Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 16


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




   Tiba-tiba setelah berpusingan di sekeliling tubuh lawan dan membuat pemuda remaja itu pening, Cun Giok mengeluarkan bentakan nyaring melengking diikuti seruan Li Hong karena tiba-tiba pedangnya yang melekat pada pedang lawan terbetot dan sikunya tertotok tangan kiri Cun Giok sehingga mau tidak mau ia terpaksa melepaskan pedangnya yang terampas lawan! Cun Giok melompat ke belakang dan ketika mereka berdiri berhadapan, Li Hong melihat pemuda lawannya itu memegang pedangnya dengan tangan kiri, akan tetapi baju di bagian dada lawannya itu terobek melintang cukup panjang.

   "Maafkan aku, sobat, terpaksa aku merampas pedangmu, akan tetapi aku mengaku kalah karena engkau telah berhasil merobek bajuku. Kalau engkau jahat, tentu kulit dadaku yang terobek. Aku mengaku kalah dan mari, terimalah kantung uang ini karena engkau yang menang."

   Cun Giok melemparkan pedang Ban-tok-kiam dan kantung uang kepada Li Hong yang diterimanya dengan sikap masih tertegun heran. Li Hong tidak merasa telah merobek baju lawan! Akan tetapi karena kenyataannya baju itu robek, maka ia menerima kemenangan yang diakui oleh lawannya itu.

   "Huh, aku pun tidak ingin merampok uangmu! Ilmu pedangmu hebat dan aku tidak pernah merasa menang, maka sudah sepatutnya kalau kita bagi saja isi kantung ini seorang separuh. Engkau yang membaginya!" Berkata demikian, Li Hong melemparkan kantung itu kepada Cun Giok dan diterima oleh pemuda itu.

   Sementara itu, malam telah bergulir ke menjelang pagi dan matahari yang belum tampak sudah mengirim sinarnya yang mulai mengusir kegelapan malam.

   Cun Giok setelah menyimpan pedangnya dan menerima kantung uang itu, lalu mengambil tempat duduk di atas sebongkah batu.

   "Silakan duduk, sobat, kita membagi uang ini sambil bercakap-cakap," katanya.

   Li Hong tidak menjawab, akan tetapi ia lalu duduk di atas sebuah batu sejauh dua tombak dari Cun Giok. Ia mulai memperhatikan pemuda itu dan diterangi sinar matahari yang kuning keemasan, ia dapat melihat jelas wajah pemuda itu. Ia mengamatinya baik-baik selagi Cun Giok mengeluarkan uang dari kantung dan mulai membagi dua.

   Seorang pemuda yang berwajah tampan dan sinar matanya lembut, mulutnya yang selalu mengembangkan senyum itu membuat wajah itu tampak sabar dan penuh pengertian. Sikapnya lembut namun menyembunyikan kegagahan. Pemuda yang usianya sekitar duapuluh dua tahun itu berpakaian sederhana dan tampaknya lembut, namun Li Hong maklum benar betapa lihainya pemuda yang bernama Pouw Cun Giok itu.

   Diam-diam ia merasa kagum bukan main, karena selama hidupnya baru sekali ini ia bertemu dengan seorang pemuda yang sikapnya demikian sederhana, sama sekali tidak menyombongkan kepandaiannya. Selama ini ia hanya melihat pemuda-pemuda yang merasa diri pintar sendiri, gagah sendiri, kaya sendiri. Mereka itu biasanya menyombongkan kepandaiannya atau kegagahannya, atau juga menyombongkan kekayaannya atau kedudukan ayahnya. Akan tetapi pemuda yang mengaku bernama Pouw Cun Giok ini, yang memiliki tingkat kepandaian di atas tingkatnya sendiri, sama sekali tidak menyombongkan kepandaiannya, bahkan tadi dia sengaja mengalah sampai dua kali. Li Hong menyadari benar bahwa kalau pemuda itu menghendaki, ia pasti akan dapat dikalahkannya, baik dalam adu silat tangan kosong maupun silat pedang.

   "Nah, ini bagianmu, sobat," kata Cun Giok setelah membagi rata uang dalam kantung menjadi dua tumpukan.

   "Engkau boleh menggunakan kantung ini." Dia melemparkan kantung kosong itu kepada Li Hong.

   Li Hong menerima kantung kosong itu, lalu bangkit berdiri dan menghampiri tumpukan uang di depan Cun Giok. Tanpa bicara ia lalu memasukkan...... semua uang itu, yang dua tumpuk itu, ke dalam kantung!

   Cun Giok memandang dengan mata terbelalak heran, akan tetapi mulutnya tetap tersenyum karena dia menganggap pemuda remaja itu bertindak aneh dan juga lucu. Apalagi maunya sekarang, pikirnya sambil melihat betapa uang itu akhirnya kembali ke dalam kantung. Akhirnya karena ingin sekali tahu apa kehendak pemuda remaja yang aneh itu, Cun Giok bertanya.

   "Sobat, mengapa engkau memasukkan semua uang kembali ke dalam kantung? Apakah engkau ingin memiliki semuanya?"

   "Tidak! Semua isi kantung ini terlampau banyak bagiku!"

   "Kalau begitu, ambil saja separuhnya."

   "Separuh juga masih terlalu banyak bagiku, bahkan sepersepuluh masih terlalu banyak. Aku hanya butuh sedikit untuk bekal perjalanan. Uang sekian banyaknya hanya cocok untuk seorang pemuda yang suka menghambur-hamburkan uang, royal-royalan. Apakah engkau ingin memilikinya semua untuk dihambur-hamburkan mencari kesenangan?"

   Cun Giok menggelengkan kepaianya.

   "Tidak, aku sama dengan engkau, sobat. Aku hanya butuh sedikit karena uang bekalku habis, aku butuh untuk membeli makan dan untuk membayar penginapan."

   "Hem, kalau begitu, mengapa engkau mengambil uang begini banyak? Jangan mencoba untuk membohongiku!"

   "Aku tidak berbohong. Biasanya kalau kehabisan bekal, aku memang mengambil uang dari para pembesar jahat dan korup atau hartawan pemeras yang pelit, agak banyak yang kuambil dan sebagian besar kubagi-bagikan kepada rakyat miskin yang membutuhkannya."

   "Dibagi-bagikan? Bukankah dengan demikian akan ketahuan dan mereka yang menerima bagian dapat dituduh penadah dan dituntut?"

   "Tidak, aku membagi-bagikan dengan cara melempar uang ke dalam rumah penduduk miskin di waktu malam sehingga tidak ada yang mengetahuinya, bahkan pemilik rumah juga tidak tahu."

   "Wah, menarik itu! Pouw Cun Giok, mari kita lakukan pembagian uang itu bersama. Ingin aku melihat dan meniru perbuatanmu itu!"

   Cun Giok mengerutkan alisnya.

   "Aku biasa melakukannya di waktu malam."

   "Hemm, apa salahnya dilakukan di waktu siang? Kalau kita melemparkan uang dengan cepat, siapa akan melihatnya? Pula, kalau siang kita tidak akan salah pilih, kita dapat mengetahui jelas keadaan rumah tangga orang itu. Hayolah, kita mulai dari dusun terdepan."

   "Nanti dulu, sobat. Engkau sudah mengetahui namaku, akan tetapi aku belum tahu siapa engkau? Kalau kita mau bekerja sama dan menjadi sahabat, sudah sepatutnya aku mengetahui namamu, bukan?"

   "Huh, kukira engkau tidak peduli akan namaku! Engkau mau tahu? Namaku Tan Li Hong, aku juga pemuda perantau seperti engkau. Orang tuaku tinggal jauh dari sini. Nah cukupkah?"

   Cun Giok menggelengkan kepalanya.

   "Belum cukup. Engkau adalah seorang pemuda remaja biarpun kepandaianmu sudah amat tinggi, maka tidak pantas kalau setelah menjadi sahabatku engkau menyebut namaku begitu saja. Aku akan menyebutmu Hong-te (Adik laki-laki Hong) dan sudah sepatutnya pula engkau yang baru belasan tahun ini menyebut aku twako (kakak laki-laki)."

   Sebetulnya Cun Giok tidak ingin sekali disebut twako, akan tetapi dia hendak mengajarkan sopan santun kepada pemuda remaja liar ini. Dia merasa sayang bahwa seorang pemuda yang memiliki ilmu silat sedemikian tingginya berwatak liar dan ugal-ugalan, juga tidak tahu sopan santun.

   Mendengar ucapan Cun Giok, Li Hong tersenyum dan Cun Giok tertegun. Bukan main tampan dan manisnya pemuda itu kalau tersenyum. Kalau saja pemuda itu lebih banyak tersenyum daripada cemberut dan marah-marah, tentu semua orang akan tertarik dan senang bergaul dengannya.

   "Baiklah, Twako. Asalkan engkau setelah kusebut kakak tidak lantas main perintah kepadaku."

   Cun Giok tidak bertanya lebih jauh tentang diri sahabat barunya itu. Orang yang wataknya aneh itu kalau banyak ditanya, mungkin saja akan menjadi curiga dan marah. Mereka lalu berjalan menuju ke sebuah dusun yang sudah tampak dari situ. Li Hong membawa kantung uang itu setelah memasukkan lagi setengah bagian isi kantung ke dalam kantung kembali.

   Uang dalam kantung itu mereka bagi-bagikan tanpa yang diberi mengetahui. Mereka menggunakan kepandaian mereka, melempar uang tanpa diketahui orang ke atas meja dalam rumah penduduk yang miskin. Mereka melanjutkan perjalanan dan melakukan hal sama di dusun berikutnya. Akhirnya uang sekantung itu habis dibagi-bagikan kepada para penduduk miskin di tiga buah dusun.

   Biarpun yang diberikan kepada setiap rumah hanya sepotong uang, namun karena uang itu emas, tentu saja bagi penduduk dusun sudah merupakan harta yang cukup besar dan tidak akan habis untuk biaya makan selama beberapa bulan! Yang bijaksana menggunakan "modal" uang emas itu untuk berdagang apa saja sehingga uang itu dapat mendatangkan keuntungan.

   Menarik sekali kalau melihat bermacam-macam sikap dan perbuatan orang-orang yang menerima "rejeki" ini. Ada orang yang merasa senang pada mulanya akan tetapi lalu merasa menyesal mendengar betapa para tetangganya juga menerima rejeki itu, menyesalkan mengapa semua uang itu tidak diberikan saja semua kepadanya. Yang bersikap begini adalah orang-orang yang angkara murka.

   Ada pula orang yang mabok kesenangan mendapatkan uang emas itu dan dia menggunakan uang itu untuk bersenang-senang dan menghamburkannya sehingga dalam beberapa hari saja uang itu habis karena dia hanya bersenang-senang dan tidak mau bekerja. Ia adalah orang-orang yang malas dan menjadi hamba dari nafsu-nafsunya sendiri. Akan tetapi mereka yang bijaksana dengan hati-hati dan rajin lalu mempergunakan uang emas itu untuk modal berdagang.

   Setelah uang hasil curian itu dibagi-bagikan dan ditinggalkan sedikit sekadar untuk dijadikan bekal perjalanan mereka, Cun Giok dan Li Hong berhenti berjalan dan mengaso di luar sebuah dusun, di tepi sebuah anak sungai. Hari telah sore dan sehari tadi mereka berkeliling ke dalam tiga buah dusun.

   Mereka duduk di atas batu-batu di tepi sungai dan mereka membuka bungkusan makanan yang mereka beli di dusun terakhir. Mereka lalu makan roti gandum dan daging kering dan minum air anak sungai itu yang jernih sekali karena air itu bersumber di bukit depan, melewati hutan dan mengalir sampai di situ menjadi anak sungal kecil. Air itu masih jernih dan bersih. Air sungai baru menjadi kotor setelah melewati tempat tinggal manusia karena para penduduk dusun maupun kota selalu membuang segala macam kotoran dan sampah ke dalam sungai.

   Setelah makan dan minum, Li Hong merasa nyaman dan segar. Perasaannya juga terasa gembira. Belum pernah ia merasakan kegembiraan seperti saat itu, saat penuh kenangan akan wajah orang-orang yang menemukan uang emas di dalam rumahnya. Wajah-wajah yang bergembira dan bahagia. Baru sekarang ia merasakan betapa kebahagiaan orang lain yang disebabkan perbuatannya membuat ia merasa senang sekali!

   "Aih, Pouw-twako (Kakak Pouw), Sungguh menyenangkan sekali melakukan perkerjaan seperti tadi! Ah, aku akan melakukan terus, akan kuhabiskan harta para pembesar korup dan hartawan pemeras dan kubagi-bagikan kepada semua orang melarat agar harta itu dibagi rata, tidak ada lagi yang terlalu kaya dan tidak ada lagi yang miskin!" kata Li Hong dengan suara penuh semangat.

   "Kalau sudah tidak ada lagi bangsawan dan hartawan yang kaya raya dan harta itu dibagi rata, kehidupan akan menjadi lebih baik."

   Cun Giok tersenyum.

   "Hong-te, bukan begitu caranya untuk menyejahterakan rakyat kecil yang miskin. Perbuatanmu itu akan mendatangkan kekacauan dan akan ditiru oleh mereka yang memiliki kepandaian. Akan menimbulkan hukum rimba, siapa kuat dia menang dan memiliki segalanya dan akibatnya terjadi pula ketidakadilan yang lebih parah bagi rakyat. Kehidupan ini membutuhkan uang, dan uang harus diusahakan, diputar agar mendatangkan keuntungan. Modal hanya didapat dari si kaya. Akan tetapi modal saja tanpa tenaga kerja juga tidak akan dapat berjalan. Tenaga kerja dimiliki oleh si miskin. Karena itu haruslah ada kerja sama antara si kaya yang bermodal dan si miskin yang menjadi tenaga kerja. Barulah roda perdagangan dapat berjalan, lancar, mendatangkan keuntungan untuk menghidupi seluruh rakyat."

   "Akan tetapi, biasanya si kaya itu memeras tenaga para pekerjanya, Twako. Mereka hanya mementingkan diri sendiri, melipat gandakan kekayaan mereka dengan memeras keringat para pekerjanya yang miskin."

   "Aku tahu, Hong-te. Aku melihat betapa si kaya memeras tenaga si miskin dan bekerja sama dengan pembesar sehingga kedudukan mereka terlindungi. Akibatnya para pekerja menjadi malas dan tidak jujur. Semestinya, si kaya yang bermodal haruslah membagi keuntungan kepada para pekerjanya sehingga para pekerjanya mendapatkan penghasilan yang layak. Dengan begini, para pekerja itu pasti akan bekerja dengan rajin dan setia karena pekerjaannya itu menjamin mereka sekeluarga hidup layak. Keadaan yang seimbang ini haruslah ditangani dan diatur oleh pemerintah sehingga kedua pihak tidak akan bertindak sewenang-wenang dan keadaan menjadi tertib. Kedua pihak haruslah jujur dan terbuka, tidak saling menipu atau mencari keuntungan diri pribadi."

   "Akan tetapi bagaimana kalau para pembesar masih melakukan tindakan sewenang-wenang mengandalkan kekuasaan mereka, mengadakan kerja sama dan melindungi para hartawan sehingga kembali mereka melakukan pemerasan terhadap rakyat jelata?"

   "Memang itulah yang menjadi sumber persoalan dan ketidak-adilan. Pemerintah harus memiliki pejabat, dari yang tertinggi sampai yang terendah, yang jujur dan setia sehingga tidak terjadi penyelewengan kekuasaan. Dengan demikian, negara akan menjadi kuat, pemasukan pendapatan juga dapat besar melalui para pedagang dan pengusaha, kehidupan rakyat kecil yang menjadi pekerja dapat terjamin kesejahteraannya. Kalau sudah begitu, rakyat pasti akan hidup tenteram dan menaati semua peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah karena semua aparat pemerintah berwibawa karena kejujuran dan keadilannya."

   "Wah, Pouw-twako, apakah pemerintahan yang didirikan oleh kaum penjajah akan dapat mengatur seperti itu?" tanya Li Hong ragu.

   Cun Giok menggerakkan kedua pundaknya.

   "Aku tidak tahu. Akan tetapi kalau mereka mau melakukan itu, bukan hanya rakyat yang sejahtera, juga para pejabat menjadi senang karena ditaati dan dihormati semua warga negara."

   "Wah, sudah hampir gelap lagi, Twako. Di mana kita bermalam nanti malam?"

   "Kalau tidak salah, sekitar lima mil dari sini terdapat sebuah kota. Kita dapat mencari rumah penginapan di sana, dan tentu akan dapat membeli makanan yang lebih enak daripada yang kita makan tadi. Mari kita melanjutkan perjalanan."

   Li Hong bangkit berdiri dan kini dara yang menyamar sebagai pemuda ini semakin percaya dan kagum kepada Cun Giok. Dengan mengerahkan ilmu berlari cepat, sebelum gelap mereka telah memasuki sebuah kota kecil yang cukup ramai, walaupun tidak banyak dikunjungi orang luar kota. Sebuah rumah penginapan merangkap rumah makan berada di pusat kota dan mereka lalu memasuki rumah penginapan itu untuk menyewa kamar. Seorang pelayan setengah tua menyambut mereka dengan ramah.

   "Selamat malam, Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua), apakah Ji-wi hendak menyewa sebuah kamar?"

   "Bukan sebuah, melainkan dua buah kamar," kata Li Hong cepat sebelum Cun Giok menjawab.

   Cun Giok merasa heran, akan tetapi karena Li Hong memang berwatak aneh, dia pun diam saja, khawatir sahabat baru itu menjadi marah.

   "Dua buah kamar? Baik, silakan Ji-wi mengikuti saya."

   Pelayan itu mengajak mereka masuk dan ternyata hanya ada beberapa orang tamu saja di rumah penginapan itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang berdampingan dan setelah pelayan meninggalkan mereka, baru Cun Giok bertanya kepada sahabat barunya itu.

   "Hong-te, kita hanya berdua, menyewa sebuah kamar pun cukup. Mengapa engkau minta dua buah kamar?"

   "Aku mempunyai kebiasaan tidur seorang diri, Twako. Kalau ada orang lain dalam kamar tidurku, aku tidak akan dapat tidur pulas semalam suntuk."

   Cun Giok mengangguk dapat mengerti. Tidak terlalu mengherankan kebiasaan ganjil itu bagi seorang pemuda aneh seperti Tan Li Hong!

   Mereka memasuki kamar masing-masing, mandi dan berganti pakaian. Setelah itu, keduanya bertemu pula di luar kamar dan Li Hong memberi isyarat dengan jari telunjuk di depan mulut dan tangan yang lain menggapai.

   Cun Giok merasa heran, akan tetapi dia mengerti isyarat itu dan mengikuti Li Hong memasuki kamarnya. Setelah berada dalam kamar Li Hong mendekati dinding yang menyambung ke kamar lain dan menempelkan daun telinganya pada dinding sambil memberi isyarat kepada Cun Giok untuk meniru perbuatannya. Cun Giok merasa semakin heran. Dia merasa tidak pantas untuk mencuri dengar percakapan orang di sebuah kamar lain. Akan tetapi melihat wajah Li Hong yang bersungguh-sungguh, dia tertarik juga lalu menempelkan daun telinganya ke dinding sambil mengerahkan pendengarannya.

   Terdengar suara wanita, suaranya serak seperti tangis namun mengandung getaran kuat.

   "Yakin benarkah engkau bahwa peta itu berada padanya?"

   "Saya yakin, Subo (Ibu Guru)? Peta itu tadinya dimiliki ayahnya. Setelah ayah ibunya tewas, saya tidak dapat menemukan peta itu pada mereka, juga seluruh rumah mereka digeledah namun peta itu tidak ada. Jelaslah bahwa peta itu berada di tangan puteri mereka itu," terdengar suara seorang laki-laki menjawab.

   "Hemm, bagus! Di mana ia sekarang berada?" tanya suara wanita.

   "Di kuil tua yang berada di dalam hutan sebelah timur kota ini."

   "Ih, mengapa tidak kau tangkap saja?"

   "Subo, ia memiliki kepandaian tinggi, saya khawatir ia akan lolos lagi kalau saya sergap. Akan tetapi saya yakin sekarang ia masih berada di sana karena saya telah menyuruh seorang pembantu melakukan pengintaian."

   "Kalau begitu, kita tangkap ia sekarang?"

   "Jangan malam ini, Subo. Udara mendung dan gelap, dan ia memiliki ginkang yang hebat. Besar kemungkinan ia lolos lagi kalau kita sergap malam ini. Lebih baik besok pagi-pagi, kita sergap dan Subo bantu menangkapnya, pasti ia tidak akan dapat lolos."

   "Bagaimana kalau peta itu tidak berada padanya?"

   "Kalau tidak ia bawa, tentu ia sembunyikan di suatu tempat. Saya akan menggunakan cara yang paling mengerikan untuk memaksa ia mengaku!"

   "Hemm, cara bagaimana?"

   Terdengar suara laki-laki itu bisik-bisik dan tidak dapat didengar lagi oleh dua orang yang mencuri dengar dari kamar Li Hong itu. Li Hong memberi isyarat kepada Cun Giok untuk keluar dari kamarnya. Setelah menutup pintu kamar, ia mengajak Cun Giok memasuki kamar pemuda itu.

   "Kita harus menolong orang yang hendak mereka tangkap besok pagi!" katanya lirih.

   "Ah, Hong-te, mengapa engkau hendak mencampuri urusan mereka? Apakah engkau mengenal dua orang yang bicara tadi dan apakah engkau juga mengenal orang yang hendak mereka tangkap besok?"

   "Aku mengenal suara laki-laki tadi. Dia pasti Panglima Mongol yang lihai dan jahat itu, yang bernama Kim Bayan. Suara wanita itu tidak kukenal. Akan tetapi aku mengenal baik siapa yang hendak mereka tangkap karena tadi sebelum aku memberitahu padamu, aku telah mendengar mereka menyebut nama orang itu. Aku berhutang budi kepada gadis itu yang pernah menyembuhkan muka guruku yang tadinya cacat."

   Cun Giok membelalakkan kedua matanya. Tentu saja dia terkejut sekali mendengar itu dan segera dia dapat menduga siapa adanya gadis yang dimaksudkan itu. Akan tetapi dia menahan ketegangan hatinya dan bertanya, agar mendapatkan kepastian.

   "Hong-te, siapakah gadis itu?"

   "Namanya Liu Ceng Ceng."'

   "Ah, aku mengenalnya, Hong-te?"

   "Engkau mengenalnya?" Li Hong menatap wajah Cun Giok dengan tajam penuh selidik.

   "Ya, ia seorang gadis yang lihai dan dikenal sebagai Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih), selain lihai ilmu silatnya, ia pun ahli pengobatan murid Im Yang Yok-sian, cantik jelita dan menarik, terutama lemah lembut sekali." Cun Giok mengenang karena sesungguhnya, sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh cinta kepada Ceng Ceng.

   "Huh, begitu? Engkau suka dan tergila-gila kepada gadis yang lemah lembut, Twako?"

   Cun Giok merasa heran melihat raut wajah Li Hong tampak marah dan senyumnya mengejek. Pemuda itu cemburu, pikirnya. Tentu Li Hong telah jatuh cinta kepada Ceng Ceng dan kini mendengar dia memuji Ceng Ceng, dia menjadi cemburu!

   "Ah, bukan begitu, Hong-te. Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."

   "Apakah engkau mengenal baik gadis itu?"

   "Mengenal baik sekali memang tidak," Cun Giok berkata untuk meredakan kecemburuan Li Hong.

   "Akan tetapi kami berdua pernah melakukan perjalanan ke Pulau Ular untuk memintakan obat penawar pukulan beracun Hek-tok Tong-sim-ciang yang diderita Ketua Hoa-san-pai."

   Kini Li Hong yang terkejut. Matanya terbelalak memandang pemuda itu.

   "Ah, jadi engkaukah pemuda yang bersama Ceng Ceng berkunjung ke Pulau Ular seperti diceritakan Subo kepadaku itu? Subo tidak menyebutkan namamu maka aku tidak tahu bahwa engkaulah pemuda itu!"

   Cun Giok mengerutkan alisnya. Inikah murid Ban-tok Niocu yang mewakili gurunya membunuh Im Yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin dengan pukulan beracun? Ketika itu, Ban-tok Niocu tidak mengatakan siapa muridnya, laki-laki ataukah wanita. Demikian seingatnya. Ketika mengetahui bahwa pemuda ini yang melakukan kekejaman itu, Cun Giok menjadi penasaran sekali.

   "Dan engkau adalah murid Ban-tok Niocu yang telah dengan kejam membunuh Im Yang Yok-sian dan melukai Goat-liang Sanjin?"

   Muka Li Hong menjadi kemerahan, akan tetapi mulutnya cemberut.

   "Aku hanya menaati perintah Subo. Aku menyesal sekali dan aku sudah minta maaf kepada Ceng Ceng atas kematian Im Yang Yok-sian dan aku juga akan pergi ke Hoa-san minta maaf kepada Goat-liang Sanjin. Maka, untuk membuktikan penyesalanku, sekarang aku harus pergi mencari Ceng Ceng dan membantunya menghadapi rencana kejahatan Panglima Kim Bayan yang hendak menangkapnya. Atau, aku akan serbu saja kamar sebelah dan kubunuh dua orang itu!"

   "Ssstt, jangan gegabah begitu, Hong-te! Panglima itu pasti lihai dan mendengar suaranya, wanita yang berada di kamar itu juga bukan orang biasa. Dari getaran suaranya aku dapat menangkap tenaga sakti yang amat berwibawa seperti mengandung kekuatan sihir. Selain itu, kalau engkau menyerang mereka di sini, pasti akan menimbulkan keributan dan pasukan penjaga akan berdatangan sehingga berbahaya sekali."

   "Aku tidak takut!"

   "Aku percaya engkau tidak takut, akan tetapi semua tindakan harus diperhitungkan lebih dulu. Apa artinya engkau mengamuk kalau hasilnya masih amat diragukan, bahkan akan membahayakan keselamatan dirimu sendiri? Keberanian bukan berarti kenekatan yang konyol."

   Li Hong mengangguk-angguk. Boleh jadi ia seorang yang keras dan nekat, akan tetapi ia pun bukan seorang bodoh dan ia mengerti bahwa ucapan Cun Giok tadi memang benar.

   "Kalau begitu, sekarang aku akan pergi mencari Ceng Ceng!" katanya.

   "Hong-te, untuk apa malam-malam gelap begini mencarinya? Lebih baik besok pagi kita mencari ke sana dan kita membantunya apabila ia benar-benar hendak ditangkap. Sekarang, sebaiknya kita mengaso dulu, mengumpulkan tenaga karena mungkin besok pagi kita membutuhkan kesegaran untuk menghadapi lawan-lawan berat."

   Setelah berkata demikian, Cun Giok memasuki kamarnya tanpa menengok karena dia yakin sahabat barunya itu pun akan pergi tidur. Dia mulai merasa terganggu dengan pikiran dan pendapat-pendapat Li Hong yang dianggapnya liar dan nekat tanpa perhitungan itu. Akan tetapi dia pun merasa kasihan kepada Li Hong, seorang pemuda remaja yang agaknya memerlukan bimbingan dan nasihat, karena kalau tidak, akhirnya dia akan tertimpa mala petaka oleh ulahnya sendiri.

   Pagi-pagi sekali, Cun Giok terbangun oleh suara ayam jantan berkeruyuk. Dia agak gelagapan karena merasa kesiangan. Semalam dia hampir tidak dapat pulas karena pikirannya terus membayangkan Ceng Ceng yang terancam bahaya. Bahkan terbawa dalam mimpi dia melihat Ceng Ceng tertawan dan diseret-seret banyak perajurit dan dia menolongnya.

   Selain teringat dan mengkhawatirkan gadis itu, dia juga masih heran memikirkan Li Hong. Sungguh hal yang amat kebetulan dan tidak pernah disangkanya sama sekali bahwa pemuda remaja yang aneh dan nakal itu adalah murid Ban-tok Niocu yang disuruh wanita itu untuk membunuh Goat-liang Sanjin dan karena tidak ingin ketua Hoa-san-pai itu terobati, terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian, paman guru Ceng Ceng! Pantas saja pemuda itu liar karena dia adalah murid wanita yang dulunya berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) akan tetapi setelah wajahnya yang cantik diobati tidak lagi menyeramkan seperti biang hantu!

   Teringat akan Li Hong, Cun Giok cepat melompat turun dari atas pembaringan. Dia sudah berjanji dengan Li Hong untuk berangkat pagi-pagi mencari Ceng Ceng dan melindunginya dari ancaman Panglima Kim Bayan yang hendak menangkap gadis itu!

   Dengan cepat Cun Giok mencuci muka, berganti pakaian dan dia segera keluar dari kamarnya dan mengetuk perlahan daun pintu kamar Li Hong di sebelahnya. Akan tetapi tidak ada jawaban dan ketika dia mendorong, pintu itu dengan mudah terbuka karena tidak terkunci dari dalam. Dan Li Hong ternyata tidak berada dalam kamarnya. Bahkan buntalan pakaian dan pedangnya juga tidak ada.

   Tahulah dia bahwa pemuda itu telah pergi tanpa memberitahu kepadanya. Baiknya uang sewa kamar telah mereka bayar dimuka, maka Cun Giok lalu menggendong buntalan pakaiannya dan cepat meninggalkan rumah penginapan itu untuk mencari Ceng Ceng yang menurut percakapan yang dia dengar dari kamar sebelah semalam berada di sebuah kuil tua yang terdapat dalam hutan sebelah timur kota itu. Dia menggunakan kecepatan gerakannya untuk menuju ke arah timur.

   Seperti yang telah diduga oleh Cun Giok, Li Hong memang mendahuluinya pergi meninggalkan rumah penginapan untuk mencari Ceng Ceng. Akan tetapi bukan pagi-pagi sekali, melainkan malam tadi. Tanpa memberi tahu kepada Cun Giok, malam itu ia membawa buntalan pakaian dan pedangnya, diam-diam meninggalkan rumah penginapan dan menuju ke sebelah timur kota. Gadis yang pemberani ini dengan cepat melakukan perjalanan dan setelah tiba di tepi sebuah hutan yang amat gelap karena malam itu udara hanya diterangi bintang-bintang, ia membuat api dan dengan obor kayu kering ia memasuki hutan kecil itu!

   Ia tak tahu di mana adanya kuil tua itu, maka setelah memasuki hutan, khawatir kalau-kalau Ceng Ceng melarikan diri melihat orang membawa obor memasuki hutan, ia lalu berteriak.

   "Ceng Ceng, di mana engkau? Ini aku, Li Hong!" Teriakan ini diulang-ulang sambil melangkah ke depan. Tak lama kemudian terdengar jawaban yang ditunggu-tunggunya.

   Li Hong menjadi girang sekali dan menuju ke arah suara. Tak lama kemudian ia melihat Ceng Ceng muncul menyongsongnya. Ceng Ceng lalu memegang tangan Li Hong.

   "Aih, Li Hong, bagaimana engkau tahu aku berada di hutan. Dan angin apa yang meniupmu malam-malam gelap begini mencariku?"

   "Ah, Ceng Ceng, gembira sekali aku dapat menemukanmu! Aku membawa berita yang teramat penting bagimu!" Lalu ia menengok ke sekelilingnya dan menaikkan kedua pundaknya karena ngeri.

   "Gila betul kau ini! Masa seorang gadis tinggal seorang diri dalam hutan yang gelap dan menyeramkan begini? Ih, kalau aku, diupah berapa pun aku tidak sudi! Menghadapi seratus orang lawan manusia aku tak gentar, akan tetapi menghadapi setan iblis siluman dan arwah gentayangan? Ihh, meremang bulu kudukku!"

   Ceng Ceng tertawa geli dan merangkul Li Hong.

   "Mari kita ke kuil dan bicara di sana." Ia memandang Li Hong yang masih memegang kayu bernyala sebagai obor dan mengajak Li Hong ke sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi. Memasuki kuil tua yang memang tampak angker itu, Li Hong bergidik dan merasa seram ketika digandeng Ceng Ceng memasuki bangunan tua itu. Masih terdapat patung-patung rusak, meja sembahyang dan di mana-mana terdapat sarang laba-laba.

   "Wih, di sini pasti sarang siluman dan hantu!" katanya dengan suara agak gemetar.

   Ceng Ceng tertawa dan mengajak temannya memasuki sebuah ruangan yang cukup bersih dan di sudut terdapat dua batang lilin bernyala. Di atas lantai terdapat hamparan rumput kering. Buntalan pakaian Ceng Ceng berada di atas lantai. Setelah memasuki kuil, Li Hong memadamkan obor kayunya dan Ceng Ceng mengajak ia duduk di atas hamparan rumput kering.

   "Setan dan hantu tidak dapat membunuh kita, Li Hong. Mereka hanya dapat menggoda orang dan yang berbahaya adalah orang yang dikuasai setan karena hanya orang yang dikuasai iblis dapat melakukan kejahatan."

   "Tetapi, bukankah setan itu jahat, Ceng Ceng? Semua orang mengatakan begitu. Setan itu jahat sekali!"

   Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Ceng Ceng tersenyum.

   "Setan adalah kejahatan itu sendiri, mana bisa jahat lagi? Seperti malam adalah kegelapan itu sendiri, mana bisa gelap lagi? Pekerjaan setan memang sejak semula untuk mengganggu manusia. Nah, tinggal si manusia itu mau menuruti kehendak setan atau menolaknya, menjadi hamba setan atau menjadi hamba Tuhan. Sudahlah, mengapa kita bicara tentang setan? Kalau kita bicarakan, nanti mereka akan mulai mengganggu untuk menakut-nakuti kita. Katakan, Li Hong, engkau yang takut terhadap kegelapan malam, mengapa bersusah payah datang ke tempat ini mencariku?"

   "Wah, gawat nih, Ceng Ceng. Keselamatanmu terancam!"

   "Hemm, siapa yang mengancamku?" tanya Ceng Ceng dengan sikap tenang.

   "Kim Bayan! Panglima brengsek itu bersama seorang yang dia panggil Subo merencanakan untuk menangkapmu besok pagi dan memaksamu menyerahkan peta harta karun yang katanya ditinggalkan orang tuamu kepadamu. Dia hendak mengulang lagi usahanya di tanah kuburan dulu, Ceng Ceng. Kebetulan aku menyewa di kamar rumah penginapan yang sama dengan mereka. Aku mendengarkan percakapan Kim Bayan dan Subonya. Mereka merencanakan penangkapan atas dirimu dan hendak memaksa, menyiksamu agar mau menyerahkan peta itu."

   "Hemm, begitukah? Dan engkau malam-malam mencari aku untuk menolong ku? Terima kasih, Li Hong, engkau memang seorang sahabat yang baik sekali. Di balik keliaranmu itu engkau memiliki hati yang baik dan aku sudah menduga ini. Panglima Kim Bayan itu memang jahat sekali. Peta harta karun itu adalah hak milik rakyat Han, sama sekali Pemerintah penjajah Mongol tidak berhak memilikinya dan mengambil harta karun itu!"

   "Ceng Ceng, sejak peristiwa di tanah kuburan itu, aku sudah tahu bahwa mereka ingin merampas peta harta karun darimu. Sebetulnya, harta karun apakah itu?"

   Ceng Ceng percaya kepada Li Hong. Biarpun ia tahu bahwa gadis yang satu ini liar dan ugal-ugalan, aneh dan adalah murid seorang datuk yang pernah sesat dan dikenal sebagai Biang Iblis, namun ia tahu benar bahwa di balik keganasannya, Li Hong adalah seorang gadis yang baik dan pada dasamya menentang kejahatan membela kebenaran dan keadilan. Maka ia tidak merasa keberatan untuk menceritakan keadaan yang sesungguhnya.

   "Li Hong, engkau adalah sahabat baikku yang kupercaya sepenuhnya, maka engkau boleh mendengar rahasia ini. Ketahuilah, sebelum Kerajaan Sung jatuh, seorang Thaikam (Pembesar Kebiri) yang korup menguras harta istana dan dia sembunyikan harta karun yang amat besar jumlahnya dan amat berharga berupa emas dan intan permata, lalu menguburnya di suatu tempat rahasia. Hal itu diketahui oleh mendiang ayahku yang ketika itu menjadi seorang Panglima Sung yang setia. Ayah membunuh Thaikam Bong itu dengan semua anak buahnya lalu mengubur mayat mereka beserta harta karun itu. Ayah tidak mengambil harta karun itu karena merasa tidak berhak dan harta milik Kerajaan Sung itu kelak akan disumbangkan kepada para patriot untuk membiayai perjuangan mereka menentang dan mengusir penjajah Mongol. Ayah hanya membuat sehelai peta yang dirahasiakan dan disimpan baik-baik. Akan tetapi agaknya ada yang mengetahui bahwa Thaikam Bong dahulu menyimpan harta karun dan karena thaikam korup itu beserta anak buahnya dibasmi ayah, maka otomatis Panglima Kim Bayan menduga bahwa tentu ayah yang mendapatkan peta itu. Demikianlah, ayah dipaksa menyerahkan peta akan tetapi ayah menolak sehingga terjadi pengeroyokan dan kedua orang tuaku tewas."

   "Dan peta itu?"

   "Sebelum ayah memenuhi panggilan Kim Bayan, ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat, diselipkan dalam surat dan setelah ayah tewas, sahabat itu menyerahkan surat ayah kepadaku. Peta itu berada padaku, Li Hong."

   "Hemm, jadi dugaan Kim Bayan tadi benar. Maka dia berkeras hendak menangkapmu dan memaksamu menyerahkan peta itu. Ceng Ceng, apa yang hendak kaulakukan dengan peta itu?"

   "Seperti juga mendiang ayahku, aku tidak ingin memiliki harta itu. Akan tetapi sebelum menyerahkannya kepada mereka yang berhak, yaitu para pejuang, aku harus menunggu sampai benar-benar ada golongan pendekar patriot yang berjuang melawan penjajah Mongol. Juga aku harus melihat sendiri buktinya bahwa harta karun itu memang benar ada. Kalau kelak aku menyerahkan peta kepada para pejuang kemudian mereka tidak mendapatkan harta itu, alangkah akan malunya aku dan hal itu mencemarkan nama baik ayah."

   Li Hong mengangguk-angguk.

   "Engkau memang seorang gadis yang cerdik, pandai dan bijaksana, Ceng Ceng. Aku sungguh amat kagum padamu. Jangan khawatir akan ancaman Panglima Kim Bayan yang brengsek itu. Kami akan membela dan membantumu!" kata Li Hong penuh semangat.

   "Kami......?" Ceng Ceng bertanya heran dan memandang ke sekeliling untuk melihat apakah selain Li Hong ada orang lain yang datang untuk menolongnya.

   Li Hong tersenyum.

   "Maksudku, kami berdua, aku dan Pouw-twako yang akan membantumu menghadapi tikus-tikus itu. Pouw-twako sudah mengenalmu dengan baik, Ceng Ceng."

   "Pouw-twako? Siapa dia?"

   "Hemm, apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau tidak mengenal Pouw Cun Giok?"

   "Ahhh...... dia.......?" Ceng Ceng tergagap dan merasa betapa mukanya panas, tanda bahwa mukanya tentu menjadi kemerahan. Akan tetapi karena penerangan di situ hanya dua batang lilin, maka merahnya muka ini tidak sampai ketahuan.

   "Ya, dia yang dulu bersamamu datang ke Pulau Ular. Engkau tentu sudah mengenal baik, bukan? Kalian telah melakukan perjalanan jauh bersama-sama, tentu persahabatan kalian akrab sekali."

   "Memang, Giok-ko adalah seorang pemuda yang baik sekali, ilmu silatnya tinggi, bijaksana, dan dia menjadi sahabat baik yang boleh dipercaya."

   "Ah, engkau memujinya setinggi langit. Agaknya engkau tentu telah jatuh cinta padanya, Ceng Ceng!" suara Li Hong terdengar keras dan penuh curiga.

   Ceng Ceng merasakan hal ini dan ia menghela napas panjang.

   "Li Hong, jangan terlalu jauh menyangka. Aku dan Giok-ko hanya menjadi sahabat baik."

   Li Hong menghela napas lega.

   "Syukurlah kalau begitu, Ceng Ceng. Aku tidak suka bersaing denganmu karena aku pasti akan kalah. Engkau begini lihai, pandai mengobati, cantik jelita dan lemah lembut, bijaksana seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im)!"

   "Bersaing? Apa maksudmu, Li Hong?"

   "Maksudku, eh...... kalau engkau jatuh cinta kepada Pouw-twako, berarti engkau menjadi sainganku karena aku juga telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok!!" Ucapan ini dilakukan dengan mantap dan sama sekali tidak mengandung perasaan malu.

   Ceng Ceng tersenyum walaupun di dalam dadanya ada perasaan hampa mendengar ucapan Li Hong.

   "Ah, baik sekali kalau begitu! Tentu dia juga mencintamu, bukan?"

   Li Hong tertawa.

   "Bagaimana aku tahu? Dia menganggap aku sebagai seorang pemuda!"

   "Eh, mengapa begitu, Li Hong? Kalau engkau mencintanya, engkau harus membuka rahasia penyamaranmu!"

   "Tidak, dan aku minta agar engkau tidak mengatakan kepadanya bahwa aku seorang wanita. Kami memang bergaul dengan akrab, dan aku tidak mau kalau keakraban itu akan berubah jika dia mengetahui bahwa aku seorang wanita. Berjanjilah bahwa engkau tidak akan membuka rahasia penyamaranku ini, Ceng Ceng!"

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Aku berjanji."

   "Terima kasih, Ceng Ceng, engkau memang baik sekali. Seperti kukatakan tadi, jangan khawatir, aku dan Pouw-twako siap membantu menghadapi para tikus busuk itu. Besok pagi-pagi Pouw-twako akan datang ke sini."

   "Akan tetapi kenapa kalian berdua tidak datang bersama-sama?"

   "Pouw-twako tidak setuju untuk mencarimu malam-malam, dia akan ke sini besok pagi karena kami mendengar bahwa Panglima Kim itu pun akan menangkapmu besok pagi. Maka aku lalu pergi sendiri tanpa memberi tahu padanya. Untung aku bertemu. denganmu, Ceng Ceng, kalau tidak...... hiiihh...... aku bisa mati ketakutan karena seramnya tempat hantu ini!"

   "Jangan takut, Li Hong. Justeru rasa takutmu itu yang akan munculkan bayangan-bayangan tentang hantu dan setan. Bagi orang yang tidak takut, hantu dan setan tidak akan dapat memperlihatkan diri. Percayalah, selama hidupku ini aku belum pernah melihat adanya hantu dan setan dengan mata kepala ini. Mereka memiliki alam yang berbeda dengan kita."

   Biarpun hatinya percaya akan ucapan Ceng Ceng itu, karena memang dalam lubuk hati Li Hong sudah ada perasaan takut dan ngeri terhadap hantu, tetap saja Li Hong memandang ke sekeliling dengan mata gelisah. Ia melihat beberapa buah patung yang tidak jelas rupanya, karena cuaca yang gelap, hanya tampak seperti bayangan berbentuk manusia. Rasa takut membuat patung-patung itu seolah bergerak-gerak dalam pandang matanya dan ia bergidik.

   "Ihh......! Patung-patung itu sungguh menyeramkan!"

   Ceng Ceng tersenyum dan ia menyalakan dua batang lilin baru di sudut ruangan.

   "Patung-patung hanya buatan tangan manusia, benda-benda mati yang bagaimanapun juga tidak akan dapat mengganggu kita. Kalaupun dapat mengganggu, dengan kepandaianmu yang tinggi, apa sukarnya mengalahkan mereka? Hayo, tidurlah, Li Hong karena waktu baru sedikit lewat tengah malam. Pagi hari baru akan datang beberapa jam lagi."

   Li Hong menghela napas lega dan ia pun merebahkan diri di atas rumput kering, telentang berbantal bungkusan pakaiannya. Pedang Ban-tok-kiam ia letakkan di dekat tangan kanannya, siap dipergunakan sewaktu-waktu! Ceng Ceng lalu duduk bersila di dekat Li Hong, segera tenggelam dalam samadhi.

   Akan tetapi Li Hong gelisah dan tidak dapat pulas. Telinganya yang sejak tadi mendengar suara kutu malam, belalang dan jengkerik, paduan suara yang merupakan musik malam, seolah menangkap suara-suara yang menyeramkan, seolah ia mendengar suara hantu-hantu saling berbisik, ada yang tertawa atau menangis. Bulu tengkuknya meremang dan ia merasa tubuhnya dingin.

   Ketika melirik ke arah Ceng Ceng, ia melihat gadis itu duduk bersila dengan tenangnya. Ia lalu bangkit duduk dan duduk bersila seperti Ceng Ceng, mencoba untuk melakukan siu-lian (samadhi). Akan tetapi karena hatinya masih mengandung perasaan takut, maka samadhinya sering terganggu, tidak dapat hening betul dan terkadang ia tidak mampu menahan diri untuk tidak membuka mata melihat ke depan, kanan dan kiri karena ia merasa seolah-olah ada yang bergerak di dalam kegelapan malam!

   Menjelang fajar, terdengar ayam hutan berkeruyuk dan suara burung-burung mulai sibuk saling sahut dalam persiapan mereka meninggalkan sarang dan berangkat mencari makan. Munculnya suara ayam dan burung itu nneredam musik malam yang mulai menghilang seolah binatang-binatang kecil itu terkejut dan takut mendengar suara yang lebih nyaring itu.

   Dengan hati lega Li Hong membuka matanya. Biarpun cuaca masih gelap, namun keruyuk ayam jantan dan kicau burung itu menandakan bahwa fajar mulai menyingsing.

   Tiba-tiba matanya terbelalak, tangan kanannya otomatis menyambar pedang Ban-tok-kiam di sampingnya. Ia melihat patung-patung hitam itu seolah bergerak! Rasa takut dan ngeri yang amat hebat membuat Li Hong nekat dan marah.

   "Setan-setan jahanam busuk!" Ia berteriak dan tubuhnya berkelebat ke depan, lalu pedang hijaunya menyambar-nyannbar ke arah leher patung-patung itu! Terdengar suara berisik ketika leher patung-patung itu terbabat putus dan kepala patung berjatuhan di atas lantai. Tidak ada yang tertinggal, semua patung yang jumlahnya delapan buah itu terpenggal lehernya!

   "Li Hong! Ada apakah?" seru Ceng Ceng terkejut.

   Li Hong melompat mendekatinya, tubuhnya masih gemetar karena marah dan takut. Wajahnya pucat dan dingin, kedua pundaknya bergerak seperti menggigil kedinginan.

   "Ada...... hantu......!" katanya.

   Ceng Ceng memegang tangannya dan menarik Li Hong sehingga terduduk kembali di atas lantai bertilam rumput kering.

   "Tenanglah, Li Hong. Tidak ada hantu. Yang kau amuk itu hanya patung-patung. Kasihan, agaknya engkau memenggal leher semua patung yang berada di sini."

   "Tidak, Ceng Ceng! Aku melihat patung yang di sana tadi benar-benar bergerak!"

   "Hemm yang di mana?"

   "Di sana!" Li Hong menudingkan telunjuknya ke arah jendela di samping.

   "Di jendela itu? Ah, Li Hong, di sana tidak ada patungnya. Engkau tentu melihat bayangan karena rasa seram menghantuimu. Sekarang lebih baik engkau duduk menenteramkan hatimu karena sebentar lagi cuaca akan menjadi terang. Kita harus siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi."

   Setelah berkata demikian, Ceng Ceng menambahkan lagi dua batang lilin yang bernyala di samping dua batang yang tinggal sedikit. Dengan empat batang lilin bernyala, keadaan dalam ruangan itu menjadi lebih terang dan tiba-tiba Li Hong berseru.

   "Ceng Ceng, lihat ini!"

   Ceng Ceng memandang ke arah pedang yang dipegang Li Hong dan diperlihatkan kepadanya. Ia mengerutkan alisnya melihat ada noda darah baru pada pedang itu! Darah yang masih cair! Ini hanya berarti bahwa pedang di tangan Li Hong baru saja melukai tubuh seorang manusia.

   "Ah, kalau begitu patung yang kau lihat di jendela itu......" kata Ceng Ceng sambil mengangkat sebuah lilin untuk melihat ke arah jendela.

   Ia tidak melihat patung ataupun manusia, akan tetapi ada darah pada kayu bingkai jendela itu. Mungkin sekali yang dilihat Li Hong adalah orang yang berada di luar jendela dan orang itu tentu telah terpenggal batang lehernya oleh pedang di tangan Li Hong yang gerakannya dahsyat sekali itu! Akan tetapi keadaan masih terlampau gelap untuk memeriksa bagian luar jendela karena kalau mereka diserang dalam kegelapan, keadaan mereka lebih berbahaya dan sukar untuk membela diri.

   "Kita tunggu saja sampai sinar matahari menerangi tempat ini," bisik Ceng Ceng dan dua orang gadis itu lalu duduk bersila dalam keadaan siap siaga.

   Setelah tahu bahwa bukan hantu yang dilihatnya, melainkan manusia karena tak mungkin hantu dapat terluka mengeluarkan darah terbacok pedangnya, Li Hong menjadi lebih tenang. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi lawan manusia betapapun lihai dan banyaknya. Ia juga tidak takut terhadap hantu, hanya ngeri dan seram karena sejak kecil terpengaruh oleh dongeng-dongeng menyeramkan tentang setan, iblis, atau hantu.

   Perlahan-lahan cuaca mulai terang. Sinar matahari yang masih lemah mulai menerobos pohon-pohon memasuki hutan itu sehingga di dalam kuil itu pun mulai terang. Ceng Ceng memberi isyarat kepada Li Hong dan keduanya bangkit lalu menghampiri jendela untuk menjenguk keluar, melihat apakah ada orang yang terluka oleh pedang Li Hong semalam. Dan benar saja seperti yang mereka duga, di luar jendela itu, tampak rebah telentang di atas lantai yang kotor, sesosok tubuh orang tanpa kepala yang berlepotan darah, mungkin darah yang tadinya menyembur keluar dari leher yang terpenggal!

   Dua orang gadis itu mencari-cari dengan pandang mata mereka dan menemukan kepala orang itu menggeletak tak jauh dari situ, sebuah kepala yang menengadah dan tampak matanya melotot dan mulutnya ternganga, juga kepala itu berlumuran darah. Mengerikan! Orang itu berpakaian serba hitam dan tubuhnya tinggi besar. Tentu dia yang semalam dikira patung hidup dan menjadi korban amukan Li Hong yang nekat dan marah!

   "Ah, kiranya ada yang mengintai kita malam tadi," kata Ceng Ceng.

   "Li Hong, kita harus waspada. Agaknya mereka sudah berada di sini."

   Baru saja Ceng Ceng berkata demikian, mereka berdua terbelalak melihat betapa mayat tanpa kepala itu bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang golok besar dan dia melangkah ke arah jendela!

   "Iihhhh......!" Li Hong menjerit ngeri dan melompat ke belakang.

   Mayat tanpa kepala itu melompat masuk melalui pintu dan goloknya menyambar, menyerang Ceng Ceng yang masih berada dekat jendela. Namun Ceng Ceng dapat mengelak dengan lincah sehingga sambaran golok besar itu mengenai tempat kosong. Kembali Li Hong menjerit ngeri dan Ceng Ceng segera berkata.

   "Li Hong, ini ilmu setan, sihir jahat. Kerahkan tenaga saktimu dan lawan rasa takutmu!"

   Pada saat itu tampak sebuah benda melayang memasuki jendela dan benda itu melayang dan menyambar ke arah Li Hong. Gadis itu terbelalak dengan muka pucat melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah kepala berlumuran darah yang tadi menggeletak di atas lantai luar jendela. Kepala itu kini meluncur ke arah ia dengan mata melotot dan mulut ternganga, seolah hendak menggigit lehernya!

   "Ihhhh......!" Kembali ia menjerit ngeri, akan tetapi ia menaati ucapan Ceng Ceng tadi, mengerahkan sin-kang (tenaga sakti) dan mengelak ke samping lalu membacokkan pedangnya ke arah kepala itu. Sinar kehijauan menyambar dengan cepat dan kuat ke arah kepala itu.

   "Crakkk......!" Kepala itu terbelah dua dan jatuh ke atas lantai! Malihat hasil ini, lenyaplah rasa takut dan ngeri dari hati Li Hong. Ketika ia menengok ke arah Ceng Ceng, ia melihat sahabatnya itu masih terus mengelak dari serangan mayat tanpa kepala yang gerakannya lamban dan kaku itu. Ia menjadi marah dan sekali melompat dan menggerakkan pedangnya, ia menusuk punggung kiri mayat itu sambil mengerahkan tenaganya.

   "Haiiittt......!" Li Hong berseru dan pedangnya menusuk tubuh itu dari punggung menembus ke dada kiri mayat. Begitu ia mencabut kembali pedang Ban-tok-kiam, tubuh mayat tanpa kepala itu pun roboh dan tidak bergerak lagi. Jantung mayat itu tertembus pedang!

   "Li Hong, mari cepat kita keluar dari tempat sempit ini!" kata Ceng Ceng.

   Li Hong maklum apa yang dimaksudkan kawannya karena kalau menghadapi pengeroyokan, tempat sempit amat tidak menguntungkan. Mereka lalu menyambar buntalan pakaian dan berlari keluar sambil mengikatkan buntalan masing-masing di punggung mereka. Ketika mereka tiba di luar, Li Hong sudah memegang Ban-tok-kiam pedang pusakanya, dan Ceng Ceng sudah membawa sebatang tongkat ranting pohon yang tadi ia letakkan di lantai ruangan itu.

   Ketika mereka tiba di pekarangan kuil yang ditumbuhi rumput tebal, Ceng Ceng dan Li Hong melihat belasan orang berpakaian hitam-hitam seperti orang yang telah dibunuh Li Hong tadi dan mayatnya hidup lagi sehingga terpaksa dibunuh lagi. Ada sebelas orang berpakaian hitam-hitam dan berwajah bengis membuat setengah lingkaran di depan kuil seolah mereka itu menghadang dua orang gadis yang keluar dari kuil. Masing-masing memegang sebatang golok besar.

   Melihat ini, Ceng Ceng dan Li Hong sudah siap untuk membela diri. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara tawa yang tinggi serak dan aneh karena suara itu setengah tertawa setengah menangis! Kalau suara itu terdengar malam tadi, pasti Li Hong akan tersentak kaget dan ketakutan. Akan tetapi karena malam sudah terganti pagi, ia tidak kaget atau terkejut, lalu bersama Ceng Ceng memandang ke arah datangnya suara tawa itu.

   Muncullah si pemilik suara. Ia seorang nenek-nenek akan tetapi lebih pantas disebut hantu daripada manusia. Atau lebih menyerupai mayat berjalan. Tubuhnya kurus agak bongkok, rambutnya riap-riapan sudah putih semua. Yang mengerikan adalah pakaian dan wajahnya.

   Pakaiannya dari kain mori putih yang biasa dipakai orang yang sedang berkabung dan mukanya putih pucat seperti muka mayat. Akan tetapi matanya mencorong aneh. Usianya tentu sudah lebih dari enampuluh tahun. Tangannya yang kurus, hanya tulang terbungkus kulit, memegang sebatang tongkat hitam dan sepatunya juga hitam dengan lapis besi pada ujung dan bagian bawahnya. Mengerikan sekali keadaan nenek ini yang mengeluarkan suara seperti tawa dan tangis itu.

   Akan tetapi Li Hong dan Ceng Ceng lebih memperhatikan laki-laki tinggi besar yang mengenakan pakaian panglima dan yang berjalan di samping nenek itu. Dia bukan lain adalah Kim Bayan, panglima Mongol yang pernah bertanding melawan mereka itu. Kalau Ceng Ceng yang orang tuanya dibunuh masih tampak tenang saja, sebaliknya Li Hong menjadi marah bukan main melihat panglima yang telah menangkap dan menyiksa orang tuanya. Dengan tangan memegang Ban-tok-kiam, telunjuk tangan kiri Li Hong menuding ke arah muka panglima itu sambil membentak marah.

   "Anjing srigala Kim Bayan! Engkau datang menyerahkan nyawamu? Bagus! Pedangku akan minum darahmu untuk menebus dosamu terhadap orang tuaku dan orang tua Ceng Ceng!" Setelah berkata demikian Li Hong sudah menerjang dengan pedangnya ke arah Panglima Kim Bayan. Pedangnya berubah menjadi sinar hijau ketika meluncur dan menusuk ke arah dada Kim Bayan.

   Panglima itu sudah tahu akan kehebatan "pemuda" itu, maka dia cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Li Hong hendak mengejar, tiba-tiba sebuah tongkat hitam menghadangnya dan ternyata nenek yang menyeramkan itu telah berdiri di depannya sambil terkekeh.

   "Heh-heh-hi-hi-hik.......!" Ia setengah terkekeh setengah menangis dan wajahnya yang pucat seperti mayat itu tidak menunjukkan perasaan apa pun, tetap dingin seperti wajah yang sudah mati.

   "Inikah gadis pembawa peta yang kaumaksudkan itu, Kim Bayan?"

   Panglima itu mengerutkan alisnya. Mengapa bibi gurunya yang juga dia sebut ibu guru itu mengatakan "gadis" padahal yang dihadapinya adalah seorang pemuda? Akan tetapi dia sudah mengenal keanehan bibi guru yang juga menurunkan ilmunya kepadanya, maka dia tidak berani mencela, hanya menjawab.

   "Subo, bukan pemuda itu yang saya maksudkan, melainkan gadis berpakaian putih ini."

   "Heh-heh-hi-hik! Mana ada pemuda? Kim Bayan, agaknya matamu sudah kurang awas, maka gadis berpakaian pria ini kausangka seorang pemuda. Hi-hi-hik, gadis ini baik sekali, cocok kalau menjadi muridku. Aku suka gadis ini, Kim Bayan. Kautangkaplah gadis yang kauinginkan itu, aku akan menangkap yang ini!" lalu memandang Li Hong dengan matanya yang mencorong dan bertanya dengan suara lembut.

   "Eh, manis, siapa namamu?"

   Ceng Ccng sudah pernah mendengar dari mendiang ayahnya maupun paman gurunya tentang orang-orang yang menguasai ilmu setan, maka cepat ia berseru.

   "Jangan sebutkan namamu!"

   "Heh-heh-heh, anak manis, apakah engkau begitu pengecut sehingga takut menyebutkan namamu?"

   Li Hong yang tadi mendengar seruan Ceng Ceng, tadinya percaya dan tidak ingin menyebutkan namanya. Akan tetapi nenek itu ternyata sudah dapat mengenal watak gadis ini, maka sengaja memancing dengan mengatakan ia takut dan pengecut. Dengan mata melotot dan muka merah Li Hong membentak.

   "Nenek iblis! Siapa takut padamu? Namaku adalah Tan Li Hong! Hayo katakan siapa engkau agar tidak mampus di ujung pedangku tanpa meninggalkan nama!"

   "Hi-hi-hik, anak manis. Dengar baik-baik, namaku disebut Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)! Tan Li Hong, dengar dan taati perintahku. Engkau berjodoh untuk menjadi muridku dan engkau akan kuberi pelajaran semua ilmuku. Berlututlah, muridku, dan beri hormat kepada gurumu!" Suara nenek itu meninggi dan mengandung getaran yang amat berwibawa.

   Li Hong terkesima dan seolah menjadi lumpuh ingatan, tidak tahu apa yang harus dilakukan dan perintah itu demikian kuatnya sehingga ia hendak menjatuhkan diri berlutut!

   "Li Hong! Jangan menyerah, kerahkan tenaga saktimu dan lawanlah! Demi Ayah Ibumu, jangan mau menyerah terhadap pengaruh sihirnya!" teriak Ceng Ceng yang tahu bahwa keteguhan batin mampu menolak kekuatan sihir. Hanya orang yang percaya dan lemah batinnya saja yang dapat tunduk terhadap kekuatan sihir.

   "Tangkap gadis ini!" Kim Bayan sudah memberi perintah kepada sebelas orang anak buahnya dan dia sendiri pun sudah menubruk untuk meringkus Ceng Ceng.

   Terpaksa Ceng Ceng mengalihkan perhatiannya dari Li Hong dan untuk menghindarkan tangkapan Kim Bayan dan anak buahnya, ia bergerak cepat, mengerahkan seluruh ilmu gin-kang (meringankan tubuh) dan tubuhnya berkelebatan menjadi bayangan putih yang sukar sekali dipegang, apalagi diringkus!

   Mendengar teriakan Ceng Ceng tadi, Li Hong sadar. Teriakan itu seolah merupakan kilat yang menerangi pikirannya yang tadi gelap dan ia menyadari bahwa dirinya dipengaruhi sihir. Nenek itu sama sekali bukan gurunya! Nenek itu jahat dan harus dilawan dan dibasminya! Cepat ia menggerakkan pedangnya dan mengeluarkan teriakan melengking didorong kekuatan khi-kang yang dahsyat. Kemarahan membuat serangan Li Hong hebat sekali. Pedang Ban-tok-kiam menyambar ke arah leher nenek itu.

   "Trangg......!" Tongkat hitam nenek itu menangkis dan Li Hong merasa betapa lengan kanannya tergetar hebat, menandakan betapa kuatnya tenaga sakti nenek yang seperti mayat hidup itu.

   Song-bun Mo-li juga kaget mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga sin-kang gadis berpakaian pria itu. Ia menjadi semakin tertarik. Kalau ia dapat mempunyai murid seperti ini, lihai, kuat, wataknya juga liar dan ganas, ia akan merasa bangga sekali! Akan tetapi ia kecewa melihat betapa pengaruh sihirnya tidak mampu membuat gadis itu takluk kepadanya, juga terkejut melihat pedang bersinar hijau itu, karena ia mengenal senjata yang mengandung hawa beracun amat berbahaya, juga ia teringat bahwa ia pernah melihat pedang pusaka itu.

   "Heii! Bukankah itu Ban-tok-kiam yang berada di tanganmu?"

   "Hemm, sudah mengenal Ban-tok-kiam? Bersiaplah untuk mampus karena pedangku ini akan minum darahmu!"

   "Huh! Pedang itu milik Ban-tok Kui-bo majikan Pulau Ular, bagaimana bisa berada di tanganmu?

   "Aku adalah muridnya!" jawab Li Hong dan ia sudah menerjang lagi.

   Akan tetapi sekarang nenek itu melawan dengan ganas karena ia tidak tertarik untuk mengambil Li Hong sebagai muridnya. Gadis itu murid Ban-tok Kui-bo yang pernah menjadi lawannya beberapa tahun yang lalu, maka inilah kesempatan yang baik baginya untuk menyatakan permusuhannya terhadap Ban-tok Kui-bo, dengan membunuh muridnya! Ia memutar tongkatnya yang juga mengandung racun dan sinar hitam bergulung-gulung, menyambut sinar hijau pedang Ban-tok-kiam!

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 14 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 2 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 26

Cari Blog Ini