Pendekar Tanpa Bayangan 9
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
Adapun yang menjadi pelaksana tentu saja pasukan keamanan daerah itu dan sebagai pimpinan tertinggi tentu saja yang berwenang adalah Kim Thai-ciangkun (Panglima Kim), panglima yang paling berkuasa di daerah Propinsi Shan-tung. Panglima Kim adalah seorang Mongol bernama Kim Bayan, dan dia yang paling ditakuti karena dia merupakan seorang panglima yang diangkat oleh Kaisar sendiri. Bahkan Kepala Daerah Cin-yang, Yo-thaijin (Pembesar Yo), dan para pejabat lain seperti Kui Hok yang menjadi hakim atau kepala pengadilan di Cin-yang, mau tidak mau tunduk kepada Panglima Kim Bayan!
Baru beberapa hari saja setelah aksi pengumpulan tenaga kerja dilakukan, Cin-yang menjadi gempar. Mulailah para pejabat, terutama Panglima Kim Bayan dan Hakim Kui Hok, juga kaki tangannya, mengeruk keuntungan sebanyaknya dari peristiwa ini. Mereka yang namanya terdaftar, kebingungan mencari uang untuk menyogok agar terbebas dari kewajiban kerja bakti itu. Bagi mereka yang mempunyai uang, hal ini tidak terlalu meresahkan. Mereka hanya tinggal mengurangi sebagian harta mereka untuk menyuap, dan beres. Akan tetapi bagi mereka yang tidak kaya, tentu saja menjadi bingung. Mulailah para hartawan menggunakan kesempatan ini untuk mengeduk keuntungan. Mereka memberi hutang kepada orang-orang yang kebingungan itu, dengan bunga besar dan tanah, rumah, atau sawah ladang mereka sebagai tanggungan!
Kalau atasannya kotor, bawahannya tidak mau kalah. Bukankah atasan itu menjadi panutan (tauladan) bagi bawahan? Para anak buah atau kaki tangan Panglima Kim dan Pembesar Kui demikian pula. Mereka berpesta pora dan bertindak sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan dua orang pejabat tinggi itu!
Di rumah Chao Kung, empat orang penghuninya juga gemetar mendengar bermacam berita tentang tindakan sewenang-wenang itu. Mereka merasa khawatir sekali dan setiap hari Chao Kung keluar rumah untuk berbincang-bincang dengan sesama warga kota Cin-yang, mendengar kejadian-kejadian hebat sebagai akibat dari aksi pengumpulan orang-orang lelaki untuk dijadikan "pekerja bakti"! Kalau pulang dia menceritakan semua peristiwa itu kepada Siok Kan, Siok Hwa dan Siok Eng dan mereka menjadi prihatin sekali, gelisah memikirkan kalau-kalau Chao Kung akan terkena "cidukan" pula.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali terdengar suara tangis riuh rendah di sebuah rumah tak jauh dari rumah tempat tinggal Chao Kung. Mendengar ini, Chao Kung dan ayah mertuanya, Siok Kan, segera lari bergegas dari rumah menuju ke rumah tetangganya yang sedang bertangisan itu. Siok Hwa dan Siok Eng tidak diperbolehkan keluar karena pada masa seperti itu, lebih aman bagi para wanita muda untuk tinggal di rumah dan tidak memperlihatkan diri di luar rumah.
Tetangga yang terkena musibah itu adalah Thio Sun Ki, laki-laki berusia tigapuluh dua tahun yang hidup di situ bersama ibunya yang sudah menjanda, isterinya yang berusia duapuluh lima tahun dan berwajah manis. Keluarga ini mempunyai seorang pelayan wanita tua. Thio Sun Ki bekerja sebagai pembuat tahu dan penghasilannya cukup untuk menghidupi keluarganya.
Tiga hari yang lalu, Thio Sun Ki terkena "cidukan". Dia dibawa ke markas oleh regu perajurit yang bertugas melaksanakan "cidukan" terhadap mereka yang sudah masuk daftar. Regu perajurit itu yang merupakan regu dari pasukan istimewa, dipimpin oleh Perwira Lai Koan yang bertubuh gendut, berusia empatpuluh tahun dan terkenal galak.
Tentu saja Nyonya Thio yang manis itu menjadi cemas sekali. Orang yang terpilih menjadi pekerja paksa menggali Terusan kebanyakan akan mati oleh penyakit atau kelelahan dan kurang makan! Nyonya muda ini segera membawa semua perhiasannya yang ada, lalu pergi sendiri ke markas
pasukan itu untuk "menyogok" Lai-ciangkun (Perwira Lai) agar suaminya dibebaskan. Ibu mertuanya sudah melarangnya, namun Nyonya Thio yang belum mempunyai anak ini nekat karena apa yang ia lakukan itu berarti menebus nyawa suaminya dari ancaman maut!
Ia tidak pulang selama dua malam dan pada pagi hari yang ketiga itu, Nyonya Thio pulang dalam keadaan lunglai dan ia menggantung diri dalam kamarnya. Ibu mertuanya dan para tetangga perempuan yang menemukan Nyonya Thio sudah mati menggantung diri, menjerit-jerit dan menangis.
Ketika Chao Kung dan Siok Kan tiba di situ, sudah berkumpul banyak tetangga dan mereka mendengar bahwa nyonya muda itu membunuh diri karena ketika ia berusaha menyuap petugas agar membebaskan suaminya, ia malah ditangkap dan selama dua malam ia diperkosa dan dipermainkan Lai-ciangkun dan beberapa orang pembantunya! Nyonya muda itu pulang, menangis menceritakan malapetaka yang menimpanya dan tahu-tahu ia telah menggantung diri dalam kamarnya.
Peristiwa yang menimpa keluarga Thio itu bukan hal aneh terjadi pada masa itu. Perwira Lai Koan dalam waktu beberapa hari saja semenjak datang di Cin-yang dan menjadi kepala pasukan pelaksana "cidukan" telah dikenal masyarakat sebagai seorang perwira yang mata keranjang. Dia sengaja memilih keluarga yang mempunyai wanita cantik untuk diciduk agar keluarga itu menebusnya dengan menyerahkan wanita cantik itu kepadanya, baik yang masih gadis maupun yang sudah bersuami.
Pada jaman itu, bukan merupakan rahasia lagi bagi masyarakat betapa sebagian besar pejabat adalah koruptor, sewenang-wenang terhadap rakyat mengandalkan kekuasaan mereka, dan hukum yang diadakan pemerintah bahkan merupakan senjata pelindung bagi para pejabat karena hukum yang terdiri dari kata-kata itu dapat diputar-balikkan dengan mudah oleh mereka yang berkuasa!
Kalau penduduk kota Cin-yang gelisah dan ketakutan, sebaliknya di dalam markasnya, Perwira Lai Koan dan para pembantunya berpesta pora. Pada masa itu, setan dan iblis bersuka ria dan tampaknya kejahatan berada di atas angin dan kebenaran seolah disaput kegelapan.
Rakyat hanya menjerit dalam hati mereka menuntut keadilan, akan tetapi mulut siapa yang berani meneriakkan tuntutan itu? Jangankan berteriak, baru membisikkan protes dan tuntutan saja sudah cukup untuk membuat si pemilik mulut itu ditangkap dengan tuduhan memberontak! Karena itu, rakyat hanya mampu menangis dan menyumpah-nyumpah di dalam hati mereka.
Pada suatu pagi yang cerah, jatuh giliran keluarga Siok Kan yang dilanda kegelisahan. Regu perajurit pelaksana pemilihan calon tenaga kerja paksa itu mendatangi rumah Chao Kung. Regu itu terdiri dari dua losin perajurit yang dipimpin sendiri oleh Lai-ciangkun.
Dengan sikapnya yang sombong, Perwira Lai Koan yang berusia empatpuluh tahun dan bertubuh gendut itu, menyentuh kumisnya yang tebal dengan jari tangannya ketika dia disambut oleh Chao Kung dan Siok Kan. Dua losin perajurit menanti di luar.
"Silakan masuk dan duduk, Ciang-kun," kata Chao Kung dengan sikap hormat dan memaksa senyum walaupun mukanya pucat dan jantungnya berdebar tegang.
"Hemm, kami datang bukan untuk bertamu dan duduk mengobrol," jawab Sang Perwira yang sombong itu.
"Kalian yang bernama Chao Kung dan Siok Kan?" Lai-ciangkun berlagak memeriksa buku catatannya, di mana tertulis nama-nama orang yang akan diciduk dan dijadikan pekerja paksa.
Padahal tentu saja dia sudah tahu karena sebelumnya dia sudah mengetahui dari para penyelidik bahwa di rumah Chao Kung terdapat dua orang wanita muda yang cantik manis, yang seorang adalah isteri Chao Kung dan seorang pula adik iparnya yang masih gadis. Akan tetapi sekali ini perwira itu tidak mempunyai maksud untuk mendapatkan dua orang wanita cantik itu, melainkan untuk menuruti permintaan dua orang muda dengan mendapat imbalan uang!
"Benar, Ciang-kun. Saya bernama Chao Kung dan ini adalah ayah mertua saya bernama Siok Kan," jawab Chao Kung, memaksa diri agar dapat menjawab tanpa gemetar.
"Bagus, kebetulan sekali kalian berdua berada di rumah. Kami datang memberitahu bahwa menurut daftar calon pekerja bakti, nama kalian tercantum. Kalian harus mempersiapkan diri untuk diberangkatkan membantu pekerjaan penting yang dilakukan pemerintah yaitu menggali Terusan Besar."
Chao Kung dan Siok Kan yang sudah dapat menduga tidak terkejut mendengar ini, hanya merasa semakin gelisah. Chao Kung lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sampai dalam.
"Ciang-kun, maafkan saya. Bukan sekali-kali saya hendak membangkang terhadap perintah itu, akan tetapi mohon dipertimbangkan kembali bahwa saya merupakan kepala keluarga di sini dan sayalah yang mencari nafkah untuk menghidupi keluarga saya. Adapun Ayah mertua saya ini sudah lanjut usianya, maka kami mohon kebijaksanaan Ciang-kun agar sudi mengasihani kami dan membebaskan kami dari Kerja Bakti."
Sepasang alis tipis di muka yang bulat seperti bola itu dikerutkan, tangan kanan yang besar itu menyentuh ujung kumis dan dimainkannya.
"Huh, perintah dari Sribaginda Kaisar tidak boleh ditawar-tawar! Kalian hanya menaati perintah atau siap untuk dihukum sebagai penentang kebijaksanaan Pemerintah Kerajaan! Habis perkara!"
"Ciang-kun yang terhormat, kasihanilah kami!" Chao Kung berkata.
"Kalau terpaksa, biarlah saya saja yang bekerja bakti, akan tetapi mohon membebaskan Ayah mertua saya ini. Keluarga kami hanya dua orang laki-laki dan dua orang wanita. Kalau Ciang-kun mengambil kami dua orang laki-laki, yang tinggal hanya dua orang wanita yang lemah tak berdaya. Kasihanilah, Ciang-kun!"
"Sudah! Jangan banyak cerewet lagi! Kami beri waktu tiga hari. Dalam tiga hari itu kalian harus sudah siap dan akan dijemput pasukan!"
Setelah berkata demikian Perwira Lai Koan lalu memutar tubuhnya keluar dari rumah itu dan melangkah tegap diiringkan dua losin orang anak buahnya! Biarpun Chao Kung merasa gelisah sekali, namun dia masih melihat harapan. Diberinya waktu tiga hari itu tentu untuk memberi kesempatan kepadanya agar dia dapat menebus kebebasannya dengan uang sogokan!
Sehari itu, Chao Kung sibuk mengumpulkan emas, bukan hanya dari simpanan keluarganya sendiri, melainkan juga sibuk pinjam dari kenalannya. Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng hanya dapat berkeluh-kesah dalam keadaan gelisah sekali. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berada di bawah ancaman marabahaya yang hebat.
Pada sore hari itu, Perwira Lai Koan muncul lagi bersama dua losin anak buahnya, sekali ini dia mengiringkan dua orang pemuda yang bukan lain adalah Kim Magu putera Panglima Kim Bayan yang berkuasa di Cin-yang, dan Kui Coa putera dari Kui Hok yang menjadi Kepala Pengadilan di Cin-yang.
Melihat datangnya dua orang pemuda bangsawan ini, jantung Choa Kung berdebar-debar ketika bersama Siok Kan dia menyambut rombongan itu. Dengan hormat Cao Kung mempersilakan Kim-kongcu (Tuan Muda Kim) dan Kui-kongcu untuk masuk dan duduk di ruangan depan. Dua orang pemuda itu tersenyum-senyum dan memasuki ruangan, diantar oleh Perwira Lai Koan sendiri sedangkan regunya menanti di luar.
"Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua)," kata Perwira Lai Koan dengan sikap menjilat kepada dua orang pemuda itu.
"Orang tua ini adalah Siok Kan dan ini mantunya bernama Chao Kung......."
"Ha-ha, kami sudah mengenal Chao Kung ini, Lai-ciangkun!" kata Kim Magu. Kemudian dia memandang Chao Kung dan berkata.
"Chao Kung, menurut laporan Lai-ciangkun, engkau yang kepala keluarga di sini dan engkau bilang bahwa di sini hanya ada empat orang, dua pria dan dua wanita. Prianya tentu engkau dan Ayah mertuamu itu. Akan tetapi benarkah hanya ada empat orang di rumahmu? Kami ingin membuktikan. Suruh semua penghuni rumah ini ke sini agar kami dapat melihat buktinya!"
Mendengar ini, tanpa diminta Siok Hwa dan Siok Eng yang mendengarkan dari dalam, keluar dan mereka berdua berdiri di belakang dua orang tuan rumah. Siok Hwa berdiri di belakang suaminya dan Siok Eng berdiri di belakang ayahnya. Kedua orang wanita itu gemetar ketakutan.
Dua orang pemuda bangsawan itu memandang dengan mata bersinar dan mulut tersenyum. Mereka sudah muak dengan para wanita yang biasa memoles muka mereka dengan bedak dan gincu tebal, menghias tubuh mereka dengan pakaian dan perhiasan mewah sehingga kecantikan mereka itu pulasan, seperti boneka. Sekarang mereka melihat dua orang wanita yang memiliki kecantikan yang wajar dan aseli.
Biarpun sudah bersuami, Siok Hwa yang berusia duapuluh tujuh tahun dan belum mempunyai anak itu masih tampak muda dan penuh daya tarik. Dua orang wanita yang kini dipandang dua orang pemuda bangsawan itu mengenakan pakaian sederhana, bahkan rambut mereka terlepas dan tidak rapi, muka mereka tidak berlepotan bedak dan gincu, akan tetapi dalam pandangan Kim-kongcu dan Kui-kongcu, mereka bagaikan dua orang bidadari yang amat menarik hati dan menggairahkan!
Maka Magu atau Kim-kongcu memberi isyarat kepada Perwira Lai Koan dan mengajak perwira itu dan Kui Con atau Kui-kongcu keluar. Setelah tiba di luar, Kim-kongcu berkata kepada perwira itu.
"Aku ingin gadis itu untuk menjadi selirku."
"Aku pun ingin mendapatkan isteri Chao Kung itu," kata pula Kui-kongcu.
Lai-ciangkun menyeringai dan mengelus kumisnya.
"Ha-ha, itu mudah. Serahkan saja kepadaku dan Kongcu berdua dapat menanti di gedung masing-masing. Malam ini wanita idaman itu pasti akan saya antarkan kepada Kongcu berdua."
"Bagus, terima kasih, Lai-ciangkun!" kata kedua orang muda itu dan mereka lalu meninggalkan tempat itu, pulang ke gedung orang tua masing-masing. Mereka tidak mau langsung melakukan paksaan karena mereka tidak mau terlihat penduduk bahwa mereka merampas isteri dan gadis orang.
Perwira Lai Koan kini memasuki kembali rumah Chao Kung, sekarang diikuti oleh sepuluh orang perajuritnya. Dia tersenyum ketika pihak tuan rumah sebanyak empat orang itu menyambutnya dengan penuh kekhawatiran.
"Ha, Kiong-hi (selamat), Siok Kan dan Chao Kung! Kalian berdua untung sekali!" kata perwira itu sambil tersenyum lebar.
"Apa maksud Ciang-kun?" tanya Chao Kung, mengerutkan alisnya karena sukar baginya untuk percaya bahwa dia dan ayah mertuanya akan benar-benar dibebaskan dari cidukan kerja paksa itu sedemikian mudahnya.
"Ha, maksudku sudah jelas! Kalian sungguh beruntung sekaii karena Kim-kongcu dan Kui-kongcu merasa kasihan melihat kalian, maka atas tanggungan mereka kalian berdua dibebaskan dari tugas kerja bakti."
Mendengar ini, wajah empat orang yang tadinya pucat dan khawatir itu kini menjadi cerah dan mereka tersenyum dengan girang sekali. Chao Kung dan Siok Kan lalu merangkap kedua tangan depan dada, memberi hormat dengan membungkuk, diikuti dua orang wanita itu.
"Lai-ciangkun sungguh bijaksana dan kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Ciang-kun dan kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu yang telah menolong kami. Kami tidak akan melupakan budi kebaikan ini," kata Chao Kung mewakili keluarganya.
"Budi kebaikan yang demikian besarnya bukan hanya tidak boleh dilupakan, bahkan sudah sepatutnya kalau kalian memperlihatkan niat baik untuk membalasnya," kata Perwira Lai Koan sambil menyeringai.
"Bahkan pembalasan budi kalian akan menambah keberuntungan kalian berdua, bukan hanya terbebas dari tugas kerja bakti, melainkan juga menjadi orang-orang terhormat di kota ini."
"Apa yang Ciang-kun maksudkan?" tanya Chao Kung dan mereka berempat memandang perwira itu dengan mata memandang heran dan curiga.
"Berita menggembirakan kalian, dan karena inilah maka tadi aku mengucapkan Kiong-hi (selamat) kepada kalian. Dengarlah, aku diminta oleh Kim-kongcu dan Kui-kongcu untuk menyampaikan kepada kalian bahwa kedua orang pemuda bangsawan tinggi itu ingin mengikat tali kekeluargaan dengan keluarga kalian di sini."
"Maksudnya......?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Siok Kan dan Chao Kung.
"Kim-kongcu ingin mengangkat Siok Kan menjadi ayah mertuanya dan Kui-kongcu ingin mempererat persahabatannya dengan Chao Kung."
"Ciang-kun, harap jelaskan......" kata Chao Kung.
"Kim-kongcu ingin agar Nona ini menjadi selirnya dan Kui-kongcu ingin berkenalan lebih dekat dengan Nyonya muda ini. Maka sekarang juga aku untuk mengantarkan Nona dan Nyonya ini kepada mereka."
Tentu saja empat orang itu terkejut bukan main. Wajah dua orang wanita itu seketika menjadi pucat dan mereka melangkah mundur ketakutan, sedangkan wajah dua orang pria itu berubah merah saking marahnya. Siok Kan marah mendengar puterinya akan dipaksa menjadi selir Kim-kongcu dan Chao Kung lebih marah lagi mendengar isterinya hendak dipermainkan Kui-kongcu. Keinginan dua orang pemuda bangsawan itu merupakan penghinaan bagi keluarga mereka.
"Aku tidak mau......!" Siok Eng berseru.
"Aku juga tidak sudi......!" kata Siok Hwa.
Siok Kan yang lebih sabar kini maju menghadapi Perwira Lai Koan dan berkata dengan lembut.
"Ciang-kun telah mendengar sendiri betapa dua orang anak saya itu menolak. Maka, kami harap Ciang-kun tidak memaksa kami."
Perwira ini mengerutkan alisnya dan perutnya yang gendut kembang kempis. Dia marah sekali mendengar penolakan mereka.
"Perintah Kim-kongcu dan Kui-kongcu tidak boleh dibantah! Apakah kalian ingin ditangkap sebagai pemberontak?" bentaknya dengan wajah bengis mengancam.
"Ciang-kun, aturan mana ada isteri orang hendak dipermainkan? Kalau Ciang-kun sudah mendengar bahwa mereka menolak lalu hendak menggunakan paksaan, terpaksa kami akan melindungi isteri dan Adik ipar saya!" kata Chao Kung dengan nekat. Kemarahan, membuat dia melupakan rasa takutnya.
"Apa? Kalian hendak melawan petugas Kerajaan?" bentak Perwira Lai, lalu dia menoleh kepada sepuluh orang perajurit yang mengawalnya.
"Tangkap dua orang wanita itu!"
Sepuluh orang perajurit itu seperti berebut ketika diperintahkan menangkap dua orang wanita cantik itu. Bagi mereka, ini merupakan kesempatan yang menyenangkan sekali. Setidaknya, mereka mendapat kesempatan untuk memegang dan menyentuh tubuh yang menggairahkan itu.
Melihat ini, Siok Kan dan Chao Kung bertindak. Siok Kan berusaha melindungi Siok Eng, sedangkan Chao Kung melindungi isterinya. Akan tetapi Siok Kan yang lemah itu segera roboh ketika seorang perajurit menendangnya. Akan tetapi Chao Kung yang menguasai ilmu silat, cukup tangguh dan dia segera meloncat untuk melindungi isterinya. Ketika dua orang perajurit menyambutnya dengan pukulan, dia melawan dan setelah berkelahi ramai dia berhasil merobohkan dua orang perajurit itu.
Akan tetapi dua orang perajurit lain dengan marah sudah memukulnya dari belakang sehingga Chao Kung terpelanting roboh dan tidak berdaya seperti ayah mertuanya karena pukulan itu membuat kepalanya pening dan dadanya sesak. Dua orang wanita itu, Siok Hwa dan Siok Eng, melakukan perlawanan dengan nekat. Mereka mencakar, menggigit dan meronta. Akan tetapi mereka ditelikung, masing-masing oleh dua orang perajurit dan tidak mampu berkutik lagi! Mereka menangis dan diseret keluar oleh para perajurit yang dipimpin Perwira Lai Koan yang tersenyum-senyum karena dia sudah membayangkan upah besar dari Kim-kongcu dan Kui-kongcu!
Tiba-tiba ketika mereka berada di jalan raya depan rumah Chao Kung, seorang gadis cantik dan lembut, berpakaian serba putih, dari sutera dan potongannya sederhana, tiba-tiba muncul depan Perwira Lai Koan.
"Perlahan dulu!" kata gadis itu, suaranya lembut, akan tetapi sinar matanya tajam penuh selidik ketika ia melayangkan pandang matanya ke arah Siok Hwa dan Siok Eng yang masing-masing dipegang kedua lengan mereka oleh dua orang perajurit.
Perwira Lai Koan yang gendut itu adalah seorang yang berwatak mata keranjang. Biarpun dia sudah mempunyai empat orang isteri, akan tetapi dia tidak pernah melewatkan seorang wanita cantik begitu saja. Selain mata keranjang, dia pun seorang penjilat atasan penindas bawahan dan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dengan cara apapun juga.
Kini melihat gadis yang cantik jelita, tidak kalah cantiknya dibandingkan dua orang wanita tawanannya, tentu saja dia mengilar! Gadis begitu jelitanya tak mungkin dia diamkan begitu saja. Akan menyenangkan kalau menjadi miliknya dan akan menghasilkan uang banyak kalau dia serahkan kepada para bangsawan tinggi atau hartawan besar yang kesukaannya membeli gadis-gadis cantik dengan harga tinggi.
"Aih, engkau mengejutkan hatiku, Nona manis. Kukira tadi engkau seorang Dewi dari langit datang ke bumi. Siapakah namamu, manis, dan mengapa engkau menahan perjalananku?"
"Namaku tidak penting, Ciang-kun. Aku hanya ingin sekali mengetahui, mengapa dua orang enci itu kau tawan dan kau bawa dengan paksa seperti itu?" Suara gadis itu masih lembut. Agaknya ucapan perwira yang mulai merayu itu ia anggap sepi dan tidak menyinggung perasaannya.
"Engkau ingin tahu, manis? Mereka itu adalah selir-selir Kim-kongcu dan Kui-kongcu yang melarikan diri, maka aku bersama dua losin perajuritku melakukan pengejaran dan menangkap mereka untuk kuserahkan kepada Kim-kongcu dan Kui-kongcu."
"Bohong!" Siok Eng berteriak.
"Aku tidak sudi dijadikan selir Kim-kongcu lalu ditangkap dan hendak dipaksa!"
"Aku dirampas dari suamiku. Ayah kami dan suamiku mereka pukul!" teriak pula Siok Hwa.
"Hemm, jadi engkau hendak memaksa seorang gadis dan memaksa pula isteri orang, Ciang-kun? Setahuku, para pejabat tertinggi sekalipun di kota raja tidak ada yang bertindak sewenang-wenang merampas anak dan isteri orang! Apakah engkau tidak merasa bersalah, Ciang-kun?" kata gadis pakaian putih itu, suaranya tetap lembut namun mengandung teguran.
Pada saat itu, Chao Kung keluar dari rumah diikuti Siok Kan.
"Kembalikan isteriku......!" teriak Chao Kung.
"Kembalikan Anakku......!" Siok Kan juga berseru.
Melihat dua orang laki-laki yang mukanya bengkak-bengkak itu gadis pakaian putih tadi mengerutkan alisnya.
Perwira Lai Koan marah bukan main melihat munculnya Chao Kung dan Siok Kan. Dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya.
"Kalian berdua agaknya sudah bosan hidup!" bentaknya sambil menudingkan telunjuknya kepada dua orang itu.
Empat orang perajurit menghampiri Chao Kung dan Siok Kan. Agaknya ancaman Perwira Lai tadi mereka anggap sebagai perintah untuk membunuh dua orang itu maka empat orang perajurit itu sudah mencabut golok mereka. Akan tetapi sebelum mereka sempat menyerang Chao Kung dan Siok Kan yang sudah menjadi korban pukulan dan tendangan tadi, tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu empat orang perajurit itu berteriak, golok mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka terpelanting roboh.
Kini bayangan putih yang ternyata adalah gadis pakaian putih tadi sudah berkelebat lagi ke arah Siok Hwa dan Siok Eng. Empat orang perajurit yang memegang kedua lengan Siok Hwa dan Siok Eng menyambut dengan bacokan golok, akan tetapi kembali mereka berteriak, golok mereka terlepas dari tangan dan tubuh mereka berpelantingan! Gadis itu lalu menarik tangan Siok Hwa dan Siok Eng, dibawa mendekati Chao Kung yang segera merangkul Siok Hwa dan Siok Kan yang merangkul Siok Eng.
"Kalian masuk rumah dulu, aku yang akan mengusir mereka!" kata gadis yang ucapan dan sikapnya lemah lembut namun yang sepak terjangnya hebat dan lihai itu.
Dapat dibayangkan kemarahan Perwira Lai Koan ketika melihat betapa gadis cantik jelita berpakaian putih itu telah merobohkan delapan orang perajuritnya dan melindungi empat orang itu.
"Tangkap gadis baju putih itu lebih dulu, lalu tangkap dua wanita yang lain, dan bunuh dua orang pemberontak itu!" Dia memberi perintah dan dia sendiri lalu berlari menghampiri gadis baju putih itu dengan sehelai rantai baja yang tadi dipakai sebagai sabuk pinggangnya yang gendut. Rantai ini panjangnya sekitar dua depa, kedua ujungnya tajam dan runcing dan dimainkan dengan kedua tangannya.
Melihat gadis ini sama sekali tidak memegang senjata, Lai Koan mengikatkan kembali rantainya dan memberi aba-aba.
"Mari kita tangkap gadis ini hidup-hidup!" Setelah dekat, Perwira Lai Koan dan anak buahnya lalu berlumba untuk menubruk dan meringkus gadis itu.
Siapa yang tidak ingin lebih dulu mendapat kesempatan meringkus dan merangkul tubuh gadis yang denok dan lemah gemulai itu? Bersama Lai-ciangkun, tidak kurang dari lima orang perajurit menubruk dari semua jurusan sehingga tidak mungkin lagi tampaknya bagi gadis itu untuk mengelak. Di depan, belakang, kanan dan kiri sudah siap menunggu tangan-tangan yang kuat untuk meringkusnya!
Akan tetapi, selagi mereka yang berlumba menangkap gadis itu merasa yakin akan dapat meringkusnya, tiba-tiba gadis itu lenyap dari tengah kepungan mereka. Yang tampak hanyalah bayangan putih meluncur ke atas seperti seekor burung dara yang hendak ditangkap orang. Gadis itu telah menghindarkan diri dengan melompat ke atas dan tubuhnya yang ramping itu melayang turun, lalu berkelebatan dan terdengar teriakan susul menyusul ketika ia membagi-bagi tamparan dan tendangan. Tubuh dua losin perajurit anak buah Perwira Lai itu berpelantingan dan melihat ini, Perwira Lai Koan menjadi gentar dan tanpa malu lagi dia melarikan diri. Akan tetapi bayangan putih berkelebat dan tahu-tahu gadis baju putih itu telah berdiri di depannya!
Rasa takut yang hebat membuat Panglima Lai Koan menjadi nekat. Kini dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang gadis yang hanya kelihatannya saja lemah lembut, akan tetapi yang sesungguhnya merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai. Lai Koan sudah memegang rantai baja yang menjadi senjatanya. Kini sama sekali tidak ada niat di hatinya untuk menangkap gadis itu hidup-hidup. Pikirannya hanya ingin melarikan diri atau membunuh gadis itu.
"Mampus kau......!" teriaknya lantang dan dia sudah menerjang dengan senjata itu. Rantai itu diputar sedemikian rupa oleh kedua tangannya sehingga kedua ujung rantai yang runcing tajam itu menyambar dari kanan kiri ke arah tubuh gadis baju putih. Akan tetapi bagaikan seekor burung dara yang gesit, tubuh gadis itu berkelebat ke belakang dan serangan itu gagal. Lai Koan mendesak terus menyerang dengan kedua ujung rantainya secara bertubi-tubi.
Gadis itu memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya. Tubuhnya berkelebatan dan hanya tampak bayangan putih saja dan semua serangan dapat ia hindarkan dengan mudah. Baginya, gerakan rantai lawan itu terlalu lamban sehingga tidak sukar baginya untuk menghindarkan diri. Setelah belasan jurus dengan pengerahan tenaga sepenuhnya tidak membawa hasil, Perwira Lai menjadi semakin gentar akan tetapi juga semakin takut. Tiba-tiba dia maju mendekat dan kedua ujung rantainya menyambar dari atas ke arah kepala gadis itu! Tadi semua serangannya itu dielakkan oleh lawan dengan loncatan ke atas, maka sekarang dia sengaja menyerang dari atas ke arah kepala gadis itu. Disambar ujung rantai itu, tak diragukan lagi kepala akan pecah, apalagi kalau dihantam kedua ujungnya!
Gadis itu mundur selangkah dan tubuh atasnya condong ke belakang. Ketika senjata rantai menyambar dari atas ke bawah di depan tubuhnya, secepat kilat kedua tangan gadis itu bergerak menangkap rantai dekat kedua ujungnya, lalu dengan sentakan halus ia melepaskan kedua ujung rantai sambil mendorong ke arah tubuh Perwira Lai.
"Krekk! Krekk!" Perwira Lai Koan menjerit dan tubuhnya terjengkang roboh, tak kuat bangkit kembali karena kedua tulang pundaknya patah dihantam kedua ujung senjatanya sendiri!
Sejenak gadis baju putih itu memandang ke sekelilingnya. Melihat perwira dengan dua losin perajuritnya itu telah roboh semua walaupun tidak ada yang tewas, dengan tenang ia lalu memasuki rumah Chao Kung. Banyak orang melihat perkelahian itu dan semua merasa kagum, juga terkejut dan khawatir akan keselamatan Chao Kung sekeluarga dan gadis penolong mereka itu.
Peristiwa itu sungguh gawat. Gadis itu telah merobohkan Perwira Lai Koan yang terkenal galak bersama dua losin perajurit! Pasti pemerintah setempat tidak akan tinggal diam dan Chao Kung sekeluarga berikut gadis itu tentu akan ditangkap dan dihukum berat! Mereka tidak ingin terlibat atau menjadi saksi, maka satu demi satu mereka meninggalkan tempat itu sehingga jalan umum itu sebentar saja menjadi lengang.
Ketika gadis itu memasuki rumah, Chao Kung, Siok Kan, Siok Hwa, dan Siok Eng menyambutnya dengan berlutut dan memberi hormat. Gadis itu tampak kaget dan tersipu. Ia cepat maju dan mengangkat bangun Siok Hwa dan Siok Eng.
"Eh-eh, harap kalian jangan bersikap begini. Bangkit dan duduklah. Mari kita bicara karena peristiwa tadi tentu membuat keselamatan kalian terancam," katanya dengan suara lembut. Buntalan pakaian yang tadi digendong di punggungnya, ia lepaskan dan taruh di atas meja. Dibukanya buntalan itu. Ternyata isinya selain pakaian, juga banyak botol-botol kecil dan bungkusan-bungkusan obat. Ia mengambil sebuah bungkusan, membukanya dan memberikannya kepada Siok Hwa.
"Taburkan sedikit bubuk obat ini ke bagian muka mereka yang bengkak dan berikan mereka masing-masing sebutir pel ini untuk ditelan."
Siok Hwa mematuhi petunjuk itu dan setelah bengkak-bengkak pada muka Siok Kan dan Chao Kung ditaburi obat bubuk merah dan mereka menelan sebutir pel, rasa nyeri-nyeri pada tubuh mereka pun berkurang banyak.
"Lihiap, kami sekeluarga berterima kasih sekali kepada Lihiap, kalau tidak ada Lihiap yang datang menolong, celakalah kami sekeluarga," kata Chao Kung sambil menjura.
"Tidak perlu berterima kasih. Yang penting sekarang, harap kalian ceritakan mengapa kalian dimusuhi perwira dan pasukannya itu." Gadis itu berkata lembut setelah dipersilakan duduk di atas kursi.
"Nama saya Chao Kung, ini adalah Ayah mertua saya bernama Siok Kan. Yang ini adalah isteri saya Siok Hwa dan adiknya bernama Siok Eng. Yang terjadi membuat kami sekeluarga penasaran sekali, Lihiap (Pendekar Wanita)!" kata Chao Kung dan dia lalu menceritakan tentang semua peristiwa yang menimpa sekeluarganya.
"Hemm, jadi yang menjadi gara-gara adalah Lai Koan tadi yang didalangi oleh Kim-kongcu dan Kui-kongcu? Siapa itu Kim-kongcu dan Kui-kongcu?"
"Mereka adalah pemuda-pemuda putera pejabat tinggi yang berkuasa di Cin-yang ini, Lihiap. Kim-kongcu bernama Kim Magu, putera Kim Bayan yang menjadi panglima besar di daerah Shan-tung. Adapun Kui-kongcu bernama Kui Con, putera Kepala Pengadilan Kui Hok di kota ini."
"Hemm, sekarang katakan, apakah di Cin-yang ini tidak ada pejabat yang jujur dan bijaksana? Bagaimana dengan Kepala Daerah di sini?"
Chao Kung segera menjawab.
"Kepala Daerah di Cin-yang ini bernama Yo Bun San. Yo-thaijin adalah seorang yang bijaksana dan adil, Lihiap."
"Apakah para pejabat itu bangsa Mongol, atau Pribumi Han?"
"Panglima Kim Bayan adalah seorang Mongol, Pembesar Kui Hok seorang Pribumi, dan Pembesar Yo adalah seorang peranakan Mongol/Han."
"Bagus, sekarang berkemaslah kalian. Kumpulkan dan bawa pakaian dan barang berharga. Kalian akan kubawa menghadap Kepala Daerah Yo Bun San, malam ini juga. Kalau dia seorang pejabat tinggi yang bijaksana, tentu dia akan mau melindungi dan menolong kalian. Biar aku yang bicara dengannya nanti."
Karena gadis baju putih itu merupakan satu-satunya harapan mereka untuk dapat terhindar dari bencana, maka Chao Kung sekeluarga menaati petunjuknya. Mereka berkemas, membawa pakaian dan barang berharga seperti perhiasan dan sebagainya, ditaruh dalam sebuah gerobak dorong dan mereka siap berangkat.
"Lihiap adalah penolong dan penyelamat kami. Mohon tanya, siapakah nama Lihiap yang mulia?" tanya Chao Kung dan pertanyaan ini didukung ayah mertuanya, isterinya dan adik iparnya.
Gadis itu tersenyum ramah.
"Namaku Liu Ceng, aku datang dari Nan-king. Hanya itulah yang dapat kuceritakan. Mari kita berangkat!"
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Setelah menitipkan rumahnya kepada tetangga terdekat, Chao Kung sekeluarga lalu pergi menyurung gerobaknya bersama gadis penolong mereka yang bernama Liu Ceng itu menuju gedung Yo-thaijin yang menjadi Kepala Daerah di Cin-yang.
Yo Bun San adalah seorang peranakan. Ayahnya seorang Mongol aseli yang dulu menjadi seorang perwira tinggi ketika pasukan Mongol masih melebarkan sayapnya ke mana-mana. Ayahnya tewas dalam perang dengan mendapat kehormatan. Ibunya juga sudah meninggal. Ibunya seorang Pribumi Han. Karena jasa-jasa mendiang ayahnya, juga karena Yo Bun San telah lulus ujian kesusastraan, maka dia diangkat menjadi pejabat tinggi dan kini memegang jabatan Kepala Daerah di Cin-yang.
Kini usianya sudah sekitar limapuluh tahun, sikapnya lembut dan sopan. Tubuhnya tinggi kurus dan wajahnya bersih tanpa kumis dan jenggot. Dia seorang pejabat yang adil, jujur dan bijaksana sehingga penduduk Cin-yang menghormatinya. Para pejabat lain tidak suka kepada Kepala Daerah yang jujur dan tidak mau korupsi ini, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu karena Yo Bun San memiliki hubungan baik dengan para pejabat di kota raja. Bahkan Kim Bayan, Panglima Tinggi yang menguasai semua pasukan di daerah Shan-tung, segan kepada Yo-thaijin ini.
Ketika Yo-thaijin mendapat laporan dari para penjaga bahwa ada lima orang datang mohon keadilan, dia merasa heran akan tetapi pembesar yang selalu memperhatikan rakyatnya ini, keluar juga menyambut di ruangan tamu biarpun kunjungan itu dilakukan di waktu malam.
Ketika berhadapan dengan Yo-thaijin, Chao Kung dan isterinya, Siok Kan dan Siok Eng, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Yo-thaijin. Gadis berpakaian putih bernama Liu Ceng itu, tidak berlutut, hanya berdiri dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
"Yo-thaijin, maafkan saya. Sesungguhnya sayalah yang mengajak keluarga ini datang menghadap Paduka di malam hari ini."
Yo-thaijin mengangguk-angguk dan ketika dia melihat Chao Kung dia berkata.
"Ah, bukankah engkau Chao Kung, pedagang rempa-rempa itu?"
"Benar sekali, Thai-jin. Ini adalah Ayah mertua saya Siok Kan, ini isteri saya Siok Hwa dan Adik ipar saya Siok Eng," jawab Chao Kung dengan perasaan tegang dan juga khawatir. Dia meragu apakah datang menghadap Yo-thaijin ini akan berhasil menyelamatkan dia sekeluarga.
"Apakah yang terjadi? Mengapa malam-malam begini kalian datang berkunjung?" tanya pembesar itu.
"Sayalah yang membawa keluarga ini ke sini, Thai-jin," kata Liu Ceng.
Ia lalu menceritakan apa yang terjadi dengan keluarga Chao Kung, betapa Perwira Lai Koan hendak menarik Siok Kan dan Chao Kung menjadi kerja-paksa lalu untuk membebaskan mereka dari kerja-paksa itu, Lai Koan memaksa Siok Hwa dan Siok Eng untuk mau menjadi permainan Kim-kongcu dan Kui-kongcu.
"Demikianlah, Yo-thaijin. Kebetulan saya lewat dan melihat itu saya lalu turun tangan membebaskan keluarga ini dan memberi hajaran kepada Perwira Lai dan pasukannya. Karena saya maklum bahwa keluarga ini pasti akan terancam keselamatannya, maka saya sengaja membawa mereka ke sini untuk minta pertimbangan Thai-jin yang terkenal adil dan bijaksana. Saya mengharap kebijaksanaan Thai-jin untuk melindungi keluarga yang menjadi warga kota yang terancam ini!"
Yo-thaijin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Aahh, sudah sering kami mendengar akan kejanggalan dalam mengumpulkan tenaga kerja bakti, akan tetapi karena tidak ada yang berani melapor, kami tidak mempunyai saksi dan bukti untuk menuntut yang bersalah. Sekarang keluarga Chao Kung dapat menjadi saksi, kami akan melaporkan kepincangan ini kepada Pemerintah Pusat. Perintah dari Kaisar untuk mengumpulkan tenaga kerja bakti bukan dengan cara seperti itu. Bukan memaksa, dan diberi imbalan upah yang sepadan. Biarlah, kami terima keluarga ini mengungsi dulu di sini sampai keadaan aman dan urusan ini kami selesaikan dengan mereka yang tersangkut. Akan tetapi, Nona......." Pembesar itu menghentikan kata-katanya karena dia teringat bahwa dia belum mengetahui nama gadis lemah lembut yang ternyata seorang pendekar wanita ini.
Liu Ceng atau yang biasa oleh orang tuanya disebut Ceng Ceng, tanggap akan kesangsian Kepala Daaerah Yo, segera menyambung.
"Nama saya Liu Ceng, Thai-jin."
"Nona Liu, keluarga Chao Kung boleh mengungsi dan tinggal di sini, akan tetapi maaf, kami tidak berani menerimamu setelah engkau menentang Lai-ciangkun yang menjadi utusan Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Kami kira sebaiknya kalau engkau segera meninggalkan Cin-yang secepatnya."
Ceng Ceng segera memberi hormat dan berkata dengan senyum berkembang di bibirnya.
"Terima kasih, Thai-jin. Saya percaya bahwa Thai-jin yang bijaksana tentu akan menolong dan melindungi keluarga ini. Nah, sekarang saya pergi!"
"Lihiap, terima kasih.......!" Empat orang pengungsi itu sambil masih berlutut mengucapkan terima kasih berulang-ulang, akan tetapi tubuh gadis itu sudah berkelebat sehingga tampak bayangan putih seperti terbang, dengan cepat menghilang dari gedung itu!
Yo-thaijin lalu memerintahkan orang-orangnya untuk membawa empat orang itu ke bagian belakang gedung di mana terdapat banyak kamar untuk para pembantu dan pelayan. Mereka mendapatkan dua buah kamar dan untuk sementara mereka diperkenankan tinggal di gedung Pembesar Yo. Biarpun mereka dianggap sebagai tamu, namun empat orang yang tahu diri ini tidak mau menganggur. Mereka berempat membantu pekerjaan para pembantu dan pelayan sehingga diam-diam Yo-thaijin merasa senang.
Bayangan itu berkelebat dengan gesit sekali ketika melompat ke atas wuwungan gedung tempat tinggal Pembesar Kui Hok, Kepala Pengadilan kota Cin-yang. Melihat pakaiannya yang serba putih sehingga bayangannya yang berkelebatan juga merupakan bayangan putih, kita mudah menduga bahwa bayangan itu tentulah Liu Ceng atau Ceng Ceng.
Ceng Ceng adalah seorang gadis berusia sembilanbelas tahun yang bertubuh sedang dan padat denok. Rambutnya panjang dengan anak rambut menghias dahi dan pelipis, melingkar dengan indahnya. Wajahnya bulat telur, matanya tajam bersinar dan bibirnya yang banyak senyum menjadi tambah manis karena kalau ia tersenyum, di ujung kanan bibirnya timbul lesung yang menarik.
Ia adalah puteri tunggal Liu Bok Eng, bekas panglima Kerajaan Sung yang lihai. Dia ikut mempertahankan Kerajaan Sung ketika pasukan Mongol datang menyerbu. Akan tetapi kekuatan pasukan Mongol tak terbendung sehingga sisa pasukan Sung melarikan diri ke selatan dan menetap di Nan-king. Ketika Nan-king juga direbut, Liu Bok Eng menjadi patah hati dan dia mengundurkan diri. Dia tetap tinggal di Nan-king dan berdagang rempa-rempa bahan obat. Di Nan-king dia tinggal bersama isteri dan puterinya, yaitu Liu Ceng.
Sejak kecil, biarpun ia seorang anak perempuan, Ceng Ceng digembleng ayahnya sendiri yang merupakan seorang ahli silat kelas tinggi dari Siauw-lim-pai. Karena melihat puterinya berbakat, setelah mengajarkan ilmu silat, Liu Bok Eng mengirim puterinya itu kepada Im Yang Yok-sian (Dewa Obat Im Yang), yaitu sutenya (adik seperguruannya) sendiri yang bertapa di Hoa-san dan memiliki keahlian pengobatan yang membuat dia dijuluki Dewa Obat.
Selama dua tahun Ceng Ceng belajar ilmu pengobatan dari susioknya (paman gurunya) sehingga kini dara itu menjadi lihai ilmu silatnya dan ampuh ilmu pengobatannya. Ketika Ceng Ceng minta kepada ayahnya untuk merantau dan melihat-lihat keadaan di utara sambil meluaskan pengetahuan, bekas panglima itu memperbolehkannya. Liu Bok Eng adalah seorang panglima, akan tetapi juga seorang ahli silat dan hal ini membuat wataknya tidak kukuh dan membolehkan puterinya merantau. Dia tidak khawatir karena tahu bahwa Ceng Ceng sudah pandai menjaga dan membela diri. Puterinya itu pandai silat, ahli sastra dan pengobatan, apa yang perlu dikhawatirkan?
Yang merasa prihatin atas kepergian Ceng Ceng adalah ibunya. Wanita berusia empatpuluh tahun yang masih cantik dan berwatak lembut itu sudah, ingin sekali mempunyai mantu dan cucu. Baginya, puterinya yang sudah berusia sembilanbelas tahun itu sudah lebih dari cukup untuk menikah. Akan tetapi, Ceng Ceng selalu menolak keras kalau ada yang melamarnya. Biarpun hatinya tidak setuju dengan niat Ceng Ceng merantau, ia tidak dapat melarang, apalagi karena suaminya menyetujui dan memberi restu kepada anak mereka.
Bayangan putih di atas wuwungan gedung Pembesar Kui Hok itu mendekam di atas sebuah ruangan tengah dan mengintai ke bawah. Begitu meninggalkan Chao Kung sekeluarga di rumah Kepala Daerah Yo, Ceng Ceng segera mencari rumah pembesar yang menjadi kepala pengadilan, ayah dari Kui-kongcu. Ketika ia melihat dua orang penjaga yang membawa golok di pinggangnya meronda di taman sebelah kiri gedung, Ceng Ceng cepat melompat turun dari atas genteng. Gerakannya amat ringan sehingga ketika kedua kakinya menginjak tanah, tidak terdengar suara seolah yang melayang turun itu seekor burung atau kucing.
Dua orang penjaga itu tidak sempat berteriak. Tahu-tahu tubuh mereka menjadi lemas ketika jari tangan yang halus menotok punggung mereka. Mereka sadar namun tidak mampu menggerakkan kaki tangan dan dua kali totokan lagi ke arah leher mereka membuat mereka tidak mampu bersuara.
Ceng Ceng menyeret seorang dari mereka ke bawah lampu yang terdapat di pinggir taman. Ia dapat melihat dengan jelas wajah penjaga yang setengah tua itu.
"Aku akan membebaskan totokan agar engkau dapat bicara. Akan tetapi awas, kalau engkau berteriak atau memberi keterangan bohong, aku tidak akan merasa ragu untuk membunuhmu!" Setelah berkata demikian, ia menekan leher dan dada.
Orang itu dapat mengeluarkan suara.
"Nona, ampuni saya"""
"Baik, akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Di mana kamar Kui-kongcu?"
Orang itu gemetar ketakutan.
"...... Kui-kongcu...... dia...... dia tidak berada di sini......."
"Jangan bohong!" bentak Ceng Ceng.
"Bukankah dia putera Pembesar Kui Hok dan ini tempat tinggalnya?"
"Benar, Nona. Akan tetapi Kui-kongcu tidak berada di rumah. Dia jarang sekali tidur di rumah......."
"Engkau tahu di mana dia?"
Penjaga itu mengenal majikan mudanya sebagai seorang yang mata keranjang dan memiliki banyak wanita simpanan. Mungkin Si Cantik berpakaian putih ini seorang di antara kekasihnya yang cemburu dan kini mencarinya!
"Hayo jawab!"
"Ah...... dia...... biasanya pergi berdua dengan Kim-kongcu dan bermalam di Rumah Pelesir Bunga Merah yang berada di ujung barat kota."
"Engkau tidak bohong?"
"Tidak berani bohong, Nona......."
Ceng Ceng menotoknya lagi sehingga orang itu terkulai lemas. Kemudian tubuhnya berkelebat lenyap dari taman itu. Tidak sukar bagi Ceng Ceng untuk menemukan rumah pelesir yang dimaksudkan penjaga tadi. Rumah itu merupakan sebuah gedung mungil dan di depannya digantungi papan dengan lukisan bunga-bunga merah! Dengan berani Ceng Ceng menghampiri pintu depan rumah itu.
Dua orang laki-laki tinggi besar berwajah galak menghadangnya.
"Siapakah engkau dan apa keperluanmu datang ke sini?" tanya seorang yang mukanya penuh brewok. Dia dan temannya memandang wajah Ceng Ceng dengan heran dan kagum. Biarpun di tempat itu terdapat banyak wanita cantik, namun kecantikan para wanita itu seperti kecantikan gambar yang berada di papan tadi, tak dapat dibandingkan dengan kecantikan gadis berpakaian putih ini yang dapat diumpamakan setangkai bunga putih yang sedang mekar semerbak harum. Para wanita yang berada di dalam itu memiliki kecantikan pulasan, sedangkan gadis ini cantik jelita yang aseli dan segar.
"Aku ingin bertemu dengan Kui-kongcu atau Kim-kongcu untuk menyampaikan urusan penting sekali!" kata Ceng Ceng.
Mendengar ini, dua orang itu hilang galaknya. Kalau gadis ini mempunyai hubungan dengan dua orang kongcu itu, tentu saja mereka tidak berani banyak lagak atau kurang ajar.
"Ah, kedua kongcu itu sedang makan minum di ruangan dalam, Nona. Biar saya beritahu mereka agar mereka keluar menemui Nona."
"Tidak perlu, jangan ganggu mereka yang sedang makan minum. Kauantarkan saja aku menghadap mereka di dalam."
Ucapan Ceng Ceng dan sikapnya yang lembut membuat dua orang penjaga itu tidak menaruh curiga. Wanita cantik jelita dan lemah lembut ini tidak mungkin dapat melakukan hal-hal yang membahayakan kedua orang putera pejabat itu.
"Silakan, Nona," kata orang yang mukanya penuh brewok dan Ceng Ceng lalu mengikutinya masuk ke dalam rumah.
Rumah itu mempunyai tiga ruangan besar dan beberapa buah kamar, juga di loteng terdapat beberapa buah kamar yang diperaboti lengkap dan cukup mewah. Ceng Ceng dibawa masuk ke sebuah ruangan besar yang berada di bagian dalam. Penjaga itu menyuruh Ceng Ceng menunggu di luar pintu dan dia memasuki ruangan di mana dua orang pemuda sedang berpesta pora, dilayani masing-masing oleh dua orang gadis cantik. Mereka tampak gembira, tertawa-tawa.
Kim Magu dan Kui Con yang sedang makan minum dilayani empat orang gadis penghibur itu tampak tidak senang ketika melihat penjaga itu masuk. Akan tetapi ketika penjaga itu melaporkan bahwa ada seorang gadis cantik mencari mereka dan kini berada di luar pintu ruangan, mereka segera memandang ke arah pintu.
"Keluarlah jangan ganggu kami dan suruh gadis itu masuk!" kata Kim Magu dengan suara membentak. Penjaga itu cepat memberi hormat lalu melangkah keluar dari ruangan.
"Engkau disuruh masuk, Nona," katanya dan setelah Ceng Ceng memasuki ruangan, penjaga itu cepat pergi karena dia takut dimarahi dua orang pemuda yang galak itu.
Ceng Ceng melangkah memasuki ruangan itu. Dua orang pemuda itu tercengang melihat gadis berpakaian putih cantik jelita yang memasuki ruangan dengan langkah gemulai itu. Mereka berdua cepat mendorong empat orang gadis yang melayani mereka, bahkan Kui Con yang tadinya memangku seorang gadis, mendorong gadis itu sehingga hampir jatuh.
Ceng Ceng memandang mereka dengan wajah tenang, bahkan bibirnya mengembangkan senyum. Lalu ia menghampiri meja mereka dan berdiri di depan dua orang pemuda yang kini juga sudah berdiri memandangnya. Ceng Ceng melihat bahwa dua orang pemuda itu masih muda dan keduanya berpakaian mewah. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan tampak kokoh kuat, mukanya agak hitam. Adapun yang ke dua, usianya sebaya, sekitar duapuluh satu atau duapuluh dua tahun, tubuhnya sedang, wajahnya tampan, akan tetapi pandang matanya penuh nafsu dan tampak licik.
"Aih, Nona, kami merasa beruntung sekali menerima kunjungan seorang bidadari! Silakan duduk dan makan minum bersama kami!" kata Kim Magu, tidak menyembunyikan perasaan kagumnya.
"Nona yang jelita siapakah namanya, datang dari mana dan ada keperluan apakah Nona mencari kami berdua?" Kui Con tidak mau kalah, bertanya dengan memasang gaya agar tampak tampan, matanya dikejapkan, bibirnya tersenyum lebar.
Seolah tidak mendengar ucapan dua orang pemuda itu, Ceng Ceng melangkah dekat dan bertanya dengan suara lembut, namun pandang matanya mencorong ditujukan kepada mereka penuh selidik.
"Apakah kalian ini yang bernama Kim-kongcu dan Kui-kongcu?"
Seperti berebut, dua orang pemuda itu segera memperkenalkan diri masing-masing.
"Aku Kim Magu, putera Panglima Besar yang mengepalai seluruh pasukan di Propinsi Shan-tung!"
"Aku Kui Con. Ayahku adalah Kepala Kantor Pengadilan di Cin-yang!"
"Hemm, kalian yang mengutus Perwira Lai Koan merampas isteri Chao Kung dan adiknya?"
Dua orang pemuda itu terkejut. Mereka tadi sudah mendengar betapa Perwira Lai gagal membawa dua orang wanita keluarga Chao Kung itu karena diserang oleh seorang pemberontak wanita. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau gadis yang lemah lembut ini yang telah menghajar pasukan yang dipimpin Perwira Lai. Mereka berdua makan minum di Rumah Pelesir Bunga Merah untuk menghibur diri karena kegagalan itu. Kim-kongcu yang memiliki ilmu silat cukup lumayan, sama sekali tidak takut terhadap seorang gadis muda yang cantik jelita dan lemah lembut ini.
"Ha-ha-hal Aku gagal mendapatkan Nona Siok Eng juga tidak mengapa asalkan mendapatkan gantinya seperti engkau, Nona manis!" kata Kim-kongcu dan dia sudah bangkit berdiri bersama Kui-kongcu.
Setelah yakin bahwa dua orang pemuda ini yang dicarinya, Ceng Ceng berkata.
"Bagus, memang kalian berdua yang kucari!" Kakinya mencuat menendang meja hidangan itu.
Kui Con dan empat orang gadis penghibur menjerit karena mereka berlima tertimpa hidangan yang tadinya memenuhi meja, bahkan Kui-kongcu tertimpa meja sehingga mukanya membiru dan lengannya yang mencoba menangkis meja patah tulangnya. Empat orang gadis penghibur itu menjerit dan berlarian lalu berkumpul di sudut ruangan itu saling rangkul sambil menangis.
Ketika meja tertendang, hanya Kim Magu atau Kim-kongcu yang dapat menghindarkan diri. Dia cepat melompat ke samping, kemudian dengan marah dia mencabut goloknya dan menyerang Ceng Ceng dengan ganas.
Akan tetapi, kalau Perwira Lai Koan dan dua losin perajuritnya saja tidak mampu menandingi Ceng Ceng, apalagi Kim Magu yang tingkat kepandaiannya belum begitu tinggi ditambah lagi dia malas berlatih dan hanya memperbanyak pelesir, maka tentu saja berhadapan dengan Ceng Ceng, dia bukan merupakan lawan yang seimbang. Ketika goloknya membacok, dengan sedikit menggeser kakinya saja Ceng Ceng sudah dapat menghindarkan diri dan ketika golok itu menyambar lewat, jari tangan Ceng Ceng menotok dan tubuh Kim Magu roboh terkulai dan tidak mampu bergerak lagi!
Melihat kedua orang muda itu tak mampu bergerak lagi, Kim-kongcu tertotok dan Kui-kongcu tertimpa meja, Ceng Ceng lalu menyeret tubuh mereka dengan mencengkeram rambut mereka keluar rumah itu. Para gadis penghibur dan pengurus rumah hiburan itu sudah sejak tadi lari mengungsi ke tempat lain.
Ceng Ceng mengambil tali yang terdapat di ruangan depan, lalu membawa keluar. Akan tetapi ketika ia menyeret tubuh dua orang pemuda bangsawan itu tiba di pintu depan, lima orang penjaga yang bertugas sebagai tukang pukul, menerjang dan mengeroyoknya! Ceng Ceng melepaskan dua orang pemuda itu untuk menghadapi mereka. Dengan lincahnya ia bergerak dan sebentar saja, lima orang tukang pukul itu sudah roboh tak mampu bergerak karena tertotok jalan darah mereka oleh gadis yang amat lihai ini. Setelah merobohkan lima orang tukang pukul, Ceng Ceng menyeret lagi Kim-kongcu dan Kui-kongcu sampai tiba tepi jalan umum depan rumah pelesir itu.
Dengan cekatan ia lalu mengikat kedua kaki mereka dan menggantungkan tubuh mereka pada cabang pohon yang tumbuh di situ. Dua orang muda itu tergantung dengan kepala di bawah, mirip dua ekor kelelawar!
Setelah selesai menggantung dua orang pemuda itu, Ceng Ceng berkelebat masuk rumah pelesir, menemukan alat tulis dan menulis di atas kain sutera putih yang dirobeknya dari tirai kamar.
Ceng Ceng menuliskan huruf-huruf besar yang indah di atas kain putih itu.
Dua pemuda ini mengandalkan kekuasaan ayah mereka untuk memaksa dan memperkosa wanita. Ayah mereka tidak mampu mendidik anak ini!
Setelah selesai menulis, Ceng Ceng membawa kain itu keluar dan menggantungnya di cabang pohon, di antara tubuh kedua orang pemuda itu. Setelah melakukan ini, ia segera meninggalkan kota Cin-yang malam itu juga.
Tentu saja kota Cin-yang menjadi gempar. Berbondong-bondong penduduk datang untuk menonton dua orang pemuda yang digantung dengan kepala di bawah pada pohon itu dan mereka yang membawa obor menerangi tempat itu. Mereka juga membaca tulisan itu dan ramailah orang-orang membicarakannya. Tidak seorang pun berani atau mau menolong Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Takut terhadap gadis yang menghukum dua orang itu dan juga tidak mau karena mereka semua membenci dua orang pemuda hidung belang yang suka mengganggu wanita cantik. Karena mereka yang melihat Ceng Ceng hanya melihat bayangan putih berkelebat, maka orang-orang menjulukinya Pek-eng Sianli (Bidadari Bayangan Putih)!
Dapat dibayangkan betapa marahnya Kim Bayan dan Kui Hok mendengar bahwa putera mereka digantung. Cepat mereka membawa pasukan untuk menolong putera mereka. Dengan galak mereka membubarkan penduduk yang menonton dan membawa putera mereka pulang.
Kim Bayan yang menjadi panglima, tentu saja merasa malu sekali. Dia memarahi Kim Magu habis-habisan, akan tetapi juga marah kepada gadis yang menghina puteranya. Dia mengerahkan para pembantunya yang lihai untuk mencari gadis berpakaian putih itu. Juga Kui Hok menjadi marah kepada puteranya. Dia hanya mengharapkan Kim Thai-ciangkun berhasil menangkap penjahat wanita berpakaian putih yang telah memberontak itu. Dia sudah mendengar bahwa wanita itu juga yang telah memukul roboh Perwira Lai Koan dan dua losin orang pengawalnya. Kota Cin-yang geger dengan adanya peristiwa itu akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa bersyukur, apalagi mereka yang merasa mempunyai isteri atau anak gadis yang cantik.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Kim Thai-ciangkun dan Kui-thaijin menerima undangan dari Kepala Daerah Cin-yang, yaitu Pembesar Yo Bun San. Bagi Cin-yang, kedudukan Yo-thaijin ini yang paling tinggi. Dia yang berwenang mengatur kota Cin-yang sehingga biarpun Panglima Kim merupakan komandan seluruh pasukan di wilayah Shan-tung, namun di Cin-yang dia harus tunduk kepada Kepala Daerah.
Setelah mereka berdua datang, Yo-thaijin menyambut mereka dan mereka bertiga membicarakan urusan menggemparkan yang terjadi kemarin dan malam tadi. Yo-thaijin menceritakan kepada mereka berdua tentang Keluarga Chao Kung yang diganggu oleh Perwira Lai atas perintah Kim-kongcu dan Kui-kongcu. Dia menceritakan betapa gadis berpakaian putih menolong keluarga terdiri dari empat orang itu dan membawa mereka kepadanya untuk minta perlindungan.
"Semua keributan itu timbul karena perbuatan Kim-kongcu dan Kui-kongcu sendiri!" demikian Yo Bun San mengakhiri keterangannya.
"Dan yang melakukan perlawanan adalah gadis berpakaian putih yang tidak kami ketahui namanya itu. Keluarga Chao Kung sama sekali tidak bersalah. Oleh karena itu, kalau Kim-ciangkun dan Kui-thaijin hendak membalas dendam, carilah gadis berpakaian putih itu. Kami harap Ji-wi (Anda Berdua) tidak memusuhi keluarga Chao Kung yang sama sekali tidak mengenal gadis penolong mereka itu, sama sekali tidak bersalah, bahkan menjadi korban Perwira Lai yang mengumpulkan tenaga kerja secara sewenang-wenang."
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 13 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 23 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 21