Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 19


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 19




   Akan tetapi tentu saja hanya para anak-buah tiga perkumpulan dibawah tiga orang datuk itu saja yang termasuk golongan kuat, yaitu anak-buah Rajawali Lautan Timur, Raja Muda selatan, dan Petani Lautan. Tiga orang ini sejak bertahun-tahun telah menjadi saingan-saingan yang paling keras, sedangkan para pimpinan perkumpulan-perkumpulan kecil lainnya boleh dibilang tidak masuk hitungan. Mereka yang kecil ini boleh dibilang hanya bertugas meramaikan pesta pertemuan itu saja, walaupun mereka juga berhak untuk mengikuti perlumbaan, bahkan mencoba kepandaian mereka untuk dapat terpilih sebagai Raja Lautan yang baru! Perahu-perahu yang ikut dalam perlumbaan itu adalah sampan-sampan kecil yang bentuknya runcing, ditumpangi tiga orang. Selain ada lampu warna-warni, juga setiap perahu dihias dan dicat, diberi bendera dari perkumpulan masing-masing yang berkibar dikepala perahu.

   Namanya saja perlumbaan dan perahu-perahu itu menang berlumba cepat mencapai garis yang telah ditentukan dimana dipasang tambang dengan pita berkem-bang. Siapa yang lebih dulu melewati tambang inilah yang dianggap juara. Namanya saja perlumbaan adu cepat, akan tetapi karena yang melakukan perlumbaan adalah para bajak perompak, maka perlombaan itupun bersifat keras, sesuai dengan watak mereka masing-masing. Perlumbaan itu tanpa memakai peraturan, pendeknya siapa mencapai dan melewati tambang sebagai garis terakhir, dialah yang menang. Tidak ada larangan apapun dalam perlumbaan ini. Karena tidak ada aturan ini, dan tidak ada larangan sama sekali, maka merekapun berusaha untuk mencapai kemenangan dengan segala macam cara mereka sendiri. Terjadilah pukul-memukul dan usaha menenggelamkan perahu lawan! Saling sodok, saling kemplang dengan dayung.

   Pendeknya, mereka itu saling menghalangi lawan agar jangan sampai mencapai garis finish dan tentu saja usaha ini dilakukan dengan kekerasan, maka terjadilah perkelahian sengit diantara mereka sebelum ada yang berhasil mencapai garis kemenangan. Hanya ada batasnya dan hal ini sudah diumumkan sebelumnya, yaitu bahwa mereka, sesuai pula dengan kedudukan mereka sebagai bajak-bajak laut, mereka tidak diperbolehkan menggunakan alat senjata lain kecuali dayung dan mereka juga tidak boleh meninggalkan perahu masing-masing. Tentu saja pertempuran yang kacau-balau dan acak-acakan itu amat ramainya. Banyak sudah diantara para anggauta bajak yang terlempar keluar dari perahunya, tercebur kedalam air telaga dengan kepala benjol atau bocor terkena hantaman dayung lawan.

   Akan tetapi mereka adalah orang-orang kasar yang sudah biasa dengan kekerasan sehingga mereka tidak menjadi marah, bahkan tertawa-tawa dalam suasana pesta dan mereka itu rata-rata adalah perenang-perenang yang pandai maka masing-masing dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Ada pula perahu yang sempat digulingkan lawan, dan tentu saja tiga orang penumpangnya. Terguling semua dan tercebur kedalam air, berenang kesana-sini berusaha membalikkan perahu sendiri atau kalau tidak berhasil, merekapun lalu menggulingkan perahu lawan mana yang terdekat. Suasana menjadi ramai, hiruk-pikuk dan lucu. Para penonton bersorak-sorai gembira. Akan tetapi kegembiraan yang kasar, dan tidak jarang terjadi perkelahian sendiri diantara penonton,

   Bukan perkelahian antara musuh melainkan perkelahian sesama rekan, menggunakan tangan kosong dan sudah puas kalau lawan terpelanting, tidak ada yang bermaksud membunuh rekan. Taruhanpun terjadilah dan para petaruh ini yang bersorak-sorak kalau melihat perahu yang mereka jagoi itu dapat maju melampaui lainnya. Pek Lian menengok kesana-sini, mencari-cari dengan penuh perhatian. Ia tidak melihat adanya orang-orang berperahu yang dilihatnya berloncatan memasuki terowongan mendahuluinya tadi. Dan iapun tidak dapat menduga dimana adanya Bu Seng Kun atau juga A-hai kalau memang mereka berdua itu dibawa ketempat ini oleh para penawan mereka. Pek Lian sendiri sampai menjadi bingung memikirkan nasibnya. Mula-mula ia bersama Bu Seng Kun dan Bu Bwee Hong mencari ayahnya.

   Ayahnya belum bisa didapatkan, Bu Seng Kun dan juga A-hai malah lenyap ditawan orang. Dan akhirnya, mencari ayahnya dan dua orang pemuda itu belum berhasil, ia sudah harus berpisah lagi dengan Bwee Hong yang tidak diketahui bagaimana nasibnya itu. Perlumbaan perahu itu terbagi menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah para anggauta bajak tingkat rendah yang tadi telah diperlihatkan kenekatan masing-masing. Adapun golongan kedua yang diperlumbakan adalah golongan thouwbak (kepala regu) dari perkumpulan masing-masing yang akan diadakan kemudian. Sementara itu, kebut-kebutan sambil berkelahi kacau-balau itu masih terus berlangsung dengan ramai dan sengitnya ditengah telaga. Pek Lian bersembunyi dibelakang setumpuk jerami kering sambil melihat suasana disekeliling tempat itu.

   Ia sadar sepenuhnya bahwa ia telah memasuki sarang srigala buas dimana terdapat banyak sekali orang yang memiliki kepandaian tinggi. Juga ia tahu bahwa orang-orang ditempat, ini berwatak seperti binatang, kejam dan buas. kalau sampai ia tertangkap, tentu ia akan mengalami nasib yang amat mengerikan. Akan tetapi ia telah berada disitu, tidak mungkin lagi ia mengundurkan diri karena kini ia melihat betapa mulut terowongan dari mana ia tadi lewat, telah mulai dijaga dan diperhatikan kembali. Perlumbaan masih terjadi dengan amat ramainya. Sampan dari anak-buah Si Raja Muda Selatan agaknya seperti memimpin perlumbaan, dikejar oleh sampan pihak tuan rumah, yaitu anak-buah Rajawali Lautan Timur. Sedangkan kelompok perkumpulan lain mengejar sambil gebug-gebugan. Dua buah perahu, yang lampunya merah dan hijau, saling tabrak dan perahu merah terguling!

   Tiga orang penumpangnya terpelanting, disoraki lawan. Akan tetapi, tiga orang itu berhasil memegang ujung perahu lawan yang berlampu hijau dan mendorongnya terbalik pula. Tentu saja tiga orang penumpangnya juga terpelanting dan tercebur. Dan enam orang itu kini saling pukul menggunakan dayung, berkelahi diair. Hiruk-pikuk suaranya! Agaknya, perlumbaan ini belum tentu dapat selesai sampai fajar nanti. Perahu-perahu yang sudah maju selalu terhalang oleh lawan sehingga segi lumbanya sendiri hanya sedikit sekali, akan tetapi perkelahi-annya yang banyak. Para penonton makin keranjingan. Makin banyak darah muncrat, makin banyak orang celaka, makin banyak perahu terguling, makin penuh gairah para penonton, makin gembira hati mereka karena dalam keadaan seperti itu mereka ingin melihat orang menderita sehebat-hebatnya.

   Memang demikianlah watak orang. Suka sekali melihat orang lain menderita, bahkan merasa lucu kalau melihat orang lain menderita dan kesakitan. Sebaliknya, melihat orang menikmati kesenangan, timbullah iri hati. Manusia pada umumnya memiliki watak welas asih (belas kasihan), penuh pertimbangan, suka akan keadilan, menentang kelaliman. Akan tetapi disamping watak-watak yang baik ini, terdapat pula watak yang sadis, yang senang melihat penderitaan orang lain dan merasa iri hati kalau melihat orang lain bersuka ria. Sifat-sifat yang bertentangan ini disebabkan oleh konflik batin yang ditimbulkan oleh pikiran yang menciptakan si aku yang selalu ingin senang dan selalu mencari dan mengejar kesenangan, atau keadaan lain yang lebih menyenangkan dari pada keadaan sekarang yang telah dirasakan dan dimilikinya.

   Watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan-kebiasaan. Dan kebiasaan lahir dari ketidak-waspadaan. Kebiasaan membuat seseorang menjadi seperti robot, yang bergerak karena kebiasaan itu sendiri, dan kebiasaan dihidupkan oleh keinginan untuk senang. Kebiasaan ini dapat dihentikan seketika dengan kewaspadaan. Waspada memandang kenyataan, mengerti dan sadar akan kekeliruan sendiri dan kewaspadaan ini, kesadaran ini berarti tindakan seketika pula, yang menghentikan kebiasaan itu. Tanpa ini, maka pengertian itu palsu adanya, bukan kewaspadaan, melainkan permainan si aku yang enggan melepaskan kesenangan sehingga dalam melihat kesalahan atau kekeliruan sendiri, si aku lalu mencari seribu satu macam alasan untuk membela diri dan mempertahankan kebiasaan itu!

   Semua ini dapat kita lihat dengan jelas apabila kita mau membuka mata dan mengamati diri sendiri lahir batin. Ho Pek Lian melihat betapa semua orang seperti tenggelam kedalam tontonan yang makin ramai itu, maka iapun berindap-indap meninggalkan tepi telaga menuju kerumah-rumah yang bertebaran disekitar telaga kecil itu. Ia memasuki sebuah rumah dengan hati-hati dan tepat seperti yang diduganya, rumah itu kosong karena semua penghuninya beramai-ramai nonton perlombaan perahu. Pek Lian merasa betapa jantungnya berdebar-debar tegang. Ia merasa seperti seorang pencuri memasuki rumah orang yang kosong dan merasa khawatir kalau-kalau penghuni rumah itu akan masuk sewaktu-waktu dan memergokinya didalam rumah itu.

   Dimasukinya sebuah kamar dan dengan girang akhirnya ia menemukan pakaian wanita yang cocok untuknya, pakaian sederhana dan kasar dari keluarga bajak. Setelah merasa bahwa dengan dandanan itu ia tidak akan berbeda banyak dengan para wanita yang berada ditepi telaga, ia lalu keluar. Rambutnya sudah diubah gelungnya meniru gelung cara dusun dari para wanita yang berada diantara para penonton. mulailah ia mencampurkan dirinya dengan para penonton lainnya dan memang tidak ada orang yang tertarik untuk memperhatikannya setelah ia memakai pakaian seperti para wanita lain ditempat itu. Pek Lian memperhatikan dan mencari-cari dengan pandang matanya, namun ia tetap tidak melihat para penumpang perahu-perahu yang mendahuluinya memasuki terowongan yang menuju ke pulau itu.

   Tiba-tiba ia menyelinap diantara banyak orang untuk menyembunyikan diri ketika ia melihat munculnya tiga orang yang telah dikenalnya. Mereka itu adalah para pembantu Raja Muda Selatan yang pernah mengeroyok Bwee Hong ketika Bwee Hong dicoba oleh Raja bajak itu. Mereka bertiga itu nampak sedang berjalan bersama dua orang bermuka hitam dan bopeng, meninggalkan tepi telaga dan menuju kesebuah gedung ditengah pulau. Melihat tiga orang ini, Pek Lian segera membayangi mereka. Gadis ini tadi sudah melihat bahwa anak-buah Si Raja Muda Selatan hadir pula dalam keramaian itu, dan karena itulah ia sangat berhati-hati menyembunyikan diri karena ia teringat akan minat Raja Muda Selatan terhadap Bwee Hong, yaitu ingin mengambilnya sebagai isteri, baik dengan halus maupun kasar.

   Lima orang yang dibayangi Pek Lian memasuki gedung itu dan mereka disambut oleh empat orang lain yang wajahnya membayangkan kekerasan dan sikap mereka kasar-kasar, akan tetapi pakaian mereka bukan seperti bajak laut, melainkan seperti para petani. Melihat ini, Pek Lian dapat menduga bahwa tentu empat orang itu anak-buah Petani Lautan seperti yang pernah didengarnya dari percakapan antara Raja Muda Selatan dengan Bwee Hong. Melihat sembilan orang itu duduk diruangan depan gedung itu, minum bersama dan ditemani oleh wanita-wanita muda yang genit-genit, Pek Lian menyelinap dan mengintai untuk mendengarkan percakapan mereka.

   "Hei, kawan. Persembahan apakah yang akan dihaturkan oleh pimpinan kalian?" tanya empat orang anak-buah Petani Lautan itu kepada tiga orang anak-buah Raja Muda Selatan.

   "Pimpinan kami akan menghadiahkan beberapa buah benda berharga hasil rampasan kami dari perahu Pangeran Jepang," jawab seorang diantara mereka,

   "Dan apa yang akan dipersembahkan pimpinan kalian?"

   "Entah, mungkin sebuah golok pusaka yang kami rampas baru-baru ini dari perahu kerajaan."

   "Aih, besok akan ramai sekali dan membayang-kannya hatiku menjadi tegang. Pertandingan silat antara para Raja lautan yang hanya dapat kita nikmati setiap tiga tahun sekali," kata orang yang mukanya bopeng, yaitu anak-buah dari tuan rumah, Si Rajawali Lautan.

   "Kitapun besok sore akan saling bertemu dalam perlumbaan perahu," sambung temannya yang bermuka hitam.

   "Ha-ha-ha! Benar sekali, aku sudah ingin sekali tahu kemajuan apa yang kalian peroleh selama tiga tahun ini!" seorang thouwbak dari Raja Muda Selatan berkata gembira. Suasana menjadi makin gembira ketika mereka itu mengadu tebak jari sambil minum-minum. Makin banyak mereka minum arak, makin gembira suasananya dan kadang-kadang terdengar jerit-jerit kecil para wanita pelayan kalau tangan orang-orang kasar itu mulai usil. Pek Lian menyelinap masuk kedalam gedung itu dari pintu samping. Ternyata gedung inipun kosong dan diruangan dalam ia tidak menemui seorangpun manusia. Agaknya penghuninya keluar semua dan para wanita yang menemani sembilan orang itu tentu pelayan-pelayan atau memang wanita yang disediakan untuk para tamu. Ketika ia menuju keruangan belakang, ia mendengar suara orang dari sebuah kamar.

   Pek Lian cepat menyelinap bersembunyi. Suara itu tidak jelas, akan tetapi seperti suara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Karena ia hendak menyelidiki dan mencari kalau-kalau ia dapat menemukan dimana adanya Bu Seng Kun atau A-hai, maka ia lalu berindap menghampiri kamar itu. Dengan ludah dan jari tangan, ia melubangi kertas jendela dan mengintai kedalam kamar yang hanya diterangi oleh sebatang lilin itu. Dan apa yang disaksikannya membuat Pek Lian cepat-cepat membuang muka, wajahnya menjadi kemerahan dan cepat-cepat ia pergi meninggalkan tempat itu dengan hati menyumpah-nyumpah! Kiranya yang berada didalam kamar itu adalah seorang anggauta bajak yang sedang bergumul dengan seorang wanita! Pek Lian terus menuju kebelakang dan keluar dari gedung itu melalui pintu belakang.

   Ia melihat sebidang tanah kosong yang penuh dengan batu-batu karang diantara semak-semak. Ditengah nampak sebatang sungai kecil yang dangkal penuh dengan batu-batu. Fajar mulai menyingsing dan Pek Lian mendaki bukit dari mana air sungai kecil itu mengalir. Pulau itu sepi, tidak nampak ada penjagaan seorangpun. Agaknya, semua orang telah pergi menonton perhambaan ditepi telaga. Pek Lian termenung. Rajawali Lautan bukanlah seorang pemimpin yang baik. Pulau ini memang merupakan tempat sembunyi yang baik sekali, juga dapat menjadi semacam benteng yang kuat karena pulau ini dikelilingi tebing yang terjal dan tidak akan dapat diserbu lawan. Jalan masuk satu-satunya hanya melalui terowongan. Akan tetapi mengapa penjagaannya begini lemah? Kalau terjadi serbuan musuh, mana mungkin akan dapat melawan dengan baik?

   Apa lagi kalau yang menyerang itu orang-orang yang lihai macam Harimau Gunung dan Buaya Sakti. Berpikir demikian, dara itu teringat akan dua orang dari Sam-ok yang menjadi pembantu-pembantu utama Raja Kelelawar itu. Heran sekali, kemanakah mereka itu pergi? Apakah belum sampai dipulau ini? Rasanya mustahil. Mereka itu berangkat lebih dulu dari padanya. Melihat betapa di puncak bukit didepan terdapat sebuah bangunan besar, jantung Pek Lian berdebar tegang. Bangunan itu seperti Istana saja. Itukah Istana Raja Laut? Ah, kalau memang benar dua orang pemuda yang dicarinya itu menjadi tawanan, agaknya di Istana itulah mereka ditahan! Dan siapa tahu... ia akan bertemu dengan ayahnya pula di Istana itu. Hatinya menjadi tegang dan dengan cepat namun hati-hati sekali ia berlari mendaki bukit menuju ke Istana itu.

   Makin dekat, makin nampaklah bahwa bangunan itu memang megah dan indah, pantas menjadi sebuah Istana. Ia menyelinap diantara semak-semak dan mengintai kedepan. Nampak para penjaga hilir-mudik dihalaman Istana. Tidak salah, pikirnya. Tentu inilah yang dinamakan Istana Raja Laut dan karena bangunan ini merupakan tempat tertinggi, maka satu-satunya lampu yang nampak ketika perahunya su dah mendekati pulau malam tadi tentulah lampu dari Istana itu. Pek Lian maklum bahwa tentu amat berbahaya kalau sampai ketahuan, maka iapun lalu menyelinap kesamping bangunan, menjauhi aliran sungai kecil yang agaknya bermata air dibukit itu. Ia mengintai dari balik sebatang pohon dan melihat beberapa orang wanita muda yang berpakaian seperti pelayan-pelayan Istana turun dari anak tangga pintu samping Istana membawa keranjang, menuju kearah telaga.

   Fajar telah tiba dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Pek Lian mulai melihat para penonton bubaran. Dari tempat tinggi itu ia dapat melihat keadaan ditepi telaga dimana perhambaan diadakan. Celaka, pikirnya. Semua orang akan pergi ketempat masing-masing dan kalau ia tidak cepat mendapatkan sebuah tempat persembunyian yang baik, tentu akan sukar baginya untuk menghindar dari tangkapan.

   Mencoba memasuki Istana sama dengan menyerahkan diri. Dari tempat tinggi ini ia mencari-cari dengan pandang matanya dan akhirnya ia melihat sebuah bangunan kuno yang tidak terawat berdiri terpencil dilereng bukit, arahnya dibelakang Istana itu. cepat ia meninggalkan tempat ia mengintai tadi dan berlari-lari menuju kebangunan kuno itu. Hatinya girang melihat bahwa bangunan kuno itu memang sebuah bangunan yang tidak dipakai orang lagi. Semacam bengkel atau gudang dimana bertumpuk banyak bangkai perahu, sampan, tiang layar dan semacam itu, berserakan tidak dipakai lagi. Pek Lian cepat membuka pintu dan menyelinap masuk. Memang sebuah tempat persembunyian yang baik, kata hatinya girang.

   Disitu terdapat alat-alat pertukangan dan balok-balok kayu. Sebuah bengkel tempat pembikinan perahu. Terdapat banyak pula patung-patung yang biasanya dipakai menghias kepala perahu-perahu besar, patung dewa-dewa dengan muka yang menyeramkan, sebesar manusia. Mengerikan juga melihat patung-patung itu sebesar orang dengan posisi berdiri atau duduk, dengan muka yang menyeramkan. Ada. patung yang rambutnya terbuat dari rambut manusia aseli. Patung-patung ini berada disebuah ruangan yang cukup luas dan sambil melangkah perlahan-lahan memeriksa keadaan tempat itu, Pek Lian merasa serem. Seolah-olah semua patung itu mengawasi setiap gerak-geriknya. Dan patung-patung itu seperti hidup saja, apa lagi didalam ruangan yang remang-remang seperti itu. Pek Lian berusaha untuk tidak mengamati patung-patung itu.

   Tengkuknya meremang dan hatinya diliputi rasa serem. Akan tetapi, makin ia berusaha untuk tidak memandang, matanya malah selalu memperhatikan kesekeliling, kearah patung-patung itu. Berada ditempat itu ia merasa seolah-olah kalau berada seorang diri ditanah kuburan, atau diruangan yang penuh dengan peti-peti mati. Seolah-olah ada yang bergerak, ada yang hidup, ada setannya! Kita tidak mungkin dapat melarikan diri dari rasa takut. Rasa takut bukanlah sesuatu yang terpisah dari kita. Rasa takut adalah kita sendiri, batin kita sendiri penciptanya. kemanapun kita lari, kalau memang kita takut, tentu akan tetap takut. Hiburan yang kita cari hanya akan membuat kita terlupa sebentar saja, akan tetapi rasa takut itu masih ada dalam batin. Ada bermacam-macam rasa takut, yaitu misalnya takut terhadap setan, takut terkena malapetaka, takut penyakit, bahkan takut mati.

   Akan tetapi semua bentuk rasa takut itu pada hakekatnya sama saja. Semua itu timbul dari pikiran yang membayangkan hal-hal yang belum ada, hal-hal yang dianggapnya amat tidak menyenangkan seperti yang pernah diketahuinya dari orang lain atau dari pengalaman sendiri. Orang takut kepada setan yang melakukan hal-hal yang menyeramkan, dan orang yang takut kepada setan itu tentu belum bertemu dengan setan, jadi yang ditakutinya itu hanyalah bayangan-bayangan yang dibuatnya sendiri dalam pikirannya. Orang yang takut mati tentu takut karena membayangkan keadaan yang mengerikan sesudah mati seperti yang pernah didengarnya dari cerita-cerita dongeng, atau takut membayangkan kesepian dan kehilangan segalanya sesudah mati. Melarikan diri dari rasa takut sia-sia belaka.

   Akan tetapi, kalau kita mau menghadapinya, menghadapi rasa takut setiap kali ia muncul, mengamatinya dengan penuh perhatian, maka pengamatan ini sendiri akan membebaskan kita dari cengkeraman rasa takut. Pengamatan dengan penuh perhatian akan melenyapkan pikiran yang membayang-bayangkan, dan pengamatan ini akan membuat kita mengerti dengan jelas proses terja-dinya rasa takut dalam pikiran kita. Pek Lian yang sudah merasa ngeri itu hampir saja menjerit ketika ia melirik kekiri dan merasa ada sebuah patung yang bergerak dipojok ruangan itu. Untung ia masih ingat sehingga tidak berteriak dan menutupi mulutnya dengan tangan kiri. Ah, mana mungkin ada patung bisa bergerak? dibantahnya sendiri dugaan tadi. Akan tetapi tetap saja hatinya merasa gentar dan ia menjauhi tempat patung-patung itu menuju kepintu untuk mengintai keluar, melihat suasana diluar.

   "Gedobrakkk! Huh, bedebah! Sialan!" Tentu saja Pek Lian merasa terkejut sekali seperti disambar halilintar mendengar suara bising yang disusul suara makian itu.

   Cepat ia menoleh dan wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak ketika ia melihat sebuah patung benar-benar bergerak menyingkirkan sebuah patung lain yang tadi agaknya roboh menimpanya. Rasa takut membuat Pek Lian kehilangan kewaspadaan dan iapun mendorong daun pintu dan melompat keluar dari dalam rumah setan itu. Serombongan orang yang sedang lewat didepan rumah tua itu terkejut melihat munculnya seorang gadis yang ketakutan. Mula-mula mereka mengira bahwa gadis itu teman sendiri karena Pek Lian memang menyamar dengan pakaian yang diambilnya dari sebuah rumah, akan tetapi ketika mereka melihat wajah Pek Lian, mereka tahu bahwa gadis itu adalah seorang asing. Karena masih menduga bahwa mungkin ia seorang gadis yang dibawa datang oleh para tamu, maka seorang diantara mereka cepat meloncat kedepan Pek Lian sambil menyeringai.

   "Eh, nona manis, engkau datang dari rombongan manakah? Dan apa yang telah terjadi maka engkau keluar dari bengkel lama ini?"

   "Ha-ha-ha, agaknya nona manis ini menjumpai kekasihnya disini!"

   "Tak salah lagi, tentu semalam suntuk telah bermain cinta sepuasnya" Beberapa orang laki-laki mengeluarkan kata-kata yang makin lama makin cabul dan tidak pantas, maka Pek Lian tidak dapat menahan kemarah-annya lagi.

   "Tutup mulutmu yang busuk!" bentaknya dan tangan kirinya menampar.

   "Plakk!" Orang yang mengeluarkan kata-kata cabul itu terkena tamparan pipinya. Dia mengaduh dan terpelanting roboh, lalu merintih karena muka yang kena dihantam itu membengkak! Tentu saja para anak-buah pulau itu menjadi marah. Dua orang teman yang melihat kawannya ditampar, sudah meloncat kedepan dan mereka berdua ini menubruk untuk merangkul dan menangkap gadis yang galak itu. Akan tetapi, Pek Lian menggerakkan kaki tangannya dan dua orang itupun roboh terpelanting! Gegerlah para anak-buah pulau itu. Baru mereka tahu bahwa gadis ini lihai sekali. Lima orang maju mengeroyok dan yang lain memberi tanda memanggil teman-teman. Para anak-buah Rajawali Lautan berdatangan dan selain nona itu dikeroyok, juga rumah tua itu dikepung.

   "Periksa didalam rumah! Mungkin masih ada kawan-kawannya. Mereka ini tentu mata-mata dari luar!" demikian seorang thouwbak pembantu Rajawali Lautan berteriak.

   Tiba-tiba terdengar sumpah serapah dari dalam rumah itu dan pintu depan yang baru setengahnya dibuka oleh Pek Lian tadi kini jebol ditendang orang dari dalam. Lalu muncullah dua orang kakek yang keluar sambil mengomel. Yang seorang berusia empat puluh lima tahun, bertubuh gemuk pendek dan membawa sebatang toya baja putih, sikapnya angkuh dan memandang rendah mereka yang datang mengepung. Orang kedua adalah seorang kakek berusia lima puluh tahun berjubah kulit harimau, tubuhnya tinggi besar menakutkan dan tangannya membawa sehelai rantai baja yang ujungnya merupakan tombak berjangkar, dililitkan dilengannya. Dua orang ini bukan lain adalah dua diantara Sam-ok, yaitu yang pertama adalah Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti, sedangkan yang kedua bukan lain adalah Sanhek-houw Si Harimau Gunung!

   Tentu saja Pek Lian segera mengenal dua orang pembantu utama dari Raja Kelelawar ini, dan jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi, para anak buah pulau Istana Raja Lautan itu tidak mengenal mereka dan dua orang Raja penjahat itu telah dikepung dan dikeroyok. Dianggap sebagai kawan-kawan dari dara perkasa yang juga sudah dikeroyok belasan orang. Dan dua orang datuk kaum sesat itupun tidak banyak cakap lagi lain mengamuk. Sanhek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci mengamuk. Senjata mereka diputar dan Para pengeroyok terkejut karena ternyata dua orang ini jauh lebih ganas dan lihai dari pada nona itu. Sebentar saja, beberapa orang pengeroyok telah roboh dan luka-luka. Sementara itu, Sanhek-houw mendekati Pek Lian dan memaki,

   "Bocah kurang ajar! Engkau membikin kacau rencana orang saja!" Perkelahian keroyokan itu menjadi semakin seru ketika muncul sembilan orang thouwbak dari tiga kepala bajak itu. Karena mereka ini termasuk orang-orang yang lihai, maka setelah sembilan orang ini mengeroyok, barulah dua orang diantara Sam-ok itu agak dapat ditahan.

   Bagaimanapun juga, sembilan orang thouwbak itu kewalahan, walaupun mereka telah dibantu oleh banyak anak-buah mereka. Sementara itu, Pek Lian juga repot sekali dikeroyok banyak anggauta bajak, walaupun banyak sudah anggauta bajak yang roboh olehnya. Agaknya perkelahian keroyokan ini merupakan pertunjukan yang tidak kalah menariknya dari pada perlumbaan semalam. Banyak yang datang menonton dan kalau ada seorang anggauta bajak yang terpental dengan kepala benjol atau tulang patah, para penonton mentertawainya. Sementara itu pengeroyokan menjadi semakin ketat. Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan para penonton bersibak memberi jalan masuk kepada lamsiauw-ong Si Raja Muda Selatan dan Si Petani Laut.

   "Kalian mundurlah dan biarkan kami menghajar pengacau-pengacau ini!" terdengar Raja Muda Selatan berkata dan sembilan orang thouwbak yang sudah kewalahan itu lalu mundur. Juga para bajak yang tadinya mengeroyok. Pek Lian, mengundurkan diri sehingga nona itu dapat mengaso dan menghapus peluh dileher dan dahinya dengan ujung lengan baju. Raja Muda Selatan yang berpakaian mewah dan bertubuh gendut itu segera mencabut sebatang pedang panjang yang besar, lalu menerjang Si Buaya Sakti tanpa banyak cakap lagi. Agaknya lamsiauw-ong ini tadi sudah melihat betapa lihainya kakek gemuk pendek ini, maka dia langsung saja menyerang menggunakan pedangnya.

   "Trang-trang-tranggg!" Pedang bertemu bertubi-tubi dengan toya baja putih, membuat telinga yang mendengarnya menjadi sakit dan nampak bunga api berpijar menyilaukan mata. Ternyata keduanya memiliki tenaga yang berimbang dan terjadilah perkelahian seru antara Raja Muda Selatan dengan Si Buaya Sakti. Adapun Si Petani Laut yang melihat rekannya sudah saling serang dengan seorang pengacau, lalu menggerakkan senjatanya untuk menyerang Si harimau Gunung. Senjata dari Petani Laut ini memang istimewa, yaitu sebuah cangkul bergagang panjang. Caranya menyerang seperti mencangkul tanah, akan tetapi sekali ini bukan tanah yang dicangkulnya, melainkan kepala lawan!

   "Trangg... wuuuut, cringgg!" Si Harimau Gunung juga cepat menangkis dengan senjata rantainya dan balas menyerang sehingga merekapun terlibat dalam perkelahian yang amat seru.

   Kini para penonton menjadi semakin gembira karena pertandingan itu sungguh amat hebat, jauh lebih ramai dari pada tadi karena kedua pihak memiliki kepandaian dan tenaga yang berimbang. Pek Lian sendiri hanya dapat menonton karena tentu saja ia tidak dapat berpihak manapun. Mereka yang saling berkelahi itu adalah sama-sama penjahat, hanya bedanya kalau Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung adalah Raja-Raja penjahat daratan, maka dua orang lawannya adalah Raja penjahat lautan. Diam-diam ia merasa heran mengapa mereka itu saling hantam sendiri, akan tetapi ia teringat bahwa kedua orang Raja penjahat daratan itu adalah pembantu-pembantu utama Raja Kelelawar dan bahwa Tung-hai-tiauw si Rajawali Lautan Timur sebagai orang pertama dari Sam-ok masih belum menjadi anak-buah atau pembantu iblis itu.

   "Tahan senjata!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Kita adalah orang-orang sendiri!" empat orang yang sedang berkelahi itu berhenti dan ternyata yang muncul itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus yang berwibawa dan orang ini bukan lain adalah si Rajawali Lautan Timur sendiri, penghuni Istana Raja Lautan karena selama tiga tahun ini dialah yang berhak menjadi Raja lautan setelah mengalahkan semua kepala bajak lainnya. Empat orang itu segera berloncatan mundur dan perkelahian yang amat seru itupun segera dihentikan. Tung-hai-tiauw tertawa bergelak dan mengangkat tangan sebagai tanda salam kepada dua orang Raja penjahat daratan itu.

   "Ha-ha, selamat datang ditempat kami! Sungguh tidak pernah kami duga bahwa dua orang sahabat lama kami sudi berkunjung kesini. ha-ha, kalau tidak berkelahi berarti tidak kenal, betapa tepatnya kata-kata itu. Saudara-saudaraku Raja Muda Selatan dan Petani Lautan, mereka ini adalah sobat-sobatku yang baik, yaitu Sin-go Mo Kai Ci Si Buaya Sakti dan Sanhek-houw Si Harimau Gunung, dua orang yang amat terkenal didaratan sana!" kata-katanya yang terakhir ini untuk saling memperkenalkan empat orang yang tadi saling serang itu.

   "Aha! Kiranya ini saudaramu yang berjuluk Raja Muda Selatan yang tersohor itu? Aihh, pantas saja, hampir-hampir aku terjungkal ditangannya kalau aku tidak berhati-hati tadi!" kata Si Buaya Sakti memuji.

   "Wah, Sin-go Mo-sicu terlalu memuji orang," kata Raja Muda Selatan.

   "Sebaliknya, toya baja putihmu benar-benar membuat aku repot tadi!"

   "Gila! Aku sendiripun repot sekali menghadapi cangkul panjang itu, kiranya yang memainkannya adalah Petani Lautan! Pantas begitu lihai!" kata pula Sanhek-houw memuji.

   "Dan nona ini, siapakah ia? Apakah murid dari kalian?" Rajawali Lautan bertanya sambil memandang kepada Pek Lian, diam-diam kagum karena selain cantik sekali, juga nona ini masih muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang cukup tinggi dan keberanian yang luar biasa. Juga sikap dara ini bukan seperti wanita-wanita dari golongan sesat, melainkan gagah sekali dan membayangkan keagungan dan ketinggian harga diri.

   "Sialan mempunyai murid macam ini!" Harimau Gunung berseru.

   "Bocah perempuan ini dimana-mana hanya membikin kacau saja!'" kata pula Si Buaya Sakti "Kami tidak mengerti bagaimana ia bisa tiba-tiba muncul ditempat ini!" Mendengar ucapan dua orang tamu itu, wajah Rajawali Lautan berseri gembira. Kiranya nona ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dua orang tamu itu. Tentu seorang mata-mata, akan tetapi mata-mata dari mana? Dan ia begitu muda dan cantik dan lihai.

   "Bagus! Kalau begitu, ia adalah tawanan kami!" Ia lalu memberi isyarat kepada para pembantunya untuk menangkap Pek Lian. Empat orang thouwbak maju dan menubruk Pek Lian. Akan tetapi dara ini sudah siap dan segera menggerakkan kaki dan tangannya melakukan perlawanan mati-matian. Semua orang kini nonton dara yang hendak ditawan ini dan ternyata empat orang thouwbak yang lihai-lihai itu kewalahan untuk dapat menangkap si nona.

   Kalau mereka diperintahkan untuk merobohkan Pek Lian, mungkin lebih mudah bagi mereka. Akan tetapi perintahnya adalah menangkapnya, jadi mereka tidak berani mempergunakan senjata dan tidak berani menggunakan pukulan maut, hanya berusaha menubruk dan menangkap saja. Karena itu, mereka berempatlah yang menjadi bulan-bulanan tamparan dan tendangan Pek Lian. Bahkan seorang diantara mereka terkena hantaman pada dadanya sehingga roboh pingsan dan tidak mampu bangkit kembali! Melihat keadaan itu, Rajawali Lautan menjadi marah. Dia mendengus dan menerjang maju, tangannya yang berkuku tajam seperti baja kuatnya itu mencengkeram kearah pundak Pek Lian. Dara ini mengenal serangan berat, maka iapun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak sambil mengirim tendangan yang disusul pukulannya kearah perut kepala bajak itu.

   "Dukk! Bukkk!" Baik tendangan maupun pukulannya dengan tepat mengenai sasaran, yaitu dada dan perut orang tinggi kurus itu. Akan tetapi sama sekali tidak mengguncangkan tubuh Tung-hai-tiauw, bahkan dia mempergunakan kesempatan selagi Pek Lian tertegun melihat serangannya mengenai tubuh yang kebal, cepat tangannya menyambar tengkuk dan menotok. Seketika Pek Lian merasa tubuhnya lunglai dan iapun tidak dapat melawan lagi ketika para thouwbak menubruk dan meringkusnya, membelenggu kaki tangannya dan membawanya pergi kekamar tahanan! Rajawali Lautan tertawa, lalu berkata kepada empat orang kawannya,

   "Nah, sobat-sobatku, marilah kita pergi keruang tamu untuk bercakap-cakap!" Mereka lalu pergi menuju ke Istana di puncak bukit. Dua orang Raja penjahat daratan itu tiada habisnya mengagumi Istana yang megah dan mewah itu. Sungguh keadaan para bajak lebih baik dibandingkan dengan keadaan para perampok didaratan yang selalu dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah. Di sebuah ruangan yang luas didalam Istana Raja Lautan itu sedang diadakan perjamuan makan-minum istimewa, perayaan pesta untuk meramaikan pertemuan antara pimpinan yang diadakan tiap tiga tahun itu. Ketika Rajawali Lautan sebagai tuan rumah bersama empat orang tamu dan rekannya memasuki ruangan itu, tempat itu sudah penuh dengan para tamu dan sejak tadi suara musik mengiringi para penari dan penyanyi yang cantik-cantik.

   Para tamu bangkit berdiri ketika melihat lima orang gagah itu, terutama sekali untuk menghormat Rajawali Lautan yang dianggap sebagai Raja dan juga tuan rumah. Dengan sikap ramah dan gagah, Rajawali Lautan memberi isyarat kepada semua tamu untuk duduk kembali dan diapun mempersilahkan Raja Muda Selatan, Si Petani Lautan, Si Buaya Sakti dan Si Harimau Gunung untuk mengambil tempat duduk dikursi-kursi kehormatan, dekat tempat duduknya sendiri sebagai tuan rumah. Setelah tuan rumah dan para tamu kehormatan hadir, musik dipukul makin meriah, dan para penari memperlihatkan keindahan tarian mereka, diseling oleh para penyanyi. Guci-guci arak baru dikeluarkan dan suasana menjadi semakin meriah.

   "Kursi siapakah itu?" tiba-tiba Si Buaya Sakti bertanya kepada tuan rumah. Juga temannya, Si Harimau Gunung, merasa heran melihat adanya sebuah kursi yang gemerlapan, seperti sebuah singgasana Raja. Kursi itu kosong dan ditutup kain putih, ditaruh ditengah-tengah dan ditempat yang paling tinggi. Tuan rumah tertawa dan memberi penjelasan kepada dua orang rekan yang menjadi tamu kehormatan.

   "Ah, kalian secara kebetulan saja datang kesini, tidak tahu bahwa kami sedang mengadakan pesta yang paling meriah diantara kami, para pendekar lautan! Ketahuilah, diantara kami, setiap tiga tahun sekali dipilih seorang yang paling tinggi tingkat kepandaiannya dan orang ini diangkat menjadi Raja Lautan, dan dia berhak tinggal dipulau ini, di Istana Raja Lautan sebagai orang yang paling berkuasa diseluruh lautan ini, selama tiga tahun. Dan setelah tiga tahun, diadakan pemilihan untuk mengangkat Raja Lautan yang baru. Untuk tiga tahun terakhir ini, akulah yang beruntung menjadi Raja Lautan. Hari ini aku harus dapat mempertahankan kedudukan itu untuk tiga tahun lagi. Kalau ada yang lebih lihai dari pada aku, dialah yang berhak menjadi Raja Lautan selama tiga tabun mendatang. Kursi itu adalah singgasana Raja kami dan karena hari ini sedang diadakan pemilihan, maka tentu saja kedudukan itu kosong. Hari ini kedudukanku telah berakhir maka akupun tidak duduk disitu. Mengertikah kalian, sekarang?"
(Lanjut ke Jilid 14)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 14
Dua orang gembong penjahat itu mengangguk-angguk dan saling pandang. Biarpun mereka bertiga itu terkenal dengan sebutan Sam-ok, yaitu Si Tiga Jahat untuk mengakui kedudukan mereka sebagai pimpinan para bajak lautan, pimpinan para bajak sungai dan pimpinan para perampok, namun mereka itu tidak pernah saling bersahabat Bahkan mereka sering kali bentrok dan bersaing. Hanya setelah muncul Raja Kelelawar, maka Si Buaya Sakti dan Harimau Gunung terpaksa dapat bekerja-sama dibawah kekuasaan Raja Kelelawar. Akan tetapi, Rajawali Lautan itu belum menjadi anak-buah atau taklukan Raja Kelelawar, maka sikapnya tentu saja berbeda dan dia merasa masih menjadi yang dipertuan didaerah lautan.

   Dua orang gembong daratan itu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa mereka yang datang sebagai utusan Raja Kelelawar, tiba pada saat kebetulan disitu diadakan pemilihan Raja lautan baru. Mereka tidak mengira ada peraturan semacam itu. Mereka hanya mengetahui bahwa Rajawali Lautan adalah seorang datuk lautan yang telah menjadi Raja sekalian bajak dan menguasai lautan yang amat luas itu. Mereka berdua maklum bahwa tentu saja urusan itu amat penting bagi para bajak, merupakan peristiwa besar dalam dunia bajak. Mereka membayangkan dengan hati tegang betapa akan serunya pertandingan memperebutkan kursi Raja Lautan itu nanti. Mereka tadi sudah merasakan kelihaian Raja Muda Selatan dan Petani Lautan, belum tokoh-tokoh lainnya. Menghadapi urusan besar ini, keduanya saling memberi isyarat dan bersepakat untuk menunda urusan mereka sebagai utusan Raja Kelelawar.

   Mereka ingin melihat pertandingan itu dan melihat siapa yang akan menang dan menjadi Raja Lautan. Lalu kepada orang yang menjadi Raja Lautan itulah mereka berdua akan berhadapan sebagai utusan Raja Kelelawar sebagai pucuk pimpinan semua golongan didunia sesat. Kini Rajawali Lautan bangkit berdiri dan memberi isyarat dengan mengangkat tangan kiri keatas. Seketika suara musik berhenti, para penari berlarian kembali ketempatnya dan semua orang memandang kearah tuan rumah. Suasana menjadi sunyi dan tidak ada yang berani mengeluarkan suara berisik. Hal ini bukan karena para tamu itu tahu akan sopan-santun dan aturan. Sama sekali bukan. Mereka taat karena mereka itu takut. Pelanggaran dapat saja mengakibatkan mereka dihukum secara kejam sekali, mungkin dibunuh!

   "Saudara saudaraku sekalian yang baik! seperti tiga tahun yang lalu, hari ini adalah hari berbahagia bagi kita kaum pendekar lautan! Dan sekali ini, pertemuan antara kita dihadiri pula oleh dua orang tamu terhormat yang sehaluan dengan kita. Sin-go Mo Kai Ci adalah pimpinan bajak sungai, sedangkan Sanhek-houw adalah pimpinan dari semua perampok, maling dan copet sehingga lengkaplah tiga golongan dari kaum kita yang dianggap oleh sementara orang sebagai golongan hitam. Biarlah dua orang tamu kita menjadi saksi atas upacara kita dan marilah kita mulai!" Para tamu mulai bergerak dan suasana menjadi bising karena para tamu saling bicara sendiri. Ada pula yang sibuk mempersiapkan bingkisan masing-masing.

   Sebagian besar diantara mereka telah mengenal siapa adanya Rajawali Lautan yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, maka jaranglah diantara mereka ada yang berani main-main. mereka yang merasa bahwa kepandaian mereka jauh dibawah tingkat Rajawali Lautan, hanya menghaturkan bingkisan atau sumbangan secara suka rela tanpa hendak menguji kepandaian Akan tetapi, para kepala perkumpulan bajak, tentu saja diantara mereka ada yang merasa penasaran kalau belum memperlihatkan kepandaian, biarpun mereka tiada harapan untuk dapat mengalahkan Rajawali Lautan, namun setidaknya mereka akan memperlihatkan kepandaian dan agar mereka dianggap sebagai orang yang telah berani mencoba kepandaian Rajawali Lautan! Ini saja sudah akan mengangkat sedikit derajat mereka dan dapat mereka jadikan bahan cerita yang membanggakan hati.

   Seorang bajak laut tunggal yang biasa beroperasi disekitar Lautan Jepang, tampak maju membawa sebuah bingkisan. Seperti yang telah ditentukan dalam peraturan mereka, yaitu peraturan bagi mereka yang hendak menguji kepandaian Rajawali Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya, bingkisan diletakkan diatas senjatanya. senjata bajak tunggal ini adalah sebatang samurai panjang. Dia berdiri tegak didepan Rajawali Lautan yang sudah bangkit berdiri dan melangkah maju ditempat lapang pula. Bajak tunggal itu melonjorkan pedang samurainya didepan dada, dan bingkisan itu berada diujung pedangnya. Tangan kirinya diangkat keatas kepala, melintang dan terbuka, lalu tangan kiri itu turun kedepan dada sebagai penghormatan, dan terdengar suaranya yang berlogat Jepang karena bajak laut ini memang seorang peranakan Jepang dan lebih banyak merantau diluar daratan.

   "Hai-ongya, harap terima bingkisan dariku!" Pedang samurainya digetarkan dan bingkisan yang terletak diujung pedang itu tiba-tiba mencelat keatas, kearah Rajawali Lautan. Raja Lautan yang harus mempertahankan kedudukannya ini berdiri dengan sikap tenang, kipas besinya siap ditangannya.

   Ketika dia melihat bingkisan itu terbang kearahnya, tangan kirinya yang memegang kipas besi bergerak untuk menangkap bingkisan itu. Akan tetapi, nampak sinar berkelebat cepat ketika pedang samurai itu menyambar kearah pergelangan tangan kiri yang memegang kipas dengan gerakan mendatar dari kanan kekiri. Suaranya berdesing karena pedang samurai itu tajam dan gerakan orang itupun amat kuatnya. Akan tetapi, dengan gerakan pergelangan tangannya, Rajawali Lautan telah membalikkan kipas besinya menangkis dan tangan kanannya diulur kedepan untuk menyambut bingkisan yang melayang kearahnya.

   "Trangggg!!" Pedang samurai yang tertangkis kipas besi itu terpental, akan tetapi bajak tunggal itupun cukup lihai. Pedang yang terpental itu membuat gerakan lingkaran dan tahu-tahu telah menyambar dari samping kearah leher lawan!

   "Bagus!" kata Rajawali Lautan yang telah berhasil menangkap bingkisan tadi. Sambaran pedang lawan dibiarkan lewat diatas kepalanya dengan menundukkan kepala, dan kipas besinya sudah menotok kearah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang dan yang menyambar lewat. Bajak tunggal itu terkejut sekali, cepat menarik kembali pedang dan tangannya, akan tetapi pada saat itu, Rajawali Lautan sudah menggunakan tangan kanan yang memegang bingkisan untuk mendorong kearah dada lawan sambil berkata,

   "Terimakasih atas bingkisan yang berharga!" Dorongan itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya sehingga biarpun bajak tunggal itu mempertahankan diri, tetap saja dia terdorong kebelakang, terhuyung-huyung dan hampir saja dia terpelanting. Diapun tahu diri karena kalau tuan ramah tadi menghendaki, dia tentu sudah terluka parah atau bukan tidak mungkin roboh dan tewas.

   Memang cara-cara yang dipergunakan oleh kaum bajak ini amat keras. Para tamu menyerahkan bingkisan, akan tetapi pada saat itu dia dan tuan rumah boleh adu kepandaian dan saling serang, bukan hanya untuk saling mengalahkan dan memperebutkan kedudukan sebagai Raja Lautan untuk waktu tiga tahun, bahkan boleh saja mereka itu mengalahkan lawan dengan membunuhnya! Raja wali Lautan sendiripun pada sembilan tahun yang lalu telah merobohkan Raja Lautan lama dengan membunuhnya dalam adu ilmu itu! Dan semenjak itu, belum pernah ada bajak lain yang dapat mengalahkannya. Akan tetapi, Rajawali Lautan adalah seorang cerdik. Dia tidak mau membunuh lawan karena dia ingin agar semua tokoh bajak laut tunduk dan takluk kepadanya, bukannya membenci dan mendendam. Maka diapun jarang sekali menurunkan tangan maut, kecuali tentu saja kalau kedudukannya terancam.

   Beberapa orang maju lagi secara bergiliran, akan tetapi tidak ada seorangpun yang mampu menandingi Rajawali Lautan lebih dari sepuluh jurus! Dan sebagian besar dari pada para tamu yang tadinya ingin mencoba-coba kepandaian, menjadi jerih dan akhirnya mereka itu hanya memasuki rombongan yang memberi bingkisan secara suka rela tanpa bertanding lagi. Ketika Petani Lautan maju, semua orang memandang dengan hati penuh ketegangan dan disana sini terdengar orang berbisik-bisik. Sekarang tuan rumah benar-benar berhadapan dengan seorang musuh bebuyutan atau seorang yang memiliki kepandaian setingkat. Semua bajak laut tahu belaka bahwa didaerah lautan mereka, yang menjadi jagoan hanya tiga orang, yaitu Raja Lautan sekarang yang berjuluk Rajawali Lautan Timur, Si petani Lautan, dan Raja Muda Selatan.

   Mereka bertiga inilah yang tiga tahun yang lalu merupakan tokoh-tokoh yang saling memperebutkan kedudukan secara seru dan setingkat. Memang akhirnya Rajawali Lautan yang menang, akan tetapi kemenangannya tipis sekali. Sekarang, tiga tahun telah lewat dan semua orang tentu saja tahu betapa dua orang tokoh yang dikalahkan itu telah memperdalam ilmu-ilmu mereka untuk dapat menjatuhkan Rajawali Lautan dan merebut kedudukan Rajawali Lautan dalam kesempatan ini. Jadi, dua orang itu tentu telah bersiap-siap dengan matang! Maka, setelah kini akhirnya orang yang mereka tunggu-tunggu muncul, yaitu Si Petani Lautan, semua orang memandang dengan hati tegang dan wajah berseri gembira karena mereka maklum bahwa pertunjukan sekali ini benar-benar amat hebat dan menarik.

   "Maaf, Hai-ong. Aku yang bodoh ingin mempersembahkan sebuah pusaka kepadamu!" kata Petani Lautan sambil memberi hormat. Rajawali Lautan tertawa. Memang sejak tadi dia sudah menanti-nanti datangnya saat ini, dimana Petani Lautan atau Raja Muda Selatan akan menyerahkan bingkisannya yang berarti dia harus mempertahankan kedudukannya terhadap mereka. Hanya dua orang itulah yang dianggapnya sebagai saingan yang patut untuk dilawan, yang lainnya tidak masuk hitungan.

   "Ha-ha-ha, silahkan, saudara Phang, silahkan. Sebenarnya hampir aku tidak berani menerima persembahanmu. Tiga tahun yang lalu saja, hampir aku kehilangan sebelah tanganku ketika mencoba untuk menerima bingkisanmu. Apa lagi sekarang tentu engkau sudah maju pesat sekali, buktinya engkau sudah bisa mengendalikan aliran keringatmu. Dahulu engkau terpaksa harus selalu bertelanjang baju, akan tetapi sekarang engkau sudah dapat memakai baju dan mengendalikan keluarnya keringatmu. Hebat! Aku sebenarnya jerih, akan tetapi aku kepingin mencobanya juga!"

   Rajawali Lautan sengaja mengucapkan kata-kata merendah, bukan hanya untuk membuat lawan tenggelam dalam kebanggaannya sehingga mungkin saja menjadi lengah, juga dia harus menjaga segala kemungkinan, sehingga andaikata dia benar-benar kalah, dia tidak sampai terbanting oleh sikap yang congkak sebelum bertanding.

   Sebenarnya, bagi orang-orang yang hidup didunia hitam, atau yang disebut kaum sesat, mereka tidak lagi memperdulikan akan sopan-santun, tidak perduli apakah sikap mereka itu merugikan orang lain atau menyinggung orang lain. Setiap jalan pikiran, setiap ucapan dan perbuatan, selalu hanya demi keun-tungan diri sendiri. Sikap kaum sesat itu menjadi pelajaran yang teramat baik bagi kita. Pernahkah kita meneliti dan mengamati sikap hidup kita sendiri sehari-hari? Bagaimanakah keadaan jalan pikiran atau batin kita, kemudian bagaimana pula keadaan yang nyata dari perbuatan dan juga ucapan kita? Pernahkah kita berpikir, berkata atau berbuat yang dibaliknya tidak mengandung pamrih untuk enak sendiri, senang sendiri, dan menang sendiri?

   Benarkah apa yang terucap oleh mulut kita selalu sejalan dengan bisikan hati kita? Adakah kesatuan antara batin, ucapan dan perbuatan? Kita berlumba menonjolkan kebaikan-kebaikan kita, bukankah itu hanya merupakan jembatan saja bagi kita untuk mencapai kesenangan dalam bentuk kepuasan batin, pujian, harapan, pahala dan sebagainya? Pernahkah kita bertindak atau bicara dengan dasar belas kasihan atau cinta kasih? Pernahkah? Kalau tidak pernah, mengapa? Semua pertanyaan ini kiranya amat perlu bagi kita manusia-manusia yang hidup dan yang dianggap sebagai mahluk berahlak dan berakal budi, bukan? Sikap Rajawali Lautan Timur yang merendah tadi jelas mengandung pamrih demi keuntungan diri sendiri, bukan rendah hati lagi.

   Rendah hati bukan terletak dimulut, melainkan dibatin, dan mulut baru bersih dan benar kalau menyuarakan batin tanpa dipertimbangkan dan disensor oleh pikiran yang selalu berpalsu-palsu. Si Petani Lautan yang bernama Phang Kui tersenyum. Senyum orang yang percaya akan kehebatan diri sendiri, yang menyembunyikan rasa bangganya karena pujian lawan tadi, menyembunyikannya dibalik senyuman, yang bukan lain juga merupakan suatu bentuk pamer terselubung. Dia membuka bajunya sehingga badan yang kurus dengan tulang iga menonjol dan membayang dibalik kulit nampak nyata. Tidak nampak setetespun keringat keluar dari kulit tubuhnya. Akan tetapi semua orang yang sudah mengenal kelihaian pria ini, cepat mundur dan menjauh karena mereka tahu betapa berbahayanya benda cair kecut yang keluar dari tubuh tokoh ini.

   Phang Kui menarik napas panjang, menghimpun sinkangnya dan brolll! Peluhnya mulai keluar dari pori-pori kulitnya dan mengucur deras! Mula-mula nampak butir-butir air seperti mutiara menghias kulit tubuhnya, dan tak lama kemudian butir-butir ini saling bertemu dan mengalir kebawah, berlenggak-lenggok dan membasahi semua kulit tubuhnya. Dia mengacungkan senjatanya yang istimewa, sebuah cangkul bergagang panjang. Sebelum bergerak lebih lanjut, Phang Kui menyambar sebuah teko terisi air teh dari atas meja. Teko besar itu dituangkannya kemulut yang ternganga sampai habis isinya. Dengan wajah nampak lega dan puas, Si Petani Lautan mengembalikan teko kosong dengan tangan kirinya keatas meja, kemudian mulutnya berkata lirih dan lembut,

   "Terimalah persembahanku!" Kata-kata yang halus itu tiba-tiba disambung dengan bentakan yang amat nyaring dan mengejutkan semua orang.

   "Hyaaaatttt!!" Nampak sinar menyambar dan cangkul bergagang panjang itu telah bergerak seperti kilat cepatnya. Mata cangkul berkilauan dan gerakannya mengundang datangnya angin, ketika mata cangkul itu terangkat dan bungkusan panjang terlempar dengan amat lajunya kearah muka Rajawali Lautan! Baru meluncurnya benda sumbangan itu saja sudah merupakan serangan kilat yang berbahaya. Akan tetapi itu hanya merupakan "pembukaan" belaka karena luncuran benda sumbangan itu disusul hampir sama. cepatnya oleh mata cangkul yang membacok atau mencangkul kearah dada lawan!

   "Hemmmm!" Rajawali Lautan Timur menggerakkan tubuhnya yang tinggi kurus, meloncat kebelakang dan miringkan kepala, menangkap bungkusan dengan tangan kiri yang memegang kipas besi.

   "Trappp...!" Kipas besi yang tadinya terbuka itu, begitu menerima bungkusan lalu menutup dan menjepit benda sumbangan. Akan tetapi pada saat itu, cangkul lawan telah datang menyambar kearah dadanya dengan kecepatan yang dahsyat. Dengan gerakan indah Tung-hai-tiauw atau Rajawali Lautan Timur sudah melemparkan barang sumbangan itu kearah pembantunya yang segera menerimanya dan menumpuk benda itu diatas meja tempat menaruh benda-benda sumbangan, dan sambil melontarkan benda tadi, Si Rajawali Lautan sudah mengelak sambil menangkis dengan gagang kipas besinya. Akan tetapi karena sebelum menangkis tadi dia melontarkan dulu barang sumbangan, tangkisannya agak terlambat sehingga mata cangkul itu masih menyerempet lambungnya.

   "Cringgg... trakk!" Mata cangkul tertangkis gagang kipas lalu menyerempet lambung, akan tetapi Kim-pouw-san (Jubah Mustika Emas) yang kebal membuat serangan itu meleset dan tidak melukai kulit lambung! Bahkan karena pengerahan sinkang, mata cangkul itu terpental dan penyerangnya merasa betapa kuatnya lambung yang menerima mata cangkul tadi. Akan tetapi, Petani Lautan itu lihai bukan main. Dia sudah mempergunakan langkah ajaibnya dan tahu-tahu tubuhnya sudah menyelinap dan gagang cangkulnya kini menyerang dengan sodokan keras kearah leher lawan!

   "Bagus!" Si Rajawali Lautan memuji dan diapun terkejut, tidak menyangka lawan memiliki gerakan secepat ini. Karena yang menyerangnya adalah gagang cangkul, maka dia berani menangkis dengan lengan kirinya yang kuat.

   "Dukk!" Lengan kiri yang kuat itu menangkis gagang cangkul. Pertemuan antara lengan dan gagang cangkul itu tidak terhenti disitu saja karena gagang cangkul itu telah membalik dan kini mata cangkulnya mencangkul kepala dan lengan yang tadinya menangkis itupun tiba-tiba meluncur kedepan, tangan yang berkuku tajam sekuat baja itu sudah membentuk cakar Rajawali dan mencengkeram kedepan, kearah pusar lawan!

   Begitu cepatnya kedua orang ini bergerak melanjutkan pertemuan lengan dan gagang cangkul sehingga keduanya terkejut karena tahu-tahu serangan lawan telah tiba sedemikian hebatnya! Kalau mereka berdua melanjutkan serangan dan membiarkan serangan lawan datang, tentu berarti akan mengadu nyawa dan mungkin keduanya akan tewas atau setidaknya terluka parah. Melihat ini, diam-diam lamsiauw-ong sudah tersenyum-senyum girang. Biar mereka berdua itu mampus bersama, pikirnya, dan kursi Raja Lautan akan dapat diperolehnya tanpa banyak membuang tenaga! Akan tetapi, Tung-hai-tiauw dan Petani lautan adalah dua orang tckoh besar yang telah memiliki kepandaian tinggi, tentu saja mereka tidak mau mati konyol begitu saja.

   Dalam ilmu silat ada hal-hal yang selalu dipentingkan oleh kaum persilatan, yaitu pertama, sedapat mungkin mendahului lawan dengan serangan yang tepat, dan kalau hal ini tidak mungkin, maka yang terutama adalah menyelamatkan atau menghindarkan diri lebih dulu dari bahaya yang mengancam pada saat itu. maka, melihat bahaya yang mengancam hebat, kedu-anya lalu menunda serangan mereka dan lebih dulu mereka berdua melemparkan diri kebelakang. Ragi Petani Lautan yang memiliki langkah-langkah ajaib, dengan lebih mudah sudah dapat memutar kaki mengatur langkah sehingga tubuhnya menjauh dan sekaligus menghindarkan diri dari cengkeraman lawan akan tetapi juga hantaman mata cangkulnya tidak mencapai kepala lawan. Si Rajawali Lautan lebih repot dan terpaksa tadi dia melempar diri kebelakang sehingga tubuhnya membuat poksai (salto) sampai tiga kali kebelakang.

   

Naga Beracun Eps 23 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 7 Naga Beracun Eps 6

Cari Blog Ini