Harta Karun Kerajaan Sung 7
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 7
"Tentu untuk merampasnya kembali, habis untuk apa lagi?" jawab Li Hong mendahului Yauw Tek. Li Hong yang dibesarkan di Pulau Ular oleh ibu tirinya yang dulu terkenal sebagai datuk wanita berjuluk Ban-tok Kui-bo memang berwatak keras dan tidak mengenal segala macam aturan bersopan santun, apalagi bermanis muka, namun ia jujur.
Kini ketua itu memandang kepada tiga orang muda itu dengan alis berkerut, kemudian dia berkata lantang dan tegas.
"Aku pernah mendengar akan nama Liu Bok Eng sebagai seorang gagah yang setia kepada Kerajaan Sung dan berjiwa patriot dan aku akan suka membantunya mencari harta karun karena aku yakin bahwa dia akan mempergunakannya demi nusa dan bangsa. Akan tetapi kalau kalian orang-orang muda mencari harta karun untuk diri kalian sendiri, jangan harap akan mendapat dukungan dariku. Aku tidak sudi membantu orang-orang memperebutkan harta seperti anjing-anjing kelaparan memperebutkan tulang!"
"Apa? Engkau menganggap kami ini anjing-anjing?" Li Hong sudah merah mukanya karena ia marah sekali.
Akan tetapi Ceng Ceng menyentuh lengannya dan ketika adik angkatnya memandangnya, ia menggeleng kepala mencegah adiknya itu bicara terus. Kemudian ia menoleh kepada Kui-tung Sin-kai dan berkata dengan suaranya yang lembut dan sikapnya yang ramah.
"Pangcu, agaknya Pangcu salah paham. Saya hendak menjelaskan keadaan kami yang sebenarnya. Ketika Ayah saya meninggal dunia karena terbunuh oleh panglima Mongol, Ayah meninggalkan sebuah peta harta karun kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu dan menyerahkannya kepada yang berhak, yaitu para pejuang yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari penjajahan bangsa Mongol. Kenyataannya harta karun itu telah dicuri atau diambil oleh orang yang mengaku dari Thai-san. Kami bertiga mencari harta karun yang dicuri itu, sama sekali bukan untuk kami miliki sendiri, melainkan untuk kami serahkan kepada para pejuang seperti yang dipesan Ayah Liu Bok Eng. Kami mendengar bahwa Ang-tung Kai-pang juga menentang Pemerintah Mongol, maka kami percaya bahwa Pangcu tentu suka membantu para pejuang kemerdekaan tanah air dari cengkeraman penjajah Mongol. Karena itu maka kami berani menghadap Pangcu dan mohon petunjuk."
Mendengar ucapan Ceng Ceng, ketua Kai-pang (Perkumpulan Pengemis) itu tersenyum dan wajahnya berubah cerah.
"Ah, sekarang aku tidak ragu akan kebenaran berita bahwa mendiang Liu Bok Eng adalah seorang gagah perkasa yang bijaksana setelah melihat puterinya! Nona Liu, maafkan sikapku tadi. Kalau memang kalian hendak mendapatkan kembali harta karun itu untuk diserahkan kepada para pejuang kemerdekaan, tentu saja kami sepenuhnya mendukung! Bahkan kami bersama seluruh anggauta yang sekitar seratus orang jumlahnya di sini, siap untuk membantu. Bukan itu saja, kami juga dapat mengerahkan semua anggauta yang tersebar di banyak cabang Ang-tung Kai-pang, yang ribuan jumlahnya, untuk membantu!"
"Terima kasih, Pangcu!" kata Yauw Tek dengan gembira.
"Akan tetapi kami kira belum tiba saatnya kami membutuhkan bantuan para anggauta Ang-tung Kai-pang. Untuk saat ini kami hanya membutuhkan petunjuk Pangcu, siapa kiranya di antara para penghuni Thai-san yang patut dicurigai sebagai pencuri harta karun itu. Kami mohon pefunjuk Pangcu."
"Kami kira hanya ada dua golongan yang seyogianya tidak dimasukkan daftar mereka yang dicurigai, yaitu Thai-san-pai dan Ang-tung Kai-pang. Kami kira kedua perkumpulan ini tidak mungkin melakukan pencurian itu karena kami berdua bukan golongan orang-orang yang murka akan harta benda. Akan tetapi ada banyak orang atau golongan lain berada di Thai-san. Yang terbesar dan mempunyai banyak anak buah adalah Huo Lo-sian dan anak buahnya yang tinggal di daerah Barat pegunungan ini dan yang kedua adalah Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka yang tinggal di Bukit Batu dan berada di daerah Utara pegunungan ini. Selain mereka tentu saja masih terdapat banyak pertapa yang kabarnya memiliki kesaktian, tinggal bertapa di tempat-tempat terasing di pegunungan yang luas ini." Pangcu itu menerangkan.
"Pangcu, orang berbaju putih yang berkelahi dengan anak buah Ang-tung Kai-pang itu, katanya adalah anak buah dari Bukit Batu. Kalau begitu, dia itu anak buah Hek Pek Mo-ko?" tanya Li Hong.
"Benar, Nona," kata Ketua Kai-pang itu yang kini dapat mengerti bahwa gadis ini memang memiliki watak yang keras, kasar dan jujur, hal yang tidak aneh karena ia berasal dari Pulau Ular! "Si Baju Putih itu adalah seorang murid dari Pek Mo-ko. Dua orang iblis itu yang disebut Hek Pek Mo-ko terdiri dari Hek Mo-ko ( Iblis Hitam ) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih), masing-masing mempunyai murid sendiri. Murid Hek Mo-ko berpakaian serba hitam dan murid Pek Mo-ko berpakaian serba putih. Akan tetapi keduanya selalu bekerja sama seolah hanya ada satu perkumpulan."
"Hemm, kalau begitu yang menantang Pangcu untuk mengadakan pi-bu (adu ilmu silat) esok lusa ada dua orang, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?" Ceng Ceng juga bertanya, nadanya khawatir.
Pangcu itu mengangguk.
"Benar, Nona Liu. Yang menantang adalah mereka berdua."
"Ah, itu tidak adil sama sekali, Pangcu. Masa dua orang menantang seorang?" kata Yauw Tek sambil mengerutkan alisnya yang tebal karena merasa penasaran.
"Jangan khawatir, Pangcu! Kalau mereka maju berdua, biar aku yang akan membantumu sehingga pi-bu itu seimbang, dua lawan dua!" kata Li Hong bersemangat.
"Kalau hanya melawan dua orang berandal itu saja, aku tidak takut!"
"Tenanglah, Hong-moi," kata Ceng Ceng yang lalu bertanya kepada ketua itu.
"Pangcu, bagaimana kepandaian Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko?"
"Aku sendiri belum pernah bertanding dengan mereka berdua. Akan tetapi menurut kabar, kedua orang itu memiliki tingkat kepandaian yang seimbang, Hek Mo-ko memiliki ilmu Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) yang dahsyat dan senjata goloknya juga terkenal lihai. Sedangkan Pek Mo-ko memiliki ilmu Pek-tok-ciang (Tangan Racun Putih) yang tak kalah dahsyatnya, dan senjatanya adalah sebatang pedang yang kabarnya juga amat tangguh. Kukira, kalau aku menghadapi seorang di antara mereka, aku masih dapat menandingi, akan tetapi entah kalau mereka maju berdua karena menurut keterangan yang pernah kudengar, Hek Pek Mo-ko selalu maju bersama sebagai pasangan yang amat kuat."
"Pangcu, untuk menghadapi mereka besok lusa pagi, tentu Pangcu sudah mengatur sebaiknya dan tentu ada orang lain dari Ang-tung Kai-pang yang akan menemani Pangcu menghadapi mereka," kata Yauw Tek.
Ketua Kai-pang itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Murid-murid Kai-pang tidak ada yang dapat diandalkan kepandaiannya. Tingkat mereka masih terlalu jauh untuk dapat melawan Hek Pek Mo-ko. Aku memang mempunyai beberapa orang Sute (Adik Seperguruan) yang agaknya memiliki tingkat yang sudah boleh diandalkan, namun pada waktu ini mereka semua tidak berada di sini. Mereka bertugas memimpin cabang-cabang Ang-tung Kai-pang di kota-kota besar. Akan tetapi, aku sendiri tidak gentar melawan Hek Pek Mo-ko yang telah menghina dan menantang."
Kembali Li Hong berkata,
"Jangan khawatir, Pangcu. Aku besok lusa akan menemanimu, kita berdua akan menghadapi mereka!"
Ketua itu menggelengkan kepalanya perlahan.
"Tidak mungkin, Nona Tan. Nama dan kehormatan Ang-tung Kai-pang akan tercemar kalau aku minta bantuan orang luar bukan anggauta kami untuk menghadapi tantangan Hek Pek Mo-ko."
"Akan tetapi siapa yang akan tahu bahwa aku bukan anggauta Ang-tung Kai-pang, Pangcu?" bantah Li Hong.
"Kulihat di sini juga terdapat banyak wanita."
"Memang benar di sini terdapat banyak keluarga para anggauta dan diantara mereka terdapat pula gadis-gadis muda, akan tetapi ilmu silat mereka rata-rata lemah, dan kalau engkau yang maju menemani aku menghadapi Hek Pek Mo-ko, ada dua hal yang menjadi pantangan bagi kami. Pertama, berarti kami bohong mengakuimu sebagai murid, dan kedua, murid kami bersenjatakan tongkat merah, bukan pedang. Terima kasih atas maksud baikmu hendak membantu, Nona Tan, akan tetapi mengingat akan pantangan kami berbohong, terpaksa kami tidak dapat menerima bantuanmu itu."
Sekali ini Li Hong tidak dapat membantah biarpun ia merasa kecewa dan penasaran sekali. Ceng Ceng juga tidak melihat adanya kemungkinan untuk membantu ketua yang kini terancam bahaya itu. Ia tahu bahwa biarpun Ang-tung Kai-pang merupakan sebuah perkumpulan pengemis, akan tetapi ketuanya merupakan seorang gagah yang pantang melanggar aturan mereka sendiri.
"Pangcu," tiba-tiba terdengar suara Yauw Tek memecahkan kesunyian setelah ketua itu bicara.
"Menurut ucapan Pangcu kepada Hong-moi tadi, berarti bahwa yang dapat membantu Pangcu menghadapi musuh yang menantang hanyalah orang yang menjadi anggauta perkumpulan Ang-tung Kai-pang dan juga yang menggunakan tongkat merah sebagai senjata?"
Ketua itu mengangguk-angguk,
"Demikianlah keadaannya, Yauw-sicu. Aku tentu tidak bisa mempertaruhkan nama dan kehormatan perkumpulan kami hanya untuk mencari kemenangan pribadi. Seperti kukatakan tadi, kalau ada seorang saja suteku di sini, kami berdua pasti akan mampu menandingi Hek Pek Mo-ko. Akan tetapi para suteku berada di tempat-tempat yang cukup jauh dan untuk memanggil mereka membutuhkan waktu sedikitnya seminggu. Padahal tantangan pi-bu itu harus disambut besok lusa."
"Pangcu, biarlah aku Pangcu terima sebagai murid sehingga dengan sendirinya aku menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang. Aku akan menemani Pangcu menghadapi Hek Pek Mo-ko dan menggunakan sebatang tongkat merah sebagai senjata. Dengan demikian, Pangcu tidak akan kehilangan muka dan nama Ang-tung Kai-pang tidak akan tercemar."
Ketua itu termenung, menghela napas dan menggelengkan kepalanya perlahan-lahan.
"Agaknya usulmu itu sukar dilaksanakan, Sicu."
"Hei, Pangcu!" teriak Li Hong.
"Yauw-twako memberi jalan yang baik dan engkau masih saja berkeras menolak! Sebetulnya, apa sih maumu menolak semua bantuan yang kami tawarkan? Sekarang begini saja, Yauw-twako dan Enci Ceng, kita tidak perlu membantu Ang-tung Kai Pangcu! Kita bertiga langsung datang ke tempat Hek Pek Mo-ko dan membasmi mereka sehingga mereka tidak dapat menantang Ang-tung Kai-pang lagi!"
"Aih, Hong-moi, mengapa engkau menjadi tidak sabaran seperti itu?" Ceng Ceng menegur sambil tersenyum.
"Ingat, kedatangan kita ke Thai-san adalah untuk mencari pencuri dan menemukan kembali harta karun, bukan untuk mencari permusuhan yang hanya akan menghalangi dan menggagalkan usaha kita."
Li Hong cemberut.
"Habis, Pangcu ini bisanya hanya menolak saja, bikin hatiku menjadi gemas!"
"Pangcu, harap jelaskan, mengapa usulku tadi sukar dilaksanakan?" tanya Yauw Tek.
"Begini, Sicu. Pertama, untuk menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus memakai pakaian tambal-tambalan, ciri khas pakaian pengemis anggauta Ang-tung Kai-pang adapun yang kedua, sebagai anggauta Ang-tung Kai-pang, engkau harus menggunakan sebatang tongkat merah untuk melawan musuh. Bagaimana mungkin kedua syarat itu dapat terpenuhi?"
Setelah berpikir sejenak Yauw Tek menjawab.
"Pangcu, aku pernah mempelajari ilmu silat menggunakan delapanbelas macam senjata termasuk senjata tongkat sehingga untuk menggunakan senjata itu bukan masalah bagiku. Akan tetapi untuk terus mengenakan pakaian tambal-tambalan......" Pemuda itu tidak melanjutkan karena takut menyinggung perasaan Kui-tung Sin-kai.
Semua kini terdiam mendengar ucapan ketua itu tadi. Mereka menjadi bingung karena alasan ketua itu membuat mereka kehabisan akal. Untuk membiarkan ketua itu seorang diri menghadapi kedua Hek Pek Mo-ko, hati mereka tidak rela. Hal itu akan membahayakan keselamatan ketua itu, padahal Ang-tung Kai-pang merupakan perkumpulan yang kiranya akan dapat membantu usaha mereka mendapatkan kembali harta karun. Perkumpulan ini juga menentang penjajah Mongol dan berjiwa patriot maka patut dibela.
"Aku ada akal!" Tiba-tiba suara Li Hong mengejutkan semua orang dan mereka memandang kepada gadis lincah ini.
"Yauw-twako diterima menjadi anggauta Ang-tung Kai-pang dan mengenakan pakaian tambal-tambalan untuk melawan Hek Pek Mo-ko. Setelah pi-bu itu selesai, Yauw-twako boleh menyatakan dengan resmi keluar dari keanggautaan Ang-tung Kai-pang sehingga tentu saja dia boleh melepaskan pakaian tambal-tambalan. Nah, bagaimana akalku itu, Pangcu?"
Kui-tung Sin-kai mengangguk-angguk, namun alisnya masih berkerut.
"Bagus sekali akal itu dan memang akal itu telah menyelesaikan masalah pakaian pengemis. Akan tetapi bagaimana dengan ilmu tongkat Yauw-sicu? Harap diketahui bahwa Hek Pek Mo-ko itu kabarnya lihai bukan main. Senjata mereka, baik golok Hek Mo-ko maupun pedang Pek Mo-ko, merupakan senjata-senjata pusaka ampuh. Aku sungguh akan merasa berdosa sekali kalau sampai Yauw-sicu cedera atau tewas dalam membantu aku menghadapi mereka."
"Pangcu meragukan kemampuanku, hal itu memang wajar saja. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi Pangcu untuk memberi petunjuk kepadaku dalam ilmu tongkat," kata Yauw Tek.
"Tepat sekali," kata Ceng Ceng.
"Sebaiknya sekarang juga Pangcu menguji ilmu silat tongkat Yauw-twako, kalau ada kekurangannya, Pangcu dapat memberi petunjuk."
Ketua itu mengangguk-angguk dan tampak gembira. Dia lalu mengajak tiga orang muda itu memasuki lian-bu-thia (ruangan latihan silat) yang luas. Dia mengambil dua batang tongkat merah dan menyerahkan sebatang kepada Yauw Tek. Mereka berdiri saling berhadapan di tengah ruangan itu. Ceng Ceng dan Li Hong menonton dan duduk di bangku dekat dinding.
"Yauw-sicu, perlihatkan ilmu tongkatmu kepadaku!"
"Silakan, Pangcu!" kata Yauw Tek sambil melintangkan tongkatnya depan dada.
"Sambut seranganku, Sicu!" Ketua itu mulai menyerang dan dia menyerang dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) sekuatnya. Dia benar-benar ingin menguji ilmu tongkat pemuda itu agar yakin sampai di mana tingkat kepandaian pennuda itu. Kalau sekiranya ilmu tongkat dari Yauw Tek tidak berapa tinggi tingkatnya, lebih baik dia menolak bantuannya. Dia tidak ingin pemuda itu celaka karena membantunya.
"Syuuttt".. trak-trak-trak-trak-trak!" Lima kali tongkat di tangan Kui-tung Sin-kai menyerang dengan pukulan dan tusukan dahsyat sekali, akan tetapi kelima serangan itu selalu dapat ditangkis dengan baik oleh Yauw Tek. Bahkan ketua itu merasa betapa kedua tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat! Dia terkejut bukan main akan tetapi masih belum yakin dan melanjutkan se-rangannya dengan jurus-jurus pilihan yang dahsyat sekali.
Akan tetapi, bukan saja semua serangannya dapat dihindarkan Yauw Tek dengan tangkisan kuat atau elakan yang cepat, bahkan kini pemuda itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah hebatnya. Gerakan pemuda itu amat ringannya, juga mengandung tenaga sin-kang yang membuat tangan ketua itu tergetar berulang kali! Hati Kui-tung Sin-kai menjadi gembira sekali dan dia juga mengeluarkan seluruh jurus simpanannya. Namun selalu Yauw Tek mampu mengimbanginya.
Sudah hampir seratus jurus lewat dan keduanya masih terus bertanding dengan serunya. Kini, ketua itu mulai berkeringat, sedangkan Yauw Tek masih biasa saja dan jelaslah bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ketua itu akan kalah dan kehabisan tenaga dan napas! Dia maklum akan hal ini dan merasa sudah puas menguji ilmu tongkat Yauw Tek.
"Cukup, Sicu!" katanya sambil terhuyung ke belakang ketika kedua tongkat itu bertemu kuat sekali. Yauw Tek menghentikan gerakannya dan dengan tongkat tersembunyi di belakang lengan kanannya, dia memandang ketua itu dengan senyum dan tampak masih segar.
"Bagaimana, Pangcu? Apakah aku memenuhi syarat?"
Kui-tung Sin-kai terengah-engah, wajahnya berseri dan dia merangkap kedua tangan depan dada.
"Ah, maafkan keraguanku tadi, Sicu. Aku sungguh seperti Si Buta tak melihat tingginya langit! Kalau engkau mau membantuku dengan ilmu tongkatmu tadi, hatiku menjadi tenang karena harus kuakui bahwa ilmu tongkatmu membuat ilmuku tidak ada artinya sama sekali!"
"Ah, Pangcu terlalu memuji," kata Yauw Tek dan tiba-tiba dia melontarkan tongkat merah itu ke atas. Kui-tung Sin-kai, Ceng Ceng dan Li Hong memandang dengan heran, akan tetapi segera mata mereka terbelalak ketika melihat betapa tongkat merah itu kini berputar lalu melayang di udara seperti hidup dan meluncur ke arah rak senjata, kemudian dengan tepat memasuki lubang rak senjata sehingga tongkat itu kembali ke tempatnya semula!
Kalau hanya melempar biasa saja agar tongkat itu masuk kembali ke lubang masih terbilang wajar. Akan tetapi apa yang diperlihatkan pemuda itu sungguh luar biasa. Tongkat itu tadi berputar-putar di udara lalu melayang seolah mencari sasarannya! Dua orang gadis yang baru sekarang menyaksikan kehebatan ilmu tongkat Yauw Tek ketika melawan ketua tadi, kini menjadi bengong dan kagum bukan main kepada sahabat baru mereka yang memang sudah mengagumkan hati dengan sikapnya yang sopan dan lembut.
"Wah, Yauw-twako! Ilmu aneh apakah yang kau perlihatkan dengan tongkatmu tadi? Tongkatmu seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!" Seru Li Hong sambil melompat bangkit berdiri.
Yauw Tek tersenyum.
"Ah, sama sekali tidak aneh. Itu adalah semacam Hoat-lek (llmu Sihir) yang pernah kupelajari dari para pendera Lhama di Tibet," katanya sederhana.
"Akan tetapi...... bagaimana benda mati dapat bergerak seperti hidup?"
"Benda itu digerakkan oleh kekuatan gelombang pikiran."
"Apa dapat dikendalikan untuk menyerang musuh, Sicu?"
"Tentu saja dapat, Pangcu."
"Aduh, hebat sekali! Aku ingin mempelajari ilmu itu, Engkau ajari aku, ya?" kata Li Hong yang merasa kagum bukan main kepada pemuda yang selain tampan, lembut dan sopan, ternyata juga berkepandaian tinggi.
Diam-diam ia teringat kepada kakak misannya, Pouw Cun Giok yang pernah dicintanya sebelum ia tahu bahwa pemuda itu kakak misannya. Dan ia membandingkan keduanya. Agaknya Yauw Tek ini tidak kalah hebat, baik ketampanannya, sikapnya maupun kepandaiannya. Dan Li Hong kini benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda yang dikaguminya itu!
"Hong-moi, mempelajari ilmu yang tinggi bukan semudah membalikkan telapak tangan," kata Ceng Ceng.
"Membutuhkan bakat, waktu, dan ketekunan. Yauw-twako mana bisa menggunakan banyak waktu untuk mengajarkan Hoat-lek kepadamu?"
Yauw Tek tersenyum.
"Benar seperti yang dikatakan Ceng-moi tadi, Hong-moi. Mempelajari itu membutuhkan waktu bertahun-tahun. Dan bertingkat. Pertama harus mampu menguasai diri sendiri, lalu menguasai orang lain, kemudian menguasai semua mahluk, baru dapat menguasai benda mati."
Kui-tung Sin-kai dengan gembira lalu menyuruh anak buahnya menyiapkan dua buah kamar untuk tiga orang tamunya yang kini dia hormati. Tahulah dia bahwa bukan Yauw Tek saja yang lihai, juga dua orang gadis itu bukanlah ahli silat sembarangan. Dia juga mengadakan perjamuan untuk menghormati mereka dan sebelum saat pibu tiba, yaitu besok lusa, tiga orang tamu itu diberi kebebasan sepenuhnya tinggal di perkampungan Ang-tung Kai-pang.
Malam itu bulan bersinar terang, hampir bundar sempurna. Langit cerah jernih tanpa ada awan menghalang sehingga permukaan Bukit Cemara itu tampak gemilang bermandikan cahaya bulan yang lembut. Udara sejuk dengan hembusan angin semilir lembut. Sejak bulan muncul tadi, anak-anak diperkampungan Ang-tung Kai-pang bermain-main di luar rumah, bernyanyi-nyanyi dan menari dengan gembira. Seluruh keluarga para anggauta Ang-tung Kai-pang bergembira bukan hanya karena malam itu cerah dan indah, akan tetapi juga mereka merasa gembira dan lega karena ketua mereka kini dibantu oleh tiga orang pendekar muda yang lihai sehingga tidak perlu khawatir dengan tantangan pi-bu dari Hek Pek Mo-ko.
Setelah malam agak larut, anak-anak disuruh masuk rumah oleh orang tua mereka. Di dalam taman bunga di belakang gedung rumah induk tempat tinggal ketua Ang-tung Kai-pang, tampak Ceng Ceng duduk seorang diri. Taman itu indah sekali menerima sinar bulan, ditambah udara yang segar dan penuh keharuman bunga, membuat Ceng Ceng seperti dalam keadaan samadhi atau melamun. Ketika kenangan muncul dalam hatinya, teringat akan keadaan dirinya yang telah kehilangan orang tua, kehilangan guru, hidup sebatang kara dan kini bahkan pesan ayahnya tak dapat ia laksanakan dengan baik, perasaan sedih menyelimuti hatinya.
Kemudian muncul bayangan Pouw Cun Giok, pemuda yang dicintanya dan yang mencintanya. Pemuda itu ternyata telah bertunangan dengan gadis lain. Ini berarti ia telah kehilangan segala-galanya, kehilangan orang-orang yang dicintanya. Hatinya semakin tertekan rasa duka. Akan tetapi kesadarannya mengingatkan bahwa membiarkan pikirannya sendiri memperdalam rasa iba diri, hal itu hanya akan melemahkan hatinya dan dapat berakibat mengganggu kesehatan tubuhnya. Maka, ia menghela napas panjang berulang kali, mengumpulkan hawa udara segar dan perlahan-lahan semua kesenduan hatinya dapat dikurangi.
"Ceng-moi," Suara Yauw Tek lembut sekali memanggil di belakangnya.
Ceng Ceng bangkit berdiri dari bangku dan memutar tubuhnya. Mereka berdiri berhadapan. Ceng Ceng melihat betapa sinar mata pemuda itu tampak aneh, tidak seperti biasanya. Sepasang mata itu bersinar tajam mencorong dan bibir itu tersenyum. Wajah Yauw Tek tampak tampan bukan main. Ada suatu dorongan kuat sekali yang membuat hati Ceng Ceng tertarik dan seolah terpesona oleh ketampanan wajah pemuda itu. Namun, ia kembali mengambil napas panjang dan dapat membebaskan diri dari pengaruh daya tarik ini, walaupun jantungnya masih berdebar aneh. Ia tahu bahwa perasaan tertarik ini terdorong nafsu berahi yang tidak wajar, maka ia segera melangkah mundur.
"Ah, kiranya engkau, Yauw-twako," katanya lembut.
"Sialakan duduk, Twako."
Yeuw Tek tersenyum dan kini pandang matanya biasa lembut lagi, tidak mencorong mempesonakan seperti tadi.
"Terima kasih, Ceng-moi. Aku tidak tahu bahwa engkau berada di sini dan maaf kalau aku mengganggu ketenanganmu."
"Ah, sama sekali tidak, Twako. Aku sedang menikmati malam yang begini indah. Bulan bersinar terang, udara sejuk menyegarkan dan keharuman bunga sungguh membuat hati menjadi nyaman," kata Ceng Ceng bersungguh-sungguh sambil menyedot napas panjang.
Yauw Tek memandang ke sekeliling, lalu menengadah memandang bulan dan dia pun menyedot udara yang segar itu sehingga dada dan perutnya penuh hawa segar.
"Benar sekali, Ceng-moi. Malam ini sungguh teramat indah. Sesungguhnyalah kalau aku mengatakan bahwa selama hidupku yang duapuluh dua tahun ini, baru saat ini aku menyaksikan saat yang begini indah dan membahagiakan hatiku. Ceng-moi dapatkah engkau menerangkan kepadaku mengapa aku saat ini memiliki perasaan yang begini berbahagia dan segala sesuatu tampak indah sekali?"
"Twako, sesungguhnyalah kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita. Kalau kita dapat menerima segala sesuatu seperti apa adanya tanpa menolak tanpa mengharapkan, maka bahagia juga akan selalu ada bersama dengan kita. Hanya kalau nafsu perasaan menguasai hati akal pikiran, maka segala sesuatu tidak akan terasa bahagia lagi karena muncul segala macam keinginan akan kesenangan yang tak kunjung habis ingin kita raih. Yauw-twako, engkau berbahagia saat ini karena engkau menikmati apa adanya dan tidak menginginkan apa pun yang tidak ada padamu. Bukankah demikian, Yauw-twako?"
Yauw Tek mengangguk-angguk dan memandang kagum.
"Pendapatmu itu memang benar sekali, Ceng-moi. Sungguh aku merasa heran dan kagum bagaimana seorang gadis muda seperti engkau ini memiliki pendapat tentang kebahagiaan yang sama dengan pendapat para pendeta Lhama di Tibet dan pendapat para pertapa di Himalaya. Akan tetapi kebahagiaan dan keindahan yang kurasakan saat ini bukan hanya disebabkan oleh penerimaan keadaan tanpa diganggu hati akal pikiran, Ceng-moi. Aku yakin betul bahwa kebahagiaan ini muncul dalam hatiku hanya oleh adanya suatu sebab."
"Eh? Apakah yang menjadi sebabnya, Twako?" Ceng Ceng mengangkat muka menatap wajah pemuda itu.
Yauw Tek juga sedang menatapnya dan dua pasang mata bertemu dan bertaut. Kembali Ceng Ceng merasa getaran yang amat kuat menyentuh perasaannya dan jantungnya berdebar.
"Yang menyebabkan semua keindahan dan kebahagiaan ini adalah engkau, Ceng-moi, dirimu......" Kedua tangan Yauw Tek menyentuh kedua pundak gadis itu dan dia hendak menarik dan mendekapnya. Akan tetapi, sentuhan tangan itu bahkan seolah menyentak, membuat gadis itu terkejut dan lenyaplah getaran aneh yang amat menarik hatinya tadi. Dengan lembut namun cepat dan kuat, ia membebaskan kedua pundak dari pegangan tangan pemuda itu dan cepat melangkah ke belakang.
"Tidak, Twako! Jangan sentuh aku. Sayang kalau seorang pemuda seperti Twako terseret oleh gelombang nafsu!" Setelah berkata demikian, Ceng Ceng membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan taman menuju rumah induk di mana ia bermalam.
Yauw Tek masih berdiri dan pemuda itu menundukkan kepalanya, tak bergerak seperti sebuah patung. Agaknya sikap Ceng Ceng tadi membuat dia terkejut, heran, dan kecewa. Tak disangkanya sama sekali gadis itu akan menolak pendekatannya. Padahal setiap harinya, sikap Ceng Ceng demikian ramah dan akrab. Sejak pertemuan pertama dia memang sudah kagum sekali kepada Ceng Ceng.
Tiba-tiba terdengar gerakan kaki orang di belakangnya. Yauw Tek menyadari keadaannya dan bersikap biasa kembali.
"Yauw-twako......!"
Yauw Tek cepat membalikkan badannya dan Li Hong sudah berdiri di depannya. Sepasang mata gadis itu bersinar dan alisnya yang hitam melengkung itu berkerut.
"Eh, engkau, Hong-moi? Engkau juga tertarik oleh malam yang indah ini? Duduklah, Hong-moi," kata Yauw Tek dengan sikap ramah dan lembut seperti biasanya.
Akan tetapi gadis itu tidak duduk dan matanya menatap wajah Yauw Tek dengan penuh selidik.
"Twako, apa yang terjadi antara engkau dan Enci Ceng tadi?"
Ditanya dengan nada marah itu, Yauw Tek tersenyum lebar.
"Aih, Hong-moi apa maksudmu dengan pertanyaan ini?"
"Tidak perlu menyangkal, Twako. Ketika aku memasuki taman ini tadi, aku melihat Enci Ceng berada di sini denganmu, lalu ia pergi. Apa yang kalian lakukan, berduaan di sini?"
"Hong-moi, mengapa engkau bersikap seperti ini dan seperti menyangka yang bukan-bukan? Kami hanya bicara biasa, tidak terjadi sesuatu yang tidak semestinya. Akan tetapi, kalau engkau masih penasaran, engkau tanyalah saja kepada Ceng-moi sendiri. Mengapa engkau tampak seperti orang marah, Hong-moi?" kata Yauw Tek yang sudah tahu akan watak Ceng Ceng sehingga dia yakin bahwa Ceng Ceng pasti tidak akan bicara tentang peristiwa dengannya tadi.
"Betulkah tidak terjadi sesuatu antara kalian, Twako? Aku hanya khawatir. Aku harap engkau tidak mengganggu Enci Ceng. Ketahuilah bahwa selain ia Enciku yang tersayang, juga Enci Ceng telah mencinta seorang pemuda lain, yaitu Kakak Misanku sendiri!"
Yauw Tek mengembangkan kedua lengannya dan tertawa.
"Ha-ha, engkau ini lucu dan aneh. Hong-moi. Aku tidak berbuat apa-apa terhadap Ceng-moi dan syukurlah kalau ia sudah memiliki pilihan hati. Aku memang sayang ia sebagai seorang sahabat, Hong-moi, lain tidak!"
"Dan engkau tidak sayang padaku?" Li Hong bertanya penuh iri.
"Sayang padamu? Aih, Hong-moi, apakah selama ini engkau belum merasakan atau menyadari betapa besar rasa sayangku kepadamu?" Yauw Tek memandang wajah Li Hong dengan tajam dan mesra.
Memang sejak pertemuan pertama dengan dua orang gadis itu, hati Yauw Tek sudah terpikat oleh keduanya. Baik Ceng Ceng maupun Li Hong amat cantik jelita dan mempesonakan hatinya, keduanya memiliki daya tarik yang luar biasa dan amat kuat walaupun sifat mereka itu berbeda seperti bumi dan langit. Ceng Ceng bagaikan air telaga yang tenang dan dalam sehingga berdekatan dengan Ceng Ceng membuat dia merasa tenteram, aman, dan damai yang menyejukkan hati. Sebaliknya, Li Hong bagaikan air samudera yang menggelora sehingga dekat dengan gadis itu membuat dia bersemangat dan gembira!
"Sayangmu padaku juga sebesar sayangmu kepada Enci Ceng?" tanya Li Hong, kini kemarahannya tadi sirna dan ia merasa senang sekali mendengar pernyataan Yauw Tek tadi. Ia harus mengakui dalam hatinya bahwa terhadap Yauw Tek timbul perasaan seperti yang ia rasakan dahulu terhadap Pouw Cun Giok! Ia jatuh cinta kepada Yauw Tek.
"Sama besarnya tapi tak sama, Hong-moi. Kalau aku sayang Ceng-moi dan ingin ia menjadi sahabatku yang terbaik, aku menyayangmu dan ingin agar engkau menjadi......" Yauw Tek tidak melanjutkan ucapannya.
Tentu saja Li Hong semakin penasaran dan tertarik. Saking tegang hatinya, ia memegang tangan Yauw Tek, mengguncang-guncang tangan itu dan mendesak.
"Menjadi apa, Twako? Hayo katakan, engkau ingin aku menjadi apa?"
"......menjadi ......menjadi ......teman hidupku selamanya......"
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ahh""!" Li Hong menjatuhkan diri duduk di atas bangku. Rasanya lemas seluruh sendi tulangnya. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya agak gemetar. Berbagai perasaan mengaduk hatinya. Ada rasa senang bahagia, ada terharu, ada pula perasaan lain yang ia tidak mengerti benar. Ia hanya menundukkan mukanya karena baru pertama kali ini ia menerima pengakuan cinta seorang pemuda yang memang telah menjatuhkan hatinya!
Dengan hati-hati Yauw Tek duduk pula di atas bangku, namun tidak terlalu dekat dengan Li Hong, melainkan di ujung bangku.
"Maafkan aku, Hong-moi. Maafkan kalau ucapanku tadi menyinggung hatimu. Ah, aku terlalu lancang dan kurang ajar. Bagaimana mungkin seorang pemuda sebatang kara dan miskin seperti aku ini berani mencinta seorang gadis puteri majikan Pulau Ular seperti dirimu? Maafkan aku, atau kalau engkau tersinggung dan marah, pukullah aku, aku tidak akan melawan, Hong-moi......" Suara pemuda itu bernada penuh sesal dan sedih.
Mendengar ucapan yang bernada sedih dari Yauw Tek, Li Hong mengangkat muka memandang. Dua pasang sinar mata bertemu, bertaut, dan jantung Hong tergetar hebat. Sinar mata pemuda itu demikian penuh kasih sayang, seolah membelal-belai hatinya.
"Yauw-twako, mengapa engkau berkata begitu? Tidak ada perlu dimaafkan, dan jangan engkau terlalu merendahkan diri. Aku hargai pernyataan hatimu tadi, bahkan aku merasa berbahagia sekali, Twako, aku senang sekali......"
Yauw Tek menjulurkan kedua tangannya dan memegang kedua tangan Li Hong. Seolah ada getaran keluar dari duapuluh buah jari tangan itu dan terasa oleh keduanya. Jari-jari tangan yang hanya saling pegang itu seolah saling cengkeram dengan penuh kemesraan.
"Aduh, terima kasih, Hong-moi! Aku menjadi orang yang paling berbahagia di dunia ini! Katakanlah, Hong-moi, engkau menerima cintaku dan engkau juga mencintaku?"
Li Hong menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Aku...... aku terima cintamu, Twako, dan tentang perasaan hatiku...... entahlah, saat ini belum dapat aku memastikan. Akan tetapi aku bahagia, aku senang......!" Mereka saling pandang dan bibir mereka merekah dalam senyum.
Yauw Tek tidak berani mendesak. Juga dia menahan diri membatasi tindakannya yang mungkin akan membuat gadis yang lincah ini marah. Kedua tangan mereka masih saling berpegangan dan ketika dengan lembut Yauw Tek menarik, Li Hong tidak menentang dan di lain saat gadis itu telah menyandarkan kepalanya di dada Yauw Tek, membiarkan pemuda itu merangkul dan memeluknya! Mereka berdiam diri namun keduanya seolah tenggelam dalam kemesraan. Hanya jantung mereka yang berdetak keras seolah hati mereka yang bicara.
"Twako, dapatkah aku percaya kata-katamu, bahwa engkau sungguh mencintaiku dan tidak akan membagi cinta dengan wanita lain?"
"Aku bersumpah demi Langit dan Bumi, disaksikan Bulan yang bersinar terang itu, Hong-moi, bahwa aku sungguh mencintaimu dan tidak akan membagi cintaku dengan wanita lain."
Yauw Tek memperkuat rangkulannya dan Li Hong menghela napas panjang.
"Aku bahagia sekali, Twako......"
"Engkau juga mencintaiku, bukan?"
"Belum saatnya aku mengatakan itu, tunggulah, Twako, sampai aku dapat mengambil keputusan." Li Hong lalu melepaskan diri dari rangkulan pemuda itu.
"Mari kita kembali ke rumah induk, Twako, tidak baik kalau dilihat orang kita berdua berada di sini malam-malam begini."
"Engkau benar sekali, Hong-moi. Memang dapat menimbulkan dugaan yang bukan-bukan. Marilah kita kembali ke sana," kata Yauw Tek dan mereka bergandeng tangan meninggalkan taman menuju ke rumah Ketua Kai-pang.
Li Hong semakin girang dan bangga. Pemuda yang mencintanya itu benar-benar seorang pemuda yang sopan dan menghormatinya. Belum pernah ia dicinta dan diperlakukan laki-laki seperti yang dilakukan Yauw Tek! Ia sudah hampir yakin bahwa ia jatuh cinta kepada pemuda itu, hanya tinggal menanti waktu dan kesempatan saja untuk menyatakan perasaan hatinya secara terbuka.
Baru sekali ini Li Hong merasa betapa indahnya suasana. Bahkan awan putih yang mulai menutupi bulan pun tidak mengurangi keindahan itu, Bayang-bayang pohon pun tampak indah serasi, menyenangkan dan hatinya penuh oleh rasa bahagia.
Keindahan bukan terletak pada bendanya, juga bukan pada alat panca-indera, melainkan dalam hati. Kalau batin sudah ditumpulkan oleh bermacam gangguan, maka dia tidak akan mampu merasakan keindahan.
Wajah Li Hong masih berbinar-binar ketika ia memasuki kamar tidurnya. Ceng Ceng yang duduk di atas bangku dalam kamar mereka itu, dan sedang membaca kitab seperti yang biasa ia lakukan sewaktu menganggur, mengangkat muka memandang dan ia melihat keceriaan wajah adik angkatnya.
"Adik Hong, kulihat wajahmu berseri-seri, matamu bersinar dan mulutmu tersenyum manis sekali. Agaknya engkau berbahagia benar, Adikku!"
"Benar, enci Ceng, hatiku sedang merasa bahagia. Terlalu bahagia sehingga jantung ini berdebar seperti hendak memecahkan dada!"
"Aih, apa yang terjadi, Adikku? Aku ikut girang mendengar engkau bahagia, akan tetapi juga ingin tahu sekali. Engkau datang dari manakah dan mengapa kembali ke kamar begini cerah dan gembira?"
"Aku tadi berjalan-jalan di dalam taman, Enci Ceng. Wah, indah sekali taman bunga di sini, apalagi bulan bersinar terang. Aku sungguh berbahagia sekali!"
"Hemm, Hong-moi, pasti terjadi sesuatu denganmu. Masa kalau hanya berjalan-jalan di taman saja membuat engkau demikian bahagia? Apakah yang terjadi denganmu?"
Li Hong tersenyum dan mengerling tajam.
"Ah, tidak terjadi apa-apa, Enci. Aku tadi bertemu Yauw-twako dan kami berbincang-bincang......"
"Hemm, apa saja yang kalian perbincangkan sehingga membuat engkau demikian gembira dan bahagia, Adikku?"
"Bermacam-macamlah! Eh, Enci Ceng, ketika aku memasuki taman tadi, aku melihat engkau meninggalkan Yauw-twako di taman! Kalian bercakap-cakap di dalam taman, bukan? Apa saja yang kalian bicarakan?"
Melihat betapa Li Hong memandang kepadanya dengan sinar mata tajam penuh selidik, Ceng Ceng tersenyum tenang.
"Mengapa engkau bertanya demikian, Adikku? Memang aku bertemu dengan Yauw-twako di sana, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar dan kami bercakap-cakap biasa saja."
Li Hong menyadari bahwa pertanyaannya memang agak berlebihan, sehingga terdengar seperti orang menaruh curiga. Maka cepat ia merangkul kakak angkatnya itu.
"Ah, aku tidak bermaksud apa-apa, Enci. Maafkan aku""! Eh, Enci Ceng yang baik, bagaimana sih rasanya orang jatuh cinta itu?"
"Ih, anak nakal! Mengapa engkau tanyakan hal itu? Bagaimana aku dapat menjawabnya?"
"Ah, Enci Ceng, aku bertanya kepadamu karena engkau pernah merasakannya. Bukankah engkau dan kakakku Pouw Cun Giok saling mencinta? Nah, yang kutanyakan, bagaimana sih rasanya jatuh cinta itu?"
Ceng Ceng menghela napas panjang.
"Adikku, kuharap engkau jangan menyinggung tentang Giok-ko. Engkau akan dapat merasakan sendiri kalau jatuh cinta. Akan tetapi, sebagai kakakmu, aku peringatkan engkau, Adikku. Berhati-hatilah jangan terlalu mudah jatuh cinta karena kalau engkau hanya terdorong gairah kemudian salah pilih, jatuh cinta itu mendatangkan duka. Hong-moi, melihat sikap dan mendengar kata-katamu, timbul dugaan di hatiku bahwa tentu ada apa-apa antara engkau dan Yauw-twako. Benarkah?"
"Enci Ceng sayang, aku percaya sepenuhnya kepadamu, maka aku mau bicara terus terang. Memang telah terjadi sesuatu yang teramat penting. Enci Ceng, dia...... Yauw-twako...... dia mengatakan bahwa dia...... dia mencintaiku!" Sepasang pipi yang berkulit halus putih itu kemerahan, matanya bersinar dan mulutnya tersenyum malu-malu, tampak cantik sekali.
Ceng Ceng tersenyum walaupun hatinya merasa tidak nyaman mendengar pengakuan adik angkatnya itu. Baru saja Yauw Tek mencoba untuk merayunya dan di lain saat pemuda itu kini menyatakan cinta kepada Li Hong! Biarpun sikap pemuda itu baik, sopan, ramah, juga gagah perkasa, akan tetapi mengapa dia seolah mengobral cinta?
"Adikku, lalu bagaimana tanggapanmu? Apakah engkau juga mencintanya?"
"Dia juga menanyakan hal itu, Enci. Akan tetapi aku masih ragu, aku memang amat suka dan kagum kepada Yauw-twako, akan tetapi...... aku tidak yakin betul bagaimanakah rasanya kalau jatuh cinta. Maka tadi kutanyakan kepadamu."
Ceng Ceng merangkul Li Hong.
"Li Hong, Adikku, tidak ada salahnya bagi setiap orang untuk jatuh cinta. Bahkan hidup tanpa adanya cinta akan hampa. Sungguh merupakan kebahagiaan besar bagi seorang gadis apabila ada seorang pemuda yang mencintanya, yang benar-benar mencintanya dengan tulus, bukan sekedar cinta terdorong nafsu gairah berahi, dan pemuda itu juga ia cinta. Akan tetapi, setiap orang gadis haruslah berhati-hati untuk jatuh cinta, harus waspada agar tidak sampai hanyut oleh cinta palsu karena hal itu akhirnya akan menyakitkan sekali. Wanitalah yang paling menderita kalau sampai pasangan yang tadinya saling mencinta itu akhirnya gagal dan berpisah, bahkan saling membenci."
"Mengapa wanita yang paling menderita, Enci?"
"Memang, pria dan wanita itu sama saja, akan tetapi sudah menjadi kenyataan sejak sejarah berkembang bahwa dalam masalah hubungan antara pria dan wanita, si wanitalah yang berada di pihak lentah. Kalau sebuah perkawinan sampai gagal dan terjadi perceraian, si wanita akan dikecam dan dipandang kurang baik di mata masyarakat, sebutan janda merupakan sebutan yang diucapkan dengan nada mencibir dan dengan prasangka buruk, sedangkan si pria tidak terpengaruh nama atau kehormatannya. Tidak ada yang mencibir kalau seorang duda menikah lagi, akan tetapi kalau seorang janda yang menikah lagi, banyak orang, terutama kaum wanita, akan mencibir dan mengejek."
"Wah, ini tidak adil! Harus diberantas!" Li Hong seperti terbakar, penasaran dan marah.
"Kalau ada laki-laki yang palsu cintanya dan menyia-nyiakan wanita yang tadinya saling mencinta dengannya, akan kupecahkan kepalanya!"
"Husshh, Hong-moi. Tahanlah kemarahanmu. Kalau sampai terlaksana kehendakmu itu, kukira dunia ini akan kehilangan prianya lebih dari setengah jumlahnya!"
Ucapan Ceng Ceng ini mengandung kebenaran karena pada jaman itu, derajat kaum wanita di Cina memang amat rendah. Pada masa itu wanita mudah dikawini dan mudah pula diceraikan, bahkan dihargai seolah barang yang indah dan berharga. Akan tetapi karena cinta kaum prianya pada masa itu seperti yang dikenal umum adalah cinta berahi, maka para pria itu mudah bosan terhadap wanita yang tadinya dicintanya dan yang dulu diperebutkannya dengan taruhan nyawa!
"Aih, Enci Ceng, pendapatmu tentang pria tadi amat menakutkan hatiku. Apakah Yauw-twako termasuk pria seperti itu, yang tidak menghargai wanita, yang palsu cintanya dan mudah bosan sehingga mudah menyia-nyiakan pasangannya? Rasanya aku tidak percaya, Enci!"
"Aku pun mengharap dengan sangat agar Yauw-twako bukan termasuk laki-laki yang palsu cintanya. Apalagi kalau dia menjadi laki-laki pilihan hatimu, laki-laki yang engkau cinta. Kalau sampai dia kelak menyia-nyiakanmu dan ternyata cintanya palsu, aku sendiri yang akan menghajarnya, Hong-moi. Akan tetapi kuharap sebelum terlanjur, engkau sebaiknya berhati-hati dan setelah yakin bahwa cintanya murni dan tulus, baru engkau dapat menerima cintanya."
Li Hong mengangguk-angguk.
"Tadi aku pun mengatakan bahwa aku belum dapat mengambil keputusan apakah aku mencintanya atau tidak, Enci Ceng. Kuharap saja cintanya murni. Aku tidak ingin kelak menderita sengsara karena cinta, seperti yang pernah diderita oleh guruku yang kini menjadi ibu tiriku itu selama belasan tahun."
"Akan tetapi akhirnya gurumu menemukan kebahagiaan karena sebetulnya cinta ayah kandungmu terhadapnya adalah murni. Sudahlah, Hong-moi, tidak baik membicarakan Yauw-twako. Yang penting engkau berhati-hati dan jangan hanya menuruti keinginan hati, melainkan pergunakan kewaspadaanmu sehingga engkau tidak akan salah pilih."
Li Hong mengerutkan alisnya ketika memandang wajah kakak angkatnya. Ia menemukan kesedihan tertahan yang tersembunyi di balik ucapan encinya itu.
"Enci Ceng, aku yakin bahwa engkau tidak salah pilih ketika engkau saling mencinta dengan kakak misanku Pauw Cun Giok. Dia telah bertunangan karena diikatkan perjodohan itu oleh mendiang gurunya. Kelak, kalau aku bertemu dengan dia, pasti aku akan menegurnya karena dia telah membuatmu menderita dan sedih."
Mendengar ini, Ceng Ceng tersenyum dan awan kesedihan tadi lenyap dari wajahnya yang jelita dan penuh kelembutan.
"Aih, mengapa engkau menyinggung hal itu, Hong-moi? Aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Selalu ingatlah, Hong-moi bahwa hidup di dunia ini hanya ada dua hal yang teramat penting dan yang mempengaruhi seluruh jalan hidupmu. Kedua hal itu adalah menanam dan memetik buahnya. Segala perbuatan kita, termasuk pemikiran dan pengucapan, merupakan benih yang kita tanam. Karena benih itu akan menjadi pohon dan berbuah, maka seyogianya kita menanam benih yang terbaik, berarti kita melakukan perbuatan yang terbaik. Kemudian segala peristiwa yang menimpa diri kita, itu bukan lain adalah memetik buah dari benih kita tanam sendiri. Oleh karena itulah, Hong-moi, semua hal yang menimpa diriku, baik maupun buruk, adalah hasil petikan buah dari pohon yang kutanam sendiri, entah kapan aku menanamnya. Maka, aku tidak perlu bersedih, tidak perlu menyalahkan siapa-siapa karena sudah sepantasnyalah kalau aku memetik dan makan buah dari hasil tanamanku sendiri."
"Aduh, Enci Ceng, engkau seorang gadis yang luar biasa dan bijaksana sekali!"
"Tidak, Hong-moi. Aku pun tiada bedanya dengan engkau atau siapapun juga, lemah dan mudah terpengaruh. Yang penting kita harus selalu waspada setiap saat, terutama sekali, di samping waspada terhadap segala di luar diri, harus waspada terhadap diri sendiri. Waspada terhadap apa yang kupikirkan, apa yang kukatakan, dan apa yang kulakukan. Kewaspadaan yang terus menerus terhadap diri sendiri ini mendatangkan kebijaksanaan, Adikku, walaupun tidak mungkin manusia itu sempurna, namun setidaknya akan selalu ingat untuk menanam benih terbaik melalui pemikiran, ucapan, dan perbuatan."
Malam telah larut dan kedua orang gadis itu tidur untuk menjaga kesehatan dan kesiapan diri karena mereka maklum bahwa mereka masih menghadapi banyak tantangan dalam usaha mereka mencari harta karun yang dicuri orang.
Dua hari kemudian, pagi-pagi sekali mereka telah siap. Pagi itu adalah saat yang ditentukan oleh tantangan Hek Pek Mo-ko terhadap ketua Ang-tung Kai-pang. Kui-tung Sin-kai sudah berdiri di halaman depan rumahnya, dihadap para anggauta Kai-pang yang berjumlah sekitar seratus orang, tidak termasuk anak bini mereka. Ketua itu mengenakan pakaian tambal-tambalan baru, memegang tongkat merahnya dan tampak gagah berwibawa.
Di sebeiahnya berdiri Yauw Tek, juga mengenakan pakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat merah. Ceng Ceng dan Li Hong yang berada di dekat merasa lucu melihat Yauw Tek, akan tetapi juga harus mereka akui bahwa dengan pakaian pengemis itu pun Yauw Tek tampak tampan dan gagah.
"Para anggauta Kai-pang!" seru ketua itu dengan lantang.
"Kami akan turun bukit memenuhi tantangan Hek Pek Mo-ko. Kami hanya mengajak limapuluh orang anak buah. Yang lain, sisanya harus melakukan penjagaan di perkampungan kita. Hari ini semua pekerjaan ditunda dan yang penting adalah menjaga keamanan kampung. Kepada mereka yang mengikuti kami turun bukit, sekali lagi kuperingatkan. Kalian ikut bukan untuk bertempur, melainkan hanya untuk menjaga agar kami yang melakukan pi-bu (adu silat) tidak sampai dikeroyok. Ingat, tanpa adanya perintah dariku, semua dilarang turun tangan menyerang!"
Setelah menyampaikan pesan dan perintahnya, rombongan itu turun bukit. Kui-tung Sin-kai berjalan di depan, ditemani Yauw Tek, Ceng Ceng, dan Li Hong. Di belakang mereka berjalan limapuluh orang anak buah yang semua berpakaian tambal-tambalan dan memegang tongkat merah.
Ketika mereka tiba di tempat dekat hutan di mana kemarin dulu anggauta Kai-pang berkelahi melawan anak buah Hek Pek Mo-ko, rombongan itu melihat rombongan lawan sudah berada di situ. Di depan rombongan itu berdiri dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun yang bukan lain adalah Hek Pek Mo-ko.
(Lanjut ke Jilid 08)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 08
Hek Mo-ko bermuka hitam arang, pakaiannya juga hitam tubuhnya sedang dan sikapnya sombong. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya dan dia berdiri bertolak pinggang sambil tersenyum mengejek. Di sebelah kirinya berdiri Pek Mo-ko yang lebih muda beberapa tahun. Pek Mo-ko juga bertubuh sedang, akan tetapi mukanya seputih kapur dan pakaiannya juga serba putih. Di punggungnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya juga sombong seperti kakaknya. Di belakang mereka berdiri dua gerombolan orang, ada yang berpakaian serba hitam dan ada yang serba putih. Jumlah mereka sekitar limapuluh orang.
Seperti sudah disepakati sebelumnya, yang maju menghadapi dua orang majikan Bukit Batu itu adalah Kui-tung Sin-kai dan Yauw Tek yang juga berpakaian pengemis dan memegang tongkat merah. Kini mereka berdua berdiri berhadapan dengan, Hek Pek Mo-ko.
Hek Mo-ko yang berwajah hitam sambil tersenyum mengejek berkata dengan nada tinggi hati.
"Heh-heh, engkau datang juga memenuhi tantangan kami, Kui-tung Sin-kai!"
Ketua Ang-tung Kai-pang masih bersikap tenang lalu berkata dengan lantang penuh wibawa.
"Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, selama ini antara kalian dan kami tidak pernah terjadi permusuhan apa pun dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Akan tetapi mendadak ada anak buah kalian yang menghina anak buah kami dan memaki kami sebagai pencuri! Apa sebenarnya niat buruk kalian karena agaknya kalian mendukung anak buah kalian yang jahat itu?"
"Heh-heh-heh-heh!" Pek Mo-ko tertawa dan menudingkan telunjuknya kepada Ketua Kai-pang.
"Bukan menuduh sembarangan, karena kami hampir yakin bahwa kalian yang mencuri harta karun Kerajaan Sung itu!"
"Hemm, tuduhan membabi buta! Apa dasar dan alasan maupun buktinya bahwa kami melakukan pencurian itu?"
"Ha-ha-ha, alasannya sudah jelas! Kalian ini hidup sebagai pengemis yang selalu kekurangan makan, tentu saja haus akan harta benda. Kalau yang mencuri itu tinggal di Thai-san ini, seperti pengakuan mereka, siapa lagi pelaku pencurian itu kecuali Ang-tung Kai-pang?" kata Hek Mo-ko.
"Heii! Babi muka hitam dan anjing muka putih! Aku tahu sekarang! Kalian sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan perhatian, padahal sebetulnya kalian dua binatang bermulut kotor inilah yang menjadi pencuri!" seru Li Hong.
Tentu saja Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko marah sekali. Belum pernah selama hidup mereka dimaki dengan kata-kata demikian menghina, apalagi oleh seorang gadis muda seperti ini!
"Perempuan keparat!" Hek Mo-ko mendorongkan tangan kanannya ke arah Li Hong yang memakinya. Sinar hitam menyambar ke arah Li Hong, akan tetapi dengan beraninya Li Hong menyambutnya dengan Hek-tok-tong-sim-ciang yang juga mengeluarkan asap hitam.
"Derrrr......!" Hek Mo-ko terkejut ketika merasa betapa hawa pukulannya membalik, sungguhpun Li Hong juga merasa betapa kuatnya pukulan manusia muka hitam itu.
Ketua Kai-pang melangkah maju.
"Hek Pek jangan menyerang lain orang. Kita selesaikan urusan antara kita. Kami dari Ang-tung Kai-pang menyambut tantanganmu untuk mengadakan pi-bu di sini. Dengan cara apa kalian hendak mengadu kepandaian? Satu lawan satu? Aku yang akan maju! Kalian maju berdua? Aku akan maju bersama saudara mudaku ini! Ataukah kalian mau secara keroyokan mengerahkan orang-orangmu? Kami juga tidak akan mundur dan sudah siap!"
Hek Mo-ko memandang kepada Yauw Tek penuh perhatian. Dia merasa heran dan curiga melihat betapa teman Ketua Kai-pang itu seorang pemuda tampan dan tidak patut mengenakan pakaian pengemis.
"Kui-tung Sin-kai, siapakah pemuda ini? Benarkah dia anggauta Kai-pang? Orang muda, benarkah engkau anggauta Kai-pang dan siapa namamu?"
"Aku anggauta Kai-pang baru dan namaku Yauw Tek," kata pemuda itu singkat.
Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko saling pandang. Kedua orang ini sudah memperhitungkan dan maklum bahwa kalau mereka bertanding keroyokan, pihak mereka yang akan menderita rugi. Tadi Hek Mo-ko mengalami sendiri betapa gadis muda cantik jelita itu mampu menahan pukulan sinar hitamnya. Padahal dia terkenal dengan pukulan Hek-kong-ciang (Tangan Sinar Hitam) seperti juga Pek Mo-ko terkenal dengan pukulannya yang ampuh Pek-kong-ciang (Tangan Sinar Putih). Nah, di pihak Ang-tung Kai-pang terdapat orang-orang muda yang lihai, semuanya ada tiga orang, berarti di pihak musuh ada empat orang yang tinggi tingkat kepandaiannya. Sedangkan di pihak mereka hanya ada mereka berdua. Juga mereka melihat betapa Ang-tung Kai-pang mengerahkan anggautanya yang jumlahnya sekitar limapuluh orang, sebanding dengan anak buah mereka sendiri.
Hek Pek Mo-ko, keduanya adalah laki-laki yang mata keranjang. Mereka masing-masing telah memiliki lima orang isteri, akan tetapi setiap kali melihat wanita muda yang jelita, mata mereka masih berminyak. Kini, melihat Ceng Ceng dan Li Hong yang memiliki kecantikan luar biasa, jauh melebihi kecantikan wanita yang pernah mereka miliki, tentu saja mereka berdua tertarik sekali. Apalagi melihat seorang di antara dua gadis itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Alangkah senangnya kalau mereka berdua mendapatkan dua orang gadis jelita dan sakti itu sebagai isteri dan pembantu mereka!
"Kui-tung Sin-kai, kami bukan pengecut yang suka mengandalkan keroyokan. Kami menantangmu untuk bertanding satu lawan satu, atau dua lawan dua. Kami berdua yang akan maju. Nah, dari pihakmu siapa yang akan menandingi kami?"
"Aku sendiri dan rekanku Yauw Tek ini yang akan menandingi kalian berdua," kata Kui-tung Sin-kai menjawab.
"Heh-heh-heh, bagus sekali!" Pek Mo-ko tertawa dengan sikap memandang rendah.
"Akan tetapi, sebuah pertandingan harus ada taruhannya! Kui-tung Sin-kai apa yang hendak kaupertaruhkan dalam pi-bu (adu silat) ini?"
Ketua Kai-pang itu mengerutkan alisnya dan memandang marah.
"Hek Pek Mo-ko, pihakmu yang pertama menghina kami, kemudian kalian pula yang menantang pi-bu! Kalau kalian kalah, kalian harus menarik kembali tuduhan kalian bahwa kami mencuri harta karun dan minta maaf kepada kami!"
"Ha-ha, baik, kami terima taruhanmu itu. Akan tetapi sebaliknya kalau kalian kalah dan kami yang menang, engkau harus menyerahkan dua orang nona manis itu kepada kami, untuk kami jadikan isteri kami!" kata Pek Mo-ko sambil memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng dengan mata penuh gairah.
Li Hong merasa dadanya seperti dibakar dan hendak meledak mendengar ucapan Pek Mo-ko itu. Tak mungkin ia mendiamkan saja hinaan itu.
"Anjing belang putih busuk!" Ia berteriak dan sudah melompat dengan cepat, menyerang Pek Mo-ko bagaikan seekor singa yang menerkam lawan! Begitu menyerang, ia telah mempergunakan Hek-tok-tong-sim-ciang yang ampuh. Telapak tangannya berubah menghitam dan begitu angin pukulannya menyambar, Pek Mo-ko sudah merasakan sambaran angin pukulan yang dahsyat itu. Dia terkejut dan cepat dia miringkan tubuh dan menangkis dengan ilmu andalannya, yaitu Pek-tok-ciang!
"Wuuutt...... derrr......!!" Tubuh Pek Mo-ko terdorong ke belakang dan Li Hong juga merasa betapa lengannya tergetar. Namun ia tidak gentar dan menyerang terus. Pek Mo-ko cepat mencabut pedangnya dan balas menyerang!
"Anjing, mampuslah!" Li Hong membentak dan tampak sinar hitam menyambar. ketika ia mencabut Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) lalu pedangnya berkelebat menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi mencicit mengerikan!
Pek Mo-ko makin terkejut, akan tetapi dia pun bukan seorang lemah, melainkan seorang ahli pedang yang lihai, maka dia pun melawan mati-matian sehingga terjadilah perkelahian dengan pedang yang amat seru. Melihat betapa lihainya Li Hong, Hek Mo-ko mengkhawatirkan adiknya. Mereka berdua memang memiliki keistimewaan, yaitu ketangguhan mereka menjadi berlipat ganda kalau mereka maju bersama. Mereka telah membentuk ilmu pedang dan golok yang disatukan saling bantu dalam penyerangan dan saling melindungi dalam pertahanan. Maka Hek Mo-ko lalu melompat dan maju mengeroyok Li Hong!
Naga Beracun Eps 8 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 12 Naga Beracun Eps 34