Darah Pendekar 14
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 14
"Pembersihan yang kita lakukan di lembah Yang-ce itu memang dapat dikata berhasil. Akan tetapi, mereka itu hanya sebagian kecil saja dari pada gerombolan yang memberontak, yang kabarnya semakin besar dan kuat saja karena bantuan rakyat. Dan lebih mengkhawatirkan lagi adalah adanya berita bahwa kaum sesat dari dunia hitam telah bangkit dan dipimpin oleh keturunan si Raja kaum hitam setengah abad yang lalu. Orang itu juga menamakan dirinya seperti leluhurnya yaitu Raja Kelelawar! Hal ini sungguh mendatangkan kegelisahan. Mereka itu lebih kejam dan lebih ganas dibandingkan dengan para pemberontak. Para pemberontak itu hanya menentang pemerintah, akan tetapi kaum sesat itu tidak memakai peraturan lagi, mengganas dan melakukan kejahatan tanpa pandang bulu, merusak kehidupan rakyat. Dan mereka itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hemm, ingin aku dapat bertemu dan berhadapan dengan iblis itu!" Jenderal Beng Tian mengepal tinjunya.
"Akupun sudah mendengar tentang itu," sambung Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Aku mendengar bahwa dia memang sakti seperti iblis sendiri. Jangan-jangan dialah yang mengunjungi wuwungan Istana beberapa malam yang lalu. Kim-i-ciangkun yang mengejar bayangan kedua orang itu melaporkan bahwa mereka memiliki gerakan cepat seperti setan, berloncatan dan berlarian diatas wuwungan kompleks Istana dengan amat ringannya dan sukar disusul. Siapa lagi yang mampu meninggalkan pasukan pengawal yang rata-rata memiliki kepandaian yang cukup tinggi itu dengan mudah, kecuali iblis itu sendiri?"
"Hemm, benar kiranya dugaanmu itu, Tong-ciangkun. Diantara kita bertiga ini, akulah yang pernah merasakan kelihaiannya."
"Ehh...?" seru Jenderal Beng.
"Ahh...?" Si pendek Tong Ciak juga berseru kaget dan heran.
"Sesungguhnyalah, baru kemarin aku bertemu dan bertanding melawan iblis itu. Dan terus-terang saja kuakui bahwa aku bukan tandingannya. Padahal waktu itu aku sudah dibantu oleh murid pertama dari suamiku. Kami berdua terdesak dan nyaris tewas!" Tentu saja dua orang jagoan Istana itu tertegun. Hampir mereka tidak dapat menerima kebenaran cerita itu kalau tidak mendengar sendiri dari mulut Siang Houw Nio-nio. Mereka tahu benar siapa adanya wamta tua yang berada didepan mereka ini. Pengawal pribadi Kaisar! Mereka tahu betapa lihainya nenek ini dan merekapun sudah mendengar siapa pula suami nenek ini. Suhengnya sendiri, ketua Partai Pedang Langit, keturunan Sin-kun butek, datuk besar utara jaman abad lampau. Mereka sudah pernah samar-samar mendengar tentang apa yang telah terjadi antara suami-isteri sakti itu.
Oleh karena itu, mereka merasa sungkan dan sungguhpun mereka merasa heran sekali mendengar bahwa iblis Raja Kelelawar itu menyerang si nenek yang dibantu oleh murid utama suaminya, mereka tidak berani mendesak atau bertanya lebih lanjut. Didalam hati, kedua orang jagoan ini berdebar penuh ketegangan. Nenek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat, tidak banyak selisihnya dengan mereka sendiri, dapat dikatakan setingkat. Biarpun demikian, melawan iblis itu, padahal sudah dibantu oleh murid utama suaminya, masih kalah dan nyaris tewas! Padahal, merekapun pernah melihat kelihaian murid utama itu, ialah Yap Kiong Lee. Murid utama ini boleh dibilang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian gurunya sehingga dapat dibilang hampir selihai gurunya. Pemuda itu sering datang ke Kotaraja dan semua orang gagah di Kotaraja mengenalnya.
"Hemm, jelas bahwa tentu iblis itu yang muncul di Kotaraja!" Pek-lui-kong berkata sambil mengepal tinju.
"Aku harus berhati-hati."
"Memang kita harus berhati-hati," kata Siang Houw Nio-nio.
"Akan tetapi aku mendengar dari pelaporan para dayang dari Pek-ji dan Ang-ji yang diutus oleh murid-muridku itu menyelidiki ketempat pertemuan kaum sesat, bahwa si iblis itu bersama dengan pembantunya akan mencari Tung-hai-tiauw (Rajawali Lautan Timur) yang pada waktu itu tidak muncul. Jadi, mungkin dia hanya lewat saja disini." Si cebol mengangguk.
"Menurut pengamatan paduka, benarkah iblis itu keturunan Si Raja Kelelawar beberapa puluh tahun yang lalu seperti tersebut dalam dongeng-dongeng itu?"
"Kurasa benar demikian, karena ilmu silat yang dimainkannya itu tentulah Kim-liong Sin-kun seperti yang pernah kudengar, dan ilmu ginkangnya itu tentulah Bu-Eng Hwee-teng yang membuat aku mati kutu. Kurasa, untuk masa kini, tidak ada lagi orang yang mampu menandinginya." Nenek itu memandang kepada Pek-lui-kong dengan sinar mata tajam penuh selidik. Menurut penuturan Ouwyang Kwan Ek dalam percakapannya dengan suaminya, si cebol ini telah mencapai tingkat tertinggi dalam perguruan Soa-hu-pai. Ingin sekali ia tahu, bagaimana jika si cebol ini menandingi Raja Kelelawar. Mana yang lebih lihai antara ilmu si iblis itu, iyalah Pat-hong Sin-ciang atau Kim-liong Sin-kun dibandingkan dengan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian dan Ilmu Pukulan Pusaran Pasir Maut? Pek-lui-kong Tong Ciak tersenyum dingin.
"Hemm, sekali-kali aku ingin sekali berkenalan dengan ilmu-ilmunya. Tentu saja hal itu akan sukar terkabul karena aku terikat oleh tugas didalam Istana. Akan tetapi, ingin sekali aku mencoba ilmuku, apakah mungkin dapat untuk dipakai menghadapinya? Kurasa, yang paling sukar dilawan adalah Bu-Eng Hwee-teng itu karena kalau benar dia telah mewarisi ilmu itu dengan sempurna, kiranya didunia ini sukar dicari orang yang akan mampu menandingi kecepatannya. Kecuali apabila Lo-cianpwe Sin-yok-ong hidup kembali. Akan tetapi, dengan kecepatan gerak tangan Ilmu Silat Teratai Soa-hu-lian, kurasa iblis itu tidak akan mudah untuk menundukkanku."
Si cebol ini mengakhiri kata-katanya dengan kalimat yang penuh dengan kepercayaan akan kehebatan ilmunya sendiri. Ucapan itu bukan sekedar kesombongan kosong belaka. Semenjak dia berhasil mencapai tingkat tertinggi dengan ilmu keturunannya, belum pernah ada lawan yang mampu mengalahkan dia. Apa lagi jika dia mengeluarkan Ilmu Silat Soa-hu-lian karena kedua lengannya dapat bergerak dengan luar biasa cepatnya sehingga nampak seperti ribuan tangkai bunga teratai mencuat diantara daun-daun teratai ditelaga pasir. Karena ilmunya ini, selain julukan Pek-lui-kong (Malaikat Halilintar), diapun kadang-kadang dijuluki Si Lengan Seribu. Jenderal Beng Tian menarik napas panjang. Diapun amat tertarik.
"Tentang Ilmu Bu-Eng Hwee-teng itu, kurasa Tong-ciangkun salah duga kalau mengira tidak ada orang yang akan mampu menandinginya. Ketika aku mengejar-ngejar ketua lembah, aku bertemu dengan seorang kakek yang memiliki ginkang yang luar biasa hebatnya. Kakek itu dengan menggendong seorang gadis masih mampu menggandeng tangan si ketua lembah dan melarikan diri bebas dari kepungan beribu orang perajurit pilihan. Padahal disana masih ada aku sendiri dan dua orang pengawalku. Bayangkan saja betapa hebat ginkangnya."
"Memang banyak terdapat orang-orang tak terkenal yang sakti," kata Siang Houw Nio-nio.
"Para anak-buah Ang-ji yang beruntung dapat menyaksikan pertemuan rahasia kaum sesat itu mengatakan bahwa seorang kakek telah berhasil menundukkan kesombongan iblis itu dalam ilmu ginkang yang luar biasa. Kakek itu memperkenalkan diri sebagai murid bungsu Sin-yok-ong (Raja Tabib Sakti)."
"Ohhh! Jadi Lo-cianpwe Sim-yok"ong masih mempunyai murid?" kata Jenderal Beng Tian.
"Kalau begitu, kakek yang kuhadapi itu tentulah dia juga orangnya!"
"Mungkin demikianlah adanya. Tentang murid-murid Sin-yok-ong, aku masih mengenal seorang muridnya yang lain, yaitu suheng dari murid bungsu itu. Dia adalah ketua perguruan Liong-i-pang (Jubah Naga)."
"Kakek berjubah naga?" Pek-lui-kong berseru kaget.
"Ah, tidak kusangka! Pantas saja ilmu silatnya sedemikian hebat. Wah, kalau demikian halnya, si iblis Raja Kelelawar tentu akan banyak menemui kesulitan dalam pemunculannya ini. Murid-murid Sin-yok-ong... hemm, Beng-goanswe, benarkah bahwa ketua orang-orang lembah itu diselamatkan oleh kakek murid bungsu dari Sin-yok-ong?"
"Memang dia diselamatkan seorang kakek, akan tetapi aku tidak yakin apakah benar kakek itu sama dengan kakek yang telah muncul dalam pertemuan rahasia para kaum sesat atau bukan, aku tidak tahu benar apakah dia itu murid Sin-yok-ong ataukah orang lain," jawab jenderal itu.
"Heii! Aku ingat sekarang!" Tiba-tiba Siang Houw Nio-nio berseru keras.
"Aku membawa seorang gadis yang pernah bersama-sama dengan ketua lembah itu. Aku malah membawanya kesini dari perlawatanku ketempat Menteri Kang tempo hari. Mungkin ia tahu dimana adanya kawannya itu. Heh, kamu pelayan yang diluar. Cepat panggil Pek-ji dan Ang-ji kesini, suruh mereka membawa tamunya!" Mendengar perintah ini, Ho Pek Lian yang mendengarkan diruangan samping tentu saja menjadi terkejut sekali. Jantungnya berdebar tegang.
Ia akan dihadapkan dengan dua orang jagoan Istana yang pernah dilawannya itu? Mereka tentu akan mengenalnya kalau begitu. Akan tetapi ah, mengapa ia mesti takut? Bukankah ayahnya sekarang telah bebas, bukan menjadi pemberontak lagi, bukan menjadi buronan pemerintah atau orang hukuman lagi? Akan tetapi kalau ia dituduh sebagai komplotan orang-orang lembah itu. Ah, perduli amat! Bagaimanapun juga, ia bukanlah komplotan mereka. Ia termasuk anggauta kelompok yang dipimpin oleh Liu Pang, sedangkan orang-orang lembah pimpinan Kwee Tiong Li itu adalah kelompok yang berada dibawah perlindungan Bengcu Chu Siang Yu. Ketika dayang itu datang, dengan sikap tenang saja Pek Lian bersama Pek In dan Ang In pergi menghadap memenuhi panggilan Siang Houw Nio-nio. Jenderal Beng Tian memandang tajam kearah gadis itu, kemudian diapun berseru dengan suara keras,
"Ah, benar! Inilah gadis itu! Aku pernah berhadapan dengan ia ini sampai dua kali. Pertama ketika ia muncul secara tiba-tiba dari balik gerobak tokoh Ban-kwi-to dan membantu ketua lembah yang menyamar sebagai perajuritku. kedua ketika ia diselamatkan oleh kakek sakti itu! Benar begitu bukan, nona?" Ho Pek Lian maklum bahwa ia tidak mungkin dapat mengelak dan menyangkal lagi, maka iapun dengan sikap tenang sekali mengangguk.
"Benar, akulah gadis itu. Akan tetapi sekali lagi kujelaskan kepada siapa saja bahwa aku bukanlah teman orang-orang lembah itu. Aku baru mengenal dia pada saat dia menyamar sebagai perajurit itu. Pada saat itu aku tidak tega melihat dia dikeroyok banyak perajurit." Pek Lian bersikap tenang dan sedikitpun ia tidak kelihatan takut. Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak juga memandang nona itu dengan penuh perhatian. Dia merasa seperti pernah bertemu dengan gadis ini, akan tetapi dia lupa lagi entah kapan dan dimana.
"Akan tetapi nona selalu bersama dengan pemuda pemimpin lembah itu, maka tentu saja kami menyangka bahwa nona adalah anggauta mereka pula. Sekarang kami ingin bertanya kepadamu, nona, dimanakah kawanmu pemimpin lembah itu? Namanya Kwee Tiong Li, bukan? Dan dia itu termasuk kelompok manakah?"
"Tai-ciangkun salah sangka kalau mengira aku selalu bersama dengan dia. Sejak aku diselamatkan oleh kakek sakti, aku lalu memisahkan diri. Aku tidak tahu kemana kakek dan pemuda itu pergi. Memang benar namanya Kwee Tiong Li, akan tetapi aku tidak tahu dia termasuk kelompok mana."
"Ah, nona. Sebagai seorang tua biasa tentu saja aku bisa percaya omonganmu. Akan tetapi sebagai perajurit, aku terpaksa tidak dapat menerimanya begitu saja tanpa penyelidikan. Kami harus menahanmu untuk menyelidiki kebenaran kata-katamu. Tuan puteri, bolehkah aku membawa gadis ini sebentar saja? Kami ingin menyelidikinya!" Siang Houw Nio-nio mengangguk dan menoleh kepada Pek Lian.
"Akan tetapi kuminta dengan sangat kepada Beng-goanswe untuk memperlakukan gadis ini baik-baik. Aku suka kepadanya, ia tabah dan gagah, dan aku percaya bahwa ia memberi keterangan yang sebenarnya."
"Baik," jawab jenderal itu, lalu dia memberi perintah kepada bawahannya.
"Bawa gadis ini kekantorku!"
Perwira itu bersama beberapa orang perajurit melangkah masuk. Pek In dan Ang In memandang bingung, merasa serba salah. Dengan mata gelisah dan bersedih mereka itu memandang kepada Pek Lian dan kepada subo mereka berganti-ganti, tak tahu harus berbuat bagaimana. Akan tetapi, Pek Lian yang memiliki kekerasan hati itu tentu saja tidak mau ditangkap secara mudah begitu saja. Selama ini ia juga menjadi tawanan Siang Houw Nio-nio dengan dua orang muridnya, akan tetapi ia lebih diperlakukan sebagai sahabat atau tamu dari pada sebagai tawanan. Selain itu, juga ia merasa bahwa ia kini adalah puteri seorang Menteri yang telah bebas dari hukuman pula. Mana mungkin ia membiarkan dirinya ditangkap oleh perwira muda dan delapan orang perajuritnya itu. Maka, ketika perwira itu hendak menangkap lengannya, iapun melangkah mundur dan mengelak.
"Nona, menyerahlah untuk kami tangkap. Jangan sampai kami mempergunakan kekerasan," kata perwira muda itu yang merasa malu karena sambaran tangannya tadi dengan mudah dapat dielakkan oleh nona yang hendak ditangkapnya. Pek Lian memandang dengan senyum dingin.
"Hemm, hendak kulihat apakah akan mudah begitu saja kalian menangkap aku yang tidak berdosa!" Perwira muda itu menjadi merah mukanya dan diapun memberi aba-aba kepada delapan orang perajuritnya,
"Ringkus gadis ini!" Delapan orang perajurit itu lalu mengurung dan serentak maju untuk menangkap kedua lengan Pek Lian. Akan tetapi, dengan langkah-langkah teratur Pek Lian mengelak sambil menggerakkan kedua tangannya. Terdengar suara "plak, plak!" beberapa kali dan tiga orang perajurit terhuyung kebelakang! Melihat ini, lima orang perajurit yang lain menjadi penasaran dan marah. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan melawan. Merekapun serentak menubruk kedepan.
Akan tetapi kembali mereka hanya menubruk tempat kosong saja dan tangan Pek Lian sudah menampar dua orang perajurit lagi yang terhuyung dan terpelanting dengan muka biru terkena tamparan. Kini perwira muda itu menjadi marah dan dia sendiripun maju, dibantu oleh delapan orang, perajuritnya. Akan tetapi, Pek Lian sudah mengambil keputusan untuk melawan. Ia tidak akan membiarkan orang menangkapnya dengan mudah tanpa perlawanan. Biarlah ia tertawan karena kalah, bukan karena takut. Maka terjadikah perkelahian, antara sembilan orang pengeroyok itu dengan Pek Lian. Pek In dan Ang In yang melihat perkelahian ini, tersenyum-senyum melihat betapa Pek Lian membuat sembilan orang itu kocar-kacir. Dan karena yang hadir adalah ahli-ahli silat, merekapun tertarik. Bahkan Jenderal Beng Tian setengah membiarkan perkelahian itu terjadi dan diapun kagum melihat sepak terjang gadis itu.
"Bukan main..." pikirnya.
"Boleh juga gadis muda ini."
Diam-diam dia memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan dia merasa heran. Dasar gerakan gadis itu menunjukkan bahwa ia telah mempelajari ilmu silat yang baik dan bersih. Akan tetapi mengapa begitu campur aduk, seolah-olah gadis itu telah menggabungkan beberapa macam ilmu silat dari aliran-aliran yang berbeda dalam gerakan silatnya. Kadang-kadang gerakan silatnya bergaya harimau tutul, kadang-kadang seperti gaya ular dan ginkangnya juga amat baik, membuat tubuhnya dapat bergerak ringan sekali. Jelaslah bahwa gadis ini bukan orang sembarangan dan telah menerima pendidikan ilmu silat dari guru-guru yang baik. Sembilan orang perajurit itu benar-benar dibuat kewalahan oleh Pek Lian. Nona ini bukan hanya menghindarkan diri untuk ditangkap dengan cara mengelak atau menangkis, akan tetapi juga membagi-bagi pukulan dan tamparan,
Walaupun nona itu tidak pernah mempergunakan pukulan maut yang dimaksudkan untuk membunuh lawan. Hal inipun diketahui dengan baik oleh para ahli silat yang melihat perkelahian ini dan diam-diam mereka merasa kagum juga kepada nona muda ini yang agaknya masih mampu mengendalikan perasaannya. Jenderal Beng Tian merasa sungkan untuk turun tangan sendiri terhadap seorang gadis muda seperti Pek Lian. Akan tetapi diapun maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia hanya menyuruh perwira-perwira saja agaknya akan sukar untuk menangkapnya. Oleh karena itu, melihat sembilan orang itu kembali jatuh bangun, dia lalu membentak dan menyuruh mereka mundur sambil memberi isyarat kepada dua orang pengawal pribadinya yang sejak tadi berjaga-jaga didekat pintu.
Dua orang pengawal pribadi dari Jenderal Beng Tian ini adalah sute-sutenya sendiri, maka biarpun tingkat kepandaian mereka tidak setinggi sang jenderal, namun mereka merupakan dua orang tangguh yang berilmu tinggi. Dua orang pengawal ini maklum bahwa atasan atau juga suheng mereka itu sungkan turun tangan terhadap nona muda itu, maka merekapun mengangguk dan keduanya lalu maju menggantikan perwira muda dan delapan orang perajuritnya yang sudah keluar dari situ dengan muka matang biru. Seorang diantara mereka lalu menyelonong kedepan dan tangannya menyambar, mencengkeram kearah pundak Pek Lian. Ada angin bersuit ketika tangan ini meluncur kedepan. Pek Lian sudah maklum akan kelihaian dua orang ini, maka iapun sudah siap-siap dan cepat mengerahkan tenaganya menangkis tangan yang mencengkeram itu.
"Plakkk!" Sambil menangkis, Pek-Lian menggunakan tangan kanan untuk memukul kearah dada dan ia terkejut bukan main melihat betapa lawannya sama sekali tidak mengelak atau menangkis melainkan menerima pukulan itu begitu saja dengan dadanya.
"Bukk!" Kepalan tangan Pek Lian itu mendarat didada dengan empuk saja. Ia merasa seperti memukul benda lunak yang kenyal seperti karet. Pek Lian terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya ini memiliki kekebalan yang amat kuat. Maka iapun cepat mencabut pedangnya.
Biarpun ia menjadi tawanan Siang Houw Nio-nio dan dua orang muridnya, akan tetapi ia telah dipercaya setelah ia bersama dengan mereka ikut melawan musuh dan iapun diperbolehkan membawa pedang dipinggangnya. Kini Pek Lian yang maklum bahwa kalau hanya dengan kedua tangan kosong tak mungkin ia mampu menghadapi dua orang pengawal Jenderal Beng Tian, telah mencabut pedangnya. Dengan ilmu pedang yang dipelajarinya dari gurunya yang baru dan lihai, yaitu Liu Pang atau lebih terkenal dengan sebutan Liu-twako, Bengcu yang amat disegani itu, Pek Lian mulai memainkan pedangnya menghadapi pengawal pribadi Jenderal Beng Tian yang hendak menangkapnya. Pedangnya bergerak indah dan kuat, membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara berdengung-dengung.
Akan tetapi, pengawal yang masih sute sendiri dari Beng-goanswe itu tetap menghadapinya dengan kedua tangan kosong. Pengawal yang tangguh inipun maklum akan kelihaian pedang si nona muda, maka diapun mengeluarkan ilmu andalannya, yaitu ilmu pukulan yang amat hebat dari perguruan mereka. Pukulan ini bernama Khong-khi-ciang (Pukulan Tangan U-dara Hampa) yang amat hebat. Dari jarak jauh saja pukulan ini mampu melukai lawan karena mengandung getaran seperti petir menyambar. Juga, pukulan ini mengeluarkan suara berdentam dan meledak-ledak. Dengan kedua lengan yang ampuh ini, yang dipenuhi getaran tenaga sinkang yang amat kuat, pengawal itu berani menghadapi pedang Pek Lian, bahkan berani menangkis pedang dengan lengan telanjang!
Ilmu pedang Pek Lian adalah ilmu pedang pilihan yang merupakan ilmu silat tinggi. Akan tetapi, gadis ini belum begitu lama menjadi murid Liu-taihiap atau Liu Pang, maka ilmu pedangnya selain kurang matang, juga tenaga sinkangnya belum dapat mengimbangi sifat ilmu pedang yang hebat itu. Oleh karena itulah, kini menghadapi seorang lawan yang memiliki ilmu silat tinggi, setelah lewat tiga puluh jurus, ia mulai terdesak. Pada hal, pengawal kedua belum juga maju membantu temannya. Sementara itu, Pek-lui-kong Tong Ciak yang sejak tadi menonton perkelahian itu selalu memperhatikan gerakan-gerakan Pek Lian dan mengingat-ingat dimana dia pemah melihat gadis ini. Setelah memperhatikan ilmu pedang dari gadis itu, barulah dia teringat.
"Tahan!" teriaknya dan diapun meloncat kedalam arena pertempuran. Melihat majunya si cebol, Pek Lian terkejut dan mengira bahwa si cebol botak itu hendak menangkapnya, maka iapun sudah membalikkan tubuhnya kekiri, meninggalkan pengawal lihai itu dan menggunakan pedangnya untuk menyerang Pek-lui-kong Tong Ciak.
"Hyaaatttt...!!" Pek Lian menerjang dan mengangkat pedangnya tinggi diatas kepala lalu membacok kearah kepala botak si cebol.
"Hemm...!" Pek-lui-kong berseru, kedua tangannya bergerak dan pandang mata Pek Lian menjadi silau karena kedua tangan itu seolah-olah berobah menjadi banyak sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kanannya kena ditotok dan dalam sekejap mata saja pedangnya telah berpindah tangan!.
"Aku sekarang mengenal gadis ini!" kata Pek-lui-kong sambil meloncat mundur kemudian melempar pedang rampasan itu keatas lantai.
"Tidak salah lagi! Nona, bukankah engkau gadis yang menghadang iring-iringan kereta tawanan disebelah utara kota Kong-goan, didusun hankung-ce itu? Heran, hampir saja engkau dan kawan-kawanmu berhasil menculik Menteri Ho ketika pemuda gila kusir kereta itu mengamuk. Hampir separuh perajurit-perajuritku terbunuh. Bukankah engkau gadis yang memimpin penghadangan itu?" Pek Lian merasa serba salah untuk menjawab pertanyaan ini dan sementara itu, Jenderal Beng Tian dan Siang Houw Nio-nio, juga Pek In dan Ang In, terkejut bukan main mendengar ucapan panglima cebol yang tidak berpakaian sebagai panglima itu.
"Aiih?" Jenderal Beng berteriak hampir berbareng dengan nenek itu. Kemudian jenderal itu melanjutkan,
"Kalau begitu gadis ini harus ditawan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatannya melawan negara! Pengawal, cepat ringkus gadis ini!" Pengawal yang seorang lagi bergerak cepat menubruk kedepan hendak menangkap pundak Pek Lian yang sudah tidak memegang pedang. Akan tetapi, tiba-tiba Pek-lui-kong Tong Ciak menggerakkan tangannya menangkis cengkeraman tangan pengawal yang tangguh itu.
"Ehh...!!" Pengawal itu terkejut dan meloncat kebelakang. Semua orang memandang dengan mata terbelalak. Apakah Pek-lui-kong telah menjadi gila? Apakah panglima pengawal aneh ini mau berkhianat? Jenderal Beng Tian mengerutkan alisnya dan dengan penuh rasa penasaran dia memandang kepada rekannya sambil melangkah maju, juga bersiap siaga. Siang Houw Nio-nio juga melangkah maju, siap membantu jenderal itu menghadapi si cebol yang lihai.
"Tong-ciangkun, apakah maksud ciangkun mencegah pengawalku menangkap gadis ini?" tanya Jenderal Beng Tian dengan sikap hati-hati, tidak berani sembarangan bergerak sebelum mengerti benar duduknya perkara. Melihat sikap jenderal itu dan juga Siang Houw Nio-nio yang mengerutkan alis dan bersiap untuk melawannya, barulah Pek-lui-kong sadar akan keadaannya dan mengerti bahwa tindakannya tadi menimbulkan kecurigaan. Maka cepat-cepat dia menjura dengan hormat kepada jenderal itu dan berkata lantang,
"Beng-goanswe, saya kira engkau tidak ingin menentang keputusan Sribaginda Kaisar yang baru saja dikeluarkan itu, bukan?" Dengan sikap masih penasaran, tanpa mengurangi kewaspadaannya, jenderal itu mengerutkan alisnya dan balas bertanya,
"Apakah maksud ucapan Tong-ciangkun itu?" Dengan sikap tenang dan ada kegembiraan terpancar dari pandang matanya, kegembiraan dari orang yang mengetahui suatu rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain, panglima cebol itu kembali kekursinya dan duduk.
"Beng-goanswe, untuk memulihkan keadaan negara yang dilanda kekeruhan, yang diakibatkan karena rasa tidak puas dari rakyat atas dipecat dan dihukumnya beberapa orang Menteri, Sribaginda telah memutuskan untuk memanggil kembali Wakil Perdana Menteri Kang dan membebaskan Menteri Kebudayaan Ho dan Menteri-Menteri lainnya, agar memangku kembali jabatan mereka, dengan tujuan agar rakyat menjadi tenang kembali. bukankah demikian keputusan Sribaginda?"
"Benar! Akan tetapi apa hubungannya hal itu dengan pemberontak kecil ini?" tanya Beng-goanswe sambil menuding kearah Pek Lian.
"Harap goanswe suka bersabar. Ketahuilah, gadis ini adalah puteri tunggal dari Menteri Ho Ki Liong! Nah, kalau sekarang kita menangkapnya dan memasukkannya kedalam penjara, apa yang akan terjadi jika ayahnya mendengar akan hal itu? Tentu dia akan marah dan menolak untuk kembali ke Istana. Padahal, Menteri Ho adalah sahabat baik Menteri Kang, bahkan pembebasan Menteri Ho merupakan syarat utama dari Menteri Kang. Hal ini tentu akan menimbulkan akibat luas dan kalau sampai bertentangan dengan keputusan Sribaginda Kaisar, lalu siapakah yang akan menanggung akibatnya? Siapa yang berani mempertanggung-jawabkan?"
Tentu saja semua orang tertegun mendengar penjelasan Pek-lui-kong Tong Ciak itu. Semua mata kini ditujukan memandang kepada Pek Lian dari kaki sampai kepala. Tentu saja mereka tidak pernah mengira bahwa gadis ini ternyata adalah seorang puteri bangsawan, puteri tunggal dari Menteri Ho yang amat terkenal itu. Jenderal Beng Tian sendiri menjadi lemas mendengar penjelasan itu. Dengan sinar mata tajam dia memandang gadis itu lalu bertanya,
"Benarkah bahwa nona adalah puteri Menteri Ho?" Dengan sikap angkuh Pek Lian berkata,
"Memang benar! Memangnya kenapa kalau begitu? Mengapa tidak diteruskan pengeroyokan atas diriku?"
"Nah, lihat saja sikapnya!" Pek-lui-kong berkata lagi.
"Dan harap goanswe ketahui bahwa nona ini adalah murid dari jago pedang yang terkenal dengan sebutan Liu-taihiap atau Liu-twako, Bengcu yang terkenal memimpin para pendekar yang merasa tidak puas atas perlakuan pemerintah terhadap para Menteri itu." Jenderal Beng Tian menjadi semakin kaget. Dia terbelalak memandang.
"Benarkah itu?"
"Dahulu aku pernah bertanding melawan jago pedang she Liu itu sebelum aku mengabdi di Istana, dan aku mengenal gaya permainan pedangnya," kata Pek-lui-kong tegas.
"Akan tetapi mengapa la selalu bersama-sama orang-orang lembah?" Jenderal itu bertanya dengan nada suara sangsi dan curiga.
"Apakah anehnya hal itu? Bukankah kedua pihak itu sama-sama memusuhi pemerintah? Nona ini merasa sakit hati karena ayahnya akan dihukum mati. Orang-orang lembah itupun sakit hati karena mereka dikejar-kejar dan dibasmi oleh pasukan pemerintah. Kalau keduanya bertemu, tentu saja akan terjalin persahabatan sebagai kawan senasib sependeritaan, bukan?" Jenderal Beng Tian mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.
"Ah, betapa bodohnya aku sekali ini! Nona Ho, maafkanlah kekasaran para pembantuku tadi," katanya kepada Pek Lian dan diapun kembali ke kursinya. Pada saat itu, seorang perajurit datang melapor bahwa Hek-ciangkun yang diutus oleh jenderal itu ketempat tinggal Wakil Perdana Menteri Kang telah tiba kembali. Mendengar ini, Jenderal Beng Tian lalu berkata,
"Suruh tunggu sebentar!" kemudian dia menjura kepada Siang Houw Nio-nio dan Panglima Tong Ciak.
"Harap maafkan karena saya terpaksa menunaikan tugas." Siang Houw Nio-nio lalu mengantar dua orang tamunya pergi, karena Panglima Tong Ciak juga minta diri. Pertemuan itupun bubar dan kedua orang gadis itu setelah kini tahu bahwa Pek Lian adalah puteri Menteri Ho yang terkenal itu, segera merangkulnya.
"Ah, kiranya engkau adalah puteri Menteri Ho yang hebat itu. Ah, pantas saja sikapmu demikian angkuh!" kata Pek In dengan kagum.
"Sungguh nakal sekali! Kenapa tidak dari dulu kau katakan tentang dirimu?" Ang In juga berkata gemas sambil mencubit sayang.
"Bagaimana aku berani mengaku?" Pek Lian berkata sambil tertawa.
"Kalau dahulu aku mengaku, tentu enci berdua sudah menyerangku dan bagaimana aku akan dapat selamat? Tadipun kalau tidak ada Tong-ciangkun, bukankah aku sudah dijebloskan kedalam sel tahanan?" Siang Houw Nio-nio memang tidak pernah memperdulikan urusan politik, akan tetapi sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan, diam-diam iapun merasa simpati kepada Menteri Ho yang berani itu, dan merasa suka kepada Pek Lian juga karena keberanian gadis ini. Sekarang, mendapat kenyataan bahwa gadis ini adalah puteri Menteri itu, iapun merasa semakin suka.
"Sementara engkau menanti kedatangan ayah-mu ke Istana, engkau boleh tinggal bersama Pek In dan Ang In disini," kata nenek itu dengan sikap ramah. Pek Lian cepat memberi hormat kepada nenek itu, penghormatan yang sungguh-sungguh, sebagai puteri seorang Menteri kepada seorang yang berkedudukan tinggi seperti bibi Kaisar itu. Akan tetapi karena ia lebih kagum dan tertarik kepada nenek ini sebagai seorang wanita sakti, maka ia tetap menyebut Lo-cianpwe sebagai penghormatan seorang ahli silat muda terhadap seorang tokoh besar yang jauh lebih tinggi tingkat ilmunya.
"Saya menghaturkan terimakasih atas semua kebaikan Lo-cianpwe dan harap sudi memaafkan segala kesalahan saya yang sudah-sudah terhadap Lo-cianpwe." Melihat sikap dan mendengar ucapan ini, Pek In dan Ang In merasa kagum dan baru nampaklah sikap sesungguhnya dari seorang puteri bangsawan. yang tahu akan sopan-santun. Bahkan nenek itu sendiripun tersenyum, sesuatu yang jarang nampak pada wajahnya yang dingin. Mereka berempat lalu duduk diruangan itu dan dalam kesernpatan ini, Pek In melaporkan kepada subonya tentang keanehan yang terjadi diruangan penyimpanan abu leluhur.
"Terdapat tanda-tanda adanya orang yang memasuki ruangan itu, bahkan telah bersembahyang, subo. Akan tetapi, tidak ada seorangpun diantara anak buah teecu yang melihatnya." Demikian Pek In menutup laporannya. Gurunya mengerutkan alis dan memandang heran. Ia tidak perlu memeriksa sendiri keruangan itu karena ia percaya penuh akan ketelitian muridnya ini
"Mengingat akan cerita tentang munculnya dua bayangan orang yang amat lihai digedung para bangsawan bahkan juga di Istana, jangan-jangan yang memasuki ruangan sembahyang inipun mereka itu, subo," kata Ang In dan diam-diam gadis yang gagah perkasa ini melirik kekanan kiri dengan hati mengandung rasa jerih juga. Siapa tahu bayangan setan itu pada saat itu masih berada disitu!
"Akan tetapi, apa perlunya mereka berkeliaran disini dan memasuki ruangan sembahyang tempat penyimpanan abu leluhur?" Nenek itu bertanya sangsi, akan tetapi ia teringat akan dugaan Pek-lui-kong akan kemungkinan bahwa seorang diantara dua bayangan itu adalah Si Raja Kelelawar sendiri.
Kalau benar yang datang ke Istana ini adalah Si Raja Kelelawar, lalu apa maksudnya? Apakah iblis yang mengerikan itu masih terhitung keluarga Istana dan dia datang untuk bersembahyang didepan abu leluhurnya sendiri? Siang Houw Nio-nio mengerutkan alisnya dan dengan termenung iapun lalu memasuki kamarnya sendiri. Dua orang muridnya yang melihat sikap subonya, maklum bahwa subonya sedang berpikir keras, maka merekapun tidak berani banyak bertanya, melainkan mengiringkan subonya. Siang Houw Nio-nio duduk termenung didalam kamarnya, diatas kursinya. Pek In dan Ang In, diikuti oleh Pek Lian, duduk diluar kamar menanti dan menduga-duga apa yang dipikirkan oleh nenek itu. Nenek itu melayangkan lamunannya.
Gedung mungil ini dahulunya menjadi tempat tinggal keluarga pamannya yang menjabat sebagai kepala rumah tangga Istana. Pamannya itu hanya mempunyai seorang putera yang kini menjadi kepala kuil Istana, yaitu Bu Hong Sengin yang masih terhitung saudara sepupunya sendiri. Ketika masih muda, Bu Hong Sengin yang pangeran itu oleh ayahnya disuruh mempelajari ilmu silat tinggi dari seorang kepala kuil Agama tokauw. Tentu saja pamannya itu mengharapkan agar putera tunggalnya itu kelak dapat menjadi seorang panglima atau perwira tinggi. Akan tetapi, tempat perguruan dimana pangeran itu belajar tidak hanya mengajarkan ilmu silat tinggi, melainkan juga keagamaan. Dan dia memang telah mewarisi ilmu silat tinggi, akan tetapi disamping itu juga mewarisi ilmu keagamaan yang mendalam.
Bahkan agaknya, pemuda itu lebih condong mendalami agama dari pada ilmu silatnya sehingga setelah tamat belajar silat, dia tidak mau pulang kerumah orang tuanya, bahkan lalu masuk menjadi pendeta Agama To dengan julukan Bu Hong Tojin. Kemudian, sebagai seorang tosu dia lebih senang mengembara dikalangan rakyat untuk menyebarkan Agama tokauw. Tentu saja hal ini amat mengecewakan hati pamannya. Watak pamannya itu keras dan perbuatan puteranya itu dianggap merendahkan martabat dan nama keluarga. Maka dengan jalan kekerasan pamannya lalu mengurus pasukan mencari puteranya itu. Sampai bertahun-tahun usaha itu dilakukan dan akhirnya dengan bantuan para pembesar dan pasukan, puteranya dapat dibawa kembali ke Istana. Akan tetapi, Bu Hong Tojin juga memiliki watak yang sama kerasnya dengan ayahnya.
Dia berkeras tidak mau menjadi perajurit. Perbantahan terjadi dan akhirnya, pamannya yang keras hati itu menjebloskan puteranya kedalam penjara. Akan tetapi, Bu Hong Tojin tetap berkeras kepala. Hal ini amat mengesalkan hati pamannya sehingga dia "makan hati" dan jatuh sakit sampai akhirnya meninggal dunia. Hal ini amat mendukakan hati Bu Hong Tojin. Akan tetapi bagaimanapun juga, dia tidak suka akan kekerasan, tidak mau menjadi perajurit. Dia tidak meninggalkan Istana, akan tetapi dia bahkan memasuki Istana dan menjadi pendeta disitu. Akhirnya, Kaisar mengangkatnya menjadi kepala kuil dan juga menjadi penasihat. Dan gedung Istana mungil ini, karena tidak ada yang menempati lagi, oleh Kaisar lalu dihadiahkan kepadanya. Ketika lamunannya melayang-layang sampai sejauh itu, Siang Houw Nio-nio lalu teringat akan kakak sepupunya itu.
"Hemm, tentu saja dia, siapa lagi? Tentu Bu Hong Sengin yang datang bersembahyang disini, menyembahyangi arwah mendiang paman. Tentu saja dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat datang tanpa terlihat oleh para dayang. Sebaiknya kutanyakan sendiri kepadanya." Wanita itupun lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar kamar, wajahnya tidak sekeruh tadi.
"Pek-ji dan Ang-ji, aku mau kembali ke Istana," katanya kepada dua orang muridnya itu. Tanpa menanti jawaban, nenek itu melangkah cepat meninggalkan mereka yang tentu saja hanya dapat mengangguk dan tidak berani bertanya.
Malam yang kelam. Hujan rintik-rintik membuat hawa dingin sekali. Suasana dikompleks Istana amat sunyi menyeramkan. Bukan hanya karena kelamnya malam gelap-gulita, melainkan terutama sekali dengan adanya cerita tentang tamu yang misterius maka suasana menjadi nampak sunyi dan menyeramkan. Para petugas jaga merasakan ini dan mereka memperketat penjagaan, bersikap waspada. Namun, makin tegang hati mereka, makin menyeramkanlah suasananya. Lewatnya seekor kucing diatas genteng saja sudah cukup untuk membuat jantung berdetak seolah akan pecah dan membuat darah tersirap meninggalkan muka. lampu-lampu teng yang dipasang oleh para hamba Istana tidak mampu memberi penerangan yang cukup, bahkan kabut tipis yang diciptakan oleh hujan rintik-rintik itu membuat lampu-lampu itu nampak seperti cahaya-cahaya yang aneh menyeramkan.
Tiga orang gadis itu bukanlah orang-orang yang lemah. Sama sekali bukan. Pek In dan Ang In adalah murid-murid kesayangan Siang Houw Nio-nio dan mereka telah memiliki tingkat ilmu silat yang tinggi, lebih tinggi dari kepandaian Ho Pek Lian. Dan Pek Lian sendiri, biarpun belum selihai dua orang gadis itu, namun sudah merupakan seorang gadis yang hebat ilmu silatnya, dan jarang ada orang yang akan mampu menandinginya. Mereka bertiga ini sudah jelas sekali bukan orang-orang penakut, bahkan tidak pernah merasa takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Akan tetapi, pada malam hari ini, ada rasa ngeri dan takut menyelinap dalam hati masing-masing dan mereka mencoba untuk menyembuyikannya dengan melalui obrolan yang asyik didalam ruangan duduk itu.
Rasa takut bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batin kita. sendiri. Rasa takut timbul dari permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal-hal yang mengerikan. Kalau kita menghadapi segala sesuatu tanpa bayangan pikiran akan hal-hal yang belum ada ini, maka rasa takut tidak akan muncul. Umpamanya, kita duduk seorang diri didalam kamar dalam suasana yang sunyi. Pikiran kita teringat akan cerita orang tentang adanya setan dalam kamar, tentang hal-hal yang mengerikan lain, maka pikiran itu lalu membayangkan hal-hal yang tidak ada. Dalam keadaan seperti itu, suara seekor tikus melanggar sesuatu saja sudah cukup untuk menimbulkan bayangan dalam pikiran tentang munculnya setan yang menakutkan.
Timbullah rasa takut dan rasa takut ini membuat orang tidak waspada sehingga ada bayangan sedikit saja lalu bisa kelihatan seperti setan oleh mata kita yang sudah terselubung rasa takut. Kewaspadaan yang menyeluruh, perhatian yang menyeluruh terhadap apapun yang terjadi didepan kita, akan meniadakan rasa takut itu. Tiga orang gadis itu, dalam keadaan diliputi rasa ngeri dan takut akan kemungkinan munculnya hal-hal yang tidak mereka inginkan, terutama sekali munculnya dua bayangan yang dihebohkan itu, dan juga adanya bekas-bekas orang bersembahyang didalam ruangan penyimpanan abu leluhur, mencoba untuk melarikan diri dari rasa takut dengan jalan mengobrol. Mereka saling menceritakan pengalaman dan riwayat masing-masing dan dalam kesempatan itu, mereka merasa menjadi semaian akrab satu sama lain.
"Aih, ternyata engkau mempunyai banyak guru yang sudah amat terkenal didunia kang-ouw. Mula-mula Huang-ho suhiap, empat orang pendekar Huang-ho yang terkenal itu menjadi guru-gurumu, kemudian engkau digembleng pula oleh Liu-taihiap yang terkenal itu. Pantas saja engkau lihai sekali, adik Lian," kata Ang In memuji.
"Ah, jangan terlalu memuji, enci Ang. Biarpun aku mempunyai lima orang guru, akan tetapi dibandingkan dengan engkau atau enci Pek yang hanya mempunyai seorang guru saja, aku masih belum ada setengahmu! Aku masih harus banyak belajar dari kalian!"
"Hemm, sesungguhnya tidak demikian, adik Lian. Ilmu silatmu sudah cukup hebat, hanya agaknya engkau masih kurang dalam latihan. Ilmu-ilmu-mu itu belum dapat kau kuasai dengan matang. Kalau sudah matang, tentu aku bukan lawanmu karena engkau mempunyai ilmu yang lebih lengkap dan banyak ragamnya. Kalau engkau bisa merangkai semua itu, tentu engkau benar-benar akan tangguh sekali," bantah pula Ang In. Selagi Pek Lian hendak membantah untuk merendahkan diri, tiba-tiba Pek In memandang kepada mereka dengan mata terbelalak dan nona ini menaruh telunjuk didepan mulut sambil mendesis lirih,
"Ssshhhhh!" Ang In dan Pek Lian melihat perobahan muka yang menjadi tegang itu, dan mereka berdua menjadi waspada. Melihat betapa cuping hidung Pek In berkembang-kempis, merekapun menggerakkan cuping hidung mencium cium dan barulah mereka dapat menangkap bau yang agak harum itu. Dan mereka merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang, leher terasa dingin karena serem. Itu adalah bau asap dupa hio! mereka bertiga saling pandang.
Mereka lalu bangkit dan atas isyarat Pek In, ketiganya lalu berganti pakaian ringkas. Dengan hati tegang mereka mengadakan persiapan, kemudian dengan hati-hati sekali, mengerahkan ginkang agar jangan sampai langkah kaki mereka bersuara, dipimpin oleh Pek In, ketiganya lalu keluar dari situ dan menuju kebelakang, kearah datangnya bau asap hio itu yang datang dari arah belakang, dari ruangan sembahyang tempat penyimpanan abu leluhur! Mereka bergerak sigap dan seluruh urat syaraf meneka menegang. Jantung mereka berdebar penuh ketegangrn ketika, mereka berindap-indap menuju keruangan sembahyang itu. Makin dekat dengan ruangan itu, bau dupa semakin keras menusuk hidung. Betapa beraninya orang itu, pikir mereka. Membakar hio dirumah orang sedemikian menyoloknya, seolah-olah tidak memperdulikan penghuni rumah dan tidak takut dipergoki.
Akan tetapi, bulu tengkuk mereka meremang kalau mereka teringat akan kata-kata Pek-lui-kong siang tadi. Jika benar dugaan si cebol itu yang mengatakan bahwa orang yang berkeliaran dikomplek Istana pada beberapa hari yang lalu adalah Si Raja Kelelawar, maka mungkin sekali orang yang membakar hio dalam mangan itu adalah si Iblis itu sendiri! Jika hal ini benar, maka amatlah berbahaya untuk didekati. Iblis itu kabarnya memiliki kepandaian yang amat hebat dan apa yang mereka saksikan ketika iblis itu berkelahi dengan Siang Houw Nio-nio sudah cukup membuat mereka jerih. mereka maklum bahwa kalau yang membakar hio adalah Raja Kelelawar, maka mereka bertiga bukanlah tandingan iblis itu dan menyerbu masuk sama saja dengan membunuh diri atau mati konyol. Oleh karena itu setelah tiba diluar ruangan yang pintunya tertutup itu, mereka berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
"Kita pukul saja tanda bahaya?" bisik Ang In kepada kakaknya. Pek In menggeleng kepalanya.
"Jangan dulu," bisiknya kembali.
"Kita masih belum yakin. Kalau benar musuh, memang baik sekali memukul tanda bahaya. Bagaimana kalau bukan? Bagaimana kalau dia sudah pergi? Berarti menggegerkan Istana dengan sia-sia dan tentu Kim-i-ciangkun akan marah-marah kepada kita. Kita tunggu sebentar."
Tiba-tiba mereka bertiga terkejut dan cepat menyelinap dan bersembunyi dibalik tiang besar sambil mengintai kedepan. Daun pintu ruangan sembahyang itu terbuka perlahan dari dalam! keadaan menjadi semakin menyeramkan. Mereka bertiga memasang mata, memandang tanpa berkedip. Daun pintu terbuka perlahan-lahan dan diantara keremangan sinar lilin, mereka melihat dua sosok tubuh yang tinggi kurus, mengenakan pakaian ringkas serba hitam. Wajah mereka itu ditutupi kain hitam dari kepala sampai keleher dan hanya sepasang mata mereka saja yang nampak bersinar-sinar seperti bintang kecil. Dari bentuk tubuh mereka, tiga orang gadis yang mengintai itu dapat menduga bahwa seorang diantaranya tentulah wanita.
Ho Pek Lian memandang dengan penuh perhatian dari tempat persembunyiannya. Yang pria mungkin si iblis Raja Kelelawar, pikirnya. Badannya juga jangkung kurus, pakaiannya hitam-hitam, sepasang matanya mencorong. Dan wanita itu, matanya begitu jeli, bukankah itu Si Maling Cantik? Akan tetapi kalau memang benar mereka itu adalah Raja Kelelawar dan Maling Cantik, mengapa mereka harus memakai kedok kain? Dua orang yang berada didalam ruangan sembahyang itu setelah membuka daun pintu perlahan-lahan, dengan mata mereka yang mencorong itu memandang keluar ruangan, kekanan kiri, kemudian agaknya mereka hendak melanjutkan kesibukan mereka didalam kamar itu, dan siap untuk meninggalkan ruangan yang sudah mereka buka pintunya. Sementara itu, Pek In berbisik kepada dua orang kawannya,
"Ang-moi, cepat kau pukul tanda bahaya sedangkan aku dan Lian-moi akan menyerbu mereka dan menghadang mereka agar tidak melarikan diri. Siap? Hayo, Lian-moi!" Mereka bertiga berpencar sambil menyelinap ketempat gelap. Ang In cepat menuju kesudut dimana tergantung kentungan alat untuk dipukul kalau ada bahaya, sedangkan Pek In dan Pek Lian sudah berindap menghampiri jendela ruangan yang berada didepan kamar sembahyang itu. Mereka berdua menanti dan begitu terdengar suara kentungan dipukul bertalu-talu dengan gencarnya, merekapun menerjang kedepan! Mendengar suara kentungan tanda bahaya ini dua orang yang berada didalam kamar sembahyang terkejut dan menengok. Padi saat itu, Pek Lian sudah meloncat masuk sambil membentak nyaring,
"Maling, maling hina jangan lari!" Hampir berbareng, Pek In juga muncul dan menyerbu dari pintu yang terbuka. Akan tetapi hanya sejenak saja dua orang aneh itu kelihatan terkejut.
"Mari...!" Terdengar yang pria menggumam dan keduanya melesat dengan amat ceratnya kearah pintu. Pek In memapaki dengan pukulannya, akan tetapi dengan mudahnya dua orang itu menghindar dengan gerakan tubuh yang amat cepat, dan sekali meloncat mereka telah dapat melewati Pek In dan terus melesat keluar dari dalam ruangan itu melalui pntu. Pek Lian sendiri tidak sempat menyerang. Dua orang itu meloncat naik keatas tembok dan ketika mereka mengayun tangan, semua lampu teng disekitar tempat itu padam dan keadaan menjadi gelap sekali.
"Kejar!" Pek In berseru dan bersama Pek Lian ia mengejar. Akan tetapi karena diluar amat gelap, mereka hampir kehilangan bayangan dua orang itu. Akan tetapi, pukulan tanda bahaya yang dibunyikan oleh Ang In itu mengakibatkan datangnya banyak sekali pengawal dan penjaga. Derap kaki mereka terdengar dari semua penjuru, dan hal ini agaknya membuat dua orang itu menjadi bingung juga. Sebaliknya, Pek In dan Pek Lian merasa lega dan terus mengejar kedepan dan melihat dua orang itu sedang berdiri bingung diserambi depan taman bunga. Dua orang gadis ini segera menyerang dan menggunakan pedang mereka. Pek In menyerang maling pria dan Pek Lian menerjang maling wanita.
Akan tetapi dua orang itu sungguh lihai bukan main. Hanya dengan gerakan langkah kaki dan kadang-kadang mengibaskan tangan, mereka mampu menghadapi serangan pedang itu dan jelaslah bahwa Pek In maupun Pek Lian bukan tandingan mereka. Ketika mereka membalas dengan serangan tamparan tangan dan tendangan kaki, Pek In dan Pek Lian terdesak mundur. untung bagi mereka bahwa pada saat itu, Ang In datang bersama para pengawal yang segera terjun dan mengeroyok. Melihat ini, dua orang maling itu berloncatan jauh dan melarikan diri. Tak lama kemudian keduanya sudah berada diatas genteng-genteng wuwungan kompleks Istana dan melarikan diri, dikejar oleh tiga orang gadis itu bersama para perwira pengawal yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk dapat mengejar sambil berlompatan diatas wuwungan rumah.
Karena datangnya banyak pengejar dari semua jurusan, dua orang yang gerakannya cepat seperti iblis itu kadang-kadang harus melawan pengeroyokan para pengejar, melarikan diri lagi, dikeroyok lagi dan terjadilah kejar-kejaran yang amat ramai dikompleks Istana, dibawah cucuran hujan rintik-rintik. Banyaknya pengawal yang menghadang disana-sini membuat dua orang maling itu kebingungan. Mereka berputaran diseluruh kompleks dan agaknya malah kehilangan jalan. Memang jalan keluar telah dijaga ketat oleh para pengawal sehingga dua orang mal'ng itu hanya mampu berlari-larian disekitar bangunan-bangunan kompleks Istana yang luas itu dan tanpa mereka sadari mereka beberapa kali kembali ketempat semula.
Dari tingkah mereka ini saja mudah diketahui bahwa dua orang maling itu masih belum mengenal benar keadaan dikompleks Istana. Pada saat itu muncullah Kim-i-ciangkun, komandan dari pasukan Kim-i-wi. Melihat bahwa para anak-buahnya yang membantu tiga orang nona itu mengeroyok dua orang berpakaian hitam dan berkedok kain, Kim-i-ciangkun menjadi marah. Dengan suara gerengan seperti seekor harimau marah dia menerjang kedepan, begitu maju dia telah mengeluarkan ilmunya yang ganas, yaitu Hwi-ciang (Tapak Tangan Api) memukul kearah maling yang bertubuh ramping. Iblis betina yang berkedok ini agaknya memandang rendah kepada lawan, dengan mengandalkan kecepatan tubuhnya dan kekuatan tangannya iapun menangkis.
"Desss! Aihhh!" Jeritan suara wanita membuka rahasianya sehingga semua orang tahu bahwa maling kedua bertabuh ramping ini benar-benar seorang wanita.
Wanita itu meloncat kebelakang dan matanya terbelalak memandang kearah lengan baju kirinya yang terbakar hangus! Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat sehingga pukulan ampuh itu tidak melukai kulitnya dan gerakannya yang cepat meloncat kebelakang tadi telah menyelamatkannya. Diam-diam Kim-i-ciangkun juga terkejut, tidak mengira bahwa wanita itu benar-benar mampu menangkis pukulan saktinya, maka diapun menyerang terus. Akan tetapi wanita itupun agaknya marah karena lengan bajunya hangus. Ia menangkis, mengelak dan balas meyerang. Kecepatan gerakannya membuat Kim-i-ciangkun kewalahan dan sebuah tendangan kilat mengenai pahanya, membuat Kim-i-ciangkun terpelanting. Akan tetapi para pengawal menerjang dan mengeroyok. Melihat betapa banyaknya pihak pengeroyok, maling pria berseru kepada temannya,
"Lari...!" Dan merekapun lari lagi, dikejar oleh banyak sekali pengawal. Bahkan kini nampak pula pengawal Gin-i-wi yang berpakaian perak datang membantu dari luar. Karena dikepung makin rapat, kedua orang maling itu semakin bingung. kemanapun mereka lari, tentu ada pasukan yang menghadang. Akhirnya, tanpa disengaja mereka lari sampai kekuil agung Istana. Melihat bangunan kuil ini, dua orang itu lari kesana. Akan tetapi setibanya didepan kuil yang megah itu, kembali mereka telah dikepung rapat oleh para pengawal yang sudah ada pula yang berjaga ditempat itu. Segera terjadi pengeroyokan lagi. Biarpun ada beberapa orang pengawal dan pengeroyok yang roboh terluka, namun dua orang itu dikepung terus sampai tiga orang gadis lihai dan juga Kim-i-ciangkun datang pula ditempat itu.
"Sungguh aneh, kenapa iblis itu tidak segesit dahulu?" kata Pek Lian kepada dua orang temannya.
"Bukankah dahulu gerakannya luar biasa cepatnya seperti pandai menghilang saja? Biarpun sekarang gerakannya juga cepat bukan main akan tetapi rasanya tidak sehebat dahulu"
"Mungkin karena dia harus melindungi teman perempuannya itulah," jawab Pek In yang segera mengajak dua orang temannya untuk membantu para pengeroyok karena memang dua orang iblis itu luar biasa sekali. Pengeroyoknya amat banyak, dipimpin oleh Kirn-i-ciangkun yang tangguh. Semua pengawal adalah perajurit-perajurit pilihan karena untuk dapat diterima menjadi anggauta pasukan pengawal istimewa ini orang harus melalui ujian berat. Maka mereka itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh. Biarpun demikian, agaknya mereka itu menghadapi kesulitan untuk dapat merobohkan atau menangkap dua orang iblis itu. Bahkan banyak sudah anggauta pengawal yang roboh terluka oleh pengamukan mereka berdua. Hebatnya, dua orang maling itu tidak pernah menggunakan pedang mereka yang tergantung dipunggung.
Ini saja menunjukkan bahwa selain mereka tidak ingin membunuh para pengeroyok, juga menjadi tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi sehingga merasa tidak perlu lagi dibantu oleh senjata dalam menghadapi lawan. Selagi para pengawal itu dengan ramainya melakukan pengeroyokan, tiba-tiba terdengar bentakan melengking nyaring dan muncullah Pek-lui-kong Tong Ciak! Melihat munculnya tokoh ini, tentu saja para pengawal bersorak girang. Kalau jagoan ini yang turun tangan, tentu dua orang maling itu akan dapat ditangkap atau dirobohkan. Juga Kim-i-ciangkun merasa girang sekali melihat munculnya atasan ini. Sebaliknya, Pek Lian dan dua orang tokoh wanita bertusuk konde kemala itu mundur dan hanya menonton karena mereka sudah mulai meragukan bahwa orang berkedok itu adalah Si Raja Kelelawar.
Pula, kalau yang maju adalah orang seperti Pek-lui-kong, tentu amat tidak enak bagi jagoan itu kalau dibantu. Biasanya, seorang tokoh besar yang sudah menjadi jagoan, tidak sudi dan merasa malu untuk melakukan pengeroyokan. Pengeroyokan itu terjadi diserambi depan, dibawah pagoda kuil yang bertingkat enam. Melihat betapa para anak-buahnya ternyata tidak mampu menundukkan dua orang maling itu, Pek-lui-kong Tong Ciak menjadi marah. Sambil membentak dia lalu menerjang kedepan dan menggerakkan tangan kanannya menampar. Melihat ini, wanita dalam kedok itu menangkis dan seperti tadi, perbuatannya ini sungguh ceroboh. Ia tidak tahu dengan siapa ia berhadapan dan dengan ceroboh ia berani mengadu tenaga begitu saja! Padahal, pukulan Pek-lui-kong Tong Ciak ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan pukulan api dari Kim-i-ciangkun tadi.
"Dessss... ahhhh!!" Tubuh wanita itu terlempar keudara! Demikian hebatnya tenaga yang terkandung dalam pukulan Pek-lui-kong sehingga ketika wanita itu menangkis mengadu tenaga, tubuhnya terlampar keras. Tubuh itu meluncur kearah pagoda dan terjadilah hal yang mengagumkan sekali. Kiranya wanita itu juga memiliki sinkang yang amat hebat sehingga biarpun tubuhnya mencelat keatas, namun agaknya ia tidak terluka.
Malah dengan ginkang yang luar biasa indahnya, ia berjungkir balik dan dapat dengan tenangnya turun dan hinggap dilantai dari tingkat kedua pagoda itu! Semua orang memandang kagum. Ketika tubuhnya terlempar keatas tadi, temannya terkejut dan dengan ringannya tubuhnya juga melayang keatas menyusul kawannya. Melihat ini, Kim-i-ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukan panah segera memberi isyarat dan meluncurlah belasan batang anak panah kearah tubuh maling yang melayang keatas itu. Akan tetapi, kembali terjadi hal yang amat mengagumkan ketika iblis atau maling itu berjungkir balik dan dengan mudahnya menggerakkan kaki tangan memukul dan menendang runtuh semua anak panah yang meluncur kearah tubuhnya. Semua ini dilakukan selagi tubuhnya berada ditengah udara. Kemudian tubuh itu meluncur turun kelantai tingkat dua, didekat temannya.
Melihat ini, Pek-lui-kong mengeluarkan dengus mengejek dan diapun bersama Kim-i-ciangkun meloncat keatas loteng tingkat dua. para perajurit pengawal berlari-larian melalui tangga. Merekapun hanya ingin menambah semangat saja karena setelah si cebol sendiri yang maju, mereka tidak berani mengganggu dengan pengeroyokan mereka. Hanya pasukan anak panah saja yang masih siap diluar dan dibawah menara, memandang keatas dimana dua orang iblis itu kini bertanding dengan amat serunya melawan Pek-lui-kong dan Kim-i-ciangkun. Pek Lian, Pek In dan Ang In menonton dibawah. Mereka merasa terheran-heran melihat betapa iblis yang mereka sangka Si Raja Kelelawar itu ternyata nampak terdesak oleh Pek-lui-kong setelah mereka berkelahi belasan jurus lamanya. Sebaliknya, maling wanita itu bertempur dengan seru dan nampaknya seimbang dengan Kim-i-ciangkun.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Naga Beracun Eps 25 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 13 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 10