Darah Pendekar 1
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 01
Kalau kita membayangkan keadaan manusia pada ribuan tahun yang lalu seperti dapat kita baca didalam kitab-kitab sejarah, kita memperoleh kenyataan betapa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat didalam keadaan lahiriah, yaitu soal-soal teknik, ilmu pengetahuan dan sebagainya. Gerobak-gerobak sederhana ditarik lembu atau kuda kini telah diganti dengan mobil, kereta api, bahkan pesawat terbang jet. Senjata-senjata pelindung diri yang tadinya hanya berupa pedang, tombak dan sebagainya kini telah diganti dengan senjata api, peluru kendali, bahkan bom dan senjata nuklir yang maha dahsyat.
Memang, tidak dapat disangkal lagi bahwa manusia telah memperoleh kemajuan yang amat hebatnya. Itu dibidang lahiriah. Akan tetapi bagaimana dengan bidang batiniah, rohaniah? Majukah kita? Kembali kita dapat menyelidikinya dengan bantuan catatan-catatan sejarah dan kita akan memperoleh kenyataan yang amat mengejutkan, memalukan, bahkan mengkhawatirkan. Menurut catatan sejarah, dijaman dahulu, ribuan tahun yang telah lalu, kita sudah mengenal perebutan kekuasaan, korupsi, benci-membenci, bunuh-membunuh, tipu-menipu karena manusia saling berlumba untuk meraih kesenangan sebanyak mungkin.
Dan bagaimana keadaannya sekarang? Sama saja, bahkan semakin hebat! dijaman dahulu, manusia sudah mengenal kesengsaraan dan dijaman sekarang ini, belum juga manusia dapat merobah keadaan batinnya, masih saja kesengsaraan merajalela dan manusia lebih banyak mengenal duka dari pada suka dalam hidupnya. Mungkin pertentangan antar manusia tidaklah sekasar dahulu lagi, namun hal itu bukan berarti bahwa pertentangan itu berkurang atau lebih lunak. Bahkan pada dasarnya lebih keji lagi. Dan keadaan seperti ini, yaitu kemajuan pesat pada bidang lahiriah namun tetap atau hampir dapat dikatakan mundur pada bidang batiniah, terjadi diseluruh bagian dunia ini, tanpa kecuali!
Cerita ini terjadi dua ribu tahun lebih yang lalu, kurang lebih dua abad Sebelum Masehi, pada jamannya Cin Si Hong-te, yaitu Kaisar pertama dari Dinasti Cin. Ada yang mengatakan bahwa orang-orang dari Dinasti Cin inilah yang pertama kali melakukan perantauan dan pelayaran sampai jauh dari negerinya, kenegara-negara asing sehingga dari mereka inilah munculnya sebutan Negeri China atau Cina, yaitu dari Dinasti Cin. Menurut catatan sejarah, Cin Si Hong-te dilahirkan pada tahun 259 Sebelum Masehi dan dalam usia tiga belas tahun, yaitu pada tahun 243. S.M. telah menjadi Raja dari Kerajaan Cin.
Pada waktu itu, banyak terdapat Raja-Raja yang membuat Tiongkok terpecah-pecah menjadi banyak kerajaan dan timbullah perang antara Raja-Raja ini, perang yang tak pernah ada henti-hentinya karena perebutan wilayah dan kekuasaan. Namun, Raja Cin yang muda itu, dengan bantuan para panglimanya yang pandai, memperoleh kemenangan dan akhirnya, pada tahun 221 S.M. ketika dia berusia tiga puluh delapan tahun, hampir seluruh kerajaan kecil-kecil itu ditaklukkannya dan diapun mengangkat dirinya menjadi Kaisar pertama berjuluk Cin Si Hong-te dari Dinasti Cin. Kekuasaan, sejak jaman dahulu sampai sekarang, selalu mendatangkan kekerasan dan penindasan. Hal ini tidaklah mengherankan karena dimana terdapat para pendukungnya, terdapat pula pihak-pihak yang menentangnya,
Terdapat pula pihak-pihak yang merasa iri hati dan ingin merebut kekuasaan itu, dan pihak yang berkuasa tentu saja berusaha mati-matian untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka, sudah tentu terjadi kekerasan dan penindasan demi mempertahankan kekuasaan dan dalam perebutan kekuasaan itu, mereka yang menentang tentu saja memberi cap lalim kepada penguasa yang ditentangnya. Hal ini terjadi sejak dahulu sampai kini, sejarah berulang sepanjang masa dan agaknya takkan pernah dapat dirobah selama kita manusia selalu mengejar kesenangan masing-masing. Cin Si Hong-te juga disohorkan sebagai seorang Kaisar diktator, kejam, bertangan besi sehingga banyak orang-orang cerdik pandai dan para pendekar membencinya disamping juga menakutinya. Lebih dari itu malah, Kaisar ini terkenal sebagai seorang Kaisar yang penuh rahasia, yang aneh,
Bahkan sering Kaisar ini lenyap tanpa ada yang tahu kemana, untuk menyusup diantara rakyat dan sering menyamar sebagai rakyat biasa, melakukan hal-hal aneh tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah sang Kaisar sendiri. Seperti terjadi dijaman apapun dan dimanapun didunia ini, setiap kekuasaan disamping menghadapi tentangan dan tantangan, tentu mempunyai pula pendukung dan biasanya, diantara para pendukung dan para penentang inilah terjadi bentrokan-bentrokan, merupakan dua pihak yang berdiri saling berhadapan sebagai musuh. Dan kalau para pendukung ini memusatkan pembelaan mereka pada tokoh penguasa, adalah para penentang itu memusatkan pembelaan atau bantuan mereka pada tokoh pemberontak. Dan kalau sudah begitu, rakyatpun ikut terseret, terpecah-belah, saling bermusuhan sendiri dan negarapun menjadi kacau! Dalam keadaan seperti itulah cerita ini terjadi.
***
Selama beberapa bulan terakhir ini, dunia kang-ouw, terutama kaum sasterawan, menjadi geger oleh perbuatan Kaisar yang dianggap sungguh keterlaluan. Kaisar telah memerintahkan agar semua kitab pelajaran Nabi Khong Cu dibakar! Tidak seorangpun diperbolehkan menyimpan kitab dengan ancaman hukuman mati. Tentu saja hal ini mempunyai akibat yang amat hebat.
Perlu diketahui bahwa kitab-kitab pelajaran Nabi Khong Cu telah dianggap sebagai garis-garis kebudayaan, bahkan dianggap sebagai ukuran tentang kemampuan sastera seseorang. Akan tetapi, Kaisar berpendapat lain. Pelajaran dalam kitab-kitab itu dianggap melemahkan kedudukan Kaisar, dan dianggap mengandung pelajaran kepada rakyat untuk memberontak dan tidak mengindahkan Kaisar lagi sebagai satu-satunya Wakil atau Utusan TUHAN didunia! Banyak sasterawan yang tidak sudi membakar, atau menyerahkan kitab-kitabnya dan mereka ini mempertahankan pendiriannya dengan mengorbankan nyawa. Para sasterawan itu dibunuh oleh kaki tangan Kaisar. Gegerlah dunia!
Seorang Menteri yang amat setia dan jujur, yaitu Menteri Ho Ki Liong yang menjabat kedudukan sebagai Menteri kebudayaan, terkejut bukan main. Dia maklum bahwa perintah Kaisar yang kejam itu terjadi karena hasutan-hasutan kaki tangan Kaisar yang menganut agama lain. Kaisar sendiri condong untuk mempelajari Agama To yang sudah bercampur dengan ilmu-ilmu hitam dari See-thian (India). Padahal, urusan kitab-kitab itu sebetulnya adalah wewenangnya sebagai Menteri kebudayaan, Maka, tanpa memperdulikan akibat-akibatnya Menteri Ho lalu menghadap Kaisar dan mengajukan protes! Protes dari Menteri yang setia ini tentu saja berpengaruh dan Kaisar lalu memerintahkan agar memperlunak pelaksanaan pelarangan atau pembakaran kitab-kitab itu. Dan Menteri Ho sendiri segera pergi kedaerah selatan untuk menangani urusan ini, menghentikan kekejaman-kekejaman yang terjadi didaerah itu,
Dimana kaki tangan Kaisar membakari kitab-kitab dan membunuhi mereka yang menentang dengan kejam. Akan tetapi kaki tangan Kaisar yang membenci para pemeluk Agama Khong-hu-cu, tidak tinggal diam. Dengan cerdik mereka menghasut Kaisar dan akhirnya mereka berhasil membujuk Kaisar sehingga Kaisar menganggap bahwa protes dan penentangan Menteri Ho ini merupakan sikap memberontak kepadanya. Dan diapun mengirim pasukan untuk menangkap Menteri yang setia itu. Peristiwa ini sungguh amat menggemparkan dunia kang-ouw, karena Menteri Ho, selain dikenal sebagai seorang Menteri yang pandai dan bijaksana, juga dikenal sebagai orang yang menghargai para tokoh kang-ouw dan bahkan mengenal tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw dan para pemimpin partai persilatan besar diempat penjuru. Dan orang-orang kang-ouw, para pendekar itupun lalu bergeraklah!
Pada suatu hari, dusun hankung-ce amatlah panasnya. Dusun yang terletak disebelah utara kota Kong-goan ini biasanya amat ramai karena dusun itu merupakan tempat simpangan dari para pedagang dan pelancong yang hendak menuju ke Kotaraja diutara. Juga dusun ini berada disebelah utara Sungai Yang-ce-kiang, menjadi tempat dimana para pedagang bermalam sebelum mereka berangkat membawa barang-barang dagangan mereka melalui jalan air diSungai Yang-ce-kiang.
Hari itu amat panas, berbeda dari biasanya sehingga jalan-jalan didusun itu, terutama jalan rayanya, nampak sunyi. Orang-orang lebih suka berlindung ditempat teduh, minum teh diwarung-warung, atau beristirahat dibawah pohon sambil mengobrol. Namun, dibalik kesunyian yang timbul karena panasnya hari itu, terasa adanya ketegangan, walaupun tidak ada diantara para pedagang itu mengetahui apa gerangan yang sedang atau akan terjadi, karena pada siang hari itu memang tidak nampak ada terjadi sesuatu yang luar biasa didusun itu. Para penghuni rumah-rumah ditepi jalan raya, kecuali mereka yang mempergunakan rumah itu sebagai toko, tidak ada yang mau duduk didepan, karena jalan raya yang kering berdebu tertimpa cahaya matahari terik itu amat tidak enak bagi mata.
Lebih nyaman untuk duduk dibelakang rumah, diantara pohon-pohon, bertelanjang dada membiarkan tubuh yang kegerahan dihembus angin semilir. Maka jalan raya itu nampak lengang. Betapapun juga, panasnya hari itu tidak mampu menghentikan kesibukan para pekerja kasar untuk bekerja. Dari jauh nampak serombongan pekerja kasar itu, memikul keranjang-keranjang besar berisi garam, menempuh jalan yang panas berdebu itu. Jalan mereka terseok-seok seirama, tubuh mereka dipaksa oleh beratnya ayunan keranjang yang tergantung dipikulan mereka, membuat tubuh mereka bergoyang-goyang dan sebelah tangan yang tidak memegang pikulan tergantung kaku dan bengkok, digerak-gerakkan untuk mengatur keseimbangan badan yang dibebani muatan amat berat itu.
Pikulan bambu mereka berbunyi kreyat-kreyot, lebih nyaring dari pada bunyi kaki mereka atau mulut mereka yang kadang-kadang bercakap-cakap tanpa menoleh kenada kawan yang diajaknya bercakap-cakap. Mereka berjalan beriring-iringan satu-satu seperti barisan panjang. Biarpun jumlah mereka hanya ada belasan orang, akan tetapi karena setiap dari mereka memikul garam dengan pikulan bambu yang panjangnya tidak kurang dari satu setengah meter, maka tentu saja jarak diantara mereka agak jauh, ada dua meter sehingga barisan belasan orang itu menjadi panjang juga. belasan orang yang sebagian besar bertelanjang dada itu nampak kuat-kuat, seperti pada umumnya para pekerja kasar yang mencari nafkah mengandalkan otot-otot badan mereka.
Akan tetapi yang paling menarik adalah orang pertama yang berjalan didepan. Orang inilah yang seolah-olah ditiru oleh orang dibelakangnya dan dengan demikian gerakan semua orang itu seperti gerakan pasukan yang terlatih saja. Orang pertama ini adalah seorang laki-laki setengah tua. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan dia memakai pakaian sederhana dan kasar. Bajunya tidak ditanggalkan seperti sebagian besar teman-temannya, dan mudah dilihat bahwa tubuhnya tidaklah kekar dan berotot seperti teman-temannya yang lebih muda. Akan tetapi keranjang-keranjang garam yang dipikulnya itu dua kali lebih besar dari yang dipikul teman-temannya dan hebatnya, kalau teman-temannya yang bertubuh kekar dan masih muda itu bermandi peluh dan kelihatan lelah.
Sebaliknya orang setengah tua ini tidak nampak repot memikul keranjang-keranjang itu, dan hanya ada sedikit peluh membasahi leher dan dahinya. Napasnya tidak memburu seperti napas teman-temannya yang mulai terengah-engah ketika mereka memasuki dusun itu. Pria yang agaknya memimpin rombongan tukang memikul garam ini bertubuh sedang, tidak mengesankan, dan dia kelihatan seperti seorang petani atau orang dusun biasa saja. Akan tetapi mukanya putih bersih dengan jenggot dan kumis masih hitam lebat, membuat mukanya nampak semakin putih lagi. Akan tetapi, muka yang putih itu mengandung sinar mata kehijauan dan ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang ahli lweekeh atau ahli tenaga dalam yang telah melatih diri dengan suatu ilmu tenaga dalam yang hebat, dan sepasang matanya juga amat tajam, walaupun dia nampak tenang sekali sikapnya.
Setelah tiba didepan pasar hankung-ce, rombongan pemikul garam itu berhenti dan memang benarlah bahwa laki-laki bermuka putih itu adalah pemimpin mereka. Hal ini terbukti bahwa laki-laki setengah tua itu kini memasuki sebuah toko, menjumpai pemilik toko itu yang agaknya biasa menerima dan memborong garam yang datang dari luar daerah. Ketika pemimpin para pemikul garam ini bercakap-cakap dengan pemilik toko, belasan orang anak-buahnya nampak berkumpul dipinggir toko dimana terdapat sebuah gang dan mereka itu berteduh ditempat itu, berlindung dari teriknya sinar matahari yang kini terhalang oleh bangunan toko. Mereka bercakap-cakap dan diselingi sendau-gurau orang-orang muda, nampaknya lega telah tiba ditempat tujuan dan dapat bersantai membiarkan tubuh yang lelah itu beristirahat.
Mereka menggunakan baju yang mereka lepaskan untuk menyusuti badan mereka yang basah oleh peluh, dan ada yang menggunakan caping mereka, yaitu topi-topi bundar lebar dengan ujung sebelah atasnya meruncing, untuk mengipasi tubuh yang gerah. Kadang-kadang, beberapa orang diantara mereka melayangkan pandang mata mereka kearah sebatang pohon pek yang besar sekali, paling besar diantara pohon-pohon pek yang banyak tumbuh ditepi jalan dalam dusun itu. Dua orang laki-laki yang agaknya ditugaskan oleh pimpinan pamong praja didusun itu, sedang menebangi dahan-dahan yang bergantung kejalan raya. Pasar itu tidak begitu ramai lagi karena hari telah siang dan sebagian besar dari orang-orang yang datang berbelanja sudah pulang kembali kerumah masing-masing.
Yang tinggal hanya para pedagang pasar yang dengan sabar masih menanti datangnya pengunjung-pengunjung yang kesiangan. Akan tetapi ada beberapa orang diantara mereka yang sudah mulai berkemas-kemas untuk menutup dagangannya dan pulang. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan debu diatas jalan raya itu mengebul, membuat suasana menjadi semakin pengap dan panas. Yang datang dari arah utara ini adalah serombongan piauwsu berkuda dan dari bendera mereka, dapat diketahui bahwa mereka adalah rombongan piauwsu dari Hek-coa-piauwkiok (Perusahaan Ekspedisi Ular Hitam). Mereka mengawal sebuah kereta penuh muatan barang dan diatas kereta ini terdapat bendera yang bergambar seekor ular hitam melingkar disertai empat buah huruf nama perusahaan itu.
Belasan orang piauwsu itu dipimpin oleh seorang piauwsu yang tubuhnya tinggi besar bermuka hitam, nampaknya kuat dan menyeramkan. Melihat sikap gagah dan muka hitam orang ini, mudah diduga bahwa dialah kepala atau ketuanya, dan mungkin saja sebutan Ular Hitam itu disesuaikan dengan kulitnya yang hitam. Rombongan piauwsu ini turun dari kuda masing-masing dan berhenti didepan sebuah kedai arak, menambatkan kuda mereka dan mereka lalu memasuki kedai, makan-minum sambil bergurau. Si tinggi besar bermuka hitam duduk didekat pintu kedai, sesekali dia memandang kearah toko dimana nampak pria muka putih bercakap-cakap dengan pemilik toko, agaknya mereka itu sedang tawar-menawar garam.
Pemilik toko itupun usianya sudah empat puluh tahun lebih, tangan kirinya mengisap huncwe tembakau yang panjang, dan orang ini memiliki kumis yang kecil panjang dan bergantung dari bawah hidung melalui sebelah kanan kiri mulutnya. Setelah melihat bahwa keadaannya sunyi dan ditoko itupun tidak ada pembeli lain, yang ada hanya si tuan toko pedagang garam, maka piauwsu tinggi besar ini lalu bangkit berdiri dan menghampiri toko itu dengan lagak seperti orang yang hendak melihat-lihat dan hendak membeli sesuatu. Akan tetapi, setelah jelas melihat bahwa disekitar tempat itu tidak ada orang lain yang memperhatikan mereka, diapun segera menghampiri dua orang pria yang sedang bercakap-cakap itu. Ternyatalah bahwa mereka bertiga ini sudah saling mengenal dengan baik. Piauwsu itu menegur dengan suara lirih, akan tetapi dengan sikap gembira dan akrab sekali.
"Heii, Kim-suipoa (Suipoa Emas) dan Pek-bin-houw (Harimau Muka Putih), kiranya kalian sudah datang lebih dulu?" Melihat si tinggi besar muka hitam ini, dua orang yang sedang bercakap-cakap itu tersenyum gembira. Tentu saja mereka tadi sudah melihat datangnya rombongan piauwsu itu dan kini mereka menyambut dengan tersenyum.
"Ah, engkau dan rombonganmu berkuda, akan tetapi datang terbelakang! Dasar Ular Hitam yang malas!" kata mereka. Pemimpin Hek-coa-piauwkiok itu tertawa, akan tetapi lalu mendekati mereka dan berkata dengan suara serius dan lirih,
"Awas, kalian berhati-hatilah. Ternyata jagoan kerajaan yang lihai sekali itu berada dalam rombongan dengan menyamar!" Dia menoleh kekanan kiri dan jelas nampak kegelisahan membayang diwajahnya yang hitam kasar itu. Dua orang itu terkejut.
"Benarkah...?" tanya si muka putih atau si pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw itu.
"Bukankah kabarnya dia diutus Kaisar memimpin pasukan untuk melakukan pembersihan disepanjang lembah Yang-ce?"
"Memang kabarnya demikian, akan tetapi entahlah, agaknya fihak Istana telah dapat mencium akan gerakan kita. mata-mata mereka tersebar dimana-mana. Dan agaknya mereka lalu merobah siasat dan mempergunakan jagoan itu untuk mengawal. Hal ini sudah jelas karena anak-buah Sin-kauw (Kera Sakti) ada yang berhasil menyelundup kesana dan dialah yang memberi kabar kepadaku," jawab pemimpin piauwkiok yang berjuluk Hek-coa (Ular Hitam).
"Wah, kalau begitu berbahaya sekali! Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali. Padahal kita tidak memperhitungkan dia, hanya mengira bahwa rombongan itu akan dikawal oleh Ciong-ciangkun saja yang sudah cukup lihai," kata pemilik toko yang berjuluk Kim-suipoa.
"Lalu bagaimana baiknya'?" tanya pedagang garam yang berjuluk Pek-bin-houw atau Harimau Muka Putih itu.
"Kita bukan penakut dan untuk perjuangan kita, mati bukanlah apa-apa. Akan tetapi kita harus waspada dan kita tahu bahwa menghadapi jagoan Istana itu satu lawan satu, kita bukanlah tandingannya. Akan tetapi, kalau kita bertiga maju bersama menandinginya, kukira belum tentu kita akan kalah olehnya," kata Kim-suipoa.
"Benar, dan biarlah Sin-kauw yang menandingi Ciong-ciangkun, komandan pasukan pengawal itu," kata Pek-bin-houw.
"Dan anak-buah kita berempat akan menyerang pasukan pengawal. Semua ini memang baik dan tepat. Akan tetapi, lalu siapa yang akan bergerak melarikan dan menyelamatkan Ho-taijin (pembesar Ho)?" tanya Hek-coa. Mereka bertiga mengepal tinju dan menjadi kebingungan mendengar pertanyaan ini. Kim-suipoa membanting kaki kanannya.
"Sungguh diluar dugaan! Kita mengira bahwa dengan mengerahkan empat orang dan kita bersama anak-buah kita, urusan ini akan dapat diselesaikan dengan mudah. Tidak tahunya manusia itu ikut datang dan merusak rencana kita. Biarpun Ho-siocia (nona Ho) dapat diharapkan akan berhasil dan datang tepat pada waktunya, namun kita tidak ingin membuatnya terancam bahaya. Kalau tahu begini, aku tentu akan minta persetujuan Ho-siocia untuk mengajak Liu-twako supaya membantu kita."
"Benar, agaknya memang hanya Liu-twako yang akan mampu menandingi iblis itu," kata Hek-coa. Selagi mereka bercakap-cakap dengan hati agak gelisah karena terjadinya perobahan tiba-tiba itu, muncullah seorang anak-buah piauwkiok dengan sikap tergopoh-gopoh.
"Rombongan kerajaan yang mengawal kereta tawanan telah tiba diluar dusun," demikian orang itu melapor.
"Baik, atur semua kawan menurut rencana semula. Kurung tempat didepan pasar dan bersembunyi. Laksanakan siasat bumi hangus!" kata Kim-suipoa yang dalam gerakan ini agaknya menjadi pemimpin. Orang itupun memberi hormat dan pergi untuk melaksanakan perintah.
"Mari kita bersiap. Kalian tahu adanya perobahan rencana. Kita bertiga harus menghadapi jagoan Istana itu dan biar Sin-kauw menghadapi Ciong-ciangkun yang mengepalai pasukan pengawal. Hek-coa, harap kau cepat beri tahu Sin-kauw yang bersembunyi dipohon itu."
"Baik!" kata si muka hitam yang cepat pergi kearah pohon. Tak lama kemudian, semua orang ini sudah tidak nampak lagi, akan tetapi sambil bersembunyi mereka telah melakukan persiapan untuk menyerbu dan dibelakang rumah-rumah disekitar pasar itupun telah terjadi kesibukan-kesibukan para anak-buah mereka. Akhirnya terdengarlah derap kaki kuda para perajurit itu. Debu mengebul tinggi dan dari arah selatan nampaklah rombongan itu memasuki dusun. belasan orang perajurit berkuda nampak paling depan, kemudian sebuah kereta berkuda empat yang dikusiri oleh seorang laki-laki muda yang berpakaian biasa saja, tidak seperti para perajurit sehingga mudah diduga bahwa kereta itu bukanlah kereta pasukan dan kusir itupun bukan perajurit. Kemudian, dikanan kiri kereta itu nampak beberapa orang perajurit berkuda, lalu dibelakang kereta masih ada puluhan orang perajurit lagi.
Jumlah seluruh perajurit tidak kurang dari lima puluh orang! Pakaian seragam mereka tertimpa sinar matahari mengeluarkan cahaya berkilauan, bersama kilauan tombak dan golok mereka! Ketika pasukan ini tiba didepan pasar, tiba-tiba saja terjadi kebakaran diempat penjuru! Suasana menjadi gempar. Teriakan "Api! api!" terdengar dan para penduduk menjadi panik. Orang-orang lari berserabutan, keluar dari rumah dan memenuhi jalan raya yang tadinya sunyi itu. Asap yang terbawa angin juga ikut menambah kacaunya suasana. Kuda para perajurit menjadi ketakutan juga karena para penduduk itu berteriak-teriak, lari kesana-sini, ada yang mencari anak mereka, ada pula yang lari mencari air dan ada pula yang berteriak-teriak, minta tolong karena rumah mereka kebakaran.
Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu, nampak keluar dari dalam kereta bersama seorang perajurit yang bertubuh pendek cebol. Keduanya lalu melompat keatas kereta yang telah dihentikan oleh kusir. Komandan pasukan yang bertubuh tinggi besar dan nampak gagah itu, lalu berteriak-teriak dari atas atap kereta, mengatur para perajuritnya agar waspada dan berhati-hati karena dia menaruh kecurigaan akan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba ini. Mana mungkin ada kebakaran rumah terjadi sedemikian tiba-tiba dan sekaligus terjadi diempat penjuru? Dan kecurigaannya itu memang segera terbukti. Dua orang perajurit mengeluarkan pekik keras dan mereka jatuh terjungkal dari atas punggung kuda mereka. Ternyata mereka telah diserang oleh anak-buah para penghadang tadi.
"Awas, jaga kereta tawanan!" teriak Ciong-ciangkun dan dari atas kereta diapun mengeluarkan aba-aba sehingga semua perajurit itu cepat mengepung kereta dan melakukan penjagaan dengan ketat. Pada saat itu, tidak kurang dari tiga puluh orang, yaitu gabungan dari anak-buah para penghadang, tukang-tukang pikul garam, para piauwsu, pegawai-pegawai toko, mulai menyerbu dan terjadilah pertempuran yang ramai ditengah jalan didepan pasar itu.
Para penduduk dusun itu yang tadinya dengan panik lari berserabutan, kini menjadi ketakutan dan cepat merekapun lenyap bersembunyi, tidak ingin terbawa dalam pertempuran yang tidak mereka ketahui sebabnya itu. Terjadilah pertempuran yang seru dan mati-matian tanpa banyak bicara lagi karena kedua fihak sudah tahu mengapa mereka bertempur dan para perajurit itupun dapat menduga bahwa orang-orang ini tentulah orang-orang yang ingin merampas dan menyelamatkan tawanan. Biarpun jumlah para perajurit itu lebih banyak, akan tetapi karena para penyerbu itu rata-rata memiliki kepandaian silat yang lumayan, maka pertempuran itu dapat berimbang.
Setiap orang penyerbu dikeroyok dua orang perajurit, akan tetapi keadaan mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya, fihak pasukan pemerintah mulai kewalahan dan beberapa orang perajurit mulai berjatuhan. Terutama sekali karena adanya tiga orang pemimpin penyerbu yang mengamuk hebat, yaitu Kim-suipoa yang menyamar sebagai pedagang toko, Pek-bin-houw yang menyamar sebagai pedagang garam, dan Hek-coa ketua piauwsu. Tiga orang ini mengamuk hebat dan makin mendekat kearah kereta dimana duduk seorang tawanan yang hendak mereka bebaskan. Melihat sepak terjang tiga orang ini, Ciong-ciangkun, komandan pasukan itu menoleh kepada perajurit pendek cebol yang berdiri diatas kereta pula sambil menonton pertempuran. Ciong-ciangkun berkata dengan sikap hormat,
"Harap taihiap suka menjaga kereta. Saya akan menahan mereka!"
"Baik, ciangkun, jangan khawatir," jawab si pendek dengan sikap tak acuh dan melihat sikap komandan itu demikian hormat kepadanya, sungguh amat mengherankan orang. Si pendek itu berpakaian perajurit biasa saja, akan tetapi komandan itu demikian menghormatnya. Kini Ciong-ciangkun, komandan pasukan yang kelihatan gagah perkasa itu mencabut pedangnya dan meloncat turun dari atas kereta, lalu dia berlari menyerbu kedepan.
Lawan tangguh yang paling dekat adalah Hek-coa si ketua piauwkiok, akan tetapi sebelum dia dapat mendekati si muka hitam itu, tiba-tiba saja nampak bayangan berkelebat dan dia telah disambut oleh seorang laki-laki berusia lima puluh tahun yang berpakaian sederhana dan yang gerakannya gesit bukan main. Laki-laki ini mukanya kecil dan hidungnya pesek seperti hidung seekor monyet. Inilah Sin-kauw, seorang diantara empat orang gagah yang berusaha menghadang pasukan dan hendak merampas tawanan itu. Seperti telah mereka rencanakan, Sin-kauw inilah yang bertugas menghadapi komandan itu, maka begitu melihat komandan itu turun dari kereta, diapun segera menyambutnya dengan senjata tongkatnya. Melihat munculnya orang ini, Ciong-ciangkun membentak marah.
"Bagus sekali! Kiranya si monyet sakti kini telah menjadi pemberontak!" Komandan ini mengenal Sin-kauw, seperti juga dia mengenal tiga orang pimpinan yang lain itu, karena mereka berempat itu adalah orang-orang kang-ouw yang cukup ternama sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kepandaian tinggi dan sebagai pendekar-pendekar yang gagah perkasa.
"Ciong-ciangkun," kata Sin-kauw si Monyet Sakti,
"Kita sama-sama mengabdi, hanya bedanya, kalau engkau mengabdi kelaliman karena memperoleh bayaran, sebaliknya aku mengabdi kebenaran tanpa mengharapkan upah apapun juga."
"Keparat, pemberontak tetap pemberontak hina!" Dan Ciong-ciangkun sudah menyerang dengan marahnya, mempergunakan pedangnya. Sin kauw menangkis dengan tongkatnya dan membalas dengan cepat dan tidak kalah dahsyatnya.
Mereka sudah berkelahi dengan hebat, mempergunakan senjata dan mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua jurus-jurus simpanan mereka. Dan memang keduanya memiliki kepandaian yang seimbang sehingga perkelahian antara mereka amat hebatnya. Tidak ada anak-buah dari kedua fihak berani mencampuri, karena jauhnya tingkat kepandaian mereka membuat pembantu-pembantu itu bukan membantu, malah mengantar nyawa dengan konyol saja. Melihat betapa komandan itu telah dihadapi oleh Sin-kauw dan kereta tawanan itu ditinggalkan, yang nampak berjaga hanyalah seorang perajurit pendek dan kusir yang nampak ketakutan, juga hanya beberapa orang perajurit dikanan kiri kereta, maka Kim-suipoa menjadi girang sekali. Ternyata, tidak seperti berita yang diterimanya, disitu tidak terdapat jagoan Istana yang kabamya amat lihai itu.
"Mari cepat, kita serbu kereta!" katanya kepada dua orang temannya dan tiga orang gagah ini lalu mengamuk lebih hebat, makin mendekati kereta. Setelah mereka berhasil mendekati kereta, Kim-suipoa berseru dengan suara lantang,
"Ho-taijin, kami datang membebaskan tuan!" Akan tetapi begitu mereka tiba didekat kereta, tiba-tiba saja ada angin puyuh menyambar kearah mereka. Angin yang mempunyai tenaga berputaran hebat dan sedemikian kuatnya tenaga angin ini sehingga gerakan mereka tertahan dan tiga orang ini tidak mampu bergerak maju, betapa kuatpun mereka berusaha untuk menerjang kedepan! Tentu saja tiga orang gagah ini terkejut bukan main. Mereka baru tahu bahwa angin puyuh itu timbul dari gerakan tangan perajurit pendek yang berdiri diatas kereta setelah si pendek itu tertawa bergelak dengan suara yang menggeledek, tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek cebol itu.
"Hua-ha-ha-ha...! Sungguh tak kusangka, ditempat ini benar-benar ada penjahat-penjahat kecil yang tak tahu diri!" Baru sekarang tiga orang gagah itu sadar. Inilah kiranya jagoan Istana yang dikabarkan ikut dalam pasukan pengawal ini! Pantas saja disohorkan orang karena memang ternyata kepandaiannya hebat sekali. Mereka memang hanya mendengar saja tentang jagoan Istana yang memiliki kepandaian hebat, dan baru sekarang mereka memperoleh kesempatan untuk bertemu dan merasakan kelihaiannya. Maka, ketika si pendek itu melompat turun, tiga orang gagah ini sudah menerjang dan mengeroyoknya. Sambil tertawa mengejek, perajurit pendek cebol itu menyambut mereka.
Jelaslah bahwa si pendek ini memandang rendah karena dia hanya menggerakkan kaki tangan saja untuk melawan mereka. Padahal, Kim-suipoa menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sebuah alat penghitung (suipoa) yang lingkarannya terbuat dari pada baja, sedangkan biji-bijinya terbuat dari emas. Agaknya senjatanya inilah yang membuat dia memperoleh julukan Suipoa Emas. Pek-bin-houw menyerang dengan senjata pikulan dan ternyata pikulannya bukan terbuat dari pada bambu, melainkan dari baja yang kedua ujungnya meruncing dan tajam. Orang ketiga, yaitu Hek-coa mempergunakan sebatang golok besar tipis yang amat tajam. Menghadapi tiga orang gagah yang lihai dan yang semua memegang senjata andalan mereka masing-masing tanpa senjata ditangan, sungguh merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
Akan tetapi, si pendek ini benar-benar amat lihai. Dengan kaki dan tangannya yang kecil pendek, tidak saja dia mampu menandingi tiga orang pengeroyoknya, bahkan sebelum lewat dua puluh jurus, tiga orang lawan yang mengeroyoknya itu telah menjadi kalang-kabut! Tentu saja tiga orang gagah itu merasa penasaran bukan main. Mereka adalah tiga orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal sebagai orang-orang yang berkepandaian tinggi dan jarang bertemu tanding! Mereka terkenal sebagai pendekar-pendekar yang ditakuti para penjahat. Kim-suipoa adalah seorang pendekar yang pandai berdagang, berkepandaian tinggi dan berhati dermawan, suka membantu fakir miskin dan berani menentang kejahatan, sedangkan alat suipoa ditangannya itu merupakan senjata ampuh yang sukar dilawan.
Pek-bin-houw adalah seorang pendekar yang suka berkelana kegunung-gunung dan ditakuti para perampok karena dia selalu membasmi gerombolan perampok yang suka mengganggu orang yang berlalu-lintas dihutan-hutan yang sunyi. Senjatanya berupa pikulan ini menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga petani, dan senjata ini tidak kalah terkenalnya dibanding dengan senjata suipoa itu. Dan orang ketiga, Hek-coa juga amat ditakuti para bajak disepanjang Sungai Huang-ho, karena lihainya. Sebagai seorang piauwsu, diapun amat terkenal dan banyak memperoleh kepercayaan orang untuk mengawal barang sangat berharga, bahkan mengawal anggauta keluarga yang melakukan perjalanan jauh melalui tempat-tempat berbahaya. Ya, mereka adalah tiga orang pendekar yang terkenal, dan berempat bersama Sin-kauw.
Mereka itu pernah bekerja-sama dan dijuluki Huang-ho suhiap (Empat Pendekar Huang-ho) karena mereka berempat berhasil membersihkan para penjahat disepanjang sungai itu! Akan tetapi, kini menghadapi seorang lawan saja yang bertangan kosong, mereka malah tidak mampu menang dan terdesak hebat. Mereka pernah mendengar akan nama jagoan Istana ini yang hanya mereka ketahui julukannya saja, yaitu Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), seorang aneh yang berilmu tinggi, dan kabarnya merupakan seorang tokoh yang menguasai ilmu dari partai persilatan terkenal yang disebut Soa-hu-pai (Partai Persilatan Danau Pasir). Menurut penuturan Liu Pang, yaitu seorang Bengcu (pemimpin rakyat) amat terkenal disepanjang lembah Yang-ce-kiang, dan merupakan pendekar dengan siapa mereka berempat itu bekerja-sama.
Pek-lui-kong memang seorang yang lihai sekali. Menurut Bengcu itu, setahun yang lalu kepandaian Pek-lui-kong itu sudah hebat, akan tetapi masih belum mampu menandingi ilmu kepandaian Liu Pang. Sekarang, melihat kehebatan gerakannya, agaknya hanya Liu Pang saja yang akan mampu menandinginya. Mereka terus menggerakkan senjata untuk berusaha mengalahkan lawan. Akan tetapi, setiap kaki si pendek itu mengeluarkan seruan sambil mendorong, mereka bertiga tentu terdorong kebelakang oleh hawa pukulan yang amat kuat dan dingin sekali. Tak dapat mereka bertahan, dan betapapun mereka mengerahkan tenaga sinkang, tetap saja mereka terdorong kebelakang, terhuyung dan menggigil kedinginan!
"Haiiiittt...!" Kim-suipoa berteriak panjang sebagai isyarat kepada dua orang temannya untuk melakukan gempuran dengan serentak. Senjata ditangannya menyambar, nampak sinar keemasan berkelebat dan senjata suipoa itu telah menghantam kearah kepala lawan.
Pada saat itu, Hek-coa juga sudah menyerang dengan babatan goloknya kearah pinggang lawan, sedangkan Pek-bin-houw memutar tongkatnya yang meluncur dan menusuk kearah anggauta rahasia si pendek itu. Sungguh tiga serangan ini amat dahsyat dan berbahaya sekali karena satu saja diantaranya mengenai sasaran, tentu akan merupakan cengkeraman maut menyambar nyawa! Akan tetapi, si pendek itu sama sekali tidak merasa gugup dengan serangan serentak itu. Sambil tersenyum, tiba-tiba tubuhnya melesat keatas sehingga semua serangan itu mengenai tempat kosong, kemudian dari atas, dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan dengan tubuh berjungkir-balik, kepala dibawah, tubuhnya melayang kebawah dan kedua tangannya melakukan gerakan mendorong.
Serangkum angin yang berputar menyerang kebawah. Belum pernah tiga orang pendekar itu melihat serangan macam ini, maka mereka menyambut tubuh lawan yang melayang turun itu dengan senjata mereka. Akan tetapi, sebelum senjata-senjata itu sempat menyentuh tubuh Pek-lui-kong, tiga orang itu terpelanting oleh sambaran hawa pukulan yang dahsyat sekali. Rasa dingin menyelinap kedalam tubuh mereka, menggetarkan jantung dan membuat mereka menggigil. Sejenak ketiganya tidak mampu bergerak dan saat itulah yang amat berbahaya karena dengan mudah lawan akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk memukul mati mereka tanpa mereka mampu melindungi diri sendiri.
"Suhu, teecu datang...!!" Nampak bayangan berkelebat dan sebatang pedang yang digerakkan dengan sangat cepat, menyerupai segulung sinar yang menyilaukan mata telah menyambar kearah Pek-lui-kong dan menghalangi si pendek itu untuk mengirim pukulan susulan yang akan mematikan tiga orang pengeroyoknya. Melihat betapa lihainya gerakan pedang ini, Pek-lui-kong terkejut dan memandang heran. Yang memegang pedang menolong tiga orang lawannya itu adalah seorang dara yang cantik jelita! Karena pedang itu gerakannya cepat dan amat kuat, Pek-lui-kong tidak berani memandang rendah dan cepat dia meloncat kebelakang untuk menghindar. Kesempatan itu dipergunakan oleh nona cantik ini untuk menyerbu kearah pintu kereta.
"Ayah...!" teriaknya. Akan tetapi, serangkum angin puyuh yang dingin menyambar dari kiri. Kiranya si pendek sudah menyerangnya.
Nona cantik itu agaknya maklum akan kehebatan angin pukulan ini, maka ia terpaksa mundur lagi, tidak jadi menyerbu kearah kereta dan cepat ia memutar pedangnya, dengan marah ia sudah menyerang lagi kepada si pendek. Sementara itu, tiga orang pendekar yang tadi rebah kedinginan, sudah dapat memulihkan dirinya dan sudah bangkit lagi, lalu membantu nona cantik tadi untuk mengeroyok si pendek yang amat lihai. Kini terjadilah pertempuran yang makin hebat, dan setelah nona itu datang mengeroyok, ternyata kekuatan mereka hampir seimbang dan si pendek menjadi lebih sibuk menghadapi pengeroyokan mereka. Siapakah nona cantik itu yang menyebut suhu kepada empat orang pendekar akan tetapi yang ternyata memiliki kepandaian yang agak lebih tinggi dari pada mereka itu?
Seperti yang pembaca agaknya dapat menduganya, tawanan didalam kereta itu bukan lain adalah Menteri Kebudayaan Ho yang telah berani memprotes kepada Kaisar tentang pembakaran kitab kitab pelajaran Nabi Khong Hu Cu. Ho-taijin atau Menteri Ho ini melakukan perjalanan keselatan untuk mengakhiri pembakaran kitab-kitab dan pembunuhan para sasterawan yang mempertahankan kitab-kitab itu, akan tetapi Kaisar yang kena dihasut oleh kaki tangannya itu lalu mengirim pasukan yang dipimpin oleh Ciong-ciangkun untuk menyusul dan menangkapnya. Bukan ini saja, malah keluarga Menteri Ho telah ditangkap lebih dulu dan dijebloskan dalam penjara! Untung bahwa satu-satunya anak keluarga Ho ini, yaitu seorang anak perempuan yang telah remaja, bernama Ho Pek Lian, telah berhasil diselamatkan oleh empat orang gurunya.
Ho-taijin yang sasterawan itu ternyata mempunyai hubungan baik dengan para pendekar, bahkan puteri tunggalnya itu sejak kecil menjadi murid dari Huang-ho suhiap Maka, ketika terjadi penangkapan atas seluruh keluarga Ho, nona Ho Pek Lian berhasil melarikan diri, dan ia ditolong oleh empat orang gurunya yang membawanya lari kepada Liu-Bengcu, yaitu Liu Pang yang menjadi memimpin rakyat yang amat disegani diwaktu itu. Liu Pang ini juga merupakan seorang pengagum Ho-taijin. maka dia menerima Ho Pek Lian yang selanjutnya disebut Ho-siocia dengan suka hati, bahkan dia mau pula menerima Ho Pek Lian menjadi muridnya. Sarang atau pusat yang dijadikan tempat para pendekar berkumpul dibawah pimpinan Liu Pang ini, yang menjadi tempat rahasia mereka, terletak disebuah puncak yang bernama puncak Awan Biru diPegunungan Fu-niu-san.
Liu Pang sendiri marah sekali mendengar akan tindakan Kaisar yang bukan hanya menyuruh tangkap Ho-taijin, bahkan telah menangkap semua keluarga pembesar yang bijaksana itu. Maka, selain memberi petunjuk kepada murid barunya ini dalam hal ilmu silat, juga Liu Pang lalu mengangkat Ho-siocia menjadi pimpinan dalam usaha mereka untuk membebaskan Ho-taijin dari tawanan. Usaha ini dibantu oleh Huang-ho suhiap, yaitu guru-guru pertama dari Pek Lian seperti telah diceritakan dibagian depan. Dan biarpun Pek Lian menjadi murid-murid mereka, namun karena ia telah menguasai ilmu-ilmu dari mereka, maka penggabungan ilmu inilah yang membuat ia menjadi tidak kalah lihainya dibandingkan dengan seorang diantara guru-guru mereka. Apalagi ia telah memperoleh petunjuk dari gurunya yang baru dan amat lihai, yaitu Liu Pang.
Demikianlah, seperti telah direncanakan, ketika terjadi pertempuran didusun itu. tiba-tiba Ho Pek Lian yang disebut Ho-siocia oleh semua orang gagah pengikut Liu Pang, muncul untuk membebaskan ayahnya. Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat betapa tiga diantara guru-gurunya kewalahan menghadapi seorang lawan yang bertubuh pendek cebol, sedangkan seorang guru yang lain. Sin-kauw, sedang bertanding dengan serunya melawan komandan pasukan. Maka Pek Lian cepat bergerak menolong tiga orang gurunya yang terancam bahaya maut itu dan kini ia bersama tiga orang gurunya itu mengeroyok si pendek yang kini iapun dapat menduga tentu Pek-lui-kong yang kabarnya diam-diam menyelundup kedalam pasukan pengawal yang menangkap ayahnya.
Setelah kini Pek Lian membantu, dan mereka berempat mengeroyok, maka Pek-lui-kong menjadi sibuk juga. Terpaksa dia mengeluarkan senjatanya, yaitu sabuk rantai baja, akan tetapi dia hanya mampu mengimbangi saja empat orang pengeroyoknya. Sementara itu, pertempuran antara Sin-kauw yang melawan Ciong-ciangkun juga amat seru dan keduanya sudah menerima hantaman dari lawan, telah menderita luka-luka yang tidak membahayakan nyawa, akan tetapi mereka masih terus bertanding dengan hebatnya. Hanya keadaan para anak-buah yang mengalami pembahan. Biarpun jumlahnya lebih banyak, namun perajurit itu tidak dapat bertahan menghadapi amukan para pendekar yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lebih tinggi. Banyak diantara perajurit yang roboh terluka atau tewas. Melihat keadaan ini, Pek Lian cepat berseru kepada para pembantunya,
"Cepat... bebaskan Ho-taijin!" Teriakan ini ditujukannya kepada para anak-buah yang berhasil mendekati kereta. Ia sendiri bersama tiga orang gurunya tidak berani meninggalkan Pek-lui-kong, karena berkurang satu saja diantara mereka berarti keadaan mereka akan terdesak dan berbahaya.
Dengan berempat, mereka mampu mengimbangi kelihaian Pek-lui-kong. Mendengar perintah dari Ho-siocia (nona Ho) ini, seorang diantara para anak-buah puncak Awan Biru ini cepat meloncat keatas kereta. Dibagian depan, kusir muda yang sejak tadi tidak ikut berkelahi, masih menelungkup diatas bangkunya dan menutupi muka dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar dan nampaknya dia merasa ngeri dan ketakutan. Melihat ini, anggauta puncak Awan Biru itu menendang dan kusir itu mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terguling kebawah dan jatuh ber debuk keatas tanah. Dia menjadi semakin ketakutan, dengan kedua tangan masih menutupi mukanya dan tidak memperdulikan rasa nyeri karena terbanting tadi, dia berteriak-teriak,
"Jangan dirusak keretaku! Kereta ini duma disewa oleh perajurit-perajurit itu! Jangan dirusak, ini keretaku!" Pada saat itu, beberapa orang pendekar anggauta puncak Awan Biru telah berloncatan dan mereka hendak membuka pintu kereta yang agaknya terkunci kuat sekali. Melihat betapa pintu kereta itu ditarik-tarik dan agaknya hendak dibuka dengan paksa, si kusir itu takut kalau-kalau keretanya rusak, maka diapun lari menghampiri dan dengan marah dia menarik dari belakang beberapa orang pendekar sambil berteriak-teriak,
"Jangan dirusak keretaku ini!" Para pendekar itu tentu saja menganggap si kusir sebagai kaki tangan pasukan perajurit biarpun mengaku bahwa keretanya hanya disewa. Mereka menjadi marah dan seorang diantara mereka yang menjadi gemas itu mengayun goloknya sambil menghardiknya.
"Pergi kau!" Kusir muda itu mencoba untuk mengelak, akan tetapi karena agaknya dia memang tidak mengenal ilmu silat sama sekali, gerakannya kaku dan kurang cepat sehingga golok itu sempat menggores lengan kirinya.
"Crett...! Aduhhh...!" Darah mengucur dari lengan yang terobek kulitnya dan sebuah tendangan membuat kusir muda itu terlempar dan jatuh terbanting. Dan terjadilah hal yang amat aneh, diawali dengan suara ketawa yang mendirikan bulu roma.
"Ha-ha-hi-hi-hi...!" Suara ketawa ini nyaring sekali sehingga semua orang menengok kearah pemuda kusir yang tertawa itu. Para pendekar yang tadinya berusaha membuka pintu kereta juga menengok. Baru sekarang mereka memandang kusir muda itu penuh perhatian dan melihat bahwa kusir itu masih muda sekali, berperawakan tinggi tegap, pinggangnya ramping dan nampaknya kuat. Juga wajahnya yang membayangkan kesederhanaan, bahkan kebodohan itu, nampak tampan dan gagah. Akan tetapi, kini sepasang matanya yang lebar dan yang dilindungi alis hitam tebal seperti golok itu terbelalak dan beringas. Lengan kirinya berdarah, matanya beringas memandang kekanan kiri seperti orang gila. Semua orang yang memandangnya menjadi terkejut dan juga ngeri. Kusir muda itu telah menjadi gila.
"Heh-heh, hi-hi-hi... Darah... Darah...! Hemmm...!" sambil berjingkrak-jingkrak seperti menari-nari, pemuda itu lalu menjilati darah yang keluar dari luka dilengannya! Melihat ini, semua orang menjadi semakin ngeri. Mereka mengira bahwa tentu kusir muda itu menjadi gila karena takutnya setelah lengannya terbacok luka itu. Seorang perajurit yang merasa ikut malu melihat ulah kusir kereta yang tadi dikawalnya itu, membentaknya dan memukulnya untuk mengusirnya pergi dari situ.
"Pergi... Aiiiiihhhhh...!" Bentakan itu disambung dengan jeritan yang mengerikan dan tubuh perajurit yang menghantam itu terlempar seperti didorong oleh tenaga dahsyat, lalu tubuhnya terbanting keatas tanah dan ternyata perajurit itu telah tewas dengan kepala retak-retak! Padahal tadi dialah yang memukul pemuda yang seperti gila itu! Tentu saja semua orang menjadi kaget setengah mati. Kiranya kusir muda yang gila itu memiliki kepandaian yang luar biasa hebatnya. Ketika kusir itu melihat perajurit terbanting tak jauh dari situ, dia berlari maju dan menubruk mayat itu, dipelukinya dan diapun menangis. Diangkatnya mayat itu, dipangkunya dan dirangkulnya dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan ratap tangis,
"Ayaahh... Ayaahhh...!" Dan kusir itupun menjadi semakin beringas. Setelah menurunkan kembali mayat itu keatas tanah, diapun meloncat berdiri dan mulailah dia mengamuk! Tidak perduli siapapun yang berada didekatnya, perajurit maupun pendekar, tentu diamuknya. Dan tidak ada seorangpun yang mampu bertahan terhadap amukannya. Setiap ayunan kaki atau tangan tentu membuat orang itu terlempar sampai jauh!
Melihat ini, semua orang menjadi gempar dan ketakutan, semua lari menyingkir setelah mencoba melawan yang hanya berakhir dengan tubuhnya terlempar jauh dan terbanting keras. Karena semua perajurit dan pendekar menjauhinya, kusir muda yang gila itu kemudian lari kearah Sin-kauw yang masih bertanding dengan serunya melawan Ciong-ciangkun. Mereka berdua sudah luka-luka dan sudah agak lemas, namun masih tidak mau saling mengalah. Dan begitu pemuda itu menyerbu, keduanya telah dapat ditangkap pada tengkuk masing-masing dan sekali menggerakkan kedua tangannya, kusir muda itu telah berhasil melemparkan Sin-kauw dan Ciong-ciangkun sampai lima meter jauhnya! Mereka berdua jatuh terbanting, tidak terluka parah tetapi juga nanar dan merangkak bangun dibantu oleh anak-buah masing-masing. Semua orang terkejut.
Bukan main hebatnya kepandaian kusir muda itu. Dan kini kusir itu telah menerjang kearah pertempuran antara Pek-lui-kong yang bertubuh pendek dan yang dikeroyok oleh empat orang lihai itu. Dan rusaklah perkelahian itn setelah kusir muda ini masuk. Dia memukul dan menendang, tanpa berpihak, bahkan diserangnya mereka kelimanya dengan gerakan kacau dan kaku, secara membabi-buta saja. Hek-coa, Pek-bin-houw dan Kim-suipoa terdorong mundur sebelum menangkis, terdorong oleh angin pukulan yang keluar dari kedua tangan kusir muda itu. Mereka terkejut sekali, dan Pek Lian juga cepat menyerang dengan pedangnya. Akan tetapi, kusir muda itu menangkis dengan mengipaskan tangannya dan akibatnya, tubuh nona itu terlempar sampai dua tiga meter jauhnya!
"Hyaaahhh...!" Pek-lui-kong mengeluarkan bentakan nyaring sambil menyambut pukulan kusir muda itu dengan dorongan kedua telapak tangannya.
"Dess...!" Dua tenaga aneh yang dahsyat berjumpa dan akibatnya, si pendek itu tergetar hebat dan terhuyung kebelakang, sedangkan kusir itupun terpelanting jatuh. akan tetapi dia sudah cepat bangkit kembali dan menangis melolong-lolong seperti anak kecil!
Si pendek terkejut setengah mati karena dia mendapat kenyataan bahwa tenaga kusir ini ternyata tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan tenaga sinkang yang dikeluarkannya tadi. Dia menjadi gentar, karena dia tidak tahu dipihak siapakah kusir itu berdiri. Tadinya kusir itu jelas membunuh seorang perajurit, akan tetapi diapun melihat kusir gila itu menyerang kalang-kabut tanpa memilih orang. Selagi semua orang dari kedua pihak gentar memandang kepada pemuda yang menangis melolong-lolong itu, tiba-tiba jendela kereta terbuka dari dalam dan nampaklah kepala seorang pria tua tersembul dari dalam. Pria itu bukan lain adalah Menteri Ho sendiri. Dengan suara penuh wibawa pembesar yang menjadi tawanan ini berkata, suaranya tegas dan tak mungkin dapat dibantah lagi oleh mereka yang menghormati dan mengaguminya.
"Pek Lian... anakku, dan para sahabatku semua. Kalian pulanglah. Aku tidak menghendaki kalian memberontak kepada pemerintah. Semenjak turun-temurun, nenek moyang keluarga Ho adalah orang-orang yang setia mengabdi kepada nusa dan bangsa, setia kepada pemerintah yang berkuasa dan tidak pernah ada yang menjadi pemberontak. Aku tidak ingin menodai nama keluarga Ho dengan pemberontakan. Nah, pulanglah. Bagaimanapun juga, aku tidak mau melarikan diri dari tahanan pemerintah."
"Ayahhhh...!"
"Anakku, pergilah! Semoga Thian selalu memberkahimu, selamat berpisah!" Daun jendela kereta itu tertutup kembali. Ho Pek Lian menangis, akan tetapi Kim-suipoa, gurunya, menuntunnya dan mengajaknya pergi dari situ. Pertempuranpun berhenti ketika kedua fihak menyerukan agar anak-buah masing-masing itu mundur.
Ciong-ciangkun yang maklum bahwa pasukannya akan menderita kekalahan kalau pertempuran dilanjutkan merasa lega bahwa Ho-taijin sendiri yang menghentikan pertempuran dan para penyerbu itu mundur dan meninggalkan tempat itu. Dia lalu mengumpulkan sisa pasukannya, meninggalkan yang tewas dan luka, lalu tergesa-gesa melanjutkan perjalanan dengan pengawalan sisa pasukan itu yang kini tinggal separuhnya saja. Kusir muda yang gila tadipun telah pergi sambil menangis dan kadang-kadang tertawa, agaknya dalam kegilaannya itu dia sudah lupa akan kereta dan kudanya, ditinggalkannya begitu saja dan entah kemana dia pergi tak ada seorang yang mengetahuinya. Sikap seperti yang diperlihatkan oleh Menteri Ho itu sudah sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang disebut sebagai "orang besar" disepanjang sejarah.
Memang amat mengherankan sekali. Kalau direnungkan secara mendalam, apakah gunanya sikap seperti itu? Dia tahu bahwa dirinya difitnah, bahwa Kaisar telah bersikap lalim dan tidak benar, bahwa dia telah menjadi korban kelaliman Kaisar. Akan tetapi, mengapa dia tidak mau menyelamatkan diri, dengan dalih tidak mau memberontak terhadap pemerintah? Bukankah hal ini didasari oleh kebanggaan diri dan ketinggian hati yang konyol belaka? Nama baik! Kehormatan! Semua ini hanya sebutan, sebutan yang diperhalus saja untuk menutupi rasa bangga diri dan ketinggian hati itu. Kita melihat betapa diri kita ini kosong melompong tidak ada artinya, bahwa diri kita ini dangkal sekali, menjadi hamba dari pada nafsu belaka dan bahwa hidup ini hanya fana, bahwa tubuh kita ini akhirnya akan hilang ditelan usia dan kematian, bahwa semua pada diri kita ini akhirnya akan lenyap.
Karena itulah, diantara harapan-harapan dan sebutan-sebutan lain, maka nama kita anggap takkan lenyap. Karena itu, nama harus dijaga sebaiknya, agar hidup selama-lamanya biarpun badan ini telah tiada! Dan demi nama dan kehormatan ini, kita mau saja melakukan segala-galanya, bahkan berkorban nyawa sekalipun, bahkan mati konyol sekalipun seperti yang diperlihatkan oleh sikap Menteri Ho itu! Apakah gunanya nama besar? Berguna bagi anak cucu? Belum tentu! Yang jelas, apapun gunanya bagi si empunya nama, tidak ada artinya lagi karena si empunya nama telah mati. Akan tetapi, kita mengejar-ngejar nama baik ini, kehormatan ini. Bukan untuk sesudah mati, melainkan untuk sekarang, agar kita dapat berbangga hati dan agar kita merasa tenteram mengingat bahwa kalau kita mati nama kita akan terus dipuji-puji orang, dikagumi orang!
Kalau nama baik dan kehormatan sudah menjadi tujuan, maka semua jalan untuk mencapainya merupakan kepalsuan. Tujuan menghalalkan segala cara. Perbuatan apapun, cara apapun yang kita lakukan, kalau sudah ditujukan untuk sesuatu demi keuntungan diri sendiri lahir maupun batin, maka perbuatan itu, cara itu, tidaklah wajar dan palsu, merupakan pura-pura belaka. Namun, seperti tercatat dalam sejarah bahkan sampai kinipun masih dilakukan orang, kita tergila-gila akan hal-hal yang kita anggap menyenangkan, seperti harta kekayaan, kemuliaan, kehormatan, nama besar, dengan ukuran dalam pikiran kita bahwa semua itulah sarana untuk mencapai kebahagiaan. Harapan kosong belaka!
Rombongan Ho Pek Lian dan empat orang gurunya yang gagal membebaskan Menteri Ho karena dilarang oleh Menteri itu sendiri, pulang kepegunungan dengan lesu. Mereka telah kehilangan beberapa orang kawan yang tewas dan yang mayatnya mereka bawa dan mereka kuburkan ditengah perjalanan, dan beberapa orang pula luka-luka dan kini ikut melakukan perjalanan pulang. Diantara empat orang pendekar itu, Sin-kauw mengalami luka-luka pula dalam pertandingannya melawan komandan pasukan, bahkan yang lainpun tidak keluar dari pertandingan itu dengan utuh. Bekas hantaman Pek-lui-kong dan kemudian tangkisan-tangkisan pemuda gila yang menjadi kusir, itu masih terasa oleh Pek Lian dan guru-gurunya. Namun, semua pengorbanan itu ternyata sia-sia belaka! Menteri Ho sendiri, pada saat mereka hampir berhasil membebaskannya, menolak dibebaskan dan menyuruh mereka pergi.
"Ayaahhh..." hati kecil Pek Lian menjerit dan air matapun berlinang dikedua matanya. Keempat orang gurunya menghibur.
"Kami dapat mengerti akan sikap ayahmu, nona," kata Kim-suipoa. Keempat orang pendekar ini selalu menyebut nona kepada murid mereka ini, mengingat bahwa Pek Lian adalah puteri tunggal Menteri Ho yang mereka hormati.
"Bagi seorang pejabat seperti ayah nona itu, keluarga sendiri dan nyawa sendiri tidak dipentingkan lagi, yang terpenting adalah mengabdi kepada pemerintah dengan penuh kesetiaan."
"Tapi, suhu!" Pek Lian membantah dengan hati penuh penasaran.
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 2 Naga Beracun Eps 6 Naga Beracun Eps 30