Darah Pendekar 21
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 21
Tiga orang Raja bajak itu adalah ahli-ahli dalam air dan jagoan-jagoan dalam mengemudikan perahu. Akan tetapi sekali ini mereka berdiri bengong dengan muka pucat seperti kehilangan akal. Angin menghembus semakin kuat dan ombak mengganas menggiriskan hati. Awan hitam bergulung-gulung dan tiba-tiba turun hujan badai yang dahsyat. Tentu saja hujan badai ini tercipta oleh pusaran maut itu karena didaerah itu langit nampak bersih. Setelah berada dalam keadaan seperti itu, maka setiap orang hanya ingat akan keselamatan diri sendiri saja. Masing-masing hendak mencari keselamatan sendiri-sendiri. Rasa takut merupakan perasaan yang paling kuat untuk menyeret manusia menjadi mahluk yang paling pengecut, paling kejam, dan paling tidak berperikemanusiaan!
Kalau ada orang yang melakukan perbuatan kejam, pada hakekatnya dilubuk hatinya terdapat rasa takut yang amat besar. Kalau ada orang melakukan perbuatan yang pengecut, diapun sedang dicengkeram oleh rasa takut yang amat besar. Rasa takut menghilangkan kewaspadaan dan ketenangan, membuat orang melakukan tindakan karena dorongan rasa takut itu, yang kadang-kadang merupakan perbuatan yang membuta. Bermacam-macam bentuknya rasa takut. Ada yang takut menghadapi kesulitan, takut kehilangan, takut kesepian, takut menderita, takut dijauhkan dari kesenangannya, dan takut akan kematian. Akan tetapi, semua bentuk rasa takut itu sesungguhnya berdasar sama, yaitu sang pikiran atau si aku yang membayangkan sesuatu yang tidak menyenangkan, yang mungkin akan menimpanya.
Kalau kita dapat terbebas dari rasa takut dan menghadapi segala sesuatu yang menimpa diri kita pada saat itu juga, tanpa membayangkan sesuatu yang belum terjadi, maka kita akan selalu tenang dan waspada dan pada saat-saat bahaya mengancam, kita akan dapat bertindak atau memberi tanggapan yang tepat berdasarkan kewaspadaan dan ketenangan. Dan untuk dapat terbebas dari rasa takut tentu saja harus meniadakan si aku yang membayang-bayangkan hal-hal yang belum ada itu. Tiga orang Raja bajak itu cepat mencari perlengkapan untuk menyelamatkan diri. Mereka memang selalu membawa perlengkapan untuk menolong diri kalau-kalau perahu mereka pecah atau terbalik diserang badai atau apa saja. Kini mereka telah membawa sebuah jangkar dengan tali yang panjang.
Raja Laut yang lebih dulu mengayun jangkarnya kebelakang, menggaet sebuah papan dari pecahan perahu. Dengan tepat jangkarnya menggaet papan itu dan diapun meloncat sambil memegangi tali, lalu berenang menuju kearah papan. Dari situ dia meloncat lagi, jangkarnya menggaet lain benda. Dengan cara demikan, juga berkat kepandaian renangnya yang mahir, akhirnya dia dapat lolos dari sedotan Pusaran Maut. Dua orang rekannya juga melakukan hal yang sama. Untuk melontarkan jangkar keperahu lain tak mungkin karena jarak mereka dengan perahu-perahu lain cukup jauh dan kabut tebal membuat cuaca gelap. Hanya sedikit sinar bulan yang menembus kabut dan awan buatan Pusaran Maut itu, membuat sekeliling tempat itu nampak air berkilauan seperti cengkeraman-cengkeraman tangan maut yang hidup.
Raja Kelelawar bersikap tenang untuk memperlihatkan kebesarannya. Akan tetapi sesungguhnya diapun agak bingung menghadapi ancaman maut mengerikan ini. Dia tahu bahwa sebagai seorang manusia, betapapun saktinya, dia tidak akan mampu melawan kekuatan alam yang demikian dahsyatnya. Pula, ilmu-ilmunya adalah ilmu didaratan, dan dia sama sekali bukanlah jago air seperti tiga orang Raja bajak itu, walaupun ini tidak berarti bahwa dia tidak pandai berenang. Untuk dapat melakukan penyelamatan diri seperti tiga orang Raja bajak tadi, dia merasa tidak mampu. Akan tetapi, tokoh yang satu ini memang luar biasa. Dia sama sekali tidak menjadi panik sehingga dia tidak kehilangan kewaspadaannya.
Sambil memanggul tubuh Pek Liari, dia melangkah ketepi perahu. Dia masih mempunyai ilmu yang dapat diandalkan untuk menyelamatkan dirinya, yaitu ilmu ginkangnya yang sudah mendekati kesempurnaan itu. Setelah mencari-cari dengan pandang matanya seperti hendak menembus kegelapan, akhirnya dia melihat sebuah tiang layar hanyut tak jauh dari perahu. Cepat dia menurunkan tubuh Pek Lian dari panggulan, mengempit tubuh itu dengan lengan kirinya dan diapun menggerakkan kedua kakinya meloncat keluar dari perahu. Tubuhnya melayang dengan ringannya dan ketika kedua kakinya hinggap diatas tiang layar yang terapung itu, diapun sudah menggunakan tiang itu sebagai landasan untuk meloncat lagi menjauh dan kini yang hendak dijadikan tumpuan loncatan adalah sesosok mayat orang yang terapung.
Dengan cekatan dia meloncat keatas perut mayat itu dan menggunakannya untuk mengenjot tubuhnya lagi kearah pecahan perahu didekatnya. Karena pecahan perahu itu cukup besar, dia memperoleh kesempatan untuk berhenti sejenak diatasnya. Akan tetapi dia tidak boleh terlalu lama disitu karena walaupun dia telah agak menjauhi pusat Pusaran Maut, namun pecahan perahu itupun masih terseret ketengah lagi. Maka ketika dia melihat sebuah balok besar lewat, diapun meninggalkan pecahan perahu itu dan meloncat kearah balok besar. Ketika dia tiba diatas balok, dia mendengar suara hiruk-pikuk dan ternyata perahu yang tadi dipakai meloncat telah "Dimakan" pusaran air dan hancur berantakan. Kini dengan perimbangan badan yang luar biasa, dia berdiri diatas balok yang bergoyang-goyang. Hujan angin membuat penglihatannya kabur dan dia tidak dapat melihat terlalu jauh.
Dia mencari-cari dengan pandang matanya kalau-kalau terdapat perahu untuk dipakai menyelamatkan diri dari tempat mengerikan itu, karena diapun tidak mungkin dapat terlalu lama bertahan diatas balok itu. Kalau tidak ada tempat lain yang lebih aman, kalau sampai dia tergelincir kedalam air dan terseret ombak, akan celakalah dia!
(Lanjut ke Jilid 15)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 15
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara tertahan saking girangnya. Dia tidak tahu betapa Pek Lian sejak tadi menderita ketakutan yang amat hebat. Dara ini dalam keadaan tertotok dipanggul dan dibawa berkelahi mati-matian, lolos dari lubang jarum diantara sambaran senjata tiga orang Raja bajak yang mengeroyok Raja iblis itu. Kemudian, sekarang dibawa berloncatan berjuang mempertahankan nyawa diancam kematian mengerikan di Pusaran Maut!
Ingin rasanya Pek Lian menjerit dan menangis, akan tetapi dara ini menguatkan hatinya dan hanya memejamkan mata melihat ombak menggunung yang setiap saat seperti hendak menelannya. Beberapa kali mukanya disiram air laut dan mulut, hidung dan matanya terasa asin dan pedas sekali. Ketika Raja iblis itu mengeluarkan suara tertahan dengan girang, Pek Lian membuka matanya dan dara inipun melihat bayangan sebuah perahu yang hanya nampak samar-samar dalam cuaca remang-remang itu. Perahu itu masih agak jauh, dan Raja Kelelawar memperhitungkan bahwa untuk mencapai perahu itu dia membutuhkan tiga atau empat kali loncatan lagi. Balok tempat dia berdiri sudah mulai berputaran kencang.
Raja Iblis itu memandang kesekeliling dan tiba-tiba didekat balok yang dipijaknya itu tersembul dua sosok mayat. Otaknya bekerja cepat sekali. Tangan kanannya mencengkeram rambut kepala dua mayat itu dan menariknya keatas. Karena ditambah beban dua sosok mayat itu, balok yang dipijaknya tenggelam, akan tetapi Raja iblis itu telah mempergunakan balok itu untuk mengenjot tubuhnya meloncat kearah perahu didepan sambil melemparkan sebuah diantara dua mayat yang dicengkeramnya. Mayat itu menimpa permukaan air dan kedua kaki Raja Kelelawar menyusul cepat, hinggap diatas punggung mayat itu dan diapun melontarkan mayat kedua kedepan, meloncat lagi dan dia sudah hinggap lagi diatas mayat kedua.
Kini dia sudah makin mendekati perahu itu, tinggal dua kali loncatan lagi. Akan tetapi tidak ada benda yang mengapung dekat, sedangkan tentu saja dia tidak mungkin dapat berdiri terlalu lama diatas mayat itu yang merupakan benda yang tidak tahan terapung. Sekarangpun mayat itu telah mulai turun dari permukaan air dan kedua kakinya sudah terendam! Sekali ini, Raja Kelelawar benar-benar merasa ngeri. Tidak ada jalan lain lagi, pikirnya cepat. Sebelum dia terendam terlalu dalam sehingga sukar untuk meloncat, dia sudah mengenjot tubuhnya lagi menggunakan mayat itu sebagai landasan, dan tubuhnya melayang kedepan. Karena tidak ada apa-apa yang dapat dijadikan tempat mendarat, kini dia melemparkan tubuh Pek Lian keatas air setelah terlebih dahulu menotoknya sehingga jalan darah dara itu pulih kembali.
"Byuuurrr!!" Tubuh Pek Lian jatuh keair dan tiba-tiba kaki Raja Kelelawar telah menginjak punggungnya. Nona itu gelagapan dan meronta, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya tertekan kuat dan diapun tenggelam. Kiranya tubuhnya dipakai landasan meloncat oleh Raja Kelelawar yang kini meloncat kearah perahu yang telah dekat. Akan tetapi oleh karena ketika dipakai landasan meloncat, tubuh Pek Lian tenggelam dan meronta, maka loncatan Raja Kelelawar itu tidak dapat mencapai sasaran dan tubuhnya melayang turun masih kurang tiga meter dari perahu itu! Kalau orang lain yang meloncat seperti itu, tak dapat dicegah lagi tentu tubuhnya akan terjatuh kedalam air.
Akan tetapi Raja Kelelawar bukanlah manusia biasa, melainkan orang yang telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat. Maka ketika tubuhnya melayang turun, dia lalu mengeluarkan sabuknya, melolos sabuk itu dan dihantamkannya sabuk itu keatas permukaan air laut. Terdengar bunyi ledakan keras seperti cambuk yang dipukulkan dan ketika ujung sabuk itu mengenai permukaan air, terjadilah gelombang besar dan tubuhnya sendiri dapat berjungkir balik keatas sampai mendekati perahu, kurang satu setengah meter lagi! Kini sabuknya kembali bergerak menyambar pinggiran perahu dan sekali dia membetot, tubuhnya meluncur kearah perahu. Dengan gerakan yang istimewa, akhirnya Raja Kelelawar itu berhasil mendarat diatas dek perahu itu. Hatinya lega bukan main.
Akan tetapi ketika dia menoleh kearah air dimana tadi dia melemparkan tubuh Pek Lian, ternyata nona itu sudah tidak nampak lagi. Akan tetapi Raja iblis ini tidak memperdulikannya lagi. Dia lalu mendayung perahunya dan menyelamatkan dirinya dengan membawa perahu itu menempuh ombak dan badai, menjauhi Pusaran Maut. Badai dan ombak makin menggila dan agaknya keadaan ini malah dapat menyelamatkan sebagian dari para anak-buah bajak. Perahu-perahu itu ada yang ditiup badai dan dibawa ombak menjauhi Pusaran Maut, walaupun banyak pula perahu yang diseret tenggelam berikut para pemumpangnya. Tiga orang Raja bajak itu dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan lesu mereka semua berkumpul dipulau Raja Laut, menghitung anak-buah masing-masing dan ternyata sepertiga bagian dari anak-buah mereka lenyap menjadi korban pusaran Maut.
Sekali ini, bukan seorang perawan suci yang mereka persembahkan kepada Dewa laut, melainkan anak-buah mereka sendiri yang puluhan orang jumlahnya. Diam-diam mereka menyalahkan peristiwa tiru. kepada Raja Kelelawar, akan tetapi disamping itu merekapun harus mengakui bahwa Raja Kelelawar itu sungguh luar biasa sekali ilmunya dan memang pantas menamakan diri sebagai keturunan Raja iblis itu. Biarpun dia masih terpilih sebagai Raja Lautan, namun sekali ini pengangkatannya sebagai Raja diawali peristiwa yang amat tidak menyenangkan, membuat Tung-hai-tiauw berhati-hati dan cepat menyusun kekuatan anak-buahnya lagi dengan mengambil anggauta-anggauta baru.
Pek Lian mengeluh ketika punggungnya diinjak oleh kala Raja Kelelawar. Kekuatan yang mendorongnya membuat tubuhnya tenggelam. Ia gelagapan, meronta dan akhirnya dapat muncul kembali dipermukaan air laut. Untung bahwa ia sudah keluar dari arus berputar yang dibawa oleh Pusaran Maut. Sekuat tenaga ia berenang menjauhi walaupun seluruh tubuh, terutama punggungnya, terasa nyeri-nyeri. Akkhirnya ia berhasil meraih sebuah papan yang cukup lebar dan yang lewat didekatnya. Agaknya papan itu adalah bekas pintu kamar perahu. Ia lalu naik dan merebahkan diri diatas papan itu, lalu dibiarkannya ombak membawa papan itu kemana saja. Ia sudah kehabisan tenaga dan ia memasrahkan dirinya kepada kekuasaan yang menggerakkan air laut luas itu. Dan iapun terlelap, setengah pingsan, tak tahu apa-apa lagi.
Fajar telah menyingsing. Matahari yang lembut sinarnya, kemerahan dan bulat besar, muncul dari permukaan air laut sebelah timur. Sudah tidak ada bekasnya lagi hujan badai semalam. Langit nampak bersih cerah, dengan awan-awan putih kebiruan menghias di!sana-sini, nampak begitu tenang tenteram penuh damai yang mengamankan hati. Tiada angin menggerakkan awan-awan tipis itu. Burung camar beterbangan diudara. Sepagi itu mereka belum sibuk mencari ikan, agaknya masih bermalas-malasan membiarkan dirinya melayang dan meluncur berkeliling diudara.
Sayap mereka hanya bergerak sekali-kali saja, dan hanya dikembangkan untuk menjaga keseimbangan tubuh ketika meluncur dilangit yang kosong. Ekornya kadang-kadang bergerak bersama kepala, agaknya untuk mengemudikan penerbangan mereka yang seenaknya itu. Kadang-kadang mereka mengangkat kepala agak tinggi dan mengeluarkan teriakan, mungkin memanggil pacarnya atau temannya. Namun gerakan tubuh yang meluncur berkeliling itu, teriakan sekali-kali yang parau itu, sama sekali tidak mengganggu keheningan yang terasa menyelimuti dunia disaat itu. Mereka bahkan menjadi sebagian dari kesunyian dan keheningan itu, dan tanpa mereka keheningan itu takkan lengkap agaknya.
Matahari pagi menciptakan sebuah lorong emas dipermukaan air laut yang tenang, sebuah lorong emas memanjang yang kadang-kadang dilintasi bayangan ikan yang tersembul dari permukaan air, nampak siripnya lalu menyelam kembali meninggalkan lingkaran-lingkaran dipermukaan air. Makin lama, lorong keemasan itu berobah semakin terang dan akhirnya terganti menjadi lorong perak yang mulai menyilaukan mata. Pada saat itu orang sudah tidak lagi berani memandang kearah matahari yang telah berobah menjadi bola perak yang bernyalanyala.
Pek Lian mengeluh, membuka matanya dan sejenak ia bingung. Akan tetapi, begitu terasa betapa punggung dan pundaknya nyeri, dan mengenal papan dimana ia rebah, ia segera teringat akan keadaannya dan iapun memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk. Laut tenang sekali sehingga papan yang ditumpanginya itu hampir tidak bergerak. Ia memandang kesekeliling. Air dan air biru yang mulai berkilau tertimpa cahaya perak matahari. Ketika menoleh kearah timur, matanya menjadi silau dan cepat-cepat ia membuang muka. Ia tidak tahu sampai dimana papan itu membawanya, dan disekitarnya yang nampak hanya air laut saja.
Perutnya terasa perih dan lapar bukan main. Ketika ia melihat sebatang dayung didekatnya, ia merasa girang bukan main dan cepat mengambilnya. Ia tidak ingat lagi kapan ia menemukan dayung ini, mungkiri semalam ketika ia naik kepapan ini, ia tidak tahu lagi. Yang penting, dayung ini akan dapat membawanya kedarat! Ia harus cepat-cepat menemukan daratan kalau ia ingin hidup karena tidak mungkin ia dapat bertahan lama diatas papan ini tanpa makan dan minum, sedangkan tubuhnya masih lelah dan nyeri semua rasanya. Ia tahu bahwa ia berada dilaut timur, maka ia tidak ragu lagi bahwa daratan tentu berada dibarat, arah sebaliknya dari matahari. Maka iapun mulai mendayung kearah yang sebaliknya dari matahari terbit, ke barat.
Punggung dan pundaknya terasa nyeri ketika mendayung, namun ia memaksa diri dan mendayung dengan gerakan tetap, tidak berani terlalu mengerahkan tenaga karena hal ini akan cepat menghabiskan tenaganya. Karena air laut amat tenang, maka papannya dapat meluncur dengan kelajuan yang cukup membesarkan hati. Akan tetapi kebesaran hatinya mulai mengecil dan harapannya makin menipis setelah matahari naik tinggi dan sinarnya menimpa ubun-ubun kepalanya, kedua lengannya sudah pegal-pegal senerti hendak patah-patah rasanya, punggung dan pundaknya kiut-miut rasanya, namun belum juga nampak adanya daratan atau pulau. Perutnya sudah terasa lapar sekali dan tubuhnya lemas. Tenggorokannya kering. Tubuh terasa setengah lumpuh dan matanya mulai berkunang-kunang.
Pek Lian mengeluh dan menghentikan gerakan tangannya yang mendayung. Ia memejamkan kedua matanya, merasa bahwa kematian agaknya tak lama lagi tentu datang menjemputnya. Dari jauh ia seperti melihat wajah ayah dan ibunya. Mereka datang hendak menjemputnya! Ayahnya nampak berpakaian serba putih, jenggotnya yang panjang dan putih itu berkibar tertiup angin dan ibunya yang telah tiada itu nampak masih muda dan cantik sekali. Mereka berdua itu mengulurkan tangan kepadanya dan iapun tidak ingat apa-apa lagi! Samar-samar dilihatnya lagi ayahnya yang berpakaian putih, bersama ibunya yang juga berpakaian serba putih. Mereka itu lewat atau lebih tepat melayang agak jauh dari tempat ia rebah. Mereka meninggalkannya.
"Ayaaahhh! Ibu!" Pek Lian mengeluh dan memanggil lalu tersadar.
Ia membuka matanya. Bayangan ayah-bundanya sudah tidak nampak lagi. Dan ia mendapatkan dirinya berada didalam sebuah kamar kecil, rebah diatas sebuah dipan. Ia terbawa oleng kekanan kiri dan telinganya dapat mendengar suara hempasan air memukul dinding kamar. Ia berada dalam sebuah bilik perahu! Ketika menoleh kekiri, ia melihat seorang gadis berpakaian serba putih duduk diatas sebuah kursi kayu, memejamkan kedua matanya, agaknya tertidur atau beristirahat. Ketika Pek Lian meneliti dirinya, ternyata pundak kirinya telah dibalut dan terasa olehnya betapa punggung dan pundaknya hangat dengan obat lumur, juga ada tercium bau obat olehnya. Sekalipun tubuhnya masih penat-penat, akan tetapi punggung dan pundaknya sudah tidak terasa nyeri lagi ketika digerakkan. Ia memandang kesekeliling memeriksa keadaan dalam bilik itu.
Diatas meja kecil terdapat bermacam-macam gelas obat, agaknya obat-obat untuknya. Akan tetapi tiba-tiba hidungnya mencium bau yang aneh. Ia menjadi waspada dan ketika ia mengenal bau harum dupa yang biasa dipakai orang untuk menyembahyangi orang mati, alisnya berkerut. Kurang ajar! Agaknya orang-orang dalam perahu ini menganggap bahwa ia sudah mati! Akan tetapi, pada saat itu timbul gagasan yang membuat dara ini hampir tertawa cekikikan. Kalau ia dianggap sudah mati, biarlah ia akan membuat mereka semua itu ketakutan! Tentu mereka itu akan ngeri melihat ia hidup kembali! Ia melirik kearah gadis yang terkantuk-kantuk diatas kursi dan tersenyum. Orang pertama yang akan melihat "mayat hidup" adalah gadis ini. Ia membayangkan betapa gadis itu akan terkejut dan ketakutan setengah mati, terkencing-kencing!
"Ehem! Ehem!!" Ia terbatuk-batuk sambil duduk menghadapi gadis itu. Benar saja. Gadis itu terbangun dari tidurnya. Akan tetapi bukan gadis itu yang terkejut ketakutan melihat mayat hidup, melainkan Pek Lian sendiri yang kecelik karena gadis itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan girang. Gadis itu lalu meloncat mendekati dan berusaha mencegahnya untuk duduk terlalu lama.
"Aihh nona sudah siuman kembali? Dan eh, harap nona jangan banyak bergerak dulu, harap suka rebah saja" Akan tetapi Pek Lian tidak mau rebah kembali. Sambil memandang tajam iapun bertanya,
"Dimana aku berada? Dan siapakah engkau?" Sebelum gadis itu menjawab, pintu bilik perahu itu terbuka dan muncullah seorang gadis cantik jelita yang berperawakan langsing. Juga gadis ini berpakaian serba putih, terbuat dari pada sutera halus. Wajah yang cantik itu tersenyum ramah kepada Pek Lian.
"Enci Lian berada diperahu kami. Lupakah enci kepadaku? Kami adalah kaum Tai-bong-pai dan enci pernah membantuku ketika aku sedang diobati oleh keluarga keturunan Tabib Sakti beberapa bulan yang lalu."
"Ahli... engkau adik Kwa Siok Eng?" Pek Lian berkata lirih, kini teringat kepada gadis remaja yang cantik itu, yang dahulu menderita sakit lumpuh dan diusung dalam keranjang pada tengah malam oleh anak-buah Tai-bong-pai, diantar oleh nyonya Kwa tokoh Tai-bong-pai, ibu dari gadis ini.
"Enci Pek Lian, aku sangat berterimakasih kepadamu atas budimu yang besar itu." Siok Eng menjura dengan hormat, kemudian mendekati pembaringan dan dengan halus ia membujuk agar Pek Lian suka rebah kembali karena gadis itu sedang berada dalam pengobatan.
"Lukamu yang berada disebelah dalam cukup gawat, enci, maka engkau perlu beristirahat dan mengalami pengobatan yang teliti."
"Terimakasih, adik Eng. Kalau tidak bertemu dengan perahumu eh, bagaimana engkau dapat menolongku dan dengan siapa saja engkau berlayar ini? Dan hendak kemana?" Siok Eng tersenyum dan nampak deretan gigi yang putih dan rata seperti rangkaian mutiara. Diam-diam Pek Lian harus mengakui bahwa dara ini juga amat cantik jelita! Hanya sayangnya, wajah yang rautnya manis ini nampak kepucatan seperti wajah orang-orang Tai-bong-pai pada umumnya. Siok Eng merasa geli mendengar hujan pertanyaan itu.
"Enci Lian, aku sedang pergi hendak mencari Ban-kwi-to "
"Ban-kwi-to?" Pek Lian bergidik, teringat bahwa Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Setan) adalah tempat tinggal orang-orang yang amat lii hai dan kejam seperti Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, kakek nenek cabul tak tahu malu yang ganas dan amat jahat itu. Siok Eng mengangguk.
"Dengan ditemani tiga belas orang dayang dan ahli-ahli perahu, aku berlayar mencari Ban-kwi-to dan kebetulan sekali aku melihat engkau rebah pingsan diatas papan itu. Aih, betapa besar rasa terimakasihku kepada Dewa Lautan yang telah mempertemukan kita sehingga aku berkesempatan untuk membalas segala budi kebaikanmu dahulu, enci Lian." Ia berhenti sebentar dan menatap wajah Pek Lian, lalu melanjutkan dengan pertanyaan,
"Akan tetapi, sungguh tak ada habisnya aku berheran bagaimana engkau tahu-tahu berada ditengah lautan, diatas sebuah papan pintu, dalam keadaan terluka dan kehabisan tenaga, enci Lian?" Pek Lian menarik napas panjang.
"Ah, agak panjang ceritanya, adik Eng. Aku tertawan oleh anak-buah Raja Lautan, hendak dijadikan korban Pusaran Maut agaknya."
"Ah, bukan main! Engkau terpilih menjadi korban Dewa Laut di Pusaran Maut? Tentu mereka itu kembali mengadakan pemilihan Raja lautan yang diadakan tiga tahun sekali, bukan? Dan bagaimana engkau dapat lolos dari bahaya maut seperti itu?"
"Terjadi keributan dengan munculnya Raja kelelawar"
"Ihhh...!" Siok Eng membelalakkan matanya yang bening.
"Benarkah Raja iblis itu muncul disana? dipulau Raja Lautan?"
"Tidak, tahu-tahu dia muncul diantara perahu-perahu, hendak menundukkan tiga Raja bajak laut. Terjadi perkelahian hebat dan perahu-perahu itu tanpa mereka sadari telah terseret oleh Pusaran Maut. Semua orang nyaris tewas dan aku sendiri akhirnya dapat menyelamatkan diri dan menumpang pada papan itu" Pek Lian tidak mau menceritakan semua pengalamannya yang mengerikan, juga memalukan. Mana mungkin ia menceritakan betapa ia ditawan Raja Kelelawar, dipanggul dan pinggulnya dielus-elus dan dicubit, kemudian betapa ia dijadikan batu loncatan oleh Raja iblis itu yang hendak menyelamatkan diri? Siok Eng menarik napas panjang.
"Ah, ternyata para dewa masih melindungimu, enci Lian! Lolos dari tangan mereka sungguh merupakan keajaiban, dan lolos dari Pusaran Maut juga merupakan suatu kemujijatan."
"Dan dalam keadaan hampir mati bertemu denganmu merupakan berkah yang luar biasa besarnya, adik Eng. Sebenarnya, orang seperti engkau ini mau apa pergi ke pulau Selaksa Setan yang menjadi sarang manusia-manusia iblis yang amat kejam itu?" Siok Eng tersenyum.
"Biarkan aku memeriksa lagi luka-lukamu, enci, nanti kuceritakan semuanya kepadamu." Dara itu lalu membuka balut pundak Pek Lian, memeriksa dan memijat sana-sini dengan jari-jari yang ahli.
engkau sekarang sudah sembuh sama sekali dari penyakitmu dahulu itu, bukan?" Dara yang usianya baru kurang lebih tujuh belas tahun itu mengangguk.
"Ya, aku sudah sembuh berkat pertolongan Lo-cianpwe Kam Song Ki"
"Apa? kau maksudkan kakek murid ketiga dari Raja Tabib, yang amat hebat ilmu ginkangnya itu?" Pek Lian berseru dan terbayanglah wajah yang tampan dari Kwee Tiong Li, ketua lembah pemimpin para patriot itu. Biarpun dia menyebut nama kakek itu, namun sesungguhnya yang terbayang olehnya adalah pemuda itu yang pergi bersama si kakek.
"Dimanakah adanya kakek itu sekarang?" Siok Eng menggeleng kepalanya.
"Entahlah, setelah dia mengobati aku, bersama muridnya dia lalu pergi meninggalkan tempat kami, entah kemana. Apakah enci mengenal mereka?" Pek Lian mengangguk tanpa menjawab. Wajah yang tertimpa sinar lampu itu nampak demikian cantiknya dan karena lampu itu terbungkus kertas warna merah sehingga sinarnya kemerahan maka kepucatan wajahnya tertutup oleh sinar itu. Dilain fihak, Siok Eng yang dipandang seperti itu oleh Pek Lian, menjadi agak heran dan malu-malu. Ia melanjutkan pengobatannya, memberi obat lumur kepundak dan punggung Pek Lian sambil bercerita.
"Engkau tadi bertanya mengapa aku pergi mencari Pulau Selaksa Setan? Sesungguhnya aku mencari tempat tinggal orang-orang beracun dari pulau itu adalah untuk mencari Hek-kui-hwa (Bunga Mawar Hitam atau Bunga Setan Hitam) yang berdaun putih. Menurut ayahku, bunga itu hanya tumbuh disana dan bunga itulah yang dapat menjadi obat untuk membantuku menyempurnakan latihan ilmu keturunan Tai-bong-pai. Dengan bantuan racun bunga itu, yang dalam hal umum mengandung racun yang mematikan dan tidak ada obat penawarnya, maka aku akan dapat menyalurkan sinkang untuk membuka jalan darah yang paling rumit dan gawat, yaitu Kim-nauw-hiat diubun-ubun kepala. Tanpa dapat menembus jalan darah itu, ilmu keturunan kami tidak akan dapat dikuasai dengan sempurna. Akan tetapi memang banyak bahayanya menyempurnakan ilmu itu sehingga ayah telah melarangku. Akan tetapi aku nekat karena ingin sekali mewarisi ilmu itu dan akibatnya engkau telah tahu sendiri. Aku menjadi lumpuh dan hampir saia mati. Melihat kenekatanku. setelah aku sembuh, ayah membuka rahasia ini, yaitu bahwa kalau aku bisa memperoleh Hek-kui-hwa dari Pulau Ban-kwi-to, maka aku akan dapat berhasil mewarisi ilmu itu. Sampai kini, hanya ayah seorang saja yang telah menguasai ilmu keturunan itu dengan sempurna."
Pek Lian mendengarkan dengan hati penuh kagum. Semuda itu, Siok Eng telah mempelajari ilmu yang sedemikian hebatnya dan semangat dara ini demikian besar sehingga berani menempuh bahaya dengan mencari pulau yang ditakuti oleh semua tokon kang-ouw itu. Mereka melakukan pelayaran sampai seminggu lamanya. Karena diobati dengan tekun dan dibantu pengerahan tenaga sinkang dari Siok Eng, maka kesehatan Pek Lian pulih kembali. Setiap kali melihat cara Siok Eng melakukan siulian, Pek Lian merasa heran sekali. Nona dari Tai-bong-pai itu kalau melakukan samadhi, selalu dikelilingi berpuluh dupa wangi yang membara sehingga asap hio itu menyelimuti seluruh tubuhnya. Akhirnya ia tidak dapat menahan diri dan bertanya tentang hal ini kepada Siok Eng.
"Biasanya orang bersamadhi sebaiknya memilih tempat dimana hawa udaranya bersih dan tenang, akan tetapi mengapa justeru engkau menggunakan begitu banyak dupa yang asapnya dapat menyesakkan pemapasan?" Siok Eng tersenyum mendengar ucapan itu.
"Enci yang baik, hio-hio yang kubakar ini adalah dupa khusus buatan kami kaum Tai-bong-pai. Setiap batang hio mengandung sari obat penguat urat-urat dan jalan darah. Siapa saja dari kami yang mulai mempelajari sinkang perguruan Tai-bong-pai akan menggunakan dupa-dupa itu sebagai landasan atau dasar dari ilmu kami yaitu Tenaga Sakti Asap Hio yang membuat badan dan keringat kami berbau harum seperti hio." Diam-diam Pek Lian bergidik. Keringat yang berbau harum seperti hio mengingatkan orang akan iblis dan siluman. Hanya iblis dan siluman sajalah agaknya yang keringatnya berbau hio. Akan tetapi tentu saja ia tidak menyatakan isi hati itu melalui mulut.
"Sudah lamakah engkau melatih ilmu rahasia khusus Tai-bong-pai?"
"Tentu saja sejak aku masih kecil. Akan tetapi ilmu-ilmu yang sukar hanya dapat dipelajari setelah dewasa." Pek Lian mengangguk-angguk dan memandang kagum.
"Hemm, engkau tentu sekarang telah menjadi lihai bukan main." Siok Eng menggeleng kepala dan berkata merendah,
"Masih belum, enci Lian. Aku masih harus dapat menembus pintu Kim-nauw-niat diubun-ubun itu, baru ada kemungkinan aku berhasil baik." Seorang dayang kepercayaan yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu dan melihat betapa nonanya selalu merendah, menjadi tidak sabar.
"Nona kami memang pandai merendah! Sebenarnya nona kami adalah nomor tiga tingkat kepandaiannya didalam perguruan kami. Nomor satu tentu saja adalah pangcu (ketua), kemudian nomor dua adalah siauwya (tuan muda) yaitu kakak dari nona kami, dan nomor tiga adalah nona Kwa Siok Eng. Toa-hujin saja kalah oleh nona!" Mendengar ini, Siok Eng hanya mendengus dan menyuruh dayangnya berhenti bicara sedangkan Pek Lian mendengar dengan hati penuh kagum.
Ia pernah melihat betapa ibu nona ini memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa lihainya. Jadi, kalau Siok Eng sudah dapat melampaui ibunya, maka sukar dibayangkan betapa hebatnya ilmu kepandaian nona remaja ini! Padahal, Siok Eng kelihatan begitu lemah lembut dan halus. Malam itu gelap. Bulan tua belum lama muncul dilangit timur, hanya memberi cahaya yang remang-remang. Akan tetapi banyak bintang bermunculan diangkasa. Setiap kali angkasa tiada bidan atau yang ada hanya bulan sepotong yang remang-remang, pasti bintang-bintang bermunculan. Dua orang gadis itu berada diatas geladak perahu dan melihat-lihat bintang yang memang nampak cemerlang indah seperti ratna mutu manikam yang menghias langit-langit beludru hitam kebiruan yang lembut dan maha luas.
"Dimanakah adanya Pulau Selaksa Setan itu, Eng-moi? Apakah masih jauh dari sini?" tanya Pek Lian. Ia sendiri merasa heran mengapa ia kini betah tinggal disebuah perahu. Pelayaran ini terasa indah dan menyenangkan baginya, mungkin hal ini karena baru saja ia mengalami pelayaran yang penuh bahaya dan sama sekali tidak menyenangkan hatinya. Kini ia merasa begitu aman tenteram dan penuh damai diperahu milik Tai-bong-pai itu. Apa lagi disitu terdapat Siok Eng yang amat ramah dan halus budi.
"Entahlah, enci Lian. Kami sendiri belum pernah melihatnya. Akan tetapi aku telah mempelajari keadaan pulau itu dari keterangan yang dapat kukumpulkan. Menurut penyelidikanku itu, Pulau Selaksa Setan tidak nampak dari jauh karena selalu diliputi kabut tebal sehingga sukarlah ditemukan dan orang luar tidak dapat melihat keada-annya. Mungkin sekali kabut itu tercipta dari hawa beracun yang memenuhi pulau itu. Kabarnya, semua benda, binatang, tumbuh-tumbuhan dan apa saja yang berada disana mengandung racun. Juga kabarnya, menurut para nelayan yang pernah melihatnya, pulau itu dapat berpindah-pindah, mengikuti arus air laut."
"Ih, kenapa bisa begitu?" Pek Lian bertanya heran mendengar ada pulau yang bisa pindah-pindah.
"Itulah sebabnya maka pulau itu dinamakan Pulau Selaksa Setan," kata Siok Eng sambil tersenyum.
"Bukan hanya karena beracun, melainkan juga karena dapat berpindah-pindah seolah-olah ada setan-setan yang mendorong pulau itu pindah tempat."
"Tapi... tapi, mana mungkin dongeng tahyul seperti itu dapat terjadi sungguh-sungguh?"
"Aku sendiri tidak percaya ada setan mendorong-dorong pulau, enci Lian. Akan tetapi, andaikata benar terjadi pulau itu pindah-pindah tempat, ada kemungkinannya. Mungkin saja tanah dari pulau itu dibagian bawahnya tidak menjadi satu dengan dasar laut, hanya menempel saja. Dengan demikian, apabila ada terjadi arus yang kuat, bukan tak boleh jadi pulau itu tergeser dari tempatnya. Bukankah kemungkinan itu besar dan masuk akal, enci Lian?" Pek Lian memandang kagum.
"Adik Eng, engkau sungguh membuat hatiku kagum. Engkau pandai dan cerdik, lihai ilmu silatmu dan cantik jelita lagi. Alangkah bahagianya pemuda yang dapat menyuntingmu kelak. Dan aku yakin sebentar lagi ilmumu akan melebihi ayahmu."
"Aihh, cici pandai benar memuji orang! Siapa pula sudi mengawini gadis yang pernah lumpuh sepertiku ini?" Siok Eng berkata dengan muka kemerahan. Akan tetapi disudut hatinya ia bergembira sekali. Terbayang dimatanya wajah seorang pemuda yang jangkung dan tampan sekali, pemuda yang pernah menyelamatkannya, bahkan yang hampir saja mengorbankan nyawanya sendiri demi penyakit lumpuh yang dideritanya. Pemuda itu mengobati dirinya yang waktu itu dalam keadaan telanjang bulat. Seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa, dan berbudi. Bu Seng Kun! Hatinya ingin sekali bertemu dengan pemuda itu, untuk menyatakan rasa terimakasihnya. Akan tetapi, apabila ia teringat bahwa ia pernah bertelanjang didepan pemuda itu, ia merasa malu sekali dan sukar untuk membayangkan bagaimana ia akan dapat berhadapan muka dengan pemuda itu.
"Heii, itu disana ada ikan besar terapung! Tukang dayung! Tangkaplah ikan itu, kita adakan pesta besar malam ini!" Tiba-tiba terdengar seruan seorang dayang yang menudingkan telunjuknya kesebelah kanan perahu mereka. Sibuklah anak-buah perahu itu menangkap ikan yang besarnya seperti manusia dewasa itu. Ikan meronta-ronta dalam jala. Dua orang gadis itu cepat mendekati dan memeriksa ikan yang dari jauh nampak kebiruan itu. Dan memang benar. Ikan itu segala-galanya berwarna biru. Sisiknya, matanya, dagingnya dan segalanya.
"Awas, lepaskan dia! Ikan itu beracun!" kata Siok Eng dan mereka lalu, melepaskan kembali ikan itu yang segera menyelam kedalam air.
"Ah, kita sudah dekat dengan daerah Ban-kwi-to! Agaknya tidak sia-sia jerih payah kita berlayar sekian lamanya. Ikan itu menurut keterangan adalah satu diantara penghuni perairan disekitar pulau. Kulihat tadi dia terluka dibagian kepalanya, maka tersesat kesini." Siok Eng lalu memanggil seorang pembantunya yang ahli dalam memeriksa arus gelombang. Kakek setengah tua yang juga menjadi kepala bagian pendayung itu mengadakan pemeriksaan dengan teliti. Dia lalu menunjukkan arah arus air yang menuju kekiri. Sementara itu, bulan tua sudah naik semakin tinggi. Perahu mereka terus dilajukan kearah kiri dan semua orang bersikap tegang namun waspada karena nona mereka sudah mengatakan bahwa mereka telah berada dekat dengan tempat yang mereka cari.
"Nona, lihatlah! Air laut ini warnanya kemerahan seperti darah!" kata seorang dayang.
"Dan baunya busuk sekali!" kata Pek Lian yang juga berada ditepi geladak perahu bersama Siok Eng. Siok Eng juga meneliti kearah air dan cuping hidungnya yang tipis itu berkembang-kempis. Tiba-tiba ia berkata, suaranya mengandung ketegangan dan kegembiraan,
"Hati-hati, agaknya daerah ini sudah termasuk perairan Ban-kwi-to. Air laut disini sudah beracun. Tutup hidung kalian dengan saputangan, udaranya juga mengan dung racun. Nanti kuberi obat penawar." Setelah nona itu mengeluarkan obat penawar berupa pel-pel putih kecil yang dibagi-bagikan kepada anak-buahnya, juga Pek Lian disuruh menelan sebutir, mereka tidak perlu lagi melindungi pernapasan dengan saputangan.
Akan tetapi karena bau air laut amat busuk, para dayang itu berbangkis-bangkis dan ada yang mau muntah. Pek Lian bergidik ngeri. Sukar untuk dapat membayangkan bagaimana ada manusia dapat hidup ditempat seperti ini. Dan iapun semakin kagum kepada Siok Eng. Ia tahu bahwa kaum Tai-bong-pai adalah ahli-ahli racun, akan tetapi melihat seorang dara remaja seperti Siok Eng bersikap sedemikian tenangnya menghadapi tempat yang amat berbahaya itu, ia merasa kagum sekali. hatinya terasa besar dan gembira untuk menghadapi petualangan bersama seorang kawan seperti puteri ketua Tai-bong-pai ini. Makin dalam mereka memasuki daerah itu, makin keras bau busuk dari air laut merah. Akan tetapi tiba-tiba saja mereka telah melewati air berbau busuk itu, akan tetapi sebagai gantinya, airnya kini berobah kehijauan dan baunya juga amat kecut, seperti bau keringat yang sudah lama.
"Ihh, seperti bau keringatmu, A-cin!' seorang dayang berolok kepada temannya.
"Sialan! Keringatku tidak bau seperti ini, A-cui. Keringat seperti ini hanya patut dimiliki oleh laki-laki!"
"Hi-hik, ketahuan sekarang! Si A-cin agaknya sudah hafal akan bau keringat laki-laki!" seorang dayang lain menggoda.
"Tentu keringat pacarnya seperti ini baunya. Wahhhh...!"
"Lancang mulut! Kalau keringat pacarku seperti ini baunya, dalam waktu sehari saja mana aku kuat?" kata pula A-cin dan semua dayang tertawa. Pek Lian ikut tersenyum. Para dayang itu agaknya, sebagai orang-orang Tai-bong-pai, juga memiliki nyali yang besar sehingga ditempat seperti itu masih sempat berkelakar. Memang bau air laut amat kecut, mirip bau keringat.
"Hei, kalian tenanglah!" tiba-tiba Siok Eng berkata.
"Dan simpan kelakar kalian itu. Ketahuilah, kita sudah dekat! Ayah pernah bercerita bahwa air laut yang merah berbau busuk itu merupakan perbatasan, dan kalau sudah tiba didaerah air laut kehijauan yang berbau masam, itu tandanya bahwa pulau itu akan kelihatan. Kita perhatikan saja, menurut ayah air laut akan berobah lagi kebiruan dan bau kecut itu akan terganti bau wangi dan pulau itu tentu akan kelihatan didepan kita."
Semua orang termasuk Pek Lian, kini dengan serius memperhatikan keadaan sekeliling. Dan memang benar seperti yang dikatakan oleh Siok Eng tadi, air laut makin lama makin berobah warna menjadi kebiruan dan bau yang masam tadi mulai berobah dengan bau yang wangi, wangi yang aneh seperti sari seribu bunga bercampur bau manis. Dan perlahan-lahan, diantara kabut yang masih remang-remang, nampaklah garis-garis daratan pulau. Tentu saja semua orang memandang dengan hati penuh ketegangan karena mereka semua tahu bahwa sebentar lagi mereka akan tiba ditempat yang penuh bahaya. Pulau Selaksa Setan terkenal sebagai pulau terlarang bagi orang luar dan kabarnya, siapapun juga tidak berani masuk karena siapa yang masuk tentu tidak akan dapat keluar kembali dalam keadaan hidup-hidup!
Anak-buah Tai-bong-pai memang pemberani, apa lagi mereka itu mengiringkan nona mereka yang mereka percaya penuh sebagai orang yang memiliki kepandaian luar biasa tingginya. Memang Siok Eng amat mengagumkan. Biarpun usianya baru tujuh belas tahun, masih remaja, namun sikapnya sudah dewasa. Ia bersikap tenang dan berwibawa sebagai seorang yang bertingkat tinggi. Dengan hati-hati ia membagi-bagikan pel pencegah keracunan kepada semua orang, termasuk Pek Lian. Ada pel anti hawa beracun, pel anti tanaman beracun, berikut minyak pelumurnya untuk mengobati luka-luka yang terkena racun. Iapun memimpin pendaratan perahu mereka, memilih tempat yang agak menonjol kedepan yang ditumbuhi pohon-pohon rindang sehingga ketika mereka mendarat, mereka terlindung oleh pohon-pohon itu.
Waktu itu, tengah malam telah lewat. Bulan tua itu tidak mampu menembusi daun-daun pohon yang rimbun sehingga tempat itu nampak gelap, sunyi dan menakutkan. Didalam kesunyian itu seperti terasa oleh mereka adanya ancaman maut yang mengintai dari tempat-tempat gelap. Diam-diam Pek Lian sendiri bergidik. Ia adalah seorang gadis gemblengan yang semenjak ayahnya ditawan telah mengalami banyak hal-hal yang mengerikan dan membuat hatinya mengeras dan tabah. Akan tetapi, berada dipulau aneh ini, yang namanya saja Pulau Selaksa Setan dan penghuninya adalah iblis-iblis macam kakek dan nenek bergerobak itu, mau tidak mau hatinya gentar juga. Namun ia melihat betapa Siok Eng masih kelihatan tenang-tenang saja. Dengan tenang dan penuh wibawa Siok Eng berkata kepada para anak-buahnya,
"Kalian semua tidak boleh turun dari perahu. Siap dan waspadalah karena tempat ini benar-benar berbahaya. Sama sekali tidak boleh memegang benda-benda atau mahluk hidup ditempat ini karena semua itu mengandung racun yang ganas. Air itu, rumput itu semua mengandung racun. Kalian sudah memakai obat penawar, akan tetapi, kalau kalian memegang apa lagi memakannya, belum tentu obat penawar itu akan dapat melindungi kalian. Makan dan minum saja dari perbekalan sendiri. Tunggu disini sampai tiga hari. Kalau sampai tiga hari tiga malam aku belum kembali, kalian pulanglah dan beri laporan kepada ayah. Nah, aku pergi. Hayo, Lian-ci!"
Kecut juga rasa hati Pek Lian ketika ia digandeng oleh Siok Eng meninggalkan perahu dimana semua anak-buah Tai-bong-pai menanti itu. biarpun pada waktu lain atau dalam keadaan umum, berada bersama orang-orang Tai-bong-pai yang berbau dupa dan pucat-pucat itu sudah merupakan hal yang menyeramkan, namun kalau dibandingkan dengan memasuki pulau setan itu, sungguh jauh lebih senang tinggal bersama mereka! Akan tetapi, melihat ketabahan Siok Eng, Pek Lian lalu menekan perasaannya. Masa ia harus kalah berani dibandingkan dengan dara remaja ini?
"Mari, adik Eng, dan berhati-hatilah," katanya dengan sikap dewasa.
"Kau pergunakan ini, enci. Lumurilah semua muka leher dan kedua tanganmu agar kulit-kulitmu terlindung dari serangan racun," kata Siok Eng sambil menyerahkan sebuah poci kecil dimana tersimpan minyak membeku yang berwarna kuning dan berbau harum. Pek Lian lalu memakai minyak itu, dioleskan pada seluruh muka, telinga, leher dan kedua tangannya, pendeknya semua bagian tubuh yang tidak terlindung pakaian.
Siok Eng agaknya sudah sejak tadi memakainya dan dara ini membantu Pek Lian sampai pemakaian obat penawar itu rata benar. Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan dimalam remang-remang itu. Biarpun mereka berdua sama-sama belum pernah datang ke pulau ini, namun karena Siok Eng sudah banyak mencari keterangan dan mempelajari keadaan pulau ini, maka dara remaja inilah yang memimpin perjalanan. Mereka menyelinap dan menyusup diantara pohon-pohon menuju ketengah pulau. Tak lama kemudian Siok Eng menunjuk kedepan karena sejak tadi mereka tidak mau mengeluarkan suara dan hanya memakai gerak tangan untuk saling memberi tahu. Pek Lian juga sudah melihat adanya lampu-lampu dikejauhan. Mereka berdua mulai merasa tegang. Itulah sarang penghuni Ban-kwi-to yang amat terkenal itu.
Dengan amat hati-hati keduanya menyelinap diantara pohon-pohon, hanya melanjutkan gerakan setelah meneliti lebih dulu dan merasa yakin bahwa tidak ada manusia lain disekitar tempat itu. Tiba-tiba Siok Eng mengangkat tangan menyuruh kawannya berhenti. Mereka berdua bersembunyi dibalik sebatang pohon besar, pohon terakhir karena ternyata mereka tiba ditempat yang terbuka, tanah kosong yang tidak ditumbuhi pohon, bahkan tidak ditumbuhi rumput. Yang ada pada tanah kosong itu hanyalah kerikil dan batu-batuan berserakan, seperti dasar sebatang sungai yang sudah tidak ada airnya dan kering. Ditimpa sinar bulan tua dan bintang-bintang, batu-batu di. tempat itu berwarna kehijauan, padahal tidak terdapat lumut atau rumput disitu. Dan seolah-olah ada uap tipis kehijauan yang melayang dari tempat itu.
"Awas, Lian-ci. Inilah daerah dari cengyakang atau Si Kelabang Hijau itu, orang yang kelima dari Ban-kwi-to, dimana terdapat tujuh orang tokohnya. Batu-batuan didepan itu adalah tempat dimana dia memelihara kelabang-kelabangnya," bisik Siok Eng kepada Pek Lian yang mau tidak mau bergidik ngeri membayangkan kelabang-kelabang beracun. Baru kelabangnya saja ia sudah merasa jijik dan ngeri, apa lagi kalau yang beracun.
"Lalu bagaimana kita harus melalui tempat ini? Lihat, diseberang sudah nampak genteng-genteng rumah mereka," bisiknya kembali sambil memandang kearah batu-batuan itu dengan alis berkerut.
"Enci Lian, lihat baik-baik. kau lihat batu-batu disebelah kanan itu? Lihat batu-batu besar yang bagian atasnya lebih mengkilap terkena sinar bulan dan yang menonjol diantara batu-batu lain? Batu-batu itu tentu biasa diinjak orang. hayo kita lewat disana, tidak perlu kuatir akan jebakan." Pek Lian menelan ludah dan mengangguk, tidak berani menjawab karena khawatir kalau-kalau suaranya akan membayangkan rasa ngerinya. Siok Eng menekan tangannya lalu dara remaja itu melangkah dengan hati-hati, mengerahkan ginkangnya dan Pek Lian mengikuti dibelakangnya, mempergunakan jejak kaki kawannya sehingga ia tidak akan menginjak tempat lain yang mungkin mengandung jebakan.
Dengan ringan Siok Eng lalu meloncat dari batu kebatu, memilih batu-batu yang puncaknya mengkilap, terus dibayangi oleh Pek Lian. Ditengah-tengah tempat itu, Pek Lian melihat sinar-sinar hijau merayap diantara batu-batu dan ia bergidik. Tentu itulah kelabang-kelabang yang dimaksudkan oleh Siok Eng! Kalau sampai terpeleset dan jatuh lalu dikeroyok kelabang beracun! Hihh! Sungguh menyeramkan bayangan itu dan Pek Lian cepat-cepat mengum-pulkan kekuatan batinnya untuk melawan rasa takutnya. Akhirnya Pek Lian mendaratkan kakinya diseberang dengan hati lega. Mereka telah berhasil melewati daerah kelabang itu. Melihat sebuah kebun sayur dimana terdapat tanaman sayur kobis yang cukup subur dan sama sekali tidak memperlihatkan tanda-tanda bahaya adanya racun, Pek Lian menghampirinya. Akan tetapi Siok Eng memegang lengannya.
"Sstt, hati-hati, enci Lian. Lihat semut-semut itu!" Pek Lian terkejut dan menahan langkahnya. Ia melihat betapa kobis-kobis yang kelihatan segar itu penuh dengan semut-semut merah.
"Semut-semut apakah itu?" tanyanya gagap.
"Semut-semut ini beracun. Binatang-binatang ini dipelihara untuk memberi makan kepada kelabang-kelabang tadi. Dan kebun ini bukan kebun kobis seperti yang biasa kita makan, akan tetapi sejenis tumbuh-tumbuhan yang mengandung inti racun hijau!" Pek Lian memandang dengan mata terbelalak kepada kobis-kobis itu dan meleletkan lidahnya. Kini, kobis-kobis yang tadinya nampak menggiurkan dan segar itu seolah-olah berobah menjadi pemandangan yang menyeramkan, seolah-olah tadi ia melihat wajah bidadari yang tiba-tiba saja berubah menjadi wajah iblis. Siok Eng menunjuk kekiri.
"Rumpun-rumpun bambu itulah yang merupakan daerah aman dan bebas dari racun, begitu menurut keterangan ayah yang pernah satu kali datang kesini. Nah, kita mengambil jalan melalui kebun bambu hijau itu." Mereka berdua dengan hati-hati menyelinap diantara rumpun bambu menuju kesebuah bangunan yang berada ditengah-tengah rumpun bambu itu. Mereka menyelinap kesamping bangunan dan melihat adanya pintu yang terbuka.
Dari pintu itu keluar bau bacin yang menyerang hidung mereka dan membuat mereka hampir muntah-muntah. Siok Eng mengeluarkan dua helai saputangan merah dan menyerahkan sebuah kepada kawannya untuk menutupi hidung. Ketika Pek Lian menggunakan saputangan merah itu didepan hidungnya, tercium olehnya bau harum yang keras dan segera bau bacin itupun lenyap atau kalah oleh bau harum. Dengan isyarat tangannya, Siok Eng mengajak kawannya masuk karena dari luar nampak jelas betapa pondok yang pintunya terbuka itu kosong tidak ada orangnya. Mereka melihat sebuah panci yang penuh dengan air kehijau-hijauan mendidih diatas tungku api dan uap air mendidih inilah yang menyebarkan bau bacin tadi. Didalam almari tak jauh dari situ nampak banyak sekali botol-botol besar kecil.
Dan didalam sebuah keranjang sampah disudut nampak bangkai-bangkai kelabang seonggok, kelabang-kelabang besar yang warnanya sudah menjadi keputih-putihan dan mudah saja diduga bahwa tentu sari kelabang-kelabang itu sudah menjadi air kehijauan yang dibuat mendidih diatas tungku api itu. Diatas sebuah meja besar terdapat sebuah guci yang terukir indah. Iseng-iseng Pek Lian membuka tutupnya dan hampir saja ia menjerit karena jijik. Didalam guci itu terdapat kelabang-kelabang yang besar, nampak berkilauan kulitnya tertimpa sinar lampu gantung. Uap yang keluar dari dalam guci itu menyambar hidungnya, membuat Pek Lian hampir tak dapat bernapas.
"Cepat telan pel ini, kelabang-kelabang itu amat berbisa!" kata Siak Eng yang melihat keadaan Pek Lian. Gadis ini menurut dan cepat menelan sebutir pel kecil dan dadanya terasa lega kembali. Ia bergidik. Sungguh berbahaya sekali. Baru hawa atau uapnya saja sudah demikian berbahaya, apa lagi sengatannya! Siok Eng mengajak mereka keluar dengan cepat dari tempat itu. Dengan berindap keduanya menuju kegedung induk. Tempat itu kelihatan sepi sekali seolah-olah tidak ada penghuninya sama sekali. Namun mereka berdua tidak pernah mengurangi kewaspadaan. Tak mungkin disitu tidak ada orang, karena buktinya terdapat lampu-lampu yang tentu dinyalakan dan dipasang orang. Mungkin para penghuninya sedang tidur.
"Heh-heh-heh-heh!" Pek Lian terperanjat seperti disengat kelabang hijau. Suara ketawa kecil itu keluar dari sebuah kamar dibangunan sebelah kiri. Dua orang dara itu cepat menyelinap keluar dan menyusup kebalik rumpun barnjbu dengan hati berdebar tegang. kiranya suara ketawa itu keluar dari sebuah jendela yang kini terbuka lebar. Sinar terang dari lampu didalam kamar itu menyinari halaman. Siok Eng menyentuh tangan kawannya dan mengajaknya berindap mendekati jendela, bersembunyi diantara daun-daun bambu yang tumbuh diluar jendela, mengintai kedalam dengan hati-hati sekali.
Mereka melihat ada dua orang pria duduk saling berhadapan, menghadapi meja sambil bercakap-cakap. Pria yang berkepala gundul dan tubuhnya gemuk pendek berperut gendut duduk menghadap kearah jendela sedangkan orang yang diajaknya bicara adalah seorang pria yang agaknya masih muda. Kamar itu cukup indah dengan lampu gantung yang mewah dan kain-kain sutera bergan-tungan. Si gendut pendek itu tersenyum lebar, nampaknya amat ramah kepada tamunya, pemuda itu. Siok Eng mendekatkan bibirnya ketelinga kanan Pek Lian, lalu berbisik lirih sekali sehingga Pek Lian yang telinganya demikian dekat dengan mulutnyapun harus mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk dapat menangkap apa yang dikatakan temannya.
"Kalau tidak salah si gundul itu adalah cengyakang Si Kelabang Hijau. Awas kalau berhadapan dengan dia. Orang itu licik dan kejam bukan main, suka menyiksa musuhnya sambil berkelakar. Anehnya, apa yang dilakukannya lewat tengah malam mengobrol dengan tamunya?" Diam-diam Pek Lian terkejut mendengar bahwa si gendut itu adalah Si Kelabang Hijau yang disohorkan sebagai tokoh Ban-kwi-to. Mereka berdua menahan napas dan mengintai. Makin dilihat, makin heranlah hati mereka karena sikap si gendut itu sungguh teramat manis, bahkan terasa oleh mereka betapa sikap itu berlebihan manisnya, mendekati rayuan!
"Kongcu, ditempat ini engkau tidak perlu khawatir. Tidak akan ada seorangpun setan yang berani mengganggumu selama aku berada didekatmu. Dan apapun yang engkau kehendaki, tentu akan dapat kuadakan. Maka senangkanlah hatimu tinggal disini, kongcu"
"Terimakasih, Lo-cianpwe. Aku hanya ingin meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuanku saja," jawab pemuda itu dan dari suaranya, dua orang gadis itu dapat menduga bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan dan juga bukan orang kasar, bahkan kata-katanya teratur dan halus seperti ucapan seorang terpelajar. Maka, tentu saja mereka berdua menjadi semakin tertarik dan heran. Atas bujukan si gendut, mereka berdua itu lalu makan-minum dengan gembira dan dua orang dara itu menjadi bingung melihat betapa kakek gendut itu makin lama makin gila omongannya.
"Kongcu, selama ini banyak sudah kutemui pemuda-pemuda yang gagah dan tampan, akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan seorang ganteng seperti engkau. ha-ha-ha, betapa senang hatiku dapat berkenalan denganmu!" Sambil berkata demikian, kakek itu mengajak si pemuda untuk minum lagi arak wangi dari cawan mereka.
"Aku sudah cukup banyak minum arak, Lo-cianpwe," pemuda itu agaknya segan juga untuk menolak.
"Ha-ha-ha, makin banyak minum, makin kemerahan pipimu, kongcu. ha-ha, sungguh segar dan tampan sekali engkau!" Kakek gendut itu mengulur tangannya, mula-mula tangan itu memegang tangan si pemuda untuk dibelainya, akan tetapi tangan itu terus merayap keatas, mengelus dagu!
"Ah, jangan begitulah, Lo-cianpwe," pemuda itu nampak bingung seperti kehilangan akal menghadapi tingkah kakek yang makin genit itu. Pek Lian dan Siok Eng saling pandang dengan mata terbelalak dan wajah mereka berobah merah karena jengah dan malu. Namun merekapun ingin sekali tahu karena mereka tidak mengerti mengapa ada seorang kakek begitu genit merayu dan membelai seorang pemuda! Akan tetapi, kakek gendut itu agaknya sudah terlalu banyak minum arak dan sudah setengah mabok karena penolakan pemuda itu bahkan membuat dia merayu semakin panas!
"Kongcu, aku sungguh kagum dan tergila-gila kepadamu. Aku akan menurunkan semua ilmuku kepadamu, akan tetapi, jangan kecewakan hatiku, kau harus menjadi kekasihku!"
Wajah dua orang dara itu menjadi semakin merah, akan tetapi hati merekapun diliputi keheranan besar mendengar seorang kakek hendak menjadikan seorang pemuda kekasihnya! Apakah kakek itu sudah gila ataukah memang pulau itu menjadi tempat orang-orang yang miring otaknya? Dua orang dara itu tidak tahu bahwa memang kakek cengyakang atau Si Kelabang Hijau ini memiliki sifat yang lain dari pada pria-pria biasa. Dia tidak suka atau tidak tertarik oleh kecantikan wanita, akan tetapi sejak muda dia suka bercinta dengan pria! Jasmaninya adalah pria, akan tetapi watak dan sifatnya cenderung kepada sifat dan watak wanita. Memang banyak terdapat orang-orang seperti Si Kelabang Hijau ini. Alam telah memberi keadaan yang bertentangan antara badan dan batin mereka dan mereka ini adalah orang-orang yang patut dikasihani.
Naga Beracun Eps 23 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 16 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 27