Darah Pendekar 29
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 29
"Sudahlah, saudara A-hai, mari kita lanjutkan perjalanan kita."
"Nanti dulu! Apakah sepuluh mayat itu dibiarkan begitu saja? Kita harus mengubur mereka lebih dulu!" Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dengan kagum. Biarpun gila, sinting atau tolol, pemuda ini sungguh masih memiliki budi yang luhur.
"Jangan sentuh mereka itu, saudara A-hai. Tubuh mereka telah keracunan dan menyentuh mereka saja dapat membuat kita kehilangan nyawa. Nanti tentu teman-temannya akan datang dan mengurus mayat mereka ini. Mari kita pergi sebelum teman-teman mereka ini datang dan mengganggu kita lagi." A-hai terpaksa ikut pergi sambil menggeleng-geleng kepala.
"Ilmu setan, dunia kejam dan gila, semua manusia kejam dan gila!" Dia mengomel terus seolah-olah dia lupa bahwa dia juga manusia dan berada didunia yang sama. Kini mengertilah Seng Kun bahwa perjalanan menuju ke Kotaraja itu bukan merupakan perjalanan yang aman.
Banyak halangan disepanjang jalan, terutama sekali mereka harus dapat menghindari pertemuan dengan pasukan kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, dan jangan sampai diketahui oleh mata-mata mereka yang agaknya telah disebar dimana-mana. Ketika mereka melanjutkan perjalanan, nampak jelas pengaruh dan akibat dari perang. Dusun-dusun sepi ditinggalkan penghuninya yang pergi mengungsi jauh keselatan. Bahkan kota-kota kecil yang tadinya ramai kini nampak sunyi karena para pedagang tidak berani berdagang. Sawah ladang tidak terpelihara, ditinggalkan begitu saja oleh para petani yang pergi mengungsi. Semenjak jaman dahulu sebelum sejarah sampai jaman kapanpun, selama manusia belum sadar, perang masih akan selalu timbul. Perang merupakan puncak kebudayaan merusak dari manusia.
Perang adalah keji dan kejam, apapun yang menjadi dalih dan alasannya bagi yang membela dan mempertahankannya. Perang merupakan puncak adanya konflik lahir yang timbul dari kebencian, dan sebab adanya konflik lahir sesungguhnya didasari oleh adanya konflik batin dalam diri sendiri, diri setiap orang manusia. Karena itu, selama konflik batin dalam diri kita masing-masing belum musnah, jangan harap konflik lahir akan berhenti dan jangan mengharap pula karenanya perang akan lenyap dari permukaan bumi. Karena tidak ingin bertemu dengan pasukan-kepada Kaisar, kalau ada, ataupun pasukan para penguasa setempat yang bersekongkol dengan pasukan asing, maka Seng Kun mengajak adik dan temannya itu untuk mengambil jalan liar, masuk keluar hutan, kadang-kadang melewati lorong-lorong kecil bahkan jalan-jalan setapak.
Seng Kun ingin sekali segera sampai di Kotaraja dimana dia akan cepat menghadap Kaisar dan menceritakan segala-galanya agar jangan sampai kesalah-pahaman antara beberapa kekuatan itu terpecah-belah dan mengakibatkan perang saudara yang menghancur-kan. Karena diapun maklum bahwa apabila pasukan yang mendukung Liu Pang itu bentrok dengan pasukan penguasa daerah dibantu oleh pasukan pemerintah pusat, hal itu tentu akan berarti kehancuran. Didaerah barat dan utara saja pasukan pemerintah sudah sibuk menghadapi pemberontakan Chu Siang Yu yang semakin kuat. Kalau Liu Pang dan pasukannya dapat berbaik kembali dengan pemerintah pusat dan dipercaya untuk menumpas pasukan asing dan mereka yang bersekongkol, mungkin pemerintah dapat diselamatkan.
Pada suatu siang ketika mereka keluar dari sebuah hutan besar, dari jauh nampak berbondong-bondong pengungsi berlari-lari hendak menyelamatkan diri kedalam hutan besar. Melihat ini, Seng Kun segera menghampiri mereka dan mencari keterangan apa yang telah dan sedang terjadi.
"Pasukan setempat bersama pasukan dari Kotaraja sedang mengadakan pembersihan besar-besaran. Para pendekar dan siapa saja yang bisa silat ditangkapi. Orang yang menyimpan senjatapun, senjata pusaka keturunan nenek moyang, juga ditangkap dan mereka semua dituduh sebagai anak-buah Liu-Bengcu," demikian seorang diantara para pengungsi memberi keterangan. Seng Kun mengerutkan alisnya. Apa yang dikhawatirkannya telah terbukti. Agaknya pemerintah pusat telah terkena hasutan para penguasa setempat dan memusuhi Liu Pang.
"Siapakah panglima yang memimpin pasukan dari Kotaraja itu, lopek?" tanyanya.
"Orang-orang menyebutnya Lai-goanswe." Mendengar ini, Seng Kun cepat mengajak Bwee Hong dan A-hai menyingkir.
"Lai-goanswe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Celaka, kita benar terlambat. Kelihatannya pemerintah pusat sudah termakan hasutan para penguasa daerah yang memutar-balikkan fakta sehingga kini pasukan Liu-Bengcu benar-benar dianggap sebagai pemberontak. Kaisar kini malah membantu para penguasa yang sesungguhnya hendak berkhianat dan bersekongkol dengan pasukan asing untuk menentang Liu-Bengcu"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya adiknya.
"Aku harus cepat dapat menemui Lai-goanswe sendirian. Akan kuperingatkan dia tentang persekongkolan antara para penguasa setempat dengan para pasukan asing itu," kata Seng Kim dengan tegas. Kemudian dia menoleh kepada A-hai yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan sikap orang yang tidak mengerti.
"Saudara A-hai, sungguh aku merasa menyesal sekali mengingat akan kepentinganmu. Karena keadaan yang serba kacau ini, maka maksud kami berdua untuk berusaha mengobati penyakitmu yang sering bingung itu menjadi terlantar. Padahal, sekarang ini kami harus sering kali terjun kedalam tempat-tempat berbahaya dan keselamatan kami sendiri terancam dalam usaha kami menjernihkan suasana. Apakah tidak lebih baik kalau saudara mencari tempat yang aman dulu untuk bersembunyi, dan besok kalau sudah aman, kalau urusan kami sudah selesai, kami pasti akan mencarimu"
"Ehhh??" A-hai kelihatan terkejut dan tiba-tiba saja, sepasang mata yang tadinya nampak ketololan itu kini berkilat tajam, lalu meredup kembali ketika matanya bentrok dengan pandang mata Bwee Hong. Seng Kun menjadi gelisah juga. Jangan-jangan si sinting ini kambuh. Bisa berabe kalau begitu.
"Tidak! Kalau kalian berdua memperbolehkan, aku akan tetap mengikuti kalian, kemanapun kalian pergi. Bersama kalian, aku merasa kuat dan mempunyai harapan. Selama ini aku hidup dalam kegelapan. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan akan kemana. Siapa adanya aku ini sebenarnya, akupun tidak tahu" Suara pemuda itu mengandung duka, pandang matanya menatap wajah Bwee Hong dengan penuh permohonan. Bwee Hong merasa kasihan sekali dan iapun menarik napas panjang.
"Koko, biarlah dia ikut bersama kita," katanya lirih. Seng Kun juga menghela napas panjang dan sesungguhnya, tanpa diminta adiknyapun dia merasa tidak tega untuk meninggalkan A-hai begitu saja, terutama sekali karena memang hatinya sudah amat tertarik untuk berusaha menyembuhkan pemuda yang luar biasa ini.
"Baiklah kalau begitu, baik-buruk dan suka-dukanya kita hadapi bertiga" A-hai girang bukan main, wajahnya yang tampan gagah itu berseri dan matanya berkilat. Sejenak lenyaplah sinar ketololan dari pandang mata nya.
"Terimakasih, terimakasih, hatiku girang sekali, kalian baik sekali!" Karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan menari-nari sehingga menarik perhatian banyak orang, Seng Kun lalu mengajak Bwee Hong dan A-hai melanjutkan perjalanan. Para pengungsi memandang heran dan juga khawatir melihat tiga orang muda itu menuju kearah yang baru saja mereka tinggalkan. Sungguh bodoh bepergian ketempat yang tidak aman itu, pikir mereka, apa lagi kalau mengajak seorang gadis yang demikian cantiknya. Mencari penyakit saja!
Tiga orang muda itu melanjutkan perjalanan. Ketika mereka tiba diluar sebuah dusun dikaki bukit, tak nampak seorangpun. Agaknya semua orang telah pergi mengungsi. Akan tetapi ketika mereka mendekati pintu dusun, terdengar suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi. Cepat mereka menghampiri dan ternyata ada belasan orang laki-laki yang pakaiannya seperti para ahli silat sedang dikepung dan dikeroyok oleh hampir lima puluh orang perajurit. Para pendekar terdesak hebat dan melihat keadaan ini, tanpa ragu-ragu lagi Seng Kun dan Bwee Hong lalu turun tangan membantu para pendekar. A-hai hanya menonton saja dari jauh. Masuknya kakak-beradik yang amat lihai ini segera merobah keadaan. Pengeroyokan para perajurit kacau-balau dan para pendekar itu dapat melawan dengan baik.
"Kita lari! Kembali keatas!" teriak seorang diantara mereka. Dengan bantuan yang amat kuat dari Seng Kun dan Bwee Hong, belasan orang itu akhirnya dapat lolos dari kepungan dan melarikan diri kearah bukit. Seng Kun sudah menarik tangan A-hai dan bersama adiknya, diapun terpaksa melarikan diri bersama belasan orang itu karena mereka menjadi buruan para perajurit.
Akan tetapi, melihat kelihaian Seng Kun dan Bwee Hong, para perajurit itu tidak berani mengejar terlalu dekat, hanya membayangi dari jauh saja. Ketika belasan orang pendekar itu bersama Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai tiba di puncak bukit, ternyata disitu terdapat puluhan orang pendekar. Jumlah mereka seluruhnya ada lima puluh orang dan mereka ini adalah pendekar-pendekar daerah itu yang bergabung menjadi suatu kelompok untuk menentang pasukan pemerintah yang mereka tahu diselewengkan oleh pemimpin mereka untuk melawan pemerintah dan bersekongkol dengan orang-orang Mongol. Para pendekar ini dipimpin oleh seorang muda yang gagah perkasa, seorang pemuda yang pakaiannya serba putih dan dipunggungnya nampak sepasang pedang.
Usia pemuda ini kurang lebih tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya jujur terbuka. Pemuda ini sebenarnya bukan pendekar daerah itu, melainkan seorang pendekar pendatang yang kebetulan merantau ditempat itu dan karena dia memiliki kepandaian tinggi, maka oleh para pendekar diapun diangkat menjadi pimpinan. Dia bernama Kwan Hok dan tentu saja dia lihai karena pemuda ini adalah seorang diantara murid-murid Yap-lojin ketua Thian kiam-pang! Kwan Hok ini masih adik kandung dari mendiang Kwan Tek, murid kedua dari ketua Thian-kiam-pang yang telah tewas ditangan kaki tangan Raja Kelelawar. Sebagai pimpinan kelompok pendekar itu, setelah menerima laporan dari teman-temannya, Kwau Hok menyambut Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai dengan hormat dan ramah.
"Terimakasih atas bantuan sam-wi yang gagah," katanya.
"Sehingga teman-teman kami dapat lolos dari kepungan pasukan." A-hai cepat mengangkat tangannya dan menggoyangnya berkali-kali diatas.
"Tidak, aku tidak masuk hitungan, karena aku hanya nonton saja!" Kwan Hok memandang heran, akan tetapi karena pemuda tampan yang menyangkal bantuannya itu datang sebagai kawan dari Seng Kun dan Bwee Hong, dia tetap saja bersikap ramah dan hormat. Mereka lalu berkenalan dan Seng Kun bersama adiknya dan A-hai menerima jamuan para pendekar itu dengan gembira, Setelah selesai makan-minum, Seng Kun lalu minta diri.
"Kami bertiga hanya kebetulan saja lewat disini. Kami tidak dapat berdiam terlalu lama disini dan kami akan melanjutkan perjalanan sekarang juga." Kwan Hok dan teman-temannya nampak kecewa. Bantuan dua orang yang demikian lihai itu amat menguntungkan bagi perjuangan mereka.
"Ah, mengapa sam-wi tergesa-gesa? Sam-wi adalah tiga orang gagah, kalau tidak pada saat seperti sekarang ini menyumbangkan tenaga demi nusa dan bangsa, lalu kapan lagi? Marilah sam-wi ikut bersama kami, bersama berjuang demi nusa bangsa!"
"Saudara yang gagah, kalian ini agaknya hanya bersenang-senang saja, tidak manguasai keadaan didaerah-daerah. Para penguasa daerah berkhianat dan bersekutu dengan orang-orang asing, mempersiapkan pemberontakan atau ingin berdiri sendiri didaerah masing-masing. Rakyat terancam perang saudara yang besar, dan dalam kemelut ini, muncul seorang Bengcu yang memimpin para pendekar diseluruh negeri untuk mengatasi keadaan. Maka kamipun berniat untuk menggabungkan diri dengan pasukan besar pemimpin rakyat itu," jawab Kwan Hok.
"Kau maksudkan L.iu-Bengcu?" tanya A-hai. Pemuda ini dapat mengingat orang-orang yang baru dikenalnya dalam keadaan waras, walaupun dia lupa sama sekali akan masa lalunya.
"Ah, jadi sam-wi sudah mengenal Liu-Bengcu?" tanya Kwan Hok girang dan semua pendekar memandang lebih hormat lagi kepada tiga orang tamu mereka itu.
"Tentu saja kami mengenal baik karena kami pun baru saja berpisah dari pasukan Liu-Bengcu," kata Seng Kun sejujurnya. Pada saat itu terdengar bunyi terompet dan seorang pendekar tergopoh masuk melaporkan bahwa bukit itu telah dikepung oleh pasukan yang besar jumlahnya. Sedikitnya ada lima ratus orang pasukan mengepung bukit itu! Mendengar laporan ini, Kwan Hok segera melakukan pemeriksaan, diikuti pula oleh tiga orang tamunya. Bukit itu merupakan tempat pertahanan yang amat baik.
Tidak ada jalan naik ke puncak kecuali melalui lorong yang sempit dan terjal. puncak bukit itu dikelilingi jurang yang tidak mungkin dapat dicapai kecuali melalui lorong itu. Sebuah lorong terjal sempit yang kanan kirinya diapit tebing. Hanya seekor kuda atau paling banyak tiga orang dapat melalui lorong ini secara bersama. Dan tentu saja mudah bagi para pendekar untuk menghalang serbuan dari luar, yaitu dengan jalan menjaga lorong ini dari atas kedua tebing. Dengan anak panah atau bahkan dengan melemparkan batu-batu saja, tak mungkin musuh dapat menyerbu masuk. Sebelum melewati lorong yang panjangnya ada lima puluh meter itu mereka tentu sudah tertimbun batu dari atas. Dari atas tebing itu, Kwan Hok dan teman-temannya dapat melihat pasukan yang mengepung bukit. Dia lalu mengatur penjagaan.
Batu-batu dan anak panah dipersiapkan dan para pendekar siap untuk menghujankan anak panah atau batu-batuan kebawah apabila ada perajurit berani mencoba untuk melalui lorong. Setelah mengatur penjagaan dan memerintahkan teman-teman untuk berjaga secara bergilir, Kwan Hok mengajak tiga orang tamunya turun kebawah tebing dan dia lalu mengumpulkan sisa teman-temannya yang tidak sedang tugas berjaga untuk mengadakan rapat. Rapat diadakan ditempat terbuka, dilapangan puncak itu, didepan pondok-pondok kecil mereka. Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai yang oto-matis telah diterima sebagai segolongan atau bahkan kawan seperjuangan, juga ikut menghadiri rapat itu. Bahkan dengan jujur Kwan Hok minta nasihat mereka karena menganggap bahwa mereka yang sudah mengenal Liu-Bengcu ini tentu sedikit banyak dapat membantunya mengatur siasat.
"Kita berkekuatan lima puluh tiga orang," Kwan Hok berkata, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang tamunya dari pada kawan-kawannya walaupun mereka semua berkumpul dan mendengarkan.
"Sedangkan menurut taksiranku, jumlah pasukan yang mengepung bukit ini ada enam ratus orang. Kita harus mencari siasat yang baik untuk dapat meloloskan diri dari kepungan yang berbahaya ini"
"Kulihat tempat ini amat baik untuk bertahan. Betapapun kuatnya dan besarnya jumlah pasukan musuh, kalau jalan masuk hanya melalui satu lorong sempit itu, sampai bagaimanapun mereka tidak mungkin dapat menyerbu naik ke Puncak. Akan tetapi, kalau mereka terus mengepung, kitapun tidak dapat keluar dan kita dapat menjadi kehausan atau kelaparan!" kata Bwee Hong.
"Pendapat nona memang benar sekali. Karena baiknya tempat pertahanan ini, maka kami sengaja memilihnya sebagai markas kami. Tentang minuman, tidak perlu kita khawatir karena dibelakang puncak terdapat sumber air. Akan tetapi mengenai makanan, kami hanya mempunyai persediaan untuk dua tiga hari saja."
"Bagaimana kalau kita mengajak damai saja? Aku sudah bosan dengan perang dan bunuh-membunuh ini!" Tiba-tiba A-hai berkata dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi agaknya Kwan Hok sudah dapat menduga bahwa tamu yang satu ini memang aneh sekali wataknya. Dan sebagai murid Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang, tentu saja diapun tidak merasa heran karena didunia kang-ouw, diantara orang-orang sakti, banyak memang yang berwatak aneh-aneh.
"Yang memulai dengan kekerasan adalah mereka, mengajak mereka berdamai sama dengan mengajak srigala-srigala kelaparan untuk berdamai," kata Kwan Hok.
"Bagaimana kalau kita serbu saja keluar malam ini? Biar kita akan jatuh banyak korban, akan tetapi kitapun dapat membunuh mereka sebanyaknya dan tentu ada sebagian dari kita yang dapat lolos!" kata seorang pendekar penuh semangat.
"Musuh terlalu kuat, perbandingannya satu lawan sepuluh. Itu hanya akan menjadi bunuh diri yang sia-sia belaka," kata Kwan Hok tidak setuju. Kemudian dia teringat sesuatu dan menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Sayang, kalau suteku berada disini, tentu dia akan dapat mencari akal. Dia cerdik sekali dan selalu mempunyai akal yang baik."
"Siapakah sutemu itu?" tanya Seng Kun.
"Dia putera guruku sendiri."
"Dan siapakah gurumu?"
"Guruku adalah ketua Thian-kiam-pang"
"Ahh!!" seru Bwee Hong dan Seng Kun hampir berbareng dan dara itu melanjutkan,
"Kiranya saudara adalah murid dari Yap-pangcu? Sungguh pertemuan yang menggembirakan sekali"
"Nona mengenal suhu?"
"Bukan hanya mengenal lagi, akan tetapi beliau pernah menyelamatkan aku dilautan, bahkan kami pernah bersama-sama mengalami hal-hal yang mengerikan di Ban-kwi-to!" jawab Bwee Hong. Tentu saja Kwan Hok merasa semakin girang dan semakin dekat dengan tiga orang tamunya setelah dia mendengar bahwa tiga orang tamunya ini bersahabat baik dengan gurunya.
"Sebaiknya kita mencari siasat. Mari kita tinjau keadaan puncak, siapa tahu ada jalan baik bagi kita untuk lolos," kata Seng Kun.
"Baiklah, akupun ingin memeriksa lagi persediaan pangan kita," jawab Kwan Hok. Lalu bersama tiga orang tamunya, Kwan Hok pergi kebelakang puncak, menyuruh kawan-kawannya tetap melakukan penjagaan secara bergilir dan jangan sembarangan bergerak sebelum menerima petunjuknya, kecuali para penjaga lorong diatas kedua tebing yang sudah mendapat perintah untuk turun tangan mencegah apabila ada pihak musuh yang berani mencoba untuk memasuki lorong. Mereka berempat lalu menuju kebelakang pun-cak. Setelah melakukan pemeriksaan sendiri, Seng Kun dan Bwee Hong terpaksa membenarkan pendapat Kwan Hok bahwa tidak ada jalan lain bagi para pendekar untuk meloloskan diri. Hanya ada dua pilihan, yaitu menyerbu keluar lewat lorong dan melawan mati-matian, atau bertahan disitu sampai mereka tidak kuat lagi karena kelaparan!
"Hemm, agaknya sekarang banyaknya persediaan pangan menjadi soal terpenting!" kata Seng Kun.
"Demikian pula perhitunganku," jawab Kwan Hok.
"Mari kita memeriksa persediaan pangan itu. Kami sembunyikan didalam sebuah gua dibawah tanah agar aman dan tidak sampai terbakar apabila musuh menggunakan panah api untuk membakar markas kami."
Di belakang puncak itu terdapat sebuah gua yang tertutup oleh batu besar sekali. Dibutuhkan tenaga sepuluh orang untuk memindahkan batu itu. Akan tetapi, mereka bertiga, dibantu oleh A-hai yang tanpa disadarinya sendiri memiliki tenaga melebihi sepuluh orang, berhasil mendorong batu itu kepinggir. Hal ini amat mengagumkan hati Kwan Hok dan dia makin merasa yakin bahwa tiga orang tamunya itu, termasuk pemuda ketolol-tololan, adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi. Setelah batu besar itu tergeser, nampaklah sebuah mulut gua yang besarnya hanya cukup dimasuki dua orang. Akan tetapi ketika mereka sudah masuk, nampak jalan menurun dan ternyata gua itu menembus kebawah tanah, dimana terdapat sebuah ruangan yang luas juga, dapat memuat seratus orang lebih!
Yang amat menyenangkan, disudut kiri gua itu terdapat lubang-lubang besar dari mana hawa dapat keluar masuk, dan lubang-lubang ini berada dilambung tebing sehingga tidak dapat dicapai oleh orang luar, juga tidak nampak dari puncak karena terhalang tebing. Hanya burung-burung sajalah kiranya yang dapat memasuki gua bawah tanah itu dari lubang-lu-bang yang merupakan jendela-jendela buatan alam itu. Bersama hawa, masuk pula sinar matahari yang membuat gua itu cukup terang. Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Kwan Hok, persediaan gandum dan sayur kering hanya cukup untuk dua tiga hari saja, atau paling lama lima hari kalau dihemat sekali. Akan tetapi Seng Kun tidak memperhatikan persediaan itu, melainkan termenung dan termangu-mangu sehingga Bwee Hong menegurnya.
"Koko, ada apakah?"
"Aku ada akal!" Tiba-tiba Seng Kun berkata dan wajahnya berseri.
"Ah, bagus sekali. Akal yang bagaimana?" tanya Kwan Hok.
"Gua ini cukup luas untuk menjadi tempat persembunyian kita semua, dan hawa udaranyapun cukup. Kita biarkan musuh mengira kita kelaparan dan kita masuk kedalam guha ini, lalu menutupnya dengan batu. Didepan batu dan diatasnya kita tumpuki kayu-kayu bakar yang banyak sekali, kemudian kita bakar dan kita meninggalkan pakaian atas kita diantara kayu-kayu bakar itu sehingga menimbulkan dugaan bahwa para pendekar, karena kelaparan dan tidak mampu melawan lagi, telah membunuh diri. Bukankah hal itu patut dilakukan oleh para pendekar yang tidak sudi ditawan dan lebih baik mati membakar diri beramal-ramai setelah tiada tenaga lagi untuk melawan?"
Kwan Hok terbelalak. Akal yang aneh sekali, akan tetapi setelah dipikir-pikir, merupakan siasat yang baik juga. Memang andaikata mereka semua kelaparan dan tiada tenaga untuk melawan, apakah mereka akan membiarkan menjadi orang-orang tawanan? Masuk diakal pula siasat membunuh diri beramai-ramai dengan membakar diri itu.
"Akan tetapi untuk melakukan pembakaran kayu-kayu itu harus ada seorang yang tinggal diluar gua!" kata Bwee Hong.
"Benar!" sambung Kwan Hok.
"Bagaimana hal itu dapat dilakukan dan siapa yang akan tinggal diluar?"
"Memang kenyataannya begitu. Harus ada seorang yang berani berkorban demi keselamatan kawan-kawannya, dan tinggal diluar untuk membakar kayu-kayu itu dan untuk memberi keterangan kepada musuh kabur dia ditawan bahwa para pendekar telah membunuh diri semua," jawab Seng Kun.
"Kurasa ini jauh lebih baik dari pada bertahan sampai kelaparan atau membunuh diri dengan jalan menyerbu dengan nekat melalui lorong. Hanya ada dua kemungkinan, yaitu kalau musuh percaya, tentu mereka meninggalkan tempat ini dan kita selamat. Andaikata musuh tidak percaya dan berhasil menemukan guha itu, masih belum terlambat bagi kita untuk menyerbu keluar dan melawan mati-matian, membuka jalan darah berusaha lolos."
"Bagus sekali!" Kwan Hok kini memandang dengan wajah berseri gembira.
"Tentang orang yang mau mengorbankan diri dan tinggal diluar, kurasa banyak yang mau melakukannya, bahkan aku sendiripun, tidak ragu-ragu untuk melakukannya. Mari kita jumpai kawan-kawan dan merundingkan akal baik ini!" Dari fihak pasukan pemerintah daerah, bukan tidak ada usaha untuk menyerbu naik ke puncak bukit. Akan tetapi karena jalan naik hanya melalui lorong, setelah beberapa kali mereka mencoba untuk menyerbu dan selalu disambut hujan anak panah dan batu yang menewaskan beberapa orang perajurit, mereka tidak lagi berani mencoba.
"Biarkan mereka mampus sendiri kelaparan disana!" kata pemimpin mereka dengan marah. pemimpin mereka itu adalah seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan namun dingin dan matanya menyeramkan, berpakaian serba putih dan rambutnya riap-riapan, tangannya memegang senjatanya yang luar biasa, yaitu sebuah cangkul panjang melengkung, seperti cangkul para penggali kuburan.
Dia ini bukan lain adalah Kwa Sun Tek yang berjuluk Song-bun-kwi (Setan Berkabung), putera dari ketua Tai-bong-pai itu. Seperti telah kita ketahui, Kwa Sun Tek ini telah mengabdikan dirinya kepada pemberontak Chu Siang Yu untuk mengadakan persekutuan dengan para penguasa didaerah timur dan selatan, untuk mengacau pemerintah dan membagi-bagi kekuatan pemerintah sehingga pergerakan Chu Siang Yu dari barat dapat dilakukan lebih lancar lagi. Dan seperti kita ketahui, usaha Kwa Sun Tek itu berhasil baik. Dia dapat bersekongkol dengan para penguasa daerah dan para pasukan asing, lalu menggunakan siasat mengadu domba antara pasukan pemerintah yang setia kepada Kaisar dengan pasukan-pasukan Liu Pang, tentu saja dengan tujuan agar kekuatan pemerintah berkurang dan juga untuk menghantam Liu Pang yang dianggap sebagai saingan.
Melihat betapa pasukan pemerintah daerah tidak mampu menyergap ke puncak bukit, bahkan ada belasan orang luka-luka atau tewas tertimpa batu dan terkena anak panah, Kwa Sun Tek menjadi marah sekali. Dia menasihatkan komandan pasukan untuk memperketat kepungan dan tidak membiarkan para pendekar di puncak itu lolos. Setiap hari dia sendiri mencoba penjagaan musuh dengan memasuki lorong dan setiap kali ada batu-batu dan anak panah turun, dia dengan mudah dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi pada hari ketiga, ketika Kwa Sun Tek berjalan memasuki lorong, hanya ada beberapa buah batu kecil dan anak panah yang luncurannya lemah menyerangnya. Melihat ini, giranglah hatinya.
"Mereka telah lemah kelaparan! Mari kita menyerbu keatas!" teriaknya dan benar saja, ketika mereka menyerbu dan memasuki lorong sempit itu, tidak ada serangan terlalu hebat, bahkan lalu tidak ada serangan sama sekali dari kedua tebing. Akan tetapi, lorong itu terlalu sempit sehingga membutuhkan banyak waktu bagi semua perajurit untuk dapat lewat. Sementara itu, para pendekar telah berkumpul didepan gua yang batunya telah digeser dan dimana telah tersedia tumpukan kayu yang banyak sekali. Mereka kini berebut, memperebutkan tugas untuk tinggal sendirian diluar gua! Melihat ini, Kwan Hok lalu melangkah maju.
"Kalian semua masuklah kegua dan aku sendiri yang akan tinggal disini!" Ketika semua orang mengajukan keberatan, pendekar muda ini membentak,
"Ini sebuah perintah! Aku yang akan berjaga disini membakar kayu ini dan kalian harus cepat masuk. Tanggalkan baju atas kalian!" Para pendekar itu menanggalkan baju atas mereka dan memandang kepada Kwan Hok dengan muka pucat, bahkan ada yang matanya basah karena melihat betapa pemimpin mereka hendak mengorbankan diri demi keselamatan mereka. Seng Kun dan Bwee Hong memandang dengan terharu. Betapa gagahnya murid Yap-lojin ini! Begitu beraninya mengorbankan diri demi teman-temannya, demi perjuangan membela nusa bangsa! Terlepas dari baik buruknya alasan perjuangan, namun sikap ini saja, yang sudah melenyapkan kepentingan diri pribadi, sungguh amat mengagumkan, gagah perkasa dan patriotik!
"Tidak! Tidak boleh ini dilakukan!" Tiba-tiba A-hai maju dan berkata lantang. Seng Kun dan Bwee Hong memandang terbelalak. Mereka sudah tahu bahwa pemuda ini aneh, dan dibalik kegilaannya tersembunyi suatu watak yang amat luar biasa dan mereka tidak dapat menduga lebih dahulu apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda ini.
"Apa maksudmu, saudara A-hai?" Seng Kun bertanya.
"Tidak pantas kalau seorang diantara kalian harus tinggal diluar dan mengorbankan diri! Tidak ada seorangpun diantara kalian yang pantas untuk mengorbankan diri dan tinggal diluar untuk membakar tumpukan kayu ini!"
"Eh?" Kwan Hok terbelalak heran.
"Akan tetapi, siasat ini harus dilakukan dan sekarang pasukan pemerintah telah mulai menyerbu naik. Harus ada seorang yang melakukannya dan bagaimana saudara mengatakan bahwa tidak ada yang pantas melakukannya?"
"Satu-satunya orang yang patut melakukan tugas itu hanyalah aku!"
"A-hai!" Bwee Hong berseru.
"Saudara A-hai, engkau tidak boleh" Seng Kun juga berkata setengah berteriak. A-hai tersenyum, bukan senyum tolol lagi sekali ini. Dia mengangkat dadanya yang memang bidang dan kokoh itu.
"Mengapa tidak boleh? Bahaya maut tidak hanya mengancam kelompok pejuang ini, melainkan kalian juga, terutama sekali nona Bwee Hong! Dan kalian semua masih belum tentu selamat, kalau gua itu ketahuan kalian akan membutuhkan semua tenaga untuk melawan dan menyelamatkan diri. Tenaga setiap orang amatlah penting, kecuali tenagaku. Aku tidak bisa berkelahi dan bahkan hanya akan mengganggu kalian saja yang harus melindungiku. Nah, biarlah aku memanfaatkan tenaga tak berharga ini untuk membakar kayu dan memberi keterangan bahwa para pejuang telah membakar diri karena tidak mau tertawan. Dan barangkali... siapa tahu, belum tentu mereka membunuh orang seperti aku!"
Seng Kun memandang terbelalak penuh kagum. Dia tahu bahwa dibalik penyakit yang membuat A-hai kadang-kadang menjadi linglung dan beringas itu terdapat watak pendekar yang amat hebat, yang tidak berkejap mata sedikitpun dalam menghadapi maut untuk membela dan menyelamatkan orang lain!
"A-hai, jangan!" Bwee Hong berkata lagi. Seng Kun merangkul A-hai dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Tapi dia benar! Dia benar sekali dan kita harus menurut sarannya itu!" katanya dengan terharu. Seorang pendekar datang berlarian, mengabarkan bahwa kini hampir semua perajurit musuh sudah melalui lorong sempit.
"Masuklah kalian semua. Nona Bwee Hong, masuklah cepat!" kata A-hai dan sinar matanya tajam berseri ketika dia menatap wajah Bwee Hong. Nona itu membalas pandang matanya dan tak terasa lagi matanya menjadi panas. Karena tahu bahwa air matanya hampir runtuh, Bwee Hong mengeluh lalu membalik dan melompat masuk kedalam gua, diikuti oleh para pendekar yang sudah menanggalkan baju atas mereka dan menumpuk serta melemparkan baju-baju itu diatas tumpukan kayu. Barulah setelah semua orang masuk, batu besar itu digeser dari dalam dan dibantu dari luar oleh dorongan kedua tangan A-hai! Tidak ada seorangpun yang berani menyangka bahwa tanpa bantuan orang lainpun, kalau A-hai dapat menggunakan sinkangnya, batu itu akan dapat digesernya sendirian dengan amat mudah.
Kinipun, dalam keadaan "penuh semangat," sebagian tenaga sinkangnya timbul dan tanpa banyak kesukaran batu besar itu kini telah menutupi lubang gua yang dari luar hanya kecil saja itu. A-hai lalu menggunakan api membakar kayu yang bertumpuk didepan dan diatas gua. Karena tumpukan kayu itu kering sekali, sebentar saja api berkobar besar dan A-hai terpaksa harus menjauhkan diri karena tidak tahan oleh panasnya api. Pasukan yang menyerbu ke puncak bukit itu terkejut melihat api besar bernyala di Puncak. Kwa Sun Tek cepat berlari kedepan dan ketika melewati pondok-pondok darurat, dia menendangi semua pintu hanya untuk melihat bahwa semua pondok itu kosong! Dia merasa penasaran dan bersama anak-buah pasukan dia lari keatas.
Disana, di puncak itu, agak menurun sedikit dibelakang puncak, mereka melihat kobaran api yang bernyala besar dan agak jauh dari situ nampak seorang laki-laki berdiri bengong memandang kearah api seperti orang melamun. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi curiga dan cepat dia meloncat kearah A-hai yang berdiri dengan bengong, tidak dibuat-buat karena dia seperti melihat hal-hal aneh didalam api yang bernyala-nyala itu. Nyala api seolah-olah membentuk wajah-wajah yang sekelebatan saja dan mengingatkan dia akan wajah seorang yang amat dekat dengan hatinya. Wajah Bwee Hong? Atau Pek Lian? Atau wajah ibunya, adiknya ataukah kakaknya? Dia tidak tahu dengan pasti, hanya merasa yakin bahwa yang diingatnya dan dilihatnya sekelebatan dalam api itu adalah wajah seorang wanita.
Ketika Kwa Sun Tek melakukan serangan dengan pukulan dahsyat kearah A-hai, pemuda ini sama sekali tidak sadar, juga tidak mengelak ataupun menangkis. Melihat sikap orang yang diserangnya itu jelas tidak memiliki kepandaian silat, Kwa Sun Tek terkejut dan heran. Bukankah kabarnya yang berkumpul di puncak bukit ini adalah para pendekar? Karena berita itulah maka dia diperbantukan untuk menghancurkan gerombolan pendekar itu. Dan orang ini sama sekali tidak pandai silat. Diapun merobah pukulannya, diganti dengan cengkeraman dan ketika tangannya mencengkeram lengan A-hai, juga tidak ada sedikitpun tenaga perlawanan maka Kwa Sun Tek mengendurkan cengkeramannya. Biarpun sudah dikendurkan, tetap saja A-hai berteriak.
"Aduhhh!" Lalu dia memandang kepada orang yang memegangi lengannya itu, juga melihat datangnya banyak perajurit.
"Hei, apa salahku? Kenapa aku ditangkap?"
"Hayo katakan, siapa engkau?" Kwa Sun Tek membentak.
"Jangan bohong atau kubunuh kau!" Dia merasa curiga sekali melihat sikap ketolol-tololan dari pemuda itu.
"Aku? Aku A-hai, tukang nyalakan api," jawab A-hai seenaknya, sedikitpun tidak bermaksud membohong.
"Jawab yang betul!" bentak seorang anggauta Tai-bong-pai sambil menampar.
"Plakk!" Pipi A-hai kena tampar keras sekali, sampai pemuda itu merasa pening dan pipinya merah membengkak.
"Hei, kenapa kau pukul-pukul anak orang tanpa dosa? Sudah kujawab benar bahwa aku tukang nyalakan api! Apakah kau tidak melihat aku sedang menyalakan api sekarang? Pegang saja sendiri dengan tanganmu, api atau bukan yang kunyalakan itu!"
"Tolol! Apa itu tukang nyalakan api? Tukang masak?" bentak Kwa Sun Tek yang mencegah anak-buahnya untuk memukul lagi.
"Tukang masak? Ya, ya, aku tukang nyalakan api dan tukang masak, masak daging orang!" A-hai menjawab sambil tersenyum-senyum, lupa lagi akan tamparan tadi karena dia teringat bahwa dia harus mengatakan bahwa para pendekar telah membakar diri. Bukankah itu sama saja dengan memasak daging orang? Tentu saja Kwa Sun Tek semakin heran dan juga marah.
"Tolol, bicara yang betul! Tukang masak daging orang bagaimana yang kau maksudkan? Hayo katakan, dimana adanya para pendekar?" A-hai menunjuk kearah api yang berkobar kobar.
"Mereka telah membakar diri, semua! mereka tidak sudi menyerah dan mereka membunuh diri dengan membakar dirinya." Kata-kata ini sudah dihafalkan sejak tadi oleh A-hai. Tentu saja Kwa Sun Tek tidak mau percaya.
"Cari diseluruh puncak!" perintahnya dan dia sendiripun ikut mencari sambil terus memegangi lengan A-hai. Akan tetapi, dicari sampai kemanapun tidak nampak bayangan seorangpun pendekar. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bukit itu telah dikepung. Benarkah cerita si tolol ini? Kwa Sun Tek lalu menyuruh pasukan membongkar api yang bernyalanyala itu. Tidak mudah melaksanakan ini karena api sedang berkobar amat besarnya memakan kayu yang bertumpuk tumpuk. Dan diantara timbunan abu dan kayu yang menjadi arang, mereka menemukan pakaian-pakaian yang terbakar. Maka mereka mulai percaya bahwa para pendekar telah membunuh diri, memilih bakar diri dari pada menyerah.
"Kita bakar juga orang ini!" kata seorang komandan sambil menyeret A-hai. Akan tetapi Kwa Sun Tek melarangnya. Kwa Sun Tek bukan orang bodoh. Dia tidak menemukan bekas abu tulang manusia diantara puing itu. Hanya si tolol inilah satu-satunya orang yang tinggal, dan dia yakin bahwa si tolol ini tentu merupakan satu-satunya orang pula yang mengetahui kemana perginya semua pendekar itu dan bagaimana caranya dapat lolos. Akan tetapi, Kwa Sun Tek juga bukan orang bodoh dan dia dapat melihat benar-benar bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidak wajar, mengalami guncangan jiwa yang hebat dan ketololannya itu bukanlah pura-pura atau dibuat-buat. Maka, tidak ada lain jalan baginya kecuali membiarkan A-hai ditawan oleh pasukan dan dibawa kekota didaerah itu disebelah utara Sungai kuning.
Setelah para pendekar mengetahui bahwa pasukan telah meninggalkan bukit itu, mereka keluar dengan hati-hati dan pertama-tama yang keluar adalah Seng Kun dan Bwee Hong. Kakak-beradik ini keluar dengan jantung berdebar penuh kegelisahan dan kekhawatiran. Mereka membayangkan akan melihat mayat A-hai terkapar disitu, dibunuh oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, tak seorangpun mayat mereka temukan disekitar puing-puing bekas yang dibakar. Mereka terus mencari-cari akan tetapi tidak dapat menemukan jejak A-hai. Timbul harapan baru didalam hati kakak-beradik ini. Wajah mereka tidak sepucat tadi, bahkan Bwee Hong mulai berseri.
(Lanjut ke Jilid 21)
Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono
Jilid 21
"Tentu dia ditawan," kata Seng Kun.
"Benar, mari kita kejar pasukan itu, koko. Kita harus dapat menolong dan membebaskan A-hai," kata Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mereka berdua segera berpamit dari pasukan para pendekar itu untuk pergi menyusul pasukan dan menyelamatkan A-hai.
"Kami merasa menyesal sekali bahwa demi untuk menyelamatkan kami, sahabatmu terpaksa harus menjadi korban dan ditawan," kata Kwan Hok.
"Bagi kami, saudara A-hai adalah seorang pahlawan dan sungguh kecewa sekali hati kami bahwa ji-wi tidak dapat terus menemani kami untuk berjuang bersama."
"Kami mempunyai urusan sendiri, saudara Kwa. Dan kemana sekarang pasukanmu ini akan pergi?"
"Kami hendak menggabungkan diri dengan pasukan Liu-Bengcu yang kabarnya telah berhasil menduduki Lok-yang." Merekapun berpisah. Seng Kun dan Bwee Hong menggunakan ilmu berlari cepat, mengejar pasukan yang jejaknya mudah diikuti. Menjelang senja, mereka dapat menyusul pasukan itu dan legalah hati mereka ketika mereka melihat A-hai dalam keadaan selamat dan sehat benar saja menjadi tawanan pasukan itu.
Pasukan memasuki pintu gerbang kota dan dibawa masuk kedalam benteng tanpa kakak-beradik ini mampu berbuat sesuatu. Mereka tidak berani nekat menyerbu karena hal itu selain membahayakan diri mereka, juga membahayakan keselamatan A-hai sendiri. Mereka hendak menyusup kedalam kota, melakukan penyelidikan dan berusaha merampas kembali A-hai dari benteng. Ketika mereka tiba dipintu gerbang, muncul sepasukan perajurit berkuda yang mengiringkan seorang perwira tinggi yang pakaiannya gemerlapan mewah. Itulah Lai-goanswe, jenderal pembantu Jenderal Beng Tian. Seperti diketahui, jenderal ini bertugas didaerah timur dan sudah beberapa kali dia mengalami kegagalan dalam menghadapi gerakan Liu Pang dan pasukannya.
"Itulah orang yang kita cari!" Seng Kun berbisik kepada adiknya.
"Mari kita menemuinya!" Seng Kun dan Bwee Hong lalu meloncat kedepan, menghadang pasukan itu dan Seng Kun mengangkat tangannya keatas sambil berseru,
"Kami mohon bicara dengan Lai-goanswe...!"
Pada waktu itu, negara sedang kacau-balau, pertempuran terjadi dimana-mana, maka tentu saja perbuatan Seng Kun ini menimbulkan kecurigaan. Juga Lai-goanswe yang maklum akan banyaknya mata-mata pihak pemberontak, mengerutkan alisnya dan memerintahkan para pengawalnya untuk menangkap pemuda dan dara yang berani menghadang perjalanannya itu. belasan orang pengawal lalu mengepung dan hendak menangkap Seng Kun dan Bwee Hong dengan kekerasan. Akan tetapi, dua orang kakak-beradik ini tentu saja tidak sudi membiarkan diri ditangkap. Kaki tangan mereka bergerak dan belasan orang pengawal itu terpelanting kekanan kiri. Diam-diam Jenderal Lai terkejut dan makin yakinlah dia bahwa tentu dua orang ini merupakan pendekar-pendekar yang memberontak pula.
"Siapkan pasukan panah!" perintahnya dan sepasukan yang memegang busur telah datang dan siap untuk menyerang dua orang kakak-beradik itu. Melihat ini, Seng Kun merasa khawatir kalau-kalau perkelahian menjadi semakin berlarut. Dia tidak takut, akan tetapi dia tahu bahwa bukan inilah caranya untuk mendekati jenderal itu.
"Tahan dulu!" bentaknya sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya terdengar amat lantang berwibawa.
"Harap Lai-goanswe tidak salah menilai orang! Ketahuilah bahwa saya adalah utusan pribadi dari Sribaginda Kaisar. Inilah buktinya!" Dan Seng Kun cepat mengeluarkan sehelai bendera yang ada tanda kebesaran Kaisar. Itulah sebuah lengki (bendera utusan Kaisar) yang dikenal baik oleh Jenderal Lai. Dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi cepat memerintahkan pasukan panah mundur dan memberi perintah kepada para pengawalnya untuk menggiring dua orang muda itu kemarkas yang berada didalam kota. Legalah hati Seng Kun dan dia bersama adiknya berjalan diantara pasukan itu, kembali kedalam kota karena Jenderal Lai agaknya akan memeriksa dan bicara dengan mereka.
Lai-goanswe sendiri tetap naik kuda dan alisnya berkerut. selama beberapa bulan ini, Jenderal Lai mengalami kegagalan-kegagalan yang membuatnya merasa amat penasaran, juga malu. Ketika rombongan ini tiba dipintu gerbang benteng yang terjaga ketat, muncullah seorang perwira muda yang gagah. Dia ini Kwa Sun Tek yang telah berganti pakaian sebagai perwira, karena memang putera ketua Tai-bong-pai yang banyak berjasa ini bersama hampir lima puluh orang anak-buahnya telah diangkat menjadi perwira dan pasukan istimewa oleh gubernur dan diperbantukan dalam benteng itu. Hal ini adalah siasat sang gubernur agar pemerintah pusat tidak tahu akan persekongkolannya dengan berbagai pihak untuk memperkuat kedudukan. Ketika Kwa Sun Tek melihat Seng Kun dan Bwee Hong, dia terkejut sekali, mengenal mereka berdua dan membentak,
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Pemberontak-pemberontak mereka ini!" Dan langsung saja dia menyerang dengan pukulan dahsyat kearah Seng Kun. Tentu saja pemuda inipun tidak tinggal diam dan cepat menangkis, dan karena dia sudah maklum akan kelihaian kakak dari Kwa Siok Eng ini, maka diapun menangkis sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Dessss!" Pertemuan dua tenaga sinkang yang amat dahsyat itu membuat keduanya tergetar mundur, akan tetapi ternyata Kwa Sun Tek terdorong sampai tiga langkah lebih jauh, dibandingkan dengan Seng Kun. Hal ini membuat dia penasaran dan dia sudah siap melakukan serangan dengan pukulan yang lebih ampuh. Akan tetapi, Jenderal Lai yang kembali karena mendengar suara ribut-ribut, membentaknya.
"Hentikan perkelahian itu!" Tentu saja Kwa Sun Tek tidak berani membantah, hanya berkata,
"Harap paduka ketahui bahwa mereka ini adalah anggauta-anggauta pasukan pemberontak!"
"Kami bukan pemberontak dan hal ini tentu telah goanswe ketahui dari lengki yang kami perlihatkan tadi," kata Seng Kun. Hati jenderal itu menjadi bimbang dan akhirnya dia memerintahkan Seng Kun dan Bwee Hong dibawa kedalam kantornya, juga dia memerintahkan perwira muda itu ikut pula. Setelah dihadapkan kepada Jenderal Lai didalam kantornya yang terjaga ketat oleh para pengawal, Seng Kun lalu menceritakan segala persoalan yang diketahuinya. Bahkan dia menceritakan pula pengalamannya ketika dia berada bersama pasukan Liu Pang.
"Kami diutus oleh Sribaginda Kaisar untuk menyelidiki dan mencari Menteri Ho yang diculik orang. Akan tetapi kami terlambat dan Menteri Ho telah terbunuh. Pasukan Liu-Bengcu juga gagal menyelamatkannya. Hal ini membuat para pendekar penasaran. Hendaknya goanswe ketahui bahwa para pendekar itu sama sekali tidak bermaksud memberontak terhadap pemerintah, melainkan terhadap penguasa-penguasa daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing. Agaknya, para penguasa daerah itu berhasil mengadu domba antara pasukan para pendekar dan pasukan pemerintah. Kami sengaja hendak menemui goanswe sebagai perwira tinggi yang memegang komando atas semua pasukan pemerintah didaerah timur dan selatan, untuk menjelaskan duduknya persoalan. Kalau goanswe mau melakukan pendekatan dengan Liu-Bengcu, kami yakin semua pertempuran ini dapat dihentikan dan bersama-sama Liu-Bengcu, goanswe dapat membersihkan negara dari para pemberontak aseli yang bersekongkol dengan pasukan asing."
"Semua itu bohong belaka, Lai-goanswe!" Tiba-tiba Kwa Sun Tek mencela dengan suara lantang.
"Hamba sendiri yang melihat betapa dua orang ini ikut pula memberontak dan membantu pasukan Liu Pang menentang pasukan pemerintah. Banyak saksinya akan kenyataan ini dan harap paduka tidak sampai terkena bujukannya yang beracun. Liu Pang sudah jelas merupakan pemberontak, bahkan kini telah merampas dan menduduki Lok-yang, bagaimana mungkin paduka diminta untuk bersekutu dengan pemberontak itu?" Jenderal Lai menjadi bimbang. Keterangan Seng Kun tadi berkesan dihatinya karena diapun menaruh kecurigaan kepada para penguasa daerah yang suka berhubungan dengan pasukan asing. Akan tetapi bantahan perwira muda itupun amat meyakinkan.
"Bagaimana keteranganmu tentang dirampas dan didudukinya Lok-yang oleh Liu Pang?" tanyanya kepada Seng Kun. Tentu saja pemuda ini menjadi bingung. Dia sendiri tidak tahu, hanya mendengar saja bahwa Liu-Bengcu telah menduduki Lok-yang.
"Tentu ada hal-hal yang memaksanya melakukan itu, goanswe. Mungkin penguasa di Lok-yang juga bersekutu dengan pasukan asing!" Jenderal Lai menggebrak meja.
"Tahan ucapanmu! Aku sendiri yang ikut mempertahankan kota itu dari serbuan pemberontak Liu, dan kau berani bilang aku bersekutu dengan orang asing?"
"Bukan Lai-goanswe, akan tetapi para penguasa setempat."
"Harap paduka jangan percaya, semua omongannya itu beracun! " Kwa Sun Tek berkata lagi. Bwee Hong yang sejak tadi diam saja menjadi marah.
"Engkaulah yang beracun! Siapa tidak tahu akan hal itu? Kami adalah utusan Sribaginda Kaisar dan untuk ini kakakku mempunyai bendera tanda utusan Kaisar. Pula, ayah kami adalah seorang yang berkedudukan tinggi di Istana, mana mungkin kami yang berada diluar lalu membantu pemberontak?" Seng Kun memandang adiknya, akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan dan hal ini amat menarik perhatian Jenderal Lai.
"Siapakah ayahmu yang berada di Istana, nona?" Karena adiknya sudah terlanjur bicara, Seng Kun lalu berkata,
"Saya bernama Chu Seng Kun dan adik saya ini Chu Bwee Hong. Ayah kami adalah kepala kuil Istana Thian-to-tang."
"Ahhh! Bu Hong Sengin?" Jenderal itu bertanya dan hatinya kecut. Bu Hong Sengin, biarpun hanya seorang pendeta yang mengurus kuil Istana Thian-to-tang, adalah paman dari Kaisar dan tentu saja mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau kedua orang ini adalah benar putera-puterinya, tentu saja dia tidak boleh sembarangan mencelakakan mereka, apa lagi mereka ini masih utusan Kaisar yang membawa lengki!
"Sudahlah, untuk sementara ini kalian terpaksa kami tahan disini. Aku akan mencari keterangan tentang kalian ke Istana, untuk menyatakan apakah benar-benar kalian adalah utusan Sribaginda Kaisar."
"Akan tetapi, kami mempunyai tugas penting dan kami harus cepat-cepat kembali ke Istana untuk melapor kepada Sribaginda!" Seng Kun membantah.
"Jangan membantah! di Kotaraja dan Istana sendiri sekarang ini sedang kalut" Tiba-tiba sang jenderal menghentikan kata-katanya dan merasa kelepasan bicara.
"Apa apakah yang terjadi di Istana?" Seng Kun cepat bertanya. Akan tetapi, jenderal itu bangkit dan meninggalkan ruangan dan berkata kepada Kwa Sun Tek,
"Tahan mereka itu, jangan sampai terlepas. Akan tetapi kalau aku membutuhkan, mereka itu harus ada ditempat!" Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat berbuat sesuatu dan tentu saja mereka tidak berani melawan ketika digiring memasuki kamar tahanan dimarkas itu. Diam-diam. Kwa Sun Tek menjadi girang sekali.
Musuh-musuhnya ini yang telah banyak mengganggu dan menggagalkan rencananya sekarang terjatuh kedalam tangannya. Dia berpikir-pikir, apa yang akan dilakukan terhadap dua orang itu, terutama sekali terhadap Bwee Hong yang cantik jelita. Dengan wajah berseri dan sepasang mata mengerling tajam kearah Bwee Hong, Kwa Sun Tek sendiri memimpin para pengawal yang menggiring dua orang kakak-beradik itu menuju kekamar tahanan. Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong merasa khawatir. Mereka berdua yakin akan ketegasan Lai-goanswe sebagai panglima perang, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat percaya kepada putera Tai-bong-pai yang berhati curang dan palsu ini. Selagi rombongan pengawal itu mengantar Seng Kun dan Bwee Hong kekamar tahanan mereka, tiba-tiba muncul seorang perwira yang segera menemui Kwa Sun Tek dan berkata dengan suara serius,
"Taihiap... eh, ciangkun! Engkau dipanggil menghadap oleh Jenderal Lai, sekarang juga. Ada urusan penting sekali!" Kwa Sun Tek ragu-ragu dan kecewa, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah.
"Bawa mereka ini kepenjara bawah tanah bersama si gila itu. Awas, jangan ganggu mereka dan jangan sampai mereka lolos. Kalian bertanggung jawab!" Setelah berkata demikian, pergilah pemuda Tai-bong-pai itu bersama perwira yang diutus oleh Lai-goanswe. Sementara itu, Chu Seng Kun merasa curiga sekali melihat bahwa perwira yang memanggil pemuda Tai-bong-pai itu dikenalnya sebagai seorang diantara perwira-perwira yang berada di Ban-kwi-to,
Yaitu perwira yang bersekongkol dengan pasukan asing, jelaslah bahwa persekutuan itu telah menjalar sampai kekota besar, bahkan ditempat ini, didekat Kotaraja, seolah-olah didepan hidung Kaisar sendiri, persekongkolan itu berjalan lancar. Sungguh keadaan sudah teramat gawat. Akan tetapi dia tidak berdaya sebelum Lai-goanwse memperoleh keterangan dari Kaisar sendiri tentang kedudukannya sebagai utusan Kaisar. Kamar tahanan dibawah tanah itu melalui lorong bawah tanah yang diterangi oleh lampu-lampu, biarpun waktu itu siang hari. Dan didalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat, mereka didorong masuk. Didalamnya mereka melihat A-hai! Pemuda ini duduk bersila dan kelihatan teainenung. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua, A-hai mlenjadi girang sekali.
"Ah, aku sudah khawatir sekali akan keadaan kalian!" teriaknya.
"Syukurlah kita dapat bertemu kembali dalam keadaan sehat!"
"Ya, akan tetapi bertemu dalam kamar tahanan yang kokoh kuat!" Seng Kun menambahkan.
"Tidak apa!" A-hai berkata gembira.
"Yang penting adalah selamat dan sehat. Apa artinya bertemu di Istana yang indah kalau dalam keadaan tidak sehat dan tidak selamat? Betul tidak, nona Hong?" Bwee Hong terpaksa tersenyum. Biarpun ucapan itu terdengar kekanak-kanakan, namun harus diakui bahwa memang tepat dan tak dapat dibantah. Ia mengangguk membenarkan sehingga A-hai menjadi semakin gembira. Akan tetapi Seng Kun tidak banyak melayani pemuda sinting itu dan dia sudah mulai memeriksa keadaan kamar tahanan itu. Sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat memang. Dindingnya dari batu yang sebelah dalamnya dilapisi baja. Juga pintu itu amat kuatnya sehingga ketika Seng Kun mencoba untuk mendorongnya, sedikitpun tidak bergoyang.
Bwee Hong juga memeriksa seluruh dinding, mencari jalan keluar. Mereka maklum bahwa selama mereka masih dalam kamar tahanan, bahaya selalu mengancam karena mereka tahu bahwa mereka terjatuh kedalam tangan komplotan itu, dan Lai-goanswe sendiri tidak tahu adanya komplotan itu. Karena Seng Kun sudah membongkar rahasia, tentu komplotan itu, dibawah pimpinan pemuda Tai-bong-pai, tidak akan membiarkan mereka lolos dengan selamat. Maka, mereka harus dapat keluar dari tempat ini, sebelum terlambat. Kalau kakak-beradik itu sibuk memeriksa seluruh dinding dan mencari kemungkinan lolos, A-hai masih enak-enak duduk saja diatas lantai dan kini tangannya mengetuk-ngetuk lantai. Agaknya dia juga merasa kesal didiamkan saja oleh dua orang kawannya itu.
"Tuk-tuk-tuk-tuk!" Tangannya, yang diluar kesadarannya sendiri memiliki tenaga mujijat itu, mengetuk-ngetuk lantai menggunakan sepotong batu kecil yang ditemukannya ditempat tahanan itu. Kini dia memindahkan batu itu dari tangan kanan ketangan kiri dan mengetuk-ngetuknya kembali keatas lantai disebelah kirinya.
"Tuk-tuk-tung-tung-tung-tunggg!" Tiba-tiba Seng Kun meloncat, mendekat.
"Saudara A-hai, coba kau pukul lagi lantai sebelah kananmu." A-hai memandang heran dan menurut.
"Tuk-tuk-tukk!"
"Sekarang sebelah kirimu." Kembali A-hai menurut.
"Tung-tung-tunggg!" Jelas sekali terdengar perbedaan bunyi. Seng Kun berjongkok dan menggunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk bagian kiri A-hai itu, diatas lantai batu.
"Tung-tung-tunggg...!" Melihat ini, Bwee Hong juga ikut berjongkok dan mengetuk-ngetuk lantai disana-sini dan ternyata yang terdengar bunyi "tung-tung" hanya disekitar sebelah kiri A-hai.
"Ah, ada lubang dibawah sini!" bisik Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mengerutkan alisnya.
"Agaknya ini merupakan satu-satunya harapan kita. Saudara A-hai dan kau juga Bwee Hong, berdirilah didepan terali pintu dan beri isyarat kalau ada penjaga datang. Aku akan berusaha membongkar lantai ini." Tanpa berkata sesuatu, Bwee Hong dan A-hai lalu berdiri dipintu, dimana terdapat jeruji baja yang kuat. Tidak nampak adanya penjaga didepan pintu itu. Para penjaga berkumpul agak jauh dari situ walaupun mereka tidak pernah lengah dan selalu memandang kearah kamar tahanan. Melihat ini, Bwee Hong lalu memberi isyarat dengan tangannya. Seng Kun lalu mengerahkan seluruh tenaganya, disalurkan kepada kedua lengannya dan setelah merasa cukup kuat, dia lalu menggunakan kedua tangannya menghantam lantai itu.
"Brakkkkk!" Lantai itu pecah dan ambrol dan ternyata dibawahnya memang berlubang. Bagaimanapun juga suara itu menarik perhatian para penjaga. Mereka berlarian mendatangi tempat itu. Melihat ini, Bwee Hong cepat menarik tangan A-hai dan bersama Seng Kun mereka lalu menutupi lubang itu dengan tubuh mereka yang sengaja direbahkan miring diatas lantai. Seng Kun dan Bwee Hong pura-pura memijiti tubuh A-hai yang setengah dipaksa untuk rebah menelungkup diatas lubang.
"Kenapa? Apa yang terjadi?" tanya komandan penjaga melihat mereka yang berada didalam kamar tahanan itu.
"Teman karni ini pening dan terjatuh. Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi tentu dia sembuh. Memang dia mempunyai penyakit ayan yang kadang-kadang kumat!" kata Seng Kun. Diam-diam A-hai mengomel dikatakan bahwa dia mempunyai penyakit ayan. Para penjaga tertawa lalu pergi lagi setelah melihat bahwa memang tidak terjadi apa-apa dikamar itu, tidak terdapat tanda-tanda bahwa tiga orang tawanan itu akan melarikan diri.
"Kita tunggu sampai gelap," bisik Seng Kun. Mereka tetap rebah-rebahan menutupi lubang dan setelah kamar itu menjadi gelap karena memang tidak diberi penerangan, barulah Seng Kun memeriksa lubang. Lubang itu cukup besar untuk dapat dimasuki dan ketika dia memasuki lubang, ternyata disebelah bawah terdapat sebuah lorong seperti yang pernah mereka lihat lorong-lorong dibawah tanah dari Ke pulauan Ban-kwi-to. Maka mereka bertigapun cepat maju kedepan dengan hati-hati karena keadaan didalamnya gelap sama sekali. Setelah berjalan beberapa lamanya, mereka tiba dijalan buntu. Didepan mereka menghadang dinding batu yang keras.
Pendekar Tanpa Bayangan Eps 10 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 5 Naga Beracun Eps 28