Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 2


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 2




   Apalagi pendekar ini memiliki pendengaran yang amat tajam, jauh lebih peka daripada pendengaran manusia biasa. Semua suara dalam kamar itu terdengar jelas olehnya. Keluhan dan rintihan nyonya muda itu memasuki telinganya, langsung menusuk-nusuk jantungnya sehingga kadang-kadang dia mempergunakan jari tangannya untuk menutupi telinga. Setelah melewati waktu yang seolah tidak ada akhirnya itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Suma Tiang Bun melompat saking kagetnya.

   "Bagaimana?" tanyanya cepat. Wanita janda itu menggeleng kepalanya dan alisnya berkerut.

   "Thio-ma, bagaimana?" Suma Tiang Bun mengulang.

   "Payah sekali, Suma Lojin. Kandungannya terbalik dan tubuhnya lemah sekali. Kalau dipaksa keluar, ibunya tidak akan kuat bertahan, sebaliknya kalau tidak dipaksa keluar, anaknya yang tidak akan tertolong. Bagaimana baiknya?"

   Thio-ma menghadapi keadaan yang amat sulit. Kalau anaknya tertolong, ibunya akan tewas, sebaliknya kalau ibunya ditolong, anaknya yang akan mati!

   Suma Tiang Bun tidak perlu berpikir panjang, segera dia menjawab.

   "Tolong anaknya! Kewajibanmu adalah menolong kelahiran. Engkau bukan ahli pengobatan dan keadaan ibunya memang sudah parah. Selamatkan anaknya!"

   Kembali Thio-ma didorong masuk kamar oleh Suma Tiang Bun yang kemudian duduk sambil bersedakap. Dia tampak letih dan prihatin sekali.

   Para tetangga berkumpul dalam rumah Suma Tiang Bun. Mereka hanya saling pandang, tidak berani bicara. Keadaan amat menegangkan dan semua orang mencurahkan perhatian mendengarkan setiap suara yang keluar dari dalam kamar.

   Semenit terasa sehari, sejam terasa sebulan bagi mereka yang berada di luar kamar. Suma Tiang Bun sudah merasa tidak enak diam. Dia berdiri lalu berjalan hilir mudik seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Setiap gerakannya diikuti oleh pandang mata para tetangga yang berkumpul di situ.

   Tiba-tiba terdengar jerit tangis nyaring sekali. Tangis seorang bayi, suara pertama yang murni dari seorang manusia begitu dia turun ke dunia ini. Mengapa menangis dan tidak tertawa? Apakah itu pertanda bahwa hidup sebagai manusia di dunia akan lebih banyak diisi tangis daripada tawa? Hanya Tuhan yang mengetahui!

   Suma Tiang Bun melompat ke pintu, akan tetapi undur kembali dan menjatuhkan diri di atas bangku, lemas seluruh tubuhnya, akan tetapi mulutnya tersenyum, wajahnya berseri. Tangis biasanya menyeret orang lain untuk merasa terharu dan ikut menangis. Akan tetapi tangis seorang bayi mendatangkan perasaan gembira bagi mereka yang mendengarnya. Akan tetapi tangis bayi yang menggembirakan itu segera disusul tangis para wanita yang membantu kelahiran dalam kamar itu. Alangkah jauh bedanya antara kedua tangis ini. Isak tangis para wanita itu mendatangkan haru dan pilu, mendatangkan awan hitam menutup sinar matahari.

   Tak lama kemudian pintu kamar terbuka. Thio-ma keluar sambil memondong seorang bayi yang sudah dibungkus selimut. Bayi merah itu membuka mulut lebar dalam tangisnya. Thio-ma memberikan bayi itu kepada Suma Tiang Bun tampak wanita itu menangis. Air mata bercucuran di kedua pipinya.

   "Ia begitu muda...... begitu cantik...... ahh, sayang......." Thio-ma terisak-isak lalu kembali ke dalam kamar.

   Suma Tiang Bun memondong bayi itu dengan kedua tangan gemetar. Dia melangkah masuk kamar dan sekilas pandang saja dia tahu bahwa nyonya muda yang baru saja melahirkan itu sudah tidak bernyawa lagi, menggeletak telentang di atas pembaringannya dengan muka putih pucat, kedua mata terpejam akan tetapi bibir yang manis dan indah bentuknya itu tersenyum. Melihat senyum itu, Suma Tiang Bun menutup kedua matanya sejenak dan terbayanglah dia betapa nyonya muda itu bertemu dan berpelukan dengan suaminya di alam lain.

   Tiba-tiba Suma Tiang Bun tertawa bergelak. Suara tawanya bukan suara tawa biasa, melainkan suara tawa yang keluar dari dasar hatinya, yang disuarakan dengan pengerahan sin-kang sehingga semua orang yang berada di situ terkejut bukan main. Pondok itu seolah-olah tergetar dan suara tawa itu terdengar sampai jauh, terdengar bergelombang dan mengerikan!

   "Ha-ha-ha-ha! Mati diantar tangis, lahir disambut tawa! Ha-ha-ha, manusia memang buta. Thio-ma, apakah hal ini tidak terbalik? Bukankah seharusnya mati diantar tawa dan lahir disambut tangis? Lihat, bayi menangis ketika dilahirkan, pertanda dia memasuki alam yang penuh pertentangan! Yang mati itu tampak tersenyum dan tenang, pertanda ia memasuki alam yang penuh kedamaian!"

   Entah mengapa, mungkin karena terkejut mendengar tawa yang dahsyat menggetarkan tadi, bayi yang tadinya menangis keras itu tiba-tiba saja berhenti menangis. Suma Tiang Bun menundukkan mukanya sehingga jenggotnya yang putih menutupi dada bayi itu. Dia tertawa lagi, kini tawanya biasa, dan dia berkata.

   "Ha-ha-ha, anak yang baik! Orang lain terlahir disambut tawa gembira, akan tetapi engkau terlahir di tengah-tengah tangis. Begitu terlahir engkau sudah mengalami kepahitan hidup pertama, dengan meninggalnya ibumu! Biarlah, manis, terimalah saja. Siapa tahu kelak engkau akan menjadi seorang manusia yang berguna bagi Thian, bagi manusia dan dunia!" Dengan wajah tampak gembira sekali, Suma Tiang Bun berjalan-jalan dalam ruangan itu sambil mengayun-ayun bayi dalam pondongannya.

   "Thio-ma dan saudara-saudara sekalian, dengarlah. Bocah ini kuberi nama Cun Giok, Suma Cun Giok! Ya, dia memakai she (marga) Suma, seperti aku, dan dia menjadi anakku. Thio-ma menjadi ibu angkatnya, dan kalian menjadi saksinya!"

   "Kasihan ibunya......" kembali Thio-ma berkata lirih.

   "Suma Lojin, apakah engkau tidak merasa kasihan kepada ibunya? Mengapa engkau begitu tega minta kepadaku untuk menyelamatkan anaknya sehingga ibunya tewas?"

   Suma Tiang Bun memberikan bayi itu kepada Thio-ma.

   "Rawatlah dia baik-baik. Semua biaya aku yang menanggungnya. Engkau bertanya tentang ibunya? Thio-ma dan semua saudara, ketahuilah. Aku kasihan sekali kepada nyonya muda itu. Aku yang menolongnya dari Sungai Huai. Akan tetapi, sebagai seorang ahli pengobatan aku tahu bahwa nyawanya tidak akan dapat ditolong lagi, karena selain keracunan, ia kehilangan banyak darah dan batinnya terguncang hebat. Tahukah kalian apa artinya ini? Andaikata ia tertolong dalam kelahirannya ini dan anaknya yang tewas, hal itu tidak akan ada gunanya karena ia pun akan meninggal karena keadaannya itu. Maka ketika dihadapkan dua pilihan, aku minta agar anak ini yang diselamatkan. Dengan menolong anak ini berarti kita menolong kelanjutan keluarganya. Kalau anak ini tidak ditolong, berarti keduanya akan binasa! Tidak, lebih baik salah satu tewas dan berkorban untuk yang lain!"

   Kini mengertilah semua orang dan mereka membenarkan tindakan yang diambil Suma Tiang Bun. Memang, kalau sudah mengetahui bahwa nyonya muda itu terluka parah dan tidak dapat disembuhkan lagi, lebih baik menyelamatkan anaknya.

   Tak seorang pun di antara mereka tahu bahwa pada saat itu, pada saat di dalam kamar Suma Tiang Bu banjir air mata, air mata gembira menyambut Suma Cun Giok dan air mata duka mengantar keberangkatan Tan Bi Lian ke alam baka, terdapat seorang gadis yang juga menangis dengan sedihnya.

   Nun jauh di kota raja, dalam sebuah kamar yang indah sekali, kamar yang terletak di gedung dalam lingkungan istana, gadis itu menangis sedih dan pilu. Gadis cantik jelita itu bukan lain adalah Pouw Sui Hong, adik mendiang Pouw Keng In, bibi dari bayi yang lahir di rumah Suma Tiang Bun itu. Tangis sedih seorang gadis yang putus asa, seperti juga tangis yang ratusan kali terdengar di kamar-kamar seperti itu, tangis para gadis seperti Pouw Sui Hong, gadis-gadis cantik jelita yang terjatuh ke dalam tangan para pangeran dan bangsawan lain di dalam atau di luar istana kaisar!

   "Pengantin......! Pengantin......!" Anak-anak bersorak dan tertawa-tawa mengikuti ronnbongan pengantin diarak. Suara tambur, canang dan suling mengiringi rombongan arak-arakan ini.

   Sudah menjadi kebiasaan para penduduk kota Lan-hui, apabila ada pernikahan, selain dirayakan di rumah, juga diadakan perayaan di kelenteng Kwan Im Bio yang letaknya di tengah kota. Kini pengantin wanita yang duduk dalam tandu dan dipikul empat orang berpakaian seragam, juga dibawa ke kelenteng itu, di mana pengantin pria telah menanti untuk menyambutnya. Dalam kelenteng itu akan diadakan upacara sembahyang oleh sepasang pengantin mohon berkat dari Kwan Im Pouwsat sebelum pengantin wanita diboyong ke rumah suaminya.

   Para pengiring pengantin kelihatan gembira, tertawa-tawa dan mengucapkan kata-kata yang sifatnya menggoda ke arah joli (tandu) pengantin.

   "A Liuk, kau lihat, pengantinnya sekarang tidak mengeluarkan suara. Kau pikir ia sedang apa?" bertanya seorang pengiring kepada kawannya, sengaja bicara di dekat tandu agar terdengar oleh pengantin wanita yang duduk di dalamnya.

   Orang yang bernama A Liuk itu tertawa keras dengan sengaja, karena kalau percakapan itu tidak dilakukan keras-keras, tentu tidak akan terdengar oleh pengantin wanita, tertutup oleh bunyi canang dan tambur.

   "Ha-ha-ha, A Sam, masa engkau tidak mendengarnya? Aku mendengar ia tertawa-tawa gembira dan kulihat ia tersenyum-senyum!"

   "Bohong kau!" kata A Sam sambil menyeringai.

   "Pengantin secantik dewi mana suaranya dapat terdengar? Dan tirai tandu demikian rapatnya, mana kau bisa melihatnya?"

   Keduanya tertawa-tawa dan yang lain-lain juga ikut tertawa.

   "A Liuk, A Sam, kalian jangan terlalu menggoda pengantin! Apa kalian ingin ia menangis lagi seperti tadi?"

   Memang teguran yang diucapkan orang ketiga ini tidak bohong. Sejak meninggalkan rumahnya di kota Ci-bun beberapa mil jauhnya dari kota Lan-hui dan sejak memasuki tandu, pengantin wanita itu terus-menerus menangis. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang kota Lan-hui, tangisnya terhenti dan tidak terdengar lagi pengantin mengeluarkan suara.

   "Ha-ha, kau bodoh!" A Liuk mencela orang yang menegur tadi.

   "Tidak tahukah kau bahwa sudah sepatutnya bagi seorang pengantin yang muda dan cantik untuk menangis kalau diangkut dengan tandu? Agaknya kelak calon isterimu, kalau diangkut tandu dan menjadi pengantin, akan tertawa terbahak-bahak di sepanjang jalan!"

   Kembali semua orang tertawa riuh mendengar kelakar ini, dan iring-iringan itu menjadi semakin gembira dengan adanya anak-anak dan penduduk Lan-hui yang menonton dan ikut mengiring di belakang rombongan menuju. kelenteng Kwan Im Bio. Setelah tiba dekat kelenteng, musik dibunyikan semakin gencar dan makin riuh pula teriakan dan sorakan para penonton.

   Sambil menanti dimulainya upacara dan persiapan penyambutan, tandu diturunkan dari pundak empat orang pemikulnya dan diletakkan di atas tanah. Menurut kebiasaan, pengantin wanita tidak boleh keluar dulu, tidak boleh terlihat mata orang lain sebelum bertemu dengan calon suaminya dan biasanya setelah persiapan selesai, tandu akan digotong terus ke dalam kelenteng di mana sudah dipersiapkan meja sembahyang bagi sepasang pengantin untuk melakukan sembahyang bersama.

   Akan tetapi ketika rombongan pengantin pria keluar dari kelenteng menyambut, dan pengantin pria tampak gagah dan tampan dengan pakaiannya yang gemerlapan, pengantin pria ini tampaknya tidak sabar lagi untuk segera dapat memandang wajah calon isterinya yang cantik. Sambil tersenyum-senyum dia melangkah ke depan, lalu tangan kanannya meraih dan menyingkap tirai hijau yang menutup joli.

   "Hayaaaa......!" Tiba-tiba dia menjerit dan melepaskan lagi tirai itu. Matanya terbelalak lebar, mukanya berubah pucat sekali dan jelas tampak dia menggigil. Semua orang terkejut, baik para pengiring pengantin wanita maupun para penyambut dan pengiring pengantin pria.

   "Mengapa......?"

   "Ada apakah......?"

   Orang-orang bertanya heran. Pengantin pria menunjukkan telunjuknya ke arah tandu, bibirnya bergerak-gerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia berkata gagap.

   "I...... itu.. ia...... darah...... telah mati.......!"

   Orang-orang terkejut. Seorang yang agak tabah cepat menyingkap tirai hijau penutup tandu dan menggantungkan tirai itu di ujung tandu sehingga tidak turun lagi. Kini semua mata memandang ke dalam tandu, ingin melihat apa gerangan yang membuat pengantin pria terkejut seperti itu.

   Dan mereka sendiri terkejut bukan main melihat pengantin wanita yang duduk dalam tandu sudah terkulai lemas. Sebuah pisau belati menancap di dadanya! Darah membasahi pakaian dan bagian dalam tandu melihat keadaan tubuh gadis itu, mudah diduga bahwa ia sudah mati.

   Suasana menjadi gempar. Orang-orang bicara simpang siur dengan bermacam-macam komentar dan pendapat. Jenazah pengantin wanita itu segera diangkat ke dalam kelenteng. Pengantin pria tampak marah sekali.

   "Ini penghinaan namanya!" ia berteriak sambil membanting-bantingkan kaki, lalu dia berteriak memanggil kepala pengawalnya.

   "Theng-kauwsu, cepat bawa teman-teman pergi ke rumah keluarga Siok, beritahukan bahwa Ji-siocia (Nona Kedua) telah membunuh diri dalam tandu dan agar Sam-siocia (Nona Ketiga) menggantikan cicinya menjadi pengantin. Hanya dengan penggantian itu kita akan terhindar dari penghinaan dan upacara pernikahan dapat dilangsungkan. Bawa tandu baru, boyong Sam-siocia ke sini, sekarang juga!"

   Setelah memberi perintah dan marah-marah, pengantin pria ini kembali masuk ke ruangan dalam kelenteng itu. Yang dipanggil Theng-kauwsu (Guru Silat Theng) adalah seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, berperawakan tinggi besar dan tegap. Begitu mendengar perintah dari pengantin pria, dia segera memimpin anak buahnya untuk membersihkan tandu dari noda darah. Setelah joli itu bersih, rombongan yang tadi mengantar pengantin wanita segera melakukan perjalanan cepat, kembali ke kota Ci-bun. Kini rombongan dikawal oleh Theng-kauwsu dan limabelas orang anak buahnya yang semua berpakaian seperti jago-jago silat.

   Para penonton menjadi gempar. Mereka membicarakan peristiwa aneh itu, akan tetapi tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani mencela sikap pengantin pria secara berterang. Pengantin pria itu adalah Bhong-kongcu (Tuan Muda Bhong) putera seorang hartawan besar di Lan-hui yang amat berpengaruh karena bukan saja dengan harta bendanya dia berhubungan erat dengan para pembesar, juga terutama sekali karena seorang pamannya menjabat kedudukan tinggi di kota raja!

   "Kasihan sekali keluarga Siok, akan habislah bunga setaman, dipetik semua oleh tangan raja muda kota Lan-hui," kata seorang penonton dengan berbisik kepada kawannya.

   Di antara para penonton terdapat seorang kakek tua yang tadi datang bersama seorang pemuda. Baik kakek maupun pemuda itu agaknya merupakan orang-orang yang biasa disebut dengan poyokan "kutu buku", yaitu orang-orang yang tekun menyenangi dan mempelajari kesusastraan di waktu itu. Hal ini tidak saja tampak dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari sikap dan gerak-gerik mereka yang halus.

   Seperti juga orang-orang lain yang berada di depan kelenteng, kakek dan pemuda itu tadi juga melihat pengantin wanita yang telah menjadi mayat di dalam tandu dari mereka saling pandang dengan sinar mata heran dan penasaran. Kemudian, setelah mendengarkan ucapan-ucapan para penonton, lalu mendengar pula ucapan pengantin pria dan melihat sikapnya yang angkuh dan keras, diam-diam kakek itu menyentuh lengan pemuda itu, lalu keduanya meninggalkan tempat itu.

   Kota Ci-bun hanya sembilan mil jauhnya dari kota Lan-hui, akan tetapi betapapun cepatnya orang berjalan, sedikitnya satu jam baru dapat sampai di kota itu. Akan tetapi, suatu keanehan terjadi. Lama sebelum rombongan Theng-kauwsu tiba di Ci-bun, kakek dan pemuda tadi telah lama berada di rumah keluarga Siok dan bercakap-cakap dengan Siok Kan, ayah pengantin wanita yang mati dalam tandu tadi!

   Keluarga Siok terdiri dari Siok Kan yang berusia sekitar empatpuluh tahun lebih. Dia sudah kehilangan isterinya yang meninggal dunia dua tahun lalu dan dia hidup bertiga dengan dua orang anak perempuannya, yaitu Siok Li yang telah membunuh diri dalam tandu dan Siok Eng. Mereka ini merupakan anak kedua dan ketiga maka disebut Ji-siocia dan Sam-siocia. Adapun puteri sulungnya telah menikah dengan seorang yang tinggal di sebuah kota di Propinsi San-thung.

   Kedatangan kakek dan pemuda itu disambut oleh Siok Kan dan puteri bungsunya, Siok Eng. Gadis berusia limabelas tahun itu menangis tersedu-sedu ketika mendengar bahwa encinya telah membunuh diri dalam tandu. Siok Eng adalah seorang gadis remaja yang cantik manis, dan melihat gadis ini menangis tersedu-sedu, pemuda yang datang bersama kakek itu merasa terharu. Siok Kan menjadi pucat sekali wajahnya mendengar akan kematian puterinya yang kedua, dan tidak tahulah dia apa yang harus dia lakukan ketika mendengar betapa Bhong-kongcu marah-marah dan hendak memaksa Siok Eng menjadi pengganti encinya yang membunuh diri.

   "Harap jangan takut dan bingung, Siok-sianseng (Tuan Siok)," kata kakek itu dengan sikap tenang.

   "Kami sengaja datang ke sini bukan hanya untuk menyampaikan berita duka ini, akan tetapi kami juga ingin menolong keluargamu. Sekarang masih banyak waktu karena mereka yang hendak menjemput puterimu masih jauh. Harap engkau suka menceritakan kepada kami mengapa engkau menyerahkan puterimu kepada Bhong-kongcu sehingga puterimu itu membunuh diri."

   Siok Kan tidak dapat menahan kesedihannya dan bercucuranlah air matanya. Setelah dapat menenangkan diri dan menghentikan tangisnya, dia berkata.

   "Apa yang dapat kami lakukan? Kami keluarga miskin, dan satu-satunya yang dapat kami andalkan, hanyalah anak sulung dan mantu kami yang berada jauh di Shan-tung. Apalagi ketika isteriku sakit, sebelum meninggal dua tahun yang lalu, ia membutuhkan perawatan selama beberapa tahun sehingga terpaksa aku tenggelam dalam lautan hutang. Sawah habis terjual, rumah pun digadaikan dan akhirnya kami terjatuh ke dalam cengkeraman Bhong-kongcu. Aku pasti akan dituntut dan masuk penjara kalau aku tidak mau menyerahkan Siok Li sebagai selirnya, karena hutangku amat banyak dan semua surat hutang itu sudah jatuh ke dalam tangannya. Kalau sampai aku dihukum, bagiku sendiri tidak apa-apa, akan tetapi bagaimana dengan anak-anakku yang tidak berdaya? Mereka tentu akan diganggu orang kalau tidak ada aku di samping mereka."

   Kakek itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan pemuda yang pendiam dan tampan itu sebentar-sebentar melirik ke arah Siok Eng yang menangis terisak-isak sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

   "Karena itulah maka aku tidak berdaya menolak ketika Bhong-kongcu melamar Siok Li. Di depanku Siok Li menyatakan rela berkorban demi keselamatan keluarganya. Tidak tahunya anak itu...... anak itu mengambil jalan nekat...... dan sekarang...... sekarang Bhong-kongcu hendak merampas Siok Eng pula......" Siok Kan menangis, kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mengepalkan tinjunya dan berseru.

   "Tidak bisa! Tidak boleh dia bertindak sewenang-wenang. Aku akan mempertahankan puteri bungsuku dan akan melawan sampai mati!" Kemudian dia menubruk dan merangkul puterinya yang tinggal seorang lagi itu. Ayah dan anak bertangisan dalam keadaan yang memilukan.

   "Siok-sianseng, harap tenang dan jangan putus asa. Ada kami di sini yang akan menolong. Percayalah, si jahat itu pasti akan menemui kegagalan dan kehancuran, dan puterimu yang telah membunuh diri pasti akan dapat terbalas sakit hatinya," kata kakek itu dengan suara lembut.

   Siok Kan memandang kepada tamunya dengan mata merah dan basah, akan tetapi muncul harapan dalam pandang matanya.

   "Bagaimana kami dapat menghadapi Bhong-kongcu yang amat besar pengaruh dan kekuasaannya itu? Kaki-tangannya banyak dan terkenal kejam, semua pembesar setempat adalah sahabat baiknya dan......"

   "Serahkan saja kepada kami," kakek itu memotong.

   "Nanti kalau mereka datang, sambutlah baik-baik dan terima saja permintaan mereka. Akan tetapi minta agar tandu dibawa masuk ke dalam kamar, katakan bahwa Sam-siocia masih terlalu muda dan pemalu sehingga tidak mau terlihat orang lain. Setelah puterimu memasuki tandu, baru boleh digotong keluar dengan tirai tertutup rapat." Kakek itu lalu bicara panjang lebar mengatur siasat yang didengarkan oleh Siok Kan dan puterinya dengan hati berdebar tegang.

   Dalam hatinya Siok Kan masih merasa ragu, akan tetapi karena semua itu dilakukan untuk menyelamatkan puteri bungsunya, dia menyatakan setuju. Siasat telah diatur dan mereka sudah siap menyambut datangnya rombongan utusan Bhong-kongcu.

   Rombongan itu tiba dibawah pimpinan Theng-kauwsu yang galak dan bersikap garang. Kedatangannya disambut oleh Siok Kan yang sudah mengatur sikap dan pura-pura tidak tahu apa maksud kedatangan rombongan itu.

   "Siok-sianseng, Bhong-kongcu mengutus kami untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui Hendaknya Sianseng ketahui bahwa Ji-siocia telah melakukan perbuatan yang menghina Bhong-kongcu dan mengacaukan upacara pernikahan. Ji-siocia telah membunuh diri di tengah perjalanan di dalam jolinya."

   Siok Kan mengeluarkan seruan kaget dan wajahnya menjadi pucat. Ini bukan hanya aksi berpura-pura belaka, karena memang sewajarnya. Mendengar ucapan tukang pukul she Theng itu, Siok Kan teringat kembali kepada Siok Li yang membunuh diri dan kedukaannya timbul kembali, membuat wajahnya tampak pucat dan sedih sekali.

   "Anakku membunuh diri karena dipaksa menikah, bagaimana Bhong-kongcu bisa marah kepadaku? Apa orang mengira aku tidak sedih kehilangan seorang anak?"

   Betapapun juga Theng-kauwsu dapat menerima dan mengerti perasaan ayah yang kematian anaknya ini, maka sikapnya yang keras menjadi agak lunak. Bagaimanapun juga dia harus membela kepentingan Bhong-kongcu.

   "Bhong-kongcu tidak marah kepadamu, Siok-sianseng. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa akan malunya Bhong-kongcu kalau pernikahannya dibatalkan. Semua tamu undangan sudah datang, tamu pembesar-pembesar berbagai kota. Oleh karena itu, untuk menolong dan menjaga nama baik Bhong-kongcu, dan untuk menjaga agar hubungan baik antara keluarga Siok dan keluarga Bhong tidak terganggu, Bhong-kongcu mengutus kami datang ke sini untuk memboyong Sam-siocia ke Lan-hui. Ia harus menggantikan kedudukan Ji-siocia dan melangsungkan pernikahan dengan Bhong-kongcu!"

   Siok Kan mengangguk-angguk, kemudian berkata lirih.

   "Kedatanganmu ini tentu sudah membawa pesan bahwa kalau kami menolak, engkau akan membawa puteri bungsuku itu dengan paksa, bukan?"

   Wajah Theng-kauwsu memerah.

   "Siok-sianseng, harap diingat bahwa aku hanyalah utusan yang menjalankan perintah majikanku. Dan harap diingat pula bahwa Bhong-kongcu pada saat ini sudah menunggu dengan tidak sabar lagi bersama para tamu yang memenuhi kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui, juga yang memenuhi ruangan gedung keluarga Bhong. Kuharap engkau tidak begitu bodoh untuk menolak yang hanya akan berakibat buruk bagi engkau dan puterimu."

   Siok Kun mengangguk-angguk dan terbatuk-batuk, kemudian dia menghela napas panjang.

   "Baiklah, baiklah, apa dayaku? Harap kalian suka menunggu sebentar. Biar aku memberitahu kepada puteri bungsuku supaya ia mempersiapkan diri untuk ikut ke Lan-hui dan membujuknya agar ia"" agar ia menurut saja dan jangan....... mencontoh kenekatan encinya......" Siok Kan meninggalkan tamu-tamunya memasuki ruangan belakang. Tidak lama kemudian dia keluar lagi dan berkata kepada Theng-kauwsu.

   "Anakku yang bungsu terlalu sedih mendengar akan kematian encinya dan ia terus-terusan menangis. Baiknya aku dapat membujuknya dan ia bersedia menggantikan tempat encinya. Akan tetapi ia tidak mau diajak keluar dan minta supaya jolinya dibawa masuk ke dalam kamarnya. Setelah ia nanti siap dan masuk ke dalam joli yang tirainya tertutup rapat, barulah joli digotong keluar dan berangkat ke Lan-hui. Harap Kauwsu memenuhi permintaannya ini. Maklumlah, ia baru berusia limabelas tahun, belum dewasa benar dan ia sedang berduka. Ia malu kalau dilihat orang lain sebagai seorang pengantin."

   Theng-kauwsu tidak menaruh curiga karena menganggap hal itu sudah sewajarnya, bahkan diam-diam dia merasa kasihan kepada keluarga Siok ini.

   "Baiklah kalau begitu. Harap saja jangan terlalu lama berkemas." Dia lalu menyuruh empat orang pemikul tandu membawa masuk tandu itu ke dalam rumah, langsung ke kamar calon pengantin wanita. Empat orang pemikul tandu itu melihat Siok Eng masih menangis tersedu-sedu dalam kamarnya, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Diam-diam mereka kagum melihat kecantikan gadis remaja itu yang masih tampak walau kedua tangannya menutupi muka. Mereka menurunkan joli dan meninggalkan kamar itu dan akan diberitahu setelah persiapan selesai dan pengantin sudah berada dalam joli.

   Tidak lama kemudian, dengan wajah muram dan sedih Siok Kan keluar menemui para tamunya dan berkata.

   "Anakku sudah siap di dalam joli. Theng-kauwsu, aku menyerahkan puteriku ke dalam tanganmu untuk kaubawa ke Lan-hui. Aku percaya bahwa engkau akan menjaganya baik-baik dan tidak memperkenankan siapapun juga membuka tirai joli. Biarlah tangan Bhong-kongcu sendiri yang akan membuka tirai joli."

   Theng-kauwsu cepat menjura dan wajahnya gembira sekali.

   "Tentu saja, Siok-sianseng, jangan khawatir." Dia lalu menyuruh empat orang pemikul joli menggotong joli yang kini sudah terisi itu. Mereka masuk diantar oleh Siok Kan dan tak lama kemudian keluarlah mereka memikul joli pengantin.

   "Theng-kauwsu, anakku tinggal yang seorang ini. Harap engkau menjaganya baik-baik. Aku rela anakku menjadi isteri Bhong-kongcu walaupun hanya selir, akan tetapi aku tidak rela kalau sampai anakku diganggu orang di tengah perjalanan."

   Theng-kauwsu tertawa bergelak dan meraba gagang pedangnya, sikapnya sombong sekali.

   "Ha-ha-ha, Siok-sianseng. Mengapa masih ragu? Andaikata ada orang yang begitu buta dan tuli sehingga berani mengganggu puterimu, kiranya dia tidak buta kalau berhadapan dengan aku dan mengenal siapa yang mengawal puterimu! Kepalan tanganku cukup besar dan pedangku cukup tajam. Kepalan tangan ini yang akan menghancurkan tangan yang berani menyentuh joli, dan pedangku akan memenggal leher orang yang berani mengganggu Sam-siocia, ha-ha-ha!"

   "Syukurlah kalau begitu, Theng-kauwsu. Nah, selamat jalan, jagalah anakku baik-baik. Kelak kalau anakku mendapat tempat yang baik di gedung keluarga Bhong, kami tidak akan melupakan jasamu."

   Bukan main girangnya Theng-kauwsu dan setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih, pengawal ini lalu mengiringkan joli pengantin yang digotong keluar.

   Setelah rombongan pengantin pergi jauh, kira-kira sudah keluar dari pintu gerbang kota, Siok Kan lalu menemui pemuda tampan yang datang bersama kakek itu. Sejak tadi pemuda itu memang berada di ruangan belakang.

   "Bagaimana selanjutnya, Sicu (orang gagah)?" Siok Kan bertanya.

   "Sekarang marilah aku antarkan Paman Siok bersama Nona Siok keluar dari kota ini dan lari mengungsi ke Shan-tung mencari anak dan mantu Paman di sana," jawab pemuda itu dengan sikap tenang.

   "Akan tetapi, Sicu, bagaimana kalau mereka tahu? Bagaimana dengan nasib gurumu? Bagaimana pula kalau mereka mengejar dan menyusul kita? Bukankah itu berarti kita semua mencari mati?"

   Pemuda itu tersenyum.

   "Harap Paman jangan khawatir. Percayalah kepada Suhu. Adapun tentang keselamatan Paman dan Nona Siok Eng, akulah yang akan menjaga dan bertanggung-jawab kalau ada yang mengganggu."

   "Bagaimana dengan rumah kami ini? Ditinggal begitu sajakah? Dan bagaimana dengan...... jenazah Siok Li anakku? Ah....... aku bingung sekali......."

   "Paman, yang sudah meninggal tidak perlu dipikirkan. Yang lebih penting adalah menyelamatkan diri Paman sendiri dan puteri Paman. Cepatlah berkemas, dan Nona Siok Eng sebaiknya menyamar sebagai pria agar lebih leluasa melakukan perjalanan jauh. Bawa saja barang yang ringkas dan berharga, yang lain-lain titipkan dulu kepada tetangga yang baik. Akan tetapi jangan sekali-sekali mengatakan ke mana Paman hendak pergi."

   Demikianlah, dalam keadaan tergesa-gesa Siok Kan dan Siok Eng berkemas, kemudian berangkatlah mereka bertiga meninggalkan kota Ci-bun.

   Kita tinggalkan dulu perjalanan tiga orang itu dan marilah kita mengikuti rombongan pengantin wanita yang diarak dengan joli dari kota Ci-bun menuju kota Lan-hui. Kalau Siok Eng ternyata masih berada di rumah, bahkan kemudian melarikan diri bersama ayahnya dan pemuda itu, lalu siapakah yang duduk di dalam joli? Kita ikuti saja perjalanan rombongan itu. Setelah tiba di kota Lan-hui, mereka disambut oleh rombongan pemain musik dan rombongan pengantin ini diarak dengan gembira menuju kelenteng Kwan Im Bio di kota Lan-hui.

   Theng-kauwsu mendahului rombongan, berjalan dengan gagahnya, kemudian dia menemui Bhong-kongcu yang sudah menanti dengan tidak sabar. Pemuda kaya raya ini beberapa kali menyeka keringat dingin membayangkan akan betapa malunya kalau sampai pernikahan itu dibatalkan. Untuk mengaku bahwa pengantin wanita membunuh diri akan lebih memalukan lagi karena hal ini pasti akan mendatangkan kesan buruk bagi namanya. Oleh karena itu, sejak tadi dia sudah menyuruh orang-orangnya menyebar berita bahwa pengantin wanita membunuh diri bukan karena dipaksa menikah, melainkan karena gadis itu menyimpan rahasia busuk dan ia membunuh diri karena takut dan malu kalau rahasianya diketahui suami setelah menikah nanti!

   Kini harapan satu-satunya hanya tinggal mengharapkan agar Siok Eng, gadis bungsu keluarga Siok yang tidak kalah cantiknya dibandingkan encinya walaupun masih remaja, mau dengan suka rela menjadi selirnya, menggantikan encinya. Bagi Bhong-kongcu tidak ada ruginya karena Siok Eng memang tidak kalah cantiknya dibandingkan mendiang Siok Li.

   Maka, dapat dibayangkan betapa girang dan bangganya ketika Theng-kauwsu datang dan menjura kepadanya lalu berkata.

   "Kiong-hi (selamat), Bhong-kongcu. Semua berjalan lancar sekali berkat keberhasilanku membujuk Siok-sianseng. Dia menyerahkan puterinya yang cantik molek itu kepada Kongcu dengan suka rela!"

   Bhong-kongcu menepuk-nepuk pundak Theng-kauwsu dan memujinya, bahkan mengeluarkan kata-kata yang sifatnya menjanjikan hadiah besar. Kemudian dengan langkah lebar dia keluar menyambut datangnya joli di pekarangan depan kelenteng Kwan Im Bio.

   "Bhong-kongcu, sambutlah Nona Pengantin!" kata Theng-kauwsu yang lupa akan tata susila saking girang dan bangganya.

   Bhong-kongcu terkenal seorang pemuda mata keranjang. Tanpa mengenal malu, pemuda itu seperti tadi ketika menyambut Siok Li, melangkah lebar, cengar-cengir menjemukan dan tangannya menyingkap tirai joli.

   Untuk kedua kalinya, pemuda kaya raya yang suka mempermainkan gadis-gadis miskin itu menjadi pucat sekali. Akan tetapi kali ini tidak hanya pucat, bahkan tubuhnya tiba-tiba saja terlempar ke belakang dibarengi pekikannya.

   "Aduuhhh......!"

   Ketika orang-orang memandang ternyata pemuda mata keranjang itu sudah terbanting di atas lantai depan kelenteng dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Dari hidung dan mulutnya keluar darah!

   Untuk kedua kalinya keadaan di situ menjadi geger. Kini lebih hebat daripada tadi. Banyak di antara para tamu dan penonton melarikan diri.

   "Pembunuhan......! Pembunuhan.......!"

   "Bhong-kongcu terbunuh!"

   "Pengantin perempuan menjadi pembunuh!"

   Demikianlah teriakan-teriakan yang simpang siur. Memang tadi ketika Bhong-kongcu menyingkap tirai, orang-orang belum sempat melihat ke dalam joli, tahu-tahu tubuh Bhong-kongcu sudah terlempar ke belakang dan terus mati. Akan tetapi, orang seperti Theng-kauwsu yang menjadi ahli silat dan sudah mempunyai banyak pengalaman, dalam sekelebatan saja tadi dapat melihat betapa sebuah tangan bergerak keluar dari tirai joli dan dengan amat cepatnya menghantam dada Bhong-kongcu.

   "Keparat! Siapa berani main gila di sini?" Theng-kauwsu membentak dan dia melompat maju sambil mencabut pedangnya.

   Untuk kota Lan-hui, nama Theng-kauwsu sudah amat terkenal sebagai seorang jagoan yang tiada tandingnya, ilmu silatnya amat tinggi, terutama sekali ilmu pedangnya yang ditakuti semua orang di Lan-hui. Banyak sudah jago silat yang roboh oleh pedang di tangan Theng-kauwsu. Maka melihat jago silat itu mencabut pedangnya yang berkilauan, orang menduga bahwa pembunuh dalam joli itu pasti akan tertangkap.

   Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh dan tirai joli itu tersingkap dari dalam! Semua orang berseru kaget dan heran ketika melihat siapa yang keluar dari dalam joli itu. Sama sekali bukan seorang gadis cantik jelita berpakaian pengantin, melainkan seorang kakek yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua! Kakek ini menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan seperti seorang yang baru bangun tidur, lalu berkata.

   Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Aahh, enak-enak tidur di dalam joli dan diayun-ayun sepanjang jalan, tahu-tahu dihentikan di sini!" Dia memandang ke depan dan melihat meja-meja yang penuh hidangan, matanya dilebarkan.

   "Aha, ada perjamuan? Perayaan pernikahan? Wah, bagus. Aku harus mencicipi enaknya arak pengantin, ha-ha-ha!" Dia melangkah maju ke arah ruangan yang dipenuhi tamu yang menghadap meja-meja di mana terdapat arak dan hidangan makanan.

   "Bangsat! Pembunuh keparat, berani engkau main gila di sini? Tua bangka bosan hidup!" Theng-kauwsu melompat dengan marah sekali.

   Bhong-kongcu dibunuh kakek ini dan dia merasa bersalah karena tadi dia lengah dan tertipu, tidak memeriksa lebih dulu siapa yang berada di dalam joli sebelum diangkut ke kelenteng. Maka kini dia menyerang dengan marah. Pedangnya menyambar dengan jurus Hu-in-toan-san (Awan Melintang Memotong Bukit), berubah menjadi sinar meluncur ke arah leher kakek itu. Kalau serangan dahsyat ini mengenai sasaran, tentu kepala kakek itu akan terpisah dari tubuhnya.

   Akan tetapi kakek itu tampak tenang saja. Biarpun dia diserang dari samping kiri, dia sama sekali tidak memutar tubuh, seakan-akan tidak melihat datangnya sambaran pedang. Dia hanya menggerakkan tangan kirinya yang hampir tertutup oleh lengan baju yang panjang, digerakkan ke kiri menangkis pedang sambil berkata.

   "Sayang banyak lalat di sini!"

   Ucapan ini disusul bunyi nyaring berdentang ketika pedang yang menyerang kakek itu terlepas dari tangan Theng-kauwsu dan terlempar ke atas lantai! Ketika ujung lengan baju kakek itu menangkis pedang, Theng-kauwsu merasa betapa tangannya tergetar hebat sehingga dia tidak mampu mempertahankan pedangnya yang terlepas dari tangannya dan dia sendiri terhuyung ke belakang sampai lima langkah. Muka guru silat yang menjadi kepala pengawal Bhong-kongcu itu berubah pucat sekali.

   Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat tangan kanannya yang tadi memegang pedang, kini telah rusak. Ibu jarinya remuk dan buku-buku jari yang lain patah-patah. Kiranya ujung lengan baju kakek itu tadi telah menghantam dan meremukkan tangan kanannya yang tadi memegang pedang!

   Seolah tidak terjadi apa-apa, kakek itu berjalan terus menghampiri meja, duduk di atas bangku, menuangkan arak dari guci langsung ke mulutnya. Terdengar suara menggelegak ketika arak yang banyak itu memasuki kerongkongan kakek itu. Setelah guci menjadi kosong, kakek itu menaruh guci di atas meja dan dia mengangguk-angguk puas.

   "Hemmm, arak yang enak!" Diambilnya sepasang sumpit, lalu dia memilih masakan daging dan makan dengan enaknya, sama sekali tidak mempedulikan pandang mata para tamu yang masih belum pergi dari situ. Melihat kelihaian kakek itu, para tamu menjadi semakin ketakutan. Dengan perlahan dan tidak berani mengeluarkan suara, mereka lalu pergi meninggalkan ruangan kelenteng.

   Kakek itu terus makan minum dengan asyiknya dan dia baru berhenti makan ketika dia mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia melihat bahwa kelenteng itu kini telah dikurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin dua orang perwira bangsa Mongol!

   "Hei, kakek pembunuh dan pemberontak! Menyerahlah daripada mampus kami cincang!" Perwira Mongol yang bertubuh gemuk pendek memaki sambil menudingkan goloknya ke arah kakek yang masih minum sisa arak yang tinggal sedikit di dalam guci kedua.

   Baru saja perwira Mongol itu menutup mulutnya, dia berseru.

   "Celaka!" dan cepat merendahkan tubuhnya dengan gerakan cepat sekali. Rupanya perwira gemuk ini memiliki kepandaian yang lumayan, kalau dia tidak cepat mengelak tentu guci arak kosong yang dilontarkan kakek itu akan mengenai kepalanya yang besar. Guci itu meluncur lewat, menghantam tiang dan pecah berantakan.

   "Bunuh dia!" Perwira Mongol kedua yang bertubuh tinggi besar memberi aba-aba dan puluhan orang anak buahnya menyerbu ke dalam ruangan. Kakek itu masih duduk dan tersenyum mengejek. Ketika belasan ujung golok menyambar dan menyerangnya, barulah dia bergerak dengan cepat sekali, berkelebat dan lenyap dari pandang mata para pengeroyoknya!

   "Hei, mana dia?"

   "Eh, jangan serang kawan sendiri!"

   "Aduh.......!"

   Ramai dan kacaulah para pengeroyok di sekeliling meja di mana kakek tadi makan minum. Belasan orang yang tadi menyerbu, tiba-tiba kehilangan lawan dan tahu-tahu kakek itu menghantam mereka dari belakang! Beberapa orang tentara roboh malang melintang tak dapat bangun kembali.

   "Tangkap dia! Bunuh.......!"

   Akan tetapi aba-aba dari dua orang perwira Mongol itu berakibat hebat bagi mereka sendiri. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya bayangan yang sukar diikuti pandang mata, kakek itu bergerak ke arah dua orang perwira Mongol dan tiba-tiba keduanya roboh dan tewas!

   Hal ini membuat semua perajurit yang mengeroyok menjadi terkejut sekali dan gentar. Kini kakek itu mengambil segenggam kacang dari atas meja, lalu dengan tertawa-tawa dia menyambit-nyambitkan kacang itu ke arah para perajurit sambil berkata.

   "Kalian ini anjing-anjing peliharaan penjajah Mongol sungguh menjemukan!"

   Kepandaian kakek itu sungguh hebat. Biarpun yang dia sambitkan itu hanya kacang yang sudah digoreng, akan tetapi begitu mengenai para perajurit segera terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang dari mereka roboh terguling. Sambitan kacang itu tepat mengenai bagian tubuh yang lemah dan butir-butir kacang itu ketika disambitkan tangan yang memiliki tenaga sakti, meluncur seperti peluru besi!

   Pasukan bantuan segera datang ke tempat itu, bahkan kini telah dipersiapkan pasukan panah untuk menangkap atau membunuh kakek yang amat Iihai itu. Akan tetapi ketika pasukan baru itu tiba di pekarangan kelenteng, kakek itu sudah lenyap dan hebatnya, jenazah Siok Li yang tadinya masih berada di dalam kelenteng ikut lenyap bersama kakek itu!

   Para pembesar di Lan-hui segera mengerahkan tenaga untuk memburu dan menangkap keluarga Siok di Ci-bun, akan tetapi mereka mendapatkan rumah keluarga Siok telah kosong dan tak seorang pun mengetahui ke mana perginya Kakek Siok beserta puteri bungsunya. Juga kakek lihai yang mengamuk di kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui itu tidak muncul lagi dan tidak dapat ditemukan sungguhpun sudah dicari oleh pasukan yang dikerahkan para pembesar Mongol.

   Beberapa pekan kemudian setelah terjadinya keributan di kelenteng Kwan Im Bio di Lan-hui itu, di sebuah dusun di Propinsi Shan-tung, dalam sebuah rumah sederhana, kakek aneh itu bersama muridnya, pemuda yang tampan gagah, sedang bercakap-cakap dengan Siok Kan.

   Siok Eng, gadis remaja yang cantik manis itu, melayani mereka, menghidangkan minuman dan mukanya kemerahan ketika ia mengerling dan pandang matanya bertemu dengan pandang mata pemuda itu.

   Siok Kan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek berambut putih itu, akan tetapi kakek itu cepat memegang kedua pangkal lengannya dan menyuruhnya bangkit.

   "Tidak perlu bersikap seperti ini, Saudara Siok. Di antara kita sesama manusia, setiap ada kesempatan dan kemampuan, harus saling menolong."

   "Lo-enghiong, baru sekarang seolah terbuka mataku yang buta, tidak melihat bahwa Lo-enghiong berdua adalah pendekar budiman yang menjadi dewa penolong kami sekeluarga. Tidak hanya saya dan puteri saya yang masih hidup tertolong oleh Lo-enghiong berdua, bahkan anak saya Siok Li yang sudah mati, jenazahnya masih diselamatkan dan dirawat. Sungguh budi Lo-enghiong amat besar dan tidak mungkin kami dapat membalasnya. Karena itu, untuk membalas budi, saya ingin menyerahkan puteri saya Siok Eng kepada Lo-enghiong agar dijodohkan dengan murid Lo-enghiong. Dengan demikian anak saya ini dapat melayani ji-wi (Anda Berdua) sekadar membalas budi yang Lo-enghiong limpahkan kepada kami."

   Ketika itu Siok Eng baru muncul dari dalam membawa baki berisi makanan. Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya itu, kedua tangan gadis ini menggigil, mukanya menjadi merah sekali dan nyaris baki itu jatuh kalau saja pemuda itu tidak cepat melompat dan menyambar baki yang sudah terlepas dari tangan Siok Eng.

   Mereka berdiri saling pandang. Pertemuan pandang yang hanya beberapa detik itu bagi mereka berdua mengandung arti yang mendalam dan membekas di hati masing-masing. Siok Eng segera lari masuk dan meninggalkan baki itu di tangan Si Pemuda.

   Kakek itu dan Siok Kan tertawa gembira dan pemuda itu menoleh, memandang mereka dan mukanya berubah merah.

   "Cun Giok, engkau tentu tidak keberatan, bukan?" kata kakek itu.

   Suma Cun Giok, pemuda itu, tersipu dan sejenak dia tidak mampu menjawab. Kemudian, setelah menaruh baki itu di atas meja, dia berkata dengan gagap.

   "Ini...... eh, hal ini terserah kepada...... yang menjadi guru dan ayah.......!"

   "Ha-ha-ha!" kakek itu tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang putih dan panjang.

   "Gurumu tidak keberatan, dan ayahmu...... dia setuju sepenuhnya!"

   Siok Kan merasa girang sekali sungguhpun dia merasa agak heran mendengar kakek itu mengatakan bahwa ayah pemuda itu juga menyetujui perjodohan itu. Bagaimana dapat mengatakan setuju kalau orangnya tidak berada di situ? Akan tetapi dia tidak peduli dan segera mengangkat cawan, mengajak tamu atau calon besannya itu mengeringkan secawan arak untuk merayakan ikatan jodoh itu. Setelah itu baru dia bertanya.

   "Bolehkah saya mengetahui siapa gerangan ayah dari Suma Sicu (Orang Gagah Suma) ini?"

   Kakek itu menjawab, suaranya sungguh-sungguh.

   "Ayahnya adalah Suma Tiang Bun, yaitu aku sendiri."

   Siok Kan tertegun dan bengong. Akhirnya Suma Tiang Bun berkata.

   "Harap Saudara Siok jangan mengherankan hal ini, biarlah kuceritakan riwayat Cun Giok yang akan menjadi mantumu." Kakek itu lalu menceritakan pengalamannya ketika dulu dia menolong seorang nyonya muda dari air Sungai Huai seperti yang telah diceritakan di bagian depan kisah ini.

   "Demikianlah, semenjak lahirnya, Cun Giok hidup bersamaku, maka sudah sepatutnya kalau dia juga menjadi anakku? Dia adalah anakku, juga muridku, dan sebelum kami dapat menemukan siapa sebetulnya ayah kandungnya, dia ini tetap sebagai puteraku, she (marga) Suma, Suma Cun Giok."

   Ketika Suma Tiang Bun bercerita secara singkat di depan Siok Kan tentang riwayatnya, Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sudah mendengar cerita itu dan tiap kali dia mengingat akan riwayatnya yang aneh, dia merasa penasaran sekali.

   Menurut cerita gurunya, ibu kandungnya ditolong gurunya ketika hanyut di Sungai Huai dalam keadaan mengandung. Siapakah ibu kandungnya? Dan siapa pula ayah kandungnya?

   Selama tujuhbelas tahun dia berada dalam asuhan Suma Tiang Bun, dibantu oleh Thio Ma, janda yang bekerja sebagai bidan itu. Sejak berusia lima tahun, dia digembleng oleh Suma Tiang Bun, diberi pelajaran silat dan sastra. Biarpun dalam hal kesusastraan dia masih jauh tertinggal kalau dibandingkan gurunya, namun dalam hal ilmu silat, Suma Tiang Bun sendiri sampai seringkali merasa heran. Kemajuan Cun Giok pesat sekali. Bocah itu memiliki bakat yang luar biasa sehingga kini, dalam usianya yang baru tujuhbelas tahun, boleh dikatakan kepandaiannya hampir seimbang dengan tingkat gurunya.

   Siok Kan dan puterinya, Siok Eng, yang melakukan perjalanan jauh menuju Propinsi Shan-tung dikawal oleh Cun Giok, tadinya sama sekali tidak menduga bahwa pemuda itu adalah seorang ahli silat yang pandai. Oleh karena itu, biarpun sudah dikawal Cun Giok, mereka masih merasa amat khawatir dan selalu merasa ketakutan. Mereka khawatir kalau-kalau kaki-tangan keluarga Bhong yang didukung oleh pembesar-pembesar setempat itu akan melakukan pengejaran, juga takut kalau-kalau akan bertemu orang jahat dalam perjalanan.

   Dua hari setelah melakukan perjalanan cepat dan tanpa henti sehingga mereka merasa kelelahan, terutama sekali Siok Kan dan Siok Eng, mereka tiba di kota Ceng-si-kwan. Mereka berdua mengeluh kepada Cun Giok, menyatakan bahwa mereka lelah sekali, maka terpaksa mereka lalu menyewa kamar di sebuah rumah penginapan di kota itu. Mereka bertiga tidak menarik perhatian karena Siok Eng menyamar sebagai pria dan ia tampak sebagai seorang pemuda remaja yang tampan.

   Menjelang tengah malam, Cun Giok mendengar suara derap kaki banyak kuda di depan rumah penginapan, lalu terdengar orang bercakap-cakap lantang.

   Dari percakapan itu, Cun Giok maklum bahwa mereka adalah pasukan yang datang dari Lan-hui, yang bertugas melakukan pengejaran terhadap Siok Kan dan Siok Eng. Juga dia mendengar bahwa yang datang itu merupakan pasukan kecil terdiri dari enam orang jagoan yang hendak mencari bala bantuan dulu sebelum menangkap para buronan besok pagi-pagi.

   Mendengar semua ini, Cun Giok tetap tenang. Sama sekali dia tidak gentar menghadapi mereka. Biarpun dikeroyok puluhan orang perajurit Mongol, dia tidak merasa gentar. Akan tetapi, kalau dia teringat bahwa Siok Kan dan Siok Eng adalah orang-orang biasa yang lemah, dia merasa khawatir akan keselamatan mereka. Kalau dia besok menghadapi pengeroyokan banyak musuh, bagaimana dia dapat melindungi dua orang itu? Dia cepat mengambil keputusan. Dikemasinya barang-barang bawaannya, kemudian dia keluar dari dalam kamarnya melalui jendela dan di lain saat dia sudah melompat ke atas genteng rumah penginapan itu.

   Dia memperhitungkan bahwa dia berada tepat di atas kamar yang ditiduri Siok Kan yang bersebelahan dengan kamar Siok Eng. Dibukanya genteng dan setelah mematahkan beberapa batang kayu penyangga genteng, dia melompat turun ke dalam kamar yang gelap itu. Dengan pengerahan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dia dapat tiba di lantai kamar tanpa mengeluarkan suara. Ketika dia melangkah, biarpun sudah berhati-hati, karena kamar itu gelap, kakinya tertumbuk bangku hingga menimbulkan suara, walaupun cepat dia memegang bangku itu sehingga tidak sampai terguling.

   "Siapa......?" terdengar suara menegur.

   Berdebar rasa jantung dalam dada Cun Giok ketika dia mendengar suara itu. Suara Siok Eng! Dia telah keliru memasuki kamar gadis itu! Padahal sebetulnya dia ingin memasuki kamar Siok Kan. Dia menjadi bingung dan malu sekali. Akan tetapi mengingat akan pentingnya hal yang harus dia sampaikan kepada ayah dan anak itu, terpaksa dia memberanikan diri dan menjawab lirih.

   "Sstt...... Nona Siok, harap jangan ribut......"

   "Eh? Engkau....... Giok-ko (Kakak Giok)? Engkau...... mau apa dan...... bagaimana dapat masuk ke sini......?" gadis itu berbisik dengan suara gemetar. Di dalam kegelapan itu Cun Giok dapat membayangkan betapa gadis itu menggigil ketakutan. Dia tersenyum dan mukanya terasa panas saking malunya.

   "Aku turun dari atas genteng. Nona, jangan salah sangka dan maafkan, aku kira ini kamar ayahmu. Ketahuilah, ada bahaya besar mengancam. Para pengejar dari Lan-hui datang hendak menangkap kita."

   "Ahh.......!"

   "Jangan takut, cepat engkau berkemas dan keluar dari kamar ini, jangan sampai terlambat."

   Gadis ini bingung sekali. Ia hendak turun dari pembaringan, akan tetapi mengingat bahwa ia hanya memakai pakaian dalam, ia tidak jadi turun.

   "Koko......."

   "Ya, kenapa.......?"

   "Engkau keluarlah dulu......"

   "Keluar? Mengapa? Cepatlah berkemas, Nona, tiada waktu untuk menunda.. ......" Cun Giok mendesak.

   "Aku...... aku hendak memakai pakaian dulu...... kumaksud...... pakaian laki-laki......" Sukar sekali bagi Siok Eng untuk mengatakan bahwa ia hanya mengenakan pakaian dalam sehingga ucapannya menjadi kacau tidak karuan.

   Cun Giok tersenyum dan merasa lucu.

   "Aih, Nona, di tempat begini gelap, melihat hidungku sendiri pun tidak tampak, mengapa engkau takut? Biarpun aku berada di sini, aku tidak dapat melihatmu. Cepatlah!"

   Terdengar gadis itu menghela napas berulang-ulang, kemudian terdengar berkereseknya pakaian yang dikenakan secara tergesa-gesa sehingga bahkan memperlambat karena beberapa kali ia salah pakai dan terbalik! Akhirnya Siok Eng mengeluarkan napas lega.

   "Sudah selesai, Giok-ko," katanya lirih.

   "Buntalan pakaian sudah dibawa?"

   "Sudah."

   "Nah, sekarang harap engkau tenang, Nona. Aku terpaksa akan memondongmu dan melompat keluar melalui jendela."

   "Apa......?" Siok Eng terlupa saking kagetnya sehingga suaranya keras dan terdengar suara berdebuk karena buntalan yang dipegangnya terlepas dan jatuh ke atas lantai.

   "Dengar baik-baik, Nona. Kita harus pergi dari tempat ini secara sembunyi dan jangan sampai ada yang tahu, Oleh karena itu, aku harus membawamu melompat naik ke atas genteng dan lari keluar kota secara diam-diam."

   "Ahh". apa engkau...... bisa......?"

   "Percayalah dan kaulihat saja nanti. Sudah siapkah engkau?"

   "Tapi...... tapi, ah, bagaimana ini, Koko? Aku malu. Bagaimana kalau ada orang melihat.......?"

   "Nona Siok Eng, ini bukan main-main, mengapa harus malu? Pula, siapa yang akan nrielihat di tengah malam begini? Apa engkau ingin kita terkepung dan tertangkap?"

   "Baiklah, akan tetapi....... biar kunyalakan lilin dulu. Begini gelap......."

   "Sstt, jangan! Kalau dinyalakan akan mendatangkan kecurigaan orang. Pula, bukankah kalau terang engkau menjadi lebih malu?"

   Gadis itu menarik napas panjang, agaknya sukar sekali baginya untuk mengambil keputusan. Siapa orangnya yang tidak akan malu kalau hendak dipondong seorang pemuda!

   "Baiklah, Giok-ko," katanya akan tetapi hampir ia menjerit dan cepat ia menarik kembali tangannya yang tadi digerakkan ke depan dan di dalam kegelapan itu, tangannya tanpa disengaja meraba...... muka Suma Cun Giok! Pemuda ini juga hampir tidak dapat menahan kegelian hatinya, hampir dia tertawa. Akan tetapi dia dapat menahan perasaannya menghadapi gadis yang dianggapnya lucu ini.

   "Maaf, Nona Siok......"

   "Eh, Giok-ko, mengapa engkau menyebut aku Nona? Kalau begitu, aku akan menyebutmu Tuan!" Gadis itu mencela.

   "Habis harus menyebut apa?"

   "Aku menyebutmu Koko (Kakak), tentu engkau tahu sepatutnya menyebut aku apa."

   "Ah, baiklah, Eng-moi (Adik Eng). Sekarang bersiaplah engkau, aku akan memondongmu!" katanya dan tiba-tiba Siok Eng merasa dirinya telah dipondong oleh lengan yang amat kuat. Lebih hebat lagi, ia merasa tubuhnya terayun ketika pemuda itu melompat keluar dari jendela yang telah dibukanya.

   Bagaimana di dalam kegelapan pemuda itu dapat bergerak demikian leluasa dan cepat? Dan bagaimana pemuda yang kelihatannya begini lemah lembut, ternyata kini dapat memondongnya dengan mudah dan dapat melompat sedemikian cepatnya? Siok Eng merasa heran bukan main, akan tetapi di samping keheranannya, juga timbul perasaan lain yang aneh dan membuatnya kagum, tersipu malu dan jantungnya berdebar.

   Akan tetapi setelah Cun Giok melompat ke atas genteng dan membawanya berlari secepat terbang, gadis itu memejamkan matanya. Berkali-kali ia berbisik.

   "Koko, bagaimana mungkin hal ini terjadi? Tidak mimpikah aku? Engkau melompat ke atas genteng! Engkau...... engkau bisa terbang......!" Akan tetapi di dalam hatinya, gadis ini semakin kagum dan tertarik.

   "Koko, engkau...... engkau hebat......." katanya setelah Cun Giok menurunkannya di luar kota, di bawah sebuah jembatan tinggi agar kalau kebetulan ada orang lewat di tengah malam itu, tidak akan kelihatan.

   "Moi-moi, engkau tunggulah sebentar di sini. Aku akan pergi menjemput ayahmu." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat lenyaplah tubuh Cun Giok dari depan Siok Eng.

   "Hebat...... dia hebat...... dia...... pendekar......" gadis itu duduk di atas sebuah batu dan melamun. Kalau saja pikirannya tidak penuh oleh bayangan Cun Giok, tentu ia akan merasa takut dan ngeri ditinggal seorang diri di tempat yang sunyi dan gelap itu.

   Seperti yang dialami Siok Eng, Siok Kan juga terheran-heran dan kagum bukan main ketika Cun Giok membawanya ke luar kota pada tengah malam itu. Kini barulah ayah dan anak itu tahu bahwa pemuda lemah lembut yang tampaknya seperti seorang kutu buku itu ternyata memiliki kepandaian yang amat hebat. Di dalam hatinya, Siok Kan merasa bahagia sekali karena kini dia membayangkan bahwa puterinya akan terlindung selama hidupnya sebagai isteri pemuda yang amat lihai ini.

   Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Siok Kan menyampaikan keinginan hatinya menjodohkan Siok Eng dengan Cun Giok dan diterima baik oleh Suma Tiang Bun sebagai guru dan orang tua pemuda itu.

   Suma Tiang Bun dan Suma Cun Giok tidak tinggal lama di rumah mantu Siok Kan di Shan-tung. Mereka hanya tinggal sehari di situ. Untuk tanda ikatan jodoh, Suma Cun Giok menyerahkan sebatang pedang yang biasanya dia sembunyikan di balik baju luarnya. Sedangkan Siok Eng menyerahkan sebuah perhiasan tusuk sanggul perak berukir daun pohon Yang-liu (cemara) yang biasanya ia pakai di sanggul rambutnya. Kemudian berangkatlah kakek dan pemuda itu meninggalkan Cin-yang, kota di Propinsi Shan-tung di mana kini Siok Kan tinggal menumpang di rumah mantunya, suami dari anak sulungnya.

   Biarpun semenjak kecil Cun Giok sudah menganggap ayah kepadanya, namun Suma Tiang Bun bukanlah seorang yang mementingkan diri sendiri. Setelah Cun Giok berusia limabelas tahun, dengan terus terang dia menceritakan riwayat anak itu.

   "Tunggulah tiga tahun lagi, Anakku. Tiga tahun lagi, setelah semua kepandaianku kau kuasai, kita bersama akan menyelidiki siapa sebenarnya Ayahmu dan mengapa pula Ibumu yang malang nasibnya itu hanyut di Sungai Huai."

   

Naga Beracun Eps 32 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 24 Naga Beracun Eps 23

Cari Blog Ini