Harta Karun Kerajaan Sung 9
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Ai Yin mulai terdesak dan sebuah tendangan ketika ia terhuyung menjauhi api mengenai pahanya, terasa nyeri juga walaupun tidak sampai melukainya. Rasa nyeri di pahanya membuat gerakannya kurang leluasa. Ia menjadi marah sekali dan begitu ia mengeluarkan bentakan nyaring, sepasang pedangnya mengamuk dan dua orang pengeroyok yang berada terdekat roboh!
Tiba-tiba lebih banyak lagi pengeroyok yang membawa obor dan kini mereka menancapkan tongkat obor di sekelilingnya sehingga Ai Yin terkurung pagar obor yang bernyala-nyala!
Selagi ia kebingungan, banyak tali menyambar dan gadis itu terikat banyak tali! Ia menjadi marah dan menggunakan sepasang pedangnya untuk memotong tali-tali itu. Akan tetapi semakin banyak tali menyambar dan mengikatnya sehingga kedua lengannya tak dapat digerakkan. Ia meronta-ronta dan mengerahkan tenaga untuk membikin putus tali-tali itu, akan tetapi ternyata tali-tali itu kuat sekali.
Selagi Ai Yin meronta-ronta berusaha melepaskan diri, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Angin bertiup kuat dan pagar api obor itu padam!
Bu-tek Sin-liong Cu Liong datang dan marah sekali melihat keadaan puterinya. Anak buah Bukit Merah segera mengepung dan mengeroyoknya dengan golok. Akan tetapi, datuk ini dengan tangan kosong mengamuk, menangkap dan melempar-lemparkan mereka. Seperti seekor gajah mengamuk dalam sebuah hutan. Para pengeroyoknya berpelantingan dan mereka menjadi gentar bukan main. Mereka mundur menjauhkan diri setelah tidak kurang dari enam orang kawan mereka terkapar dibanting atau dilemparkan datuk itu.
Bu-tek Sin-liong hendak mengamuk terus akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Bu-tek Sin-liong, kalau engkau tidak menghentikan amukanmu, puterimu ini akan kupenggal lehernya lebih dulu!"
Datuk itu cepat memutar tubuhnya dan dia melihat Huo Lo-sian telah berdiri di situ dengan golok ditempelkan pada leher Ai Yin yang berdiri lemas dan agaknya dalam- keadaan tertotok. Memang tadi, melihat amukan Bu-tek Sin-liong, Huo Lo-sian yang datang ke tempat itu melihat bahwa kalau dibiarkan mungkin semua anak buahnya akan terbunuh. Dia melihat Ai Yin yang masih meronta dalam jala, maka cepat ditotoknya gadis itu dan dikeluarkan dari jala, kemudian ditodongnya untuk menghentikan amukan Bu-tek Sin-liong.
Melihat puterinya tertawan dan diancam Huo Lo-sian yang biarpun namanya sudah lama dia kenal namun baru sekali ini mereka saling bertemu, Bu-tek Sin-liong tertawa.
"Ha-ha-ha! Huo Lo-sian, engkau berjuluk Dewa Api akan tetapi ternyata hanya seorang pengecut besar! Kaukira dengan mengancam anakku, aku lalu takut dan tunduk kepadamu? Ha-ha, kaukira berhadapan dengan siapa, Huo Lo-sian? Aku Bu-tek Sin-liong tidak pernah tunduk kepada siapapun juga, tidak takut kepada segala macam setan atau dewa sekalipun. Engkau mengancamku untuk membunuh anakku? Boleh, bunuhlah dan aku akan menghancurkan kepalamu kuminum darahmu, lalu kubasmi seluruh penghuni bukit ini!!"
Suara Bu-tek Sin-liong lantang dan tegas, penuh wibawa menggetarkan sehingga seorang datuk seperti Huo Lo-sian sendiri merasa gentar mendengar ancaman itu. Dia yakin bahwa ancaman itu bukan kosong belaka. Dia pun bukan seorang penakut, akan tetapi akan amat merugikan kalau menanam permusuhan dengan datuk besar seperti Bu-tek Sin-liong.
"Bu-tek Sin-liong! Aku pun tidak pernah takut kepada siapa pun, juga tidak takut kepadamu! Akan tetapi aku sama sekali tidak minta engkau untuk menyerah, melainkan kuminta jangan engkau mengamuk dan membunuhi anak buahku!"
"Anak buahmu yang mengeroyok anakku, maka aku membelanya!" hardik Bu-tek Sin-liong Cu Liong.
"Itu karena anakmu melanggar wilayah kami! Akan tetapi sudahlah, andaikan anak buahku dianggap bersalah, engkau sudah merobohkan beberapa orang. Apakah itu belum cukup? Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, bukannya karena takut, melainkan karena bermusuhan antara kita hanya merugikan kedua pihak. Sama-sama datuk persilatan seperti kita, dan kukira sama-sama mencari harta karun Kerajaan Sung, apakah tidak lebih menguntungkan kalau kita berdua bergabung?"
"Kalau tidak mencari permusuhan, bebaskan anakku!"
"Berjanjilah bahwa engkau menerima uluran tanganku dan bersama anakmu menjadi tamu kami!"
Setelah diam sejenak, Bu-tek Sin-liong mengangguk,
"Baik, aku berjanji."
Huo Lo-sian melepaskan totokan Ai Yin dan mengembalikan sepasang pedang gadis itu yang tadi dia ambil. Ai Yin segera menghampiri ayahnya.
Huo Lo-sian memberi isyarat kepada anak buahnya untuk mengangkut dan merawat mereka yang terluka, kemudian dengan sikap ramah dia mempersilakan Cu Liong dan Cu Ai Yin untuk mendaki ke puncak di mana terdapat perkampungan Huo Lo-sian dan anak buahnya.
Huo Lo-sian menjamu ayah dan anak yang menjadi tamunya itu. Wanita-wanita cantik dikerahkan untuk melayani mereka bertiga makan minum. Hidangan itu serba mewah, makanan bermacam-macam yang lezat dan minuman anggur dan arak yang harum. Dua orang datuk besar itu kuat sekali minum. Berguci-guci arak mengalir ke dalam perut mereka, namun keduanya tidak pernah mabok. Hanya muka Cu Liong yang gagah itu, yang biasanya sudah merah, menjadi semakin merah, sedangkan muka Huo Lo-sian yang seperti singa itu juga menjadi merah seperti kebakaran karena rambut jenggot dan kumisnya berwarna merah. Ai Yin tidak banyak minum, bahkan ia hanya memilih minuman anggur yang tidak begitu keras.
Setelah perjamuan itu, Huo Lo-sian mengajak Cu Liong dan Cu Ai Yin bercakap-cakap di ruangan dalam. Barulah Si Dewa Api bicara tentang harta karun itu.
"Bu-tek Sin-liong, aku dapat menduga bahwa kedatanganmu bersama puterimu di Thai-san tentu juga hendak mencari harta karun Kerajaan Sung. Berita tentang harta karun itu sudah menggegerkan dunia persilatan dan kukira sekarang sudah banyak orang yang datang berkunjung ke Thai-san untuk memperebutkan harta karun itu. Anak buahku melaporkan bahwa selama beberapa minggu ini banyak orang-orang kang-ouw berdatangan di kaki Pegunungan Thai-san."
"Tidak keliru dugaanmu, Huo Lo-sian. Memang aku dan puteriku sengaja datang ke Thai-san hendak melihat-lihat perebutan harta karun yang kabarnya dicuri orang dari Thai-san ini. Akan tetapi aku tidak murka akan harta, aku hanya ingin membuktikan bahwa aku yang paling kuat di antara mereka yang memperebutkan, maka aku bertekad hendak mendapatkan harta karun itu, mengalahkan semua orang yang memperebutkannya."
Huo Lo-sian tertawa dan mengangguk-angguk.
"Ha-ha-ha, bagus! Cocok sekali, Bu-tek Sin-liong! Aku juga sependapat denganmu! Kita dapat mengangkat nama sendiri kalau berhasil mengungguli mereka dalam memperebutkan harta karun itu! Kita tidak murka mengejar harta, akan tetapi kalau bisa mendapatkannya, kita bagi dua, lumayan juga, bukan? Sin-liong, banyak orang akan memperebutkan harta karun dan mereka tentu terdiri dari orang-orang pandai yang mempunyai anak buah. Maka, kalau kita berdua bekerja sama, aku kira itu baik sekali dan menguntungkan kita."
Bu-tek Sin-liong mengerutkan alisnya mendengar ajakan bekerja sama ini. Keangkuhannya tersinggung dan dia merasa tidak enak kalau harus dibantu orang mendapatkan harta karun itu. Akan tetapi Cu Ai Yin berpendapat lain. Ia tadi melihat sudah kekuatan Huo Lo-sian dan anak buahnya. Sedangkan ayahnya hanya berdua dengannya saja. Kalau diingat bahwa mereka yang mencari harta karun tentulah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka menguntungkan sekali kalau ayahnya bergabung dengan Dewa Api dan anak buahnya.
"Ayah, kurasa memang baik sekali kalau kita bekerja sama dengan Paman Huo Lo-sian ini agar dapat mengimbangi mereka yang memiliki banyak anak buah yang kuat.
"Memang kita menghadapi lawan-lawan yang banyak dan berat, Nona Cu. Baru yang berada di Thai-san ini saja sudah amat kuat. Thai-san-pai memiliki murid yang cukup banyak dan kuat. Demikian pula Hek Pek Mo-ko dengan anak buah mereka. Selain mereka, ada pula Ang-tung Kai-pang yang terkenal kuat. Nah, Sin-liong, setelah puterimu setuju, kurasa tidak ada alasan lagi bagimu untuk menyetujui usulku yang baik ini. Tadi, karena salah paham, kita hampir bermusuhan, akan tetapi sekarang kita menjadi sahabat dan bekerja sama, bukankah itu baik sekali?"
"Hemm, aku setuju, akan tetapi hanya dengan satu syarat," kata Bu-tek Sin-liong.
"Katakan, apa syaratnya, Sin-Hong!"
"Lo-sian, aku mau bekerja sama, akan tetapi aku harus yang menjadi pemimpin dan semua, termasuk engkau, menjadi pembantuku yang harus tunduk terhadap semua keputusanku. Bagaimana?"
"Ha-ha-ha, baiklah, Sin-liong. Kuterima syaratmu. Biarlah kalau kita berhasil, engkau yang akan mendapatkan nama besar sebagai pemenang dan hasil harta karun itu kita bagi dua!" Huo Lo-sian tertawa-tawa senang karena kalau Bu-tek Sin-liong mau bekerja sama dengannya, maka dia, bertiga dengan ayah dan anak yang lihai itu, dibantu anak buahnya, lebih besar harapannya untuk dapat menguasai harta karun yang diperebutkan itu.
Tentu saja pada dasarnya Cu Ai Yin tidak sudi bekerja sama dengan datuk macam Huo Lo-sian yang kasar liar bersama anak buahnya itu. Kalau ia mau, bahkan menganjurkan ayahnya untuk bekerja sama dengan Dewa Api itu adalah karena gadis ini ingin sekali dapat menemukan dan menguasai harta karun. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk membantu Pouw Cun Giok!
Ia tidak dapat melupakan pemuda yang telah menjatuhkan hatinya itu. Ia tentu akan menyerahkan harta karun itu kepada Cun Giok agar dapat disumbangkan kepada para pejuang patriot. Nanti, apabila sudah berhasil, ia akan membujuk ayahnya untuk menguasai semua harta karun itu dan diserahkan kepada Cun Giok. Ayahnya amat sayang dan memanjakannya, maka permintaannya itu tentu tidak akan ditolak!
Dalam benak Huo Lo-sian terdapat pikiran yang lain lagi. Dia membujuk ayah dan anak itu untuk bekerja sama karena dia ingin berhasil menguasai harta karun itu. Kalau mereka berhasil, dia akan mencari jalan dan akal untuk menguasai harta itu semua. Akan tetapi kalau tidak mungkin, setidaknya dia akan mendapat setengahnya dan itu sudah amat banyak sekali.
Demikianlah, di dalam dunia ini, kebanyakan manusia mendasari semua pikiran, kata-kata, dan perbuatannya dengan pamrih untuk keuntungan atau kesenangan dirinya sendiri. Ke-akuan yang dipertebal nafsu itu hanya mementingkan dirinya sendiri, keuntungan diri sendiri, baik keuntungan materi berupa uang atau harta benda, maupun keuntungan batin berupa sanjungan, pujian, nama, dan sebagainya.
Bahkan dalam memberi pertolongan kepada orang lain atau perbuatan yang pada umumnya disebut sebagai kebaikan, sebagian besar dilakukan dengan dasar pementingan diri sendiri. Perbuatan baik, menolong orang dan sebagainya baru dilakukan kalau di situ tampak kemungkinan mendapatkan imbalan berupa keuntungan lahiriah, yaitu materi, atau keuntungan batiniah tadi. Pamrih yang tersembunyi di balik setiap pikiran, kata-kata, atau ucapan itulah yang membuat perbuatan itu, bagaimanapun bentuknya, menjadi palsu dan sama sekali tidak baik. Pamrih itu membuat setiap perbuatan hanya merupakan sarana untuk keuntungan diri pribadi. Misalnya perbuatan baik yang dilakukan dengan pamrih agar kelak mendapatkan sorga, sama saja perbuatan baik itu dipergunakan untuk membeli sorga. Andaikata tidak ada janji sorga, lalu apakah perbuatan baik itu tetap akan dilakukan?
Tiga orang itu, Huo Lo-sian, Bu-tek Sin-liong, dan Cu Ai Yin ketiganya mau bekerja sama dengan pamrih masing-masing yang berlainan.
Karena semua orang mengejar kesenangan itulah maka di mana-mana timbul permusuhan, pertentangan dan perebutan. Dan selama manusia masih diperhamba nafsu keinginan mementingkan diri sendiri, maka dunia tidak akan pernah ada keamanan, kedamaian dan ketenteraman. Masing-masing berlumba untuk memenuhi keinginan diri sendiri dan jika ada yang merintangi, maka yang merintangi itu akan ditendang.
Mereka bertiga lalu mengadakan perundingan untuk merencanakan tindakan mereka selanjutnya dalam usaha mereka untuk mencari pencuri harta karun.
"Tadinya kami mencurigai Thai-san-pai sebagai pencuri harta karun, akan tetapi setelah kami menyelidiki ke sana, agaknya bukan mereka yang melakukan pencurian itu. Sukar untuk menduga siapa sebetulnya yang telah mencuri harta karun itu. Yang jelas, kami tidak melakukannya dan agaknya Thai-san-pai juga tidak melakukannya. Sebagai penghuni tetap di Thai-san hanya tinggal dua golongan lagi yang terbesar, yaitu Hek Pek Mo-ko dan anak buah mereka dan Ang-tung Kai-pang. Terus terang saja, aku juga mencurigai dua golongan itu. Hek Pek Mo-ko adalah sepasang iblis yang kiranya tidak akan segan untuk melakukan pencurian, sedangkan Ang-tung Kai-pang adalah perkumpulan pengemis dan kiranya golongan pengemis itu tidak mustahil kalau melakukan pencurian. Selain dua golongan yang memiliki anak buah yang cukup besar itu, masih ada beberapa orang pertapa yang mengasingkan diri di puncak-puncak bukit yang terbesar di pegunungan ini. Biarpun mereka itu tidak pernah mencampuri urusan dunia, namun keadaan mereka yang penuh rahasia itu juga patut diselidiki. Nah, seperti sudah kuceritakan tadi, anak buahku juga melihat orang-orang kang-ouw berbondong mendatangi pegunungan ini. Bahkan baru kemarin ada rombongan pasukan Mongol datang ke sini dan agaknya mereka itu menuju ke utara. Sekarang terserah kepadamu, Bu-tek Sin-liong, apa yang harus kita lakukan, ke mana kita akan melakukan penyelidikan lebih dulu."
Bu-tek Sin-liong mengangguk-angguk.
"Sebelum kita bertindak, sebaiknya kalau kita sebarkan anak buah untuk melakukan penyelidikan apa yang terjadi di daerah Thai-san ini. Dengan demikian, kalau terjadi perebutan antara dua kelompok, kita dapat mengetahui kelompok mana yang bertanding dan siapa yang kiranya paling mencurigakan. Kita tidak perlu turun tangan sebelum mengetahui dengan pasti agar tidak sia-sia usaha kita."
Huo Lo-sian setuju dengan rencana ini. Dia merasa telah bertindak keliru ketika dia melakukan pengacauan terhadap Thai-san-pai yang tadinya dia anggap sebagai pencuri harta karun. Akan tetapi di Thai-san-pai dia malah mendapat malu karena dalam adu tenaga sakti, dia dikalahkan oleh dua orang gadis dan seorang pemuda tak terkenal yang melawannya dengan tenaga digabung. Demikianlah, Huo Lo-sian lalu menyebar anak buahnya untuk melakukan penyelidikan secara diam-diam, melihat gerak-gerik Ang-tung Kai-pang dan Hek Pek Mo-ko, juga memantau gerakan para pendatang dari luar daerah Pegunungan Thai-san.
Pegunungan Thai-san mulai ramai didatangi banyak tokoh kang-ouw untuk mencari harta karun yang kabarnya dicuri oleh orang yang tinggal di Thai-san. Seperti kita ketahui, mereka yang mencari pencuri harta karun itu, yang sudah kita kenal adalah Thai-san-pai, Ang-tung Kai-pang, Huo Lo-sian yang kini bergabung dengan Bu-tek Sin-liong dan puterinya, Cu Ai Yin, Hek Pek Mo-ko, lalu Yauw Tek yang kini mencari Liu Ceng Ceng bersama Tan Li Hong. Kemudian Pouw Cun Giok bersama si kembar The Kui Lan dan The Kui Lin.
Masih ada lagi rombongan Kim Bayan yang membawa pasukan cukup besar, dan juga Kong Sek yang ditemani kedua gurunya, Cui Beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li! Selain mereka ini masih ada rombongan atau perorangan dari dunia persilatan yang mencoba nasib ikut pula mencari harta karun yang kabarnya amat besar itu. Bahkan partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Kong-thong-pai dan sebagainya tidak ketinggalan, mengirim wakil untuk ikut berlumba, atau setidaknya meninjau keramaian mencari harta pusaka di Thai-san itu.
Setelah selama tiga hari tiga malam melakukan pencarian terhadap Yauw Tek dan Tan Li Hong tetap saja belum dapat menemukan dua orang itu, maklumlah Ceng Ceng bahwa ia telah salah jalan, atau mencari ke arah lain sehingga mungkin sekali ia malah semakin jauh dari dua orang itu. Akan tetapi hati Ceng Ceng tidak khawatir karena selain ia percaya akan kemampuan Li Hong menjaga diri, juga tentu Yauw Tek telah menemukan adik angkatnya itu dan dengan adanya Yauw Tek di samping Li Hong, maka ia tidak perlu mengkhawatirkan keadaan mereka.
Ia sendiri juga tidak gentar menghadapi perjalanan melalui daerah pegunungan amat luas penuh bukit jurang dan hutan itu, daerah yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia tidak gentar karena memang sejak remaja Ceng Ceng banyak melakukan perantauan seorang diri. Bagi gadis yang biarpun baru berusia sekitar duapuluh tahun namun memiliki pengertian mendalam tentang kehidupan ini, yang menjadi pelindung utamanya bukanlah ilmu silat tingkat tinggi yang dikuasainya, melainkan penyerahannya secara total lahir batin kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ia yakin benar bahwa segala sesuatunya, pada akhirnya yang menentukan adalah Tuhan. Yang penting ia tidak melakukan kejahatan dan sebagai seorang ahli silat keturunan pendekar besar ia tentu selalu menggunakan ilmu silatnya untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat namun sewenang-wenang. Juga dengan keahliannya dalam soal pengobatan, ia dapat menolong banyak orang. Maka siapa yang akan mengganggunya? Kalaupun ada orang yang bertindak jahat kepadanya, kalau usahanya membela diri tidak mampu menolongnya, ia sudah memasrahkan hidup dan matinya kepada Yang Maha Kuasa.
Ia harus melanjutkan perjalanannya, menjelajahi daerah Thai-san untuk melaksanakan tugasnya yang dipesankan mendiang ayahnya, yaitu menemukan harta karun Kerajaan Sung untuk diserahkan kepada mereka yang berhak, yaitu para patriot bangsa yang berjuang untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol.
Ia menjelajahi dusun-dusun yang berada di sekitar kaki Pegunungan Thai-san dan setiap kali menemukan orang yang sakit berat, Ceng Ceng dengan penuh perhatian segera mengobatinya. Obatnya manjur sekali dan yang telah ia tolong, sembuh dari penyakitnya dan gadis itu sama sekali tidak menuntut imbalan. Maka namanya segera menjadi buah bibir penduduk dusun-dusun yang dilewatinya. Ceng Ceng tidak pernah memperkenalkan julukan Pek-eng Sianli yang dulu diberikan orang kepadanya dan kini para penduduk dusun memberinya sebuah julukan baru, yaitu Yok Sianli (Dewi Obat)!
Pada suatu siang Ceng Ceng memasuki sebuah dusun di lereng bukit yang paling bawah dari pegunungan itu, sebuah dusun kecil yang penduduknya terdiri dari beberapa puluh keluarga petani. Kebetulan sekali pada waktu itu penduduk dilanda penyakit perut yang sudah mengorbankan belasan orang. Melihat ini, Ceng Ceng segera turun tangan, mengobati mereka yang sedang sakit dan minta kepada kepala dusun kecil itu untuk mengerahkan orang-orangnya mencari beberapa macam daun dan akar obat untuk diminum semua anggauta keluarga penduduk agar jangan terkena penyakit itu.
Penduduk dusun kecil itu berterima kasih sekali kepada Yok Sianli yang namanya sudah mereka dengar. Mereka mencari daun-daun dan akar obat yang diminta lalu Ceng Ceng membagi-bagi obat itu agar diminum semua orang. Saking girang dan sebagai pernyataan terima kasih mereka, kepala dusun memberi tempat bagi gadis penolong itu untuk melewatkan beberapa malam, mereka lalu mengadakan perjamuan selamat jalan kepada Ceng Ceng yang hendak melanjutkan perjalanan meninggalkan dusun. Sudah lima hari ia berada di dusun itu.
Seluruh penghuni dusun itu mengadakan perjamuan dengan gembira. Walaupun sederhana, namun meriah sekali karena semua orang mengagumi Ceng Ceng yang duduk di tempat kehormatan bersama kepala dusun.
Namun menjelang akhir perjamuan itu, tiba-tiba masuk dua orang wanita ke rumah kepala dusun itu dan semua orang memandang mereka dengan heran. Dua orang wanita itu berusia sekitar tigapuluh tahun, bertubuh ramping padat dan wajah mereka cukup manis namun dengan alis berkerut, mata tajam dan mulut cemberut, mereka mendatangkan kesan galak. Apalagi di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Pakaian mereka yang berwarna serba hijau juga ringkas seperti pakaian para wanita kang-ouw. Mereka tidak mempedulikan pandang mata para penduduk dusun yang sedang berpesta itu, dan langsung saja mereka menghampiri meja di mana kepala dusun sedang menjamu Ceng Ceng sebagai tamu kehormatan dusun itu.
Melihat datangnya dua orang wanita baju hijau yang menghampiri mejanya itu, Si Kepala Dusun terbelalak dan tampak marah.
"Hei! Siapakah Ji-wi (Kalian Berdua) dan mengapa kalian masuk begini saja tanpa aturan?" dia menegur.
Seorang di antara dua wanita baju hijau itu berkata ketus kepadanya.
"Diam kamu! Kami tidak ada urusan denganmu!" Kemudian ia memandang kepada Ceng Ceng dan bertanya.
"Apakah engkau yang disebut Yok Sianli?"
Dengan senyum sabar Ceng Ceng menjawab.
"Benar, orang-orang menyebut aku Yok Sianli walaupun aku tidaklah sehebat sebutan itu. Ada kepentingan apakah kalian mencari aku, dan siapakah kalian ini?"
"Mari engkau ikut kami. Kami membutuhkan pertolonganmu untuk mengobati Su-kouw (Bibi Guru) kami."
"Ah, tidak begitu caranya orang minta tolong! Kalian seolah memaksa dengan kasar!" Kepala dusun itu berseru marah melihat dua orang wanita itu tidak menghormati gadis penolong yang amat dihormati di dusun itu.
Melihat dua orang wanita baju hijau itu memandang dengan mata mencorong marah kepada Si Kepala Dusun, Ceng Ceng cepat bangkit berdiri dan berkata,
"Biarlah Paman. Mereka datang minta bantuanku, sudah semestinya aku pergi menolong orang yang sakit." Lalu kepada dua orang wanita baju hijau itu ia berkata,
"Harap kalian menunggu sebentar di luar, aku hendak berkemas membawa pakaian dan obat-obat."
Dua orang wanita baju hijau itu mengangguk lalu keluar dari ruangan itu dengan langkah gesit menunjukkan bahwa keduanya adalah ahli-ahli silat yang tangguh.
Ceng Ceng lalu memasuki rumah, mengambil pakaian dan obat dari dalam kamar, kemudian keluar dan berpamit kepada semua penduduk dusun itu. Beberapa orang wanita yang merasa telah diselamatkan angauta keluarganya oleh Ceng Ceng, menangis terharu. Seluruh penduduk merasa terharu dan kehilangan ditinggal gadis yang muncul sebagai dewi penolong itu.
Di luar rumah kepala dusun, Ceng Ceng sudah ditunggu dua orang wanita baju hijau. Seluruh penduduk mengikuti dan mengantar kepergian Ceng Ceng sampai di luar dusun mereka. Setelah keluar dari dusun, wanita bermata sipit yang tadi bicara, berkata kepada Ceng Ceng.
"Hayo cepat, Bibi Guru kami sakit keras, perlu cepat ditolong!" katanya dengan nada memerintah.
Mendengar ucapan itu dan melihat sikap mereka yang murung dan galak, Ceng Ceng mengerutkan alisnya. Mereka sudah jauh dari dusun dan tidak ada orang lain melihat mereka.
"Sobat, sikap kalian yang kasar dan galak ini tentu membuat lain orang yang hendak menolong menjadi enggan!"
Tiba-tiba mereka mencabut pedang dari punggung mereka dan Si Mata Sipit mengancam.
"Kalau engkau tidak mau menolong, pedang kami yang akan memaksamu!"
Ceng Ceng merasa penasaran juga, walaupun mulutnya masih tersenyum. Dua orang wanita ini sudah keterlaluan dan mereka agaknya perlu disadarkan. Maka ia lalu berkata,
"Hemm, begitukah? Andaikata aku menolak, lalu kalian mau berbuat apa?"
Dua orang wanita itu membuat gerakan dengan pedang mereka, agaknya hendak menodong dan mengancam. Akan tetapi tiba-tiba mereka terkejut karena begitu berkelebat, gadis baju putih itu lenyap dan yang tampak hanya bayangan putih berkelebat. Sebelum hilang rasa kaget mereka, tiba-tiba saja pedang di tangan mereka dirampas orang tanpa dapat mereka pertahankan karena lengan mereka yang memegang pedang tiba-tiba tertotok lumpuh! Mereka terkejut dan cepat memutar tubuh. Di sana mereka melihat Ceng Ceng berdiri memegang dua batang pedang yang dirampasnya dengan cepat tadi.
"Hemm, belum pernah aku melihat orang minta tolong dengan sikap seburuk kalian! Apakah aku berhadapan dengan dua orang anggauta gerombolan penjahat?" Setelah berkata demikian, kedua tangan Ceng Ceng yang memegang pedang rampasan itu bergerak.
"Sing-singg""!" Sepasang pedang itu meluncur seperti anak panah dan menancap di atas tanah, dekat sekali dengan kaki dua orang wanita baju hijau itu!
Wajah dua orang wanita itu menjadi pucat. Sekarang baru mereka menyadari bahwa yang diberi julukan Yok Sianli, selain ahli pengobatan, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian silat yang luar biasa.
Wanita bermata sipit itu lalu mengangkat kedua tangan depan dada, diikuti temannya dan ia berkata sendu.
"Sianli maafkan kami. Kami baru saja menerima musibah yang mengakibatkan dua orang rekan kami tewas dan Bibi Guru kami terluka parah. Karena penasaran dan sedih, maka kami lupa diri dan bersikap sangat tidak baik kepadamu. Harap maafkan kami berdua."
"Kalau kalian menyesali kesalahan sendiri, hal itu sudah cukup, tidak ada yang perlu dimaafkan. Akan tetapi kuharap kalian suka menceritakan dengan singkat siapa kalian dan apa yang telah terjadi dengan kalian." Ceng Ceng lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol dari permukaan tanah dan mempersilakan dua orang wanita itu duduk pula.
Mereka menghela napas panjang, mencabut pedang dan menyarungkannya kembali, lalu duduk berhadapan dengan Ceng Ceng.
"Kami adalah murid-murid Go-bi-pai. Ketua kami mengutus Bibi Guru Thian-li Niocu sebagai wakil Go-bi-pai untuk meninjau ke Thai-san di mana para tokoh persilatan katanya mencari harta karun Kerajaan Sung. Bibi Guru mengajak kami, tujuh orang muridnya. Kemarin dulu, ketika kami bertujuh diutus Su-kouw melakukan penyelidikan dengan berpencar, dua orang su-moi (adik seperguruan) kami yang termuda hilang. Kami dan Su-kouw mencari dan menemukan kedua orang murid Go-bi-pai itu telah tewas dan sebelum dibunuh agaknya mereka diperkosa orang. Kami marah sekali dan mencari pelakunya. Tak jauh dari situ kami menemukan orangnya yang ternyata seorang kakek iblis, datuk besar yang tinggi sekali ilmunya dan berkelakuan seperti iblis. Dia mengaku terang-terangan bahwa dia yang memperkosa lalu membunuh dua orang su-moi kami itu. Bibi Guru marah sekali. Kami lalu mengeroyoknya, akan tetapi Bibi Guru terluka sebatang panah kecil beracun sehingga kami terpaksa melarikan diri. Kemudian, dari penduduk dusun kami mendengar akan Yok Sianli yang ahli mengobati, maka kami mencarimu dan telah bersikap kasar karena kami bingung dan marah, juga sedih."
"Hemm, siapakah kakek datuk yang jahat itu?" tanya Ceng Ceng yang dapat menduga betapa lihainya datuk itu sehingga seorang tokoh Go-bi-pai seperti bibi guru wanita-wanita ini kalah dan terluka walaupun sudah mengeroyok kakek itu bersama lima orang keponakan muridnya.
"Kakek iblis sombong itu adalah Cui-beng Kui-ong yang berkata bahwa semua orang yang hendak mencari harta karun akan berhadapan dengan dia karena harta itu katanya milik Kerajaan Mongol dan dia mewakili kerajaan penjajah itu."
"Ah, kiranya Raja Iblis itu yang datang ke sini dan melakukan kekejian itu!"
"Ah, engkan sudah mengenalnya, Yok Sianli?"
Ceng Ceng mengangguk.
"Siapa tidak mengenal Raja Iblis Pengejar Roh, antek Mongol yang memusuhi semua patriot bangsa itu? Dia memang lihai sekali, akan tetapi kelihaiannya itu pasti akan musnah, dihancurkan kejahatannya sendiri. Mari kita ke bibi guru kalian, siapa tahu aku akan dapat menyembuhkannya, mudah-mudahan."
Mereka lalu memasuki sebuah hutan kecil di mana terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi. Tiga orang murid wanita Go-bi-pai menyambut dan Ceng Ceng lalu dibawa masuk kuil tua itu.
Thian-li Niocu berusia sekitar limapuluh tahun, berpakaian pertapa sederhana berwarna hijau. Ia rebah di atas dipan batu yang ditilami rumput dan daun kering, telentang dengan mata terpejam dan wajahnya agak membiru, napasnya terengah-engah. Melihat wajah wanita itu saja Ceng Ceng dapat menduga bahwa wanita itu keracunan. Tanpa diminta lagi ia segera duduk di tepi dipan batu itu dan memeriksa dengan teliti. Setelah mendapatkan luka di pundak kanan wanita itu, luka oleh anak panah kecil yang sudah dicabut, tahulah ia bahwa racun itu disebabkan oleh anak panah yang melukai pundak. Anak panah yang mengandung racun. Ia lalu dengan teliti memeriksa luka yang berwarna hitam menghijau di sekelilingnya. Memeriksa pula detak nadi untuk menemukan racun yang bagaimana sifatnya yang terkandung dalam tubuh melalui luka itu.
Ia minta bantuan seorang murid Go-bi-pai untuk mendudukkan Thian-li Niocu yang masih pingsan dan menahan kedua pundaknya dari depan. Kemudian Ceng Ceng duduk bersila di belakang tokoh Go-bi-pai itu dan menotok beberapa hiat-to (jalan darah) di tubuh bagian belakang lalu menempelkan kedua telapak tangannya di punggung Si Sakit dan mengerahkan sin-kang untuk membantunya mendorong keluar hawa beracun dari dalam tubuhnya. Perlahan-lahan muncul uap hitam mengepul dari tubuh Thian-li Niocu dan tak lama kemudian ia muntahkan darah menghitam yang mengenai baju murid yang duduk di depannya dan menahan kedua pundaknya.
Thian-li Niocu mengeluh dan Ceng Ceng membantunya rebah telentang kembali. Thian-li Niocu siuman dari pingsannya, namun tampak masih lemah.
Ceng Ceng mengambil obat pulung (pel) yang diberi nama Pai-tok-san (Pel Pendorong Racun) sebanyak dua butir lalu menyuruh murid Go-bi-pai meminumkan obat itu kepada Thian-li Niocu. Setelah minum obat itu, Thian-li Niocu tertidur. Namun kini pernapasannya sudah normal kembali dan warna kehijauan pada mukanya makin menghilang. Pada luka di pundak itu, Ceng Ceng memberi obat bubuk, ditaburkan pada luka lalu pundak itu dibalut.
Setelah mengobati Thian-li Niocu, Ceng Ceng keluar dari ruangan itu dan mencari tempat di sudut ruangan depan yang sudah dibersihkan oleh lima orang murid Go-bi-pai dan ia lalu duduk bersila di atas tumpukan jerami untuk memulihkan tenaganya karena tadi ia mengerahkan cukup banyak tenaga sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari tubuh Thian-li Niocu.
Setelah lewat beberapa lamanya, Ceng Ceng mendengar orang-orang menghampirinya. Ia membuka matanya dan melihat Thian-li Niocu diikuti lima orang muridnya memasuki ruangan depan itu dan menghampirinya. Ceng Ceng bangkit berdiri dan Thian-li Niocu memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dada. Ceng Ceng cepat membalas penghormatan itu.
"Nona, para muridku memberi tahu bahwa engkau adalah Yok Sianli yang telah menolongku dan menyembuhkan lukaku. Terimalah ucapan terima kasihku yang setulusnya."
"Ah, Bibi, harap jangan sungkan. Saya kira sudah semestinya kalau orang suka saling menolong, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kebetulan saja saya mempunyai kemampuan mengobatimu, maka hal itu merupakan kewajaran saja dan tidak perlu Bibi berterima kasih kepada saya."
"Siancai......! Menurut para murid, selain pandai ilmu pengobatan, engkau pun memiliki ilmu silat yang amat tinggi. Luar biasa sekali seorang gadis muda seperti engkau telah memiliki dua macam ilmu itu, dan mendengar ucapanmu tadi, engkau pun memiliki kebijaksanaan. Mari duduk, Nona, aku ingin sekali berbincang denganmu dan mengenalmu lebih baik lagi."
Mereka lalu duduk di atas lantai yang ditilami jerami kering. Ceng Ceng duduk berhadapan dengan Thian-li Niocu dan lima orang muridnya.
"Biarlah kami memperkenalkan diri lebih dulu, Nona. Aku bernama Thian-li Niocu, adik seperguruan Ketua Go-bi-pai yang menjadi seorang di antara pengurus Go-bi-pai. Aku ditunjuk oleh Ketua kami untuk mewakili Go-bi-pai meninjau Thai-san di mana kabarnya menjadi tempat pencuri harta karun Kerajaan Sung yang akan menjadi ajang pencarian dan perebutan di antara orang-orang kang-ouw. Go-bi-pai tidak menginginkan harta karun, hanya ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi. Akan tetapi kami mengalami bencana. Dua orang murid kami telah dihina dan dibunuh oleh seorang datuk jahat, yaitu Cui-beng Kui-ong. Aku berusaha membalas dendam, akan tetapi ternyata dia lihai bukan main sehingga kami tidak mampu menandinginya, bahkan aku terluka dan nyaris tewas. Nah, kami ingin sekali mengenalmu lebih baik, Yok Sianli. Siapakah namamu yang sesungguhnya, siapa pula gurumu dan mengapa engkau juga berada di Thai-san ini."
Karena orang-orang Go-bi-pai itu sudah memperkenalkan diri dengan sejujurnya, dan Ceng Ceng juga sudah mendengar bahwa perkumpulan Go-bi-pai adalah satu di antara partai-partai persilatan yang beraliran bersih, maka ia pun tidak ragu-ragu untuk memperkenalkan dirinya dan menceritakan keadaannya.
"Nama saya Liu Ceng Ceng, Bibi......"
"She (marga) Liu? Dari mana asalmu?" potong Thian-li Niocu.
"Saya berasal dari Nan-king di mana mendiang orang tuaku tinggal."
"Di Nan-king? Apa engkau masih ada hubungan keluarga dengan Liu Bok Eng?"
Ceng Ceng tersenyum.
"Liu Bok Eng adalah mendiang ayah saya, Bibi."
"Ahh""!" Thian-li Niocu berseru.
"Kiranya engkau adalah puteri pendekar patriot yang terkenal itu! Engkau tadi mengatakan bahwa ayah ibumu telah meninggal dunia?"
"Benar, Bibi, dan sesungguhnya, semua keributan di Thai-san ini adalah saya yang menyebabkannya. Mendiang Ayah meninggalkan sebuah peta kepada saya dengan pesan agar mencari harta karun pada peta itu."
"Akan tetapi kami mendengar kabar bahwa peta harta karun itu tadinya milik seorang wanita yang disebut Pek-eng Sianli yang bekerja sama dengan pemerintah Mongol untuk mencari harta pusaka itu!"
Ceng Ceng tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
"Sayalah yang diberi julukan itu, Bibi. Akan tetapi tidak benar kalau saya bekerja sama dengan pihak Pemerintah Mongol. Karena seorang adik angkat saya tertawan oleh seorang panglima Mongol bernama Kim Bayan, maka untuk menyelamatkan Adik angkat saya itu, terpaksa saya menyerahkan peta kepadanya dan terpaksa pula membantunya mencari harta karun sesuai dengan petunjuk peta itu. Setelah tempat harta karun itu ditemukan, yaitu di Bukit Sorga tak jauh dari kota raja yang kini menjadi tempat tinggal Cui-beng Kui-ong yang menjadi antek pemerintah penjajah."
"Hemm, pantas kalau datuk iblis itu menjadi pengkhianat bangsa!" kata Thian-li Niocu marah.
"Selanjutnya bagaimana, Nona Liu?"
"Di tempat itu kami menemukan tempat penyimpanan harta karun, akan tetapi peti tempat harta karun itu kosong dan di dalamnya hanya terdapat tulisan THAI SAN. Saya dan Adik angkat saya bersama seorang sahabat berhasil meloloskan diri dan demikianlah, berita itu tersiar dan semua orang ingin mencari pencuri dan merampas harta karun itu, Bibi."
"Hemm, pantas ketika baru tiba di sini, kami melihat rombongan pasukan Pemerintah Mongol! Sebetulnya, dari mana asal peta harta karun itu dan bagaimana mendiang Pendekar Liu Bok Eng bisa mendapatkannya?"
Ceng Ceng menghela napas panjang.
"Ketika Kerajaan Sung dikalahkan bangsa Mongol, seorang pembesar istana bernama Thai-kam (Orang Kebiri) Bong mencuri harta Kerajaan Sung. Harta yang besar itu lalu dia sembunyikan dan dia membuat sebuah peta untuk tempat penyimpanan harta karun itu. Karena diketahui bahwa Thai-kam Bong itu korup dan jahat, bahkan hendak menjadi pengkhianat, berhubungan dengan bangsa Mongol, maka Ayah saya yang ketika itu menjadi panglima, melakukan penggerebekan dan membunuh pembesar korup yang berkhianat itu. Ayah saya menemukan peta itu, akan tetapi dia tidak sempat mencari harta karun karena Kerajaan Sung diserang bangsa Mongol sampai akhirnya kalah dan jatuh. Setelah Kerajaan Sung jatuh, Ayah saya juga tidak mencari harta karun itu karena tidak mungkin dikembalikan kepada Kerajaan Sung yang sudah tiada. Ayah hanya menyimpannya saja. Akan tetapi agaknya rahasia itu diketahui pihak Kerajaan Mongol yang baru berkuasa, maka Ayah lalu dipaksa untuk menyerahkan peta itu kepada mereka. Ayah menolak dan sebelum ayah tewas, Ayah menitipkan peta itu kepada seorang sahabat dengan pesan agar diserahkan kepada saya. Nah, demikianlah, Bibi, maka peta itu terjatuh ke tangan Ayah lalu diberikan kepada saya dengan pesan agar saya mencari harta karun itu."
Thian-li Niocu mengangguk-angguk.
"Ah, kiranya begitu? Kalau begitu, engkau datang ke Thai-san ini tentu hendak mencari harta karun yang menjadi hak ayahmu dan sudah diwariskan kepadamu?"
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, Bibi. Akan tetapi bukan untuk mendapatkannya sebagai warisan. Mendiang orang tuaku tidak membutuhkan harta karun itu, dan saya juga sama sekali tidak menginginkannya untuk diri saya sendiri."
"Ah, begitukah? Kalau begitu, seandainya engkau berhasil mendapatkan harta karun itu, lalu untuk apa dan untuk siapa?"
"Saya akan melaksanakan apa yang dipesan mendiang Ayah saya yaitu apabila saya berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada yang berhak."
"Yang berhak? Siapakah yang berhak, Nona Liu? Harta itu milik Kerajaan Sung yang kini telah musnah. Lalu kepada siapa harta karun itu akan engkau berikan?"
"Menurut pesan Ayah saya, harta karun itu harus diserahkan kepada para pejuang rakyat yang berjuang membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mongol. Maka seandainya saja berhasil mendapatkan harta karun itu, pasti akan saya serahkan kepada para pejuang yang dimaksudkan itu."
"Siancai......! Bagus sekali! Sungguh mengagumkan! Nona Liu, jangan khawatir, Go-bi-pai pasti berdiri di belakangmu dan kami akan membantumu sekuat tenaga karena kami juga akan merasa gembira sekali kalau dapat membantu perjuangan rakyat untuk merobohkan penjajah Mongol," kata Thian-li Niocu dengan gembira sekali.
"Bibi, terima kasih banyak. Hati saya sudah merasa senang kalau ada pihak yang menyetujui pendirian mendiang Ayah."
"Kalau menurut pendapatmu, siapakah kiranya yang telah mencuri harta karun itu, Nona Liu?"
"Masih sulit untuk menduga siapa yang melakukan pencurian itu, Bibi. Beberapa hari yang lalu, saya datang ke Thai-san ini bersama Adik angkat saya dan seorang sahabat. Kami pergi mengunjungi Ang-tung Kai-pang. Di sana muncul Hek Pek Mo-ko dan Adik angkat saya terlibat perkelahian dengan Hek Pek Mo-ko yang sikapnya jahat dan kurang ajar. Saya membantu Adik angkat saya, melawan Hek Pek Mo-ko. Akhirnya Hek Pek Mo-ko melarikan diri......"
"Siancai ! Engkau dan Adik angkatmu dapat mengalahkan Hek Pek Mo-ko yang berilmu tinggi itu? Sungguh mengagumkan dan sukar dipercaya melihat engkau masih begini muda, Nona Liu. Kemudian bagaimana?"
"Setelah mereka berdua melarikan diri, adik saya Tan Li Hong melakukan pengejaran. Adik saya itu memang berwatak keras. Kamudian sahabat kami menyusulnya karena khawatir kalau-kalau adik saya terjebak musuh. Setelah menanti lama dan mereka berdua belum juga pulang, saya lalu mencari mereka. Akan tetapi usaha saya gagal. Saya tidak dapat menemukan mereka biarpun saya telah mencari selama beberapa hari. Akhirnya saya bertemu dengan dua orang Cici (Kakak Perempuan) ini dan diajak ke sini untuk mengobati Bibi. Oleh karena itu saya belum dapat melakukan penyelidikan kepada golongan lain. Akan tetapi menurut keyakinan saya, golongan yang sudah saya datangi, yaitu Ang-tung Kai-pang, pasti bukan pelaku pencurian harta karun itu."
"Bagaimana kalau Hek Pek Mo-ko? Kami mendengar bahwa Hek Pek Mo-ko merupakan datuk-datuk yang jahat dan kejam. Mungkinkah mereka yang menjadi pencurinya?"
"Sukar dipastikan, Bibi. Hek Pek Mo-ko sendiri menuduh Ang-tung Kai-pang yang menjadi pencurinya. Ada dua kemungkinan memang. Hek Pek Mo-ko benar-benar bukan pencuri harta karun atau merekalah pencurinya dan sengaja menuduh Ang-tung Kai-pang untuk mengalihkan kecurigaan para pencari harta karun yang lain."
Thian-li Niocu mengangguk-angguk.
"Nona Liu, kami kira keadaan di daerah Thai-san ini sekarang amatlah berbahaya. Ini sudah kami rasakan sendiri. Kami melakukan penyelidikan dengan berpencar dan akibatnya, dua orang murid kami tewas, entah masih berapa banyak lagi orang jahat yang berilmu tinggi berkeliaran di sini. Maka, sebaiknya kita bersama melakukan penyelidikan agar kita lebih kuat menghadapi bahaya."
"Su-kouw (Bibi Guru), kita harus membalas dendam kepada jahanam Cui-beng Kui-ong atas penghinaan dan pembunuhan yang dia lakukan terhadap dua orang Sumoi (Adik Seperguruan)!" kata murid Go-bi-pai yang bermata sipit dengan suara mengandung kesedihan dan kemarahan.
Thian-li Niocu menghela napas panjang.
"Aah, kita sudah pernah mengeroyoknya namun kita bukan tandingannya."
"Kita minta bantuan Nona Liu, tentu akan dapat mengalahkannya!"
"Bibi, saya sendiri pernah bertemu dan bertanding melawan datuk itu. Saya kira saya sendiri tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi perlukah melakukan balas dendam? Sebaiknya Bibi kelak melaporkan hal itu kepada Ketua Go-bi-pai agar diambil keputusan. Dendam di hati merupakan racun yang berbahaya, membuat orang terkadang menjadi kejam dan bahkan nekat. Membiarkan dendam sama dengan membiarkan api berkobar dalam hati, kalau tidak dapat membalas dendam kematian menjadi kecewa dan penasaran, sebaliknya kalau mampu membalas dendam kematian akan menghadapi dendam pula dari pihak lawan. Mengapa tidak membiarkan saja dendam itu lewat tanpa mempengaruhi kita?"
"Ah, Nona Liu!" Murid Go-bi-pai yang bermata sipit itu berseru dengan lantang, suaranya mengandung penasaran.
"Karena engkau tidak merasakan kehilangan adik seperguruan, tentu saja engkau dapat berkata begitu. Akan tetapi kami yang kehilangan, bagaimana mungkin tidak menaruh dendam?"
Thian-li Niocu hendak menegur keponakan seperguruannya, akan tetapi Ceng Ceng yang tersenyum sudah mendahului menjawab dengan bertanya kepada Si Mata Sipit.
"Enci yang baik, dapatkah engkau menjelaskan kepadaku, mana yang lebih berat antara adik seperguruan dan ayah ibu?"
Tanpa berpikir lagi Si Mata Sipit menjawab.
"Tentu saja ayah ibu yang lebih berat. Ayah ibu merupakan orang-orang pertama yang paling dekat dengan kita!"
"Nah, kalau begitu ketahuilah, Enci yang baik, bahwa Ayah dan Ibuku juga tewas dibunuh orang. Yang membunuhnya adalah Cui-beng Kui-ong pula, bersama muridnya, yaitu Panglima Mongol Kim Bayan."
"Siancai!" Thian-li Niocu berseru kaget.
"Jadi Ayah Ibumu juga terbunuh oleh datuk sesat itu? Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas dendam kematian mereka, Nona Liu?"
"Seperti sudah saya katakan tadi, Bibi. Dendam itu racun yang amat berbahaya. Saya tidak mau dibakar dendam yang akan meracuni dan merusak diri sendiri."
"Tapi mengapa begitu?" Murid Go-bi-pai bermata sipit itu berseru, penuh rasa heran dan penasaran.
"Apakah orang sejahat datuk Iblis itu dibiarkan saja merajalela dengan kejahatannya? Bukankah sebagai pendekar silat kita berkewajiban untuk menentang kejahatan?"
Dengan sikap tenang Ceng Ceng menjawab.
"Sesungguhnya, bukan hanya ahli silat saja yang berkewajiban untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Setiap manusia berkewajiban untuk menentang kejahatan dengan hidup yang baik dan benar karena hanya dengan demikianlah kehidupan di dunia ini menjadi tenteram dan sejahtera. Berlandaskan kasih dalam hati, semua orang saling bantu, saling tolong dan tidak pernah ada kebencian dan kekerasan. Saya sendiri setiap saat siap untuk menentang kejahatan, akan tetapi harap diingat, yang ditentang itu adalah kejahatannya, bukan manusianya. Kalau orang-orang yang sesat hidupnya seperti misalnya Cui-beng Kui-ong itu melakukan kejahatan, sudah pasti saya menentangnya. Akan tetapi saya menentangnya karena dia melakukan kejahatan dan berbahaya bagi keselamatan orang lain, bukan saya tentang berdasarkan dendam pribadi."
"Siancai......! Aku semakin heran dan kagum kepadamu, Nona Liu. Bahkan di antara sekian banyaknya pendeta dan pertapa, tidak banyak yang tidak lagi dikuasai ke- akuannya yang menimbulkan kebencian dan dendam. Kami semakin yakin bahwa engkaulah orangnya yang pantas mendapatkan harta karun itu untuk melaksanakan pesan ayahmu. Kami akan membantumu sekuat kemampuan kami, Nona Liu."
"Terima kasih, Bibi."
Thian-li Niocu lalu berkata kepada lima orang keponakan muridnya.
"Kalian sudah mendengar pendapat Nona Liu. Semua ucapannya tadi benar sekali, maka kalian sepatutnya mencontohnya. Kita tentu akan menentang orang-orang sesat seperti Cui-beng Kui-ong, akan tetapi kita menentang kejahatannya, bukan menentang orangnya untuk membalas dendam. Sekarang yang terpenting kita membantu Nona Liu untuk mendapatkan kembali harta karun, dan jangan membiarkan dendam membakar hati kalian."
Setelah Thian-li Niocu pulih kembali kesehatannya, ia bersama lima orang muridnya menemani Ceng Ceng melanjutkan penyelidikannya di daerah Thai-san itu. Atas permintaan Ceng Ceng, mereka menuju ke bagian Utara pegunungan itu untuk menyelidiki Hek Pek Mo-ko karena selain sepasang
(Lanjut ke Jilid 10)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 10
iblis ini dianggap mencurigakan, juga Ceng Ceng hendak mencari Yauw Tek dan Tan Li Hong yang tempo hari melakukan pengejaran terhadap sepasang iblis itu.
Dalam perjalanan mereka mencari pencuri harta karun, Pouw Cun Giok, The Kui Lan, dan The Kui Lin di sepanjang perjalanan mendengar bahwa banyak rombongan maupun perorangan dari dunia kang-ouw berdatangan di Pegunungan Thai-san. Bahkan di sana-sini terjadi bentrokan di antara mereka.
"Hemm, perebutan dan persaingan sudah dimulai," kata Cun Giok.
"Mereka itu orang-orang aneh. Harta karun belum juga ditentukan mengapa mereka sudah saling serang?" kata Kui Lin.
"Sejak dulu kita sudah mendengar bahwa orang-orang kang-ouw memang aneh dan mereka suka sekali berkelahi. Mungkin dalam kesempatan mencari harta karun ini mereka pergunakan untuk mengukur kelihaian masing-masing," kata Kui Lan.
"Memang demikianlah. Orang-orang seperti mereka itu menganggap bahwa mempelajari ilmu silat selama bertahun-tahun hanya untuk berkelahi, memperlihatkan kepandaian dan mencari kemenangan. Karena itu, orang-orang kang-ouw itu cenderung tersesat dan mengutamakan kekerasan," kata Cun Giok.
"Huh, tolol mereka semua itu. Seperti segerombolan anjing memperebutkan tulang dan asyik berkelahi sehingga tidak lagi mempedulikan tulang yang mereka perebutkan. Akhirnya, mereka itu babak belur akan tetapi tulangnya sudah dibawa pergi pihak lain!" kata pula Kui Lin.
Cun Giok tertawa.
"Ha-ha, mudah-mudahan saja kita yang menjadi pihak lain itu!"
Makin naik ke lereng lebih tinggi, mereka semakin banyak mendengar akan keributan-keributan yang terjadi di daerah Pegunungan Thai-san itu.
"Lan-moi dan Lin-moi," kata Cun Giok.
"Agaknya pencari harta karun semakin banyak dan ramai. Karena itu, kukira lebih baik kalau untuk sementara kita mencari dengan terpencar. Aku mencari ke arah sana dan kalian berdua ke arah yang berlawanan. Sebulan kemudian kita bertemu kembali di perkampungan Thai-san-pai. Bagaimana pendapat kalian?"
Kui Lin mengerutkan alisnya. Rasanya berat untuk berpisah dari pemuda yang dikaguminya itu. Akan tetapi Kui Lan segera berkata.
"Pendapat Giok-ko benar. Dengan berpencar kita dapat lebih banyak mengetahui keadaan dan siapa tahu, Giok-ko atau kami berdua dapat memperoleh keterangan yang jelas tentang pencuri harta karun."
Karena encinya sudah berkata demikian, Kui Lin tidak berani membantah, juga tentu saja ia malu untuk mengatakan bahwa dia tidak suka berpisah dari Cun Giok!
Demikianlah, tiga orang itu berpisah menjadi dua, Cun Giok melanjutkan penyelidikannya seorang diri, sedangkan Kui Lan dan Kui Lin mencari ke arah lain. Sebetulnya bukan hanya alasan yang dikemukakan kepada dua orang gadis kembar itu yang membuat Cun Giok mengambil kebijaksanaan untuk berpencar, melainkan juga karena dia mengkhawatirkan keadaan Li Hong dan Ceng Ceng yang belum juga dapat dijumpainya.
Setelah mereka berdua berpisah dari Cun Giok dan berjalan cukup jauh, Kui Lin mengomel kepada encinya.
"Lan-ci, kenapa engkau setuju berpisah dari Giok-ko? Tempat ini amat berbahaya, kalau tidak ada Giok-ko, apakah kita berdua tidak akan terancam bahaya?"
"Ih, Lin-moi, benarkah ini engkau yang bicara? Sejak dulu aku tahu akan keberanianmu menempuh bahaya apa pun. Akan tetapi mengapa sekarang engkau begitu penakut? Belum juga muncul bahaya engkau sudah takut lebih dulu."
"Akan tetapi, Lan-ci, perjalanan kita sekali ini menempuh bahaya yang besar. Engkau merasakan sendiri. Baru bertemu Huo Lo-sian seorang saja, kita berdua tidak mampu menandinginya dan kalau tidak ada Giok-ko, tentu kita sudah celaka di tangan datuk itu."
"Sudahlah, Lin-moi, kita harus lebih percaya kepada diri sendiri. Engkau telah bersikap lancang ketika berhadapan dengan Huo Lo-sian sehingga hampir saja kita celaka kalau tidak dibantu oleh Giok-ko. Lain kali, kita harus lebih berhati-hati, jangan mudah naik darah dan mencari permusuhan dengan siapa pun. Keperluan kita ke sini adalah untuk membantu Giok-ko mencari harta karun itu, bukan mencari permusuhan."
Kui Lin cemberut.
"Enci Lan, datuk iblis macam Huo Lo-sian itu sudah sepatutnya kita musuhi!"
"Bukan kita musuhi, Lin-moi. Kalau dia menyerang kita, terpaksa kita harus melawan mati-matian. Akan tetapi kalau tidak, untuk apa kita mencari penyakit? Pendeknya, selanjutnya aku melarang engkau turun tangan menggunakan kekerasan menyerang siapa saja sebelum aku beri tanda. Ingat pesan Ibu, dalam perjalanan ini engkau sudah berjanji untuk menaati kata-kataku!"
Kui Lin makin bersungut-sungut akan tetapi tidak berani membantah lagi.
"Baiklah, Enciku yang baik, mulai sekarang aku akan menaati semua perintahmu." Ia merajuk dan sikapnya seolah menghadap seorang puteri raja yang harus dipatuhi dan dihormati!
Mau tidak mau Kui Lan tersenyum geli melihat sikap adiknya yang sinis itu.
"Adikku yang baik, semua yang kupikirkan, katakan atau perbuat semata-mata untuk kebaikan dan keselamatan kita berdua. Kita sekarang hanya berdua, apakah engkau mengajak aku bertengkar? Kalau engkau tidak merasa puas, baiklah mulai sekarang engkau yang memimpin dan aku akan memaati semua petunjukmu!"
"Ah, jangan begitu, Lan-ci. Sekarang engkau yang merajuk!" Kui Lin setengah cemberut setengah tertawa sehingga Kui Lan tertawa. Mereka lalu berangkulan.
"Lihat, Lin-moi, matahari sudah condong ke barat. Kita harus cepat mencari tempat yang baik untuk melewatkan malam yang akan segera tiba." Mereka kini berlari cepat dan ketika dari atas sebuah bukit mereka melihat rumah-rumah pedusunan bergerombol di lereng bawah, mereka cepat menuruni bukit menuju ke dusun kecil itu.
Dusun di lereng itu hanya kecil saja, dihuni tidak lebih dari limapuluh kepala keluarga. Melihat keadaan rumah-rumah di situ dapat diduga bahwa penghuni dusun itu berkeadaan cukup baik. Rumah mereka kokoh dan jalan di dusun itu pun rapi dan terawat bersih. Akan tetapi ketika dua orang gadis kembar itu memasuki dusun, mereka terheran-heran. Matahari belum terbenam dan cuaca masih terang, apalagi waktu itu langit pun bersih tidak ada mendung. Akan tetapi mengapa semua pintu dan jendela rumah itu tertutup semua dan tidak tampak seorang pun manusia di luar rumah?
"Heran, apakah dusun ini tidak ada penghuninya?" Kui Lin mengomel.
"Sstt, dengar. Kukira di dalam semua rumah itu ada penghuninya, hanya entah mengapa masih terang begini mereka sudah menutup pintu dan jendela. Agaknya tidak berani keluar," kata Kui Lan.
Kui Lin diam dan memperhatikan dengan pendengarannya. Ia menangkap juga gerakan dari dalam rumah-rumah itu. Mereka berjalan sampai ke tengah dusun dan tetap saja tidak melihat seorang pun di luar rumah.
Kui Lin merasa penasaran dan ia melangkah ke depan sebuah rumah hendak berteriak memanggil, namun Kui Lan mencegahnya.
"Jangan ganggu mereka, Lin-moi. Melihat sikap mereka, agaknya mereka ketakutan. Pasti ada sesuatu yang buruk terjadi di dusun ini."
Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis lirih sekali. Hanya isak yang ditahan-tahan, tangis seorang wanita yang agaknya menutupi mulutnya dengan kain agar suara tangisnya tidak terdengar orang. Lalu ada suara laki-laki berbisik lirih menyuruh wanita itu menghentikan tangisnya.
Akan tetapi agaknya yang menangis itu tidak dapat menahan diri sehingga isaknya menerobos keluar dari tangan yang menutupinya. Kemudian, terdengar jeritannya tertahan.
"Anakku...... aku mau mencari anakku......" Suara kaki berlari dan pintu sebuah rumah terdekat terbuka. Tampak seorang wanita muda berlari keluar dengan sanggul rambut terlepas.
"Cun-nio...... kembalilah""!" Seorang laki-laki berlari mengejar.
Wanita itu terhuyung dan ketika tiba di depan Kui Lan dan Kui Lin, ia tersandung dan jatuh di depan kaki Kui Lan.
Kui Lan cepat menghampiri dan membantunya bangkit berdiri.
Pada saat itu, laki-laki yang tadi mengejar sudah sampai di situ.
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 24 Naga Beracun Eps 35 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 24