Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 16


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 16




   "Aku ingin ikut toako!" anak perempuan itu membantah.

   "Kui Eng, engkau bukan anak kecil lagi! Engkau telah menjadi seorang gadis cilik dan pelajaranmu belum selesai. Masih banyak yang harus kaupelajari dariku. Pula, tidak baik seorang gadis hidup menyendiri jauh orang tua," kata ayahnya.

   "Ayah, aku tidak menyendiri, akan tetapi bersama kakakku! Apa salahnya?"

   "Hemm, engkau sudah hampir dewasa, tentu engkau tahu bahwa biarpun kalian saling menyayang sebagai kakak dan adik, akan tetapi tidak ada hubungan darah di antara kalian. Bagaimana akan kata orang kalau tahu akan hal itu? Engkau harus pulang bersama kami. Kakakmu tinggal di sini untuk mempelajari ilmu mengendalikan racun, berarti sama dengan berobat agar dia dapat hidup normal."

   Diingatkan demikian, Kui Eng memandang pada Thian Ki dan sekarang pandangannya berubah.! Thian Ki bukan kakaknya! Bahkan kakak tiripun bukan, berlainan ayah berlainan ibu. Orang lain! .

   "Eng-moi (adik Eng), kau pulanglah bersama ayah dan ibu. Kelak akupun akan pulang setelah latihanku di sini selesai," kata Thian Ki membantu ayah ibunya membujuk.

   Kui Eng cemberut dan tidak menangis lagi. Ia membanting kakinya ketika bangkit berdiri.

   "Baiklah, baiklah! Engkau tidak senang kalau aku ikut denganmu, ya? Aku memang bukan adikmu, bukan apa-apa........."

   "Kui Eng, bagaimanapun juga, Thian Ki adalah suhengmu!" ayahnya memperingatkan.

   Setelah dibujuk-bujuk dan dihibur-hibur barulah Kui Eng mengalah. Keluarga itu tinggal di kuil Thian-ho- tang selama tiga hari dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lan Ci untuk menjual rumah dan tanahnya, mengangkut prabot rumah yang dikehendaki ibunya ke kuil itu.

   Ketika suami isteri itu dan Kui Eng hendak pergi meninggalkan kuil dan pulang, Lan Ci dan Cian Bu meninggalkan uang yang cukup untuk keperluan Lo Nikouw dan Thian Ki yang akan tinggal di situ selama kurang lebih dua tahun.

   Kemudian mereka bertiga berangkat pergi, diantar oleh Lo Nikouw dan Thian Ki sampai di kaki bukit.

   Dari puterinya, Lo Nikouw sudah mendengar semua tentang pengalaman puterinya dan cucunya semenjak meninggalkan dusun Mo-kin-cung. Ia juga sudah mendengar betapa cucunya membunuh beberapa orang tanpa disengaja, karena racun di tubuhnya bekerja ketika orang-orang itu menyerangnya.

   Setelah tiba di rumah, ia memeriksa tubuh cucunya, bukan saja memeriksa jalan darah, menggigit sedikit rambut kepalanya, juga mengeluarkan sedikit darah dengan tusukan jarum. Setelah memeriksa, ia mengangguk-angguk.

   "Bagus, engkau telah benar-benar menjadi seorang tok-tong. Ayah ibumu memberi juluk Tok-liong (Naga Beracun), memang tepat sekali. Kalau engkau kelak memiliki kepandaian tinggi, engkau menjadi gagah perkasa seperti seekor naga, dan engkau menjadi semakin hebat karena naga itu beracun.! Akan terkabul idaman hatiku, terkabul pula cita-cita ayahmu Cian Bu yang gagah perkasa itu, karena engkau akan menjadi seorang gagah yang tidak terkalahkan!"

   "Akan tetapi aku tidak ingin membunuh orang, nek.! Lebih baik bersihkan saja tubuhku dari racun itu. Singkirkan semua hawa beracun karena aku tidak suka menjadi tok-tong, tidak suka jadi naga beracun." Dia menatap wajah neneknya dan melanjutkan,"Aku tidak suka menjadi seorang jahat, nek. Apakah nenek yang telah menjadi pendeta ini menghendaki aku kelak menjadi seorang pembunuh yang jahat?"

   "Omitohud......tentu saja tidak, Thian Ki. Dahulu di waktu muda, memang pin-ni seorang pembunuh yang tiada duanya lagi, heh-heh. Pin-ni dijuluki Ban-tok Mo-li dan tidak ada seorangpun tokoh kangouw yang tidak mengenal nama pin-ni! Akan tetapi, pin-ni juga sudah merasakan akibatnya. Perbuatan jahat, lambat atau cepat, pasti akan menghasilkan buahnya yang teramat pahit. Pin-ni telah menyadari semua itu, pin-ni telah bertobat dan mohon ampun dari Yang Maha Pengampun. Kalau pin-ni sengaja membuat tubuhmu menjadi beracun, hal itu pin-ni lakukan bukan dengan maksud agar engkau menjadi jahat, melainkan agar engkau menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang jahat yang pandai dan amat berbahaya, Thian Ki."

   "Aih, nenekku yang baik. Hampir aku tidak percaya bahwa engkau dahulu adalah seorang datuk sesat yang berjuluk Ban-tok Mo-li! Jahat sekalikah engkau ketika muda, nek?"

   "Omitohud, semoga Tuhan mengampuniku. Bukan jahat lagi, cucuku. Lebih daripada yang jahat. Tidak ada kejahatan yang tidak pernah kulakukan!"

   Thian Ki menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. Tentu saja sukar baginya membayangkan neneknya yang kini demikian penuh kelembutan dan keramahan, pernah menjadi seorang iblis betina yang kejam. Bukankah ayah dan ibunya dahulu juga mendidik nya menjadi orang yang baik dan menjauhi kekerasan? Baru setelah ibunya menikah dengan ayah tirinya yang sekarang ini dia mengenal ilmu silat di bawah gemblengan ayah tirinya.

   "Nek, kalau nenek dahulu menjadi tokoh sesat, kalau begitu.......tentu musuh nenek terdiri dari para pendekar dan tokoh persilatan yang baik? Begitukah?"

   "Omitohud........tentu saja........ tentu saja begitu. Kalau pin-ni dulu jahat, tentu saja musuh-
musuh pin-ni adalah tokoh tokoh yang baik. Itu sudah sewajarnya, bukan? Akan tetapi pin-ni dulu, tidak mengenal apa itu baik atau buruk. Pendeknya siapa saja yang tidak sependapat dengan pin- ni, tentu menjadi musuh pin-ni tidak perduli dia itu pendekar budiman ataukah perampok jahat! Musuh pin-ni sudah tak terhitung banyaknya. Terima kasih Tuhan bahwa pin-ni sekarang telah menjadi nikouw, sehingga tidak ada bekas musuh yang masih ingat dan mengenal pin-ni, sudahlah. Thian Ki. Pendeknya, engkau tidak boleh menjadi orang jahat. Engkau harus menjadi seorang pendekar yang tak terkalahkan, menjadi jagoan nomor satu yang selain menjunjung tinggi nama keluarga, juga dengan perbuatan gagah dan benar akan dapat sedikitnya mengurangi kekotoran yang menempel pada nama nenekmu ini. Nah, sekarang engkau harus bekerja keras, berlatih untuk dapat menguasai hawa beracun yang berada di dalam tubuhmu."

   "Akan tetapi, nek. Kalau mungkin, aku ingin sekali agar aku tidak lagi menjadi tok-tong, agar darahku tidak beracun, agar hawa beracun yang berada dalam tubuhku lenyap, karena aku tidak ingin orang lain menjadi korban karena racun yang berada dalam tubuhku."

   Nenek itu menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.

   "Omitohud, dengan susah payah pin-ni membuat engkau menjadi tok-tong dengan maksud agar engkau menjadi jagoan nomor satu di dunia, menjadi seorang pendekar tak terkalahkan, dan engkau minta agar engkau pulih kembali menjadi anak biasa? Tidak mungkin, Thian Ki, kecuali kalau ada sedikitnya sepuluh orang yang menyedot racun itu dari tubuhmu. Akan tetapi itu berarti bahwa engkau akan mengorbankan nyawa sepuluh orang."

   "Aku tidak mau kalau begitu, nek! Lebih baik racun itu membunuhku dari pada harus membunuh sepuluh orang!"

   "Akupun tidak menghendaki demikian, cucuku. Oleh karena itu, aku akan mengajarkan cara agar engkau menguasai racun itu di tubuhmu, sehingga engkau dapat membuat racun itu mengendap dan tidak membahayakan orang lain. Setelah engkau dapat menguasainya, racun itu baru bekerja setelah engkau mengerahkan tenagamu. Akan tetapi engkau tidak boleh menikah, Thian Ki, karena setiap kali engkau menikah, isterimu itu akan mati keracunan dan merupakan orang pertama yang akan menyedot racun dari tubuhmu."

   "Nek, apakah tidak ada jalan lain untuk membebaskan aku dari racun ini?"

   "Hanya dengan bantuan orang yang sakti, cucuku. Yang memiliki sin-kang yang sudah sempurna bahkan yang lebih kuat daripada ayah tirimu yang tangguh itu. Dan di dunia ini, orang seperti yang kumaksudkan itu jarang dapat dijumpai. Seingatku hanya ada dua orang saja yang mungkin sekali dapat membantumu. Mereka adalah Pek I Tojin, tosu pertapa dari Thaisan dan ke dua adalah Hek Bin Hwesio, hwesio perantau di pegunungan Himalaya. Akan tetapi, siapa yang dapat mencari dua orang sakti seperti itu? Mereka seperti dewa dan andaikata dapat jumpa sekalipun, belum tentu mereka mau mencampuri urusan dunia."

   "Wah, susah benar kalau begitu mencari mereka, nek. Akan tetapi kelak aku akan mencari mereka. Apakah mereka tidak mempunyai murid-murid yang sekiranya telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, nek?"

   "Setahuku, murid paling baik dan terkenal dari Pek I Tojin adalah Huangho Sin-liong (Naga Sakti Sungai Kuning) Si Han Beng. sedangkan murid terbaik dari Hek Bin Hwesio adalah isteri pendekar itu, yang bernama Bu Giok Cu. Nama suami isteri ini terkenal sekali, terutama di sepanjang lembah sungai Huang-ho. Dan mereka tinggal pula di tepi sungai Huang-ho, di sebuah dusun yang disebut Hong-cun. Akan tetapi, pin-ni tidak yakin apakah mereka berdua itu akan dapat menolongmu, atau akan mau melakukannya. Pin-ni kira hanya Pek I Tojin atau Hek Bin Hwesio saja yang akan mampu melakukannya."

   Diam-diam Thian Ki mencatat nama orang-orang yang disebut oleh neneknya. Mulai hari itu diapun berlatih dengan tekun di bawah bimbingan neneknya, berlatih untuk menguasai hawa beracun yang menguasai tubuhnya. Setelah berlatih yang sebagian besar adalah latihan samadhi dan pernapasan, barulah Thian Ki mengerti mengapa neneknya minta dia tinggal satu dua tahun di situ. Ternyata latihan menguasai hawa beracun itu tidaklah mudah.! Dan salah sedikit saja akan membahayakan dirinya sendiri. Racun di tubuhnya itu akan dapat mendatangkan akibat sampingan yang hebat, seperti rusaknya jantungnya atau bahkan rusaknya isi kepalanya.

   Dia dapat menjadi gila, lemah atau bahkan tewas. Hawa beracun yang berada di tubuhnya, bahkan yang sudah mengalir di darahnya, yang membuat rambut dan kukunya, bahkan ludahnya, mengandung racun yang dapat mematikan orang lain, bagaikan ular berbisa yang liar dan yang tidak dapat keluar dari tubuhnya.

   Karena neneknya tidak mampu mengeluarkan racun itu, maka ular liar itu harus dapat ditundukkan dan dijinakkan, sehingga biarpun berada di dalam tubuhnya, namun dia dapat mengatur agar kalau tidak diperlukan, ular liar berupa racun itu dapat"tidur" di dalam pusarnya.

   Thian Ki yang ingin membuat dirinya tidak"berbahaya" seperti yang sudah, berlatih dengan tekun sekali, sehingga lewat satu setengah tahun dia sudah berhasil dan mampu menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya. Hawa beracun itu sudah jinak dan berdiam di pusarnya.

   Dalam keadaan hawa itu tertidur, dia dapat melakukan apa saja tanpa mengusik hawa beracun itu, kecuali tentu saja menggunakan sin-kang. Kalau dia mengerahkan tenaga dalam, maka otomatis hawa beracun tidur itu akan bangkit dan menerobos keluar melalui gerakan nya yang mengandung tenaga dalam, tentu saja akibatnya akan membahayakan nyawa lawan.

   Kalau dia mengerahkan tenaga sin-kang untuk menggugah hawa beracun itu, maka hawa beracun itu akan menyebar di seluruh tubuhnya dan jangankan pukulannya, baru rambut, kuku, dan ludahnya saja mengandung racun yang cukup untuk membunuh orang. Sekali gores dengan kukunya saja, kalau kulit orang terluka dan berdarah, maka racun dari kukunya akan membunuh orang itu.

   "Sudah cukup, cucuku," nenek itu terkekeh gembira."Omitohud......betapa senangnya hatiku. Engkau memang berbakat sekali, Thian Ki. Belum dua tahun engkau telah mampu menguasai hawa beracun di tubuhmu. Engkau sekarang baru tepat berjuluk Tok-liong (Naga Beracun). Besok kuantar engkau pulang, aku ingin mengunjungi ibumu dan mantuku yang gagah perkasa."

   Tentu saja Thian Ki juga girang mendengar ini. Dia sudah merasa rindu kepada ibunya, kepada ayah tirinya dan terutama kepada Cian Kui Eng.

   "Aku juga senang sekali, nek dan terima kasih atas bimbinganmu. Aku senang sekali bahwa kini aku tidak takut lagi bergaul dengan sumoi, dan tidak takut pula untuk melayaninya berlatih silat."

   Nikouw tua itu mengangguk-angguk dan merangkap kedua tangan di depan dada, menarik napas panjang dan matanya dipejamkan, mukanya ditengeadahkan.

   "Omitohud, semoga Sang Buddha akan memberi bimbingan kepada cucuku sehingga kelak dia akan dapat mencuci bersih nama neneknya.Thian Ki, ingat! Jangan sekali-kali engkau mempergunakan hawa beracun di tubuhmu untuk perbuatan jahat! Biarpun tubuhmu beracun, namun hatimu haruslah bersih dari pada segala kejahatan."

   "Aku mengerti, nek."

   Nenek dan cucunya ini berkemas, siap untuk berangkat besok pagi-pagi meninggalkan Mo-kin-cung menuju ke tempat tinggal Cian Bu Ong atau sekarang sekarang kita kenal dengan nama baru, yaitu Cian Bu yang tinggal sebagai hartawan, dermawan dan kepala dusun Ke-cung di kaki Bukit Emas.

   Sore hari itu Thian Ki membantu neneknya membersihkan kuil. Nenek itu ingin agar kuil itu bersih sebelum ditinggalkan, karena selama beberapa hari kuil itu akan ditinggalkan dan tidak ada yang akan membersihkannya. Selagi mereka asyik membersihkan kuil, tiba-tiba mereka mendengar suara banyak orang di luar kuil.

   "Omitohud, siapa yang berkunjung ke kuil sore-sore begini?" kata Lo Nikouw lirih. Ia hamper tidak pernah kedatangan tamu kecuali orang-orang dusun yang datang untuk minta obat atau minta berkah atau mau sembahyang.

   Akan tetapi, pada saat itu, terdengar teriakan dari luar yang amat mengejutkan hati Thian Ki.

   "Iblis betina, keluarlah untuk menerima hukuman.!"

   Dengan mata terbelalak Thian Ki memandang kepada neneknya. Nikouw tua itupun terkejut, namun sikapnya tenang saja, bahkan bibirnya tersenyum.

   "Omitohud, agaknya serapat-rapatnya bungkusan barang busuk, akhirnya akan tercium juga baunya. Thian Ki, engkau tinggallah saja di sini dan jangan keluar, biar pin-ni yang menghadapi mereka. Ingat, apapun yang terjadi, engkau harus pulang ke rumah orang tuamu. Mengerti?"

   Dengan jantung masih berdebar tegang Thian Ki mengangguk. Nenek itupun melangkah keluar dan sikapnya sungguh tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya yang nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Nenek berusia enampuluh enam tahun itu nampak seperti berusia empat puluh tahun saja,dan kepalanya yang gundul itu nampak kulitnya putih bersih dan mengkilap.

   Dahulu, ketika ia masih muda dan bernama Phang Bi Cu berjuluk Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun), selain tubuhnya beracun dan ia memiliki banyak macam pukulan beracun, juga ia selalu membawa kipas dan kebutan yang menyembunyikan pedang. Akan tetapi sekarang, semenjak menjadi nikouw, ia tidak pernah lagi membawa senjata apapun.

   Dengan jantung berdebar tegang, Thian Ki cepat menyelinap ke depan dan dia mengintai dari balik jendela depan. Dia melihat neneknya keluar dengan langkah tenang dan wajah berseri, dan dengan hati khawatir dia melihat bahwa di luar telah berdiri sepuluh orang laki-laki yang rata-rata nampak gagah dan marah.

   Mereka terdiri dari orang-orang yang usianya empatpuluh tahun ke atas, ada yang berpaka ian seperti seorang tosu ada pula hwesio dan ada yang berpakaian seperti orang dari dunia persilatan. Rata-rata mereka membawa senjata.

   Ketika Lo Nikouw keluar dan bertemu dengan sepuluh orang itu, mereka nampak terkejut dan juga meragu. Akan tetapi hwesio yang bermuka merah dan usianya kurang lebih limapuluh tahun, sudah melintangkan sebatang toya hitam di depan dada lalu memutar toya dan menancapkan toya di depan kakinya.

   "Omitohud, biar engkau sudah menyamar sebagai nikouw sekalipun tidak ada gunanya.Ban-tok Mo-li. Kami akhirnya dapat menemukan tempat persembunyianmu dan dapat menuntut balas atas kejahatanmu.!"

   "Siancai.....! Ban-tok Mo-li sudah menumpuk dosa terlampau banyak. Biar menjadi nikouw sampai seribu kali, bagaimana mungkin dapat mencuci bersih dosa-dosanya?" kata tosu yang usianya juga sekitar limapuluh tahun.

   Ada dua orang hwesio dan dua orang tosu di situ, mereka ini sudah siap menyerang dan sinar mata mereka memandang penuh kebencian kepada Lo Nikouw. Adapun enam orang yang lain,yang berpakaian sebagai orang-orang kang-ouw, juga tidak kalah galaknya. Mereka terbagi menjadi dua golongan, masing-masing tiga orang.

   Yang tiga orang berpakaian serba hijau, sedangkan tiga orang yang lain, yang mengenakan baju putih dengan celana bermacam warna, mempunyai gambar seekor naga melingkar di dada mereka.

   "Ban-tok Mo-li, kami dari Pulau Hiu datang untuk mencabut nyawamu!" kata seorang dari mereka yang berpakaian hijau.

   "Ban-tok Mo-li, lebih baik engkau menyerah kepada kami untuk kami seret ke hadapan majikan kami di Bukit Naga!" kata seorang di antara mereka yang memakai tanda gambar naga di dada.

   Menghadapi sepuluh orang yang kelihatan marah dan penuh kebencian itu, Lo Nikouw tersenyum ramah dan sikapnya masih tetap tenang. Hal ini membuat Thian Ki yang mengintai dari dalam merasa heran. Kalau neneknya bekas seorang datuk yang amat jahat, bagaimana mungkin dapat bersikap sesabar dan setenang itu? Dia sendiri yang sejak kecil digembleng orang tuanya agar tidak suka akan kekerasan, kini hampir tidak dapat menahan kemarahannya melihat dan mendengar sikap sepuluh orang itu yang memaki-maki neneknya dan mengancam hendak membunuhnya.

   "Omitohud, kalau kalian berenam haus darah, pin-ni masih dapat mengerti. Akan tetapi mengapa dua orang hwesio dan dua orang tosu juga dapat haus darah seperti kalian berempat?" tanyanya sambil memandang kepada empat orang pendeta itu.

   "Ban-tok Mo-li, ketahuilah bahwa pin-to berdua adalah tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai yang datang untuk membasmimu," kata seorang tosu.

   "Omitohud, biarpun kepalamu gundul dan engkau mengenakan jubah nikouw, tidak akan dapat mengelabui pin-ceng berdua. Pinceng adalah murid Siauw-lim-pai dari daerah selatan. Mendengar akan kejahatanmu, pin-ceng merasa berkewajiban untuk ikut membasmi."

   Lo Nikouw tersenyum."Hemm, kalian berempat bukanlah pendeta-pendeta yang baik.! Kalian hanya budak-budak nafsu amarah dan dendam kebencian seperti yang lain, sehingga percuma saja kalian mengenakan jubah pendeta. Ketahuilah oleh kalian bersama bahwa Ban-tok Mo-li sudah tidak ada lagi, sudah mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw."

   "Ha-ha-ha. Ban-tok Mo-li, engkau seperti seekor harimau yang mengenakan bulu domba.! Kami sudah menyelidiki dan yakin bahwa engkau adalah Ban-tok Mo-li. Apakah engkau yang dahulu terkenal jahat dan keji, sekarang telah berubah menjadi seorang pengecut yang tidak berani mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya?"

   "Omitohud....." Lo Nikouw merangkap kedua lengan di depan dada, memejamkan kedua matanya."Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu sudah lama mati. Pin-ni adalah Lo Nikouw dan kalau kematian pin-ni dapat meringankan dosa Ban tok Mo-li, pin-ni siap untuk berkorban," setelah berkata demikian, Nikouw tua itu lalu duduk bersila di atas tanah pekarangan kuil itu dengan kedua tangan masih dirangkap di depan dada, tubuh tegak dan mata terpejam seperti sebuah arca. Sepuluh orang itu kini mengepung dan mereka sudah mencabut senjata masing-masing.

   Thian Ki yang mengintai di dalam, terbelalak dan mukanya berubah pucat. Apa yang harus dia lakukan? Membela neneknya? Bukankah neneknya telah menceritakan bahwa neneknya dahulu seorang yang teramat jahat, yang telah membunuh banyak orang tak berdosa, yang telah melakukan kejahatan apapun saja. Dan kalau sepuluh orang itu datang membalas dendam atau menghukum kejahatannya, perlukah neneknya dibela? Ibunya berulang kali mengatakan bahwa membela orang jahat sama saja dengan membela kejahatannya dan menjadi penjahat pula!

   Dan tanpa menggunakan hawa beracun di tubuhnya, diapun belum tentu akan mampu melawan dan menandingi orang itu. Menggunakan hawa beracun berarti membunuh mereka! Tidak, dia tidak mau menjadi pembunuh, apalagi sepuluh orang yang memusuhi neneknya itu tentu saja orang- orang dari golongan bersih yang menentang neneknya sebagai sumber kejahatan. Tidak, dia tidak boleh membela. Akan tetapi, neneknya seorang sakti, tidak munqkin dapat dibunuh begitu saja!

   Biarpun kelihatan duduk bersila dan memejamkan mata, dia tahu benar bahwa sekali neneknya bergerak, tentu akan ada lawan yang roboh dan tewas keracunan! Demikianlah pula pendapat sepuluh orang itu. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang sudah berpengalaman dan rata-rata memiliki ilmu
(Lanjut ke Jilid 19)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 19
kepandaian tinggi. Di antara mereka ada yang pernah mengenal Ban-tok Mo-li dan tahu benar akan kelihaian iblis betina itu, dan yang belum pernah bertemu juga sudah banyak mendengar akan kelihaian Iblis Betina Selaksa Racun ini. Maka, mereka tidak berani turun tangan dengan lancang.

   "Hati-hati, kalau ia menyebar racun, kita dapat celaka semua." kata seorang di antara mereka.

   Sampai lama, sepuluh orang itu hanya melangkah dengan hati-hati, mengelilingi Lo Nikouw yang masih duduk bersila tak bergerak sedikitpun. Wajahnya masih cerah dihias senyum dan ia nampak sabar dan tenang, sedikitpun tidak nampak bayangan rasa takut di wajahnya.

   Setelah belasan kali mengelilingi nikouw itu dan tidak ada reaksi apapun, timbul keberanian di hati seorang di antara anak buah Pulau Hiu. Dia seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat, di tangannya nampak sebatang tombak pengait yang biasa dipergunakan nelayan untuk menangkap ikan besar.

   "Biar kucoba dulu dengan ini, baru kita semua turun tangan," katanya sambil mengangkat tombaknya ke atas kepala. Semua orang memandang dan mengangguk, yang berada di bagian belakang Lo Nikouw segera lari ke samping agar tidak menjadi sasaran tombak berkait.

   Anak buah Pulau Hiu itu lalu mengerahkan tenaganya dan dari jarak tidak lebih dari enam meter dia melontarkan tombaknya ke arah dada Lo Nikouw.!

   Biasanya, kalau dia menombak ikan besar, jarak antara dia dan sasarannya sampai belasan meter, dan tombak itu gagangnya diikat dengan tali pula. Sekarang, jaraknya hanya enam meter dan tidak ada tali, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya luncuran tombak yang dilontarkannya.

   "Singgg........cappppp......!" Tombak itu menancap dan menembus dada Lo Nikouw.!

   "Omitohud........!" Dari mulut Lo Nikouw keluar seruan lemah dan tubuhnya yang bersila
terjengkang, akan tetapi tidak terus telentang karena tubuh itu tertahan ujung tombak yang sompai menembus punggungnya!

   Melihat ini, sembilan orang yang lain tercengang, akan tetapi juga timbul keberanian di hati mereka dan sembilan macam senjata turun bagaikan hujan menimpa tubuh yang sudah sekarat itu.

   Dalam sekejap mata, tubuh Lo Nikouw yang sama sekali tidak melawan itu telah menjadi onggokan daging dan tulang yang berlepotan darah.! Lehernya putus dan kepalanya menggelinding tak jauh dari onggokan daging itu. Lo Nikouw tewas tercincang tanpa melakukan perlawanan sedikitpun juga.

   Thian Ki terbelalak dan tak dapat bertahan lagi. Dia mengeluh dan terkulai pingsan di belakang jendela. Dia tidak tahu betapa sepuluh orang kangouw itu memasuki kuil, mencari-cari dan melihat dia terkulai pingsan, mereka tidak mengganggunya. Juga kuil itu tidak dirusak.

   Agaknya mereka mencari kalau-kalau terdapat teman atau anak buah Ban-tok Mo-li yang kini menjadi Lo Nikouw itu. Akan tetapi mereka tidak menemukan siapapun kecuali seorang anak laki-laki yang pingsan. Mereka lalu pergi dengan hati bertanya-tanya dan mulai merasa ragu dan menyesal.

   Benarkah yang mereka bunuh tadi Ban-tok Mo-li? Bagaimana kalau nikouw itu bukan Ban-tok Mo-li melainkan seorang pendeta wanita yang lemah dan suci? Meremang bulu tengkuk mereka kalau mereka membayangkan kemungkinan ini.!

   Senja telah lewat dan malam mulai tiba ketika Thian Ki siuman dari pingsannya. Begitu siuman, dia teringat akan peristiwa tadi. Bukan mimpi, pikirnya dan dia tidak sedang tidur.

   Dia menggeletak di atas lantai di balik jendela.! Dia cepat melompat berdiri dan melihat keluar remang-remang di luar, hampir gelap, akan tetapi ia masih dapat melihat onggokan daging dan kepala neneknya tak jauh dari situ!

   "Nenek.......!" Dia berteriak dan melompat keluar dari jendela, lari ke pekarangan.

   "Nenek.......!" Dia berteriak lagi dan menubruk kepala itu, kepala neneknya yang matanya masih terpejam dan mulutnya masih tersenyum! Dia mengambll kepala itu memegang dengan kedua tangan, dilihatnya baik-baik. Kepala neneknya! Dengan leher putus dan berlepotan darah. Neneknya.!

   "Nenek.........!" Dia mendekap kepala itu dan menangis, membawa kepala itu ke depan onggokan daging bekas tubuh neneknya, mendekap kepala sambil berlutut dan menangis terisak-isak. Terbayang semua peristiwa tadi, betapa neneknya dihujani senjata, dicincang tanpa melawan sedikitpun.

   Dia tidak perduli akan dinginnya hawa malam yang mulai tiba bersama semilirnya angin dan munculnya bintang-bintang di langit.

   Dia berlutut sambil menangis dan setelah lebih dari sejam menangis sehingga air matanya kering, dia masih berlutut mendekap kepala neneknya dan termenung teringat akan kehidupan bersama neneknya selama satu setengah tahun ini. Dan teringatlah dia akan pesan neneknya beberapa bulan yang lalu, seolah-olah neneknya sudah mendapat firasat ia akan meninggal dunia tak lama lagi.

   "Cucuku yang pin-ni sayang, engkaulah satu-satunya orang yang kucinta, Thian Ki. Dan kepadamulah pin-ni meninggalkan pesan ini. Kalau kelak pin-ni meninggal dunia, bakarlah jasad pin-ni menjadi abu, kemudian bagi menjadi empat abuku. Seperempat bagian kuburlah di dalam tanah, seperempat lagi hanyutkan ke lautan, seperempat lagi taburkan dari puncak bukit biar terbawa angin, dan yang seperempat lagi lemparkan ke unggun besar biar ditelan api lagi sampai habis."

   Ketika itu, dia merasa heran dan bertanya mengapa neneknya meninggalkan pesan seperti itu dan apa maksudnya.

   Neneknya lalu menjelaskan maksud dan pesannya itu. Ia mengatakan bahwa tubuh manusia terdiri dari empat unsur dan ia ingin tubuhnya dikembalikan ke asalnya, yaitu kepada api, air, angin dan tanah. Dan agar pelaksanaannya mudah, maka ia minta jenazahnya agar dibakar menjadi abu sehingga akan mudah bagi Thian Ki mengembalikan abu itu kepada api, air, angin dan tanah.

   Teringat akan pesan neneknya itu, Thian Ki menghentikan renungannya dan diapun dengan penuh hormat dan hati-hati meletakkan kepala neneknya di atas onggokan daging. Dia masuk ke kuil, mengambil sehelai selimut neneknya, dan kembali ke pekarangan sambil membawa obor.

   Setelah menancapkan gagang obor di tanah sehingga pekarangan itu cukup terang, dia lalu mengumpulkan onggokan dating dan tulang bersama kepala itu ke atas selimut dan dibungkusnya baik-baik.

   Kemudian dia mengumpulkan kayu kering, ditumpuknya kayu-kayu kering itu menjadi tumpukan setinggi hampir sama dengan tinggi tubuhnya, menyiramnya dengan minyak, kemudian mengambil sebuah kotak dari kuil, memasukkan buntalan daging dan kepala ke dalam kotak dan dibakarnyalah tumpukan kayu itu.

   Thian Ki berlutut menghadap api unggun membakar sisa jenazah neneknya. Kemudian dia duduk bersila, menanti sampai tumpukan kayu, peti dan isinya terbakar habis. Pembakaran jenazah itu memakan waktu sampai setengah malam. Lewat tengah malam barulah api padam.

   Thian Ki tetap duduk bersila di pekarangan itu, di dekat tumpukan abu, sampai pagi. Dia ingin mengumpulkan abu neneknya setelah malam lewat, karena pekerjaan itu harus dilakukan di waktu terang cuaca.

   Setelah matahari pagi muncul, barulah Thian Ki mengambil sehelai selimut lain, dan mulailah dia membongkar tumpukan abu. Mudah saja membedakan abu jenazah neneknya dengan abu kayu dan petinya, karena abu jenazah itu lembut, putih dan berat.

   Dikumpulkannya abu itu dan dibuntalnya dalam selimut dengan mata merah karena dia tidak dapat menahan keharuan hatinya.

   "Nek, orang sedunia boleh menganggap nenek jahat, akan tetapi aku yakin bahwa nenek tidak jahat atau setidaknya nenek sudah menebus semua kesesatan nenek. Mereka itulah yang jahat,mereka yang menganggap diri mereka bersih dan baik, yang menjatuhkan hukuman kepada mereka yang dianggap jahat, tidak memperdulikan niat baik mereka yang ingin kembali ke jalan benar. Nek, engkau akan selalu kukenang sebagai seorang manusia baik, gagah perkasa dan menghadapi kematian dengan senyum pasrah kepada Tuhan."

   Thian Ki tidak pernah dapat melupakan senyum di wajah kepala neneknya yang terpisah dari badannya itu. Senyum pasrah! Setelah semua abu jenazah terkumpul di selimut, diapun pergi meninggalkan kuil, membawa buntalan pakaian dan untaian terisi abu jenazah. Dia harus memenuhi pesan neneknya. Akan tetapi dia teringat kepada ibunya. Bagaimanapun juga dia harus membawa abu jenazah itu kepada ibunya lebih dahulu.

   Kasihan ibunya yang tidak tahu akan nasib neneknya. Setelah mendapat perkenan ibunya, baru dia akan memenuhi pesan neneknya. Dengan hati penuh duka dia lalu berangkat meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Ke-cung.

   Tentu saja kedatangan Thian Ki yang membawa cerita menyedihkan tentang kematian Lo Nikouw disambut tangis oleh Sim Lan Ci. Wanita ini mendekap buntalan abu jenazah dan menangis tersedu-sedu. Bagaimanapun juga, Lo Nikouw adalah ibu kandungnya. Cian Bu yang amat mencinta isterinya. menepuk-nepuk pundak isterinya dan berkata dengan suaranya yang tenang dan dalam.

   "Sudahlah, isteriku. Ibumu sudah meninggal dunia sebagai seorang pendeta tulen, penuh kesabaran, penuh kepasrahan. Engkau sepatutnya bangga karena ibumu, walaupun dahulu pernah menjadi datuk sesat, kini telah meninggal sebagai seorang yang tidak lagi diperhamba nafsunya. Kita sembahyangi saja dengan khidmat, mendoakan agar arwahnya diterima dan ampuni Tuhan, sebelum abu itu dikembalikan ke asalnya seperti yang dipesannya kepada Thian Ki."

   Mereka mengatur meja sembahyang, menaruh abu di atas meja, lalu mengadakan upacara sembahyang. Sementara itu Kui Eng mendekati Thian Ki dan minta kepada suhengnya ini untuk menceritakan kembali sejelasnya tentang kematian Lo Nikouw.

   Kini gadis cilik itu telah berusia hampir sebelas tahun, dan sikapnya terhadap Thian Ki masih manis dan ramah seperti dahulu, hanya bedanya, ada sikap malu-malu bahkan kadang canggung kalau Thian Ki kebetulan menatap agak terlalu lama.

   Thian Ki sendiri sudah berusia empatbelas tahun dan dia memang amat menyayang adiknya ini, yang sejak kecil dia tahu bukan adiknya sendiri, bukan pula adik tiri, melainkan orang lain atau kalau adikpun, adik seperguruan.

   "Suheng, apakah engkau sudah berhasil melenyapkan racun dari tubuhmu? Apakah sekarang kukumu masih mengandung racun?" setelah mendengar cerita ulang tentang Lo Nikouw, Kui Eng bertanya mememandang ke arah tangan Thian Ki.

   Thian Ki tersenyum dan tahu bahwa ibunya, juga ayah tirinya juga memperhatikan, agaknya menanti jawaban darinya. Tadi dia belum sempat bercerita tentang dirinya sendiri karena sibuk menceritakan peristiwa yang menimpa neneknya. Dia memandang kepada ibunya, ayah tirinya kemudian kepada sumoinya dan berkata sambil tersenyum.

   "Nenek telah menggemblengku setiap hari dan akhirnya aku dapat menguasai hawa beracun di tubuhku, sumoi. Akan tetapi, nenek tidak dapat mengusahakan lenyapnya hawa beracun dari tubuhku, apa lagi ia memang tidak menghendaki hal itu terjadi."

   Sepasang mata yang tajam dan jeli itu terbuka lebar, bibir yang merah dan berbentuk indah itu merekah dalam senyum setelah sejak tadi tak pernah senyum untuk ikut berkabung atas kematian Lo Nikouw.

   "Aihh, kalau begitu, mulai sekarang kita dapat berlatih silat tanpa khawatir aku akan menjadi korban keracunan tubuhmu?" Thian Ki mengangguk sambil tersenyum.

   "Kalau sekedar berlatih saja tidak mengapa, sumoi. Akan tetapi tidak boleh memperguna kan sin-kang karena kalau aku mengerahkan tenaga dalam, hawa beracun itu dapat bekerja dan tentu akan membahayakan dirimu."

   "Bagus, ha ha ha, bagus sekali!" Kata Cian Bu sambil tertawa gembira."Kalau mulai sekarang engkau memperdalam latihanmu sehingga engkau dapat menguasai semua ilmu simpananku, maka beberapa tahun lagi saja, tidak akan mudah mencari orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkanmu, Thian Ki! Ha-ha, aku akan merasa bangga sekali.!

   Akan tetapi Sim Lan Ci tidak kelihatan segembira suaminya. Alisnya berkerut dan ia berkata dengan suara yang terdengar menegur suaminya.

   "Apakah dalam hidup ini, hanya nama besar saja yang terutama? Apakah Thian Ki selama hidupnya harus menjadi seorang manusia beracun, hanya mencari nama besar di dunia persilatan dan dia tidak berhak untuk membentuk rumah tangga,tidak berhak untuk menikah dan mendapat keturunan?"

   Suaminya tidak mampu menjawab, akan tetapi Kui Eng yang lincah itu cepat berseru "Aihhh, kenapa tidak boleh, ibu? Apa salahnya kalau suheng menikah? Bukankah dia kini sudah mampu menguasai hawa beracun di tubuhnya?"

   Lan Ci menghela napas panjang. Ia tadi lupa bahwa di situ terdapat puteri tirinya. Akan tetapi menginqat bahwa Kui Eng sudah menjelang dewasa, iapun berkata dengan hati-hati.

   "Kui Eng, kakakmu ini hanya mampu menguasai hawa beracun sehingga kalau dia tidak mempergunakan sin-kang, racun itu dapat mengendap dan tidak bekerja. Akan tetapi, dia sama sekali tidak boleh menikah sebelum hawa beracun itu bersih dari tubuhnya, karena kalau dia melakukan hal itu isterinya akan keracunan dan lambat laun akan mati keracunan."

   "Ihh....." Kui Eng menatap wajah suhengnya dengan mata terbelalak, lalu berkata kepada ayahnya,"Ayah, kalau begitu, sungguh kejam! Ayah harus berusaha untuk membersihkan tubuh suheng dari racun itu!"

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Cian Bu menarik napas panjang. Kini diapun mulai melihat betapa ambisinya itu tanpa dia sadari mengancam kebahagian hidup Thian Ki yang dia sayang seperti anak sendiri.

   "Memang, untuk mencapai sesuatu yang puncak, kadang-kadang kita harus berkorban. Kui Eng, biarpun ayahmu telah mempelajari banyak ilmu yang tinggi, akan tetapi mengenai racun, aku masih kalah ahli dibandingkan ibumu. Kalau mendiang nenekmu saja yang mampu membuat Thian Ki menjadi tok- tong tidak mampu membersihkan racun itu dari tubuh Thian Ki, bagaimana aku akan mampu melakukannya? Tidak, aku tidak mampu melakukannya."

   Thian Ki melamun, ingat akan pengakuan neneknya dan dia merasa perlu menyampai kan penyesalan neneknya itu kepada ibunya dan ayah tirinya.

   "Pernah nenek menyatakan kepadaku yang menurut nenek merupakan penyesalan yang terlambat dan karena itu tidak ada gunanya."

   "Ceritakan, apa yang ibu katakan kepadamu Thian Ki," kata ibunya dan Cian Bu juga mengangguk-angguk kepadanya, menyetujui permintaan isterinya.

   "Nenek mengatakan bahwa kini ia melihat kesalahannya. Apa yang terjadi pada diriku adalah akibat daripada mengejar suatu segi saja dari kehidupan ini. Kehidupan ini, menurut nenek merupakan kesatuan dari banyak hal yang kesemuanya penting, yang kesemuanya menuntut kita untuk memperhatikan dan memenuhinya. Menurut nenek, banyak hal itu, termasuk makan,pakaian, tempat tinggal dan segala benda keperluan hidup lainnya, juga kedudukan dan nama baik, kesehatan dan sebagainya. Menurut nenek, semua itu perlu untuk dilaksana kan agar kesemuanya dapat maju dengan baik, berimbang. Kalau kita hanya mementingkan yang satu dan melupakan yang lain, maka akibatnya hanya merugikan kita sendiri. Nenek hanya mementingkan nama besar, ingin menjadikan aku sebagai tok-tong yang kelak akan dapat menjadi jagoan nomor satu yang akan mengangkat namanya pula. Karena terlalu mementingkan hal ini, nenek melupakan yang lain, sehingga akhirnya aku menjadi korban."

   Kui Eng tidak mengerti apa yang tersembunyi dalam ucapan itu, akan tetapi Lan Ci dan Cian Bu mengerti. Mereka mengangguk-angguk dan terutama sekali Cian Bu bekas pangeran itu mengerti benar apa yang dimaksudkan oleh nenek Lo Nikouw.

   Dia sudah mengalamainya sendiri. Pernah dia mengejar cita-cita menegakkan kembali kerajaan Sui yang sudah runtuh dan untuk itu, dia melupakan segala hal lain, sehingga akhirnya, demi pengejaran cita-cita itu, dia mengorbankan segalanya, bahkan keluarganya terbasmi habis. Betapa banyaknya manusia di dunia ini yang melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dia lakukan, yang pernah dilakukan Lo Nikouw. Orang mengejar dan saling memperebukan harta, seolah harta itulah kepentingan mutlak bagi hidupnya,s ehingga orang lupa diri, melakukan hal-hal buruk dan jahat, lupa bahwa harta itu pada suatu saat akan terasa tidak ada artinya sama sekali.

   Betapapun kayanya seseorang, kalau dia dilanda sakit parah, maka harta tidak akan menarik lagi baginya, yang lebih menarik adalah kesehatan badannya, sehingga dia akan bersiap mengorbankan seluruh hartanya demi kesembuhannya.

   mulanya amat dipentingkan, sehingga dia melupakan yang lain, mendapatkan kedudukan itu dengan jalan memperebutkannya dengan manusia yang lain, kalau perlu saling bunuh membunuh.

   Pada akhirnya, suatu saat dia akan mendapat kenyataan pahit, bahwa kedudukan yang tadinya diperebutkan dengan taruhan nyawa itu tidak membahagiakan hatinya, bahkan mungkin menyesengsarakan.

   Betapa banyaknya hartawan kaya raya yang tidak pernah merasa puas akan apa yang dimilikinya, selalu merasa kurang, bahkan ada perasaan khawatir kalau-kalau harta miliknya akan berkurang dan habis.

   Membayangkan dirinya ditinggalkan seluruh hartanya, menjadi orang miskin, merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya. Banyak pula pejabat tinggi yang memiliki kedudukan yang mulia, disanjung dipuja dan dihormati, pada suatu saat akan jatuh dan nama yang tadinya disanjung-sanjung berbalik dicaci maki. Andaikata tidak demikian, sedikitnya dia selalu gelisah, khawatir kehilangan kedudukannya dan membayangkan kehilangan kedudukan itu merupakan bayangan kesengsaraan yang amat hebat baginya.

   "Thian Ki, apakah mendiang ibu tidak meninggalkan pesan kepadamu, tidak memberi tahu bagaimana caranya agar engkau dapat terbebas dari racun di tubuhmu? Apakah di dunia ini tidak ada obatnya dan tidak ada orang yang akan mampu membersihkan racun dari tubuhmu itu?"

   Tanya Lan Ci yang menoleh dan memandang ke arah meja sembahyang dimana abu jenazah ibunya berada. Mendengar pertanyaan ibunya itu, Thian Ki menghela napas panjang.

   "Hal itu sudah kutanyakan kepada nenek, ibu.. dan nenek mengatakan bahwa di dunia ini jarang ada orang yang cukup kuat untuk dapat mengusir racun dari tubuhku dan nenek hanya mengenal dua orang yang mungkin saja dapat, karena mereka adalah orang-orang yang sakti."

   "Siapa mereka, Thian Ki ?" Tanya ibunya penuh harap.

   "Seorang bernama Pek I Tojin dari Thai-san dan seorang lagi bernama Hek Bin Hwesio dari Himalaya."

   "Ahh! Dua nama besar yang sudah sejak dahulu kukagumi, bahkan pernah aku ingin sekali bertemu dengan mereka untuk bicara soal ilmu silat dan kalau mungkin saling mengukur dan menguji ilmu kepandaian!" seru Cian Bu.

   "Dan menurut keterangan mendiang nenek, dua tokoh sakti itu mempunyai murid. Pek I Tojin mempunyai murid bernama Si Han Beng berjuluk Huang-ho Sin-liong dan Hek Bin Hwesio mempunyai murid bernama Bu Giok Cu, isteri dari Naga Sakti Sungai Kuning itu."

   "Aih, apakah engkau tidak ingat kepada pendekar itu, Thian Ki?" Lan Ci bertanya.

   Thian Ki mengangguk."Tentu saja aku tidak lupa kepada paman Si Han Beng, ibu. Aku masih ingat kepadanya. Bukankah dia kakak angkat dari mendiang ayah?"

   "Aha, jadi Naga Sakti Sungai Kuning yang terkenal itu adalah murid Pek I Tojin dan isterinya murid Hek Bin Hwesio? Dan lebih lagi, pendekar itu adalah kakak angkat mendiang suamimu?"

   Tanya Cian Bu kepada Lan Ci,"Kenapa aku tidak pernah mendengar akan hal itu?" Sim Lan Ci memandang kepada suaminya dan menarik napas panjang.

   "Coa Siang Lee sudah meninggal dunia, aku tidak ingin membicarakannya lagi, tidak ingin mengenang masa lalu. Karena itulah aku tidak pernah bercerita tentang persaudaraan itu."

   Suaminya mengangguk dan tersenyum ramah. Pengakuan itu saja sudah membuktikan bahwa isterinya tidak ingin menyinggung perasaannya dengan bercerita tentang suaminya yang pertama.

   "Kalau begitu, masih ada harapan bagimu Thian Ki. Engkau berlatih dengan tekun. Kalau sudah matang ilmu kepandaianmu, kelak engkau dapat mencari kedua orang sakti itu untuk minta bantuan mereka, dan kiranya engkau dapat bertanya kepada Naga Sakti Sungai Kuning dimana adanya kedua orang sakti itu berada."

   "Baik, ayah.." kata Thian Ki.

   "Juga untuk melaksanakan pesan terakhir nenekmu, sebaiknya dilakukan kelak saja kalau engkau sudah selesai belajar dan melakukan perjalanan. Sementara ini, biarlah abu jenazah nenekmu kita rawat dan kita sembahyangi agar ibumu mendapat kesempatan untuk berbakti."

   Lan Ci setuju sekali dengan usul suaminya itu.

   "Suheng, kelak aku akan membantumu mencari orang-orang sakti itu agar engkau dapat disembuhkan!" tiba-tiba Kui Eng berkata."Ayah dan ibu, boleh bukan kelak aku ikut suheng dan membantunya?"

   Suami isteri itu saling pandang. Lan Ci hanya mengangguk, akan tetapi Cian Bu berkata,

   "Merantau di dunia kangouw merupakan perjalanan yang amat berbahaya, oleh karena itu engkau harus berlatih dengan giat, Kui Eng. Hanya kalau engkau kuanggap cukup kuat dan cukup pandai, aku akan membolehkan engkau membantu suhengmu. Kalau engkau malas sehingga engkau kurang kuat, lebih baik engkau berdiam di rumah yang aman."

   Gadis cilik itu bangkit berdiri dan menghadapi ayahnya dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar.

   "Wah, ayah terlalu memandang rendah padaku! Lihat saja, aku pasti tidak kalah melawan suheng!"

   Cian Bu dan isterinya tersenyum, juga Thian Ki tersenyum dan berkata,

   "Engkau memang pandai, sumoi, kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh, mana mungkin aku akan dapat menandingimu?"

   Demikianlah mulai hari itu, Thian Ki dan Kui Eng seperti berlomba dan bersaing dalam mempelajari ilmu-ilmu dari Cian Bu sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat sekali.

   Pagi itu akan nampak biasa saja bagi para nelayan dan mereka yang tinggal di pantai laut karena merupakan pemandangan yang berulang-ulang mereka lihat. Betapa indahnya sesuatu, kalau setiap hari dilihat, apalagi kalau dimiliki, maka keindahan itu akan semakin memudar, bahkan aklhirnya lenyap tak terasakan lagi. Hal ini dirasakan oleh mereka yang tinggal di tepi pantai.

   Orang yang datang dari pedalaman, dari darat, begitu tiba di pantai akan mengagumi keindahan pemandangan lautan dengan takjub, akan tetapi para nelayan akan mendengarkan dengan heran,karena bagi mereka, tidak terasa lagi adanya keindahan itu!

   Sebaliknya, kalau nelayan yang biasa hidup di lautan dan di pantai-pantai sunyi itu datang ke kota, mereka akan terkagum-kagum melihat keramaian kota. Padahal bagi orang kota, keramaian kota yang dianggap indah oleh sang nelayan itu bahkan sebaliknya akan dianggap mengganggu!

   Hanya bagi batin yang bebas dan bersih daripada gambar-gambar yang diukir ingatan sajalah yang akan dapat melihat segala sesuatu sebagai baru, dapat menikmati keindahan setiap hari, setiap saat.

   Pagi itu matahari amat cerahnya, muncul di permukaan air laut sebelah timur, tak terhalang segumpal awanpun, membentuk garis emas di permukaan laut yang masih tenang. Suara air laut bermain di pantai, berdesir di atas pasir, menggelegar garang pada batu karang, bergulung-gulung dan susul-menyusul, meninggalkan suara dahsyat disusul suara gemerisik yang makin melemah sampai pada titik sunyi hening.

   Sejenak saja, karena sudah datang bergulung lagi ombak baru yang membawa pula suara gemuruh. Setiap kali ombak itu baru, tak pernah sama dengan yang sudah atau yang akan datang menyusul. Air yang dihempaskan pada batu karang menimbulkan uap dan ketika tertembus sinar matahari yang mulai menguat, membentuk pelangi lemah.

   Para nelayan sudah berdatangan pagi tadi sebelum matahari terbit, dan kini pantai itu ditinggalkan orang. Hanya nampak perahu-perahu diseret jauh ke pantai. Pasir pantai nampak lembut dan halus diusap air berulang kali, putih keabu-abuan. Setiap kali air tipis mendarat, pasir itu menjadi basah, akan tetapi air itu cepat diserap dan pasir nampak kering kembali.

   Kalau ada saat itu ada orang yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan mengira bahwa pagi hari itu, dengan sinar matahari pagi sebagai tangga, telah turun seorang dewi kahyangan yang kini bermain-main di tepi pantai! Dari jauh, hanya nampak bentuk tubuh yang amat indah, yang sempurna lekuk lengkung nya, dan pakaian yang basah dan menempel ketat itu membuat ia nampak dari jauh seperti telanjang. Kedua kaki nan panjang, pinggangnya ramping, pinggulnya menggunung dan dadanya membukit kembar. Rambutnya terurai lepas di belakang punggung, sampai ke pinggul. Sungguh, pantasnya ia seorang dewi kahyangan atau seorang puteri ratu lautan!

   Sebenarnya ia manusia biasa, seorang dara yang memang memiliki bentuk tubuh yang indah. Bagaikan setangkai bunga sedang mekar, usianya sekitar sembilanbelas tahun. Ia berpakaian lengkap walaupun dari sutera tipis, dan karena pakaian itu basah, maka pakaian itu menempel ketat di tubuhnya.

   Wajahnya manis, dan ia berlari-lari di sepanjang pantai, membiarkan ombak menjilat tubuhnya sampai ke paha. Ia tertawa-tawa seorang diri, dan suara tawanya lenyap ditelan gemuruh ombak. Wajahnya manis, kulitnya putih mulus dan kemerahan karena sinar matahari, matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan.

   Ketika ombak yang besar, yang datang setiap lima enam kali sekali, diseling ombak-ombak yang kecil, dara itu berteriak gembira dan iapun menyongsong datangnya ombak yang tingginya tidak kurang dari lima meter itu dan begitu ombak datang menggulung dirinya, iapun meloncat dan menerjang ombak bagaikan seekor ikan lumba-lumba!

   Tubuhnya lenyap ditelan ombak dan sampai ombak itu memecah dan menipis di pantai, agak jauh ke darat sampai mendekati perahu-perahu yang diikat di darat, dara itu tidak nampak lagi!

   Kalau ada yang melihat peristiwa itu terjadi, tentu akan menahan napas dan khawatir sekali, mengira bahwa dara itu tentu tenggelam, terseret ombak ke tengah atau mungkin juga diterkam ikan hiu!

   Semua orang tentu akan menduga demikian, mengingat bahwa lama sekali dara itu tidak muncul lagi. Manusia biasa saja tidak mungkin dapat menyelam sampai selama itu. Kalau gadis itu manusia biasa, tentu ia diterkam hiu atau tenggelam atau mati, atau kalau ia masih hidup, berarti ia bukan manusia, melainkan dewi laut!

   Kemudian, dari arah tengah, seperti seekor ikan saja, dara itu nampak berenang ke tepi. Cepat sekali renangnya, meluncur tanpa mengeluarkan bunyi, seperti ikan lumba-lumba asli. Dan nampak riang gembira, tertawa-tawa dan bermain dengan air. Ombak besar datang dari belakangnya,mendorongnya sehingga renangnya semakin cepat. Akhirnya, ombak menerkamnya ke atas pasir, di air yang hanya sedalam lutut.

   Iapun akhirnya meninggalkan air, tiba di pasir yang kering, agak terengah dan sambil tertawa iapun menjatuhkan diri ke atas pasir dan terlentang. Kedua kakinya terpentang, kedua lengannya terkembang di atas kepala, wajahnya segar, rambutnya riap-riapan, sebagian menutup dada dan sebagian menutup muka membelit leher. Bukan main cantiknya. Manis, jelita menggairahkan!

   Sinar matahari yang mulai menguning cahayanya itu mendatangkan rasa hangat yang amat nyaman. Dan angin semilir, angin yang juga hangat, membuat dara itu terlena oleh kantuk dan tak lama kemudian iapun sudah tertidur. Mulutnya masih setengah terbuka seperti orang tersenyum,napasnya lembut dan panjang, dada yang membusung itu turun naik.

   Dara yang tidur pulas di bawah sinar matahari pagi itu sama sekali tidak tahu betapa ada sebuah perahu hijau datang bersama ombak dari tengah, menuju ke pantai itu. Jelas bukan perahu nelayan, karena semua nelayan sudah pulang pagi-pagi tadi seperti biasanya, dan dara itupun tahu akan kebiasaan itu. Ia tahu bahwa saat itu tidak akan ada nelayan di pantai, maka ia dapat berenang dengan bebas tanpa dilihat siapapun.

   Dan model perahu hijau itupun berbeda dengan perahu nelayan yang mempunyai bentuk agak lebar, karena para nelayan membutuhkan ruangan untuk tempat hasil tangkapan mereka. Perahu hijau itu sempit dan panjang meruncing, dibantu kayu atau bambu runcing di kanan kirinya, dan mempunyai tiang layar.

   Layarnya yang juga berwarna hijau telah digulung, dan kini enam orang penumpang perahu mendayung perahu mereka dengan gerakan teratur, berirama dan kuat sekali, membuat perahu mereka meluncur cepat ke pantai.

   Dara itu masih enak tidur terlentang ketika enam orang itu menyeret perahu mereka ke darat, bahkan ketika mereka menahan seruan kaget, heran dan kagum, kemudian mereka berenam berdiri mengepung dara yang masih tidur terlentang dengan pandang mata seperti singa kehausan melahap seluruh tubuh yang terlentang itu, ia masih tetap tidur dengan napas yang lembut.

   "Bukan main cantiknya...................!"

   "Manis sekali!"

   "Tubuhnya....................amboiiiii........!"

   "Tak kusangka di dusun pantai ini terdapat gadis sejelita ini."

   "Wah, kalau semua perempuan di pantai ini secantik dia, untung kita!"

   "Mari kita undi, siapa yang berhak menjadi orang pertama!"

   Orang pertama dari mereka, yang bertubuh tinggi kurus seperti cicak kering, akan tetapi kumisnya melintang panjang dengan kedua ujung berjuntai ke bawah, segera berkata,

   "Hushh,apakah kalian mencari penyakit? Siapa orangnya yang tidak mengilar melihatnya, akan tetapi kita tidak boleh mencari penyakit. Kalau ada yang melihat kita lalu semua penduduk keluar, kita akan celaka, bahkan mungkin akan pergi dengan tangan hampa."

   "Habis bagaimana? Bukankah kita datang ke sini untuk menyelidiki keadaan? Dan ini.......si jelita ini, adalah hadiah untuk kita!"

   "Tolol!" bentak si cicak kering."Kita hanya menyelidik dan ternyata melihat perahu-perahu para nelayan itu, dusun ini cukup makmur untuk menjadi mangsa kita. Dan agaknya banyak pula terdapat perempuan cantik. Yang ini kita tangkap dan kita bawa pulang untuk oleh-oleh. Tentu majikan kita akan senang sekali, apalagi majikan muda kita. Kita perlu membawa teman-teman yang cukup banyak untuk menyerbu. Lihat, perahu mereka lebih dari duapuluh buah banyaknya, tentu sedikitnya ada seratus orang laki-laki muda di sini. Terlampau berat bagi kita berenam untuk menghadapi mereka. Nah, mari kita tangkap dan bawa anak ayam ini ke perahu!"

   Bagaikan menerima komando, enam orang ini seperti berubah menjadi enam ekor anjing pemburu menghadapi domba betina muda yang gemuk! Mereka berenam seperti berlomba, menubruk ke arah gadis yang telentang tidur itu, ingin lebih dahulu mendekap dan meringkusnya, merasakan kehangatan tubuh yang molek.

   "Bress....!" Enam orang itu berteriak-teriak kaget karena dara yang mereka tubruk itu tiba-tiba saja menghilang! Mereka tadi melihat jelas betapa gadis itu masih tidur terlen tang, dan ketika mereka menubruk dari semua jurusan tampak bayangan berkelebat dan mereka saling tubruk, saling beradu kepala dan tangan dan gadis itu telah lenyap! Selagi mereka kaget dan heran, terdengar suara tawa renyah dan mereka cepat berloncatan berdiri, memutar tubuh menghadapi orang tertawa.

   Kiranya gadis itu telah berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa bebas. Tidak seperti gadis dusun atau kota biasa yang kalau tertawa tidak berani mengeluarkan suara, bahkan tidak berani kelihatan giginya, gadis ini tertawa terkekeh membuka mulut dengan bebas sehingga nampak sepasang bibirnya merekah, memperlihatkan rongga mulut yang merah tua dan gusi merah muda di tengah deretan gigi yang putih rapih seperti mutiara diatur.

   "Heh-heh-heh, lucu sekali! Kalian ini siapakah? Pakaian kalian serba hijau, kalian bukan orang sini. Mau apa kalian datang ke sini dan mengganggu aku yang sedang tidur lelap?"

   Enam orang itu saling pandang. Sedang tidur lelap kenapa ketika ditubruk dapat lenyap? Manusiakah gadis ini? Atau dewi penjaga lautan? Akan tetapi si cicak kering yang merasa dia bersama lima rekannya dan merasa bahwa dia menjadi pemimpin rombongan itu, mengusir keraguan hatinya. Dia melangkah maju ke depan.

   "Nona, kami memang bukan orang sini. Kami datang karena melihat nona yang demikian cantik seperti bidadari. Kami ingin nona ikut bersama kami!"

   Si cicak kering sudah memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mengepung. Akan tetapi gadis itu sama sekali tidak kelihatan gentar,seolah-olah keenam orang laki-laki yang sikapnya seperti serigala itu dianggapnya sebagai anjing-anjing yang jinak saja.

   Dara itu tersenyum dan mengangguk-angguk,"Aih, begitukah? Kalian hendak mengajak aku kemana? Siapakah kalian? Perkenalkan diri dulu agar aku dapat mempertimbangkan apakah aku akan memenuhi undangan kalian atau tidak."

   Melihat sikap gadis itu yang ramah dan tidak marah, enam orang laki-laki itu merasa senang sekali. Si cicak kering yang merasa dirinya paling unggul di antara teman-temannya karena memang dia yang bertugas sebagai pimpinan, membusungkan dadanya. Akan tetapi karena dada itu memang kerempeng dan tipis, dibusungkan bukan nampak besar, melainkan melengkung seperti batang kangkung.

   "Nona yang cantik, ketahuilah bahwa kami adalah orang-orang gagah penghuni Pulau Hiu! Nona kami undang untuk berkunjung ke pulau kami dan berkenalan dengan majikan kami. Majikan muda kami, Siangkoan Kongcu ( Tuan muda Siangkoan) adalah seorang pemuda yang gagah, ganteng, tampan dan kaya raya, tentu akan dapat menghargai seorang cantik jelita seperti nona."

   Sepasang mata yang jeli itu nampak bersinar-sinar.

   "Pulau Hiu? Baru sekarang aku mendengarnya! Majikannya she Siangkoan? Dimana sih letaknya pulau itu?" Kini gadis itu menerawang ke arah lautan seperti hendak mencari di mana letaknya pulau itu.

   "Tidak jauh dari sini, nona. Hanya pelayaran setengah hari menuju ke utara. Pulau Hiu kami terletak di seberang pantai Shantung."

   "Setengah hari? Kalau begitu pulang pergi hanya sehari dan sore nanti aku dapat pulang kesini?" Gadis itu dalam bicarapun demikian polosnya seperti juga ketika tertawa, dan juga tanpa malu-malu di depan enam orang pria itu, walaupun pakaiannya yang tipis dan ketat itu kini berkibar tertiup angin laut sehingga bentuk tubuhnya tercetak jelas.

   Enam orang itu saling pandang dan tertawa. Dalam hati mereka menertawakan gadis yang mereka anggap dusun dan tolol itu. Tentu saja kalau gadis itu sudah mereka bawa, ia tidak akan kembali ke tempat ini, pikir mereka.

   "Tentu saja, sore nanti engkau dapat pulang nona manis," kata pula si cicak kering, lalu ia mengerling ke arah lima orang teman-temannya yang tersenyum-senyum.

   

Pedang Naga Hitam Eps 14 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 12 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 2

Cari Blog Ini