Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 8


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 8




   Mereka adalah tokoh-tokoh dari dunia putih, akan tetapi karena mereka semua datang kedaerah itu sebagai pengintai dan tidak saling berhubungan, maka merekapun saling menghindar, tidak ingin berjumpa karena kalau mereka berkumpul, berarti mereka tidak dapat bergerak secara sembunyi-sembunyi lagi. Kakek itu makin tertarik dan diapun melangkah keluar dari hutan kecil itu, diikuti oleh Tiong Li, Pek Lian dan teman-teman mereka. Dan ternyata banyak bermunculan rombongan-rombongan dan tokoh-tokoh persilatan dari kaum bersih atau dari mereka yang tidak memasukkan dirinya kedalam kaum bersih maupun kaum sesat, yang ingin berdiri bebas. Melihat betapa banyak orang itu baru mereka ketahui sekarang kehadirannya, diam-diam Ho Pek Lian merasa kagum dan dapat menduga bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian hebat.

   "Siancai...!" Kakek ahli ginkang yang sakti itu berkata setelah melihat betapa banyaknya para pendekar bermunculan setelah pertemuan para tokoh sesat itu bubar,

   "Agaknya kemunculan keturunan Raja Kelelawar benar-benar membuat dunia persilatan menjadi geger! Bukankah demikian, sobat yang berada dibalik semak-semak itu?" Kalimat terakhir ini ditujukan kearah semak-semak yang berada disebelah kiri, beberapa meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. Tentu saja tujuh orang pendekar yang mendengar kalimat ini menjadi terheran-heran kemudian terkejut ketika tiba-tiba melihat tiga orang hwesio muncul dari balik semak-semak itu sambil (mengangkat kedua tangan memberi hormat dengan wajah mereka yang alim dan ramah.

   "Omitohud..., lo-sicu sungguh bermata tajam bukan main!" seorang diantara mereka memuji. Melihat seorang diantara tiga hwesio berusia kurang lebih enam puluh tahun ini, yang dahinya terhias bekas luka memanjang, Pek-bin-houw Liem Tat cepat maju memberi hormat.

   "Ah, kiranya Ta Beng losuhu yang berada disini. Tidak kami kira bahwa para tokoh Siauw-lim-pai juga hadir ditempat ini! Terimalah hormat saya, losuhu." Hwesio itu sejenak memandang wajah Pek-bin-houw yang putih, mengingat-ingat, lalu menepuk dahinya dan balas menjura.

   "Omitohud... bukankah Si Harimau Putih yang berada disini? Bagaimana kabarnya, sicu? Pinceng mendengar berita bahwa sicu dan kawan-kawan mengadakan gerakan di lembah Yang-ce sekarang, meninggalkan Huang-ho. Benarkah?" Pek-bin-houw Liem Tat lalu memperkenalkan hwesio itu kepada teman-temannya. Hwesio itu berjuluk Ta Beng Hwesio, seorang tokoh Siauw-lim-pai, merupakan tokoh kedua dalam urutan tingkat diSiauw-lim-pai, seorang hwesio yang berilmu tinggi.

   "Sicu tentu mencari para pendekar Lembah Yang-ce, bukan?" Tiba-tiba hwesio itu bertanya.

   "Karena itulah pinceng bertiga sengaja menanti disini." Lalu Ta Beng Hwesio menceritakan bahwa dia dan dua orang sutenya itulah yang membebaskan totokan para anak-buah Lembah Yang-ce itu.

   "Pinceng melihat munculnya kakek dan nenek iblis dari Ban-kui-to, maka pinceng merasa khawatir melihat mereka itu dalam keadaan tertotok. Kami membebaskan mereka dan menyarankan agar mereka menjauhi tempat itu dan menanti cuwi (anda sekalian) sebagai pimpinan mereka didalam dusun disebelah utara sana." Mendengar keterangan ini, bukan main girangnya hati Kwee Tiong Li dan tiga orang pembantunya. Cepat dia maju dan memberi hormat.

   "Sungguh besar budi pertolongan losuhu terhadap kawan-kawan kami. Saya menghaturkan banyak terimakasih." Ketika hwesio itu mendengar bahwa pemuda yang perkasa ini adalah ketua muda dari Lembah Yang-ce, murid dari pendekar Chu Siang Yu, wajahnya berseri girang.

   "Ah, kiranya sicu adalah murid Chu-taihiap. Sudah lama sekali pinceng tidak berjumpa dengan dia. Bagaimana kabarnya?"

   "Suhu dalam keadaan baik saja, akan tetapi perkumpulan kami di lembah Yang-ce mengalami pukulan hebat dari pasukan pemerintah." Tiga orang hwesio itu mengangguk-angguk karena mereka sudah mendengar akan berita buruk itu dari para anak-buah Lembah Yang-ce yang mereka bebaskan dari totokan. Mereka lalu berpisah dan kakek sakti bersama tujuh orang pendekar itu menuju kedusun yang ditunjuk oleh para hwesio Siauw-lim-pai.

   "Maafkan pertanyaan saya, Lo-cianpwe. Akan tetapi setelah menerima budi pertolongan Lo-cianpwe, kami ingin sekali mengenal nama Lo-cianpwe yang mulia. Sudikah Lo-cianpwe memberitahukan kami?" Pertanyaan yang diajukan oleh Pek Lian ini melegakan hati enam orang lainnya karena mereka semuapun ingin sekali mendengar lebih banyak dari kakek sakti ini, hanya karena kakek itu lebih sering berdiam diri seperti orang melamun, mereka merasa ragu-ragu dan tidak enak hati untuk bertanya, hanya mengharapkan kakek itu akan memberitahukan sendiri. Akan tetapi, kini Pek Lian yang mungkin sebagai seorang dara yang lincah lebih berani dalam hal bertanya seperti itu, telah mewakili keinginan hati mereka, maka kini mereka semua memandang kepada kakek sakti itu dengan penuh perhatian. Kakek itu menarik napas panjang.

   "Hemm, sudah puluhan tahun aku ingin menyembunyikan diri agar namaku tidak disebut-sebut orang. Siapa tahu, gara-gara Raja kelelawar kedua tanganku menjadi kotor, berlepotan dengan urusan dunia. Datuk-datuk sesat, seperti setan-setan yang keluar dari neraka, telah bermunculan. Biarlah aku menceritakan keadaanku, apa lagi karena kalian telah berkenalan dan menjadi sahabat dari keluarga Bu."

   Kakek itu mulai bercerita sambil berjalan. Tujuh orang pendekar mendengarkan dengan penuh perhatian. Gurunya, mendiang Bu-Eng Sin-yok-ong atau Raja Tabib Sakti Tanpa Bayangan mempunyai tiga orang murid. Murid pertama adalah ayah dari Bu Kek Siang dan murid pertama ini mewarisi ilmu pengobatan dan tenaga sinkang yang amat kuat sehingga bagaimanapun juga, dengan kekuatan sinkang itu, dia dapat dikatakan paling unggul diantara tiga orang murid, sesuai dengan kedudukannya sebagai murid tertua. Murid kedua adalah seorang yang berasal dari selatan bernama Ouwyang Kwan Ek, yang mewarisi ilmu pukulan sehingga murid ini memiliki ilmu silat yang amat hebat gerakan-gerakannya.

   Sedangkan orang ketiga yang menjadi murid termuda dan yang mewarisi ilmu ginkang adalah kakek bertongkat itu yang bernama Kam Song Ki. Semenjak matinya Raja Tabib Sakti, tiga orang murid ini terpencar dan saling berpisah. Ayah Bu Kek Siang yang bernama Bu Cian itu tinggal diutara. Ouwyang Kwan Ek yang berasal dari selatan itu kembali kedunia selatan dan tidak pernah terdengar beritanya, sedangkan Kam Song Ki yang memang hidup sendirian saja dan suka merantau, tidak diketahui dimana tempat tinggalnya yang tetap. Tentu saja disamping mewarisi keahlian-keahlian itu, masing-masing juga mewarisi ilmu silat yang tinggi, ilmu pengobatan dan ilmu ginkang serta tenaga sinkang. Hanya saja, masing-masing telah mewarisi keistimewaan yang diberikan oleh guru mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing pula.

   "Aku suka merantau, dan aku tidak suka berurusan dengan dunia, seperti juga halnya dengan twa-suheng almarhum. Bahkan ji-suhengpun biasanya tidak pernah mau merisaukan urusan dunia sesuai dengan pesan suhu yang tidak ingin murid-muridnya mengandalkan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan bermusuhan dengan orang lain. Maka, sungguh mengherankan sekali kalau kini ji-suheng selain masih hidup, malah juga mendirikan perkumpulan Liong-i-pang (Perkumpulan Jubah Naga) itu, bahkan telah membunuh murid keponakannya sendiri hanya untuk memperebutkan kitab pusaka."

   Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan. Mendengar penuturan singkat itu, tujuh orang pendekar ini menjadi kagum. Kakek ini murid seorang yang kesaktiannya terkenal seperti dewa, dan memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur tingginya. Namun sikapnya demikian sederhana, tidak ingin namanya dikenal orang, bahkan tidak ingin mempergunakan kepandaiannya untuk bermusuhan dengan orang lain. Dengan kagum Tiong Li lalu memberi hormat.

   "Penuturan Kam-Lo-cianpwe membuka mata kami bahwa makin banyak gandumnya, makin menunduklah tangkainya, makin dalam airnya, makin tenang dan diam. Akan tetapi, kalau para Lo-cianpwe seperti Kam-Lo-cianpwe tidak mempergunakan kepandaian untuk membendung datuk-datuk hitam yang berkepandaian tinggi, tentu akan lebih parah dan celakalah kehidupan rakyat jelata, dilanda oleh kejahatan mereka."

   "Itulah yang menyebalkan!"' kata Kam Song Ki sambil menggurat-guratkan ujung tongkatnya diatas tanah didepannya.

   "Kemunculan iblis-iblis seperti Raja Kelelawar itu mau tidak mau menyeret pula orang-orang tua yang sudah mendekati lubang kubur seperti aku ini untuk ikut pula meramaikan dunia dengan pertentangan-pertentangan antara manusia!"

   Setelah berkata demikian, kakek itu mempercepat langkahnya sehingga semua orang bergegas mengejarnya dan sikap ini seperti menjadi tanda bahwa dia tidak ingin bicara lagi tentang dirinya. Ketika akhirnya mereka tiba didusun itu, hari telah sore dan keadaan dusun yang agak sunyi itu membuat mereka merasa heran. Bahkan beberapa orang kanak-kanak yang tadinya bermain-main dipekarangan rumah, ketika melihat munculnya delapan orang ini, dengan wajah ketakutan mereka melarikan diri memasuki rumah mereka, rumah pondok miskin.

   Beberapa orang dewasa yang kebetulan berada diluar rumah juga cepat-cepat memasuki rumah dan menutupkan daun pintu rumah mereka. Jelaslah bahwa penduduk didusun itu dicekam rasa ketakutan melihat orang asing memasuki dusun mereka. Hal ini hanya berarti bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat. Mereka terus memasuki dusun itu dan ketika mereka tiba ditengah dusun, tiba-tiba saja bermunculan puluhan orang penduduk dusun itu, kesemuanya pria dan mereka membawa alat-alat senjata seadanya, mengurung dengan sikap mengancam. Melihat ini, kakek itu tenang-tenang saja, akan tetapi Kwee Tiong Li segera mengangkat tangan keatas dan berkata dengan suara berwibawa,

   "Saudara-saudara hendaknya jangan salah menyangka orang! Kami bukanlah orang-orang jahat dan kami datang untuk mencari teman-teman kami yang kemarin dulu datang ketempat ini. Jumlah mereka kurang lebih ada lima puluh orang..." Dari para pengepung itu majulah seorang laki-laki berusia lebih dari empat puluh tahun. Suaranya agak parau ketika dia berkata,

   "Mereka semua telah mati! Semua telah mati!" Tentu saja delapan orang itu terkejut, terutama sekali Tiong Li.

   "Mati? Kenapa? Siapa membunuh mereka dan mengapa?"

   "Malam tadi disini terjadi pertempuran hebat, antara pasukan pemerintah yang menyergap orang-orang yang agaknya bersembunyi didusun kami. Kami semua ketakutan, takut terbawa-bawa dan memang ada belasan orang muda didusun kami yang ikut pula terbunuh karena disangka menyembunyikan mereka. Kami semua bersembunyi ketakutan. Akhirnya, semua orang itu tewas, juga puluhan orang perajurit tewas. Sejak pagi tadi kami penduduk dusun bertugas untuk mengubur semua mayat itu. Mengerikan! Lebih dari seratus mayat terpaksa dikubur dalam beberapa lubang besar saja, diluar dusun."
(Lanjut ke Jilid 06)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 06
Mendengar penuturan ini, pucatlah wajah Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo. Juga Pek Lian dan dua orang gurunya terkejut sekali. Bagaimanapun juga, yang terbunuh semua sampai terbasmi habis itu adalah para anggauta pemberontak Lembah Yang-ce, jadi masih rekan-rekan mereka sendiri. Pimpinan mereka, Liu Pang, adalah juga pemberontak Lembah Yang-ce yang untuk sementara ini membangun pusat perkumpulan di puncak Awan Biru.

   "Siapa lagi kalau bukan Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya itu yang memimpin penyerbuan?" kata Pek Lian dengan gemas. Kwee Tiong Li mengepal tinjunya, sepasang matanya merah dan mukanya pucat.

   "Habis sudah kawan-kawanku...! Dengan susah payah guruku membimbing mereka, melatih mereka, dan akhirnya, mereka hancur dibawah pimpinanku! Ahhh" Pemuda itu menutupi muka dengan kedua tangannya, merasa berduka dan menyesal bukan main. Melihat keadaan ketua mereka ini, Yang-ce Sam-lo menghibur.

   "Harap kokcu jangan terlalu menyalahkan dan menyesalkan diri sendiri. Semua ini adalah resiko perjuangan menentang kelaliman dan kematian saudara-saudara kita terjadi diluar kemampuan kita untuk mencegahnya," kata seorang diantara mereka.

   "Seandainya kita berada disini sekalipun, kalau dikepung oleh pasukan besar yang dipimpin jenderal itu, apa yang akan dapat kita lakukan untuk menyelamatkan kita semua? Memang, lebih dari lima ratus orang anggauta kita gugur sebagai pejuang-pejuang gagah perkasa yang menentang ketidak-adilan, akan tetapi pihak tentara pemerintah juga banyak yang tewas ditangan kita. Setidaknya, setiap anggauta kita tentu sedikitnya merobohkan dua orang, sehingga kalau dihitung-hitung, kita masih tidak rugi." Akan tetapi hiburan-hiburan tiga orang pembantunya itu tidak melenyapkan kedukaan hati Kwee Tiong Li yang kehilangan semua anak-buahnya. Dia memukulkan tinju kanannya keatas telapak tangan kirinya dengan keras sehingga terdengar suara nyaring.

   "Bagaimanapun juga aku tidak mau berhenti sampai disini saja! Aku harus menuntut balas. Harap Sam-lo kembali kelembah dan menyampaikan laporan kepada suhu. Aku sendiri akan mencari jalan untuk membalas dendam ini!" Tiga orang pembantunya hendak membantah karena perbuatan itu tentu saja amat berbahaya bagi keselamatan pemuda itu.

   "Sam-lo, ini adalah keputusanku sebagai ketua lembah!" katanya dengan tegas dan tiga orang itu tentu saja tidak dapat membantah lagi. Ho Pek Lian melihat betapa pemuda yang biasanya bersikap lembut itu kini nampak keras, bersemangat dan penuh wibawa sehingga hatinya merasa tergetar. Pemuda ini merupakan seorang jantan yang gagah perkasa, membayangkan kepribadian seorang pemimpin yang hebat, membuat hati Pek Lian menjadi kagum sekali.

   "Siancai..., saat kematian merupakan rahasia yang tak pernah terbuka oleh manusia. Siapa sangka aku bermaksud menolong mereka, tidak tahunya karena perbuatanku, malah mereka mengalami pembasmian disini" kata kakek Kam dengan suara menyesal. Mendengar ini, Kwee Tiong Li cepat menghadapi kakek itu.

   "Harap Lo-cianpwe jangan beranggapan demikian karena Lo-cianpwe sama sekali tidak bersalah dalam hal ini."

   "Aku tahu, orang muda... akan tetapi membuat hatiku terasa tidak enak..." tiba-tiba kakek itu berhenti dan cepat menoleh kebelakang. Pada saat itu terdengar bunyi terompet bersahut-sahutan, diiringi sorak-sorai para perajurit dan ternyata dusun itu telah dikepung! Mendengar ini, para penghuni berlari-larian kembali kerumah masing-masing dan yang tertinggal didusun itu, diluar rumah, hanya tinggal delapan orang itu saja. Semua penghuni dusun telah bersembunyi!

   Delapan orang itu, yang merasa sudah terkepung, tidak mau ikut bersembunyi karena mereka maklum bahwa bersembunyi didusun kecil itu tidak ada artinya malah-malah akan mencelakakan semua penghuni dusun. Maka, sambil menanti, mereka semua mencabut senjata, siap untuk melawan. Dengan teriakan yang berisik sekali, bermunculanlah pasukan itu dari segenap penjuru dan mereka segera diserbu dan dikeroyok. Pek Lian telah mencabut pedangnya, Kim-suipoa Tan Sun mengeluarkan senjata suipoanya sedangkan Pek-bin-houw juga sudah melintangkan pikulan bajanya. Begitu para perajurit menyerbu, mereka bertiga mengamuk bagaikan harimau-ha-rimau kelaparan. Sementara itu, Kwee Tiong Li, biarpun tenaganya belum pulih seluruhnya, juga sudah mengamuk dan menggerakkan pedangnya dengan dahsyat.

   Tiga orang Yang-ce Sam-lo juga sudah menyambut pengeroyokan musuh dengan senjata golok tipis mereka. Tujuh orang pendekar itu mengamuk dengan penuh semangat, terutama sekali Tiong Li dan Yang-ce Sam-lo yang seolah-olah memperoleh kesempatan untuk membalas dendam atas terbasminya seluruh kawan mereka itu. Empat orang ini merobohkan banyak sekali perajurit. Adapun kakek Kam Song Ki sendiri hanya melindungi dirinya, menggerakkan tongkatnya untuk merobohkan semua orang yang menyerangnya, akan tetapi jelaslah bahwa kakek ini merobohkan orang tanpa bermaksud membunuh. Biarpun demikian, tidak ada perajurit yang dapat mendekatinya karena belum juga dekat mereka itu sudah roboh berpelantingan.

   Akan tetapi, tiba-tiba muncul dua orang berpakaian preman yang menjadi pengawal pribadi, juga sute-sute dari Jenderal Beng Tian yang amat lihai itu! Bukan hanya kedua orang pengawal ini saja, melainkan juga belasan orang perwira yang memiliki gerakan-gerakan gesit sekali, tanda bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat. Pengepungan semakin ketat, pengeroyokan semakin rapat dan dengan munculnya dua orang pengawal bersama para perwira itu, delapan orang yang dikeroyok menjadi kewalahan juga. Betapapun juga, mereka terus mengamuk dengan hebatnya dan sudah puluhan orang banyaknya roboh, tewas atau terluka sehingga mayat-mayat mulai bertumpuk dan berserakan, suara orang-orang mengaduh dan mengerang kesakitan amat mengerikan.

   Sore semakin gelap. Satu jam lebih mereka mengamuk, akan tetapi jumlah para perajurit amat banyaknya. Ada ratusan orang! Dan akhirnya, apa yang mereka khawatirkanpun tibalah dengan munculnya Jenderal Beng Tian sendiri! Tadinya, dua orang pengawal pribadi jenderal itu masih menemukan kesulitan ketika mereka dihadang dan dibendung oleh tongkat butut kakek Kam, membuat mereka terheran-heran, penasaran dan juga marah karena ternyata tongkat itu membuat mereka tidak mampu banyak bergerak. Akan tetapi sebaliknya kakek Kam yang tidak ingin membunuh, tidak mudah pula merobohkan dua orang pengawal lihai ini seperti yang dilakukannya kepada para perajurit. Sedangkan tujuh orang pendekar itu dikeroyok oleh belasan orang perwira yang dibantu oleh puluhan orang perajurit pula.

   Sampai berdesakan dan sukar sekali untuk bergerak dalam pengepungan yang ketat itu. Dan kini, jenderal itu sendiri muncul. Tadinya, panglima ini tidak ikut memimpin anak-buahnya. Bukankah menurut penyelidik, yang berada didusun itu hanya delapan orang pimpinan pemberontak? Cukup diwakilkan kepada dua orang pengawal atau sutenya saja, para perwira dan pasukan. Akan tetapi, dia memperoleh berita yang mengejutkan bahwa diantara delapan orang itu terdapat seorang kakek yang amat sakti yang membuat kedua orang sutenya tidak berdaya Tentu saja dia menjadi terkejut sekali dan jenderal itupun bergegas menuju kemedan pertempuran. Pada saat dia tiba ditempat, itu, dia masih sempat melihat betapa dua orang sutenya mengeroyok seorang lawan yang tidak nampak bayangannya!

   Seolah-olah dua orang sutenya itu mengeroyok setan saja. Tahulah dia bahwa lawan dua orang pembantunya itu adalah seorang ahli ginkang yang amat luar biasa. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, jenderal itu lalu menyerbu dan dua orang sutenya girang bukan main melihat munculnya jenderal yang selain menjadi atasan, juga menjadi suheng mereka itu. Dan pukulan yang dilancarkan jenderal itu terhadap kakek Kam membuat kakek itu mengeluarkan seman kaget. Namun, gerakan kakek itu terlampau cepat sehingga empat serangan yang merupakan rangkaian susul-menyusul dari jenderal itu semua hanya mengenai tempat kosong saja. Dia menduga-duga siapa gerangan orang ini dan diam-diam terkejut bukan main. Kalau pihak pemberontak terdapat orang-orang selihai ini, sungguh amat berbahaya, pikirnya. Bersama dua orang sutenya, dia mengeroyok.

   Namun tetap saja mereka bertiga menjadi kewalahan karena jauh kalah cepat gerakan mereka. Kadang-kadang kakek itu seperti lenyap saja dan tahu-tahu muncul diatas mereka, dibelakang mereka atau dikanan kiri. Dan malampun tibalah. Para perajurit memasang obor sehingga keadaan disitu semakin menyeramkan. Betapapun lihainya, tujuh orang pendekar yang dikeroyok oleh banyak sekali lawan yang tiada habisnya dan tak kunjung berkurang itu, menjadi repot. Mereka kelelahan, mandi peluh setelah mengamuk selama hampir dua jam lamanya! Dan akhirnya, tak dapat tertolong lagi, Pek-bin-houw roboh terkena tusukan tombak seorang perwira dari belakang. Tombak itu menancap dipunggung dan tembus kedadanya, darah muncrat dan dia berteriak seperti harimau terluka, membalik dan senjata pikulannya menghantam kepala penyerangnya sampai pecah.

   Kemudian dia menubruk kekiri, merobohkan seorang perajurit, akan tetapi dia sendiripun roboh karena sebatang golok membuat lehernya hampir putus, disabetkan oleh perwira lain. Robohlah Pek-bin-houw Liem Tat sebagai seorang pendekar dan patriot. Melihat ini, Kim-suipoa berteriak marah dan menyerang dengan nekat, menubruk kearah perwira yang membacok golok tadi. Perwira itu menangkis, akan tetapi goloknya terpental oleh hantaman suipoa dan kepala perwira itupun remuk terkena pukulan suipoa baja. Akan tetapi, pada saat yang sama, dua batang pedang menembus lambung dan dada Kim-suipoa. Tiong Li dan kakek yang masih dikeroyok tiga oleh Jenderal Beng Tian bersama dua orang sutenya itu. Tiong Li dan Pek Lian masih mengamuk dan keduanya maklum bahwa nyawa merekapun tidak akan tertolong lagi.

   "Nona Ho, selamat berpisah disini!" kata Tiong Li sambil memutar pedangnya. Pek Lian terharu sekali, akan tetapi juga bangkit semangatnya melihat pemuda yang gagah perkasa itu!

   "Selamat berpisah, saudara Kwee. Akan tetapi aku tidak mau mati sebelum membasmi anjing-anjing ini sebanyak mungkin!" Keduanya mengamuk lagi penuh semangat. Kakek Kam mendengarkan semua ini dan hatinya tergerak.

   Kalau dia menghendaki, tentu dia sudah dapat membunuh tiga orang lawannya. Akan tetapi dia tidak tega untuk membunuh. Kalau dia mau melarikan diripun tidak sukar baginya, akan tetapi dia merasa kasihan kepada dua orang muda itu. Diam-diam dia merasa kagum sekali melihat, gerak-gerik Tiong Li dan Pek Lian. Terutama pemuda itu sungguh membuat hatinya yang tua merasa terharu. Seorang pemuda gagah perkasa yang penuh setia kawan! Sungguh seorang eng-hiong (pendekar) sejati! Dan melihat betapa Pek Lian terhuyung oleh pukulan rayung lawan yang mengenai punggungnya, cepat dia menggerakkan kakinya dan tahu-tahu tiga orang pengeroyoknya sudah kehilangan kakek itu yang kini telah menyambar tubuh Pek Lian sebelum dara itu terguling roboh. Dipanggulnya tubuh Pek Lian dan diapun berseru kepada Tiong Li,

   "Kwee-sicu, mari kita pergi!" Memang mudah saja bagi kakek sakti yang memiliki ginkang istimewa itu untuk mengatakan demikian, bahkan mudah pula baginya untuk meloloskah diri dari kepungan ketat dan pengeroyokan itu, akan tetapi amat sukarlah bagi Tiong Li untuk melaksanakannya. Pula, dia telah dibakar kemarahan meluap-luap dan sudah diambilnya keputusan untuk mengamuk sampai mati, membela kematian tiga orang pembantunya dan juga dua orang guru Pek Lian itu. Melihat betapa pemuda itu mengamuk makin hebat dan seperti tidak memperdulikan ajakannya, kakek itu berseru lagi,

   "Orang muda, perlu apa mengorbankan nyawa dengan konyol? Ingat, kelak engkau harus membuat perhitungan dan membalas semua dendam. Kalau mati sekarang, siapa yang akan membalas dendam kelak?" Ucapan ini sengaja dikeluarkan hanya untuk membakar semangat pemuda itu agar mau meloloskan diri, bukan ucapan yang keluar dari lubuk hatinya. Mendengar ini, Tiong Li menjadi sadar. Semua anak-buahnya, berikut tiga orang pembantunya yang setia, telah gugur. Hanya tinggal dia seorang diri. Kalau dia gugur pula, lalu siapa yang akan membalas semua ini.?

   Siapa yang akan melanjutkan perjuangan, membantu para pendekar lain, membantu gurunya? Dia tidak boleh sekedar menurutkan perasaan hati duka dan marah. Akan tetapi, bagaimana dia dapat meloloskan diri dari kepungan begini banyak musuh? Sambil memutar, pedang mengamuk, Tiong Li mencari jalan keluar, namun, sia-sia belaka. Seorang lawan dirobohkan, dua orang menggantikannya. Dua orang dirobohkan, empat orang yang maju. Pedangnya sudah berlumur darah, pakaiannya juga berlepotan darah, darah lawan dan darahnya sendiri. Tubuhnya sudah lelah sekali dan agaknya gerakannya itu hanya dikendalikan oleh semangatnya yang berkobar-kobar. Seolah-olah kesehatannya yang baru berkembang baik dan belum pulih benar itu kini menjadi sembuh sama sekali dengan adanya pertempuran mati-matian ini.

   Sementara itu kakek Kam Song Ki melihat kesukaran yang dialami pemuda itu. Dia sendiri masih dikepung ketat, bahkan kini Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya meneriakkan perintah agar para perwira juga ikut mengepung kakek yang luar biasa lihainya itu. Kakek Kam masih memondong tubuh Pek Lian dan tubuhnya berkelebatan kesana-sini dan tahu-tahu dia sudah mendekati Tiong Li. Caranya amat menggiriskan hati para pengeroyoknya karena tubuhnya itu berloncatan atau lebih tepat lagi "beterbangan" melayang-layang, meloncat diantara pundak dan kepala para pengeroyok, kadang-kadang menginjak pundak dan kepala, bahkan menginjak ujung senjata, bagaikan seekor burung walet saja tubuh itu kini tahu-tahu sudah mendekati Tiong Li dan menyambar tangan pemuda itu.

   "Pegang erat-erat tanganku dan ikuti gerakanku. kau menurut saja, jangan melawan! Dengarkan petunjuk-petunjukku baik-baik. Kalau perlu pejamkan mata, jangan bergerak menurut kemauan sendiri, tapi turuti aku dengan membuta, Ini pelajaran ilmu langkah ajaib yang dapat meloloskan dirimu dari kepungan!"

   "Baik... Lo-cianpwe!" Tiong Li menjawab.

   Maka mulailah pemuda itu menurutkan tenaga tarikan, betotan, maupun dorongan tangan kakek itu, mengatur langkahnya sesuai dengan tenaga kakek itu, kekiri, kanan, kedepan, kesamping, kebelakang, kadang-kadang meloncat rendah dan meloncat tinggi, cepat sekali gerakan itu dan amat aneh, akan tetapi hebatnya, gerakan-gerakan itu membuat dia terbebas dari semua serangan dan kepungan tanpa mengelak satu demi satu seperti yang dilakukannya sendiri tadi. Dia tidak tahu bahwa dia telah dibawa oleh kakek sakti itu melakukan Ilmu Ban-seng-po Lian-hoan (Langkah Selaksa Bintang Berantai). Langkah-langkah ini menurut garis-garis perbintangan dan langkah-langkahnya teratur sedemikian rupa, penuh rahasia sehingga seolah-olah semua gerakan itu telah mendahului datangnya hujan serangan. Melihat ini, seorang diantara pengawal atau sute dari Jenderal Beng Tian menjadi marah sekali!

   Sambil berseru keras dia menyerang dahsyat kearah kepala Tiong Li. Pemuda ini terkejut, maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan diri, akan tetapi dia memejamkan matanya dan dengan membuta dia menurutkan tenaga kakek yang mengendalikannya. Dia menggeliat dan meloncat kedepan malah! Tentu saja hatinya terasa ngeri sekali. Dipukul demikian dahsyat mengapa malah meloncat kedepan? Akan tetapi sungguh aneh, karena dia meloncat kedepan ini, dia malah terhindar dari pukulan dahsyat yang ternyata telah datang kecuali tentu saja kedepan, karena si pemukul sama sekali tidak pernah menduga bahwa orang yang dipukul itu malah melangkah maju! Inilah hebatnya Ban-seng-po Lian-hoan itu. Ilmu ini memungkinkan segala gerakan kaki dan tubuh dalam menghadapi pengeroyokan lawan lawannya yang tangguh.

   "Plak! Plakk!" tangan kakek itu menampar dan dua orang pengawal itu terhuyung kebelakang dengan muka pucat ketika mereka menangkis.

   "Pemberontak hina!" Terdengar Jenderal Beng Tian membentak dan pedang panjangnya menyambar. Tiong Li sudah berhasil merampas sebatang tombak yang dibetotnya dari tangan seorang perajurit yang menyerangnya dan menggunakan tombak itu untuk menangkis pedang yang menyambar kearah kakek Kam.

   "Trakkkk...!" Tombak itu patah menjadi dua dan Tiong Li merasakan tangannya sampai kepangkal lengannya seperti lumpuh! Dia terkejut setengah mati, akan tetapi pada saat itu, Jenderal Beng Tian juga terhuyung kebelakang karena ketika pedangnya bertemu dengan tombak ditangan pemuda itu, secepat kilat kakek Kam telah berhasil mendorong punggungnya dan dia merasa betapa hawa yang dingin sekali menyusup kedalam tubuhnya, membuat dia terhuyung dan cepat-cepat jenderal ini yang tidak mau menderita luka parah segera mengatur pernapasan seperti yang dilakukan oleh dua orang sutenya pula. Melihat betapa tiga orang tertangguh itu menghentikan penyerangan, kakek Kam melihat kesempatan yang baik sekali.

   "Kwee-sicu, cepat rampas kuda!" Tiong Li yang sejak tadi secara membuta sudah menurut perintah kakek ini, sekarang membuka mata dan melihat seorang perwira menunggang kuda tak jauh dari situ, diapun meloncat mendekati. Perwira itu menyambutnya dengan bacokan golok, akan tetapi Tiong Li mengelak kekiri dan menyambar lengan perwira itu, menariknya keraskeras kebawah. Pada saat tubuh perwira itu terpelanting kebawah, Tiong Li meloncat keatas punggung kuda! Dan pada saat itu pula, seorang lain telah terlempar dari atas punggung kudanya, tak jauh disebelah depan Tiong Li, dan tubuh Pek Lian melayang keatas punggung kuda.

   "Naiki kuda itu dan larilah kalian I" terdengar kakek Kam berseru. Akan tetapi karena Pek Lian menderita luka-luka dan merasa lelah sekali, dara ini tidak dapat mengatur tubuhnya dan ia hinggap diatas kuda itu dalam keadaan terbalik! Akan tetapi sebelum ia terpelanting jatuh, tubuhnya sudah disambar lagi oleh kakek Kam yang tadi merobohkan empat orang perajurit, lalu kakek itupun membalapkan kuda, diikuti oleh Tiong Li.

   "Hayo, jangan tidur, anak nakal!" Kakek itu mengguncang-guncang tubuh Pek Lian.

   "Engkau seorang gadis gagah perkasa, masa baru begini saja sudah turun semangat? Bangunlah, dan naiki kuda ini, larikan secepatnya, aku melindungi dari belakang!" Kembali dia mengguncang.

   "Mengertikah kau?" Mendengar kata-kata ini dan karena guncangan-guncangan itu, apa lagi ketika tengkuknya ditotok dua kali oleh jari si kakek sakti, Pek Lian membuka matanya lebar-lebar.

   "Aku mengerti, Lo-cianpwe." Dan tahu-tahu kakek itu sudah meloncat keatas, meninggalkan Pek Lian, berjungkir balik dan membiarkan Tiong Li lewat, lalu dia sendiri menghadang para pengejar!

   "Kejar! Tangkap! Bunuh mereka!" Terdengar teriakan para perwira dan tiba-tiba mereka itu melepaskan anak panah! Hujan anak panah itu tiba-tiba runtuh semua ketika ditahan oleh bayangan kakek Kam yang berkelebatan kekanan kiri, atas bawah. Demikian cepatnya, gerakan kakek ini sehingga dia mampu membendung dan meruntuhkan semua anak panah yang meluncur itu dengan kebutan-kebutan kedua ujung lengan bajunya dan pemutaran tongkatnya. Bahkan ada beberapa batang anak panah yang mengenai tubuhnya, hanya merobek dan melubangi kain bajunya saja, namun tidak dapat melukai kulit tubuhnya.

   Ketika barisan pengejar tiba dekat, kakek itu menggerakkan kedua tangannya dan anak panah yang belasan batang banyaknya meluncur kedepan, kearah kaki kuda dan barisan terdepan terguling, membawa para penunggangnya terlempar dan jatuh tersungkur, ditabrak oleh teman-teman dari belakang. Tentu saja keadaan menjadi kacau-balau dan terdengar teriakan-teriakan mengaduh dan sumpah-serapah. Sebagian besar meloncat turun dan menyerbu. Kakek Kam sudah mengamuk lagi dengan tongkat bututnya dan siapapun yang dekat dengannya tentu roboh terguling. Akan tetapi Jenderal Beng Tian dan dua orang pengawalnya, dibantu oleb para perwira, telah mengurungnya lagi. Sekali ini jenderal itu yang dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang sakti, membentak marah.

   "Kakek pemberontak jahat! Siapakah engkau?" Mendengar bentakan panglima mereka, para pengeroyok itu menahan senjata mereka dan semua mata memandang kakek itu dibawah sinar obor-obor yang cepat menerangi tempat itu, dipegang oleh para perajurit.

   "Siancai... tai-ciangkun yang gagah perkasa. aku bukanlah pemberontak. Namaku Kam Song Ki." Jenderal Beng Tian adalah seorang panglima yang berilmu tinggi dan sudah banyak pengalaman, sudah banyak mengenal hampir semua tokoh persi-latan, akan tetapi dia tidak mengenal nama ini. Hal itu tidaklah mengherankan mengingat bahwa kakek ini biarpun merupakan murid ketiga dari Raja Tabib Sakti, namun dia selalu mengasingkan diri dan selama puluhan tahun tidak pernah menonjolkan diri didunia kang-ouw sehingga namanya tidak dikenal orang.

   "Orang tua she Kam, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa orang-orang muda yang kau bela itu adalah pimpinan pemberontak-pemberontak besar dari Lembah Yang-ce?"

   "Siancai... sayang sekali aku tidak tahu tentang berontak-memberontak. Setahuku kalau ada yang memberontak tentu ada sebabnya dan hanya yang tertindas sajalah yang akan memberontak, bukan? Setahuku, mereka adalah orang-orang yang baik dan melihat orang baik-baik dikeroyok, tentu saja aku membela mereka."

   "Engkau hendak melawan pasukan pemerintah? Berarti engkau berani memberontak terhadap pemerintah!" Kakek itu tertawa.

   "Tai-ciangkun, kalau tidak salah ciangkun adalah Jenderal Beng Tian yang terkenal itu. Tentu saja orang seperti engkau ini akan bersetia sampai mati kepada pemerintah, tidak perduli bagaimana keadaannya, karena engkau mempertahankan kedudukanmu, kehormatan dan kemuliaan sebagai jenderal besar! Akan tetapi, aku hanyalah seorang rakyat biasa saja, dan orang macam aku ini hanya mempertahankan hidup, asal dapat makan setiap hari dan dapat menutupi tubuh dengan pakaian saja sudah cukuplah. Aku tidak ingin memberontak, akan tetapi kalau melihat kesewenang-wenangan, tentu saja aku tidak dapat tinggal diam saja."
"Kesewenang-wenangan yang bagaimana maksudmu?" jenderal itu membentak.

   "Nona Ho Pek Lian kehilangan keluarganya. Seluruh keluarga ayahnya ditangkap, padahal, siapakah yang tidak tahu bahwa Menteri Kebudayaan Ho Ki Liong adalah seorang Menteri yang amat baik? Dan semua teman dari Kwee Tiong Li itu telah dibasmi oleh pasukan pemerintah! Apakah namanya itu kalau bukan sewenang-wenang? karena itulah aku membela mereka, bukan karena berontak-memberontak!" Mendengar bahwa gadis yang tadi dikeroyok adalah puteri Menteri Ho, jenderal itu terkejut bukan main. Biarpun Menteri Ho dianggap pemberontak oleh pemerintah dan Menteri beserta seluruh keluarganya itu ditangkap, namun diam-diam jenderal yang gagah perkasa ini merasa kagum bukan main terhadap Menteri Ho.

   Tentu saja, sebagai seorang jenderal dia tidak mampu berbuat sesuatu kecuali merasa menyesal akan nasib Menteri yang dia tahu amat setia dan baik itu. Kini, mendengar bahwa gadis yang gagah perkasa tadi adalah puteri Menteri Ho, dia menjadi semakin kagum dan lenyaplah napsunya untuk menangkap atau membunuh gadis itu. Tugasnya hanyalah menumpas para pemberontak di lembah Yang-ce dan tugas itu telah diselesaikannya dengan baik. Semua pemberontak telah berhasil ditumpasnya walaupun dia harus kehilangan banyak sekali perajurit. Akan tetapi, sebagai seorrmg panglima, tentu, saja dia tidak boleh memperlihatkan sikap kagum terhadap orang yang dianggap pemberontak, maka diapun berteriak,

   "Tangkap orang tua ini!" Dua orang pengawal yang juga menjadi sutenya adalah orang-orang yang amat setia terhadap Jenderal itu, akan tetapi merekapun sudah mengenal baik suheng mereka. Mereka itu, dengan pandang mata saja, sudah maklum akan isi hati suheng mereka yang didalam hati tidak ingin menangkap atau membunuh kakek ini, maka mereka berduapun bergerak lambat, membiarkan para perwira dan perajurit yang maju mengeroyok. Dilain pihak, kakek Kam juga merasa heran mengapa panglima dan dua orang pembantunya yang amat lihai itu tidak turun tangan melainkan membiarkan anak-buahnya yang maju mengeroyoknya.

   Maka diapun cepat menggerakkan tubuhnya dan dengan mudah saja dia meloloskan diri dari kepungan, terus melarikan diri, sengaja tidak berlari cepat agar para perajurit itu dapat terus mengejarnya. Dia mengambil jalan kekanan, berlawanan dengan jalan yang diambil oleh dua ekor kuda yang melarikan Tiong Li dan Pek Lian tadi. Dia terus main kucing-kucingan dan untuk menyembunyikan perasaan hati yang sesungguhnya, biarpun dia dapat menduga bahwa kakek Kam yang tidak berlari sekuatnya itu sengaja memancing kearah lain, Jenderal Beng Tian terus mendesak pasukannya untuk mengejar kakek itu sampai pagi! Tentu saja pasukan itu menjadi semakin jauh dari jejak kaki dua ekor kuda itu dan menjelang pagi, mereka kehilangan bayangan kakek Kam.

   Kakek ini tentu saja sudah kembali ketempat semula dan dibawah sinar matahari pagi dia melanjutkan perjalanan mengikuti jejak kaki dua ekor kuda. Sambil berjalan, kedua kakinya diseret dan menghapus jejak kaki kuda itu dari permukaan tanah. Matahari telah naik tinggi ketika kakek Kam tiba didalam hutan dimana dia mendapatkan Tiong Li dan Pek Lian sedang beristirahat. Tiong Li duduk bersila dan mengatur pernapasan, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan kekuatan badannya sedangkan Pek Lian dengan wajah agak pucat duduk bersandar pohon tak jauh dari pemuda itu. Kedatangan kakek itu sama-sekali tidak mereka ketahui dan barulah setelah kakek itu berada didepan mereka, keduanya terkejut sekali akan tetapi juga girang karena semalam mereka mengkhawatirkan keadaan kakek sakti itu.

   "Lo-cianpwe...!" Pek Lian berkata dan tiba-tiba saja kedua mata gadis ini menjadi basah air mata. Hatinya memang sudah berduka sekali karena kematian dua orang gurunya dan khawatir akan keadaan kakek Kam yang melindungi ia dan Tiong Li.

   "Lo-cianpwe, kami menghaturkan terimakasih karena hanya berkat pertolongan Lo-cianpwe maka kami berdua masih dapat hidup sampai sekarang," kata Tiong Li, juga suaranya mengandung kedukaan besar.
Kakek itu duduk didekat mereka.

   "Nona, engkau masih mengandung luka dalam yang cukup berbahaya kalau tidak diobati. Mendekatlah!" Kakek itu lalu menaruh telapak tangannya dipunggung Pek Lian yang segera merasakan adanya hawa panas menjalar masuk kedalam ruang dadanya. Iapun cepat memejamkan kedua mata dan menerima hawa panas itu, membiarkan hawa itu berputar-putar dan mendorong atau menekan kearah bagian yang terkena pukulan dalam pengeroyokan tadi. Setelah menyembuhkan luka-luka didalam tubuh Pek Lian dan membantu Tiong Li memulihkan kembali tenaganya, maka kakek itu lalu mengajak mereka duduk bercakap-cakap dibawah pohon dalam hutan itu.

   "Sekarang aku ingin sekali mengetahui, apa rencana kalian selanjutnya? Apa yang akan kau lakukan sekarang, nona?" Ho Pek Lian mengusap air matanya akan tetapi tidak terisak, lalu dengan mata kemerahan diamatinya wajah kakek sakti itu, kemudian ia menunduk dan berkata,

   "Saya hendak menyelidiki keadaan ayah, Lo-cianpwe."

   "Tapi itu berbahaya sekali!" kata Tiong Li.

   "Saya sudah menasihatinya untuk tidak melakukan hal itu, Lo-cianpwe. Tentu ia akan terjebak dan tertawan."

   "Jangankan hanya tertawan, biar mati sekalipun aku rela!" Pek Lian berkata.

   "Bagaimanapun juga, sebelum ayah tewas dalam hukuman... aku ingin melihatnya sekali lagi..." Kembali tangannya mengusap air mata, membuat Tiong Li dan juga kakek itu menarik napas panjang dan merasa kasihan sekali.

   "Dan bagaimana dengan engkau, Kwee-sicu?" Bekas kokcu (ketua lembah) itu mengepal tinjunya. Matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api ketika dia berkata, suaranya penuh kegeraman,

   "Saya akan membalas dendam, Lo-cianpwe saya akan bergabung dengan suhu yang menjadi Bengcu (pemimpin rakyat) dan menghancurkan pemerintah dan Kaisar Chin yang lalim ini!"

   "Sayapun demikian!" Tiba-tiba Pek Lian berkata, mengepal tinjunya.

   "Saya tidak akan berhenti sebelum pemerintah ini dapat dihancurkan!"

   "Siancai... siancai... siancai...!" Kakek Kam berseru lirih sambil merangkap tangan didepan dada, lalu menarik napas panjang berulang-ulang.

   "Kekerasan... kekerasan... Dimana-mana kekerasan. Mungkinkah kekerasan dapat menghasilkan hal-hal yang baik? Mungkinkah tujuan yang baik dapat dicapai melalui jalan kekerasan?"

   "Akan tetapi, Lo-cianpwe!" bantah Kwee Tiong Li dengan suara keras karena hatinya dibakar semangat dan kebencian.

   "Kaisar telah bertindak lalim dan sewenang-wenang. Lihat saja keadaan rakyat yang miskin terhimpit dan lihat keadaan para pembesar yang berlebihan! Pembesar bertindak sewenang-wenang menekan rakyat, pembesar-pembesar melakukan korupsi besar-besaran. Sebaliknya rakyat ditindas, disuruh kerja paksa sampai mati untuk membangun tembok besar. Rakyat dibelenggu dan dibikin tak berdaya, membawa senjata pelindung diri dari ancaman bahaya saja dilarang. Kitab-kitab sastera dibakar sehingga rakyat kehilangan pegangan. Sasterawan-sasterawan dibunuh. Apakah kita harus diam saja, Lo-cianpwe? Kalau bukan kita kaum pendekar yang bergerak membela rakyat, habis siapa lagi? Apakah Kaisar dan kaki tangannya yang korup dan sewenang-wenang itu dibiarkan saja merajalela diatas kepala rakyat yang menderita?"

   "Benar sekali!" sambung Pek Lian.

   "Kalau orang-orang tua bersikap sabar, maka penindasan akan makin membabi-buta! Ayahku bersabar, akan tetapi aku tidak. Kita kaum muda harus serentak bangkit menentang kelaliman, kalau perlu dengan taruhan nyawa!"

   "Siancai...!" Kakek Kam menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

   "Nanti dulu, anak-anak. Memang baik sekali semangat kalian untuk membela rakyat yang sengsara dan menderita hidupnya. Akan tetapi, tidak baik kalau hanya menurutkan perasaan marah, dendam dan benci saja. Bangsa merupakan keluarga, pemerintah merupakan rumah keluarga itu. Kalau ada sesuatu yang tidak benar pada rumah itu, mari kita perbaiki bagian yang tidak benar itu saja. Bukan lalu meruntuhkan seluruh rumah itu, bukan lalu harus membakar rumah kita sendiri itu! Pemerintah bukan milik Kaisar atau para pembesar saja Mereka bahkan menjadi pelayan dan pelaksana. Pemerintah adalah milik kita bersama. Kalau ada yang tidak benar, mari kita perbaiki bersama, dengan musyawarah. Kita berhak menyadarkan pembesar yang bersalah. Akan tetapi, jalan kekerasan hanya akan menimbulkan perang saudara, sama saja dengan membakar rumah kita sendiri dan kalau terjadi perang, akhirnya rakyat pula yang akan menderita, bukan? Akan jatuh banyak korban, bunuh-membunuh antara bangsa sendiri, betapa-akan menyedihkan sekali kalau hal itu terjadi, seperti yang terjadi malam tadi."

   "Tapi, Lo-cianpwe. Tanpa melakukan kekerasan, tanpa menggunakan kekuatan untuk menghantam yang jahat, mana mungkin kita dapat mengenyahkan kejahatan itu sendiri?" bantah Tiong Li.

   "Kejahatan merajalela, orang-orang jahat bahkan telah mengadakan rapat, dipimpin oleh iblis hitam itu. Apakah kita harus diam saja, Lo-cianpwe? Kalau begitu, apa artinya kita mempelajari ilmu silat sejak kecil? Apa perlunya jiwa kependekaran ditanamkan dalam batin kita?" Pek Lian juga membantah dan kedua orang muda itu seperti merasakan persatuan yang kokoh untuk menentang pen-dirian kakek yang biarpun sakti akan tetapi mereka anggap memiliki pendirian lemah itu. Kakek itu tersenyum.

   "Seorang pendekar adalah abdi kebenaran dan keadilan. Hal ini memang benar dan memang sudah sepatutnya demikian. Akan tetapi kebenaran dan keadilan tidak mungkin dapat dipertahankan atau didirikan melalui kekerasan. Mungkin saja kita harus mempergunakan ilmu silat untuk melindungi diri dan untuk menundukkan lawan yang juga mempergunakan ilmu itu, akan tetapi ini bukan kekerasan namanya. Pendekar bahkan harus menjadi pembantu pemerintah untuk menahan merajalelanya kejahatan dan melindungi rakyat. Bukan malah menentang pemerintah. Bukankah penjahat-penjahat itu merupakan musuh pemerintah? Kalau kita menentang pemerintah, berarti kita memberi angin kepada para penjahat."

   "Tapi kalau pemerintahnya yang lalim dan jahat?"

   "Tidak ada pemerintah yang lalim. Yang jahat itu. hanya seorang dua orang pembesar saja. Bukan semua pejabat itu jahat. Buktinya, bukankah Menteri Ho juga seorang pejabat yang amat baik?"

   "Juteru karena baik itu maka ayah menjadi celaka!" kata Pek Lian penuh penasaran.

   "Ayahmu itulah pendekar dan pahlawan sejati, nona! Tanpa kekerasan, namun dia berani menentang kejahatan. Kalau kita melihat ada pembesar jahat, jangan lalu menganggap pemerintahnya yang jahat, melainkan pembesar itulah yang merupakan perorangan. Dan kewajiban kita adalah mengingatkan, agar pemerintah bertindak terhadap pembesar yang korup dan jahat itu."

   "Akan tetapi, kalau yang lalim Kaisarnya dan orang-orang yang duduk ditingkat teratas, seperti kepala thaikam Chao Kao si penjilat dan Perdana Menteri Li Su Rajanya segala pembesar korup dan sewenang-wenang, lebih tepat kalau kita memberontak dan menggulingkan pemerintah bejat ini!" Tiong Li berkata lagi. Kembali kakek itu menggeleng-geleng kepala.

   "Melalui perang saudara?"

   "Kalau perlu!"

   "Mengorbankan ratusan ribu nyawa rakyat yang tak berdosa? Perang selalu diikuti oleh kejahatan-kejahatan seperti perampokan, perkosaan, pembakaran, balas dendam pribadi, kekacauan karena tidak adanya hukum dan penjaga keamanan! Setelah pemerintah dapat digulingkan misalnya dan orang-orang yang memimpin pemberontakan itu duduk diatas kursi empuk dan kemuliaan, lalu mereka ini, para pimpinan pemberontak ini, yang tadinya dengan segala propaganda membujuk para pendekar dengan berbagai slogan indah muluk kosong, menjadi berbalik wataknya dan menjadi tukang korup pula, lalu apa yang hendak kalian lakukan? Memberontak dan menggulingkan pemerintahan baru itu pula? Menimbulkan perang saudara yang baru pula? Membakar pemerintah dan negara yang menjadi rumah bangsa lagi? Celakalah kalau begitu! Apakah kalian mampu menjamin bahwa didalam pemerintahan baru tidak akan timbul tikus-tikusnya?" Dua orang muda itu saling pandang, ragu-ragu, lalu mengerutkan alisnya merenung bingung, tak mampu menjawab!

   Penggambaran kakek itu terlalu mengerikan, namun bukan merupakan hal yang tidak mungkin terjadi! Bahkan sejarah sudah mencatat berulang kali terjadinya peristiwa seperti itu! Pemerintah yang dipimpin pembesar-pembesar yang dianggap lalim, ditumbangkan oleh sekelompok orang yang pada waktu itu memang berjiwa pahlawan, mengerahkan rakyat untuk membantu perjuangan mereka menumbangkan kekuasaan lalim. Kemudian, mereka menang dan menjadi penguasa. Akan tetapi, setelah menjadi pembesar-pembesar mereka seperti lupa akan suara hati nurani perjuangan, lelap dalam kesenangan, mabok kemuliaan dan berobah menjadi orang-orang yang tidak kalah lalim dan korupnya dibandingkan dengan pembesar-pembesar terdahulu yang mereka tumbangkan.

   Muncul pula pahlawan-pahlawan yang mempergunakan kekuatan rakyat menumbangkan pemerintah baru itu, dan demikianlah, susul-menyusul terjadi pemberontakan-pemberontakan dan perang saudara. Rakyat terus-menerus menjadi korban. Kalau ada perjuangan, rakyatlah yang dijadikan perisai dan tombak, kalau perjuangan berhasil, hanya sekelompok manusia sajalah yang menikmati hasil kemenangan itu dan melu-pakan rakyat sampai ada kelompok pejuang atau pahlawan lain yang muncul, yang kembali mempergunakan rakyat sebagai mata tombak dan perisai-Betapa menyedihkan keadaan diseluruh dunia ini!

   "Anak-anak yang baik," kata pula kakek itu melihat mereka termenung.

   "Sebuah pemerintahan terdiri dari ratusan, dan ribuan pejabat. Tak mungkin mengharapkan bahwa seluruh pejabat itu bekerja dengan jujur dan baik. Tentu ada saja yang salah jalan, sesat dan curang. Adalah kewajiban semua orang yang mencintai tanah air dan bangsanya untuk mengamati hal ini dan memprotes keburukan-keburukan seorang pejabat, menuntut agar pejabat itu diganti dengan orang yang lebih jujur. Bukan lalu memberontak dengan kekerasan. Kekerasan ini mencerminkan adanya keinginan untuk mengejar sesuatu dan biasanya, pengejar-pengejar kesenangan akan mabok kesenangan. Kemenangan dalam kekerasan membuat orang mabok akan kemenangan itu dan menjadi lupa diri dan buta, sebaliknya kekalahan dalam kekerasan menimbulkan sakit hati dan dendam."

   Dua orang itu saling pandang dan menundukkan muka. Mereka tidak dapat membantah lagi. Keterangan kakek itu mengejutkan hati mereka, membuat mereka seolah-olah dipaksa membuka mata melihat kenyataan yang amat kotor dan pahit. Membuat mereka merasa ngeri. Mereka sendiri adalah orang-orang muda yang berhati bersih dan jujur.

   Sedikitpun mereka tidak memiliki keinginan untuk menang dan berpesta dalam kemenangan itu. Mereka hanya melihat ketidak-adilan, menjadi penasaran dan hendak membela mereka yang tertindas. Keterangan-keterangan yang baru saja diucapkan oleh kakek itu membuat Pek Lian dan Tiong Li diam-diam membayangkan keadaan guru masing-masing. Pemimpin rakyat Liu Pang guru Pek Lian yang terkenal dengan sebutan Liu-toako, pendekar dan pahlawan sejati itu, apakah benar dia memiliki keinginan kotor untuk kesenangan diri pribadi yang tersembunyi dibalik cita-cita perjuangan demi rakyat itu? Dan Tiong Li juga meragukan apakah gurunya, pendekar dan pejuang Chu Siang Yu, juga memiliki keinginan demi kesenangan pribadi seperti yang digambarkan oleh kakek ini, atau setidaknya kelak kalau menang akan berobah menjadi penindas dan pengejar kemuliaan sendiri saja? Dia tidak mampu membayangkan dan merasa ngeri.

   "Lo-cianpwe, semua keterangan Lo-cianpwe terlalu mengerikan dan terlalu mendalam bagi saya. Sekarang, bagaimana baiknya? Saya mohon nasihat Lo-cianpwe," katanya.

   "Aku tetap hendak melihat keadaan ayahku dan selanjutnya... entahlah. Kata-kata Lo-cianpwe sudah memadamkan sebagian besar api dendamku..." kata Pek Lian meragu. Kakek Kam tersenyum.

   "Anak-anak muda berdarah panas dan bersemangat, memang sudah sepatutnya demikian, asal saja darah panas dan semangat itu disertai kebijaksanaan dan jangan sampai dipergunakan orang-orang demi keuntungan mereka sendiri. Kwee Tiong Li, engkau adalah seorang pemuda yang hebat! Semuda ini sudah memiliki ilmu silat tinggi dan tenaga sinkang yang amat kuat, juga memiliki batin yang bersih penuh dengan semangat kegagahan. Kalau engkau memiliki sedikit ginkang yang baik, kiranya kelak engkau akan menjadi seorang pendekar pilihan. Maukah engkau ikut denganku untuk belajar ginkang dariku? Dan engkau, nona? Engkaupun memiliki bakat yang amat baik, aku ingin mewariskan beberapa ilmuku kepada kalian berdua."

   "Terimakasih, Lo-cianpwe. Saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan hati Lo-cianpwe, karena saya harus pergi melihat keadaan ayah, kemudian kembali ke puncak Awan Biru," kata Pek Lian. Akan tetapi Tiong Li menerima penawaran kakek itu dengan girang. Pendekar muda ini maklum betapa dengan kepandaiannya yang sekarang, dia tidak dapat berbuat banyak terhadap para kaum sesat yang amat lihai itu, maka kalau kakek sakti ini mau mendidiknya, tentu saja dia merasa gembira sekali.

   "Kita tidak boleh terlalu lama berada disini," kata kakek Kam.

   "Biarpun jejak kaki kuda sudah kuhapus, akan tetapi mereka tentu akan terus mencari dan tentu akan sampai disini pula."

   Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Kalau begitu, biarlah saya akan pergi lebih dulu," kata Pek Lian. Ia bangkit berdiri lalu memberi hormat kepada kakek itu.

   "Kam-Lo-cianpwe, sekali lagi saya menghaturkan terimakasih atas semua budi kebaikan Lo-cianpwe kepada saya. Kwee-toako, terimakasih dan selamat tinggal." Kakek itu hanya mengangguk-angguk dan Tiong Li cepat membalas penghormatan gadis itu. Hatinya merasa terharu sekali. Karena bertemu dengan dia dan kemudian membelanya, maka gadis itu kehilangan kedua orang gurunya.

   "Nona, akulah yang harus berterimakasih. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling bertemu kembali" Pek Lian mengangguk, tak kuasa menjawab karena ia khawatir kalau-kalau suaranya akan terdengar parau pada saat hatinya amat berduka itu. Ia lalu menghampiri kuda rampasannya, lalu meloncat keatas punggung sela kudanya. Ia menoleh dan mengangguk, akan tetapi sebelum ia membe-dal kudanya, tiba-tiba Tiong Li meloncat mendekat sambil berseru,

   "Tahan dulu. nona!" Pek Lian menahan kendali kudanya dan menoleh. Matanya basah, akan tetapi kini ia dapat menguasai hatinya karena merasa heran.

   "Ada apa kah, Kwee-toako?" tanyanya. Tiong Li tidak menjawab, melainkan cepat dia membuang semua tanda-tanda pada kendali dan pelana kuda itu sehingga yang tertinggal hanya sela kasar dan kulit kendali sederhana tanpa hiasan. Kemudian dia mencari sebatang ranting pohon penuh daun dan mengikatkan ranting ini dengan pelana kuda sehingga ranting itu akan terseret kalau kudanya lari. Setelah selesai melakukan semua itu yang diikuti oleh pandang mata keheranan Pek Lian, dia berkata,

   "Dengan begini, orang tidak akan mengenal kuda tentara kerajaan dan ranting itu akan menghapus jeiak kudamu, nona Ho." Barulah Pek Lian mengerti dan merasa gembi-ra.

   "Terimakasih, toako. Engkau baik sekali. Sampai jumpa! Selamat tinggal, Kam-Lo-cianpwe!" Dan Pek Lian lalu menjalankan kudanya. Kuda itu berlari cepat, menyeret ranting yang menghapus jejak Liki kuda, mengeluarkan debu yang mengepul tinggi. Tiong Li memandang sampai bayangan gadis dan kudanya itu lenyap, baru dia membalikkan tubuhnya menghadap kakek Kam dan menjatuhkan dirinya berlutut.

   "Suhu, teecu mohon petunjuk selanjutnya." Kakek itu tersenyum.

   "Bagus, mulai saat ini engkau menjadi muridku. Tiong Li, kalau engkau kelak berjodoh dengan nona itu, sungguh akupun merasa gembira sekali. Ia seorang gadis yang luar biasa!" Mendengar ini, wajah pemuda yang biasanya tenang itu berobah merah sekali, akan tetapi hatinya terasa perih. Dia tidak tahu apakah dia mencinta gadis itu, akan tetapi bagaimana mungkin dia dapat membayangkan dirinya berjodoh dengan seorang puteri Menteri kebudayaan? Dia hanya seorang yatim piatu yang miskin, bahkan rumahpun tidak punya, hidup sebagai seorang pelarian pula. Ah, terlampau jauhlah khayal itu. Dia masih seperti berada dalam lamunan ketika gurunya mengajaknya pergi dari situ, meninggalkan kuda rampasan karena kakek itu tidak mau menunggang kuda dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki saja.

   

Naga Beracun Eps 30 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 8 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9

Cari Blog Ini