapi berita bahwa pangeran ini diaku saudara angkat oleh Ciang Le, benar-benar merupakan berita yang hebat baginya. Bagaimana Ciang Le begitu goblok dan buta memilih pangeran jahat ini sebagai saudara angkat? Merahlah mukanya saking marahnya.

   "Pangeran keparat! kau menggunakan nama Wan Kan untuk membujuk dan menipu enci Ling In, sekarang kau masih melanjutkan siasatmu untuk menipu orang-orang bangsaku! kau harus mampus di tanganku!" Setelah berkata demikian, secepat kilat Bi Lan telah menerjang maju dan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada Wan Kan! Tentu saja Wan Kan memandang ringan serangan ini. Isterinya sendiri, Ling In, masih kalah kepandaiannya olehnya apalagi gadis ini hanya sumoi dari isterinya saja. Dengan tenang dan sabar ia menangkis pukulan itu sambil berkata,

   "Sabarlah, nona..." Akan tetapi, begitu lengan tangannya beradu dengan lengan Bi Lan, ia merasa sakit sekali pada pergelangan tangannya dan tubuhnya terpental ke belakang sehingga ia terhuyung-huyung hampir jatuh. Bukan main kagetnya menghadapi tenaga lwee kang yang luar biasa hebatnya ini dan mengingat pesan Ciang Le tadi. Wan Kan segera meloncat jauh ke belakang Ciang Le.

   "Jangan lari, jahanam!" Bi Lan mengejar dengan marah sekali. Akan tetapi Ciang Le melangkah maju dan berkata,

   "Sabar, Lan moi, mari dengar penjelasanku lebih dulu..." Sementara itu, melihat keganasan gadis ini, Wan Kan berlari menjauhi mereka. Ia merasa serba susah, tidak melawan, gadis itu mendesak dan demikian galak. Melawan, belum tentu menang dan juga ia tidak enak karena bukankah gadis itu calon isteri Ciang Le? Melihat betapa kini Ciang Le menghadapi gadis itu, ia lalu berdiri menjauhi di tempat aman, mengharap adik angkatnya itu akan dapat membikin jinak harimau betina itu! Akan tetapi, Bi Lan makin marah mendengar omongan Ciang Le yang membela pangeran musuh itu.

   "Tak perlu mendengar omonganmu!" bentaknya dan tangan kanannya bergerak.

   Meluncurlah beberapa benda bersinar ke arah Wan Kan dengan kecepatan yang mengerikan. Tahu-tahu benda benda bersinar itu telah menyambar ke arah Kepala, leher, dada dan perut Wan Kan. Pangeran ini terkejut bukan main dan cepat-cepat ia meloncat ke belakang sebatang pohon besar yang kebetulan sekali berada di dekatnya. Kalau tidak ada pohon itu, agaknya akan celakalah pangeran ini, karena Bi Lan menyerang terus dengan Kim-kong-touw kut-ciam (Jarum Sinar Emas Penembus Tulang) semacam senjata rahasia yang dipelajarinya dari Thian Lo-mo! Setelah bersembunyi di belakang pohon yang besar itu, selamatlah Wan Kan dan beberapa buah jarum itu menancap masuk ke dalam batang pohon. Tentu saja Ciang Le tahu lihainya Kim-kong-touw kut-ciam ini, karena ia sendiripun telah mempelajari ilmu senjata rahasia dari Thian Lo-mo.

   "Lan moi, jangan bunuh dia..." katanya dengan gelisah sekali karena kalau sampai Wan Kan terkena senjata rahasia itu, celakalah kakak angkatnya itu. Namun, mana Bi Lan mau mengalah? Gadis itu terus menghujani pohon tadi dengan senjata rahasianya, Ciang Le cepat mengambil sesuatu dari saku bajunya dan ia juga mengeluarkan Kim-kong-touw kut-ciam yang cepat dilontarkan ke atas. Terdengar suara,

   "cring! cring! cring!" di tengah udara ketika jarum-jarum dari Bi Lan bertumbuk dengan jarum-jarum dari Ciang Le. Sungguh menarik dan bagus sekali pemandangan ini. Jarum-jarum yang dilepaskan itu mengeluarkan sinar keemasan dan ketika bertemu di. udara, menimbulkan bunga api, lalu runtuh bagaikan hujan ke atas tanah. Bi Lan merasa penasaran dan beberapa kali ia mengerahkan tenaga mengayun jarum-jarumnya akan tetapi selalu dapat disambut oleh Ciang Le yang juga melontarkan jarum-jarumnya dengan sikap tenang sekali.

   "Sumoi kau bertempur dengan siapakah...?" tiba-tiba terdengar suara dari jauh dan datanglah Ling In diikuti oleh Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng. Melihat sumoinya bertempur senjata rahasia dengan seorang pemuda baju kembang, Ling In cepat meloncat menghampiri dan untuk sejenak murid Hoa-san-pai inipun tertegun dan kagum sekali menyaksikan pertempuran yang aneh dan indah dipandang ini. Melihat datangnya saudara-saudara seperguruannya, Bi Lan menghentikan serangan senjata rahasianya dan ia menudingkan telunjuknya ke arah pohon di mana tadi Wan Kan bersembunyi sambil berkata kepada Ling In dan kedua orang suhengnya.

   "Pangeran keparat itu bersembunyi di sana, lekas tangkap dan bunuh dia!" Akan tetapi, pada saat itu terjadi sesuatu yang membuat Bi Lan berdiri melongo. Ternyata ketika mendengar suara Ling In, Wan Kan cepat meloncat keluar dan kini suami-isteri ini berdiri jauh saling pandang dengan air mata mengalir.

   "Ling In..." Wan Kan berseru girang sambil lari menghampiri.

   "Wan Kan"!" Ling In juga menjerit girang dan lari sehingga sepasang suami-isteri itu bertemu di tengah jalan lalu saling rangkul dalam pelukan yang mengharukan hati. Merah sekali muka Bi Lan melihat hal ini, ia merasa malu, jengah dan juga penasaran sekali. Ketika ia melirik ke arah Lie Bu Tek dan Gan Hok Seng, ia menjadi mikin terheran-heran melihat dua orang suhengnya itu menundukkan muka dan agaknya ikut merasa terharu pula.

   "Lie suheng, Gan suheng! Apa artinya semua ini? Mengapa kalian diam saja dan tidak memberi hajaran kepada pangeran musuh itu?" Bu Tek tidak menjawab, hanya cepat menghampiri Ciang Le yang dikenalnya sebagai pemuda yang pernah menolongnya.

   Ia menjura dengan hormat dan menyatakan kegembiraannya bertemu di tempat itu. Adapun Hok Seng segera menceritakan kepada Bi Lan tentang keadaan Wan Yen Kan yang telah menolong mereka ketika ditawan, sungguhpun Wan Yen Kan telah ditusuk pedang oleh Ling In dan dikira telah mati. Mereka semua berkumpul dan berceritalah Wan Kan tentang pengalamannya ditolong oleh Ciang Le sehingga mereka mengangkat saudara. Mendengar semua penuturan itu Bi Lan menjadi terharu dan ia sudah melihat sendiri betapa besar kasih sayang Ling In kepada suaminya. Apa lagi ketika ia mendengar bahwa sucinya itu telah mengandung, dengan sepenuh hati ia dapat menerima Wan Kan sebagai kawan, bahkan sebagai saudara, karena bukankah Wan Kan menjadi suami Ling In dan menjadi... kakak angkat Ciang Le?

   "Baiknya sam wi keburu datang," kata Ciang Le sambil tersenyum kepada tiga orang murid Hoa-san-pai itu.

   "Kalau tidak, aku dan Wan-twako tentu akan celaka oleh jarum-jarum yang lihai dari Lan moi..."

   "Benar-benar nona Bi Lan hebat sekali," Wan Kan menyambung.

   "Aku tadi sudah ketakutan setengah mati. Kukira kepandaiannya di bawah tingkat Ling In, tidak tahunya sekali beradu lengan, aku sudah terjungkal!" Mendengar semua ucapan ini, wajah Bi Lan menjadi merah sekali.

   "Belum tentu aku akan dapat menang, karena kita sama-sama mempunyai Kim-kong-touw kut-ciam. Masih harus ditentukan lebih dulu siapa yang lebih unggul!" Untuk beberapa lama, orang-orang ini bercakap-cakap saling menuturkan pengalaman mereka dengan senang karena mereka merasa cocok satu sama lain, terutama sekali Wan Kan merasa suka kepada murid-murid Hoa-san-pai yang kini ia buktikan sendiri adalah orang-orang muda yang berjiwa gagah. Akan tetapi tiba-tiba Ciang Le bangkit berdiri dan berkata,

   "Aku harus lekas pergi menolong guru-guruku."

   "Eh, guru-gurumu yang mana?" tanya Bi Lan.

   "Thian Te Siang mo sedang terancam oleh Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu di kota Paoting. Kami berdua tadi sedang menuju ke sana karena agaknya hanya Go te saja yang dapat menolong mereka!" Wan Kan menerangkan.

   "Siapa bilang? Aku yang harus menolong kedua guruku itu!" kata Bi Lan dengan marah.

   "Bagus, kalau begitu mari kita berangkat sekarang, takut kalau terlambat," kata Ciang Le.

   "Kau jangan tinggalkan aku lagi," kata Ling In kepada suaminya dengan sikap manja. Wan Kan tersenyum dengan muka merah, lalu berkata.

   "Apa salahnya kalau kita sekalian beramai-ramai menuju ke sana! Keadaan kita akan lebih kuat lagi kalau bersatu." Sebenarnya Ciang Le kurang setuju di dalam hatinya. Diantara mereka, yang kepandaiannya agak boleh diandalkan hanya Bi Lan seorang, akan tetapi tentu saja ia merasa kurang enak kalau menolak, maka katanya,

   "Memang lebih baik." Semua orang menyatakan setuju untuk ikut, kecuali Gan Hok Seng. Pemuda ini teringat akan nasib kawan-kawannya di dalam hutan ketika mereka diserbu oleh pasukan Kin. Dia sebagai kepala pasukan kawan-kawannya itu bertanggung jawab penuh dan ingin sekali ia menyelidiki bagaimana keadaan kawan-kawannya itu. Maka ia lalu berkata,

   "Maafkan aku, karena aku tidak mungkin pergi sebelum mengetahui bagaimana keadaan kawan-kawanku yang dipukul cerai berai oleh pasukan musuh. Aku hendak mengurus mereka dulu dan mengumpulkan kawan-kawan untuk membentuk pasukan baru. Pergilah kalian menolong Thian Te Siang mo, kelak kita bertemu pula." Maka berpisahlah Gan Hok Seng dengan kawan-kawannya dan berangkatlah Ciang Le, Wan Kan, Ling In, Bu Tek dan Bi Lan menuju ke Paoting dengan cepat sekali. Yang amat mengherankan dan mengagumkan hati Bi Lan adalah sikap Bu Tek, karena pemuda yang menjadi suhengnya ini sama sekali tidak nampak cemburu ataupun iri hati terhadap Wan Kan yang telah menjadi suami bekas kekasihnya. Bahkan ia nampak rukun sekali dengan Wan Kan.

   Sebaliknya, terhadap Ciang Le, Bi Lan masih saja bersikap dingin, dan diam-diam ia ingin sekali melihat bagaimana sikap kedua gurunya terhadap pemuda ini. Memang baik sekali perjalanan kali ini, pikir Bi Lan, tidak saja untuk membantu Thian Te Siang mo akan tetapi juga melihat sikap kedua gurunya itu terhadap Ciang Le. Kita mendahului lima orang muda yang berlari cepat menuju ke Paoting itu dan mari kita melihat keadaan di jembatan Liong thouw kiauw di Paoting. Telah beberapa hari, Thian Te Siang mo berada di kota ini. Kedua orang-tua yang sakti ini memang mempunyai watak yang kukoai (aneh). Mereka tidak banyak perduli tentang pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Kin, namun setelah mendengar tentang kematian Coa ong Sin kai di tangan Ba Mau Hoatsu, mereka menjadi marah dan mendongkol sekali.

   Apa lagi ketika mereka mendengar tentang berita tantangan Sam Thai Koksu terhadap mereka. Bukan main marah hati kedua Iblis Kembar ini. Karena melihat bahwa Jembatan Kepala Naga di Paoting amat baik untuk mengadu pibu, tempat itu luas dan juga tidak begitu ramai, maka mereka lalu mengunjungi Enghiong Hweekoan dan diam-diam mereka melemparkan sepotong surat ke dalam yang isinya menantang Sam Thai Koksu untuk mengadu kepandaian di jembatan itu. Thian Te Siang mo sudah maklum akan kelicikan orang-orang Kin, maka kalau mereka menuruti nafsu amarah dan menyerbu di Enghiong Hweekoan, tentu mereka akan terjebak dan dikeroyok. Sama sekali tidak tahu bahwa tetap saja Sam Thai Koksu berlaku licik dan bersikap pengecut sekali.

   Karena menghadapi tantangan Thian Te Siang mo ini, mereka tidak berani maju sendiri melainkan minta tolong kepada Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu untuk mewakili mereka! Bukan main marahnya Thian Te Siang mo ketika pada pagi hari itu mereka menanti di Jembatan Kepala Naga, yang datang bukan Sam Thai Koksu, melainkan Ba Mau Hoatsu bersama seorang Kakek tua renta yang botak bongkok dan bermuka putih. Mereka belum mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pak Hong Siansu, sebaiknya Pak Hong Siansu bisa turun dari Tibet karena memang ia ingin mencoba kepandaian Thian Te Siang mo yang dikabarkan orang menjagoi di Tiongkok utara! Thian Te Siang mo marah kepada Ba Mau Hoatsu yang dianggap telah berlaku curang ketika membunuh Coa ong Sin kai, maka datang datang Te Lo-mo lalu mengejeknya,

   "Anjing tua penjilat pemerintah Kin datang menemui kami ada urusan apakah?" Muka Ba Mau Hoatsu yang hitam menjadi makin menghitam mendengar hinaan ini. Semenjak dahulu ia memang merasa jerih kepada Thian Te Siang mo, akan tetapi pada saat itu ia datang bersama Pak Hong Siansu, apa yang ia takuti? Hatinya besar, bahkan timbul kesombongannya sehingga memesan kepada Pak Hong Siansu agar jangan turun-tangan lebih dulu karena ia sendiri yang hendak mencoba kepandaian Thian Te Siang mo! Kini mendengar ucapan Te Lo-mo, ia mengambil sepasang senjata rodanya yang istimewa, lalu membentak,

   "Iblis tua yang mau mampus! Kami mewakili Sam Thai Koksu untuk memenggal kepala kalian dan membawanya ke Cin-an!" Thian Lo-mo tertawa bergelak sampai keluar air matanya.

   "Ha, ha, ha! Tuannya tidak berani maju, lalu menyuruh anjing penjilatnya. Bagus sekali, Ba Mau Hoatsu! Memang tanganku dan pedang adikku ini adalah haus akan darah anjing. Majulah!" Kalau talinya ia bersikap sombong, setelah kini melihat sepasang Iblis Kembar ini yang hendak maju berbareng, keder juga hati Ba Mau Hoatsu.

   "Bangsat pengecut! Apakah kalian hendak maju mengeroyokku?" bentaknya sambil menggerak gerakkan sepasang rodanya.

   "Kami disebut Iblis Kembar, selalu maju bersama, baik kau datang seorang diri maupun akan maju berlima!" jawab Te Lo-mo.

   "Bagus, kalau begitu terpaksa akupun harus maju bersama kawanku ini," kata Ba Mau Hoatsu, sedangkan Pak Hong Siansu hanya tersenyum saja dengan pandangan mengejek kepada Iblis Kembar itu.

   "Orang-tua bangka ini kau suruh maju? Baiklah, kami akan membebaskannya dari kebosanan hidupnya!"

   Setelah berkata demikian, Te Lo-mo lalu maju menyerang dengan pedangnya, menusuk tenggorokan Ba Mau Hoatsu, adapun Thian Lo-mo juga melangkah maju dan menghantam dengan kepalan tangannya ke arah lambung Ba Mau Hoatsu pula. Memang, Iblis Kembar ini selalu bertempur berdua dan berpasangan, mereka merupakan dua orang, akan tetapi kalau bertempur seperti seorang yang berkaki dan berlengan empat saja, secara teratur sekali mereka menyerang dan saling membela. Dalam gerakan pertama saja, mereka telah mainkan Ilmu Silat Thian te Kun hwat yang mereka baru baru ini ciptakan. Biarpun Thian Lo-mo mengandalkan kedua tangan yang penuh terisi tenaga lweekang yang tinggi, sedangkan Te Lo-mo berpedang, namun gerakan mereka cocok sekali.

   Ba Mau Hoatsu menghadapi serangan yang hebat ini, cepat menggerakkan rodanya menangkis pedang Te Lo-mo sambil melompat mundur menghindarkan diri dari pukulan Thian Lo-mo yang mendatangkan angin kuat sekali itu. Akan tetapi, Thian Te Siang mo cepat mengejarnya dan mengirim serangan bertubi tubi sehingga Ba Mau Hoatsu menjadi terkejut dan kewalahan sekali. Tentu saja Pak Hong Siansu tak mau tinggal diam karena ia maklum bahwa kalau dibiarkan saja, keadaan Ba Mau Hoatsu amat berbahaya. Ia lalu menggerakkan sepasang senjatanya yang luar biasa yakni sebatang tongkat merah yang panjang di tangan kanan, dan seuntai tasbeh batu putih di tangan kiri.

   "Thian Te Siang mo! Aku jauh jauh datang dari barat sengaja hendak melihat sampai di mana kepandaian kalian!" serunya dan ketika tongkat dan tasbehnya melayang, Te Lo-mo tertangkis pedangnya sedangkan Thian Lo-mo disambar kepalanya oleh untaian tasbeh itu! Kedua iblis kembar ini benar-benar terkejut sekali, Te Lo-mo merasa betapa pedangnya terpental dan tangannya menjadi kaku seperti kemasukan aliran tenaga yang hebat sekali, adapun Thian Lo-mo juga cepat melompat dan mengelak dari sambaran tasbeh yang mengeluarkan bunyi bersiutan dan angin pukulannya telah membuat kulit mukanya dingin!

   "Eh, kakek yang lihai, siapakah kau?" tanya Thian Lo-mo karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian luar biasa sekali, jauh lebih tinggi, dari pada kepandaian Ba Mau Hoatsu sendiri. Pak Hong Siansu tertawa, suara ketawanya terkekeh kekeh seperti seorang-tua sekali biasa tertawa.

   "Thian Te Siang mo, jauh dari Tibet aku mendengar nama kalian yang menggemparkan langit dan bumi dan hanya karena tertarik untuk mengadu kepandaian dengan kalian, maka aku Pak Hong Siansu sengaja meninggalkan tempatku untuk datang ke sini." Mendengar nama ini, Thian Te Siang mo terkejut sekali. Nama ini sudah mereka dengar sebagai sute dari Pak Kek Siansu yang mereka takuti. Tahulah mereka bahwa mereka kini berhadapan dengan seorang yang benar-benar sakti, dan bahwa keadaan mereka amat berbahaya. Namun mereka tidak takut dan Thian Lo-mo berseru.

   "Bagus! Kiranya jago tua dari Tibet yang datang memberi kehormatan kepada kami untuk bertanding! Tak pernah kami sangka bahwa kau telah pula menjadi kaki tangan Kerajaan Kin. Sedianya kami akan menghormatimu sebagai seorang yang berkedudukan lebih tinggi, akan tetapi terhadap seorang anjing penjilat pemerintah Kin, kami tak perlu memakai banyak penghormatan lagi!" Bukan main marahnya Pak Hong Siansu mendengar ini.

   "Keparat yang harus mampus!" bentaknya dan segera tongkat dan tasbehnya menyambar nyambar laksana kilat dan halilintar. Thian Te Siang mo cepat mengelak dan menangkis dan membalas serangan itu sekuat tenaga dengan pengerahan seluruh kepandaian. Mereka mengambil putusan untuk bertempur mati-matian. Dengan kerja sama yang amat baik dan dasar kepandaian mereka yang memang tinggi, untuk puluhan jurus mereka masih dapat mempertahankan diri, sungguhpun makin lama makin terdesak dan terkurung oleh tongkat dan tasbeh sehingga tidak mendapat kesempatan untuk membalas sama sekali.

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras, tahu-tahu Ba Mau Hoatsu sudah melontarkan sepasang rodanya ke arah Thian Te Siang mo! Sepasang iblis kembar ini memang sudah amat terdesak dan seluruh perhatian mereka ditujukan ke arah serangan Pak Hong Siansu, maka datangnya serangan sepasang roda yang tak terduga duga sekali ini tak dapat mereka elakkan. Dengan tepat roda roda itu menghantam dada dan leher Thian Te Siang mo. Dua orang-tua ini memekik keras. Te Lo-mo yang terkena pukulan pada kepalanya, roboh tak bernapas lagi dengan kepala pecah. Akan tetapi Thian Lo-mo yang terpukul dadanya hanya roboh pingsan sungguhpun dalam keadaan yang amat payah dan terluka berat di sebelah dalam dadanya. Dan pada saat kedua orang-tua itu roboh datanglah Ciang Le dan kawan-kawannya.

   "Suhu..!" jerit Ciang Le dan Bi Lan hampir berbareng dan Bi Lan yang dari jauh melihat betapa lihainya Pak Hong Siansu, segera menggerakkan pedangnya menyerang Pak Hong Siansu.

   "Lan moi, biarkan aku melawannya. kau hadapi pendeta tinggi besar hitam itu!" seru Ciang Le yang juga sudah mencabut pedang Kim kong kiam. Akan tetapi Bi Lan tidak mau membiarkan pemuda itu menghadapi Pak Hong Siansu, karena ia masih sangsi akan kepandaian pemuda itu. Ketika pedangnya meluncur cepat ke arah tenggorokan Pak Hong Siansu, kakek ini mengangkat tongkatnya menangkis keras, berbareng tasbehnya meluncut ke arah lambung Bi Lan.

   Hampir saja gadis ini celaka oleh benturan pertama ini. Tangannya terasa sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas dari pegangannya sedangkan tasbeh itu sudah melayang di dekat lambungnya. Untungnya Bi Lan memang memiliki kelincahan yang luar biasa ia cepat menarik kembali pedangnya dan melempar tubuh ke belakang, berpoksai (berjungkir balik) dengan gerakan Koai liong hoan sin (Naga Siluman Balikkan Tubuh). Dengan gerakan ini selamatlah ia dari pukulan tasbeh yang akan mendatangkan maut itu. Akan tetapi gadis itu menjadi pucat dan keringat dingin membasahi jidatnya. Sementara itu, Ciang Le sudah meloncat maju menghadapi Pak Hong Siansu. Kakek ini ketika melihat Ciang Le, alisnya berdiri dan matanya melotot.

   "Kau mau apa menghadapiku dengan pedang di tangan?" bentaknya. Ciang Le menjura dengan pedang tergenggam gagangnya. Sikapnya hormat, akan tetapi wajahnya keren sekali.

   "Susiok, kalau kiranya kau berada di Tibet dan tidak melakukan hal hal yang buruk, teecu Ciang Le takkan berani bersikap seperti ini dan tentu akan menghormatimu sebagai seorang paman guru yang terhormat dan patut dihormati. Akan tetapi, kau hanya paman guruku, sedangkan dua orang yang kau bunuh ini adalah guru-guruku!"

   "Hm, habis kau mau apa?" bentak kakek ini dan Bi Lan yang mendengar dari pinggir menjadi tercengang dan melongo.

   "Sebagai murid Thian Te Siang mo, tentu saja aku akan berusaha membalas dendam," jawab Ciang Le. suaranya dingin, seperti juga pandangan matanya yang membuat Pak Hong Siansu mau tidak mau merasa keder juga. Mata pemuda ini mengingatkan dia akan mata suhengnya, Pak Kek Siansu di waktu mudanya.

   "Kau seorang murid keponakan berani menantang susioknya sendiri?"

   "Pak Hong Siansu, pada saat ini aku bukan murid keponakanmu, akan tetapi aku adalah murid dari Thian Te Siang mo yang hendak membalas dendam!" seru Ciang Le tegas. Pada saat itu Thian Lo-mo telah siuman dari pingsannya dan semenjak tadi ia melihat dan mendengar semua percakapan ini. Hatinya terharu dan ia berseru lemah,

   "Ciang Le...muridku... anakku" jangan Ciang Le. kau takkan menang... tak usah aku kau bela aku sudah tahu bahwa kau seorang murid yang baik" aku berterima kasih mendengar pembelaanmu ini..."

   "Suhu"!" Bi Lan menubruk Tian Lo-mo. Tadinya ia mengira bahwa kedua orang-tua itu sudah tewas, kini melihat Thian Lo-mo ternyata masih hidup, gadis ini segera berlutut mendekatinya.

   "Kau, Bi Lan... kau anak baik"! Untungnya kau tidak menghukum Ciang Le... kami salah sangka, dia murid terbaik..."

   "Suhu, teecu juga akan membalaskan sakit hatimu..." bisik Bi Lan. Sementara itu, ketika mendengar ucapan Thian Lo-mo, tak tertahan lagi dua butir air mata membasahi mata Ciang Le. Ia menengok ke arah Thian Lo-mo dan berkata.

   "Tidak suhu. Teecu harus membalas untuk ini!"

   "Awas, koko"!" teriakan ini terdengar dari Bi Lan yang saking kagetnya, tak terasa lagi menyebut Ciang Le "Koko"! Ciang Le tak perlu diberi ingat oleh Bi Lan karena ia sudah mendengar menyambarnya angin pukulan dari belakang ketika ia menoleh memandang kepada Thian Lo-mo tadi. Cepat ia mengelak dan benar saja, tongkat di tangan Tak Hong Siansu meluncur melewati atas kepalanya. Bukan karena Pak Hong Siansu berwatak curang, melainkan kakek ini sudah terlampau marah mendengar omongan Ciang Le tadi, maka tanpa banyak cingcong lagi ia telah menyerang.

   Ciang Le mainkan ilmu Pedang Pak kek Sin kiam sut yang ia pelajari dari Pak Kek Siansu sebagai pecahan dari pada Pak kek Sin ciang yang luar biasa lihainya. Pak Hong Siansu juga mengerahkan seluruh kepandaiannya. Tongkat dan tasbehnya menyambar nyambar sehingga menjadi dua gulung sinar yang menyilaukan mata dan tubuhnya lenyap sama sekali ditelan oleh dua gulung sinar senjatanya itu. Akan tetapi, pedang di tangan Ciang Le juga berubah menjadi sinar kuning emas yang panjang dan berkelebatan ke sana ke mari bagaikan kilat menyambar nyambar. Tubuh pemuda inipun lenyap sama sekali dan kini yang kelihatan bertempur hanyalah dua gulung sinar bundar melawan sinar panjang yang berkelebatan cepat sekali.

   Semua orang melongo menonton pertempuran ini, bahkan Ba Mau Hoatsu dan Thian Lo-mo yang telah tinggi tingkat kepandaiannya, memandang dengan penuh kekaguman, Bi Lan sendiri menjadi ternganga dan perlahan lahan merahlah wajahnya. Melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh Ciang Le itu, kalau dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri, ia tidak ada seperse puluhnya! Dan selama ini ia menganggap Ciang Le setingkat atau bahkan lebih rendah dari pada dia dalam ilmu silat! Thian Lo-mo menjadi makin lemah. Luka di dadanya berat sekali dan kalau bukan dia, agaknya dari tadi telah tewas. Mendengar suhunya merintih, Bi Lan cepat menengok dan kagetlah ia melihat muka gurunya berkerut merut tanda menahan sakit yang hebat.

   "Suhu..."

   "Bi Lan, ingat" Ciang Le anak baik, kau pun anak baik... aku senang sekali kalau kalian... kalian tak terpisah lagi... jaga dia, awas. Pak Hong Siansu lihai" yang membunuh aku dan adikku bukan Pak Hong Siansu... melainkan Ba Mau Hoatsu... Ahhh"" Leher Thian Lo-mo menjadi lemas dan ia menghembuskan napas terakhir! Bi Lan berdiri dengan mata basah. Alisnya berdiri dan ia memandang ke arah Ba Mau Hoatsu dengan mata mendelik.

   "Jahanam keparat, jadi kau yang membunuh suhu-suhuku?" Bi Lan berseru dan cepat ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dada Ba Mau Hoatsu! Pada saat itu, Ba Mau Hoatsu sedang memandang kepada Wan Yen Kan yang datang bersama Lin In dan Bu Tek. Tiga orang muda ini memang tadi tertinggal oleh Bi Lan dan Ciang Le yang berlari cepat sekali ketika dari jauh melihat Thian Te Siang mo roboh. Kini Ba Mau Hoatsu memandang dan heran melihat muridnya ini datang bersama-sama musuh.

   "Siauw Ongya... apakah aku bermimpi?" tanyanya. Wan Yen Kan menjura dengan hormat dan menjawab.

   "Suhu, memang betul teecu yang datang, akan tetapi bukan sebagai pangeran Kin, melainkan sebagai rakyat biasa. Kalau boleh, teecu peringatkan agar supaya suhu kembali ke barat, jangan mencampuri urusan pemerintah Kin yang berada di dalam cengkeraman pembesar pembesar lalim!" Ucapan ini terdengar oleh Ba Mau Hoatsu sebagai guntur di siang hari panas. Sama sekali tidak diduganya sehingga ia menjadi terheran-heran dan berdiri memandang dengan mata bundar. Pendeta ini amat sayang kepada Wan Yen Kan, karena pangeran inilah yang telah mengangkat dirinya menjadi orang terhormat.

   Sebagai guru dari Wan Yen Kan tentu saja ia dihormati oleh pemerintah Kin. Maka kini mendengar ucapan ini hatinya tidak karuan rasanya. Marah, malu, penasaran, kecewa bercampur aduk menjadi satu. Dan pada saat itu, datang serangan dari Bi Lan. Cepat Ba Mau Hoatsu mengelak dan ia lalu mainkan sepasang rodanya dengan hati-hati. Tak mau lagi ia memikirkan tentang muridnya yang aneh itu, karena ia telah tahu akan kelihaian Bi Lan yang harus dihadapi dengan penuh perhatian. Melihat Bi Lan telah bertanding dengan pendeta tinggi besar dan hitam yang mainkan roda secara hebat itu, Lie Bu Tek dan Ling In tidak mau tinggal diam dan kedua orang ini telah mencabut pedang dan melompat maju untuk membantu Bi Lan. Akan tetapi Wan Yen Kan mencegah isterinya.

   "Ling In, kau tidak boleh menggunakan banyak tenaga. Biar aku yang membantu adik Bi Lan!" Setelah berkata demikian, Wan Yen Kan mengeluarkan senjata rantainya dan menyerbu Ba Mau Hoatsu gurunya sendiri untuk membantu Bi Lan! Hebat sekali kemarahan Ba Mau Hoatsu melihat ini.

   Pendekar Budiman Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Murid durhaka, kubunuh engkau!" bentaknya berulang ulang dan kini sepasang rodanya berputaran mengancam dan mendesah Wan Yen Kan. Sebagai muridnya, tentu saja Wan Yen Kan maklum akan kehebatan sepasang roda ini dan setidaknya dapat pula menjaga diri untuk beberapa lama terhadap serangan roda roda itu.

   Akan tetapi, andaikata dia harus menghadapi gurunya sendiri, dalam belasan jurus saja ia tentu akan roboh binasa. Baiknya di situ ada Lie Bu Tek dan terutama sekali ada Bi Lan yang membuat Ba Mau Hoatsu amat repot dan tidak dapat mendesak muridnya terus-menerus karena serangan serangan Bi Lan benar-benar membuat dia terkejut dan berhati-hati. Pertempuran antara Ba Mau Hoatsu yan di keroyok tiga amat ramainya. Memang sesungguhnya, kalau bertempur satu lawan satu, kiranya lambat laun Bi Lan akan kalah juga, karena tingkat kepandaiannya memang kalah tinggi, akan tetapi sekarang dengan masuknya Bu Tek dan Wan Yen Kan ke dalam gelanggang pertempuran, keadaan menjadi berobah untuk kerugian Ba Mau Hoatsu yang segera terdesak hebat.
(Lanjut ke Jilid 14)

   Pendekar Budiman/Hwa I Eng-hiong (Seri ke 01 -Serial Pendekar Budiman) " Jilid 14
Karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo

   Jilid 14
Akan tetapi, seramai-ramainya pertempuran ini, masih lebih ramai dan seru lagi pertempuran antara Ciang Le dan susioknya, Pak Hong Siansu. Memang tak dapat disangkal pula bahwa Ciang Le kalah latihan dan kalah matang kepandaiannya dan andaikata pemuda ini harus menghadapi Pak Hong Siansu sepuluh atau lima tahun yang lalu, agaknya ia tidak mempunyai harapan untuk menang. Akan tetapi, pemuda ini telah mempelajari ilmu silat khusus dari Pak Kek Siansu sehingga dengan ilmu silatnya Pak kek Sin ciang, ia mempunyai daya tahan yang kuat sekali dan di samping itu, sekarang Pak Hong Siansu sudah amat tua, sudah terlampau tua malah untuk mengadakan pertempuran mati-matian demikian serunya.

   Kalau keadaan Ciang Le makin lama makin hebat dan kuat adalah Pak Hong Siansu sebaliknya. Menghadapi Ciang Le yang amat tangguh sehingga kakek tua renta ini harus mengerahkan seluruh kepandaian dan mengeluarkan seluruh tenaga dalam pertempuan yang seratus jurus lamanya, benar-benar amat melelahkannya. Peluhnya sudah memenuhi mukanya dan napasnya mulai tersengal-sengal. Sementara itu, Ba Mau Hoatsu marah sekali, bukan saja, karena ia tidak dapat mendesak tiga orang muda pengeroyoknya, bahkan pedang di tangan Bi Lan benar-benar merupakan bahaya yang besar sekali, ia lebih marah kalau melihat betapa Wan Yen Kan muridnya itu berusaha sungguh-sungguh untuk membantu musuh-musuhnya,

   "Wan Yen Kan bangsat terkutuk, aku harus membunuh kau !" Akan tetapi mana mungkin ia membuktikan ancamannya kalau sepasang rodanya harus menghadapi serangan mereka terutama pedang Bi Lan!

   "Pendeta palsu, kau sendiri yang sudah mau mampus, masih sempat mengancam orang lain? Tak tahu diri!" Bi Lan mengejek sambil mempercepat gerakan pedangnya.

   "Cring...!" terdengar suara nyaring dan roda perak di tangan Ba Mau Hoatsu pecah! Pendeta hitam itu kaget sekali dan sambil menyambitkan rodanya yang pecah itu ke arah Bi Lan, ia meloncat mundur cepat sekali. Sedangkan Pak Hong Siansu yang juga sudah lelah, berkata kepada Ciang Le,

   "Tahan dulu!" Pemuda itu bagaimanapun juga masih ingat bahwa ia berhadapan dengan adik seperguruan suhunya, maka seruan ini ditaatinya dan ia menarik kembali pedangnya dan melangkah mundur. Akan tetapi sungguh tidak dinyana sama sekali, tiba-tiba dari jurusan Pak Hong Siansu menyambar banyak sekali jarum-jarum hitam yang luar biasa cepatnya. Jarak antara mereka amat dekat dan sambitan jarum yang dilepaskan oleh Pak Hong Siansu ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lwee kang yang sudah tinggi, maka dapat diduga betapa cepat jalannya jarum-jarum yang menyambar ke arah tubuh Ciang Le.

   "Pengecut curang!" Pemuda itu berseru marah, ia tak sempat menangkis dengan pedangnya, maka jalan satu-satunya baginya hanya melempar diri ke belakang lalu membuat salto atau bepoksai beberapa kali. Dengan gerakan jungkir balik ini, ia mengharap akan dapat menghindarkan diri dari bahaya yang ia tahu amat besar ini. Namun tetap saja, di waktu ia berjungkir balik Pak Hong Siansu menyusul dengan lain sambitan sehingga tiba-tiba Ciang Le merasa punggungnya gatal gatal dan panas sekali. Tujuh batang jarum hitam telah menancap di punggungnya ketika ia berjungkir balik tadi karena diserang dari belakang oleh susioknya!

   "Tak tahu malu!" pekiknya marah dan ketika ia membalikkan tubuh dengan marah sekali, ternyata susioknya dan Ba Mau Hoatsu lelah lenyap dari situ. Kiranya Pak Hong Siansu merasa malu atas perbuatannya sendiri setelah ia menyerang pemuda itu secara menggelap, maka ia lalu mengajak Ba Mau Hoatsu untuk segera melarikan diri. Bi Lan dan yang lain lain tak dapat mencegah, karena selain mereka merasa jerih terhadap Pak Hong Siansu, juga mereka tercengang dan terkejut menyaksikan peristiwa itu. Menghadapi serangan jarum-jarum berbisa itu hanya sebentar saja Ciang Le dapat bertahan.

   Sambil berdiri mengertak gigi menahan sakit ia memandang ke arah lenyapnya Pak Hong Siansu dan Ba Mau Hoatsu, kemudian tiba-tiba ia mengeluh dan tubuhnya menjadi limbung. Orang yang paling cepat maju adalah Bi Lan Gadis ini merasa kagum kali melihat Ciang Le yang ternyata bukan main tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi, ketiga ia menyaksikan kecurangan Pak Hong Siansu, ia menjadi pucat dan kini melihat penuda itu limbung, ia segera melompat dan memeluknya lupa sama sekali akan perasaan malu atau kikuk. Ketika merasa tubuhnya dipeluk oleh dua lengan yang halus, Ciang Le masih sempat menengok dan tersenyumlah dia ketika melihat bahwa yang memeluknya adalah Bi Lan, akan tetapi hanya sebentar saja ia dapat melihat gadis ini, karena ia lalu roboh pingsan tak sadarkan diri dalam pelukan Bi Lan.

   Sementara itu, Wan Yen Kan, Ling In, dan Bu Tek sudah melompat mendekati mereka dan semua orang merasa gelisah sekali melihat wajah Ciang Le yang telah menjadi pucat seperti mayat. Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu merebahkan tubuh Ciang Le ke atas rumput, dalam keadaan telungkup, merobek baju punggungnya dan memeriksanya. Ternyata bahwa jarum-jarum yang tadi dilepas oleh Pak Hong Siansu telah lenyap karena jarum halus itu telah menyusup ke dalam kulit dan bersembunyi di dalam daging! Kulit punggung Ciang Le yang putih itu nampak kemerahan yang merupakan bintik bintik kecil seperti penyakit cacar. Sama sekali tidak kelihatan lagi jarum-jarum itu.

   Akan tetapi ketika Bi Lan merabanya, gadis ini menarik kembali tangannya dan keningnya berkerut. Bukan main panasnya kulit punggung itu, seakan-akan dari situ keluar api bernyala. Bi Lan pernah ikut Thian Te Siang mo merantau, maka tentu saja ia tahu tentang senjata-senjata rahasia dan tentang racun racun senjata rahasia. Akan tetapi menghadapi senjata rahasia yang dipergunakan oleh Pak Hong Siansu ini, dia benar-benar bingung. Belum pernah selama hidupnya ia melihat senjata rahasia yang menimbulkan luka luka seperti ini dan yang kini tidak dapat dilihatnya sama sekali. Juga guru-gurunya belum pernah bercerita tentang senjata rahasia macam ini. Bi Lan mengerutkan kening, hampir hampir menangis sambil menoleh ke arah tubuh kedua orang gurunya yang masih menggeletak tak bernyawa di dekat situ. Air matanya mulai menitik.

   "Bagaimana, sumoi"?" tanya Ling In halus sambil menyentuh pundak sumoinya. Akan tetapi Bi Lan tak dapat menjawab, hanya bibirnya saja gemetar menahan kegelisahan dan kebingungan. Lie Bu Tek dan Wan Yen Kan hanya dapat memandang dengan bingung, karena mereka sendiripun tidak tahu harus berbuat apa. Bi Lan lalu bangkit berdiri dan menghampiri Thian Lo-mo yang sudah tidak dapat berkutik lagi. Ia merasa terharu sekali melihat wajah gurunya ini masih nampak seperti orang menderita sakit.

   "Suhu, maafkan teecu datang mengganggu jenazahmu, suhu. Suhu" tolonglah dia" tolonglah dia, suhu..." Suara ini menggetar penuh perasaan dan tiga orang muda yang mendengar ini, menjadi terharu.

   Dari suara, ini saja mereka dapat mengetahui rahasia hati Bi Lan terhadap Ciang Le. Kemudian Bi Lan dengan tangan tangan, gemetar memeriksa saku baju suhunya di mana ia tahu suka dipergunakan untuk menyimpan bungkusan obat-obat yang amat penting. Benar saja, ia mengeluarkan sebungkus kain kuning yang setelah ia buka, terisi bungkusan bungkusan kecil obat-obatan. Ia menghaturkan terima kasih kepada jenazah gurunya, kemudian cepat menghampiri Ciang Le yang masih rebah seperti mayat. Setelah membukai semua bungkusan kecil, Bi Lan yang sudah pernah mendapat keterangan dari suhunya tentang khasiat obat-obat itu lalu mengeluarkan tiga butir kim tan (seperti pel berwarna kuning emas) dan sebungkus kecil sun hiat san (obat bubuk pembersih darah).

   "Suci, tolong carikan air dan dimasak untuk minumkan obat ini. Dan suheng serta suci hu (kakak ipar) harap sudi mewakili aku untuk mengurus dan mengubur jenazah kedua orang guruku." Ling In segera pergi memenuhi permintaan sumoinya itu.

   Adapun Bu Tek dan Wan Kan juga menyanggupi dan kedua orang muda ini kagum sekali melihat sikap dan kata-kata Bi Lan yang amat tenang, biarpun gadis itu telah menerima pukulan batin yang hebat. Benar-benar seorang gadis yang tidak saja berkepandaian tinggi, namun juga tabah dan tenang sekali. Mereka lalu bekerja menggali tanah untuk tempat menguburkan dua jenazah sepasang iblis kembar itu.
Sementara itu, Ling in sudah selesai memasak air sehingga mendidih. Bi Lan mempergunakan daun lebar untuk mengaduk kim tan dengan air mendidih, kemudian setelah air campuran obat itu menjadi dingin, ia lalu menuangkan obat ini ke dalam tenggorokan Ciang Le dibantu oleh Ling In.

   Seteiah itu, kembali Bi Lan mencairkan sun hiat sun dengan sedikit air dan menuangkan obat ini pula ke dalam tenggorokan pemuda itu. Tak lama kemudian, biarpun masih belum dapat siuman, namun air muka Ciang Le agak kemerahan, tidak sepucat tadi dan jalan nadinya sudah kuat kembali. Akan tetapi tubuhnya masih amat panas dan ia masih pingsan. Bi Lan menjaga di dekat Ciang Le dan matanya tanpa berkedip menatap wajah pemuda itu. Kini ia sendiripun tahu bahwa dia telah jatuh cinta kepada pemuda yang oleh tokoh-tokoh Hoa-san-pai dijodohkan kepadanya. Pikirannya melayang dan mengenangkan semua peristiwa yang terjadi semenjak ayah bunda Ciang Le dihukum oleh orang-orang Kin dan ayahnya sendiripun menjadi kurban ketika membela mereka sampai pertemuannya dengan Ciang Le.

   

Pendekar Pedang Pelangi Eps 1 Pendekar Pedang Pelangi Eps 20 Pendekar Pedang Pelangi Eps 7

Cari Blog Ini