Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 13


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 13




   "Giok-ko, lihat semak belukar yang menutupi guha ini. Di sekeliling tempat, ini tidak ada semak belukar seperti itu!" Suara gadis itu terdengar sungguh-sungguh.

   "Ada apa dengan semak-semak itu, Ceng-moi? Kulihat itu hanya semak belukar biasa," kata Cun Giok tidak mengerti sambil memandang semak belukar itu baik-baik akan tetapi dia tidak menemukan sesuatu yang aneh.

   "Kalau di suatu tempat tumbuh semak seperti itu, tentu di sekeliling sini terdapat pula semak yang sama. Akan tetapi lihat sekeliling sini, tidak ada lagi semak seperti itu!"

   "Hemm, jadi ......?" Cun Giok tetap tidak mengerti.

   "Berarti, semak belukar yang menutupi guha ini sengaja ditanam orang, Giok-ko! Bukan tumbuh alami melainkan sengaja ada orang mencari semak belukar dan berduri untuk ditanam dengan sengaja di sini agar menutupi guha ini!"

   "Ah, jadi maksudmu, orang sengaja menutupi guha ini dengan semak belukar yang ditanam agar jangan ada orang memasuki guha ini?"

   "Tepat! Dan itu berarti bahwa di balik semak belukar, di dalam guha itu, tentu ada sesuatu yang disembunyikan dan yang menyembunyikan tidak ingin ada orang dapat memasuki guha!"

   Cun Giok terbelalak,

   "Maksudmu...... harta karun itu?"

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Mudah-mudahan begitu, Giok-ko. Kemungkinan itu ada, bukan?"

   Cun Giok mengamati wajah gadis itu dengan tajam.

   "Ah, Ceng-moi, mengapa engkau pantang menyerah? Sudah banyak penderitaan dan kekecewaan kau alami untuk mencari harta karun itu. Engkau tampak begini kurus, Ceng-moi. Ah, aku khawatir kalau engkau sampai jatuh sakit. Mengapa tidak kau sudahi saja pencarian yang tiada gunanya ini?"

   Ceng Ceng memandang Cun Giok dengan alis berkerut dan sepasang matanya yang biasanya lembut dan bening itu kini memancarkan sinar penasaran.

   "Giok-ko, apakah engkau belum mengerti? Ingat keadaanku sekarang ini. Aku yatim piatu, tiada sanak keluarga, hidup sebatang kara, seakan kehilangan pegangan. Satu-satunya yang masih ada dan merupakan harapanku, tujuan hidupku dan pembangkit semangatku, hanyalah memenuhi pesan mendiang, Ayah. Kalau aku berhasil melaksanakan kehendak dan pesan Ayahku, menemukan harta karun itu dan menyerahkannya kepada mereka yang berhak seperti yang ditunjuk Ayahku, yaitu para pejuang membebaskan bangsa dan tanah air dari penjajah, maka hidupku akan berarti dan aku akan merasa berbahagia. Kalau tidak berhasil, lalu apa artinya hidupku ini? Melaksanakan tugas memenuhi pesan terakhir Ayahku merupakan satu-satunya pegangan hidupku!"

   Cun Giok merasa terharu sekali. Dia dapat membayangkan betapa menyedihkan keadaan gadis ini. Dia sendiri juga orang yatim piatu, akan tetapi dia tidak pernah dapat mengingat bagaimana rupa ayah ibunya. Ayahnya tewas terbunuh sebelum dia lahir, dan ibunya meninggal ketika melahirkannya. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang ayah Ibunya sehingga kalau dia mengingat akan ayah ibunya, hatinya tidak demikian sakit rasanya. Akan tetapi gadis ini ditinggal mati ayah ibunya setelah ia dewasa.

   "Ceng-moi,...... aku aku akan selalu membelamu...... kalau engkau tidak keberatan ditemani seorang...... duda...... aku berjanji akan selalu menemani dan mendampingimu, selalu membelamu......"

   Ceng Ceng menghela napas panjang, dan ada sedikit cahaya terpancar pada wajahnya yang agak kurus. Ucapan Cun Giok itu bagaikan obat penyejuk dalam hatinya karena ucapan itu secara tidak langsung menyatakan cinta pemuda itu kepadanya. Ia dapat merasakan bahwa pemuda itu merasa sungkan untuk berterang menyatakan cintanya karena dia merasa bahwa dia sudah menjadi duda dengan kematian Siok Eng, walaupun dia belum menjadi suami Siok Eng, hanya tunangan saja. Diam-diam Ceng Ceng merasa terharu dan nilai pemuda itu semakin tinggi dalam pandangannya karena jelas bahwa Cun Giok setia kepada tunangannya yang telah mati, menganggap tunangannya itu sebagai istrinya dan menganggap dirinya sebagai seorang duda.

   "Terima kasih, Giok-ko. Aku tahu bahwa engkau seorang sahabat yang baik sekali, yang membantuku sejak dulu. Sekarang marilah kita bongkar semak belukar ini, aku ingin menyelidiki ke dalam guha."

   "Baik, Ceng-moi!" Tanpa banyak cakap lagi Cun Giok mencabut Kim-kong-kiam. Tampak sinar pedang keemasan bergulung-gulung menyambar-nyambar ketika dia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat sekali. Batang, ranting, dan daun-daun semak belukar yang berduri itu terbang berhamburan ketika disambar sinar pedang dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, seluruh tumbuh-tumbuhan semak yang menghalangi guha itupun sudah dibabat bersih! Kini tampaklah mulut guha yang lebarnya sekitar tiga tombak dan tingginya dua tombak.

   Ceng Ceng membantu Cun Giok dengan melempar-lemparkan onggokan semak yang telah dibabat, menggunakan sebatang kayu sehingga terbuka jalan menuju ke mulut guha. Mereka lalu maju menghampiri guha dan begitu tiba di depan guha, keduanya berhenti dan memandang ke dalam guha dengan mata terbelalak. Di lantai guha itu mereka melihat kerangka manusia berserakan malang melintang! Ketika dihitung mereka mendapatkan bahwa semua ada delapan buah kerangka yang masih utuh, ada yang telentang, telungkup, dan ada pula yang miring. Di dekat kerangka-kerangka ini tampak pula cangkul dan sekop, alat-alat untuk menggali tanah!

   "Ceng-moi, agaknya mereka ini pernah mencari harta karun dan mencoba untuk menggali di sini. Akan tetapi mengapa mereka semua tewas di sini?" Cun Giok memandang ke sebelah dalam guha yang agak gelap karena tidak mendapatkan sinar matahari itu.

   "Awas, Ceng-moi......!" Cun Giok berseru. Dia melihat sepasang benda kecil mencorong kehijauan di sebelah dalam guha dan benda itu bergerak ke arah mereka dengan mengeluarkan suara mendesis-desis.

   "Ular, Giok-ko......!" Ceng Ceng juga berseru kaget.

   Pada saat itu, seekor ular yang besarnya tidak kurang dari paha seorang dewasa, dengan kepala besar yang mengeluarkan sinar hijau, sepasang matanya mencorong kehijauan, dan moncongnya mengeluarkan bunyi mendesis-desis, bergerak cepat menghampiri mereka.

   "Mundur, Ceng-moi!" Cun Giok berseru dan dia bergerak ke depan Ceng Ceng untuk melindungi gadis itu. Setelah dekat, tiba-tiba ular itu berhenti, lalu kepalanya meluncur ke depan, menyerang Cun Giok. Moncongnya terbuka lebar memperlihatkan gigi-gigi yang runcing melengkung ke dalam.

   Dengan tenang namun cepat dan kuat, Cun Giok menebaskan pedangnya ke arah kepala ular itu.

   "Singgg"" takk!" Cun Giok terkejut bukan main ketika pedangnya mental seperti tertangkis benda yang amat kuat. Pedang pusakanya, Kim-kong-kiam, yang dapat membabat putus senjata-senjata lawan yang terbuat dari besi atau baja, kini tidak mampu memecahkan kepala ular yang memiliki kekebalan itu. Ini aneh, luar biasa sekali! Hampir Cun Giok tidak percaya sehingga sejenak dia mengamati pedangnya dan menjadi lengah.

   "Awas, Giok-ko!" Ceng Ceng berseru namun terlambat.

   Ekor ular yang panjang itu telah membelit-belit tubuh Cun Giok. Pemuda ini terkejut namun sebelum dia sempat menggerakkan kedua tangannya, tubuh ular yang besar dan panjang itu telah membelit kedua lengannya sehingga menempel pada tubuhnya dan tidak dapat digerakkan lagi! Cun Giok berusaha membebaskan diri, namun sia-sia. Dia mengerahkan sin-kang, namun tubuh ular itu ulet dan dapat melar sehingga tenaga dalamnya juga tidak mampu membuat ular itu mengendurkan libatan tubuhnya. Padahal, ular itu kini sudah mendekatkan moncongnya pada kepala Cun Giok, siap untuk mencaplok kepala itu!

   Sejak tadi Ceng Ceng yang merasa jijik dan geli melihat ular besar itu, hanya berdiri menjauh. Akan tetapi kini melihat Cun Giok terancam bahaya, ia cepat melompat ke depan dan dua kali tangan kanannya menggerakkan tongkat menusuk ke arah mata ular yang hendak mencaplok kepala Cun Giok itu.

   "Cres! Cres!" Darah mengucur dari sepasang mata ular yang agaknya kesakitan sekali sehingga libatan tubuhnya pada Cun Giok mengendur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk meronta lepas dan dia cepat menggerakkan pedangnya, sekali ini yang dijadikan sasaran adalah leher ular itu.

   "Crakk!" Sekali sabet saja, leher ular itu putus! Tubuh yang panjang menggeliat dan melingkar-lingkar. Cun Giok menggunakan kakinya untuk menendang tubuh ular itu keluar guha.

   Dengan menahan kejijikannya, Ceng Ceng menggunakan tongkatnya untuk mencokel dan melempar keluar kepala ular itu.

   "Tahan Ceng-moi......!" seru Cun Giok menahan.

   Ceng Ceng mengurungkan niatnya dan memandang Cun Giok dengan heran.

   Cun Giok memperhatikan kepala ular itu lalu berkata kepada Ceng Ceng.

   "Lihat, Ceng-moi. Ular itu sudah mati akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya kehijauan! Yang lebih hebat, pedangku tadi tidak dapat melukai kepala ular itu! Kukira tentu ada sesuatu di dalam kepala ular itu!"

   Ceng Ceng terbelalak.

   "Aih, aku teringat, Giok-ko. Dulu pernah Suhu Im-yang Yok-sian bercerita bahwa ada sebuah benda yang disebut Liong-cu-giok (Batu Kemala Mestika Naga), semacam batu giok langka yang bisa terdapat dalam kepala ular yang sudah ratusan tahun umurnya!"

   "Wah, kalau benar ada kemala mustika seperti itu, alangkah beruntungnya kita." Cun Giok lalu berjongkok memeriksa kepala ular. Dilihatnya sepasang mata yang sudah terluka oleh tusukan tongkat Ceng Ceng itu pun sudah kehilangan sinar hijaunya yang tadi mencorong ketika ular itu masih hidup. Akan tetapi kepalanya masih mengeluarkan cahaya seperti tadi. Dengan hati-hati, menggunakan pedangnya, dia menoreh kulit kepala ular. Ternyata kulit itu dapat terkelupas, menandakan bahwa setelah ular itu mati, kepalanya kehilangan kekebalannya. Dengan hati-hati dia membelah kepala ular itu dan tampaklah sebuah benda sebesar telur ayam, mengkilap dan mencorong mengeluarkan cahaya kehijauan!

   Ceng Ceng memungut benda itu dan memeriksanya.

   "Aih, Giok-ko, kurasa tidak salah lagi. Inilah yang disebut Liong-cu-giok seperti yang diceritakan mendiang Suhu Im-yang Yok-sian. Menurut cerita Suhu, benda ini selain amat kuat dan tidak dapat tergores senjata tajam mana pun, juga dapat mengisap segala macam racun, merupakan obat yang mujarab sekali terhadap orang yang keracunan. Kiong-hi (selamat), Giok-ko! Engkau beruntung sekali menemukan mustika ini!" Ceng Ceng menyerahkan batu kemala itu kepada Cun Giok, akan tetapi Cun Giok tidak mau menerimanya.

   "Ambillah, Ceng-moi. Liong-cu-giok itu lebih pantas menjadi milikmu sebagai seorang ahli pengobatan."

   "Tapi, Giok-ko. Engkau yang menemukannya dan engkau yang berhak memiliki. Benda ini merupakan mustika yang langka sekali dan tidak dapat dinilai harganya!"

   Cun Giok tersenyum.

   "Menurut pendapatku, tidak ada benda di dunia ini yang cukup berharga bagimu, Ceng-moi. Ambillah, aku rela memberikannya kepadamu. Pula, kukira engkau memang berhak memilikinya karena kalau tidak ada engkau yang tadi menyerang kedua mata ular itu, mungkin sekali sekarang aku telah ditelan ular dan berada dalam perutnya!"

   Ceng Ceng menghela napas panjang.

   "Baik, Giok-ko. Terima kasih. Engkau memang baik sekali." Ia memasukkan batu kemala itu ke dalam ikat pinggangnya.

   "Nah, sekarang aku tahu, Ceng-moi. Tentu delapan orang ini mencari harta karun di sini akan tetapi mereka semua tewas oleh ular besar tadi. Mari kita tinggalkan saja tempat menyeramkan ini." Dia memandang ke arah delapan buah kerangka manusia itu.

   "Nanti dulu, Giok-ko. Batu kemala ini memang amat berharga, akan tetapi batu kemala ini hanya untuk kita, untuk aku karena telah kauberikan kepadaku. Akan tetapi, untuk kepentingan Ayah Ibuku, aku harus menemukan harta karun itu, agar kematian Ayah Ibu yang mempertahankan peta dengan nyawa mereka, tidak sia-sia."

   "Akan tetapi, ke mana lagi kita akan mencari, Ceng-moi?"

   "Giok-ko, kukira pendapatmu tentang delapan orang yang mati di sini tidak begitu cocok. Lihat, alat-alat menggali itu berada di dekat masing-masing, berarti mungkin mereka tewas terbunuh ketika masih memegang alat menggali itu. Dan lihat alat-alat cangkul dan sekop juga linggis itu. Pada mata alat itu masih terdapat gumpalan tanah. Ini berarti bahwa mereka sedang atau habis menggali tanah ketika mereka terbunuh. Juga, kurasa mereka tidak dibunuh ular tadi. Kalau dibunuh ular, tentu mayat mereka sudah habis dimakan ular itu dalam waktu sekian lamanya. Pula, delapan orang yang semua memegang alat seperti cangkul, sekop dan linggis itu, tentu akan melakukan perlawanan terhadap ular yang menyerang mereka. Sebelum mereka semua terbunuh, mereka tentu dapat pula melarikan diri keluar guha. Bagaimana pendapatmu, Giok-ko?"

   Cun Giok memandang kagum.

   "Engkau hebat, Ceng-moi. Semua perkiraanmu itu tepat sekali dan sungguh bodoh aku tidak dapat melihat semua tanda itu. Lalu kesimpulannya bagaimana?"

   "Menurut pendapatku, kesimpulannya begini. Mungkin ketika mereka memasuki guha ini, belum ada ular besar itu dan belum ada pula semak belukar depan guha. Agaknya mereka menggali di sini dan sebelum kita menarik kesimpulan lebih lanjut, baiknya kita buktikan dulu apakah perkiraanku itu benar. Mungkin mereka menggali di lantai guha ini, menggali bukan untuk mengambil sesuatu, melainkan untuk menyimpan sesuatu! Bagaimana?"

   Wajah Cun Giok berseri. Ah, kalau begitu, harta karun itu berada di lantai guha ini?" Dia menunjuk ke bawah.

   "Mari kita buktikan, Giok-ko!"

   Mereka lalu bekerja. Mula-mula mereka memindahkan kerangka delapan orang itu ke luar guha. Kemudian mereka mempergunakan cangkul dan sekop untuk menggali lantai guha. Hati mereka gembira dan jantung mereka berdebar tegang ketika mendapat kenyataan betapa lantai guha itu tidak keras, berarti lantai itu bukan dari tanah berbatu, melainkan tanah lunak! Hal ini memperbesar kemungkinan bahwa tempat itu memang pernah digali orang!

   Mereka menjadi tambah bersemangat dan menggali dengan cepat. Akhirnya cangkul mereka bertemu dengan benda keras dan setelah tanah di atasnya dibersihkan, tampaklah sebuah peti besi. Pemuda dan gadis itu lalu menarik peti itu dari kanan kiri, mengangkat peti dan menaruhnya di mulut guha yang lebih terang. Dengan wajah berseri dan mata bersinar-sinar, keduanya lalu membuka peti itu dan...... mereka terpesona, mata mereka silau oleh harta benda yang terdapat di dalam peti! Bahkan perak pun tidak ada, yang ada hanya emas, semuanya dari emas! Perhiasan-perhiasan beraneka macam, terbuat dari emas permata yang biasanya hanya dipakai oleh para permaisuri, selir Kaisar dan para puteri istana! Di bagian bawah terdapat emas beratus-ratus kati!

   "Ayah, akhirnya aku dapat memenuhi pesanmu!" Ceng Ceng berseru dan ia pun menangis tersedu-sedu sambil berlutut di samping peti harta karun itu.

   Ketika Cun Giok yang merasa terharu mendekatinya dan menyentuh pundaknya dengan Lembut, Ceng Ceng mengangkat muka dan begitu melihat Cun Giok, ia pun menubruk dan mereka saling berangkulan. Ceng Ceng menangis di dada pemuda itu.

   Sejenak Cun Giok membiarkan gadis itu menangis karena itulah yang terbaik bagi gadis yang agaknya sudah lama dihimpit berbagai kepahitan hidup. Biarlah Ceng Ceng melampiaskan semua kepahitan itu melalui air matanya yang membanjir dan membasahi baju sampai membasahi dadanya. Air mata itu seolah menembus kulit dadanya dan menyirami perasaan hatinya mendatangkan kesejukan dalam hatinya sendiri yang juga dihimpit banyak kepahitan hidup.

   Akan tetapi Ceng Ceng adalah seorang gadis yang sudah memiliki kekuatan batin sehingga setelah melalui tangisnya itu ia menumpahkan semua perasaannya, kini ia sudah tenang kembali. Ia menarik mukanya dari dada Cun Giok, melepaskan rangkulannya dan sambil mengusap sisa air mata yang menempel di pelupuk matanya, ia berkata lembut.

   "Giok-ko, maafkanlah kelemahanku. Karena merasa girang dan berbahagia menemukan harta karun ini dan dapat memenuhi pesan Ayahku, maka aku menjadi lemah dan menangis. Lihat, aku membuat bajumu menjadi basah. Maafkan aku, Giok-ko."

   "Ah, tidak apa-apa, Ceng-moi. Aku ikut bersyukur bahwa engkau dapat menemukan harta karun ini."

   "Berkat bantuanmu, Giok-ko."

   "Tidak, Ceng-moi. Tadi pun aku ragu apakah harta karun ini ada dan apakah berada di sini. Engkau yang tampaknya begitu yakin dan ternyata engkau benar. Menurut pendapatmu, apa yang terjadi dengan harta karun dan delapan kerangka manusia itu, Ceng-moi?"

   "Melihat tanda-tanda tadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa agaknya Thaikam Bong yang mencuri harta ini dari istana Kerajaan Sung, sengaja menyembunyikan peti harta karun ini di sini. Delapan orang itu tentu orang-orangnya yang mengerjakan penggalian untuk menyimpan harta karun. Kemudian, karena tidak ingin ada orang mengetahuinya, dan agar jangan ada yang membocorkan rahasianya itu, dia lalu membunuh delapan orang itu, setelah harta karun ditanam dengan baik. Dan Thaikam yang korup itu pula yang sengaja menanam semak belukar di depan guha untuk mencegah orang memasuki guha. Dan dia membiarkan mayat delapan orang itu di dalam guha karena kalau ada orang yang nekat membabat semak belukar masuk guha, tentu akan takut kalau melihat delapan buah kerangka manusia itu. Kemudian, menurut perkiraanku, agar dia tidak lupa tempat ini, dia sengaja membuat peta itu."

   "Akan tetapi, mengapa di Bukit Sorga dekat kota raja itu terdapat peti yang di dalamnya ada tulisan THAI SAN?"

   "Agaknya Thaikam Bong memang cerdik dan licik. Dia juga memperhitungkan bahwa peta yang dibuatnya itu mungkin membawa orang ke Bukit Sorga yang berada di sebelah selatan kota raja. Dan mungkin karena dia sudah tua, dia hendak mewariskan peta itu kepada orang lain dan dia memberi tanda THAI SAN pada peti itu kalau-kalau pewarisnya salah memperhitungkan dan mendapatkan peti kosong itu. Juga tentu saja dia hendak mengelabuhi orang-orang lain, kalau-kalau peta itu terjatuh ke tangan orang lain."

   "Bagus, Ceng-moi! Jasamu sungguh besar sekali terhadap Kerajaan. Engkau telah membantu Kerajaan dengan menemukan kembali harta karun yang menjadi hak milik Kerajaan. Aku akan melaporkan kepada Sribaginda Kaisar akan jasa besarmu ini agar engkau mendapat imbalan yang sepantasnya!" Yang bicara itu adalah Yauw Tek atau Pangeran Youtechin yang tiba-tiba muncul dan sudah berdiri di hadapan Ceng Ceng dan Cun Giok.

   Ceng Ceng dan Cun Giok memandang kepada Pangeran Mongol itu, lalu kepada Li Hong yang datang dan berjalan perlahan menghampiri mereka. Li Hong tersenyum-senyum dan tampak canggung dan malu-malu. Akan tetapi melihat betapa Cun Giok dan Ceng Ceng memandang kepadanya, ia segera berkata kepada mereka sambil tersenyum, namun ucapannya terdengar tegas.

   "Enci Ceng dan Giok-ko, jangan memandang kepadaku seperti itu! Urusan harta karun adalah urusan yang dapat dibicarakan antara Enci Ceng dan Pangeran, sama sekali aku tidak ikut campur. Hanya kuminta Pangeran tidak memusuhi kalian dan kuharap saja agar urusan itu dapat diselesaikan dengan cara damai. Enci Ceng adalah kakak angkatku dan Giok-ko adalah kakak misanku, kalian berdua di satu pihak adalah kakak-kakakku, dan di lain pihak, Pangeran Youtechin adalah...... calon suamiku. Karena itu, dalam urusan harta karun ini aku tidak mencampuri. Aku akan membantu kalian berdua kalau memperebutkan harta karun dengan orang lain, demikian pula aku akan membantu Pangeran Youtechin kalau dia berebutan dengan pihak lain. Nah, terserah, akan tetapi harap dapat menyelesaikan urusan ini dengan damai tanpa permusuhan."

   Cun Giok dan Ceng Ceng merasa terharu. Bagaimanapun juga, Li Hong sudah bicara dengan sejujurnya, mengakui bahwa ia telah menerima pangeran itu sebagai calon suaminya! Mereka harus menghormati cinta kasih Li Hong yang dijatuhkan kepada pangeran, pemuda yang tampan dan lihai, juga berpenampilan lembut itu. Ceng Ceng maju menghampiri Li Hong dan dua orang gadis itu saling rangkul.

   "Hong-moi, aku mengerti dan tidak akan membawamu dalam urusan ini," kata Ceng Ceng sambil mencium pipi adik angkatnya itu.

   Setelah mencium adik angkatnya, Ceng Ceng lalu menghadapi Pangeran Youtechin dan berkata lembut.

   "Pangeran......"

   "Ah Ceng-moi. Biarlah engkau mengenal aku sebagai Yauw Tek saja."

   "Akan tetapi engkau adalah seorang Pangeran, maka sudah semestinya kalau aku menyebutmu Pangeran. Pangeran, kata-katamu tadi keliru. Aku mencari harta karun sama sekali bukan untuk pemerintah Kerajaan Mongol, dan juga harta karun itu milik Kerajaan Sung. Mendiang ayahku menyita dari seorang Thaikam yang korup, menyita petanya maka dapat dikatakan bahwa harta karun itu yang berhak adalah mendiang ayahku. Sebagai pewarisnya, akulah yang berhak memiliki harta karun ini. Kukira hal ini tidak perlu kujelaskan lebih banyak karena ketika engkau muncul sebagai Yauw Tek, engkau sudah mendengar semua."

   "Aku mengerti, Ceng-moi. Akan tetapi perlu kauingat bahwa harta karun itu berasal dari milik Kerajaan Sung yang telah dikalahkan Kerajaan Goan kami, maka semua milik Kerajaan Sung yang kalah sudah sewajarnya menjadi rampasan dan milik kerajaan yang menang. Selain itu, harta karun itu terdapat di Thai-san yang juga menjadi wilayah Kerajaan Goan, maka pemilik yang berhak dan sah adalah Kerajaan Goan," bantah Pangeran Youtechin.

   "Nanti dulu, Pangeran Youtechin!" Cun Giok berkata penasaran akan tetapi suaranya tetap halus karena dia ingat bahwa pangeran itu adalah calon suami adik misannya dan harus dia akui bahwa pendapat pangeran itu dipandang dari pihak Kerajaan Mongol memang tidak dapat dibantah kebenarannya. Akan tetapi dipandang dari pihak rakyat Han tentu saja membuat hatinya penasaran.

   "Pendapatmu itu memang benar, akan tetapi itu kebenaran pemerintah yang menang dan menjadi penjajah. Tentu engkau tahu benar bahwa harta karun itu didapatkan oleh Kerajaan Sung yang telah jatuh dari milik rakyat jelata. Maka setelah kerajaan itu jatuh, sudah sepatutnya kalau harta karun itu dikembalikan kepada rakyat! Adapun tempat ditemukannya harta karun ini, yaitu Pegunungan Thai-san, sejak jaman dahulu adalah milik rakyat jelata di mana mereka terlahir dan mati. Ini adalah tanah air dan tanah tumpah darah rakyat jelata, maka segala sesuatu yang didapatkan di tanah air ini adalah hak milik rakyat. Kami membantu Adik Liu Ceng Ceng mendapatkan harta karun yang petanya ditinggalkan ayahnya dan setelah kami temukan, bagaimana mungkin hendak kau minta begitu saja untuk diserahkan kepada kerajaanmu? Ini sungguh tidak adil!"

   Sebelum Pangeran Youtechin menjawab, tiba-tiba terdengar suara tawa aneh. Tawa yang keluar dari dua mulut, akan tetapi begitu aneh tawa itu sehingga menyeramkan, apalagi yang satu tawanya seperti tangis. Muncullah sepasang kakek dan nenek iblis yang bukan lain adalah Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli!

   "Heh-heh, Pangeran, mengapa Paduka masih mengajak mereka bercakap-cakap? Rampas saja harta karun itu, kami akan membantu Paduka dan hadiahnya bagi saya cukup serahkan gadis ahli obat itu kepada saya!" kata Cui-beng Kui-ong.

   "Hi-hik, benar sekali, Pangeran. Dan serahkan pemuda itu sebagai hadiah kepada saya!" Song-bun Moli tidak mau kalah.

   Akan tetapi pada saat itu tampak banyak orang berlompatan dan sebentar saja puluhan orang sudah berdiri di belakang Cun Giok dan Ceng Ceng. Mereka adalah rombongan Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Go-bi-pai yang diwakili Thian-li Niocu dan para muridnya, Bu-tong-pai yang diwakili oleh Liong Kun dan Thio Kui yang datang bersama Kui Lan dan Kui Lin. Tampak pula Bu-tek Sin-liong Cu Liong bersama puterinya, Cu Ai Yin, akan tetapi datuk ini berdiri di tempat netral, agaknya tidak berpihak kepada siapa pun.

   "Pangeran, mereka itu hendak memberontak terhadap kerajaan kita!" kata Kong Sek dengan nada marah. Agaknya, melihat Cun Giok, dia sudah tidak sabar untuk berdiam diri dan hendak mempergunakan kekuatan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli untuk membunuh Cun Giok sebagai balas dendam terhadap kematian ayahnya.

   Akan tetapi Pangeran Youtechin memberi isyarat dengan tangan agar Kong Sek dan dua orang kakek nenek iblis itu tidak turun tangan. Lalu dia memandang kepada mereka yang baru datang itu. Thai-san Sianjin Thio Kong, ketua Thai-san-pai berkata dengan lantang namun cukup menghormat.

   "Pangeran, kami sama sekali tidak hendak memberontak terhadap pemerintah! Kami hanya membenarkan Nona Liu Ceng Ceng bahwa harta karun itu adalah berasal dari rakyat jelata dan harus kembali kepada rakyat yang menjadi pemiliknya. Ada pun harta karun itu ditemukan di Thai-san, maka kami Thai-san-pai yang sudah ratusan tahun tinggal di sini, dapat mengatakan bahwa tempat ini merupakan daerah wilayah kami. Kami percaya bahwa pemerintah tentu menghormati hak rakyat atas daerah yang menjadi kekuasaannya."

   "Kami mendukung Nona Liu Ceng Ceng, dan kalau ada yang hendak merampas harta karun milik rakyat dari tangannya, kami siap untuk membelanya!" kata Thian-li Niocu wakil dari Go-bi-pai. Terdengar suara berisik karena semua yang diam-diam anti penjajahan mendukung Ceng Ceng.

   Menghadapi semua ucapan itu dan melihat puluhan pasang mata memandangnya dengan sikap penasaran, Pangeran Youtechin tampak tenang saja. Berbeda dengan Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang sudah marah dan ingin menerjang dan mengamuk, Pangeran itu kembali memberi isyarat kepada tiga orang pengikutnya untuk berdiam diri, kemudian dengan sikap tenang dan suaranya lantang namun mulutnya tersenyum dia berkata.

   "Kami mengerti bahwa kalian tidak hendak memberontak terhadap pemerintah, dan kami juga tidak ingin bermusuhan dengan para tokoh dunia kang-ouw! Kalian menghendaki harta karun untuk diberikan kepada rakyat jelata, sebaliknya pemerintah menghendaki harta karun itu juga hendak dipergunakan demi kesejahteraan rakyat. Untuk mengatur negara dari rakyat, untuk menyejahterakan rakyat memerlukan biaya yang amat besar. Harta karun itu memang peninggalan Kerajaan Sung, maka setelah Kerajaan Sung kalah, maka dengan sendirinya harta karun itu menjadi milik kerajaan kami yang menang. Aku, Pangeran Youtechin, sama sekali tidak menginginkan harta itu untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk diserahkan kepada kerajaan, kepada pemerintah!"

   Ketika pangeran itu berhenti sebentar, kesempatan ini dipergunakan oleh Cun Giok untuk menjawab.

   "Pangeran Youtechin, kami tidak dapat membantah kebenaran ucapan Paduka, akan tetapi kebenaran itu dipandang dari pihak kerajaan. Adik Ceng Ceng juga memiliki kebenaran pendiriannya sendiri. Ia menerima warisan peta dari ayahnya dengan pesan khusus, maka sebagai anak yang berbakti tentu saja ia harus melaksanakan pesan atau perintah yang diwariskan ayahnya. Adapun kami semua yang membela Adik Ceng Ceng juga mempunyai kewajiban, yaitu berbakti kepada bangsa dan tanah air, membela kepentingan rakyat, maka kami mendukung niat Adik Ceng Ceng untuk mengembalikan harta karun kepada rakyat jelata."

   Pangeran Youtechin mengangguk-angguk.

   "Dua pihak memiliki alasan dan pendirian masing-masing, itu hal yang wajar. Tidak ada yang dapat disalahkan karena alasan masing-masing benar. Kalian adalah pendekar-pendekar yang setia membela kepentingan rakyat akan tetapi lupa bahwa kalian juga berkewajiban untuk membela dan setia kepada pemerintah yang berkuasa dan berwenang. Adapun kami tentu saja berkewajiban untuk berbakti kepada pemerintah kerajaan kami dan sekaligus juga mementingkan kesejahteraan rakyat yang akan dilaksanakan dan diatur oleh pemerintah."

   "Pangeran, kita hajar saja pemberontak-pemberontak ini!" kata Cui-beng Kui-ong yang sudah tidak sabar lagi.

   "Cui-beng Kui-ong, kami bukan pemberontak! Kami tidak takut kepadamu demi membela hak kami!" Ketua Thai-san-pai juga berseru lantang.

   Li Hong yang melihat betapa kedua pihak mulai panas, meninggalkan Ceng Ceng dan melompat ke dekat Pangeran Youtechin. Ia menatap wajah pangeran itu dan berkata lirih.

   "Pangeran, jangan memusuhi kakak misanku Pouw Cun Giok dan kakak angkatku, Liu Ceng Ceng. Ingat akan janjimu kepadaku!"

   Pangeran itu tersenyum, menyentuh lengan Li Hong dan mengangguk. Kemudian dia menoleh ke arah Cui-beng Kui-ong, Song-bun Moli dan Kong Sek yang agaknya sudah siap dengan senjata masing-masing.

   "Aku perintahkan kalian jangan menyerang siapapun juga sebelum aku kehendaki!"

   Kakek dan nenek itu terpaksa menaati, mereka mengangguk dan bahkan melangkah ke belakang. Biarpun dengan bersungut-sungut karena dia tidak diberi kesempatan menyerang musuh besarnya, yaitu Pouw Cun Giok, Kong Sek terpaksa mundur pula mengikuti kakek dan nenek iblis itu. Setelah itu, Pangeran Youtechin kembali menghadapi Ceng Ceng, Cun Giok para tokoh kang-ouw yang mendukung mereka.

   "Cu-wi Enghiong (Para Pendekar Sekalian)! Sesungguhnya, yang langsung berurusan tentang harta karun adalah Nona Liu Ceng Ceng dan kami. Nona Liu Ceng Ceng sebagai pewaris ayahnya yang akan melaksanakan pesan ayahnya dan kami sebagai wakil kerajaan yang bertindak atas nama Sribaginda Kaisar. Ketahuilah bahwa kami sama sekali tidak berniat untuk bermusuhan dengan Nona Liu Ceng Ceng yang merupakan sahabat baik kami dan terutama sekali ia adalah kakak angkat dari calon isteriku, Nona Tan Li Hong. Juga kami sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan para pendekar dan tokoh kang-ouw yang mendukung Nona Liu Ceng Ceng. Kami harap Cu-wi (Anda Sekalian) juga tidak mengambil sikap bermusuhan dengan kami. Sama sekali bukan berarti bahwa kami merasa takut. Kami tidak takut, akan tetapi kalau sampai di antara kita terjadi bentrokan dan pertempuran, lalu kami tewas, akibatnya akan hebat. Kami adalah wakil pemerintah yang mendapat hak dari Sri Baginda Kaisar, maka kalau sampai kami tewas di tangan kalian, tentu kalian dianggap pemberontak dan pemerintah akan mengerahkan bala tentara untuk membasmi kalian! Ini bukan gertakan belaka, melainkan peringatan agar hal itu tidak sampai terjadi. Sekarang begini saja. Karena kedua pihak memiliki alasan masing-masing yang kuat, maka pertentangan karena perebutan harta karun itu kita selesaikan dengan cara yang adil dan gagah seperti biasa dilakukan di dalam dunia persilatan. Agar jangan menimbulkan banyak korban dan permusuhan besar, maka aku, Pangeran Youtechin dan dalam hal ini menjadi utusan istimewa dari Sri Baginda Kaisar, mengajak Nona Liu Ceng Ceng untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) untuk menentukan siapa yang menang dan berhak mendapatkan harta karun itu. Tentu saja, Nona Liu Ceng Ceng boleh memilih wakilnya yang akan bertanding melawanku."

   Mendengar ucapan yang panjang lebar dari pangeran itu, para tokoh kang-ouw dan anak buah mereka saling berbisik sehingga keadaan menjadi agak berisik. Namun pada umumnya, mereka terkesan dan menganggap pangeran itu bicara dengan adil dan gagah seperti sikap seorang pendekar tulen. Diam-diam mereka merasa heran. Tadinya, dalam anggapan mereka, semua orang Mongol, terutama para pembesar dan bangsawannya, adalah orang-orang yang angkuh, sombong dan sewenang-wenang. Akan tetapi sekarang muncul seorang pangeran selain tampan iuga bersikap ramah dan dapat mengambil keputusan bijaksana dan adil, tidak hendak mencari kemenangan sendiri.

   Para pimpinan rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw seperti Thai-san Sianjin Thio Kong Ketua Thai-san-pai, Hoa-san Ngo-heng-tin, Kui-tung Sin-kai Ketua Ang-tung Kai-pang, Thian-li Niocu tokoh Go-bi-pai, dua orang pemuda wakil Bu-tong-pai dan yang lain-lain mengangguk-angguk kagum dan setuju dengan peraturan yang dikemukakan Pangeran Youtechin untuk mencegah pertempuran dan permusuhan dengan pi-bu. Bahkan Bu-tek Sin-liong yang berwatak keras dan jujur, tidak berpihak itu tak dapat menahan kegembiraannya untuk menonton orang mengadu ilmu silat dan berseru,

   "Bagus! Bagus sekali diadakan pi-bu itu!"

   Ceng Ceng melangkah maju hendak menyambut tantangan pi-bu itu, akan tetapi Cun Giok memegang lengannya.

   "Giok-ko, akulah yang berkepentingan dan aku yang ditantang pi-bu!" kata Ceng Ceng.

   "Ceng-moi, kepentinganmu adalah kepentinganku juga, dan tadi Pangeran Youtechin mengatakan bahwa engkau boleh mewakilkan orang lain untuk bertanding melawannya. Biarlah aku yang mewakilimu, Ceng-moi." Tanpa menanti jawaban, Cun Giok melompat ke depan pangeran itu.

   "Pangeran, akulah yang mewakili Nona Liu Ceng Ceng untuk bertanding melawanmu!" katanya lantang.

   "Ah, sudah kuduga engkau yang akan maju, Pouw Cun Giok! Aku gembira sekali karena aku tahu bahwa engkau yang berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan) dan merupakan lawan yang amat lihai dan aku senang sekali tidak harus bertanding melawan Nona Liu Ceng Ceng!" Kata Pangeran Youtechin yang sudah banyak mendengar tentang Cun Giok dari Li Hong. Memang dia ingin sekali mengukur sampai di mana kepandaian pendekar yang dipuji-puji oleh Li Hong yang merupakan adik misan pendekar itu.

   Setelah berkata demikian, Pangeran Youtechin menoleh kepada para pembantunya dan berkata dengan nada tegas.

   "Sekali lagi kuperintahkan agar kalian tidak ada yang campur tangan dalam pi-bu ini!"

   Melihat sikap Pangeran Youtechin ini, Cun Giok segera memutar tubuh menghadapi para pendukung Ceng Ceng dan berseru dengan lantang.

   "Aku mohon Cu-wi (Anda Sekalian) dapat menjaga nama dan kehormatan kita dan tidak turun tangan membantuku dalam pi-bu ini!"

   Kini dua orang pemuda yang tampan gagah itu saling berhadapan dalam jarak kurang lebih tiga meter. Karena keduanya maklum bahwa mereka berhadapan dengan lawan tangguh, Pangeran Youtechin mendengar kelihaian Cun Glok dari Li Hong sebaliknya Cun Giok mendengar akan kelihaian pangeran itu dari Ceng Ceng, kedua orang pemuda itu tidak berani memandang rendah lawan.

   Pangeran Youtechin lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang dan kedua lutut ditekuk, kedua tangan terbuka di kanan kiri pinggang. Cun Giok juga memasang kuda-kuda yang disebut pembukaan "Menunggang Kuda" yang sama karena itulah kuda-kuda terbaik untuk menghadapi serangan tangan kosong lawan. Melihat betapa pangeran itu tidak mencabut pedang, Cun Giok juga tidak mencabut pedangnya. Setelah dalam kedudukan memasang kuda-kuda seperti itu untuk sejenak dan hanya saling pandang dengan sinar mata tajam seolah hendak mengukur kepandaian lawan lewat pandang mata masing-masing, Pangeran Youtechin berkata.

   "Bu-eng-cu, silakan!" Ucapan ini merupakan tantangan halus agar lawan mulai menyerang.

   "Pangeran, aku telah siap, silakan!" Cun Giok balas menantang.

   Mendengar ini, Pangeran Youtechin perlahan-lahan menggerakkan kedua tangan di kanan kiri pinggang itu ke atas seperti menarik sesuatu yang berat ke atas sampai depan dada, lalu membalikkan kedua tangan seperti menekan benda berat ke bawah. Dengan gerakan ini dia menghimpun tenaga sakti menjalar ke dalam kedua lengan tangannya.

   Melihat ini, Cun Giok mengangkat kedua tangan tinggi ke atas kepala lalu menurunkan perlahan-lahan dan mengumpulkan pula tenaga saktinya, siap menyambut serangan lawan karena dari gerakan pangeran tadi dia dapat menduga bahwa lawan akan menyerang dengan pukulan tenaga sakti. Benar saja dugaannya ketika pangeran itu berseru nyaring.

   "Sambut seranganku ini!" Pangeran Youtechin menggerakkan tangan kanannya mendorong ke depan tanpa mengubah posisi kakinya, lalu disusul dorongan tangan kiri.

   "Wuuuttt! Wuuuttt!" Angin pukulan yang amat kuat menyambar ke arah Cun Giok, akan tetapi Si Pendekar Tanpa Bayangan ini sudah menyambut dengan dorongan kedua tangannya pula.

   "Syuuuttt! Syuuuttt!" Dari kedua telapak tangannya juga menyambar tenaga yang tak kalah hebatnya.

   Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Dess! Desss!" Dua tenaga sakti bertemu di udara dan kedua orang pemuda itu merasa betapa tubuh mereka tergetar. Mereka merasa penasaran dan kini mereka saling serang menggunakan tenaga sakti, menyerang dalam jarak tiga meter. Angin pukulan mereka menderu-deru sampai terasa oleh mereka yang menonton, akan tetapi tak seorang pun dari mereka berdua yang dapat terdorong oleh serangan lawan.

   Karena merasa penasaran, tiba-tiba kedua orang pemuda itu berseru nyaring sambil mendorongkan kedua tangan mereka.

   "Wuuuuttt...... bresss!" Dua tenaga dahsyat bertemu dan keduanya terpental dan terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Ternyata tenaga sakti mereka seimbang dan hal ini diketahui pula oleh para tokoh yang menjadi penonton.

   Pangeran Youtechin merasa penasaran sekali. Selama dia meninggalkan Tibet, dalam perantauannya belum pernah dia bertemu orang yang mampu menandingi kekuatan tenaga saktinya. Maka, biarpun dengan wajah berseri karena disamping rasa penasarannya, dia juga merasa kagum dan gembira mendapatkan lawan seimbang, dia lalu melompat dan kini berhadapan langsung dengan Cun Giok. Dia kini menyerang dengan pukulan langsung dengan jurus Hio-te-hoan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), tangan kanannya meluncur ke depan mencengkeram ke arah dada lawan. Serangan ini cepat dan kuat sekali. Cun Giok juga mengerahkan tenaga dan cepat dia menangkis dengan jurus Pai-san-to-hai (Tolak Gunung, Timbun Lautan) yang merupakan tangkisan dan sekaligus ketika tangan kiri menangkis serangan lawan, tangan kanannya menghantam dari atas ke bawah ke arah kepala pangeran itu.

   "Haitt!" Pangeran Youtechin cepat mengelak dengan gerakan Kim-le-coan-po (lkan Emas Terjang Ombak), lalu sambil membalikkan tubuh dia balas menyerang dengan jurus Sin-liong-pai-bwe (Naga Sakti Sabetkan Ekor), kakinya mencuat dalam tendangan kilat yang hebat sekali. Saking cepatnya datangnya tendangan, Cun Giok tidak sempat mengelak dan menggunakan lengannya untuk menangkis.

   "Dukkk!!" Kini keduanya serang menyerang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga terdengar bunyi dak-duk-dak-duk berulang-ulang.

   Hebat bukan main pertandingan silat tangan kosong itu. Puncak pertandingan adalah ketika Pangeran Youtechin bersilat dengan ilmu silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin), yang dilawan oleh Cun Giok dengan ilmu silat Ngo-heng-kun. Tidak kurang dari limapuluh jurus mereka saling serang dalam keadaan seimbang. Tiba-tiba terdengar suara berdebuk dua kali dan keduanya terhuyung ke belakang. Keduanya terhuyung dengan muka berubah agak pucat. Cun Giok menekan dada kiri dengan tangan kanan sedangkan pangeran itu menekan dada kanan dengan tangan kirinya.

   Ternyata dalam saat yang hampir berbareng, Cun Giok terpukul dada kirinya dan Pangeran Youtechin terpukul dada kanannya! Sejenak keduanya menggosok-gosok bagian dada yang terkena pukulan.

   "Pangeran, ilmu silatmu sungguh hebat, aku merasa kagum!" kata Cun Giok dengan jujur.

   "Jangan terlalu merendahkan diri, Bu-eng-cu! Aku juga terkena pukulanmu. Keadaan kita masih seimbang. Mari kita tentukan siapa yang lebih unggul dengan senjata kita!" Setelah berkata demikian, pangeran itu menghunus pedangnya yang indah dan yang ujungnya bercabang. Cun Giok juga mencabut Kim-kong-kiam yang bersinar emas.

   "Silahkan, Pangeran!" kata Cun Giok.

   Li Hong sejak tadi mengamati pertandingan silat tangan kosong itu dengan muka penuh kecemasan. Hatinya merasa lega ketika kedua orang muda itu sama-sama terhuyung ke belakang dan agaknya hanya menderita luka ringan oleh pukulan masing-masing. Akan tetapi begitu melihat mereka
(Lanjut ke Jilid 14)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 14
berdua sudah mencabut pedang, kekhawatirannya memuncak dan ia tidak menahan diri lagi lalu berseru.

   "Giok-ko, jangan bunuh suamiku! Pangeran, jangan bunuh kakak misanku!!" Gadis ini setelah berseru nyaring lalu menangis. Akan tetapi agaknya seruan yang nyaring, itu tidak didengarkan atau tidak diperhatikan dua orang muda itu karena Pangeran Youtechin telah mulai menyerang dengan pedangnya. Cun Giok menangkis dengan cepat.

   "Tranggg......!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kedua orang muda yang merasa betapa tangan mereka tergetar, cepat memeriksa pedang masing-masing. Akan tetapi ternyata pedang mereka tidak rusak oleh benturan yang amat kuat tadi. Maka kembali mereka sudah saling menyerang.

   Ceng Ceng merangkul Li Hong dan menghiburnya.

   "Hong-moi, jangan cengeng. Malu ditonton banyak orang. Tenanglah, kukira mereka tidak akan saling bunuh karena mereka berdua menyayangmu. Kalau hanya terluka, hal itu sudah wajar dalam sebuah pi-bu. Mudah-mudahan saja, siapa pun di antara mereka yang kalah, tidak akan menderita luka parah."

   Pertandingan pedang itu benar-benar mengasyikkan akan tetapi juga menegangkan untuk ditonton. Bergantian mereka menyerang dengan menggunakan jurus-jurus terampuh.

   "Hyaatt""!" Pangeran itu menyerang dengan jurus Hui-in-ci-tian (Awan Mengeluarkan Kilat). Pedangnya diputar lalu tiba-tiba pedang itu meluncur ke arah tenggorokan lawan. Cun Giok cepat menggerakkan jurus In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari) dan beruntun dia menangkis pedang pangeran itu yang menyerang bertubi-tubi sampai tiga kali. Terdengar bunyi berdenting-denting ketika berturut-turut kedua pedang itu beradu.

   Kemudian Cun Giok membalas. Dia menyerang dengan jurus Liu-seng-kan-goat (Bintang Mengejar Bulan), serangannya berkelanjutan karena begitu dielakkan lawan, pedangnya terus melakukan pengejaran ke mana pun lawan bergerak! Diserang secara berkelanjutan itu, Pangeran Youtechin merasa kewalahan dan terpaksa dia memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Dia menangkis dengan jurus Pek-kong-koan-jit (Cahaya Putih Menutup Matahari) sehingga kembali terdengar suara berdentangan ketika sepasang pedang itu saling bertemu dan mengeluarkan bunga api yang berpijar-pijar.

   Setelah mereka bertanding pedang selama limapuluh jurus lebih, tiba-tiba Pangeran Youtechin mengubah gerakan pedangnya dan kini dia mainkan ilmu pedang Liap-in-kiam-hoat (Ilmu Pedang Pengejar Awan) yang gerakannya aneh dan pedang itu sukar dibendung karena menyerang dengan bertubi-tubi. Menghadapi ilmu pedang yang hebat ini, Cun Giok lalu mainkan Ngo-heng Kiam-sut (ilmu Pedang Lima Anasir) yang sudah disempurnakan oleh Pak-kong Lojin, kakek gurunya yang kemudian juga menggemblengnya.

   Dua macam ilmu pedang itu sama dahsyatnya. Lima orang tokoh Hoa-san-pai, yaitu Thian-huo Tosu, Thian-kim Tosu, Thian-bhok Tosu, Thian-sui Tosu, dan Thian-tho Tosu yang dikenal sebagai Hoa-san Ngo-heng-tin juga mahir ilmu pedang Ngo-heng. Akan tetapi melihat Cun Giok mainkan ilmu pedang Ngo-heng itu, mereka terkagum-kagum. Memang pada dasarnya bersumber sama, akan tetapi pada ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu terdapat banyak kembangan yang tidak mereka kenal dan mereka harus mengakui bahwa Ngo-heng Kiam-sut yang dimainkan Cun Giok sungguh amat dahsyat dan jauh Iebih rumit.

   Dua orang muda itu memang hebat. Tingkat ilmu silat dan tenaga sakti mereka berimbang sehingga sukarlah mendesak lawan. Setelah bertanding kurang lebih seratus jurus, Cun Giok yang sudah mengambil keputusan untuk memenangkan Ceng Ceng walaupun dia akan membuat kecewa adik misannya, segera mulai mengerahkan gin-kang yang dikuasainya.

   Memang dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh), Cun Giok telah memiliki tingkat yang amat tinggi sehingga karena kecepatan gerakannya, dia mendapat julukan Bu-eng-cu atau Si Tanpa Bayangan! Maka, begitu dia mengerahkan gin-kangnya dan memainkan Ngo-heng Kiam-sut, Pangeran Youtechin terkejut bukan main. Dia merasa seolah-olah bertanding melawan bayangan yang kadang-kadang lenyap dan tahu-tahu berada di belakang atau kanan kirinya. Maklumlah dia bahwa lawannya benar-benar pantas disebut Pendekar Tanpa Bayangan karena memiliki gin-kang yang luar biasa. Dia memutar pedangnya dengan cepat namun tetap saja dia dibuat pusing dengan kecepatan gerakan lawannya.

   Para penonton kini memandang dengan penuh kagum. Dua gulungan sinar pedang itu bagaikan seekor naga emas dan naga perak melayang-layang dan saling belit, saling sambar dengan dahsyatnya. Kalau tubuh Sang Pangeran masih tampak dan berkelebatan terbungkus sinar pedang, tubuh Bu-eng-cu Pouw Cun Giok benar-benar lenyap tak tampak bayangannya! Pangeran Youtechin melawan mati-matian dan lebih mengandalkan telinganya daripada matanya karena tubuh lawan yang tidak dapat dilihatnya itu masih dapat dia tangkap dengan pendengarannya.

   "Cringgg......!!" Tiba-tiba terdengar bunyi berdencing nyaring, tampak bunga api berpijar disusul teriakan Pangeran Youtechin karena dia merasa pergelangan tangan kanannya tertotok dan pedangnya terpental ke atas. Sebelum dia sempat menangkap kembali pedangnya yang terbang karena dihantam pedang lawan, Cun Giok sudah mendahuluinya melompat ke atas dan ketika dia turun kembali, pedang milik pangeran itu telah berada di tangan kirinya!

   Dengan terampasnya pedang, semua orang juga mengetahui bahwa pangeran itu telah dikalahkan Bu-eng-cu Pouw Cun Giok yang mewakili Liu Ceng Ceng! Pangeran Youtechin juga mengakui hal ini dan diam-diam dia kagum dan berterima kasih kepada Cun Giok yang telah mengalahkannya tanpa melukainya. Dia tahu bahwa jika Cun Giok mau, dia tentu sudah roboh terluka.

   Li Hong melompat dan sudah berada dekat Cun Giok. Ia menjulurkan tangannya minta pedang pangeran itu dikembalikan. Cun Giok dapat menanggapi gerakan Li Hong tanpa kata itu. Dia menyerahkan pedang rampasan kepada adik misannya. Li Hong menerima pedang dan menghampiri Pangeran Youtechin. Diserahkannya pedang itu kepada Sang Pangeran sambil berkata lembut,

   "Pangeran, engkau telah kalah."

   Pangeran Youtechin menerima pedang itu sambil menghela napas panjang. Dia memandang kepada Pouw Cun Giok yang telah berdiri dekat Ceng Ceng, lalu berkata nyaring agar terdengar oleh semua orang yang berada di situ.

   "Bu-eng-cu, kami mengaku kalah dan sesuai dengan perjanjian, harta karun itu boleh dimiliki Nona Liu Ceng Ceng dengan sah. Kalau ada pihak yang hendak merebutnya, kami akan membantu Nona Liu untuk menentang mereka!"

   Mendengar ucapan Pangeran Youtechin, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli mengerutkan alisnya dan merasa penasaran sekali. Akan tetapi tentu saja mereka berdua tidak berani menentang pangeran yang memegang tanda kekuasaan Kaisar.

   "Pangeran, kami mohon diri, akan kembali ke Bukit Sorga," kata Cui-beng Kui-ong dan dengan muka keruh dia dan Song-bun Moli berkelebat dan lenyap dari situ.

   Kong Sek yang merasa penasaran sekali, terutama kepada Pouw Cun Giok namun juga merasa tidak berdaya untuk membalas dendam karena tingkat kepandaian Cun Giok jauh melampaui tingkatnya, memandang kepada Pendekar Tanpa Bayangan dengan mata mencorong penuh kebencian. Dia lalu menudingkan telunjuknya kepada musuh besarnya itu dan berkata dengan marah.

   "Jahanam Pouw Cun Giok, kau tunggu saja. Akan tiba saatnya aku datang mengambil kepalamu untuk membalas kematian ayah!" Setelah berkata demikian, dia memberi hormat kepada Pangeran Youtechin lalu meninggalkan tempat itu.

   Kini Liu Ceng Ceng menghadapi para tokoh kang-ouw yang tadi berdiri di belakangnya dan yang mendukungnya, mengangkat kedua tangan depan dada dan memberi hormat lalu berkata.

   "Cu-wi yang budiman, saya Liu Ceng Ceng atas nama mendiang ayah Liu Bok Eng berterima kasih sekali atas dukungan Cu-wi sehingga harta karun itu dapat saya peroleh untuk memenuhi pesan terakhir ayahku. Karena sekarang urusan mengenai harta karun telah dapat diselesaikan, maka saya harap tidak akan terjadi lagi keributan dan pertengkaran mengenai harta karun. Sekali lagi, banyak terima kasih saya ucapkan kepada Cu-wi yang budiman."

   Para tokoh kang-ouw senang mendengar ucapan gadis itu dan mereka lalu meninggalkan bukit itu. Diam-diam Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan muridnya, Cu Ai Yin, juga telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit.

   Kini yang masih berada di depan guha hanya Pouw Cun Giok dan Liu Ceng Ceng, berhadapan dengan Pangeran Youtechin dan Tan Li Hong.

   Pangeran Youtechin memandang Li Hong dengan wajah muram lalu berkata dengan suara mengandung kesedihan.

   "Dinda Li Hong, sekarang sebaiknya engkau pulang dulu ke Coa-to (Pulau Ular). Aku harus kembali ke kota raja untuk mempertanggung-jawabkan kegagalanku mengemban tugas mendapatkan harta karun seperti yang diperintahkan Sribaginda Kaisar."

   Li Hong memegang kedua lengan pangeran itu, menatap wajah pangeran muda itu penuh kasih sayang lalu berkata.

   "Tidak, Pangeran. Aku harus ikut bersamamu ke kota raja!"

   Pangeran itu merangkul kekasihnya.

   "Jangan, Adinda. Engkau pulanglah ke Pulau Ular dan tunggu di sana. Percayalah, kalau aku dapat terbebas dari hukuman karena gagal melaksanakan tugas, aku akan memberitahu kepada ayahku tentang perjodohan kita dan ayah pasti akan mengirim orang untuk menyampaikan pinangan secara resmi kepada orang tuamu dan kita dapat menikah dengan resmi."

   "Tidak, tidak, Pangeran!" Li Hong berkeras dan menyandarkan mukanya di pundak pangeran itu. Sepasang matanya menjadi merah dan tangisnya sudah berada di ambang pelupuk matanya.

   "Kalau engkau terhukum, biarlah aku juga menemanimu. Kita pertanggungjawabkan bersama. Aku akan membelamu sampai mati, Pangeran......" Li Hong menangis tersedu-sedu di dada Pangeran Youtechin.

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang dengan terkejut dan heran. Mereka tertegun menyaksikan adegan itu. Melihat Li Hong menangis demikian sedihnya merupakan penglihatan yang luar biasa anehnya! Betapa kuat perkasanya cinta. Cinta membuat Li Hong yang tadinya merupakan seorang gadis yang pemberani, keras hati dan ganas itu menjadi demikian lemah dan cengeng! Hampir mereka tidak percaya kalau tidak menyaksikan sendiri keadaan Li Hong di saat itu.

   Di samping keheranannya, hati Ceng Ceng yang lembut tersentuh dan ia merasa terharu sekali. Ia tidak ingin melihat cinta kasih antara Li Hong dan Pangeran Youtechin berantakan mengakibatkan Li Hong hidup menderita sengsara karena pangeran itu gagal mendapatkan harta karun. Maka dengan hati tetap ia melangkah maju menghampiri pangeran dan adik angkatnya itu, lalu berkata lembut.

   "Pangeran, engkau adalah seorang gagah yang mencinta negara dan mengemban tugas untuk mendapatkan harta karun dengan setia. Demikian pula aku mengemban tugas dari mendiang ayahku tercinta dengan setia. Keadaan dan kedudukan kita berdua sesungguhnya tidak banyak berbeda. Mengingat akan keadaan ini, apalagi mengingat bahwa engkau adalah calon suami adik angkatku, bagaimana aku tega membiarkan engkau gagal melaksanakan tugas dan terancam hukuman? Mengingat bahwa kemenanganku memperebutkan harta karun ini tidak sepenuhnya murni karena aku dalam pi-bu diwakili Giok-ko, dan kalau aku maju sendiri melawanmu agaknya aku akan kalah, maka sudah adil kalau aku membagi harta karun ini denganmu. Dengan begini, tugasmu tidak sepenuhnya gagal, demikian pula tugasku. Ambillah setengah dari harta karun itu, Pangeran!"

   Pangeran Youtechin menatap wajah. Ceng Ceng dengan mata terbelalak.

   "Apa? Engkau...... rela membagi harta karun ini demi...... keselamatanku, Nona Liu Ceng Ceng?"

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Bukan hanya demi keselamatanmu, Pangeran, akan te-tapi terutama sekali demi Adikku Li Hong."

   "Enci Ceng......!" Li Hong menubruk dan merangkul Ceng Ceng penuh rasa haru akan tetapi juga bahagia.

   "Terima kasih, Enci Ceng Ceng...... sungguh engkau seorang yang bijaksana dan berhati mulia......!"

   Ceng Ceng balas merangkul.

   "Hong-moi, Pangeran Youtechin benar, sebaiknya engkau menunggu di Pulau Ular. Engkau harus memberitahu tentang perjodohanmu dengan Pangeran Youtechin kepada orang tuamu dan menunggu datangnya lamaran di sana. Aku yakin, Pangeran Youtechin adalah seorang laki-laki sejati yang tidak akan mengingkari janjinya kepadamu. Giok-ko, tolonglah bagi isi peti harta karun itu menjadi dua agar yang separuh dapat dibawa Pangeran Youtechin ke kota raja."

   Cun Giok hanya mengangguk. Dalam hatinya dia merasa penasaran, akan tetapi juga kagum dan terharu karena dia maklum sepenuhnya bahwa Ceng Ceng melakukan hal itu demi kebahagiaan Tan Li Hong! Dia lalu mengeluarkan semua isi peti dan membaginya separuh.

   "Silakan bawa yang separuh itu, Pangeran," kata Ceng Ceng setelah kedua bagian harta karun itu dibungkus kain.

   Pangeran Youtechin mengangguk dan memberi hormat kepada Ceng Ceng.

   "Nona Liu Ceng Ceng, benar apa yang dikatakan Adinda Tan Li Hong. Engkau adalah seorang pendekar wanita yang berhati mulia dan bijaksana. Sayang sekali bahwa kita berdiri di dua pihak yang bertentangan. Akan tetapi aku merasa bangga dan bahagia mengetahui bahwa Adinda Tan Li Hong mempunyai seorang kakak angkat sepertimu. Terima kasih atas kerelaanmu ini." Pangeran Youtechin lalu mengambil sebuah buntalan kain dan digendongnya di punggung. Lalu dia berkata kepada Li Hong.

   "Dinda Li Hong, engkau tunggulah di Pulau Ular dan aku akan segera mengirim utusan untuk meminangmu. PercayaIah, aku tidak akan menyia-nyiakan cintamu dan kepercayaan Nona Liu Ceng Ceng kepadaku. Nah, selamat berpisah untuk sementara." Setelah berkata demikian, pangeran itu lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata tiga orang muda, Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong.

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 15 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 25 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 20

Cari Blog Ini