Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 46


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 46




   "Berhenti! Nona ini harus memisahkan diri dan mari ikut bersama dia!" Pemimpin itu menudingkan telunjuknya kepada seorang anak-buahnya yang berkumis tebal tanpa jenggot. Laki-laki tinggi besar ini tersenyum dan menghampiri Pek Lian.

   "Marilah, nona, kuantar ketempat peristirahatan nona!" Tentu saja Pek Lian tidak mau dipisahkan dari kawan-kawannya. Ia menggeleng kepalanya dan berkata tegas,

   "Tidak, aku tidak mau memisahkan diri!" Si kumis tebal melotot dengan sikap mengancam. Dia menghampiri Pek Lian dan tangannya diulur untuk menangkap lengan dara itu.

   "Di sini orang tidak boleh membantah!" katanya, Tentu saja Pek Lian tidak membiarkan tangannya ditangkap dan ia menarik tangannya mengelak.

   "Eh, engkau malah melawan?" bentak si kumis tebal dan sekali ini dia menggerakkan tangan kanan mencengkeram kearah pundak Pek Lian dengan gerakan cepat dan bertenaga kuat. Marahlah Pek Lian. Ia cepat menggeser kakinya yang terpincang karena terluka itu kesamping sehingga tubuhnya miring dan ketika tangan kanan lawan yang luput mencengkeram itu lewat, secepat kilat ia menangkap pergelangan tangan kanan orang itu dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring ia menarik tangan itu kebelakang dengan gerak membanting keras. Laki-laki berkumis tebal itu terkejut bukan main, tak dapat menghindarkan dirinya terangkat dan terbanting keras kelantai ruangan.

   "Brukk" dan laki-laki itu mengeluh karena tulang lengannya yang bersambung dipundak terlepas, membuat lengan kanan itu lumpuh. Melihat ini, pemimpin pasukan berpakaian hitam marah sekali. Tak disangkanya bahwa orang"orang yang tadinya menyerah tanpa melawan sedikitpun itu kini setelah tiba didalam bangunan malah memperlihatkan sikap menentang dan melawan.

   Dia memberi aba-aba dan pasukannya bergerak, dibantu pasukan penjaga, mengurung para tawanan. Para saudagar yang ikut tertawan menjadi ketakutan dan mereka menjatuhkan diri berlutut dengan tubuh gemetar. Akan tetapi, melihat Pek Lian kini mulai diserang oleh banyak orang bersenjata, Tiong Li segera melompat, menggerakkan pedangnya dan bersama nona itu dia mengamuk. Kakek Kam Song Ki juga tidak tinggal diam, meloncat kedepan dan membantu muridnya dan Pek Lian. Diamuk oleh tiga orang ini, pasukan berpakaian hitam itu mawut dan barisan mereka menjadi kacau. Sementara itu, Thian Hai menyuruh puterinya berlindung diantara para saudagar yang tidak melawan dan dia tahu tidak akan diserang oleh pasukan itu. Dia sendiri lalu meloncat lenyap dari tempat itu, berusaha mencari musuh besarnya kesebelah dalam bangunan.

   Souw Lian Cu adalah seorang anak yang cerdik sekali. Ia mengerti maksud ayahnya yang hendak mencari musuh besar mereka dan ia merasa aman berada diantara para saudagar yang berlutut sambil menonton perkelahian. Diam-diam anak ini memperhatikan dengan kagum betapa tiga orang teman ayahnya itu, terutama sekali kakek Kam Song Ki, memiliki kepandaian hebat dan biarpun dikeroyok banyak orang, mereka bertiga dapat menguasai keadaan dan banyak sudah pihak pengeroyok berjatuhan. Ketika ia melihat sebatang golok yang terlempar dari pegangan seorang pengeroyok terjatuh tidak jauh dari tempat ia berlutut diantara para saudagar, ia lalu mengambilnya dan menggenggam gagang golok itu erat-erat. Lumayan, pikirnya. Golok ini dapat kupakai untuk membela diri kalau perlu.

   Tiga orang gagah itu memang dapat membuat para pengeroyok mereka menjadi kacau-balau. Terutama sekali amukan Tiong Li dan gurunya, sungguh membuat mereka tak berdaya, apa lagi ketika pemimpin pasukan itu roboh oleh tongkat ditangan kakek Kam dan tidak dapat bangkit kembali. Hal ini membuat para sisa anak-buah pasukan pakaian hitam itu menjadi panik. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara auman harimau yang menggetarkan dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang berjubah kulit harimau dan tangannya memegang senjata rantai yang ujungnya berbentuk tombak jangkar dan dibelakangnya ikut pula dua ekor harimau kumbang yang ganas dan mengaum-aum menggiriskan. Melihat ini, para saudagar menjadi ketakutan dan menyembunyikan muka dibalik kedua tangan, seolah-olah merasa khawatir kalau-kalau muka mereka akan dicakar dan diganyang harimau-ha-rimau itu.

   Pek Lian dan kedua temannya terkejut dan mengenal raksasa itu yang bukan lain adalah Sanhek-houw, Si Harimau Gunung yang amat lihai dan kejam. Diantara para saudagar itu, Lian Cu memandang kepada pendatang baru ini dan tiba-tiba saja sepasang mata anak ini mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan. Itulah orangnya yang telah membuat lengannya buntung! Melihat munculnya tokoh ini, sisa pasukan dan para penjaga bangkit kembali semangat mereka dan memperketat pengeroyokan. Sedangkan Sanhek-houw ketika melihat siapa yang muncul, menjadi marah. Dia mengenal Pek Lian dan Tiong Li, dan biarpun dia belum tahu siapa adanya kakek bertongkat itu, namun dia memandang rendah dan sambil menggereng, diapun maju diikuti oleh dua ekor harimau kumbang! Melihat ini, kakek Kam Song Ki berseru kepada muridnya,

   "Tiong Li, kau hadapi dua ekor anjing itu!" Dan dia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya menyambut terjangan Si Harimau Gunung.

   "Trangg" Barulah Sanhek-houw kaget setengah mati ketika senjatanya yang panjang dan berat itu, begitu bertemu dengan tongkat butut, melayang dan terpental kembali kepadanya!

   Kiranya kakek ini lihai sekali, pikirnya. Diapun cepat memutar rantainya dan menerjang dengan buas, tiada ubahnya seekor harimau besar mengamuk. Akan tetapi, dia menjadi semakin kaget ketika tiba-tiba saja tubuh kakek didepannya itu lenyap dan tahu-tahu ada ujung tongkat menyambar tengkuknya! Nyaris tertotok dan Si Harimau Gunung memperhebat gerakannya. Dia maklum bahwa lawannya ini adalah seorang ahli ginkang yang amat hebat, dan tiba-tiba dia merasa tengkuknya dingin dan bulu tengkuknya meremang. Dia teringat sekarang! Kakek ini adalah kakek yang pernah mengajak Raja Kelelawar bertanding dan dalam pertandingan adu ginkang kakek ini bahkan mampu mengatasi kepandaian Raja iblis itu!

   Tentu saja Sanhek-houw menjadi gentar juga. Akan tetapi dia sudah muncul dan sudah bertanding, tidak ada jalan lain kecuali melawan mati-matian. Tiong Li menggunakan pedangnya menghadapi dua ekor harimau ganas itu, dan dengan gerakan-gerakan yang amat gesit dia mengatasi kecepatan dua ekor binatang itu sehingga tak lama kemudian, dia berhasil merobohkan dua ekor harimau itu yang roboh berkelojotan dan mandi darah, hanya auman-auman mereka saja yang menggetarkan tempat itu akan tetapi keduanya sudah tidak berbahaya lagi. Sedangkan Pek Lian masih mengamuk dikeroyok para penjaga dan kini Tiong Li segera membantunya setelah merobohkan dua ekor harimau. Melihat betapa dua ekor harimau peliharaannya roboh, hati Sanhek-houw semakin gentar.

   Karena gentar, permainan rantai ditangannya menjadi kacau dan kesempatan itu dipergunakan oleh kakek Kam untuk menggerakkan tongkatnya. Tongkat butut meluncur dan menotok dadanya. Sanhek-houw mengeluarkan gerengan keras, tubuhnya terhuyung kebelakang dan rantai itu terlepas. sejenak totokan ampuh itu menembus kekebalan tubuhnya, dan dia merasa seperti kehilangan tenaga. Tiba-tiba saja sebatang golok menghunjam lambungnya dari samping. Si Harimau Gunung terkejut, namun dalam keadaan tertotok itu kekebalannya lenyap dan tanpa dapat dicegahnya lagi, golok itu menancap dilambungnya sampai dalam sekali. Dia membuat gerakan membalik dan melihat bahwa yang menusuknya itu adalah seorang anak perempuan yang buntung lengan kirinya! Dia terbelalak, memandang anak itu dan sayup-sayup dia teringat kepada anak itu dan mulutnya menyeringai,

   "Kau, kau!" Dia hendak menubruk, akan tetapi sebatang tongkat meluncur dan menotok lututnya, membuat dia jatuh berlutut, lalu tergelimpang mandi darah yang bercucuran dari lambungnya. Sementara itu, Lian Cu merasa ngeri sendiri menyaksikan akibat dari perbuatannya. Ia melemparkan golok berdarah itu, mundur-mundur dan dengan mata terbelalak memandang korbannya, mulutnya beberapa kali berkata lirih seperti membela diri,

   "Dia membuntungi lenganku, dia membuntungi lenganku!" Anak inipun menjatuhkan diri kembali berlutut dan menangis. Robohnya Sanhek-houw ini membuat semua semangat perlawanan para anak-buah gerombolan itu lenyap sama sekali. Mereka menjadi ketakutan dan sisa gerombolan lalu melarikan diri keluar dari dalam bangunan itu. Pek Lian lalu menghampiri Lian Cu yang sedang menangis, merangkulnya dan memandang tubuh Sanhek-houw yang sudah tak bergerak lagi dan sudah tewas.

   "Sudahlah, Lian Cu, engkau hanya membasmi kejahatan yang membahayakan semua orang didunia ini." Pada saat itu, dari dalam terdengar suara aneh, suara angin menyambar-nyambar dan bentakan-bentakan yang menggetarkan jantung. Pek Lian segera bangkit berdiri dan bersama Lian Cu yang digandengnya, Tiong Li dan kakek Kam ia lalu berlari kedalam.

   Setibanya diruangan paling belakang, mereka berhenti dan terbelalak menyaksikan suatu pertandingan yang amat hebat dan yang selamanya belum pernah mereka saksikan! Ruangan itu mewah, akan tetapi pada saat itu, prabot-prabot ruangan telah porak-poranda, bahkan dinding-dinding yang dicat indah itu banyak yang retak-retak. Ketika Pek Liari dan kawan-kawannya tiba diambang pintu ruangan itu, mereka merasakan getaran-getaran aneh yang amat kuat, yang membuat mereka terpaksa melangkah mundur lagi dan tidak berani menonton terlalu dekat! disitu, bagaikan dua ekor naga, nampak Souw Thian Hai berkelahi mati-matian melawan seorang yang berpakaian serba hitam, siapa lagi kalau bukan Raja Kelelawar! Dan agaknya mereka keduanya sudah kelihatan kelelahan! Memang mereka telah bertanding cukup lama.

   Tadi ketika Thian Hai mencari musuhnya didalam bangunan, akhirnya dia menemukan musuh itu berkemas diruangan paling belakang. Thian Hai tersenyum mengejek melihat musuhnya itu sedang menutupkan sebuah peti. Dia dapat menduga bahwa tentu pusaka peninggalan keluarga Souw berada didalam peti itu, juga mungkin pusaka peninggalan Raja Kelelawar aseli. Dan dugaannya memang benar. Raja Kelelawar sedang berkemas ketika melihat munculnya lawan-lawan tangguh, mengandalkan para pembantunya yang cukup lihai untuk menahan para lawan sehingga dia masih mempunyai waktu untuk berkemas dan melarikan diri. Semenjak kalah dalam peperangan di Kotaraja, iblis ini menaklukkan datuk-datuk dan memaksa para datuk seperti Tujuh Iblis Ban-kwi-to bahkan Raja Muda Selatan untuk menjadi pembantunya dan melindunginya bersembunyi.

   "Ma Kim Liang, engkau tidak akan dapat lari lagi dariku!" kata Souw Thian Hai yang tadi mempergunakan kepandaiannya sehingga masuknya tidak diketahui lawan. Raja Kelelawar menoleh dan diapun terkejut bukan main melihat bekas suhengnya didalam ruangan itu. Tahulah dia bahwa dia harus melawan mati-matian. Dengan tenang diapun bangkit, percaya akan kemampuan sendiri. Dia bahkan tersenyum menyeringai.

   "Souw Thian Hai, kebetulan sekali. Aku akan menyempurnakan perbuatanku yang lalu, dan sekali ini engkau tentu akan mati ditanganku."

   "Hemm, kalau bukan aku, tentu engkau yang akan tewas agar arwahmu dapat menerima perhitungan dan hukuman atas dosa-dosamu!" Tanpa banyak cakap lagi, mereka lalu saling serang dengan dahsyatnya. Karena masing-masing sudah tahu betapa lihainya lawan, maka begitu bergebrak keduanya sudah mengeluarkan simpanan masing-masing dan mengerahkan seluruh tenaga. Terjadilah perkelahian yang amat hebat. Prabot-prabot ruangan itu dilanda pukulan dan tendangan mereka, menjadi porak-poranda dan pukulan yang mengenai dinding membuat dinding itu retak-retak atau ambrol. Angin pukulan bersiuran, bahkan terdengar dan terasa oleh mereka yang berada diluar ruangan itu dan bentakan-bentakan yang keluar dari dada mereka mendatangkan getaran aneh dan amat kuat.

   Diam-diam Souw Thian Hai harus mengakui bahwa bekas sutenya ini tidak boleh dibandingkan dengan ketika dihadapinya terakhir kali. Kini sutenya itu telah memperoleh kemajuan pesat dan terutama sekali alat yang tersembunyi didalam sepatunya membuat gerakannya cepat dan tak terduga-duga. Bagaima-napun juga, Thian Hai memiliki andalan dua macam ilmu rahasia keluarga Souw, yaitu Thai-kek Sin-ciang dan Thai-lek Pek-kong-ciang, yang bagaimanapun juga, belum dapat dikuasai dengan baik oleh Ma Kim Liang. Akan tetapi sebagai penggantinya, dia telah memiliki dan menguasai ilmu-ilmu peninggalan Kelelawar Hitam yang hebat seperti Ilmu Pat-hong Sin-ciang (Tangan Sakti Delapan Penjuru Angin), Kim-liong Sin-kun (Silat Sakti Naga Emas) dan terutama sekali sepasang pisau belatinya yang amat tajam.

   Akan tetapi, maklum betapa lihainya sepasang tangan lawan, Raja Kelelawar tidak mau menggunakan sepasang pisau belatinya, karena penggunaan sepasang pisau ini bahkan mengganggu kelihaian sepasang lengannya dan tangannya. Maka diapun melawan dengan tangan kosong dan mengandalkan jubahnya untuk menerima pukulan lawan. Lebih dari seratus jurus mereka bertanding dan Raja Kelelawar sudah menerima beberapa kali pukulan karena dia tidak hati-hati. Sedangkan dia sendiri mengerahkan sinkang untuk menahannya. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat itu, Raja Kelelawar melompat kedepan, seperti seekor kelelawar raksasa tubuhnya melayang, jubahnya menjadi semacam sayap dan dia telah menubruk kearah kepala Thian Hai dengan masing-masing tangan membentuk segi tiga dengan tiga jari tangannya.

   Dengan dahsyat dia telah mempergunakan Ilmu Totok Sam-ci Tiam-hwe-louw untuk menyerang ubun-ubun kepala dan tengkuk lawan dari atas! Sam-ci Tiam-hwe-louw adalah ilmu totok yang amat hebat dan ganas dari keluarga Souw dan Thian Hai dahulupun dilukai sampai menjadi gila oleh Ma Kim Liang mempergunakan ilmu ini. Murid murtad ini, diantara ilmu-ilmu keluarga Souw yang lain, memang telah mempelajari ilmu ini secara mendalam dan mahir. Dan dia menggabungkan ilmu ini dengan ilmu meloncat dari Raja Kelelawar, maka hebatnya serangan itu bukan main! Akan tetapi Thian Hai sudah mengenal baik ilmu keluarganya ini dan sudah tahu akan kelihaian lawan.

   Agaknya lawannya sudah putus asa untuk mencapai kemenangan, maka mengeluarkan lagi ilmunya yang pernah membuatnya roboh dahulu. Agaknya bekas sutenya ini hendak mengadu nyawa karena serangan ini memang hebat bukan main dan banyak sekali kemungkinannya untuk melanjutkan dengan serangan-serangan maut lainnya. Mengelak, tidak mungkin dan untuk menangkis, amat berbahaya karena sekali tangkisan luput, dia akan terancam bahaya maut yang tak mungkin terelakkan lagi. Kalau sampai ubun-ubun atau bagian kepala lain yang berbahaya terkena totokan itu, yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sinkang sepenuhnya, dia tentu akan tewas seketika! Tenaga totokan Ma Kim Liang sekarang ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, ketika merobohkannya dengan totokan yang sama pada pelipisnya.

   "Haiiiiittt!" Thian Hai juga mengeluarkan pekik melengking yang membuat Pek Lian kembali menutupi telinga Lian Cu, akan tetapi ia sendiri tiba-tiba merasa lemas dan jatuh berlutut, tidak dapat menahan getaran yang melumpuhkan kakinya.

   Thian Hai mengangkat kedua tangannya melindungi kepala dan ketika kedua tangan lawan menotok turun, ia menyambut dengan telapak tangan terbuka. Tangan kanannya berhasil menyambut tangan kiri lawan, akan tetapi tangan lawan ketika bertemu dengan telapak tangan kirinya, tiba-tiba meleset dan terus menyerang kebawah kearah pelipisnya! Nyaris terulang kembali peristiwa beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi Thian Hai cepat miringkan kepalanya sehingga totokan tiga jari itu meluncur terus mengenai pundak kirinya. Pada saat itu, Thian Hai juga sudah menggerakkan tangan kirinya yang luput menyambut tangan kanan lawan tadi kedepan, mengerahkan tenaga dan memukul dengan Thai-lek Pek-kong-ciang.

   "Tukk! Desss!!" Totokan pada pundak Thian Hai dan hantaman dengan tangan terbuka pada dada Raja Kelelawar itu terjadi dalam waktu bersamaan dan akibatnya, tubuh Thian Hai berlutut sedangkan tubuh Raja Kelelawar terdorong dan terpental kebelakang lalu diapun terbanting roboh! Muka Raja iblis itu menjadi pucat seperti mayat dan tangan kirinya menekan dadanya, mukanya memperlihatkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Sebaliknya, Thian Hai merasa betapa lengan kirinya lumpuh dan diapun merasa pundak kirinya nyeri. Dicobanya dengan tangan kanan mengurut pundak kirinya yang tertotok itu. Biarpun mereka sudah sama-sama terluka, akan tetapi mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong penuh kemarahan dan kebencian.

   "Souw-toako!" Melihat Thian Hai juga roboh berlutut, Pek Lian tak dapat menahan kekhawatiran hatinya dan iapun sudah meloncat dan menghampiri pendekar itu.

   "Toako, engkau engkau terluka?" tanyanya khawatir sambil menyentuh punggung pendekar itu. Pada saat itu terdengar suara ketawa Raja Kelelawar.

   "Ha-ha-ha, suheng, inikah pengganti isterimu? Inikah calon isterimu? Bukankah ia puteri mendiang Menteri Ho? ha-ha, Ho-siocia, kesinilah engkau!" Suara terakhir yang mengundang Pek Lian ini terdengar aneh, menggetarkan dan mengandung wibawa yang demikian kuatnya sehingga seperti dalam mimpi, Pek Lian meninggalkan Thian Hai dan menghampiri Raja iblis itu! Melihat ini, Thian Hai terkejut sekali.

   "Lian-moi, minggir!!" Dan tubuhnya yang sudah terluka itupun dipaksanya meloncat kedepan dan pada saat yang tepat, dengan tangan kanannya dia telah berhasil mendorong dara itu sehingga terpelanting, tepat pada saat Raja Kelelawar melemparkan pisau belatinya kearah dada Pek Lian. Pisau itu meluncur lewat dan menancap sampai kegagangnya, memasuki dinding sebagai pengganti dada Pek Lian yang tentu saja kaget setengah mati ketika tubuhnya terpelanting itu. Ia mengeluh karena ketika ia jatuh, kakinya terhimpit, membuat luka dibetisnya menjadi semakin parah dan mengeluarkan darah.

   "Souw Thian Hai keparat!" Terdengar Raja Kelelawar memaki dan tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau belati yang sama dengan pisau yang tadi menyambar Pek Lian, telah memasuki dadanya, menembus jantungnya. Ternyata Raja iblis ini yang sudah terluka parah oleh pukulan Thai-lek Pek-kong-ciang, merasa bahwa dia tidak dapat hidup lagi, setelah gagal memberi pukulan terakhir kepada Thian Hai dengan jalan mencoba membunuh dara yang dianggapnya calon isteri bekas suhengnya itu, lalu membunuh diri. Thian Hai bangkit berdiri menghampiri, memandang kepada bekas sutenya. Juga Pek Lian terpincang-pincang menghampiri, lalu Lian Cu lari menghampiri ayahnya. Kam Song Ki dan muridnya juga menghampiri. Semua orang memandang wajah Raja Kelelawar itu dan Pek Lian berseru,

   "Haiii! Bukankah dia ini Kaisar yang lihai itu?" Souw Thian Hai menarik napas panjang dan mengangguk.

   "Aku gagal mengejarnya karena tertipu pula. Ketika aku mengejar Raja Kelelawar, dia memasuki Istana dan lenyap. Aku tidak mengira bahwa Kaisar muda itu adalah dia! Kiranya, Kaisar baru telah dibunuh oleh komplotan mereka dan Ma Kim Liang, bekas suteku ini diangkat menjadi Kaisar! Bagaimanapun juga, aku kagum kepadanya. Dia benar-benar telah berhasil menjadi Kaisar, walaupun hanya untuk beberapa hari! Dan ilmu kepandaiannya hebat" Thian Hai yang teluka pundaknya oleh totokan Sam-ci Tiam-hwe-louw ini lalu diperiksa oleh kakek Kam. Bagaimanapun juga, kakek ini adalah murid mendiang Bu-Eng Sin-yok-ong Si Raja Obat. Setelah memeriksa dan memberi obat, dia menganjurkan agar pendekar itu beristirahat selama sehari untuk mengumpulkan hawa murni.

   Tubuh pendekar ini terlampau kuat untuk sampai celaka oleh totokan tadi. Tiong Li sendiri lalu mencari tenaga bantuan untuk menguburkan semua jenazah, dan mengobati mereka yang luka tanpa pilih bulu. Semua orang berterimakasih dan baru mereka melihat betapa bedanya watak pendekar dan watak kaum sesat. Pendekar tidak mendendam dan selalu mengulurkan tangan membantu siapa saja yang membutuhkan bantuan, termasuk bekas-bekas lawan! Lian Cu menemani ayahnya yang duduk bersila didalam sebuah kamar kosong dibekas tempat tinggal Raja Kelelawar. Peti terisi pusaka-pusaka peninggalan keluarga Souw dan Raja Kelelawar berada didekatnya. Setelah selesai mengubur semua jenazah dan membiarkan mereka yang terluka pergi, Tiong Li menghampiri Pek Lian. Dia memandang dengan sinar mata kagum dan penuh keharuan.

   "Nona, kakimu terluka, perlu dirawat dan diobati." Dia memandang kearah celana yang menyembunyikan betis kanan yang terluka itu. Masih nampak darah mengering pada celana itu. Nona yang gagah perkasa ini tadi seperti melupakan luka dikakinya dan membantu dengan penguburan jenazah, dan ketika kakinya hendak diobati oleh kakek Kam ditolaknya.

   "Ah, tidak apa-apa, hanya luka sedikit," kata Pek Lian.

   "Nona, pekerjaan telah beres dan kalau kakimu tidak diobati, bisa keracunan. Bolehkah aku membantumu?" Tidak enak juga hati Pek Lian melihat keramahan pemuda yang mencintanya dan pernah ditolak cintanya ini. Ia hanya mengangguk, lalu duduk diatas batu dibawah pohon, melonjorkan kaki kanannya. Dengan duduk didekat gadis itu, Kwee Tiong Li menyingsingkan celana itu keatas sambil minta maaf.

   Sikapnya amat sopan walaupun jari-jari tangannya tidak ragu-ragu sebagai seorang ahli, karena selain pengalaman dan kepandaiannya sendiri dalam merawat luka-luka, pemuda inipun memperoleh pelajaran ilmu pengobatan yang lebih mendalam dari gurunya. Dan ternyata luka itu tidaklah seringan yang diakui Pek Lian. Kulitnya robek berikut dagingnya dan banyak daiah keluar. Bahkan karena didiamkan saja, luka itu nampak agak merah dan bengkak. Terkejutlah Pek Lian ketika tiba-tiba saja Tiong Li membungkuk dan mengecup luka itu dengan mulutnya, mengeluarkan darah dan kotoran dari situ! Wajah dara ini menjadi merah sekali dan kedua matanya basah melihat perbuatan pemuda itu. Sampai tiga kali Tiong Li mengecup, setelah luka itu bersih, dia menaruh obat, lalu membalut betis itu dengan sobekan sutera putih yang bersih.

   "Aughhh!" Pek Lian merintih dan membuang muka. Ini dilakukan untuk menyembunyikan kenyataan bahwa ia menangis, menangis saking terharu melihat cinta kasih yang demikian nyata diperlihatkan Tiong Li terhadap dirinya.

   "Nyeri sekalikah, nona?" Tiong Li bertanya sambil membereskan balutannya, kemudian menurunkan kembali celana menutupi betis dan sebagian paha yang berkulit putih halus itu. Pek Lian menyusut air matanya, lalu memandang tersenyum melalui air matanya, menggeleng kepala.

   "Tidak berapa nyeri, dan... Dan engkau baik sekali, terimakasih!" Sejenak mereka beradu pandang dan Tiong Li melihat suatu sinar yang aneh dan mesra dalam pandang mata gadis itu. Jantungnya berdebar penuh harapan, akan tetapi dia lalu teringat bahwa gadis ini pernah menolak cintanya, maka ketika Pek Lian menundukkan muka, diapun berpamit dan pergi. Sementara itu, Lian Cu yang tadi berjalan-jalan keluar melihat ayahnya samadhi, kini memasuki kamar ayahnya. Melihat ayahnya sudah membuka matanya, ia menghampiri dan memperlihatkan sebatang kayu.

   "Ayah, lihat ini!" Thian Hai melihat bahwa potongan kayu itu ternyata didalamnya adalah batangan emas murni!

   "Eh, dari mana kau dapatkan ini?" tanyanya heran, membolak-balik potongan kayu itu.

   "Ini adalah sebagian tandu yang rusak. Ingat tandu yang kau pikul itu, ayah? Ketika kita menyelundup menjadi anak-buah bajak? Tandu itu kutemukan pecah berantakan dan tanpa sengaja aku melihat ini. Didalam kayu yang dipakai membuat tandu itu terdapat emas semua!"

   "Ahhh!" Thian Hai tahu sekarang bahwa harta karun mendiang Perdana Menteri Li Su telah dijadikan emas murni dan disembunyikan didalam tandu-tandu itu, dilapisi kayu. Dan belasan buah tandu itu telah dibuang kelautan, ketepi lautan diantara batu-batu karang oleh para bajak. Jadi harta karun itu berada disana, aman, tidak ada yang tahu kecuali dia karena semua bajak telah tewas!

   Mereka tidak lama tinggal ditempat itu. Pek Lian melanjutkan perjalanannya mengunjungi makam ayahnya. Kemudian ia kembali ke Kotaraja, membantu gurunya yang menjadi Kaisar untuk melakukan pembersihan terhadap para pengacau didaerah-daerah. Sedangkan Tiong Li yang patah hati itu mengikuti gurunya merantau. Dan kemanakah perginya Souw Thian Hai? Pendekar ini mengajak puterinya kembali kerumah keluarga Souw yang sudah porak-poranda untuk dibangun kembali, sambil membawa peti terisi pusaka keluarganya.

   Ada suatu ganjalan dihatinya kalau dia teringat Bwee Hong. Dia mencinta Bwee Hong, bukan hanya karena dara itu telah menyelamatkannya dengan pengobatan, bukan hanya karena dara itu mirip sekali dengan isterinya yang telah tewas, bukan hanya karena dara itu memang cantik jelita dan berbudi mulia, melainkan karena ada rasa cinta didalam hatinya. Akan tetapi, kalau dia teringat kepada Lian Cu, timbul keraguan didalam hatinya. Baikkah bagi Lian Cu kalau dia menikah lagi?

   Souw Thian Hai masih ragu-ragu. Bagaimanapun juga, dia belum mengikat gadis itu dengan janji perjodohan. Dan dia berkewajiban untuk menggembleng puterinya yang sudah kehilangan sebelah lengannya.

   Cerita ini berakhir sampai disini karena untuk mengikuti perjalanan para tokohnya membutuhkan suatu kisah dengan judul tersendiri. Kalau para pembaca budiman ingin mengikuti kisah selanjutnya dari A-hai atau pendekar Souw Thian Hai dengan puterinya Souw Lian Cu, Ho Pek Lian, Kwee Tiong Li, Chu Seng Kun dengan Kwa Siok Eng, dan Chu Bwee Hong, silahkan menunggu sampai terbitnya lanjutan kisah ini yang sedang disusun dan ditulis oleh pengarang & pelukis muda SRIWIDJONO.

   Sekian dan teriring salam bahagia dari pengarang, sampai jumpa dilain cerita!

   TAMAT
Lereng Lawu, akhir Agustus 1978.

   Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita/Ilustrasi : Sriwidjono
Penerbit : CV. GEMA
Cetakan Tahun : 1978 (Pertama)
Kontributor : Awie Dermawan

   


Harta Karun Kerajaan Sung Eps 9 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 27 Naga Beracun Eps 6

Cari Blog Ini