Darah Pendekar 30
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 30
"Celaka, terowongan ini merupakan jalan buntu!" kata Seng Kun, mengeluh karena kalau mereka ketahuan dan para penjaga mengejar, tentu mereka akan tertawan kembali. Diterowongan yang sempit itu tidak mungkin mereka melakukan perlawanan.
"Lihat, bagian ini tanahnya lunak dan bercampur pasir. Bagaimana kalau kita membuat jalan dari sini?" Bwee Hong berseru. Seng Kun setuju dan mereka bertiga lalu mulai menggali. Dan memang benar, tanah itu mudah digali, apa lagi oleh sepasang tangan kakak-beradik yang kuat itu. Tak lama kemudian mereka melihat batu landasan atau fondamen bangunan rumah.
"Wah, kita sampai dibawah rumah orang!" Dengan jari tangannya yang kuat, Seng Kun lalu membuat lubang dilantai rumah yang berada diatas mereka. Segera terdengar suara orang-orang bercakap-cakap melalui lubang kecil itu dan mereka terkejut. Seng Kun dan adiknya segera mengenal suara pemuda Tai-bong-pai yang menawan mereka! Mereka bertiga mendengarkan dengan jantung berdebar tegang. Kiranya diatas mereka merupakan sebuah ruangan dimana Kwa Sun Tek sedang mengadakan rapat dengan beberapa orang sekutunya, diantaranya terdapat kepala daerah Lok-yang, juga Malisang, kepala Suku Mongol yang bersekutu dengan para pemberontak.
"Boleh jadi pasukan pemerintah sudah tidak begitu kuat karena mereka harus menentang gerakan Chu Siang Yu dari barat, akan tetapi kita harus memperhitungkan kekuatan Liu Pang," demikian kepala daerah Lok-yang bicara.
"Daerahku telah dikuasainya. Untung aku masih dapat lolos dengan menyamar sebagai pelayan. Padahal, pasukan penjaga kota dan dibantu oleh pasukan koksu sudah cukup kuat, namun kami kalah, dan kehilangan banyak perajurit."
"Kami juga kehilangan banyak anak-buah," kata orang Mongol itu dengan suara kaku.
"Kami tidak mengira bahwa Liu Pang dapat bergerak sedemikian cepatnya, dan terutama sekali yang membikin kami gagal adalah kenyataan bahwa dalam pasukan tuan terdapat pengkhianatnya, yaitu Gui-ciangkun dan pasukannya." Koksu atau kepala Suku Mongol itu terdengar kecewa dan penasaran.
"Akan tetapi sekarang, hal itu tidak perlu terulang kembali. Pasukan-pasukan kami telah berdatangan disepanjang pantai. Tak lama lagi mereka akan dapat berkumpul untuk membantu kita semua." Mendengar percakapan ini, diam-diam Seng Kun mengerutkan alisnya dan hatinya khawatir sekali.
"Celaka," pikirnya.
"Keselamatan, negara sungguh terancam. Pasukan asing dalam jumlah banyak telah mendarat. Sedangkan bangsa sendiri malah saling bermusuhan karena saling memperebutkan kedudukan. Pasukan Chu Siang Yu yang kuat itu memberontak. Para gubernur juga memberontak dengan diam-diam. Pemerintah pusat menghadapi begitu banyak ancaman pemberontakan. Agaknya negara sudah berada diambang kehancuran."
Tak lama kemudian, rapat diatas itupun bubar dan keadaan menjadi sepi. Seng Kun mengintai dari lubang kecil yang dibuat jarinya tadi. Memang ruangan itu sudah kosong sama sekali. Mereka lalu membongkar lantai dan keluar dari lorong bawah tanah itu. Ternyata mereka berada didalam ruangan yang menjadi bagian dari gedung gubernuran. Hari masih larut malam dan merekapun cepat menyelinap keluar ruangan itu, bersembunyi didalam gelap. Seng Kun menjadi pemimpin dan dua orang kawannya mengikuti dari belakang. Mereka hendak mencari jalan untuk keluar dari gedung itu. Akan tetapi, baru saja mereka tiba disamping gedung, mereka mendengar suara ribut-ribut dan melihat banyak sekali perajurit membawa obor. Diantara mereka terdapat Kwa Sun Tek yang berteriak-teriak marah,
"Mereka takkan dapat pergi jauh! Sudah pasti masih berada didalam gedung. Hayo kepung gedung dan jangan sampai membiarkan seorangpun lolos!"
"Celaka, kita telah ketahuan!" bisik Seng Kun dan diapun mengajak Bwee Hong dan A-hai untuk mundur kembali memasuki gedung! Seng Kun berpikir cepat dan. tak lama kemudian dia sudah terus masuk kedalam gedung menyuruh A-hai dan Bwee Hong bersembunyi dan segera menangkap seorang pelayan yang agaknya terkejut mendengar ribut-ribut diluar gedung.
"Cepat bawa kami kedalam kamar gubernur!" Seng Kun mengancam sambil mencengkeram tengkuk pelayan itu. Cengkeramannya membuat pelayan itu merasa kesakitan dan tanpa banyak cakap lagi diapun, mengangguk-angguk dan pergilah mereka bertiga mengikuti pelayan kekamar sang gubernur. Dengan kepandaiannya, Seng Kun mendorong pintu terbuka setelah Bwee Hong melumpuhkan dua orang pengawal jaga diluar pintu, kemudian, sebelum sang gubernur yang baru saja bangun karena kaget itu sempat berteriak Seng Kun telah menangkapnya dan mengancam.
"Kalau sayang nyawa, jangan banyak bergerak dan jangan mengeluarkan suara!"
"Ampun... jangan bunuh"
"Keluarkan kereta, selundupkan kami keluar dari kota ini. Kalau kami selamat, engkaupun hidup!" hardik Seng Kun dengan suara lirih akan tetapi penuh ancaman.
"Baik... baik!"
Di bawah ancaman Seng Kun dan Bwee Hong, akhirnya pembesar itu mengenakan pakaian kebesaran lalu membawa mereka ketempat kereta, membangunkan kusir kereta dan tak lama Kemudian, keretapun bergerak keluar dari halaman samping gedung. Beberapa orang perajurit melihat dengan heran, bahkan ada seorang perwira yang berseru kepada kusir kereta, bertanya. gubernur, dibawah ancaman Seng Kun, menyingkap tirai jendela kereta dan berkata bahwa dia ingin memeriksa dan melihat sendiri keluar gedung, mencari tahu tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi dikota. Beberapa pasukan pengawal siap hendak mengiringkan kereta, akan tetapi gubernur itu menolak dan memerintahkan mereka menjaga gedung baik-baik. Setelah berhasil keluar dari pintu gerbang gedung itu, Seng Kun lalu menotok kusir kereta dan dia sendiri lalu duduk menggantikan tempat kusir.
"Saudara A-hai, engkau duduklah disampingku sebagai pembantu," katanya. Si gubernur gendut duduk berdua saja dengan Bwee Hong dan hal ini agaknya melegakan hatinya. Disangkanya bahwa dara secantik itu tentu tidak kejam dan tidak begitu kuat, maka dia sudah mulai melihat kekanan kiri untuk mencari kesempatan menyelamatkan diri. Melihat ini, Bwee Hong berkata,
"Kalau engkau melakukan yang bukan-bukan, aku akan menghancurkan kepalamu seperti ini!" Dan Bwee Hong menggunakan tangannya meremas lengan kursi dalam kereta yang terbuat dari kayu keras. Lengan kursi itu hancur ketika dicengkeramnya. Melihat ini seketika muka si gubernur menjadi pucat dan diapun tidak lagi berani berkutik, maklum bahwa gadis cantik jelita inipun lihai bukan main dan agaknya tidak kalah kejam dibandingkan dengan orang yang kini menggantikan kusirnya. Maka diapun pasrah saja dengan muka pucat, hati berdebar dan tubuh menggigil.
Kereta berhasil melalui pintu gerbang kota dengan selamat. Para perwira dan pasukan penjaga, biarpun terheran-heran, tidak berani mengganggu melihat sang gubernur duduk didalam kereta dengan santai bersama seorang wanita muda yang cantik. Mereka mengira bahwa sang gubernur sedang mencari angin bersama seorang selirnya yang terkasih dan tidak ingin diganggu, maka tidak ada pasukan pengawalnya dan hanya ditemani oleh kusir dan pembantunya. Akan tetapi, tidak semua pasukan setolol itu. Ada beberapa orang perwira yang merasa curiga sekali. Tidak seperti biasa seorang gubernur melakukan perjalanan malam seperti itu, tanpa kawalan dan keluar dari kota. Mereka lalu mempersiapkan pasukan dan diam-diam membayangi kereta itu dari jauh. Ketika kereta melalui pintu, tiba-tiba saja perwira-perwira dan pasukannya itu menghadang didepan kereta.
"Tahan dulu!" bentak seorang diantara para perwira.
"Harap taijin maafkan kelancangan kami, akan tetapi dalam keadaan yang gawat ini kami harus bertindak hati-hati dan kami ingin merasa yakin bahwa taijin dalam keadaan selamat." Bwee Hong mencengkeram tengkuk pembesar itu yang menjadi semakin ketakutan.
"Hayo katakan bahwa engkau selamat dan suruh mereka semua minggir!" desis dara itu kepada sang gubernur. Akan tetapi, gubernur itu menjadi demikian takutnya sehingga sukar baginya untuk mengeluarkan suara.
"Selamat, aku selamat sebaiknya kalian pergilah" Melihat sikap gugup ketakutan dan mendengar suara yarig menggigil dan tersendat-sendat itu, tentu saja para perwira menjadi semakin curiga.
"Kepung! Tangkap penjahat!"
"Heh, mereka adalah tawanan-tawanan yang meloloskan diri itu!" Tentu saja keadaan menjadi geger dan para perajurit lari mendatangi dan kereta itu dikepung. Seng Kun dan Bwee Hong sudah melompat turun dan mereka berdua mengamuk. Biarpun dikepung dan dikeroyok banyak perajurit, kalau mereka menghendaki, dua orang kakak-beradik ini agaknya akan mudah untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka teringat akan A-hai yang masih saja duduk ditempat kusir dan memandang perkelahian itu dengan bingung. Banyak perajurit sudah roboh terkena tamparan dan tendangan kakak-beradik yang tangguh itu.
"Saudara Seng Kun! Nona Hong, kalian larilah saja dan jangan hiraukan aku!" Berkali-kali A-hai minta mereka melarikan diri. Dia tahu bahwa kakak-beradik itu tidak mau lari karena hendak melindungi dia. Hal ini membuat hatinya terasa amat tidak enak. Dia sendiri tidak mampu melawan. Apa lagi melawan, bahkan melihat mereka berdua dikeroyok saja hatinya sudah menjadi gelisah sekali. Bwee Hong mengerutkan alisnya. Harus ada akal untuk menyelamatkan A-hai, dan satu-satunya akal hanyalah membuat pemuda itu mengamuk! Kalau ia dan kakaknya harus membawa A-hai dari situ sambil melawan pengeroyokan, sungguh tidak mungkin.
Selain A-hai tidak akan mau, juga kalau muncul lawan berat seperti putera Tai-bong-pai, akan berbahaya sekali. Akan tetapi bagaimana ia harus berbuat untuk dapat membuat A-hai kumat dan timbul kelihaiannya? Seorang pengeroyok menyerang Bwee Hong dari samping dengan tusukan tombaknya. Bwee Hong menangkap tombak itu dan tiba-tiba menjerit, lalu roboh bersama penusuknya, mandi darah! Melihat ini, Seng Kun terkejut bukan main. Hampir dia tidak percaya bahwa adiknya akan roboh sedemikian mudahnya, diserang oleh seorang perajurit biasa dengan tombak. Tubuhnya meloncat dan meluncur bagaikan halilintar menyambar dan para pengeroyok adiknya terpelanting kekanan kiri. Dengan muka pucat dia melihat adiknya menggeletak berlumuran darah.
"Hong-moi" teriaknya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan sepasukan perajurit datang dipimpin oleh Kwa Sun Tek yang lihai. Bahkan kepala Suku Mongol yang tinggi besar itupun datang bersama pemuda Tai-bong-pai itu!
Celaka, pikir Seng Kun. Matilah mereka sekarang. Adiknya yang merupakan pembantu amat lihainya, telah menggeletak dan agaknya terluka cukup parah. Dia seorang diri mana mampu bertahan? Apa lagi kalau harus melindungi adiknya yang terluka dan A-hai yang masih duduk diatas kereta. Melihat datangnya pasukan bantuan yang kuat, kini para perajurit sudah mulai maju lagi mengeroyok Seng Kun yang terpaksa harus melindungi tubuh adiknya. Pada saat itu, tiba-tiba saja terdengar teriakan yang amat dahsyat dan memekakkan telinga, lengkingan yang seperti bukan keluar dari mulut manusia, disusul berkelebatnya sesosok tubuh manusia yang melayang turun dari atas kereta.
Tubuh itu melayang kearah Bwee Hong yang masih rebah miring mandi darah, lalu dengan mata beringas dia menggunakan tangan kiri menyambar tubuh Bwee Hong dan memanggul diatas pundaknya. Orang ini bukan lain adalah A-hai yang telah "Kumat" gilanya ketika melihat Bwee Hong roboh mandi darah. Kini, dengan tubuh Bwee Hong dipanggul diatas pundaknya, dia memandang kedepan dengan sikap beringas mengerikan, sepasang matanya mencorong dan mengandung penuh nafsu membunuh. Melihat ini, tentu saja beberapa orang perajurit mengepung dan menyerangnya. Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara mendengus pendek, A-hai menggerakkan tangan kanannya dengan cepat dan terdengarlah jerit-jerit mengerikan dan lima orang perajurit telah roboh dengan tubuh kaku dan mata mendelik, mati!
Tidak ada setetespun darah keluar, tidak ada sedikitpun luka nampak ditubuh mereka. Tentu saja hal ini menimbulkan kegemparan dan para perajurit menjadi ngeri ketakutan. Bahkan Seng Kun sendiripun yang melihat jelas akibat gerakan tangan A-hai itu, diam-diam merasa serem dan ngeri. Ilmu apakah yang dipergunakan A-hai sehingga akibatnya sedemikian hebatnya? Melihat kelihaian dua orang pemuda yang mengamuk itu, majulah Kwa Sun Tek yang dibantu oleh Malisang, raksasa Mongol kepala suku yang menjadi sekutu pemberontak itu. Dia menubruk kearah A-hai yang memanggul gadis pingsan itu, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar itu untuk mencengkeram kedepan seperti gerakan seekor biruang menerkam. Akan tetapi, A-hai kembali mendengus pendek dan tangan kanannya menyambut dengan dorongan.
"Bresss.." Pertemuan dua tenaga besar seolah-olah menggetarkan udara dan akibatnya, raksasa Mongol itu terjengkang dan terbanting jatuh, lalu bergulingan dan meloncat bangun kembali. Matanya terbelalak saking kagetnya dan hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang menggunakan sebelah tangan saja untuk menyambut tubrukannya yang mengandung tenaga amat besar itu.
A-hai sendiri tergetar karena besarnya tenaga lawan, akan tetapi dia hanya melangkah mundur sebanyak empat langkah saja. Melihat kehebatan pemuda ini, Malisang maju lagi dan kini dia dibantu oleh beberapa orang perwira pengawalnya yang sudah mencabut pedang, Namun, A-hai menyambut pengeroyokan tujuh orang itu dengan sebelah tangan kanan saja dan hebatnya, pemuda yang biasanya lemah dan bodoh itu kini tiba-tiba saja berobah menjadi seorang yang selain gagah perkasa, juga cerdik dan lengan kanannya itu kebal senjata, bahkan jari-jari tangannya dapat dipergunakan untuk menangkis senjata tajam lawan tanpa terluka sedikitpun!
Sepak terjangnya menggiriskan sehingga Malisang minta bantuan lebih banyak temannya lagi. Sementara itu, Seng Kun juga sudah bertanding melawan Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai. Mula-mula mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong, akan tetapi melihat betapa pemuda jangkung tampan itu memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, terlalu kuat baginya, Kwa Sun Tek lalu mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang cangkul penggali kuburan. Terjadilah perkelahian yang amat seru, akan tetapi karena Kwa Sun Tek juga dibantu oleh banyak orang, Seng Kun mulai terdesak pula. Juga A-hai terdesak karena pemuda ini selalu harus melindungi sambaran senjata yang mengancam tubuh Bwee Hong yang dipanggulnya. Seng Kun menggeser kedudukannya agar mendekati A-hai dan dia berseru,
"Saudara A-hai, mari kita melarikan diri!" Berkali-kali dia mendesak, akan tetapi A-hai sama sekali tidak memperdulikannya, bahkan ketika Seng Kun terlalu mendekatinya, pemuda sinting ini menggunakan tangannya untuk menyampok sehingga Seng Kun terhuyung! Kiranya setelah kumat, A-hai sama sekali tidak mengenalnya lagi! Maka terpaksa Seng Kun menjauh lagi dan melanjutkan amukannya. Diam-diam dia mengeluh. Tidak mungkin bagi mereka berdua, betapapun lihainya A-hai, akan dapat bertahan menghadapi pengeroyokan sedemikian banyaknya anak-buah pasukan.
Tentu saja semua ini dilihat jelas oleh Bwee Hong yang dipondong oleh A-hai. Dara ini tadi memang hanya pura-pura saja membiarkan dirinya seolah-olah terkena serangan senjata lawan. padahal, darah yang menodai pakaiannya itu bukanlah darahnya sendiri, melainkan darah lawannya. Ia berhasil mengelabuhi A-hai dan berhasil pula membikin pemuda itu kumat sintingnya. Akan tetapi sungguh celaka, kini A-hai mengamuk dan tidak mau melarikan diri seperti yang dianjurkan berkali-kali oleh kakaknya. Iapun tahu bahwa betapapun lihainya A-hai, tidak mungkin dapat bertahan kalau terus-menerus menghadapi pengeroyokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit. Maka, diangkatnya kepalanya mendekati telinga pemuda sinting itu dan iapun berbisik,
"A-hai, lihatlah, kakakku sudah terdesak. Mari kita pergi dari sini!"
"Hemmm? Pergi?" A-hai menunduk dan memandang wajah dara itu. Matanya yang buas itu membuat Bwee Hong sendiri menjadi ngeri.
"Koko, mari kita lari! A-hai, hayo loncati tembok disana itu!" Bwee Hong berseru sambil menekan-nekan pundak A-hai. Seng Kun girang sekali melihat bahwa adiknya ternyata selamat dan kini kakak ini baru mengerti bahwa robohnya Bwee Hong tadi ternyata hanyalah siasat untuk "membangkitkan" A-hai.
"Baik, mari kita pergi!" katanya sambil merobohkan dua orang perajurit dan pemuda inipun mempergunakan ginkangnya yang amat hebat untuk melayang kearah tembok bagaikan seekor burung terbang saja.
"Hayo kita pergi, A-hai!" kata pula Bwee Hong.
"Pergi? Baik, ibu!" Dan A-hai lalu meloncat dengan kecepatan yang membuat Bwee Hong terkejut dan ngeri. Akan tetapi, lebih terkejut dan heran lagi hatinya ketika tadi ia mendengar A-hai menyebutnya "ibu!"
"Kejar!"
"Tangkap!"
"Bunuh!!"
Teriakan-teriakan itu menggerakkan para perajurit untuk mengejar, akan tetapi begitu A-hai menggerakkan tangan kebelakang dan empat orang roboh terpelanting dan tewas, mereka menjadi jerih dan akhirnya mereka bertiga dapat lolos dari pengejaran para perajurit. Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi marah dan khawatir. Tawanan-tawanan itu diserahkan kepadanya dan menjadi tanggung jawabnya, raaka tentu saja sama sekali tidak boleh lolos! Dia mengerahkan pasukannya, dibantu oleh Malisang, melakukan pengejaran secepatnya. Ketika pasukan itu tiba dipintu gerbang, baru saja pintu gerbang dibuka, terdengar derap kaki kuda dan muncullah Jenderal Lai diikuti oleh pasukan pengawalnya. Melihat jenderal ini, tentu saja Kwa Sun Tek terkejut dan cepat memberi hormat bersama para pembantunya. Jenderal Lai mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
"Ada kejadian apa lagi ini? Kenapa sampai terdengar dipukulnya tanda bahaya segala?" Tentu saja Kwa Sun Tek merasa canggung dan gugup. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menyembunyikan kenyataan, maka dengan hati-hati dia lalu bercerita bahwa tiga orang tawanan itu memberontak dan melarikan diri dengan jalan kekerasan.
"Kami sedang berusaha mengejar mereka, Lai-ciangkun." Jenderal Lai terkejut sekali mendengar ini. Dia marah.
"Hemm, mengapa engkau begini ceroboh dan membiarkan tawanan penting lolos?"
"Kami tentu akan dapat menangkap mereka kembali!" kata Malisang melihat kemarahan Jenderal itu. Jenderal Lai menengok dan melihat raksasa rambut putih itu dia membentak,
"Siapa pula orang ini?" Kwa Sun Tek sudah terkejut sekali mendengar Malisang ikut bicara tadi, dan kini dengan gugup dia menjawab.
"Dia adalah seorang pengawal pribadi saya, goanswe!"
"Hayo kejar dan tangkap mereka kembali!" Akhirnya sang jenderal memberi perintah sambil memutar kudanya memasuki kota kembali. Kwa Sun Tek bersama Malisang lalu mengerahkan pasukan dan melakukan pengejaran keluar kota.
Chu Seng Kun diam-diam merasa kagum bukan main kepada A-hai. Biarpun pemuda sinting yang sedang kumat itu memanggul tubuh Bwee Hong, akan tetapi dia dapat berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Seng Kun sendiri adalah keturunan dari Tabib Sakti Tanpa Bayangan yang sudah terkenal memiliki ginkang nomor satu didunia persilatan. Akan tetapi sekali ini dia harus mengakui bahwa ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari pemuda sinting itu tidak kalah olehnya. Bahkan dia harus mengerahkan semua tenaganya untuk dapat mengimbangi kecepatan lari A-hai. Mereka keluar masuk hutan dan naik turun bukit-bukit. Setelah mereka tiba ditepi sebuah sungai yang jernih airnya, Bwee Hong berbisik kepada A-hai,
"A-hai, berhenti! Turunkan aku disini!" Memang aneh sekali. Dalam keadaan kumat, pemuda ini tidak mau perduli, bahkan tidak mengenal semua orang. Akan tetapi seperti ketika berhadapan dengan Pek Lian, kini dia amat patuh kepada Bwee Hong. Biarpun tadinya beringas dan buas, mendengar suara Bwee Hong, dia menjadi lemah dan penurut sekali. Dan suasana yang tenang ditempat itu agaknya cepat memulihkannya kembali dari kambuhnya. Dia menurunkan Bwee Hong, lalu dia duduk diatas sebongkah batu besar, termenung sejenak, memandang kekanan kiri seperti orang terheran-heran atau seperti baru saja bangun dari mimpi buruk, kemudian dia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil mengeluh panjang pendek,
"Aduh, kepalaku! Kepalaku!" Dengan perasaan iba Bwee Hong mendekatinya, lalu memegang pundaknya dengan sikap halus.
"Kepalamu kenapa, A-hai? Bagaimana rasanya?"
"Aduhh pening, pusing sekali. Ahhhh" Dan tiba-tiba saja A-hai terkulai dan tentu jatuh terguling dari atas batu kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Bwee Hong. Pemuda itu sudah roboh pingsan!
"A-hai! A-hai! Engkau kenapakah, A-hai?" Bwee Hong yang merangkulnya itu mengguncang-guncangnya, hatinya penuh dengan perasaan iba. Wajah A-hai yang tadinya kemerahan dengan mata beringas itu kini perlahan-lahan berobah menjadi pucat.
"Tenanglah, Hong-moi, biarkan dia terlentang diatas rumput. Dia sedang mengalami perobahan seperti biasa, setelah tadi mengalami guncangan batin yang hebat dan yang membuatnya kumat. Bagaimanapun juga, siasatmu itu bagus sekali dan telah menyelamatkan kita."
"Ah, itu merupakan jalan satu-satunya, yaitu membuat dia kumat. Sebetulnya, kalau tidak terpaksa, aku tidak tega melihat dia kumat seperti itu, dan engkau tahu, koko, ketika kumat tadi, dia menyebut aku ibu!" Seng Kun memandang wajah pemuda yang kini rebah terlentang dengan muka pucat itu dan meraba-raba dagunya yang masih halus belum ditumbuhi jenggot.
"Hemm, tentu ada rahasia dibalik itu semua, rahasia yang menyangkut ibunya. Agaknya dahulu terjadi peristiwa hebat sekali yang membuat batinnya terguncang secara luar biasa."
"Kita sudah melihat dia beberapa kali kumat dan agaknya dia kumat karena guncangan batin, terutama sekali apabila dia melihat darah. Adik Pek Lian juga menceritakan demikian. Aku hampir merasa pasti bahwa masa lalunya yang telah dilupakannya itu apabila dia dalam keadaan biasa, tentulah sangat serem dan mengerikan. Tentu masa lalunya itu penuh dengan peristiwa yang berlepotan darah dan pembunuhan. Dan peristiwa itu sangat melukai hatinya sehingga sampai sekarangpun mempengaruhi batinnya. Kurasa, apabila dia sedang kumat, dia justeru sedang hidup kembali dalam masa lalu yang terlupakan itu, dia menjadi buas dan penuh dengan hawa nafsu membunuh! Bagaimana pendapatmu, koko?" Seng Kun mengangguk-angguk.
"Cocok dengan pendapatku. Pemuda ini sekarang mempunyai dua dunia, yaitu dunia yang terlupakan itu dan yang dimasukinya sewaktu-waktu selagi dia kumat. Dan dunia sekarang, yaitu dunia sesudah masa lalu itu, dan dalam dunianya yang sekarang ini, dia sama-sekali sudah melupakan masa lalu itu, bahkan dia sudah berobah menjadi pemuda yang lemah dan tidak mengenal ilmu silat."
"Benar, koko. Hanya satu hal yang tidak berubah, yaitu wataknya sebagai seorang pendekar! Kalau menurut penglihatanmu, penyakit apakah yang dideritanya? Koko, untuk masa ini, ilmu pengobatanmu mungkin yang nomor satu didunia setelah ayah eh, kakek kita meninggal dunia. Coba berilah keterangan mengenai penyakit yang diderita A-hai, aku ingin sekali mendengamya." Seng Kun menarik napas panjang dan menatap wajah A-hai yang masih pingsan seperti orang tidur nyenyak itu.
"Hemm, terus-terang saja, adikku. Aku sendiri belum dapat memastikan penyakit apa yang dideritanya, hanya dapat meraba-raba dan mengira-ngira saja. Akan tetapi setelah melihat keadaannya dan mendengar cerita mengenai dirinya, aku merasa yakin bahwa dia mengalami gangguan pada jalinan syaraf otaknya. Ada gangguan yang membuat otaknya terganggu sehingga terjadi kelainan. Telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan dan mendatangkan luka pada susunan otaknya sehingga merusak daya kerjanya, membuat dia kehilangan ingatannya saat dia kecil sampai beberapa saat yang lalu. Didalam buku kakek, aku pernah membaca tentang gangguan yang dapat mengakibatkan kerusakan daya kerja otak. Benturan kepala yang keras dapat mengakibatkan kerusakan. Keracunan racun-racun tertentu dapat juga merusak syaraf otak dan mengakibatkan ketidak-normalan. Juga peristiwa-peristiwa yang amat hebat dapat mengguncangkan batin sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan pula kelainan pada susunan otak dan mendatangkan kegilaan. Ada pula penyakit yang merupakan penyakit keturunan, penyakit gila keturunan yang kadang-kadang muncul kadang-kadang tidak, seperti keadaan A-hai ini. Akan tetapi aku melihat gejala-gejala berbeda dari pada diri A-hai dengan penyakit gila keturunan, karena A-hai hanya kambuh kalau batinnya terguncang oleh kengerian saja. Sayang kita tidak mengenal asal-usul dan masa lalunya. Kalau kita mengetahuinya, tentu akan lebih mudah untuk mengenal jenis penyakitnya dan tentu saja lebih mudah pula untuk mencoba memberi pengobatannya."
"Habis, bagaimana baiknya, koko? Aku ingin sekali melihat dia sembuh. Dia sudah berbuat banyak terhadap kita, dia sudah melepas budi besar walaupun tidak disengajanya."
"Itulah, kita harus menyelidiki dengan cermat. Belum tentu yang menimpa dirinya itu merupakan suatu penyakit. Mungkin akibat guncangan batin yang hebat. Atau dapat juga jalinan syaraf rusak karena peredaran darah yang kacau. Keracunan darah melalui luka dapat saja merusak syaraf otak. Kita harus menyelidiki"
"Lalu bagaimana caranya? Bagaimana kita bisa membuka rahasia penyakitnya?" Seng Kun mengerutkan alisnya dan menggunakan pikirannya. Sebelum adiknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu mengenai diri A-hai, hal ini sudah sering kali direnungkannya. Tidak, dia ingin mengobati A-hai bukan karena merasa berhutang budi. Andaikata A-hai tidak pernah melepas budi sekalipun, tetap saja dia ingin mengobatinya. Yang mendorongnya adalah wataknya sebagai ahli pengobatan. Setiap orang ahli pengobatan yang benar-benar mencintai keahliannya, tentu akan merasa ditantang apabila menghadapi seorang yang menderita penyakit berat dan aneh. Makin berat dan makin aneh penyakitnya, makin besarlah gairahnya untuk memeranginya, untuk melawan dan menundukkan penyakit itu. Dia merasa ditantang oleh seorang lawan yang menarik!
"Satu-satunya jalan ialah mengetahui sebabnya mengenai dunia masa lalunya itu. Siapakah dia sebenarnya, bagaimana asal-usulnya dan apa yang terjadi dengan dia pada saat-saat terakhir masa lalunya itu? Dan siapa keluarganya, dari mana asalnya? Kalau kita mengetahui asal-usulnya, kita dapat mengajaknya ketempat itu. Tempat-tempat yang sudah sangat dikenalnya, kampung halaman dimana dia tumbuh diwaktu masa kanak-kanak, akan membantu dia untuk cepat menemukan dirinya kembali. Akan tetapi dalam keadaan sekarang, tak mungkin hal itu terjadi. Dia sendiripun sudah lupa akan asal-usulnya, bagaimana kita akan dapat menyelidikinya? Hanya ada satu jalan, akan tetapi..." Seng Kun tidak melanjutkan.
"Tetapi bagaimana, koko?" tanya adiknya tak sabar.
"Engkau tahu, untuk dapat memperoleh keterangan yang paling mudah mengenai masa lalunya, tentu saja pada saat-saat dia kumat. Karena dalam keadaan normal dia lupa sama sekali mengenai dirinya. Dan pada saat dia kumat tentu dia tahu akan keadaan dirinya dimasa lalu, hanya dia berbahaya sekali. Ilmu kepandaian silat kita sama sekali bukan apa-apa dibandingkan dengan dia. Dan perasaannya amat halus. Sekali dia tersinggung, kita akan dengan amat mudah saja tewas ditangannya." Bwee Hong mengangguk-angguk. Iapun sudah mengenal kehebatan A-hai kalau sedang kumat.
"Lalu bagaimana baiknya? Apakah kita akan diam saja melihat penderitaannya yang hebat itu?" tanyanya sedih dan matanya menjadi basah ketika ia memandang kewajah pemuda yang masih pingsan itu. Melihat kesedihan adiknya, Seng Kun menjadi kasihan dan dia menyentuh tangan adiknya.
"Hong-moi, sebenarnya aku telah memikirkan suatu jalan, akan tetapi aku tidak berani mengatakannya karena aku amat mengkhawatirkan resikonya."
"Katakanlah, jalan apa itu? Kalau perlu, kita harus berani menempuh resikonya."
"Begini, adikku. Sebuas-buasnya binatang, pada dasarnya masih memiliki kasih sayang, apa lagi manusia. Seluruh mahluk dipermukaan bumi ini, dari binatang yang paling buas dan tak berakal budi, sampai kepada manusia, semua tunduk oleh rasa kasih sayang ini. Aku melihat betapa A-hai, dalam keadaannya yang paling buas selagi kumat, masih juga mempunyai kelemahan dan tunduk terhadap perasaan suci itu. Dia mempunyai tanggapan tersendiri kepadamu. Ingatkah engkau sewaktu dia berlutut didepanmu ketika dia kumat dipulau terlarang itu? Dan tadi? Dia begitu buas dan mengerikan, akan tetapi terhadap engkau dia seperti seorang anak kecil yang lemah dan taat. Maka, menurut dugaanku, hanya engkaulah seorang didunia ini yang dapat mendekati hatinya sewaktu dia kumat. Dengan senjata kasih sayang yang ada pada dirinya itu, engkau akan dapat menundukkannya diwaktu dia kumat dan menjadi buas. Akan tetapi bagaimanapun juga, engkau adalah adikku. Aku tidak berani mengambil resiko yang terlalu besar. Sekali saja salah jalan, nyawamu bisa melayang. Sewaktu dia kumat, akupun tidak mampu melindungi dirimu lagi. Dan lebih sukar lagi, saat kumatnya itu demikian singkat sehingga tidak banyak waktu lagi untuk melakukan penyelidikan" Pada saat itu terdengar suara keluhan dan A-hai nampak menggeliat bangun.
"Koko, dia telah siumam" A-hai bangkit duduk dan memandang kekanan kiri dengan bingung. Melihat Bwee Hong dan Seng Kun berada disitu, diapun bertanya heran,
"Eh, apa yang telah terjadi? dimana pengeroyok-pengeroyok itu, dimana pula kereta kita? Kita berada dimanakah?"
"Engkau pingsan dan kita bawa kesini," kata Seng Kun membohong agar pemuda itu tidak banyak berpikir dan menjadi bingung. A-hai masih bengong dan nampak termenung. Seolah-olah dia hendak mengingat sesuatu dan dia merasa seperti mimpi, mimpi aneh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan bermalam disebuah pondok tua yang tiada penghuninya lagi, diluar sebuah dusun kecil. Mereka membuat api unggun dan Bwee Hong menangkap tiga ekor ayam hutan kemudian mereka makan daging ayam hutan panggang. Setelah itu, mereka membuat api unggun dan sambil duduk mengelilingi api unggun mereka bercakap-cakap.
"A-hai, sebenarnya, dimanakah tempat tinggalmu, maksudku kampung halamanmu?" Bwee Hong bertanya, memancing dan mencoba kalau-kalau pemuda itu dapat mengingatnya. A-hai menundukkan mukanya.
"Entahlah, aku tidak ingat sama sekali. Nona tentu Sudah tahu bahwa aku sudah lupa sama sekali tentang diriku, lupa siapa aku ini, siapa orang tuaku. Bagaimana aku tahu dimana kampung halamanku?"
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat akan tempat-tempat yang kau kunjungi untuk yang pertama kali dan yang terakhir kali, bukan?"
"Tentu saja," jawab A-hai sambil tersenyum sedih.
"Tempat yang terakhir adalah disini, bukan?" Dia menepuk tanah dimana dia duduk dekat api unggun.
"Dan yang pertama kali kau kunjungi? Yang masih kau ingat pada pertama kalinya sesudah waktu yang terlupakan olehmu itu, dimanakah itu?" A-hai mengerutkan alisnya, seperti hendak menggali dalam benaknya ingatan-ingatan lama. Sampai berkeringat wajahnya. Seng Kun memperhatikan dan diam saja. Dia menyerahkan hal itu kepada adiknya saja, akan tetapi dengan cermat dia memperhatikan wajah A-hai. Wajah itu kini berkeringat, seolah-olah pekerjaan mengingat-ingat merupakan pekerjaan yang amat berat dan melelahkan baginya.
"Sapi kuda kerbau domba... ah, pendeknya banyak ternak dan aku menggembalanya, dipadang rumput..., benar, dipadang rumput yang segar dan hijau."
"Padang rumput? Menggembala ternak?" Bwee Hong bertanya sambil saling pandang dengan kakaknya
"Benar, tempat itulah yang bisa kuingat, sampai kini. Lebih lama dari waktu itu aku tidak ingat lagi."
"Jadi... saat engkau menjadi penggembala itulah saat terakhir yang dapat kau ingat dan sebelum saat itu engkau lupa?"
"Benar. Menjadi penggembala dipadang rumput itulah bagiku menjadi permulaan dari hidupku sampai sekarang. Aneh, bukan?" A-hai tersenyum getir.
Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangun, diikuti oleh Bwee Hong, sedangkan A-hai tetap duduk saja, tidak tahu bahwa kakak-beradik itu telah mendengar suara orang datang ketempat itu. barulah A-hai memandang dengan kaget ketika melihat munculnya dua orang yang bukan lain, adalah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh para perwira anak-buah mereka. Kiranya setelah mendapat teguran keras dari Jenderal Lai, pemuda Tai-bong-pai ini mati-matian mencari jejak buronan mereka dan akhirnya dapat menemukan tiga orang muda itu disitu. Biarpun Kwa Sun Tek sendiri merasa gentar melihat A-hai yang masih enak-enak duduk didekat api unggun, namun dia mengandalkan pasukannya dan bertekad untuk menangkap kembali tiga orang itu. Seng Kun dan Bwee Hong maklum bahwa menghadapi mereka ini tidak ada gunanya untuk banyak cakap lagi, maka kakak-beradik ini segera menerjang kedepan.
Seng Kun menyerang Kwa Sun Tek sedangkan Bwee Hong menandingi Malisang. Akan tetapi, beberapa belas orang perwira pengawal ikut mengeroyok sehingga keadaan kedua orang kakak-beradik ini sebentar saja terdesak hebat. Celakanya, A-hai berada dalam keadaan normal sehingga seperti biasa, pemuda ini hanya memandang dengan bingung saja. Selagi dua orang kakak-beradik itu terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara orang melengking nyaring dan panjang dan nampak pula dua gulung sinar putih berkelebatan menyilaukan mata, disusul patahnya senjata-senjata para pengeroyok dan robohnya beberapa orang diantara mereka. muncullah seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih-putih yang mengamuk dengan sepasang pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat.
"Yap-twako!.!" Bwee Hong berseru girang sekali ketika mengenal pemuda ini. Kiranya yang datang adalah Yap Kiong Lee, pemuda lihai dari Thian-kiam-pang itu.
Permainan pedangnya hebat bukan main dan ketika pemuda itu akhirnya terjun kedalam perkelahian membantu Seng Kun dan Bwee Hong, pemuda Tai-bong-pai dan pembantunya si raksasa Mongol itupun merasa kewalahan. Tiga orang pendekar ini mengamuk dan akhirnya para pengeroyok itu terpaksa mundur. Kiong Lee lalu mengajak mereka melarikan diri. Seng Kun cepat menyambar lengan A-hai dan diajaknya pemuda itu lari. Mereka menghilang didalam kegelapan malam dan karena Kwa Sun Tek merasa jerih terhadap pemuda yang memegang sepasang pedang, pengejaran yang dilakukannya amat terlambat dan hanya seperti orang membayangi dari jauh saja. Empat orang muda itu berlari terus dan setelah malam terganti pagi, baru mereka berhenti ditepi jalan gunung. A-hai terengah-engah dan mengomel panjang pendek.
"Orang-orang tak berperi-kemanusiaan itu! Mengejar-ngejar dan hendak membunuh, membikin orang menjadi hidup tak aman saja!" Dia menyusuti keringatnya dengan ujung lengan bajunya. Seng Kun dan Bwee Hong menjura kepada Yap Kiong Lee.
"Kami menghaturkan terimakasih atas pertolongan Yap-twako sehingga kami dapat lolos dengan selamat."
"Ah, diantara kita, masih perlukah bersikap sungkan?" jawab Yap Kiong Lee dengan sederhana.
"Sungguh kemunculan Yap-twako selalu seperti seorang dewa penyelamat saja," kata Bwee Hong.
"Ketika aku terancam gelombang lautan, engkau muncul dan menyelamatkan aku, dan sekarang, selagi kami dikurung dan didesak, engkau muncul pula menolong kami. Yap-twako, bagaimana engkau bisa muncul ditempat ini?" Pendekar berpakaian putih itu menarik napas panjang.
"Orang yang benar selalu dilindungi Thian. Tentu kalian adalah orang-orang yang benar maka setiap kali terancam bahaya, ada saja yang kebetulan datang membantu. Aku diutus oleh suhu lagi. Urusan apa lagi kalau bukan urusan siauw-sute yang nakal itu? Dia telah kabur lagi dan sekali ini dia mengajak Ngo-sute Kwan Hok."
"Kwan Hok?" Seng Kun berseru.
"Ah, adikmu yang kelima itu sekarang menjadi pemimpin para pendekar yang melawan pemerintah daerah yang memberontak. Kami bersama dia kemarin dulu dan kalau tidak salah dia dan kawan-kawannya akan menggabungkan diri dengan pasukan Liu-bengcu."
"Apakah kalian tidak melihat siauw-sute Yap. Kim?" tanya Yap Kiong Lee yang menjadi kaget dan juga gembira mendengar keterangan itu.
"Tidak, kami tidak melihatnya."
"Aih, dimana lagi si bengal itu?" Kiong Lee termenung kesal. Ngo-sutenya telah diketahui kabarnya, akan tetapi ternyata Ngo-sutenya itu berpisah dari Yap Kim. Gurunya memesan kepadanya agar menemukan sutenya itu. Negara sedang dalam keadaan ricuh, dimana-mana terjadi pertempuran. Kepandaian Yap Kim memang sudah cukup tinggi, akan tetapi wataknya yang aneh itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Seperti peristiwa beberapa waktu yang lalu, sutenya itu gulung-gulung dengan seorang dari Ban-kwi-to, yaitu Si Kelabang Hijau. Padahal semua orang didunia kang-ouw tahu belaka betapa jahatnya iblis-iblis Ke pulauan Ban-kwi-to itu.
"Ngo-sutemu itupun tidak tahu kemana perginya siauw-sutemu," kata Bwee Hong.
"Biarlah, aku akan menemui Ngo-sute dulu, baru kami akan mencarinya. Kalian bertiga hendak pergi kemanakah?" tanya Kiong Lee.
"Kami hendak ke Kotaraja, menghadap Sribaginda Kaisar," kata Seng Kun singkat. Karena dia percaya penuh kepada tokoh Thian-kiam-pang ini, maka diapun menceritakan bahwa dia diutus Kaisar untuk mencari Menteri Ho dan kini dia hendak melaporkan hasil penyelidikannya.
"Bahkan aku akan bentangkan semua peristiwa yang aneh-aneh didaerah, tentang bersihnya perjuangan Liu-Bengcu dan palsunya para pejabat daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan mereka inilah yang sebenarnya hendak memberontak."
"Ah, kalian terlambat!" kata Yap Kiong Lee.
"Apa maksudmu?" tanya Seng Kun terkejut.
"Kaisar tidak berada di Istana. Sudah sebulan lebih Sribaginda tidak berada di Istana." Pemuda perkasa itu nampak ragu-ragu, menoleh kekanan kiri, kemudian berkata dengan suara berbisik,
"Sebaiknya jangan memasuki Istana dalam saat-saat ini. Berbahaya sekali. Sribaginda Kaisar tidak ada di Istana, dan yang berkuasa adalah Perdana Menteri Li Su. Orang ini luar biasa palsu, kejam dan liciknya. Beberapa hari yang lalu dia mengirimkan putera mahkota keutara, ketempat Jenderal Beng Tian memimpin pasukan yang bertempur melawan pemberontak." Chu Seng Kun terkejut dan merasa heran.
"Putera mahkota dikirim kemedan pertempuran? Untuk apa?"
"Perdana Menteri Li Su mengirimkannya dengan dalih agar putera mahkota dapat menambah pengalaman dan membantu Panglima Beng Tian. Akan tetapi, semua orang juga tahu bahwa dia hanya ingin menyingkirkan putera mahkota sehingga dalam Istana yang sedang kosong itu dia boleh berkuasa sebebasnya tanpa pengganggu atau saingan. Semua orang tidak berani menentang karena sebagai Perdana Menteri, kalau Sribaginda tidak ada, dialah yang paling berkuasa."
"Ah, tidak kusangka keadaan di Istana sekacau itu!" kata Seng Kun penasaran. Yap Kiong Lee menarik napas panjang.
"Mudah dilihat bahwa negeri kita ini terancam malapetaka, sebentar lagi tentu akan porak-poranda. Diluar Istana keadaan begini kacau, penuh dengan pemberontakan dan pejabat-pejabat daerah ingin berkuasa sendiri, orang-orang jahat mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan sebanyaknya, dimana-mana terjadi perebutan kekuasaan. Sedangkan didalam Istana sendiri sudah mulai nampak kericuhan. Semua orang yang tidak disukainya, disingkirkannya dengan kekuasaannya, diganti kedudukan mereka dengan antek-anteknya. Karena kekuasaan mutlak berada ditangannya, para Menteri yang setia kepada kerajaan tidak ada yang berani menentangnya."
"Apakah di Istana tidak ada keluarga kerajaan yang dapat mempengaruhinya?" tanya Bwee Hong.
"Tidak ada! Subo sendiri, yang masih sanak dekat, bibi dari Sribaginda Kaisar, sama sekali tidak pernah mencampuri pemerintahan. Putera mahkota yang tahu akan urusan pemerintahan dikirim ke garis depan pertempuran. Sedangkan putera-putera Sribaginda yang lain masih kecil, sedangkan puteri-puterinya tentu tak banyak dapat berdaya. Memang sebenarnya ada seorang pangeran lagi yang sudah dewasa, yaitu adik tiri putera mahkota. Akan tetapi dia jarang berada di Istana. Tabiatnya sangat jahat dan nakal. Sejak kecil Sribaginda sendiri tidak menyukainya. Bahkan Sribaginda selalu dengan halus mengusahakan agar putera yang satu ini jangan berada didalam Istana."
"Eh, aku belum mendengar tentang hal ini!" kata Seng Kun heran.
"Bagaimanakah dia sebagai pangeran dianggap nakal dan tidak disukai oleh Sribaginda yang menjadi ayahnya sendiri?"
"Entahlah, entah rahasia apa yang ada dibalik kelahiran pangeran ini sebagai putera Kaisar. Yang jelas, dia nakal sekali, sejak kecil tidak menurut dan selalu membawa kemauan sendiri. kabarnya sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat, dan melakukan hal-hal yang memalukan. Setelah besar dia bergaul dengan orang-orang jahat, dan kalau di Istana, kerjanya hanya mengganggu selir-selir ayahnya dan mencuri benda-benda berharga dan pusaka-pusaka Istana."
"Ihhh!" Bwee Hong berseru tak senang.
Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Sribaginda Kaisar tahu akan keadaan puteranya yang lihai ilmu silatnya, maka sering diberi tugas membasmi penjahat atau memadamkan pemberontakan. Malah ketika terjadi pembantaian para sasterawan yang menentang pembakaran kitab-kitab, karena takut kalau kalau para sasterawan dilindungi oleh para pendekar, Sribaginda juga mengutus puteranya ini untuk mengepalai pasukan dan melaksanakan pembantaian itu."
"Apakah dia lihai sekali?" tanya Seng Kun, tertarik.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, apa lagi bertanding. Dia putera Kaisar, siapa berani menentangnya? Akan tetapi kabar angin mengatakan bahwa dia memang lihai bukan main, mempelajari banyak macam ilmu silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam."
"Kalau dia begitu lihai, apa dia tidak dapat mempengaruhi Perdana Menteri?" tanya Seng Kun. Yap Kiong Lee tersenyum pahit dan menarik napas panjang.
"Perdana Menteri Li Su orangnya cerdik dan licik sekali. Pangeran itu kini memang berada di Istana, akan tetapi dia dinina-bobokkan oleh Perdana Menteri Li Su, setiap hari berpesta pora, bahkan dengan bantuan Perdana Menteri, wanita manapun di Istana, baik masih gadis maupun isteri pembesar lain, dapat saja diambilnya dan menjadi permainannya. Nah, bukankah keadaannya amat berbahaya di Istana? Seolah-olah disana berkumpul binatang-binatang buas yang sedang merajalela." Seng Kun masih merasa penasaran.
"Yap-twako, bukankah Menteri Kang dan para Menteri lain yang jujur, yang tadinya dipecat, kini telah bekerja kembali, kecuali Menteri Ho? Bukankah mereka itu merupakan sekumpulan Menteri yang takkan tinggal diam saja kalau Perdana Menteri Li Su bertin-dak sewenang-wenang di Istana?" Kiong Lee menghela napas.
"Agaknya engkau belum tahu akan perkembangan selanjutnya setelah para Menteri yang jujur ditarik kembali. Keadaan di Istana sudah berkembang sedemikian buruknya sehingga setelah para Menteri yang jujur itu kembali, kekuasaan pemerintahan menjadi terpecah-belah. Mereka selalu bermusuhan, akan tetapi karena fihak Perdana Menteri Li Su dan antek-anteknya masih jerih terhadap wibawa Sribaginda Kaisar yang didukung oleh Jenderal Beng Tian sehingga mereka tidak berani bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, kini Panglima Beng Tian sendiri repot mengurus pemadaman pemberontakan diutara dan barat, sedangkan Sribaginda juga pergi, maka tentu saja keadaan menjadi berobah sama sekali."
"Ah, begitukah?" Bwee Hong mengeluh. Ia tahu bahwa ayahnya sendiri, ayah kandungnya, biarpun masih terhitung paman dari Sribaginda Kaisar, namun kini ayahnya hanya menjadi seorang pendeta, kepala kuil yang tidak mempunyai kekuasaan, maka tentu saja tidak berani menentang Perdana Menteri.
"Bagaimana baiknya sekarang, koko?"
"Kalau keadaannya seperti itu, kita harus berhati-hati. Kita tetap ke Kotaraja, akan tetapi kita harus masuk pada malam hari. Kita melihat-lihat dulu suasana disana. Yap-twako, terimakasih atas semua keteranganmu yang amat berharga ini. Dan kalau engkau hendak mencari ngo-sutemu itu, sebaiknya kalau engkau pergi kebukit dimana kami saling berpisah. Kalau tidak ada, berarti dia sudah pergi membawa kawan-kawannya bergabung dengan pasukan besar Liu-Bengcu." Yap Kiong Lee menggeleng kepala
"Suteku itu benar-benar gegabah sekali. Ini tentu akibat kebengalan siauw-sute. Ibu kandung siauw-sute adalah seorang wanita bangsawan Istana, dia sendiri masih berdarah keluarga kerajaan, masih saudara misan dengan Sribaginda Kaisar, akan tetapi sekarang dia malah bergabung dengan musuh kerajaan. Bukankah itu luar biasa sekali?"
"Mengapa dunia begini kacau?" Tiba-tiba A-hai yang sejak tadi termenung saja mendengarkan, kini membuka mulut.
"Orang-orang kaya saling memperebutkan harta, orang-orang berpangkat saling memperebutkan kedudukan, orang-orang berilmu saling bersaing mengadu kepintaran sehingga dunia menjadi tidak aman dan kacau! Alangkah bahagianya menjadi orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak berpangkat apa-apa dan tidak punya ilmu apa-apa kalau begitu!"
Tiga orang pendekar itu termangu mendengar ucapan seorang yang dianggap sinting ini karena ucapan itu begitu tepat seperti ujung pedang menusuk jantung, membuat mereka tak mampu menjawab karena memang seperti itulah keadaannya! Kita tinggalkan dulu mereka yang saling berpisah, yaitu Kiong Lee pergi mencari sute-sutenya dan Seng Kun bersama Bwee Hong dan A-hai pergi menuju ke Kotaraja. Mari kita melihat keadaan Liu Pang dan muridnya, Ho Pek Lian.
Seperti telah kita ketahui, Liu Pang dengan pasukannya yang dibantu oleh banyak petani dan rakyat jelata, telah berhasil menduduki kota Lok-yang. Lia Pang tidak tinggal diam dikota itu, melainkan setelah memberi waktu cukup bagi pasukannya untuk beristirahat dan setiap hari mengadakan latihan-latihan untuk memperkuat barisannya, diapun menggerakkan pasukan itu keutara. Pasukannya bergerak menyeberangi Sungai Huang-ho dan berkemah di lembah utara sungai besar itu, bermaksud untuk mulai menyerang memasuki Propinsi Shan-si. Propinsi Shan-si merupakan propinsi yang luas dan jalan menuju ke Kotaraja yang berada disebelah barat, yaitu diPropinsi Shen-si. Lok-yang merupakan ibu kota kedua setelah Kotaraja Tiangan. Sebenarnya, untuk menuju ke Tiangan dari Lok-yang tidak perlu menyeberangi Sungai Huang-ho, akan tetapi ini merupakan siasat dari Liu Pang.
Dia ingin menyerbu dari utara dengan jalan menggunakan Sungai Wei-ho yang menjadi cabang Sungai Huang-ho. Kebetulan Sungai Wei-ho mengalir ditepi kota Tiangan. Sebagian pula dia kerahkan melalui darat sehingga Kotaraja akan dapat terkepung dari berbagai jurusan. Untuk keperluan ini, dia sengaja memecah pasukannya yang jumlahnya mencapai belasan ribu itu menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin orang-orang kepercayaannya, termasuk pula pemuda tampan yang baru saja menjadi pengawal pribadinya. Pemuda ini memimpin seribu orang perajurit pilihan yang kesemuanya diambil dari para pendekar silat. Tugas pasukan ini adalah mengawal dan membantu Liu Pang dalam gelanggang pertempuran. Didalam pasukan ini terdapat pula Pek Lian.
Setelah membagi-bagi barisannya, Liu. Pang memberi mereka waktu untuk beristirahat dan menyusun kekuatan. Diapun ingin melakukan penyelidikan terlebih dahulu dan untuk tugas ini, dia sendiri yang pergi bersama Pek Lian dan pengawal pribadinya yang baru. Karena pengawal baru ini selalu merahasiakan riwayat dan asal-usulnya, maka Liu Pang memberi dia julukan Bu Beng Han (Pahlawan Tanpa Nama) dan menyebutnya Bu Beng (Tanpa Nama) saja; Pemberian nama ini diterima dengan gembira oleh si pemuda tampan. Berangkatlah mereka bertiga, Liu Pang, Pek Lian dan Bu Beng dengan penyamaran sebagai petani-petani biasa. Mereka segera melakukan perjalanan menuju kekota Sian-cung yang letaknya diperbatasan antara Shan-si dan Shen-si, di lembah Sungai Huang-ho. Disepanjang perjalanan, mereka melihat suasana yang menyedihkan.
Kampung-kampung dan dusun-dusun sunyi dan rusak, ditinggalkan penghuninya karena perang. Kalau toh ada penghuni-penghuni kampung karena mereka tidak ada tempat lain untuk mengungsi, keadaan mereka amat menyedihkan. Diganggu oleh perampok-perampok, hasil sawah ladang merekapun kadang-kadang dihabiskan pasukan atau perampok-perampok. Tubuh mereka kurus kering dan banyak yang menderita busung lapar! Pasukan pemerintah daerah yang kalah perang dan mundur, melalui dusun-dusun ini dan mereka itu tiada ubahnya perampok-perampok liar, bahkan lebih ganas karena mereka itu agaknya hendak membalaskan kekalahan mereka kepada para petani dusun. Liu Pang adalah pemimpin para petani, pikir mereka, oleh karena itu, mereka melampiaskan dendam kepada para petani dusun.
Ketika malam tiba, mereka bertiga terpaksa bermalam disebuah dusun yang hampir kosong-kosong. Rumah-rumah rusak ditinggalkan penghuninya, dan kalau ada beberapa orang yang masih tinggal dirumahnya, pintu-pintu rumah itu tak pernah dibuka. Liu Pang mengajak pengawal dan muridnya untuk mendiami sebuah ramah kosong. Mereka membawa perbekalan dan setelah memasang beberapa batang lilin, mereka makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. untuk menghalau nyamuk dan dingin, mereka membuat api unggun. Liu Pang dan Pek Lian sudah duduk untuk beristirahat. Mereka melihat Bu Beng Han berdiri termenung diambang pintu. Pemuda itu memandang keluar, kearah kegelapan dan nampak termangu-mangu. Liu Pang berbisik kepada muridnya.
"Nona Ho, kau carilah air dibelakang dan buatlah minuman teh sekedar pengusir rasa haus. Aku ingin bercakap-cakap dengan Bu Beng. Nampaknya ada sesuatu yang dirisaukannya." Liu Pang lalu bangkit dan menghampiri Bu Beng Han. Pek Lian sendiri lalu keluar dari dalam pondok itu melalui pintu belakang untuk mencari air. Dengan cerdik Liu Pang mengajaknya duduk diluar pondok, diatas akar-akar pohon yang menonjol dipermukaan tanah. Mula-mula Liu Pang mengajaknya bicara tentang gerakan mereka, tentang dusun-dusun yang ditinggalkan para penghuninya, tentang para pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing. Semua itu dilayani oleh Bu Beng dengan penuh semangat. Akan tetapi ketika Liu Pang membelokkan percakapan kearah dirinya, pemuda itu terdiam.
"Bu Beng, aku melihat engkau sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga seorang patriot yang sejati. Diantara kita yang seperjuangan ini kiranya sudah tidak ada rahasia lagi. Akan tetapi mengapa engkau tetap merahasiakan dirimu? Bukan berarti aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi kalau engkau berterus-terang dan aku mengetahui asal-usulmu, betapa baiknya hal itu dan betapa leganya hatiku. Apa lagi kalau saja aku dapat membantumu mengatasi kerisauan yang mengganggu hatimu, aku akan senang sekali." Pemuda itu menjura dan menarik napas panjang.
"Maafkan saya, Bengcu. Akan tetapi, belum saatnya bagi saya untuk menceritakan keadaan keluarga saya. Terus-terang saja, saya datang dari keluarga yang tidak berbahagia sama sekali, biarpun ayah dan ibu saya sangat mencinta saya. mereka mendidik ilmu silat secara amat keras kepada saya sehingga saya hampir-hampir tidak ada waktu untuk bermain-main dan beristirahat. Kadang-kadang saya merasa bosan sendiri dan ingin lari saja. Akan tetapi, kakak saya selalu menasihati saya dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang. Bagaimanapun juga, setelah dewasa, hati saya memberontak dan larilah saya meninggalkan mereka." Liu-Bengcu mengangguk-angguk.
"Ah, begitukah? Akan tetapi, kepandaian silatmu demikian tinggi, tentu engkau datang dari keluarga yang luar biasa. Tingkat kepandaian kakak dan orang tuamu tentu tinggi bukan main!" Bu Beng Han tersenyum pahit.
"Bengcu sungguh terlalu memuji. Kepandaian kami sekeluarga tidak sedemikian hebat. Memang, apabila dibandingkan dengan kakak serta ayah, kepandaian saya mungkin hanya separuhnya saja. Soalnya, sebagian besar ilmu silat yang saya pelajari, kakak sayalah yang melatih dan membimbingnya."
"Ahh?" Liu Pang berseru kagum.
"Kalau begitu, tentu kakakmu itu lihai sekali!"
"Kakakku itu" Tiba-tiba Bu Beng menghentikan kata-katanya dan berbisik,
"saya mendengar gerakan orang dari jauh, harap Bengcu bersembunyi dan beri tahu nona Ho...!" Liu Pang juga sudah mendengarnya dan sekali bergerak dia sudah melompat kedalam pondok dan memadamkan lilin. Akan tetapi Pek Lian tidak nampak, agaknya belum kembali mencari air. ketika dia mendengar gerakan orang-orang didepan pondok, cepat dia mengintai dan terkejutlah pendekar ini melihat bahwa Bu Beng kini telah berdiri berhadapan dengan dua orang yang berpakaian perwira. Liu Pang mengenal mereka. Pemuda Tai-bong-pai yang amat lihai dan pemimpin pasukan asing yang bertubuh raksasa dan berambut putih itu. Dua orang lawan yang lihai bukan main.
"Engkau tentu mata-mata, lebih baik menyerah!" bentak pemuda Tai-bong-pai itu.
"Boleh kau coba menangkapku!" Bu Beng mengejek. Kwa Sun Tek marah sekali dan diapun sudah menubruk dengan kecepatan kilat.
"Wuuuttt...!" Dengan langkah ringan Bu Beng Han mengelak dan tubrukan itu hanya mengenai angin kosong belaka. Marahlah Kwa Sun Tek. Dia merasa dipermainkan dan kini dia menyerang lagi, bukan untuk menangkap melainkan untuk memukul. Padahal, pukulan pemuda Tai-bong-pai ini amat dahsyat dan jarang ada orang mampu bertahan kalau terkena pukulannya yang selain amat kuat juga mengandung hawa beracun itu. Melihat pukulan yang demikian ampuhnya, Bu Beng Han mengerahkan tenaganya menangkis.
Harta Karun Kerajaan Sung Eps 5 Naga Beracun Eps 16 Naga Beracun Eps 22