Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 24


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 24




   "Dess!" Tubuh kakek itu terpelanting. Akan tetapi, kakek yang gagah perkasa ini masih bangkit kembali, hanya untuk menerima pukulan yang mengenai lehernya, membuat dia jatuh lagi dan terkapar pingsan. Siauw-thian-ci menyeringai puas dan bangga, lalu memandang kepada ayahnya, sikapnya menanti perintah. Si Tikus Beracun memandangi tubuh lima orang yang sudah tak bergerak diatas lantai itu, lalu dia berkata,

   "Hemm, mereka ini orang-orang berbahaya. Bunuh saja mereka sekarang, tidak usah terlalu lama dibiarkan hidup, hanya akan merongrong kita saja!"

   "Akan tetapi, tiga orang dara itu muda-muda, cantik dan mulus, ayah, apa lagi yang berpakaian hitam itu. Sayang kalau dibunuh begitu saja," kata Siauw-thian-ci, sikapnya ragu-ragu. Tikus Beracun menyeringai dan mengusap kumisnya yang hanya beberapa lembar, kumis tikus.

   "Heh-heh, benar juga! Tapi yang berpakaian hitam itu untuk aku. kau ambil saja yang dua itu." Lalu dia memandang kepada Yap-lojin dan muridnya.

   "Akan tetapi cepat bunuh dua orang itu, baru kita bersenang-senang dengan tiga orang dara itu." Siauw-thian-ci menyeringai, terkekeh girang dan dia menghampiri tiga orang dara yang sudah terkapar tak bergerak itu. Tangannya digerakkan kedepan, kearah dada Pek Lian, entah apa yang hendak diperbuatnya. Sebelum jari-jari tangan yang kurang ajar itu berhasil menyentuh baju, tiba-tiba terdengar keluhan dan ternyata Kiong Lee siuman! Pemuda ini mengeluh dan bangkit duduk, kepalanya digoyang-goyang seperti mengusir kepeningan, matanya dibu-ka. Tentu saja tetok-ci dan Siauw-thian-ci menjadi terkejut dan khawatir sekali.

   "Anakku, bunuh saja dulu bocah itu!" teriak tetok-ci. Tanpa menanti perintah kedua kalinya, Siauw-thian-ci mengerahkan tenaga pada tangan kanannya, lalu dia menerjang kedepan, menghantam dengan pengerahan tenaga sepenuhnya kearah kepala Kiong Lee yang masih duduk dan masih nanar itu. Kiong Lee terkejut dan cepat mengangkat lengan menangkis.

   "Desss!" Benturan tenaga dahsyat itu mengakibatkan, tubuh Siauw-thian-ci terlempar kebelakang sedangkan tubuh Kiong Lee yang baru saja siuman itupun terguling-guling. Akan tetapi pemuda ini cepat meloncat bangun dalam keadaan sadar sepenuhnya, sebaliknya Siauw-thian-ci memandang dengan muka pucat. Kiong Lee menoleh kearah gurunya dan tiga orang dara itu. Melihat mereka menggeletak pingsan, diapun marah bukan main dan dicabutnyalah sepasang pedang dari punggungnya. Nampak sinar berkilat disusul dua gulungan sinar pedang menyambar-nyambar!
(Lanjut ke Jilid 17)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 17
Siauw-Thian-Ci dan tetok-ci kaget setengah mati. Cepat-cepat mereka meloncat kesana-sini untuk menghindarkan cengkeraman maut melalui sinar pedang itu dan merekapun sudah mencabut senjata masing-masing. tetok-ci mengeluarkan sebatang golok. Biarpun kelihatannya sebatang golok biasa saja, akan tetapi sesungguhnya golok ini istimewa sekali.

   Bukan hanya terbuat dari logam mulia yang amat kuat, akan tetapi juga diperlengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga golok ini dapat digerakkan dengan per menjadi memanjang atau memendek sesuka hati pemegangnya, dan gagangnya dapat menyemburkan jarum-jarum beracun. Selain itu, juga gagang golok itu diikat dengan tali yang membuat golok itu dapat dilempar seperti golok terbang dan dapat kembali kepada pemiliknya ketika tadinya ditarik. Sebuah senjata istimewa yang berbahaya sekali! Sedangkan Siauw-thian-ci lebih suka mempergunakan senjata kepercayaannya, yaitu cambuk panjang yang mengandung rambut-rambut baja halus dan mengandung racun pula.

   "Cringgg!" Sedikit bulu cambuk rontok ketika bertemu pedang.

   "Tranggg!!" Telapak tangan tetok-ci tergetar hebat.

   Ayah dan anak itupun terkejut dan maklum bahwa pemuda pakaian putih itu sungguh merupakan seorang tokoh Thian-kiam-pang yang amat lihai. Sepasang pedang itu kini menyambar-nyambar, membentuk dua gulungan sinar yang panjang dan menyilaukan, seperti sepasang naga bermain diangkasa, menyemburkan maut! Biarpun dikeroyok dua oleh tokoh pertama tujuh Iblis Ban-kwi-to dibantu puteranya yang juga amat lihai, namun Kiong Lee sama sekali tidak terdesak. Bahkan gulungan sinar pedangnya merupakan bahaya besar bagi kedua orang pengeroyoknya, terutama sekali Siauw-thian-ci yang berkali-kali terpaksa harus berlindung menyela-matkan diri dibelakang ayahnya. Beberapa kali jarum-jarum rahasia dari golok itu menyambar, namun hal itu sia-sia belaka karena semua jarum runtuh oleh sinar pedang yang seolah-olah telah membentuk benteng sinar yang kokoh kuat.

   Juga beberapa kali golok itu melayang, terbang menyambar kearah lawan seperti benda hidup, akan tetapi hampir saja pedang ditangan Kiong Lee berhasil memukul jatuh golok itu sehingga pemiliknya menjadi gentar untuk melemparkannya lagi. Sementara itu, tiga orang dara dan Yap-lojin mulai bergerak dan mengeluh. Melihat ini, tentu saja tetok-ci menjadi khawatir sekali. Dia mengeluarkan seruan panjang dan bersama puteranya dia menghilang dibalik dinding yang ada rahasianya. Juga delapan orang pawang tikus telah menghilang. Kiong Lee cepat menolong gurunya dan tiga orang dara itu. Dengan totokan, dia mempercepat kesadaran mereka. Dan mereka berlima terheran-heran karena kini, setelah siuman, tenaga mereka bukan hanya pulih kembali, bahkan merasa betapa tubuh mereka segar sekali, seperti orang yang baru habis makan kenyang atau mandi air sejuk!

   Itulah khasiat dari cairan kuning yang mereka sedot tadi! Cairan kuning itu membersihkan, bukan hanya membersihkan hawa beracun, akan tetapi juga membersihkan darah dan rongga dada dan perut secara luar biasa sekali. Akan tetapi, saking kerasnya obat ini, pemakainya memang biasanya tertidur atau pingsan lebih dulu, seperti yang dialami oleh mereka. Untung bahwa Kiong Lee yang pingsan terlebih dahulu sehingga dia lebih dahulu pula siuman dan dapat menyelamatkan mereka berlima yang terancam bahaya maut. Setelah ditinggalkan oleh Tikus Beracun dan anak-buahnya, lima orang itu mulai mencari jalan keluar. Akan tetapi, mereka berputar-putar menurutkan lorong bawah tanah dan tidak pernah berhasil menemukan jalan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba Kiong Lee membungkuk dan mengambil sesuatu dari atas lantai lorong.

   "Aih, itu saputanganku!" tiba-tiba Pek Lian berkata sambil menerima saputangan itu dari Kiong Lee.

   "Benar, saputanganku yang terjatuh tanpa kuketahui. Ah, aku ingat sekarang. Tak jauh dari sini terdapat pintu rahasia keluar. Kita jalan lurus saja dari sini, jangan berbelok-belok. Saputangan ini terjatuh ketika untuk pertama kalinya aku dan adik Siok Eng memasuki terowongan ini. Aku terlonjak kaget ketika menginjak seekor tikus. Ingatkah engkau, adik Eng?" Siok Eng mengangguk dan merasa girang karena iapun ingat bahwa tak jauh dari situ terdapat jalan keluar. Mereka lalu maju terus, kini Pek Lian didepan sebagai penunjuk jalan. Ingatan nona ini kuat sekali sehingga tak lama kemudian mereka tiba dijalan buntu, tertutup oleh sebuah pintu baja. Pek Lian mengamati pintu itu dan berseru girang.

   "Nah, inilah pintu rahasia itu! dibalik pintu ini terdapat jalan keluar. Akan tetapi, aku tidak tahu rahasia cara membukanya. Tentu ada alatnya. Mari kita sama-sama mencari alat rahasia untuk membukanya."

   "Biar kudobrak saja dengan kekerasan," kata Kiong Lee. Gurunya mencegahnya.

   "Jangan. Pintu rahasia tidak boleh dibuka dengan kekerasan, karena kalau hal itu dilakukan tentu akan mendatangkan bahaya lain. Mari kita cari alat rahasia pembukanya itu." Akan tetapi, sampai pusing dan bosan mereka mencari, tidak juga mereka dapat menemukan alat rahasia pembuka pintu itu. Akhirnya mereka menjadi bosan dan putus asa.

   "Kita cari jalan keluar lain saja!" kata Bwee Hong.

   "Nanti dulu " Pek Lian berseru dan ia teringat akan tempat lampu minyak diatas pintu baja dimana tikus-tikus itu ditempatkan. Ia lalu meloncat keatas, tangannya bergantung kepada celah-celah diatas pintu dan meraba-raba. Benar saja, diatas daun pintu terdapat sebuah lubang dan disitu terdapat pula sebuah lampu minyak. Ia mencoba untuk mencabut lampu itu, akan tetapi tidak bergoyang sedikitpun. Lalu diputar-putarnya dan tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan daun pintu itupun terbuka! Semua orang bersorak kegirangan.

   "Engkau memang hebat, enci Lian!" Siok Eng memujinya ketika Pek Lian melompat turun.

   "Sudahlah, mari kita lari kepantai!" kata Pek Lian. Mereka berlima cepat berlari-larian menuju pantai, Pek Lian dan Siok Eng menjadi penunjuk jalan karena kedua orang dara ini hendak mencari perahu-kecil mereka, yaitu milik Tiat-siang-kwi, tokoh kedua dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, perahu yang mereka larikan itu. Begitu mereka menemukan perahu, mereka berlima segera naik keperahu kecil itu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Pada saat itu, mereka melihat orang berbondong-bondong lari kepantai. Mereka telah ketahuan oleh Tikus Beracun dan anak-buahnya, akan tetapi perahu mereka telah menjauh dan mereka telah aman dari gangguan iblis-iblis jahat itu.

   "Ah, ternyata telah sehari penuh kita terkurung didalam terowongan bawah tanah itu," kata Yap-lojin.

   "Untung ada nona Ho Pek Lian, kalau tidak ah, agaknya aku orang tua ini sekarang hanya tinggal nama saja. Aku dan muridku ini sungguh berhutang budi dan nyawa kepada nona Ho."

   "Aih, Yap-Lo-cianpwe, bagaimana dapat bersikap sungkan begitu? diantara kita ini mana bisa dikatakan melepas dan berhutang budi? Aku bahkan berterimakasih sekali dapat bertemu kembali dengan enci Bwee Hong. Bagaimanakah enci Bwee Hong dapat muncul secara demikian tiba-tiba bersama Lo-cianpwe dipulau iblis itu? Aih, enci Hong, aku sudah putus harapan dan mengira engkau telah benar-benar lenyap ditelan lautan ganas," kata Pek Lian.

   "Sama saja dengan kekhawatiranku, adik Lian. Kusangka engkaupun sudah lenyap ketika aku tercebur kedalam lautan itu."

   "Ah, aku kebetulan sekali bertemu dengan perahu adik Siok Eng dan ialah yang menolongku. kemudian ia mengajakku ke pulau Ban-kwi-to itu karena ia hendak mencari setangkai bunga obat yang hanya terdapat disana. Dan engkau sendiri bagaimana, enci Hong?"

   "Akupun terapung-apung dan kebetulan bertemu dengan perahu Yap-Lo-cianpwe sehingga beliau dan Yap-taihiap yang menyelamatkan aku. Karena mereka berdua sedang menuju ke pulau Ban-kwi-to untuk mencari putera Yap-Lo-cianpwe, maka akupun ikut dengan mereka. Sama sekali tidak pernah kuduga bahwa ditempat pesta yang berbahaya itu aku akan bertemu dengan engkau dan adik Siok Eng yang menyamar sebagai selir-selir cantik!" Tiga orang gadis itu lalu bercakap-cakap dengan gembira setelah pertemuan yang sama sekali tak tersangka-sangka itu, pertemuan yang mendatangkan kegembiraan karena melihat kenyataan bahwa teman yang disayangnya itu ternyata masih dalam keadaan selamat. Apa lagi setelah apa yang mereka alami diterowongan itu dan kemudian mereka bersama berhasil menyelamatkan diri dari ancaman bahaya maut.

   "Nona Ho," akhirnya Yap-lojin berkata,

   "Kalau nona mengetahui dimana adanya puteraku, harap segera memberi tahu karena aku ingin sekali tahu dimana dia berada."

   "Dia berada tak jauh dari sini, Lo-cianpwe. Dipulau kediaman Thian-te Tok-ong"

   "Hemm, Si Kelabang Hijau tokoh kelima dari Tujuh Iblis itu?"

   "Benar, Lo-cianpwe. Lihat, air laut disini berwarna kekuning-kuningan dan berbau busuk."

   "Memang begitu," kata Siok Eng yang banyak tahu tentang Ban-kwi-to karena sebelum berangkat ia telah mempelajarinya dari ayahnya.

   "Air laut disini terkena pengaruh racun membusuk dari bangkai-bangkai dan tulang-tulang yang dibuang oleh Tiat-siang-kwi tokoh kedua dari Tujuh Iblis. Tempat ini sudah termasuk wilayahnya. Nah, itu pulau yang nampak gersang didepan, disanalah raksasa itu tinggal."

   "Hemm, tempat mengerikan," kata Kiong Lee.

   "Tidak nampak pohon sama sekali. Hanya batu dan pasir melulu. Tempat berbahaya!"

   "Lebih baik kita berputar dan menghindari tempat ini. Bukan main busuk baunya." Perahu didayung terus meninggalkan pulau gersang itu dan bau busuk itupun makin menghilang dan kini air laut berobah warnanya menjadi agak kebiruan bercampur warna ungu, dan bau yang tadinya busuk seperti bangkai itu kini berobah menjadi amis sekali, makin lama makin memuakkan! Semua orang memencet hidung karena bau itu membuat orang ingin muntah.

   "Daerah ini termasuk wilayah orang terakhir dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to, yaitu suami-isteri Imkan Siang-mo. Pulau kediaman mereka penuh dengan lumut dan rawa-rawa, banyak terdapat binatang air dan binatang melata yang beracun sekali. Lihat, itu pulaunya sudah tampak dari sini," kata pula Kwa Siok Eng puteri ketua Tai-bong-pai itu. Karena ingin tahu, Yap-lojin mengajak mereka untuk mendayung perahu itu mendekati pulau, apa lagi karena arus disitu kuat sekali. Tiba-tiba mereka mendengar suara mendengung-dengung dari atas pulau dan nampaklah sekelompok lebah terbang lewat dan tercium bau wangi arak.

   "Ahh... lebah arak putih!" seru Yap-lojin dan wajahnya berobah karena dia tahu betapa jahat dan berbahayanya lebah-lebah itu.

   "Kurang ajar!" Tiba-tiba Kiong Lee memaki dan memalingkan mukanya agar tidak melihat apa yang terjadi diatas pasir dipantai yang berdekatan. Akan tetapi, tanpa disengaja, seruannya itu bahkan membuat tiga orang dara memandang kearah pantai. Mata mereka terbelalak, muka mereka berobah merah sekali dan cepat-cepat merekapun membuang muka. Apakah yang mereka lihat disana? Dua orang manusia berlainan kelamin, seorang pria dan seorang wanita, sudah kakek dan nenek, akan tetapi gaya dan lagaknya membuat orang-orang muda merasa malu.

   Mereka berdua itu sedang bersenda-gurau bermain cinta diatas pasir dalam keadaan telanjang bulat! Dua orang itu bukan lain adalah Imkan Siang-mo, yaitu Bouw Mo-ko dan Hoan Mo-li, suami-isteri yang jahat seperti iblis dan yang tidak tahu malu itu, orang keenam dan ketujuh dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to. Ketika mereka melihat ada perahu lewat, keduanya cepat mengenakan pakaian, lalu mereka memaki-maki, mencak-mencak dan mencari perahu mereka untuk melakukan pengejaran. Akan tetapi, Yap-lojin dan rombongannya sudah cepat meninggalkan pulau cabul itu! Atas petunjuk Siok Eng, perahu itu kini memasuki daerah yang berbau semerbak harumi dan air laut kini berobah warnanya, menjadi kemerahan! Siok Eng memperhatikan sekeliling lalu berkata,

   "Kita telah memasuki daerah kekuasaan Jeng-bin Siang-kwi (Sepasang Iblis Bermuka Seribu), dua orang wanita kembar yang menjadi tokoh ketiga dan keempat dari iblis-iblis itu. Mereka adalah sepasang wanita cantik yang ganas dan kejam bukan main. Kesukaannya adalah mengumpulkan pemuda-pemuda tampan."

   "Heii! Perahu kita oleng!" teriak Pek Lian. Air laut nampak bergelombang dan perahu mereka oleng kekanan kiri. Tiba-tiba mereka merasa perahu mereka tertumbuk sesuatu dan tergetar hebat seperti dihantam oleh sesuatu dari bawah. Dan disekeliling perahu itu mendadak muncul moncong-moncong binatang yang bergigi tajam macam moncong buaya.

   "Wah, perahu kita bocor!" teriak Kiong Lee "Cepat dayung perahu ke pulau!" teriak pula Yap-lojin dan dia menggunakan dayung, dibantu muridnya, menghantam kearah moncong-moncong buaya laut yang tersembul disekitar perahu. Akan tetapi, air mulai memasuki perahu dan untunglah bahwa tiga orang dara yang mendayung perahu itu memiliki tenaga sinkang yang kuat sehingga perahu sudah hampir mencapai pantai ketika air semakin memenuhinya. Merekapun berloncatan kepantai. Perahu tenggelam! Sejenak mereka berlima berdiri bengong memandang kearah perahu mereka yang tenggelam dan perahu itu bergerak kesana-sini seperti diserang oleh binatang-binatang buas itu didalam air. Tak lama kemudian, nampak pecahan-pecahan perahu mereka terapung dipermukaan air. Yap-lojin menghela napas panjang sedangkan gadis-gadis itu bergidik.

   "Untung kita sudah dekat dengan pulau ini, kalau ditengah-tengah lautan bisa berbahaya. Sekarang kita harus berusaha mendapatkan perahu lain." Dengan hati-hati mereka berlima menyusuri pantai. Pulau itu merupakan pulau yang indah dan subur, penuh dengan pohon-pohon yang hijau dan rimbun daunnya. Juga banyak pohon-pohon bunga tumbuh disana-sini, bentuk dan warnanya bermacam-macam, selain indah dipandang, juga sedap dicium karena baunya harum semerbak.

   "Kita harus hati-hati. Biarpun bunga-bunga itu kelihatan indah dan berbau harum, akan tetapi semua itu beracun!" kata Siok Eng memperingatkan. Bwee Hong dan Pek Lian memandang kagum dan menjulurkan lidah. Tiba-tiba Yap-lojin memberi isyarat dan mereka semua cepat menyelinap dan bersembunyi dibalik pohon-pohon, mengintai kedepan. Dari jauh nampak dua orang wanita kembar sedang berjalan mendatangi tempat itu, bergandeng tangan dengan dua orang pemuda. Kedua orang pemuda itu kelihatan lesu dan loyo, mandah saja digandeng dan diajak berjalan kemanapun. Ketika mereka sudah tiba agak dekat, Bwee Hong memegang tangan Pek Lian. Nona inipun sudah mengenal kedua orang pemuda itu. Yang seorang adalah kakak Bwee Hong, yaitu Chu Seng Kun, sedangkan pemuda yang kedua adalah A-hai, pemuda sinting yang aneh itu!

   "Kakakku!" Bwee Hong berbisik, lirih akan tetapi terdengar oleh empat orang kawannya.

   "Ssttt!" Kwa Siok Eng memberi isyarat.

   "Hati-hati, lebih baik kita membayangi mereka. Kelihatannya kakakmu itu keracunan, mungkin terbius atau keracunan hebat karena racun perampas ingatan."

   "Hemm, itukah kakakmu yang kau cari-cari itu?" tanya Yap-lojin kepada Bwee Hong. Yang ditanya mengangguk sambil mengepal tinju, agaknya dapat menahan kesabarannya lagi dan ingin menerjang sepasang iblis kembar yang cantik Mereka membayangi dari jauh.

   Senja telah mulai gelap dan cuaca gelap ini memudahkan mereka membayangi empat orang yang berjalan sambil bergandeng tangan didepan itu. Sepasang iblis kembar itu membawa dua orang pemuda tawanannya itu kedalam sebuah gedung, langsung memasuki ruangan belakang. Dua orang pelayan wanita sibuk mengeluarkan hidangan diatas meja dan mereka berempat lalu berpesta-pora, makan-minum Sepasang iblis itu dengan sikap manja dan genit beberapa kali menyuguhkan arak kepada sepasang pemuda tampan, atau menyuapkan makanan dengan sumpit mereka, dan kadang-kadang mencumbu mereka. Melihat ini, kembali tiga orang dara itu menjadi merah mukanya, akan tetapi sekali ini Bwee Hong hampir tidak kuat bertahan dan ingin menyerbu saja.

   "Enci Hong, harap bersabar. Kita harus berhati-hati. Ilmu silat kedua orang iblis itu sih tidak perlu dikhawatirkan, akan tetapi mereka itu licik sekali dan ilmu mereka tentang racun amat hebat. Apa gunanya kita turun tangan menolong kakakmu kalau kemudian ternyata bahwa kakakmu keracunan hebat dan sukar ditolong nyawanya? Kedua orang pemuda itu jelas dalam keadaan tidak wajar. Tentu ada sebabnya," bisik Siok Eng. Pek Lian mengangguk-angguk.

   "Enci Hong. apa yang diucapkan Eng-moi itu memang benar. kau lihat saja A-hai itu. Dia adalah seorang yang wajar dan tidak mampu pura-pura, kini diapun kelihatan tidak wajar dan seperti kehilangan akal. Aku yakin bahwa mereka berdua itu dalam keadaan terbius atau terampas akal mereka oleh racun yang digunakan oleh dua iblis itu. Kita menanti saat yang baik." Akan tetapi kini dua orang wanita kembar itu sudah bangkit dan menggandeng kedua orang pemuda memasuki sebuah kamar besar dan lima orang yang mengintai itu tidak dapat mengintai lagi. Sebelum mereka tahu apa yang harus mereka lakukan, tiba-tiba terdengar suara parau dari jauh.

   "Siang-sumoi! dimana kalian?" Kemudian, terdengar langkah-langkah yang membuat lantai tergetar. Muncullah seorang raksasa yang memasuki ruangan itu dan langsung masuk kedalam kamar besar dimana dua orang iblis cantik dan dua orang mangsanya tadi masuk.

   "Kiong Lee, lihatlah apa yang terjadi didalam, Biar kami menanti disini dan baru turun tangan kalau kau beri isyarat. Hati-hati, jangan sembarangan bertindak."

   "Baik, suhu!" Dan tubuh pemuda itu sudah mencelat keatas, menerobos daun-daun pohon dan hinggap diatas wuwungan rumah. Gerakannya gesit seperti terbang saja sehingga Bwee Hong yang telah memiliki ginkang paling hebat itupun memandang kagum. Apa lagi Pek Lian yang paling rendah tingkat kepandaiannya, memandang terbelalak. Siok Eng juga kagum memuji,

   "Bukan main!"

   "Dia memang anak yang baik dan patut dibanggakan," kata sang guru sambil tersenyum.

   Yap-lojin sengaja mengutus murid atau putera angkatnya itu untuk melakukan pengintaian sendiri saja. Kalau mereka berlima semua mengintai diatas wuwungan, tentu mudah diketahui lawan, dan selain itu, yang terpenting baginya adalah agar tiga orang dara itu tidak usah melihat apa yang terjadi didalam kamar itu, yang diduganya tentulah adegan cabul yang tidak layak ditonton gadis-gadis seperti mereka. Kiong Lee mengintai kedalam. Dari sebuah lubang digenteng dia melihat Seng Kun, kakak Bwee Hong itu, rebah diatas sebuah kursi panjang sambil minum arak. Pemuda lain yang bertubuh tinggi tegap berwajah tampan gagah, yang oleh Pek Lian disebut bernama A-hai, nampak tertelungkup diatas meja, agaknya sudah mabok dan tertidur. Di atas tempat tidur rebah dua orang wanita kembar itu, dengan pakaian hampir telanjang. mereka itu cekikikan, entah apa yang mereka bicarakan dan tertawakan.

   "Siang-sumoi, dimana kalian?" seruan lantang dari Tiat-siang-kwi, ji-suheng mereka itu membuat mereka cepat bangkit dari tempat tidur. Akan tetapi sebelum mereka sempat membetulkan pakaian dalam yang awut-awutan itu, si raksasa sudah muncul dari luar memasuki kamar besar itu.

   "Ha-ha-ha, Siang-sumoi, kalian sungguh tidak manis kepadaku! Berkali-kali kalian menghindarkan diri, menjauhi aku dan tidak mau melayaniku seperti biasa, padahal dahulu kalian suka saling berebut untuk melayaniku. Hemm, sejak kalian merampas dua orang bocah itu dari tangan Sanhek-houw dan Sin-go Mo Kai Ci, kalian seperti sudah lupa diri. Ini namanya mendapatkan kekasih baru melupakan yang lama. Jangan begitu, Siang-sumoi, sekali ini kalian harus melayani aku, untuk mengobati rinduku kepada kalian yang sudah bertumpuk-tumpuk!" Raksasa itu lalu melangkah maju mendekat. Kini dua orang wanita itu sudah berdiri berdampingan menghadapi si raksasa. Mereka memang cantik dan bertubuh denok menggairahkan dan nampaknya usia mereka antara tiga puluh sampai tiga puluh lima tahun.

   "Ji-suheng, pergilah dan jangan ganggu kami. Kami sedang lelah" kata seorang diantara mereka.

   "Biar lain hari saja kami melayanimu, ji-su-heng!" kata yang kedua.

   "Ha-ha-ha, kalian lelah karena susah payah membujuk dua orang muda yang keras kepala itu, ya? ha-ha, kenapa susah-susah membujuk rayu orang-orang yang tidak mau. sebaliknya menolak orang yang mau dan bergairah besar seperti aku? Sudahlah, Siang-sumoi, kita panggang saja daging kedua orang muda ini. Dagingnya kalau dipanggang tentu lezat dan akan kuajarkan kalian makan daging manusia yang selain lezat juga dapat mendatangkan kekuatan. Dan mari kalian layani aku, mari kita main-main sepuasnya seperti dahulu!" Raksasa itu mengulur tangan hendak merangkul mereka. Akan tetapi dua orang wanita itu mengelak dan kelihatan marah.

   "Ji-suheng, ingat bahwa engkau berada ditempat kami. Pergilah dan jangan ganggu kami. Ataukah kami harus menggunakan kekerasan?"

   "Ha-ha-ha, apakah kalian juga ingin aku menggunakan kekerasan untuk bermain-main dengan kalian?" Raksasa itu menubruk kedepan,. akan tetapi kedua orang wanita itu bukan hanya mengelak, bahkan kini menyerang dari kanan kiri dengan hebatnya! Terjadilah perkelahian mati-matian dalam kamar itu! Walaupun mereka itu masih merupakan sekutu bahkan saudara-saudara seperguruan, namun karena mereka adalah datuk-datuk kaum sesat yang batinnya dipenuhi oleh nafsu pementingan diri sendiri, mereka saling serang dengan sungguh-sungguh dan mati-matian. Mereka tidak saling mempergunakan racun karena maklum bahwa hal itu tidak berguna mengingat bahwa mereka bertiga itu sudah kebal racun, maka mereka berkelahi dengan mempergunakan ilmu silat saja.

   Dan dalam hal ilmu silat dan tenaga, sepasang wanita kembar itu harus mengakui keunggulan si raksasa. Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi) tertawa-tawa ketika dia mulai dapat melukai dua orang sumoinya dengan pukulan-pukulan, tendangan dan kadang-kadang cengkeraman tangannya. Dia merasa gembira bukan main dapat menghajar dua orang wanita itu. Tubuh yang hanya tertutup pakaian dalam yang banyak memperlihatkan kulit tubuh yang mulus itu menjadi bulan-bulan pukulan, tamparan dan tendangan, nampak lecet-lecet dan matang biru babak-belur. Bahkan darah mulai meleleh dari mulut dan hidung mereka. Hal ini membuat si raksasa semakin bernafsu dan gembira. Tentu saja Tiat-siang-kwi tidak pernah mencinta dua orang wanita itu dalam arti yang sesungguhnya, baik mencinta sebagai pria terhadap wanita maupun mencinta sebagai saudara terhadap adik-adik seperguruannya.

   Yang ada hanya nafsu dan kalau dia kadang-kadang bermain cinta dengan mereka, sepenuhnya yang menjadi pendorong hanyalah nafsu berahi yang memperalat orang lain demi pemuasan diri. Kini, nafsu berahinya agaknya telah berobah menjadi nafsu kekejaman dan kesadisan melihat tubuh yang mulus itu mulai babak belur dan berdarah. Chu Seng Kun yang tadinya rebah diatas kursi sambil minum arak, memandang dengan sikap tenang dan tidak acuh, akan tetapi A-hai yang tadinya tertelungkup diatas meja dan seperti tidur nyenyak, kini sudah bangkit berdiri, mukanya menjadi pucat melihat penyiksaan sadis yang dilakukan oleh si raksasa itu terhadap dua orang wanita yang kini hanya dapat melawan dengan lemah saja. mulut A-hai komat-kamit dan terdengar dia mengeluh panjang pendek.

   "Ahhh... jangan berkelahi... jangan mem bunuh, ahhh jangan menggunakan kekerasan untuk menyiksa orang lain" Ketika dia melihat darah bercucuran dari hidung dan mulut sepasang iblis kembar yang cantik itu, A-hai menutupi mukanya dengan kedua tangan dan dengan terhuyung-huyung seperti orang mabok diapun sempoyongan menuju kearah pintu keluar.

   "Ha-ha-ha!" Si raksasa terbahak dan dengan dua kali jotosan, tubuh dua orang wanita itu terpelanting roboh dengan napas senin-kemis. Melihat betapa dua orang lawannya sudah tidak mampu melawan lagi, dan melihat A-hai menuju kepintu, Tiat-siang-kwi membentak,

   "Heh, kelinci tolol, kau hendak lari kemana? Engkau kasihan dan sayang kepada mereka, ya? Pantas mereka tidak mau lagi dengan aku. Huh, lihat saja nanti kalau sudah kuganyang dagingmu dan kuminum darahmu!" Melihat raksasa itu mengejar kepintu, kearah A-hai yang hendak pergi meninggalkan kamar itu, Kiong Lee sudah bersiap-siap. Dia tidak mungkin membiarkan raksasa itu membunuh pemuda yang kelihatan lemah itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar siulan keras. Itulah siulan gurunya yang memanggilnya! Dia cepat menoleh dan memandang kebawah. Kiranya didalam gelap itu telah terjadi pertempuran. Si Tikus Beracun dan Imkan Siang-mo, suami-isteri cabul itu, telah datang membawa anak-buah mereka. Melihat ini, Kiong Lee menjadi bingung, mana yang harus dibantunya lebih dulu. Terdengar suara gaduh didalam kamar. Dia memandang dan dia mengerutkan alisnya.

   Ternyata dia telah terlambat. Pemuda itu telah dihajar, terkena pukulan keras dari kepalan tangan yang besar dan kuat dari Tiat-siang-kwi sehingga pemuda itu terlempar menabrak meja, lalu jatuh tunggang-langgang dengan darah mengucur dari luka didahinya. Pemuda itu bangkit duduk, nampak nanar dan tangannya meraba kearah dahi yang terbuka. Kembali terdengar siulan gurunya. Kiong Lee semakin bingung. Dia melihat betapa Tiat-siangkwi sudah mencabut senjatanya, yaitu golok gergaji yang besar mengerikan. Agaknya raksasa itu benar-benar hendak membantai dan menguliti pemuda itu. Pada saat itu, A-hai mengusap lukanya dan ketika dia melihat tangannya penuh darah, juga mukanya menjadi berlepotan darah, terjadi perobahan hebat pada dirinya. Matanya terbelalak, mencorong ganas, dan lidahnya terjulur menjilati darah yang berlepotan ditelapak tangannya sambil menggumam lirih,

   "Darah darah!" Melihat ini, Kiong Lee terbelalak dan merasa kasihan sekali. Dia mengira bahwa tentu pukulan si raksasa tadi telah mengakibatkan luka didalam kepala pemuda itu sehingga dia mendadak menjadi gila! Dan Tiat-siang-kwi sendiripun melihat ini dan si raksasa tertawa lalu menyimpan kembali goloknya.

   "Ha-ha-ha, akan kubeset kulitmu dengan kuku jari tanganku saja, ha-ha-ha!" katanya dan tiba-tiba kata-katanya terhenti dan matanya terbelalak ketika dia melihat secara luar biasa sekali pemuda yang menjilati darah dari telapak tangannya itu mendadak terbang! Ya, gerakan pemuda itu hanya tepat disebut "terbang" karena tidak nampak dia membuat gerakan meloncat dan tahu tahu tubuhnya sudah meluncur keatas, kedepan dan menyerangnya. Kiong Lee sendiri terbelalak melihat ini, sungguh penglihatan yang ajaib dan membuat dia merasa seperti dalam mimpi. Sementara itu, Chu Seng Kun yang sedang minum arak itu masih enak-enak saja minum araknya dalam keadaan tidak sadar, terbuai dalam kemabokan mendalam.

   "Haaaiiiittt!" Tiat-siang-kwi menangkis, bahkan menyambut serangan itu dengan hantaman tangannya yang terbuka seperti cakar naga.

   "Blaarrrrr!" Dua tenaga raksasa bertemu dan seluruh ruangan sampai keatas genteng tergetar hebat. Akibatnya... tubuh raksasa sebesar gajah itu terlempar melayang menghantam dinding sehingga dinding kamar itu jebol dan tubuhnya yang besar itu terbanting keluar!

   "Adouuhh, ehhh, ohhh...!" Si raksasa merangkak bangun, memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak melalui lubang besar didinding kepada pemuda itu, kemudian membalikkan tubuh dan lari tunggang-langgang! A-hai, yang sudah berobah menjadi buas itu segera mengejar melalui lubang didinding. Kiong Lee mengucek-ngucek kedua matanya, lalu berkejap-kejap, masih belum dapat percaya akan penglihatannya sendiri. Raksasa itu demikian lihai dan kuat sehingga dua orang sumoinya juga tidak kuat melawannya. Akan tetapi apa yang telah terjadi sehingga sekali hantam saja A-hai telah membuat tubuhnya terlempar keras membobolkan dinding dan membuat raksasa itu lari ketakutan? Siulan gurunya untuk ketiga kalinya membuat dia sadar. Dia cepat meloncat turun.

   Kiranya gurunya dan juga tiga orang dara perkasa itu berada dalam keadaan berbahaya! Gurunya dikeroyok oleh Tikus Beracun dan puteranya, sedangkan tiga orang dara itu berkelahi melawan kakek dan nenek cabul. Tentu saja mereka berempat akan dapat mengalahkan lawan-lawan itu dengan mudah dalam keadaan biasa. Akan tetapi, mereka berempat itu kewalahan, bukan oleh lawan melainkan oleh ribuan ekor lebah putih yang beterbangan diatas kepala mereka dan menyerang mereka dengan ganas membuat empat orang pendekar itu benar-benar kewalahan. Bukan hanya bahaya penyengatan mereka yang beracun itu yang mengkhawatirkan, melainkan juga suara mereka yang berdengung seperti gemuruh air terjun itu membuat Yap-lojin dan kawan-kawannya panik. Bahkan ketika Kiong Lee menyerbu, pemuda itupun segera dikeroyok oleh ribuan ekor lebah putih.

   "Lari kebawah pohon itu!" Tiba-tiba Yap-lojin berteriak dan empat orang muda itu mengerti maksudnya. Kalau mereka berada dibawah pohon yang rindang daunnya itu, tentu lebah-lebah ini akan kurang leluasa beterbangan diatas kepala mereka, atau setidaknya tentu jumlah mereka berkurang karena sempitnya ruangan diatas kepala mereka.

   Maka mereka lalu memutar sebelah tangan diatas kepala sedangkan tangan lain dipergunakan untuk menghadapi serangan musuh, dan merekapun akhirnya berhasil menyusup kebawah pohon walaupun Tikus Beracun, puteranya dan sepasang suami-isteri iblis itu mencoba untuk menghalangi mereka. Akan tetapi, hanya sebentar saja mereka merasa lega karena benar-benar ribuan lebah itu tidak begitu leluasa menyerang mereka, karena tiba-tiba Pek Lian menjerit-jerit dan diikuti oleh dua orang gadis lainnya ketika kaki mereka dirambati semut-semut merah yang buas sekali! Semut merah beracun yang buas. Repotlah mereka sekarang harus melawan musuh yang cukup berbahaya sambil menghalau lebah-lebah dan menepuk mati semut-semut yang merayap kemana-mana!

   "Lari kedalam rumah!" Kembali Yap-lojin memberi komando dan merekapun berlari-larian memasuki ruangan dimana A-hai dan Seng Kun berada. Biarpun mereka masih dikeroyok oleh empat orang iblis yang dibantu lebah-lebah mereka, namun kini mereka tidak sesibuk tadi. Lebih dari tiga perempat bagian dari pasukan lebah itu kebingungan, tertahan diantara daun-daun pohon tadi. Sedangkan yang masih mengeroyok mereka didalam rumah juga tidak dapat bergerak leluasa. Melihat betapa kawan-kawannya tidak kerepotan lagi, Bwee Hong segera lari menghampiri Seng Kun.

   "Koko!" katanya sambil merangkul pemuda itu. Akan tetapi Seng Kun hanya memandang kepadanya dengan sinar mata bingung karena kakak ini tidak mengenal adiknya lagi. Bwee Hong cepat memeriksa denyut nadi tangan kakaknya dan setelah melakukan pemeriksaan, iapun mengerti bahwa kakaknya berada didalam pengaruh obat bius perampas ingatan yang amat kuat. Pada saat itu, tiba-tiba nampak berkelebatnya orang kedalam ruangan itu. Ternyata dia adalah si raksasa yang melarikan diri dikejar oleh A-hai.

   "Dess!" Tubuh raksasa itu tunggang-langgang mengacaukan pertempuran yang sedang berlangsung.

   "Aduh... aduhh tobat! Aku menyerah!" teriaknya dengan suara parau dan mulutnya muntahkan darah segar. Akan tetapi, agaknya A-hai sudah seperti kesetanan. Dia mengeluarkan suara gerengan buas, tubuhnya melayang keatas dan jari-jari tangannya terbuka, mencengkeram kearah kepala raksasa itu. Melihat ini, Kiong Lee terkejut. Bagaimanapun juga, dia tidak ingin melihat pemuda aneh itu menjadi seorang pembunuh keji, membunuh lawan yang sudah mengaku kalah dan bertobat. Dia menyayangi pemuda luar biasa itu, maka untuk mencegah agar A-hai jangan menjadi pembunuh keji, diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan menggunakan tangannya memukul kearah lengan A-hai yang terulur hendak mencengkeram kepala Tiat-siang-kwi itu.

   "Dukkk!" Dua lengan bertemu, keduanya terisi tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya. Akibatnya, pukulan A-hai itu menyeleweng dan menghantam lantai dibawah, dekat kaki Tiat-siang-kwi.

   "Blarrrr...!" Debu mengepul tinggi dan lantai itu berlubang besar. Semua orang terkejut dan memandang kagum. Kiong Lee sendiri terkejut bukan main ketika lengannya bertemu dengan lengan pemuda itu dan dia sudah meloncat kebelakang sejauh tiga meter. Kini dia berdiri tegak dan memandang dengan mata bernyala. Hatinya terbakar juga. Sebagai seorang pemuda perkasa, dia telah menemukan tandingan. Kini kedua orang muda itu berdiri saling pandang, sama-sama tegap dan gagah. Akan tetapi sepasang mata A-hai tidaklah sebuas tadi, agak meredup, agaknya ada sesuatu yang meringankan kegilaannya yang kambuh itu. Melihat ini, Pek Lian meninggalkan sepasang suami-isteri tua yang masih bertanding melawan Siok Eng dan iapun cepat menghampiri dua orang pemuda yang saling berhadapan dalam jarak tiga meter seperti dua ekor ayam jantan yang hendak berlaga itu.

   "Saudara Yap, dia... tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Jangan layani dia!" Setelah berkata demikian, Pek Lian menghampiri A-hai.

   "A-hai, lupakah engkau kepadaku?" A-hai memandang kepada Pek Lian, alisnya berkerut dan dia menggeleng kepalanya, akan tetapi walaupun dia tidak mengenal gadis ini, agaknya ada sesuatu yang membuat hatinya lunak dan pandang matanya tidak seganas tadi. Pada saat itu, tanpa diketahui orang lain, Tiat-siang-kwi yang nyaris melayang nyawanya kalau tidak ditolong oleh Kiong Lee, tiba-tiba melompat dan menubruk Bwee Hong yang sedang memeriksa keadaan kakaknya.

   Semua orang terkejut dan Pek Lian menjerit. Akan tetapi terlambat karena Bwee Hong yang tidak mengira akan diserang itu, tahu-tahu telah dicengkeram bahu dan tangan kirinya. Ia dibikin tidak berdaya dengan pukulan jari tangan pada tengkuknya, dan kini kuku-kuku jari yang runcing melengkung itu menusuk daging balut dan lengannya yang lembut. Darah mengalir keluar. Sambil tertawa si raksasa itu menyeret Bwee Hong, dengan kasar dan buas, menjauhi Seng Kun yang masih memandang dengan linglung. Sambil tertawa-tawa ganas, raksasa itu lalu mencengkeram kaki Bwee Hong, diangkatnya dara itu dan iapun mengamuk, memutar-mutar tubuh Bwee Hong untuk mencari dan membuka jalan keluar dan membantu kawan-kawannya.

   Tentu saja Yap-lojin dan teman-temannya menjadi khawatir dan cepat mundur, tidak berani menyerang karena takut kalau-kalau serangan mereka mengenai tubuh Bwee Hong yang diputar-putar itu. Mereka memandang gelisah, tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan yang amat curang itu. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara geraman buas seperti keluar dari mulut seekor binatang liar. Sepasang mata A-hai yang tadinya sudah meredup, berobah ganas lagi. Sepasang mata itu kini memandang kearah si raksasa dengan pandang mata buas, seperti mata harimau yang penuh nafsu membunuh. Tubuhnya perlahan-lahan bergerak, berputar kearah raksasa yang tertawa terbahak-bahak kegirangan melihat musuh-musuhnya yang tangguh itu menyingkir semua.

   Tiba-tiba, kedua lengannya mengeluarkan uap putih dan begitu tangan kirinya digerakkan kedepan seperti menusuk kearah kaki Tiat-siang-kwi, raksasa itu berteriak kesakitan dan kakinya terkulai, lututnya tertekuk. Dia hanya merasa seolah-olah pahanya dihantam palu godam yang tidak nampak. Dia mencoba bangkit, akan tetapi jatuh berlutut lagi. A-hai kembali menggerakkan tangan kanannya, kini membuat gerakan membacok kearah pundak. Kembali raksasa itu berteriak kesakitan dan lengan kanannya terkulai. Tentu saja Bwee Hong terlepas jatuh kelantai dan Siok Eng cepat menyambarnya dan memulihkan jalan darahnya yang tadi tertotok. Sementara itu, Yap-lojin yang sejak tadi mengikuti semua gerakan A-hai, ternganga dan tanpa disadarinya dia menggeleng-geleng kepala dan berkata,

   "Thai-kek Sin-ciang!" Kiong Lee terkejut. Yang disebut gurunya itu adalah ilmu pukulan yang kabarnya hanya dimiliki dewa saja, yang hanya terdapat dalam dongeng. Akan tetapi, melihat apa yang dilakukan oleh A-hai tadi, dia percaya bahwa ilmu pukulan jarak jauh itu sungguh amat luar biasa. Sikap A-hai sungguh luar biasa sekali. Setelah si raksasa roboh, kebuasannyapun lenyap dan kini dia termangu-mangu memandang kepada Bwee Hong yang juga sudah bangkit berdiri dan memandang kepadanya setelah terbebas dari totokan. Dan tiba-tiba saja, A-hai menangis! Air matanya bercucuran dan dia memandang kepada Bwee Hong melalui air matanya, kemudian diapun berlari kedepan, menubruk kedua kaki itu dan menangis.

   "Ibu... ibu...!" A-hai meratap sambil merangkul kedua kaki Bwee Hong. Sejenak suasana menjadi hening, akan tetapi melihat robohnya adiknya yang kedua, tetok-ci lalu mengeluarkan aba-aba lagi dan semua anak-buahnya bergerak lagi mengeroyok. Pertempuran pecah lagi dan kini pihak tuan rumah ditambah dengan dua orang wanita kembar yang agaknya sudah pulih kesehatannya dan sudah berpakaian.

   Yap-lojin memimpin kawan-kawannya untuk melakukan perlawanan. Hanya A-hai dan Bwee Hong yang tidak memperdulikan itu semua. A-hai masih merangkul kedua kaki dara itu sambil menangis. Sejenak Bwee Hong menjadi bengong termangu-mangu. Akan tetapi, melihat penolongnya yang memiliki kesaktian luar biasa itu kini berlutut didepannya sambil memeluk kedua kakinya dan menangis, Bwee Hong membiarkannya saja. Sedikit banyak ia sudah mendengar dari Pek Lian tentang pemuda aneh ini yang agaknya mengalami guncangan jiwa yang amat hebat. Melihat keadaan pemuda ini, timbul rasa iba yang amat mendalam dihati Bwee Hong. Tak terasa lagi kedua tangannya menyentuh dan membelai rambut kepala A-hai yang awut-awutan itu dan dengan suara halus ia membujuk,

   "Jangan menangis!" Akan tetapi ia sendiri tidak dapat menahan menetesnya beberapa butir air mata dari sepasang matanya karena terharu dan kasihan. Mendengar suara halus ini, A-hai mengangkat mukanya. Air mata gadis itu mengalir turun dan menetes dari wajahnya yang menunduk, jatuh mengenai dahi A-hai, mengalir turun bercampur dengan air mata pemuda itu. Tiba-tiba tubuh A-hai bergetar. Agaknya ada suatu pergolakan jiwa terjadi dibawah sadarnya dan tiba-tiba saja tangisnya meledak, terisak-isak tak terkendalikan lagi. Hati Bwee Hong semakin terharu. Ia merasa betapa pemuda itu merangkul kakinya sambil menangis sesenggukan, membasahi sepatunya dengan air mata yang hangat.

   "Sudahlah harap jangan menangis" bujuknya akan tetapi ia sendiripun menangis. Menghadapi peristiwa ini, semua orang menjadi bengong. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara berdengung nyaring, bergemuruh datang dari luar. Itulah suara pasukan lebah, pikir Pek Lian dengan hati ngeri.

   "Yap-Lo-cianpwe, kita harus cepat pergi dan sini!" katanya.

   "Benar," kata Yap-lojin setelah tadi dia sendiri termangu menyaksikan hal-hal yang luar biasa itu.

   "Kiong Lee, engkau mengendong Chu Seng Kun!" Kiong Lee juga melihat datangnya ancaman bahaya. Agaknya pihak lawan yang tadi mengundurkan diri karena merasa kalah kuat, kini telah menyusun kembali kekuatannya dan hendak datang menyerbu. Maka diapun cepat menggendong Chu Seng Kun yang selain kehilangan ingatannya, juga kelihatan amat lemah. A-hai kini tidak kelihatan lemah lagi walaupun dia juga seperti kebingungan dan bahkan tidak mengenal Pek Lian. Akan tetapi, begitu Bwee Hong mengulurkan tangan dan berkata,

   "A-hai, mari kita pergi dari sini." Diapun bangkit dan kelihatan girang, seperti seorang anak kecil yang diajak pesiar oleh ibunya.

   "Mari ikut aku!" Pek Lian berkata cepat dan segera ia membawa rombongan itu melalui terowongan dibawah laut yang menuju ke pulau Si Kelabang Hijau, tokoh kelima dari para penghuni Ban-kwi-to itu. Selagi mereka berlari-lari memasuki terowongan, terdengar suara tetok-ci dan anak-buahnya mengejar dari belakang. Akan tetapi, agaknya para pengejar itu juga tidak terlalu berani sehingga pengejaran mereka itu dilakukan dari jarak jauh saja sehingga memudahkan Yap-lojin dan rombongannya untuk melarikan diri. Setelah mereka keluar dari mulut terowongan dan tiba dipulau tempat kediaman Kelabang hijau, Yap-lojin dibantu Kiong Lee lalu menggu-nakan tenaga sinkang mereka menggempur batu karang dimulut terowongan sehingga batu-batu itu terbongkar dan terowongan itu. tertutup!

   "Inikah pulau dimana puteraku berada?" tanya Yap-lojin.

   "Benar, Lo-cianpwe. Inilah tempat tinggal Thian-te Tok-ong atau cengyakang Si Kelabang hijau tokoh kelima dari Tujuh Iblis itu," jawab Pek Lian. Mereka lalu memasuki bangunan yang berada ditengah pulau. Akan tetapi, ternyata rumah itu kosong dan biarpun mereka telah mencari keseluruh pulau itu, namun mereka tidak dapat menemukan bayangan Si Kelabang Hijau maupun bayangan Yap Kim. Tentu saja Yap-lojin dan kawan-kawannya menjadi kecewa sekali.

   "Tentu iblis itu telah tahu akan kedatangan kita maka dia sudah lebih dahulu melarikan diri mengajak putera Lo-cianpwe," kata Pek Lian. Pada saat itu, terdengar bunyi terompet kapal ditiup nyaring. Mendengar ini, Kwa Siok Eng terbelalak.

   "Ah, itu suara kapalku berada dalam bahaya. Dayang-dayangku memanggil agar aku segera kembali keperahu kami." Rombongan itu lalu berlari-lari kearah dimana perahu besar Tai-bong-pai itu disembunyikan. Seperti kita ketahui, ketika Siok Eng dan Pek Lian meninggalkan perahu, para dayang atau anak-buah Tai-bong-pai itu oleh Siok Eng diperintahkan untuk menunggu dan bersembunyi disitu sampai ia kembali. Ketika rombongan ini sedang berlari menuju kepantai dimana perahu itu disembunyikan, dijalan mereka bertemu dengan seorang anak-buah Tai-bong-pai yang terhuyung-huyung dan mukanya kehijauan.

   "Siocia perahu kita dirampas seorang gendut dan seorang pemuda" dan dayang itu terguling dan terkulai, tewas.

   "Si Kelabang Hijau!" Siok Eng berseru marah melihat tewasnya anak-buahnya dengan muka kehijauan itu. Ia tahu bahwa itulah akibat pukulan yang mengandung racun kelabang hijau yang amat ganas. Mereka lalu mempercepat lari mereka kearah pantai dan benar saja, diatas perahu besar itu nampak belasan orang anggauta Tai-bong-pai kewalahan menandingi seorang kakek gemuk pendek dan berkepala gundul yang lihai sekali.

   "Iblis keparat, berani engkau mengacau orang-orang Tai-bong-pai?" Siok Eng membentak marah dan ia mendahului yang lain, menerjang keatas perahu dan langsung menyerang kakek gundul pendek itu.

   "Plak-plak-plakk!" Tiga kali tamparan Siok Eng dapat ditangkis oleh Si Kelabang Hijau akan tetapi kakek itu repot juga menghadapi kecepatan gerakan dara Tai-bong-pai ini.

   "Wah-wah-wah, galaknya!" Dia berteriak-teriak dan berloncatan kebelakang.

   "Yap-kongcu, bantulah!" Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dari dalam bilik perahu dan seorang pemuda menerjang Siok Eng untuk membantu kakek gendut pendek itu. Akan tetapi dari samping, Kiong Lee sudah meloncat dan menangkap tangan pemuda itu sambil berseru,

   "Sute!!" Pemuda tampan itu menoleh dan terkejut bukan main melihat Kiong Lee.

   "Eh, toa-suheng!" teriaknya girang.

   "Sute, lihat siapa yang datang!" Kiong Lee menunjuk kekiri dan ketika Yap Kim menoleh, dia makin terkejut dan girang.

   "Ayah!" teriaknya sambil menghampiri ayahnya dan menjatuhkan dirinya berlutut didepan kakek itu. Yap-lojin mengelus jenggotnya, dan alisnya berkerut. Hatinya lega melihat puteranya dalam keadaan sehat dan selamat, akan tetapi perasaannya tidak sedap melihat puteranya itu bersahabat dengan iblis macam Kelabang Hijau, bahkan tadi dilihatnya puteranya hendak membantu kakek iblis itu menghadapi Siok Eng.

   "Hemmm, bagus sekali! Engkau bergaul dengan segala macam iblis dan sekarang engkau malah hendak membantu iblis Kelabang Hijau ini melawan kami? Boleh, majulah dan lawanlah aku!" bentak Yap-lojin dengan muka merah karena marah.

   "Tapi tapi Tok-ong itu baik sekali, ayah!" Yap Kim berkata dengan muka pucat mendengar ucapan ayahnya yang mengandung kemarahan itu.

   "Hemm , dia baik? Orang yang mengatakan bahwa Tujuh Iblis penghuni Ban-kwi-to baik hanyalah orang jahat, dan dia adalah tokoh kelima dari Tujuh Iblis itu!"

   "Tapi... tahukah ayah... ketika aku terluka oleh Raja Kelelawar dan hampir mati, kalau tidak ada Tok-ong yang menolongku, tentu sekarang aku hanya tinggal nama saja. Aku berhutang nyawa padanya, ayah, dan kulihat selama ini dia bukan orang jahat. Perahu ini milik orang-orang Tai-bong-pai, bukankah perkumpulan itu termasuk perkumpulan kaum sesat, ayah? Kenapa ayah dan suheng malah berpihak kepada orang-orang Tai-bong-pai?'"

   Yap-lojin adalah seorang gagah perkasa yang berwatak adil. Mendengar ucapan puteranya itu, dia termangu-mangu. Memang benar ucapan puteranya yang terakhir itu. Tai-bong-pai terkenal sebagai perkumpulan hitam yang sesat, akan tetapi karena Siok Eng, puteri ketua Tai-bong-pai baik, diapun menganggapnya baik. Agaknya demikian pula dengan puteranya, yaitu menganggap baik kepada Thian-te Tok-ong karena Tok-ong bersikap baik, bahkan telah menyelamatkan nyawanya. Sesungguhnya, baik atau buruk hanyalah pendapat yang berdasarkan penilaian dan penilaian tentu saja amat pribadi, tergantung keakuan masing-masing. Dia menoleh dan melihat betapa Kelabang Hijau terdesak hebat karena sekarang Kiong Lee membantu Siok Eng.

   "Kiong Lee, bebaskan dia!" katanya. Mendengar bentakan ini, Kiong Lee melompat mundur, dan Siok Eng juga menghentikan penyerangannya dan memandang dengan ragu. Sementara itu, Thian-te Tok-ong meloncat turun dari perahu menghadapi Yap-lojin sambil tertawa-tawa.

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Ha-ha-ha-ha. Yap-lojin tidak suka kepadaku, hal itu tidaklah aneh! Akupun tidak suka kepadamu, dan tidak suka kepada para pendekar karena mereka itu adalah orang-orang sombong sok suci! Kami memang golongan jahat, akan tetapi setidaknya kami tidaklah berpura-pura suci. Tangan kami memang kotor dan kami mengakuinya, tidak menutupinya dengan sarung tangan bersih! ha-ha-ha, terus-terang saja, aku suka kepada Yap-kongcu karena dia tidaklah pura-pura suci seperti para pendekar."

   "Thian-te Tok-ong, Tujuh Iblis Ban-kwi-to sudah terkenal dengan kejahatannya. Orang yang suka bermain dengan racun seperti engkau, mana bisa dibilang baik?"

   "Bagus! Bagus! Memang sejak kecil aku sudah diajar bermain dengan segala macam binatang beracun. Dan binatang-binatang beracun itu lebih baik dari pada manusia. Setidaknya, mereka itu mempergunakan racun mereka untuk membela diri dan mereka tidak pura-pura. Sebaliknya, sikap gagah dan baik, sikap manis dari manusia menyembunyikan racun yang lebih jahat dari pada binatang beracun."

   Siok Eng termangu mendengar ucapan itu, ucapan yang sering kali didengarnya diantara para tokoh Tai-bong-pai sendiri! Ucapan yang mengandung kepahitan hati orang-orang yang dianggap jahat dan kotor, dipandang dengan sinar mata menghina oleh para tokoh kang-ouw yang menganggap diri mereka pendekar-pendekar budiman dan baik. Ia sendiri tidak setuju dengan tindakan-tindakan kasar dan bengis dari orang-orang Tai-bong-pai, namun kadang-kadang terasa pula olehnya betapa kau mnya itu dikesampingkan dan bahkan kadang-kadang dihimpit dan disudutkan oleh orang-orang yang menganggap diri mereka "baik." Sementara itu, Yap-lojin merasa penasaran mendengar kata-kata tokoh sesat itu yang jelas menyerang pihak pendekar.

   "Tok-ong, apakah engkau hendak mengatakan bahwa kaum sesat lebih benar dari pada para pendekar? Kalian adalah orang-orang yang suka melakukan kejahatan, mengandalkan kekerasan dan bertindak sewenang-wenang, sedangkan kami para pendekar mempergu-nakan kepandaian untuk menentang kejahatan dan membela pihak lemah yang tertindas. Bukankah sudah jelas adanya garis pemisah antara kita?"

   "Ha-ha-ha, Yap-lojin, apa yang berbeda? Kalau kami mempergunakan kekerasan dan membunuh, kalian para pendekar juga menggunakan kekerasan dan membunuh. Apa bedanya? Dan garis antara baik dan buruk, dimana letaknya? Pula, apakah engkau hendak melupakan bahwa tanpa adanya kami, kalian tidak akan ada? Tanpa adanya Im takkan ada Yang, tanpa adanya buruk takkan ada baik, tanpa adanya kanan takkan ada kiri! Kekayaan dapat dinikmati hanya karena adanya kemiskinan! Kesehatan dapat dinikmati karena adanya penyakit, dan apa artinya ahli pengobatan tanpa adanya racun-racun dan penyakit-penyakit? ha-ha-ha, dipikir lebih mendalam, kalian para pendekar yang suka sok suci ini sepatutnya berterima kasih kepada kami, karena sesungguhnya kamilah yang mengangkat nama kalian sehingga dipuji-puji sebagai pendekar!"

   Yap-lojin termangu bingung. Orang ini memiliki kepandaian bicara yang luar biasa, pikirnya. Pantas puteranya mudah terpikat. Dia menoleh kepada kawan-kawannya yang juga termangu bingung mendengar ucapan-ucapan yang langsung menyentuh hati mereka itu. Hanya A-hai seoranglah yang tidak acuh, juga Chu Seng Kun yang masih "linglung." Apa yang diucapkan oleh Thian-te Tok-ong atau cengyakang Si Kelabang Hijau secara ugal-ugalan itu memang sesungguhnya mengandung kenyataan-kenyataan yang patut untuk kita pikirkan.

   Didunia ini kehidupan manusia sudah terbelenggu dengan kuatnya oleh dua hal yang selalu bertentangan. Baik-buruk, senang-susah, kaya-miskin, pintar-bodoh, sorga-neraka dan selanjutnya. Keduanya merupakan lingkaran setan yang saling kait-mengait mempermainkan batin manusia sehingga setiap saat terjadilah konflik dalam batin antara yang satu dengan yang lain. Diantara semua dualisme itu yang terbesar mengguncang dunia dan manusia adalah perang dan damai. Karena adanya perang orang rindu akan perdamaian, lalu menggunakan segala cara, kalau perlu dengan cara berperang pula, untuk mencapai kedamaian! Padahal, kalau tidak ada perang, tidak seorangpun membutuhkan damai! Jadi, bukan damai yang perlu dikejar-kejar, melainkan perang yang perlu dihentikan atau dibuang jauh-jauh. Demikian pula dengan golongan yang baik dan yang jahat.

   Kaum pendekar yang "baik" ini menentang kaum yang dianggap jahat, kalau perlu dengan jalan kekerasan, bahkan membunuh. Akan tetapi, mungkinkah kejahatan dapat dibunuh atau dibasmi? Orangnya tentu dapat dibunuh atau disiksa, akan tetapi kejahatan itu letaknya bukan diluar atau ditubuh, melainkan didalam batin! Jadi, yang diobati haruslah batinnya kalau kita ingin melihat kejahatan lenyap. Kejahatan seperti penyakit, harus kita usahakan agar penyakitnya itu lenyap. Bagaimanapun juga, setelah kita terseret kedalam kebudayaan seperti sekarang ini, dimana kita terbelenggu oleh dualisme-dualisme yang saling berlawanan, kita dapat melihat bahwa segala hal-hal negatip ini bukannya tidak ada manfaatnya! Karena adanya kebodohan maka timbul gairah untuk belajar. Karena ada kemiskinan maka timbul perjuangan untuk memperoleh kemajuan dalam materi.

   Karena ada ancaman neraka maka timbul usaha untuk memperoleh sorga, dan sebagainya. Dan apakah artinya kekayaan kalau tidak ada kemiskinan? Kalau kita semua manusia diseluruh dunia ini kaya, siapakah yang akan dapat menikmati kekayaan lagi? Kalau tidak ada kebodohan, apa lagi artinya menjadi orang pintar? Bahkan setelah kita memasuki lingkaran setan dalam kebudayaan kita sekarang ini, jangankan orang-orang macam Tujuh Iblis itu, bahkan Setan sendiripun bukan tidak ada manfaatnya! Adanya Setan menjadi pendorong bagi manusia untuk berpaling dan mencari Tuhan! Andaikata tidak ada Setan, andaikata tidak ada dosa, mungkinkah manusia mencari TUHAN lagi? Untuk apa? Karena ucapan Si Kelabang Hijau itu mendatangkan kebingungan, maka Yap-lojin lalu berseru kepada puteranya,

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5 Naga Beracun Eps 30 Harta Karun Kerajaan Sung Eps 4

Cari Blog Ini