Ceritasilat Novel Online

Darah Pendekar 9


Darah Pendekar Karya Kho Ping Hoo Bagian 9




   Ho Pek Lian melakukan perjalanan seorang diri dengan kudanya. Tadinya, ketika meninggalkan Tiong Li dan kakek Kam, ia membalapkan kudanya karena ingin cepat-cepat pergi agar mereka tidak melihat kesedihan dan tidak mendengar tangisnya. Setelah ia pergi jauh, ia membuang ranting dibelakang kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil termenung. Kedukaan menghimpit hatinya, membuat wajahnya pucat kehilangan cahaya, matanya sayu dan kadang-kadang, kalau pikirannya meremas perasaan hatinya dengan kenang-kenangan dan bayangan-bayangan, air matanya meluap keluar dari pelupuk kedua matanya

   
Selama ini ia melakukan perjalanan dengan dua orang gurunya, menemui hal-hal hebat dan semua ini seolah-olah merupakan hiburan, atau setidaknya membuatnya seperti lupa akan keadaan dirinya sendiri, keadaan keluarganya yang berantakan itu. Akan tetapi sekarang, pada saat ia menunggang kuda seorang diri, melalui pegunungan yang sepi itu, tanpa adanya seorangpun manusia menyertainya, ia merasa amat kehilangan kedua orang gurunya dan perasaan kesepian ini menjalar kedalam hatinya, membuatnya termenung dan berduka. Dalam keadaan kesepian itu, pikirannya melayang-layang, mengingat-ingat akan keluarga ayahnya yang menjadi tawanan, dan hatinya terasa semakin terhimpit oleh kesepian yang membuat air matanya mengalir keluar, penuh dengan rasa duka dan sengsara.

   Semakin diingat, semakin gundah hatinya, makin besar rasa iba diri menyerangnya dan membuat ia beranggapan bahwa didunia ini, hanya ia seoranglah yang paling sengsara hidupnya. Kedukaan membuat tubuhnya terasa lemas dan Pek Lian lalu menghentikan kudanya, turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kudanya makan rumput, sedangkan ia sendiri duduk dibawah pohon, bersandar batang pohon dan menerawang kelangit yang penuh awan putih berarak. Akan tetapi sekali ini tidak nampak keindahan diangkasa itu bagi Pek Lian. Bahkan membuat rasa dukanya menjadi semakin menyesak didada. Ia merasa seperti menjadi segumpal awan putih kecil yang melayang-layang jauh dari kelompok awan lain, terpencil disana, sendirian, kesepian.

   Semilirnya angin membuat hatinya perih oleh rasa rindu kepada orang tuanya. Kenangan akan tewasnya Kim-suipoa Tan Sun dan Pek-bin-houw Liem Tat, dua diantara guru-gurunya yang amat sayang kepadanya seperti orang tua sendiri, membuat air matanya mengalir lagi. Bencana yang menimpa keluarga ayahnya masih belum dapat diatasi, kedua orang gurunya telah tewas pula. Usianya baru delapan belas tahun dan ia sudah harus mengalami demikian banyak kepahitan hidup. Ia bukanlah seorang dara yang cengeng, sama sekali bukan! Biarpun sejak kecil, sebagai puteri seorang Menteri yang berkedudukan tinggi ia hidup didalam kemuliaan, kehormatan dan kaya raya, namun Pek Lian bukanlah seorang dara yang manja dan cengeng.

   Sejak kecil pula ia digembleng oleh guru-gurunya sebagai seorang wanita yang berjiwa pendekar, yang tidak mudah mengeluh menghadapi kesukaran. Namun, kepahitan yang dihadapinya sekarang ini terlampau hebat, luka dihatinya terlampau parah, membuatnya menangis seorang diri ditempat sunyi itu. Ia harus bertemu dengan ayahnya sekali lagi sebelum ayahnya dihukum! didunia ini, ia hanya mempunyai seorang keluarga terdekat, yaitu ayahnya. Ibunya sudah tiada, dan ia tidak mempunyai saudara kandung. Ia harus bertemu dengan ayahnya, apapun yang akan terjadi! Bisikan hati ini menggugah semangat Pek Lian dan iapun bangkit lagi, menaiki punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.

   Matahari telah condong ke barat ketika kuda yang ditunggangi Pek Lian menuruni sebuah lereng bukit. Ia menghentikan kudanya dan memandang kesekeliling, hendak mencari sebuah dusun untuk melewatkan malam ketika tiba-tiba ia melihat munculnya lima orang wanita. Begitu bertemu, Pek Lian terkejut karena ia mengenal mereka itu sebagai rombongan wanita bertusuk konde batu giok yang pernah ia jumpai ketika ia masih bersama-sama dua orang gurunya. Lima orang wanita itu muncul dari jalan simpangan dan bertemu dengannya tepat diperempatan jalan kecil itu. Dan mereka berlima itupun agaknya terkejut melihatnya, dan mengenalnya pula. Mereka berhenti dan seorang diantara mereka yang bertahi lalat dibawah telinga kiri berkata, suaranya lantang,

   "Ah, engkaukah ini? dimana adanya kokcu (ketua lembah) yang muda itu bersama tiga orang sam-lonya? Kenapa engkau hanya sendirian saja?" Pertanyaan ini lantang dan diajukan dengan nada suara yang meremehkan, tanpa sikap hormat sama sekali seperti sikap orang dewasa yang bertanya kepada anak kecil saja. Pada saat itu, batin Pek Lian sedang mengalami tekanan dan dalam keadaan seperti itu, tentu saja ia mudah sekali tersinggung. Hatinya terasa mengkal dan ia sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan dengan gemas ia menarik kendali kudanya, membuat kuda itu terlonjak dan lari. Dengan dagu terangkat Pek Lian lewat menanggalkan mereka.

   "Haii, bocah sombong, tunggu!" Terdengar bentakan dibelakangnya, disusul berkelebatnya bayangan lima orang itu yang sudah melakukan pengejaran.

   "Tar-tar-tarrr!" Pek Lian terkejut sekali melihat sinar biru menyambar-nyambar didekat kepalanya dan meledak ketika ia mengelak. Kiranya ia telah diserang oleh seorang diantara mereka dengan sehelai sabuk berwarna biru yang tadi melakukan totokan tiga kali berturut-turut kearah leher dan pundaknya.

   "Orang-orang jahat!" bentaknya dan terpaksa ia meloncat turun dari atas kudanya sambil mencabut pedangnya.

   "Kalian kira aku takut melawan?" Iapun sudah memutar pedangnya dan menyerang wanita yang tadi menggerakkan sabuk. Karena dalam keadaan marah dan menganggap bahwa wanita itu tentulah bukan golongan baik-baik dan yang agaknya sengaja hendak memusuhinya, Pek Lian sudah menyerang dengan dahsyat sehingga gerakan pedangnya melahirkan tusukan-tusukan maut kearah wanita itu. Wanita itu mengelak beberapa kali, nampaknya terkejut juga menyaksikan kehebatan gerakan pedang ditangan Pek Lian.

   "Cring! Tarang-tranggg!!" Bunga api berpijar menyilaukan mata dan kembali wanita itu terkejut ketika memperoleh kenyataan betapa tenaga dara muda itu cukup kuat untuk menandingi tenaganya. Pek Lian terus menyerang, akan tetapi wanita yang bertahi lalat, yang menjadi pemimpin diantara mereka, segera berteriak dan teman-temannya sudah maju mengepung Pek Lian.

   Pek Lian terus memutar pedangnya, melawan mati-matian dan penuh kemarahan. Akan tetapi tingkat kepandaiannya hanya seimbang dengan seorang diantara mereka, maka setelah mereka berlima maju bersama, tentu saja ia segera terdesak hebat. Untung baginya bahwa lima orang wanita, bertusuk konde batu giok itu agaknya tidak berniat membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia tidak akan dapat bertahan lama. Beberapa belas jurus kemudian, lima orang itu mempergunakan sabuk biru yang menyambar-nyambar dan. akhirnya Pek Lian terpaksa menyerah ketika sabuk-sabuk biru itu telah melibat tubuhnya, membuat ia tidak dapat lagi menggerakkan kaki tangannya. Ia tertawan dan dibelenggu kedua lengannya kebelakang.

   "Manusia-manusia hina, pengecut besar. Beraninya hanya main keroyokan! Kalau mau bunuh lekas bunuh, jangan dikira aku takut mati!" teriak Pek Lian marah.

   "Pemberontak hina!" Si tahi lalat itu memaki dan makian ini membuat Pek Lian membungkam. Siapakah mereka ini, pikirnya, dan apakah mereka ini tahu bahwa ia adalah puteri Menteri Ho yang dianggap pemberontak? Ia mulai merasa khawatir. Kalau sampai ia ditangkap sebagai pemberontak, ditawan seperti ayahnya, tentu ayahnya akan marah dan semua usahanya sia-sia belaka. Ia harus mencari akal dan kesempatan untuk meloloskan diri dari orang-orang ini. Ia harus mencari ayahnya. Akan tetapi, gerak-gerik lima orang wanita ini demikian teliti dan teratur, jelas menunjukkan bahwa mereka adalah rombongan orang-orang terlatih, seperti pasukan kecil yang dikemudikan oleh pemimpinnya, yaitu wanita yang bertahi lalat. Tak pernah mereka itu lengah menjaganya dan ketika malam tiba, mereka berhenti dibagian yang tinggi dan agaknya mereka itu menanti sesuatu.

   Pek Lian tidak pernah membuka mulut dan hanya memperhatikan gerak-gerik mereka yang juga tidak banyak mengeluarkan kata-kata itu. Mereka berlima itu bersikap seperti menantikan orang, sering kali memandang keempat penjuru dari tempat tinggi itu dan saling pandang seperti orang-orang yang mulai merasa gelisah. Pek Lian menduga-duga siapa gerangan yang mereka nantikan. Ia teringat bahwa ketika ia bersama kedua orang gurunya dan juga orang-orang Lembah Yang-ce melakukan perjalanan dan berjumpa dengan mereka ini, terdapat delapan orang diantara wanita bertusuk konde batu giok ini. Akan tetapi sekarang hanya tinggal lima orang. kemanakah perginya tiga orang lagi? Apakah mereka ini menanti munculnya tiga orang kawan mereka itu? Pek Lian diajak makan dan dara ini tidak menolak.

   "Kalau engkau tidak melawan, kamipun tidak akan mengganggumu, hanya engkau harus menurut saja sebagai tawanan yang baik," kata si tahi lalat sambil melepaskan belenggu kedua tangan Pek Lian.

   Pek Lian hanya mengangguk. Ia tidak takut, hanya ia tahu bahwa kalau ia bersikap keras, ia tidak berdaya untuk lolos, ia harus mempergunakan kecerdikan dan tidak menuruti hati yang panas. Setelah makan, mereka berlima itu duduk bersila, seperti orang bersamadhi, membentuk lingkaran dan Pek Lian berada ditengah-tengah. Pek Lian maklum bahwa lima orang wanita itu beristirahat, namun mereka itupun tidak pernah lengah dan ia seperti dikurung. Maka iapun mencontoh perbuatan mereka, duduk bersila mengumpulkan tenaga. Api unggun yang dibuat oleh mereka itu bernyala tak jauh dari mereka, mengusir nyamuk dan dingin. Hanya satu kali si tahi lalat itu mengeluarkan suara yang mengandung kegelisahan,

   "Mengapa sampai sekarang mereka belum juga datang?" Ucapan ini meyakinkan hati Pek Lian bahwa mereka tentu menanti datangnya tiga orang kawan mereka, dan memang dugaannya ini tepat. Lima orang wanita yang memiliki ciri khas, yaitu tusuk konde batu giok itu, memang sedang menantikan datangnya tiga orang kawan mereka.

   Menjelang tengah malam, suasana. sunyi bukan main ditempat itu. Hutan didekat puncak bukit nampak hitam menyeramkan dan suara binatang-binatang hutan kadang-kadang membuat Pek Lian terkejut dan membayangkan yang bukan-bukan. Biarpun ia masih duduk bersamadhi seperti lima orang yang menawannya, namun diam-diam Pek Lian selalu waspada. Sedikit saja kesempatan untuk meloloskan diri, sudah pasti tidak akan dilewatkannya. Akan tetapi, lima orang itu agaknya tidak pernah lengah, karena mereka itu masih tetap menantikan munculnya tiga orang kawan mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi desing disebelah selatan. Mereka semua terkejut, termasuk Pek Lian dan semua orang menengok kearah selatan. Nampak oleh mereka meluncurnya anak panah berapi kuning yang meluncur keangkasa. Anak panah tanda bahaya! Si tahi lalat sudah meloncat bangun dan berkata,

   "Tanda bahaya mereka! Tentu terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita bantu mereka. A-bwee, engkau disini menjaga tawanan!"

   Wanita yang disebut A-bwee mengangguk dan tanpa diduga oleh Pek Lian, wanita ini sudah meringkus dan membelenggu kedua lengannya. Pek Lian terkejut dan hendak melawan, namun maksud hati ini diurungkannya, karena apa dayanya menghadapi mereka berlima? Kedua lengannya diikat dibelakang tubuhnya dan setelah melihat betapa tawanan itu tidak berdaya, empat orang diantara mereka lalu berloncatan pergi sedangkan yang seorang itu duduk menjaga tawanan yang sudah terbelenggu kedua lengannya itu. Ketika empat orang wanita gagah itu dengan tangkasnya berloncatan kearah anak panah tanda bahaya tadi, tiba-tiba mereka melihat anak panah kedua dan mengertilah mereka bahwa teman-teman mereka terancam bahaya besar.

   "Mari cepat!" kata yang bertahi lalat dan merekapun mengerahkan seluruh kepandaian mereka berlari cepat menuruni bukit itu dan ketika mereka tiba dilereng, mereka melihat betapa pemimpin mereka sedang berkelahi dengan amat serunya menghadapi seorang nenek yang bertubuh gendut dan lihai bukan main. Jelaslah bahwa pemimpin mereka itu terdesak hebat. Tak jauh dari situ nampak seorang kakek kurus kecil sedang berjongkok, nongkrong diatas sebuah pedati. Dekat pedati itu tergeletak dua orang tubuh wanita, dua diantara tiga kawan kelompok wanita bertusuk konde batu giok itu. Melihat betapa muka mereka nampak kebiruan, mudah diduga bahwa mereka itu tentu terluka hebat dan keracunan. Begitu melihat nenek gendut dan kakek kurus ini, empat orang wanita yang baru datang terkejut bukan main.

   "Iblis-iblis dari Ban-kwi-to (Pulau Selaksa Iblis)!" teriak mereka dan merekapun sudah cepat mencabut pedang untuk membantu pemimpin mereka.

   "Awas...!" Pemimpin mereka berseru sambil memutar pedang melindungi dirinya dari desakan lawan.

   "Lindungi hidung dengan saputangan! Tempat ini telah penuh disebari racun oleh iblis-iblis ini!" Mendengar seruan itu, empat orang wanita bertusuk konde giok segera mengikatkan saputangan melindungi hidung dan mulut mereka, kemudian merekapun maju mengeroyok wanita gendut yang amat lihai itu. Hebat bukan main wanita gendut itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi ia dapat bergerak dengan amat gesitnya dan ia menghadapi pengeroyokan lima orang wanita lihai yang berpedang itu dengan kedua tangan kosong saja!

   Akan tetapi, yang terancam maut malah lima orang pengeroyoknya karena setiap gerakan wanita gendut ini selalu mengandung bahaya. Jarum-jarum halus menyambar-nyambar dari jarak dekat kepada mereka sehingga mereka itu harus lebih banyak mempergunakan pedang mereka untuk melindungi tubuh. Setiap tamparan tangan wanita itupun mengandung hawa beracun yang selain membawa bau amis, juga mengandung hawa yang kadang-kadang amat panas dan kadang-kadang amat dingin. Untunglah bahwa lima orang wanita itu memang pada dasarnya memiliki ilmu pedang yang tangguh, dan setelah kini mereka maju berlima, nenek gendut itu tidak mudah merobohkan seorang diantara mereka.

   "He-he..., ha-ha-ha, rasakan sekarang! kau sekarang dikeroyok banyak orang lihai, sebentar lagi tentu kau akan dicincang pedang mereka menjadi bakso! ha-ha-ha! Mereka akan menggorok lehermu yang buntek, menusuk hidungmu yang pesek dan merobek perutmu yang gendut, lalu kau boleh pelesir keneraka! Dan aku akan bebas, heh-heh! Jadi ini namanya kita sehidup semati, aku yang hidup, kau yang mati dan aku akan kawin lagi, aku akan mencari yang muda, yang cantik, yang... heiiiittt!" Kakek kecil kurus itu cepat mencelat dan mengelak karena tiba-tiba saja isterinya, si nenek gendut itu telah meninggalkan lima orang pengeroyoknya dan menyerang kearah suaminya dengan terkaman dahsyat. Melihat suaminya mengelak, nenek itu menyerang lagi dengan hebatnya dan sekarang suaminya menangkisnya.

   "Desss!!" Nenek gendut itu terdorong sampai tiga langkah akan tetapi suaminya terdorong sampai lima langkah. Ini saja membuktikan bahwa si nenek itu ternyata lebih lihai dari pada suaminya. Perkelahian antara suami-isteri iblis ini demikian hebatnya, membuat lima orang wanita bertusuk konde giok itu melongo. Ketika suami-isteri itu mulai mempergunakan racun, si suami menyebar pasir beracun, sedangkan isterinya yang tidak mau kalah itu menyebar jarum-jarum dan asap beracun, lima orang wanita itu cepat menyingkir sambil menyeret dua orang kawan mereka yang terluka. Sepasang iblis tua itu benar-benar gila. Agaknya mereka sudah melupakan sama sekali tentang musuh-musuh mereka dan kini mereka itu berkelahi mati-matian.

   Si nenek lebih ganas lagi menyerang, baik dengan kaki tangan maupun dengan mulutnya yang memaki-maki, dan akhirnya kakek itu kewalahan lalu melarikan diri terbirit-birit, dikejar oleh isterinya yang makin keras memaki-maki penuh kemarahan. Melihat kesempatan ini, lima orang wanita bertusuk konde giok itu cepat membawa dua orang teman mereka yang terluka untuk menjauhkan diri dari tempat berbahaya itu. Yang terpenting bagi mereka adalah mencoba untuk menolong dua orang teman yang terluka. Cepat mereka membawa dua orang itu kedalam hutan dan setelah merebahkan kedua teman itu diatas rumput, mereka berusaha mengobati dengan pengerahan sinkang dan dengan obat-obat penawar racun yang selalu mereka bawa diantara obat-obat luka luar atau dalam.

   Akan tetapi, luka-luka beracun yang diderita oleh dua orang itu sungguh berbeda dengan luka-luka beracun biasa. Luka gigitan ular berbisa saja masih akan dapat disembuhkan oleh mereka, akan tetapi luka-luka yang diakibatkan serangan tokoh Ban-kwi-to itu sungguh luar biasa sekali dan semua usaha pengobatan mereka sia-sia. Nyawa kedua orang itu tidak dapat diselamatkan dan akhirnya merekapun tewas tanpa dapat meninggalkan kata-kata pesanan lagi. Lima orang wanita yang kelihatan gagah perkasa itu, kini menangisi mayat dua orang temannya. Kemudian pemimpin mereka, yang tadi dengan gagahnya melawan nenek iblis, menghentikan tangis mereka dan dengan wajah muram berduka mereka lalu mengubur jenazah kedua orang teman mereka ditempat itu juga.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berlima meninggalkan dua gundukan tanah itu dan bergegas kembali ketempat dimana mereka meninggalkan seorang teman mereka menjaga tawanan. Akan tetapi apa yang mereka dapatkan ketika mereka tiba ditempat itu membuat mereka terkejut bukan main. Tawanan telah lenyap dan teman mereka yang bernama A-bwee itu telah menggeletak tanpa nyawa, dengan muka kebiruan tanda keracunan pula! Setelah mereka berlima memeriksanya, ternyata luka keracunan yang diderita mayat ini sama dengan yang diderita oleh kedua orang teman mereka yang tewas.

   "Keparat busuk!!" Pimpinan mereka, wanita berusia empat puluh tahun yang sepasang matanya berkilat-kilat tajam itu, berseru marah sambil menghentak-hentakkan kakinya keatas tanah, wajahnya penuh geram dan kedukaan.

   "Sepasang iblis itu sungguh jahat dan kejam! Sayang kita bukan tandingan mereka. Kita harus cepat pulang dan melapor, biarlah siocia yang akan membalaskan sakit hati ini!"

   Dengan berduka merekapun mengubur jenazah teman ketiga ini. Tentu saja mereka merasa berduka dan terpukul sekali. Mereka terkenal sebagai Delapan Singa Betina yang terkenal, dan sekarang, sungguh tak terduga sama sekali, dalam waktu semalam saja, jumlah delapan itu tinggal lima dan yang tiga tewas dalam keadaan yang amat menyedihkan. Dan penderitaan ini, korban tiga nyawa ini sungguh merupakan, korban yang sia-sia dan mati konyol, karena mereka bentrok dengan sepasang iblis itu tanpa sebab-sebab tertentu yang kuat, hanya merupakan percekcokan diantara dua kelompok yang berpapasan dijalan! Setelah selesai mengubur jenazah teman ketiga itu. Lima orang wanita bertusuk konde batu giok itu lalu cepat meninggalkan tempat itu dengan wajah muram.

   Sudah sejak tadi Pek Lian merasa betapa jalan darahnya telah pulih kembali. Akan tetapi ia tidak berani bergerak, dan pura-pura masih lumpuh tertotok atau setengah pingsan. Tubuhnya bergoyang-goyang dalam keadaan rebah miring dibagian belakang gerobak yang berjalan lambat-lambat itu, berjalan diatas jalan yang tidak rata sehingga bergoyang-goyang keras. Hanya sepasang mata dara itu saja yang bergerak melirik kebagian depan gerobak, dimana nampak dua orang suami-isteri gila itu sedang duduk berdampingan dan bercanda, tertawa-tawa, kadang-kadang mereka itu bercumbu dengan kasar, tanpa mengenal malu seolah-olah tidak ada Pek Lian didekat mereka yang dapat melihat semua adegan ini. Begitulah kalau suami-isteri itu sedang dalam keadaan rukun.

   Pek Lian memejamkan kedua matanya. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan kurus. Memang selama ayahnya ditawan ia mengalami banyak hal-hal yang pahit, ditambah lagi dengan kematian dua orang gurunya, membuat dara ini menderita tekanan batin yang membuatnya kurus dan pucat. Namun wajah yang kini nampak pucat itu masih tidak kehilangan kecantikannya. Biarpun rambutnya awut-awutan, kulit mukanya agak kotor dan pakaiannya kusut, dara ini masih nampak gagah dan cantik manis. Dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati dan keberanian yang luar biasa. Mulutnya tidak pernah membayangkan rasa takut, sedangkan sepasang matanya yang memang agak lebar itu, setelah wajahnya menjadi kurus nampak lebih lebar lagi, sepasang mata tajam yang mengeluarkan sinar berkilat.

   Memang pantaslah puteri Menteri Ho ini menjadi pimpinan para pendekar di puncak Awan Biru, membantu suhunya. Sebutan "nona Ho" oleh para pendekar dengan sikap menghormat, tidaklah mengecewakan karena selama ini sepak teriang Ho Pek Lian memang gagah perkasa dan nenuh semangat. Akan tetapi pada saat itu, Ho Pek Lian atau nona Ho yang dikagumi para patriot itu, berada dalam keadaan yang menyedihkan dan sama sekali tidak berdaya. Dalam keadaan lumpuh tertotok ia menjadi tawanan sepasang suami-isteri iblis itu, dan ia tahu bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi seorang saja diantara mereka, apa lagi kalau harus menghadapi mereka berdua.

   Dalam keadaan lumpuh tertotok, ia dilempar begitu saia seperti karung kosong diatas gerobak dan selanjutnya suami-isteri-itu tidak memperdulikannya dan membawanya melalui dusun-dusun yang terpencil menuju keutara. Biarpun ia tidak takut menghadapi kematian, akan tetapi menghadapi kemungkinan apa yang akan dilakukan oleh sepasang iblis itu kepadanya, membuat Pek Lian merasa ngeri juga. Ada hal-hal yang lebih mengerikan dari pada kematian. Siang tadi saja ia telah mengalami hal yang mengerikan, masih meremang bulu tengkuknya kalau ingat. Si kakek kecil kurus yang seperti tulang bungkus kulit itu mendekatinya. Kemudian jari-jari tangan yang kecil dan keras dingin itu meraba dan membelai lehernya. Pek Lian merasa ngeri dan bulu-bulu diseluruh tubuhnya bangkit berdiri. Ia menutupkan kedua matanya dan menahan bau apek yang keluar dari tubuh kakek itu.

   "Heh-heh-heh, halus kulitnya. hemm, lunak halus. Cantik sekali gadis ini!" Jari-jari tangan itu meraba dan membelai. Pek Lian menahan jeritnya ketika jari-jari tangan itu makin menurun kedadanya. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menarik tangannya ketika isterinya menghardik.

   "Hem, bagus, ya? Dahulu engkau merayu dan mengatakan bahwa didunia ini akulah wanita paling cantik! Dan sekarang, didepan hidungku engkau memuji kecantikan lain orang! Bagus, ya? Engkau menantangku, ya?"

   "Uhh, tidak, tidak! Jangan salah sangka, isteriku yang manis. Sampai sekarangpun, engkaulah wanita paling cantik didunia. Gadis ini memang cantik, akan tetapi engkaulah yang paling cantik. Heh-heh!"

   "Betulkah itu, kakanda?" Si isteri merayu manja.

   "Heh-heh, siapa bohong padamu?" jawab kakek itu dan merekapun lalu bercanda, bergelut didalam gerobak, saling berciuman, saling cubit dan saling cakar sampai gerobak itu bergoyang-goyang dan berguncang keras! Melihat semua ini, Pek Lian memejamkan matanya akan tetapi tidak mampu menutup telinganya yang terpaksa mendengar semua cumbu rayu mereka yang kasar itu. Setelah permainan cinta mereka itu mereda, si isteri berkata,

   "Awas engkau, ya? Sekali lagi engkau berani menyentuhnya, akan kurobek kulit yang kau sentuh dan akan kupatahkan tanganmu yang menyentuh!" Tentu saja Pek Lian bergidik ngeri, akan tetapi hatinya merasa lega juga.

   Kakek itu sangat takut kepada bininya yang besar cemburu itu dan hal ini telah menolongnya karena ia melihat pandang mata penuh nafsu dari kakek itu kepadanya. Akan tetapi suami-isteri itu sungguh menyeramkan dan agaknya keduanya memang tidak normal otaknya. Mereka itu kadang-kadang bermain cinta didepannya saja, dan kadang-kadang bercekcok sampai berkelahi mati-matian. Pek Lian merasa tersiksa bukan main. Ia tidak tahu hendak dibawa kemana dan mau diapakan oleh suami-isteri itu. Belum setengah hari ia berada didalam gerobak tubuhnya sudah terasa gatal-gatal, kulitnya timbul bintik-bintik merah seperti digigiti nyamuk. Ia tahu bahwa hal itu disebabkan oleh hawa beracun yang memenuhi gerobak itu. Untung bahwa ia telah memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat sehingga ia dapat melawan hawa beracun ini.

   Yang amat menyiksanya hanyalah totokan yang membuat kaki tangannya seperti lumpuh itu. Pek Lian memulihkan tenaganya. Totokan itu telah mulai kehilangan kekuatannya dan jalan darahnya pulih kembali. Ia diam saia, pura-pura masih lumpuh. Sampai lama ia membiarkan darahnya berjalan lancar sampai akhirnya ia merasa betapa tubuhnya telah segar dan sehat kembali. Pek Lian menanti sampai malam tiba. Gerobak itu dihentikan oleh dua orang penawannya ditepi jalan dan seperti biasa, suami-isteri itu meninggalkan gerobak untuk mencari bahan makan malam. Indah kesempatan terbaik, pikir Pek Lian dan setelah melihat mereka pergi, iapun cepat meloncat turun. Senja telah tiba dan cuaca mulai remang-remang. Akan tetapi, tiba-tiba dara ini meloncat kembali memasuki gerobak ketika ia mendengar suara kakek nenek itu tertawa-tawa dari jauh.

   "Aduh, dingin sekali airnya...!" Terdengar kakek itu berseru dan tahulah Pek Lian bahwa mereka itu sedang mandi. Agaknya terdapat sumber air, anak sungai atau telaga didekat tempat itu.

   Iapun mengintai dari balik tirai gerobak, melihat apakah keadaannya cukup aman baginya untuk melarikan diri. Ia harus berhati-hati sekali karena kakek dan nenek itu lihai luar biasa dan kalau sampai larinya ketahuan sebelum ia pergi jauh sekali, besar bahayanya ia akan tertawan kembali. Tiba-tiba ada angin menyambar yang membuat pintu gerobak itu bergerak dan hampir saja Pek Lian menjerit saking kagetnya ketika mendadak ada tubuh meloncat masuk dan tahu-tahu kakek kurus itu telah berdiri dipintu gerobak dalam keadaan telanjang bulat sama sekali! Badannya yang kurus itu masih basah kuyup, air masih menetes-netes dari seluruh tubuhnya. Pek Lian menutupi mulut dengan tangan menahan jeritnya dan cepat membuang muka agar tidak usah melihat tubuh telanjang itu walaupun cuaca mulai remang-remang dan ia tidak dapat melihat jelas.

   "Heh-heh-heh, engkau sudah dapat bangun, manis? Bagus, mari temani aku bersenang-senang sebentar!" Dan kakek itu lalu menubruk dan meraih tubuh Pek Lian.

   "Tidak! Jangan...!" teriaknya dan ia memapaki tubuh itu dengan pukulan tangannya.

   "Plakk!" Pergelangan tangannya ditangkap dan sebelum tangan kedua bergerak, juga pergelangan tangan kedua ini ditangkap oleh kakek itu yang terkekeh dan ada air liur menetes dari mulutnya ketika dia mencoba untuk mencium muka nona itu. Pek Lian. meronta-ronta sekuat tenaga, melawan mati-matian dan tiba-tiba kakinya yang tertindih, tanpa disengaja, menendang sebuah benda didalam gerobak itu.

   "Prakk!" Guci kecil itu pecah dan dari dalam guci itu keluarlah berpuluh-puluh kelabang merah. Bau amis memenuhi ruangan gerobak itu dan Pek Lian menggigil ketakutan melihat kelabang-kelabang besar merah itu merayap cepat dan ada yang merayap kepakaiannya, bahkan memasuki lubang celana dan bajunya. Ia berteriak-teriak dan mencoba untuk mengusir binatang-binatang itu.

   "Heh-heh-heh, ha-ha-ha!" Kakek itu merasa girang bukan main dan agaknya dia seperti seorang anak kecil yang menemukan permainan baru. Sejenak dia lupa akan rangsangan nafsu berahinya dan dia merasa gembira sekali melihat gadis itu tersiksa seperti itu. Sambil berjongkok didekat Pek Lian, dia terkekeh-kekeh melihat gadis itu menggeliat-geliat kengerian dikeroyok puluhan ekor kelabang itu! Dan Pek Lian sekali ini baru dapat mengalami apa artinya rasa takut dan jijik. Dari takutnya ia sampai jatuh pingsan! Melihat gadis ini pingsan, kakek itu seperti kehilangan kegembiraannya dan teringat lagi akan nafsu berahinya maka diapun mulai meraba-raba hendak menanggalkan pakaian gadis itu. Akan tetapi, baru dua buah kancing baju dibukanya, tiba-tiba dia menarik kembali tangannya mendengar isterinya berteriak-teriak dari kejauhan.

   "Bangsat penipu pembohong! Laki-laki penakut dan pengecut! dimana kau? Akan kurobek mulutmu yang membohongiku. Dimana ada buaya disungai itu? Sampai kehabisan napas aku menyelam dan mencari-cari tanpa hasil. kau pembohong! dimana kau? Jangan lari!" Mendengar teriakan isterinya ini, kakek itu menjadi ketakutan dan cepat diapun meloncat keluar dari dalam gerobak dan melarikan diri dalam keadaan masih telanjang bulat, meninggalkan Pek Lian yang masih rebah pingsan didalam gerobak. Nenek itu meloncat masuk kedalam gerobak. Matanya terbelalak melihat binatang-binatang itu terlepas dan berkeliaran disitu.

   "Wah, celaka, siapa berani melepaskan peliharaan kesayanganku, hah?" Cepat ia mengambil sebuah botol kecil dan menuangkan isinya yang berupa cairan kedalam mangkok. Bau yang amis busuk memenuhi tempat itu dan sungguh mengherankan sekali, semua kelabang itu cepat-cepat merayap datang dan memasuki mangkok itu. Nenek itu menangkapi dengan jari-jari tangan yang cekatan sekali dan tak lama kemudian semua kelabang sudah disimpannya kembali kedalam sebuah guci kosong. Kemudian ia memperhatikan keadaan Pek Lian dan alisnya yang tebal itu berkerut. Apa lagi ketika ia melihat genangan air didalam gerobak. Ia lalu meloncat turun dan kembali terdengar suaranya memaki-maki.

   "Bangsat cabul tak tahu diri! dimana kau?" Tak lama kemudian, nenek itu mendapatkan suaminya sedang enak-enak memancing ikan ditepi sungai sambil bersiul-siul, seolah-olah tidak pernah melakukan sesuatu yang salah. Akan tetapi, agaknya isterinya tidak dapat dikibuli begitu saja dan segera telinga sang suami dijewer dan dia diseret oleh isterinya yang galak itu kembali kepedati, yang segera diberangkatkan oleh nenek yang marah-marah itu. Dengan terjadinya peristiwa itu, pengawasan si nenek menjadi lebih ketat sehingga kakek itu tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk mencoba-coba mendekati Pek Lian. Hal ini tentu saja amat menguntungkan Pek Lian, akan tetapi disamping itu, juga ia mengalami penyiksaan lain sebagai akibat dari rasa cemburu dan benci dari nenek iblis.

   Karena cemburu, kini sikap nenek iblis itu terhadap Pek Lian menjadi sadis. Pada hari ketiga, Pek Lian tidak dibelenggu kedua lengannya lagi, melainkan diharuskan duduk dibagian depan, diatas tempat duduk kusir dan kaki kanannya dirantai dengan tiang gerobak. Ia diharuskan menjadi kusir, mengamati dan mengendalikan kuda penarik gerobak. Lebih celaka lagi, nenek itu telah menotok urat gagunya sehingga ia tidak mampu mengeluarkan suara, hanya duduk dengan antengnya dibangku kusir sementara itu suami-isteri iblis itu bersenang-senang didalam gerobak. Pek Lian masih selalu menanti saat baik. Bagaimanapun juga keadaannya, gadis perkasa ini tidak pernah putus asa. Selama hayat dikandung badan, ia tidak akan pernah putus harapan. Pada suatu ketika, ia pasti akan dapat meloloskan diri.

   Ia tidak mau mati konyol dengan melakukan perlawanan yang sia-sia belaka terhadap suami-isteri iblis yang amat lihai itu. Bagaimanapun juga, ia kini terlindung oleh rasa cemburu isteri itu terhadap suaminya. Bahaya yang terbesar telah tersingkir dan iapun tidak bodoh untuk dapat menduga bahwa suami-isteri itu tidak menghendaki kematiannya, karena kalau demikian halnya, tidak mungkin ia dibiarkan hidup sampai tiga hari lamanya. Hari itu, sejak pagi telah turun hujan. Akan tetapi suami-isteri iblis itu membiarkan Pek Lian tetap duduk diluar dan kehujanan sampai pakaiannya basah kuyup. Juga nenek itu tidak memperbolehkannya menghentikan gerobak untuk berteduh. Tentu saja keadaan Pek Lian ini membuat orang-orang yang melihatnya menjadi terheran-heran. Sementara itu, didalam gerobak terjadi pula perdebatan antara suami dan isterinya yang galak itu.

   "Eh, isteriku yang manis, yang denok, diluar hujan deras sekali. Apakah akan kau biarkan saja anak ayam itu kehujanan diluar? Ia bisa masuk angin dan sakit"

   "Huh! kau perduli apa sih? kau kasihan ya? kau cinta padanya ya?"

   "Eh, eh... jangan marah dulu dong! Aku hanya bilang kalau ia sakit dan tidak dapat mengendalikan kuda, kita akan kehilangan seorang kusir yang can... eh, yang cakap."

   "Sudah, jangan cerewet! Biarkan saja. Hayo kita bersenang-senang, didalam sini kan hangat, mari kita main adu kelabang!"

   "Isteriku yang manis, mengapa tidak dibunuh saja biar lekas beres dan tidak mengganggu?"

   "Manusia tolol engkau! Lupakah engkau bahwa kita pernah dipesan oleh Sam-suci? Aku akan diberi hadiah ramuan awet muda yang diciptakannya, apabila kita dapat mencarikan seorang gadis muda cantik keturunan bangsawan yang bertulang bagus dan berdarah murni, juga mempunyai kepandaian tinggi. Nah, inilah gadis itu!"

   "Alaaaa, awet muda. Mana bisa orang tetap awet muda kalau usianya sudah tua?" kakek itu menggerutu.

   Mereka tidak mempersoalkan Pek Lian dan gadis itupun tidak mau memperhatikan mereka. Ia merasa muak sekali dan ia sudah lama belajar untuk menulikan telinganya, tidak mendengarkan apa yang terjadi di dalam gerobak. Ketika ia mendengar betapa suami isteri iblis yang tadinya bercanda itu kini tidur mendengkur, diam ia lalu membelokkan gerobak itu menuju kejalan besar. Hanya inilah yang dapat dilakukannya. Ia tidak dapat mematahkan rantai yang membelenggu kakinya, maka jalan satu-satunya adalah membelokkan kuda menuju kekota agar kalau ada orang melihat keadaannya, ia akan menarik perhatian orang dan siapa tahu kalau di antara mereka itu terdapat pendekar pendekar yang sakti dan dapat membebaskannya dari cengkeraman suami-isteri iblis itu.

   Kini ia sudah tahu mengapa ia ditawan dan tidak dibunuh. Kiranya iblis betina itu mempunyai niat untuk "menjualnya" kepada seorang iblis lain yang disebut Sam-suci oleh iblis betina itu, untuk ditukar ramuan obat awet muda. Hujan masih deras ketika gerobak itu memasuki pintu gerbang sebuah kota. Agaknya karena hujan yang mendatangkan hawa dingin, suami-isteri iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur, tidak tahu bahwa gerobak mereka telah disesatkan memasuki kota besar, padahal mereka selalu ingin menjauhi tempat ramai selama ini. Orang-orang yang berteduh ditepi jalan memandang dengan heran kepada gadis yang menjalankan gerobaknya dan membiarkan dirinya ditimpa air hujan sampai rambut dan pakaiannya basah kuyup itu.

   Kota yang dimasuki gerobak itu adalah Lok-yang, yang merupakan kota kedua setelah Tiangan yang menjadi Kotaraja. Tentu saja Pek Lian yang menjadi puteri seorang Menteri, mengenal kota besar ini dan diam-diam ia mengharapkan untuk dapat bertemu dengan orang-orang gagah yang akan dapat membantunya membebaskan diri dari kedua orang iblis itu. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi ia merasa lega mendengar betapa kedua orang iblis itu masih enak-enak tidur mendengkur. Mereka itu sungguh seperti bukan manusia lagi, pikir Pek Lian. Bermain cinta dengan kasar tanpa mengenal malu, bercekcok dan berkelahi, selalu bersaing, bahkan dalam mendengkur saja mereka seperti bersaing keras!
(Lanjut ke Jilid 07)

   Darah Pendekar (Seri ke 01 - Serial Darah Pendekar)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Bahan Cerita : Sriwidjono

   Jilid 07
Biarpun waktu itu sudah tengah hari, akan tetapi cuacanya agak dingin dan agak gelap karena sejak pagi hujan. Kota yang besar, penuh dengan toko-toko, rumah-rumah makan dan juga rumah-rumah penginapan itu nampak sunyi karena yang berani berlalu-lalang hanya mereka yang membawa payung dan yang naik kereta. Sebagian besar orang berteduh diemper-emper toko dan jalan raya yang cukup lebar itu telah digenangi air. Ketika gerobak yang dikendarai Pek Lian memasuki pintu gerbang, tak lama kemudian masuk pula sebuah kereta indah yang dihias tanda-tanda kebesaran.

   Kereta itu dikawal oleh belasan orang perajurit yang berpakaian serba mewah dan indah gemerlapan. Disebelah kanan kiri kereta itu nampak dua orang gadis cantik yang berpakaian indah seperti puteri-puteri bangsawan Istana atau pengawal-pengawal wanita Istana yang berkedudukan tinggi. Dibelakang masing-masing gadis ini terdapat seorang perajurit yang melindungi mereka dari air hujan dengan sebuah payung bergagang panjang. Perlakuan ini saja membuktikan bahwa dua orang gadis itu bukanlah sembarang pengawal, setidaknya tentu pengawal-pengawal seorang puteri Istana yang dipercaya. Melihat pedang panjang tergantung dipunggung dua orang gadis itu, makin mudah diduga bahwa mereka itu tentulah pengawal-pengawai Istana yang penting.

   Karena kereta indah itu mendahuluinya, Pek Lian dapat memperhatikan kereta didepannya itu. Ia melihat betapa orang-orang yang berteduh ditepi jalan, membungkuk dengan hormat ketika kereta lewat. Ini hanya menunjukkan bahwa penumpang kereta itu tentulah seorang pejabat tinggi. Dan melihat dua orang pengawalnya, mudah diduga bahwa penumpang itu tentulah seorang wanita bangsawan. Pek Lian menduga-duga. Siapakah wanita bangsawan tinggi didalam kereta itu? Pek Lian memandang kepada dua orang pengawal wanita itu dengan penuh perhatian. Sejak melihatnya tadi, ia merasa seperti telah mengenal atau setidaknya pernah melihat mereka ini, akan tetapi ia lupa lagi entah kapan dan dimana. Kini ia memandang lagi penuh perhatian dan karena kini ia memandang dari belakang, segera ia tertarik oleh sesuatu pada rambut mereka itu. Tentu saja! Tusuk konde batu giok!

   Sama benar bentuknya dengan tusuk konde yang dipakai oleh delapan orang wanita berpakaian sutera hitam itu, yang pernah menawannya. Hanya bedanya, dua orang gadis ini masih muda, cantik dan pakaiannya indah. Karena ia sendiri tidak tahu harus menujukan gerobaknya kemana, maka kuda yang didiamkannya itu otomatis mengikuti jalannya kereta disebelah depan. Kereta mewah itu berhenti dipintu gerbang sebuah gedung besar dengan pekarangan yang luas dan indah. Pek Lian juga menghentikan gerobaknya dibelakang kereta itu sambil memandang dengan penuh perhatian. Pintu kereta terbuka dan turunlah seorang wanita tua yang berwibawa, berpakaian indah dan bersikap tenang sekali. Wanita tua ini menengok satu kali kearah gerobak, lalu melangkah kedepan, disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang agaknya menjadi tuan rumah penghuni gedung itu.

   Pek Lian melihat nenek ini dan juga pria itu, hatinya berdebar tegang. Ia mengenal dengan baik siapa adanya mereka, walaupun ia tidak pernah berkenalan dekat dengan mereka. Pria setengah tua yang kelihatan gagah itu, yang us;anya antara lima puluh lima tahun, adalah Wakil Perdana Menteri Kang yang amat terkenal karena selain wakil Perdana Menteri ini amat cerdik pandai, juga dia terkenal sebagai seorang pembesar atau pejabat yang adil, jujur dan set;a. Semua pejabat di Kotaraja segan kepadanya, bahkan Kaisar sendiripun menaruh hormat kepada wakil Perdana Menteri ini. Sedangkan nenek itupun pernah dilihat oleh Pek Lian, bahkan nama nenek ini sudah lama dikenalnya. Nenek ini dikenal sebagai Siang Houw Nio-nio, bukan nenek sembarangan karena ia adalah bibi dari Kaisar sendiri!

   Bahkan, biarpun tidak secara resmi, terdengar desas-desus bahwa nenek inilah yang bertanggung jawab atas keamanan keluarga Kaisar di Istana karena nenek ini memang memiliki ilmu kepandaian yang amat-lihai. Pek Lian hanya dapat memandang dengan melongo ketika nenek itu disambut dengan penuh kehormatan oleh pihak tuan rumah, kemudian nenek itu diiringkan masuk kedalam gedung, dikawal oleh dua orang gadis cantik yang berjalan gagah dibelakangnya. Setelah mereka itu lenyap, kedalam gedung, barulah Pek Lian sadar bahwa ia sejak tadi telah duduk bengong diatas gerobak yang dihentikannya dibelakang kereta. Dan baru ia tahu bahwa para pengawal yang jumlahnya empat belas orang tadi mulai memperhatikan gerobaknya. Bahkan empat orang segera melangkah lebar menghampirinya.

   "Heii, nona! Sejak tadi engkau mengikuti kami, ada urusan apakah?" tegur seorang diantara mereka. Mereka tadi ketika mengawal kereta, melihat gerobak ini, akan tetapi mereka tidak berani membikin ribut karena takut kepada Siang Houw Nio-nio yang mereka kawal, juga karena dua orang nona pengawal pribadi nenek itu diam saja, merekapun tidak berani banyak bertingkah. Sekarang, setelah nenek penghuni kereta bersama para pengawal pribadinya telah diterima oleh pihak tuan rumah dengan selamat, barulah mereka berani ribut-ribut untuk menyatakan rasa penasaran dan mereka menghampiri gerobak yang masih berhenti tak jauh dari pintu gerbang itu.

   "Jangan-jangan ia menyelidiki perjalanan kita!" kata seorang diantara mereka sambil mendekat.

   "Eh, kenapa kakimu dirantai, nona?" tanya orang ketiga dan kini ada enam orang pengawal ramai-ramai mendekat karena tertarik oleh seruan terakhir ini. Pek Lian tidak dapat banyak mengharapkan orang-orang seperti para pengawal ini. Ia sudah tahu sampai dimana kepandaian perajurit-perajurit pengawal ini. Kalau dua orang gadis tadi, barulah boleh diharapkan dapat menolongnya. Akan tetapi, betapapun juga, ia melihat kesempatan untuk menimbulkan keributan dan menarik perhatian, maka mendengar pertanyaan itu, ia lalu menoleh dan menudingkan jari telunjuknya kedalam gerobak. Isyarat ini cukup bagi para perajurit pengawal. Bagaikan pendekar-pendekar atau pahlawan-pahlawan yang hendak menolong seorang gadis manis yang tersiksa, mereka itu lalu mendobrak pintu dengan gedoran-gedoran keras.

   "Penjahat-penjahat keji yang berada didalam gerobak! Hayo keluar menerima hukuman!" teriak mereka sambil beramai-ramai mendorong pintu gerobak yang terkunci dari dalam itu.

   Tiba-tiba terdengar teriakan melengking dari dalam, mengejutkan para perajurit pengawal karena teriakan seperti itu hanya dapat dikeluarkan oleh mulut binatang-binatang buas. Dan tiba-tiba saja pintu gerobak itu terbuka lebar dari dalam, disusul beri kelebatnya dua bayangan orang dan empat orang perajurit berteriak dan roboh, menggigil kedinginan terkena pukulan beracun! Tentu saja hal ini amat mengejutkan sepuluh orang perajurit pengawal lainnya dan mereka sudah cepat mencabut senjata lalu mengeroyok kakek dan nenek yang telah merobohkan empat orang kawan mereka itu. Terjadilah perkelahian yang ramai, dimana sepuluh orang pengawal dihadapi oleh dua orang kakek dan nenek yang amat lihai. Kakek itu berkelahi sambil terkekeh-kekeh dan seperti biasa,

   Dia mempermainkan para pengeroyoknya, membuat mereka jatuh bangun hanya dengan menjegal, mendorong dan tidak menjatuhkan pukulan maut karena memang dia ingin puas mempermainkan dulu para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Sebaliknya, nenek itu menggerakkan kaki tangannya dengan buas sambil memaki-maki dan dalam waktu singkat, sudah ada dua orang lagi perajurit pengawal yang dirobohkan oleh pukulannya yang mengandung hawa beracun. Suasana menjadi ribut karena para penjaga gedung itupun sudah berlari-lari mendatangi sambil memegang senjata. Kembali sudah jatuh dua orang perajurit pengawal sehingga kini sudah ada delapan orang menggeletak keracunan oleh pukulan suami-isteri yang lihai itu. Keributan ini tentu saja segera diketahui oleh para pengawal-pengawal dalam gedung dan merekapun cepat berlari keluar.

   Kini kakek dan nenek itu dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pengawal dan penjaga. Akan tetapi, para perajurit itu sama saja dengan menyerahkan nyawa mencari kematian. Makin banyak kini yang roboh sehingga mayat mereka malang-melintang memenuhi halaman yang luas itu. Melihat ini semua, diam-diam Pek Lian bergidik. Kakek dan nenek itu benar-benar amat keji dan juga amat lihai. Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan nampak berkelebat bayangan merah dan putih meluncur keluar dari dalam gedung. Pek Lian melihat bahwa yang bergerak cepat sekali itu ternyata adalah dua orang gadis pengawal tadi. Tahu-tahu mereka telah berada disitu dan mereka sudah mengenal keadaan dengan pandang mata mereka yang tajam dan berpengalaman.

   "Pek-cici, tentu mereka inilah yang telah membunuh orang-orang kita! Manusia-manusia iblis dari Ban-kwi-to!"

   "Benar, Ang-siauwmoi! kau bantu para pengawal, biar aku bebaskan gadis tawanan itu!" kata wanita baju putih, sedangkan wanita yang bajunya merah telah mencabut pedang panjangnya dan dengan gerakan yang amat cepat dan dahsyat, ia sudah menerjang kakek nenek iblis dengan serangan maut. Pedangnya membuat gulungan sinar dan mengeluarkan suara bercicit, tanda bahwa ilmu pedang gadis baju merah ini amat lihai dan digerakkan oleh tenaga sinkang yang amat kuat. Sementara itu, gadis baju putih sekali meloncat telah tiba didekat Pek Lian. Dengan cekatan ia mematahkan rantai kaki Pek Lian dengan pedangnya yang ternyata terbuat dari pada baja yang amat kuat itu, dan melihat keadaan Pek Lian, iapun lalu menotok dan mengurut leher Pek Lian sehingga Pek Lian dapat mengeluarkan suara lagi.

   "Terimakasih," kata Pek Lian.

   "Tidak perlu, kalau engkau ada kepandaian, lebih baik bantu kami menghadapi sepasang iblis itu!" jawab si wanita baju putih yang kini segera meloncat turun dan membantu gadis baju merah dengan putaran pedangnya yang ternyata tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan si baju merah.

   Dua orang gadis itu memang benar amat lihai. Terutama sekali ilmu pedang mereka sedemikian hebatnya sehingga sepasang iblis itupun berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan nyaris menjadi korban pedang kalau mereka tidak cepat-cepat menghindarkan diri dengan cekatan sambil membalas dengan mengawut-awut jarum, pasir dan asap beracun. Para pengawal yang mengeroyok hanya berani menggunakan senjata-senjata panjang seperti tombak untuk menyerang kakek daii nenek itu dari jarak jauh setelah melihat betapa perajurit pengawal yang berani mehyerang terlalu dekat tentu roboh dalam keadaan mengerikan, menjadi korban pukulan beracun.

   Melihat betapa sepasang iblis itu terdesak, akan tetapi masih amat sukar bagi dua orang gadis dan para pengawal untuk merobohkannya, Pek Lian yang merasa sakit hati terhadap mereka lalu meloncat turun dari atas gerobak, dan menyambar sebatang pedang yang berserakan dihalaman. Banyak senjata para pengawal yang sudah roboh itu berserakan ditempat itu dan pedangnya sendiri entah dibuang kemana oleh suami-isteri iblis itu. Dengan pedang dita-ngan, Pek Lian menyerbu dan ikut mengeroyok. Tentu saja serangan Pek Lian dengan ilmu pedang yang tidak boleh dipandang ringan ini membuat suami-isteri dari Ban-kwi-to menjadi semakin terdesak.

   Bagaimanapun juga, ilmu silat pedang Pek Lian adalah ilmu pedang yang masih aseli dan bersih, mengandung dasar yang kuat. Dan selama ini ia telah memperoleh banyak pengalaman dalam pertempuran-pertempuran melawan musuh-musuh yang tangguh sehingga ia memperoleh banyak kemajuan pesat. Maka, pengeroyokannya juga terasa berat oleh suami-isteri iblis itu sehingga mereka semakin terdesak. Karena khawatir kalau-kalau sampai terluka dan roboh, tiba-tiba nenek itu mengeluarkan sebuah tabung bambu kuning dari saku jubahnya yang kedodoran, dan membuka tutupnya. Melihat ini, Pek Lian yang selama tiga hari berkum-pul dengan mereka dan sudah tahu akan isi tabung bambu itu, berteriak kaget,

   "Awas binatang berbisa!!" Teriakannya itu ternyata benar karena dari tabung bambu itu keluar beterbangan beratus-ratus lebah yang warnanya putih yang mengamuk dan menyerang para pengeroyok.

   Hebatnya, diantara para perajurit yang terkena sengatan lebah itu, seketika roboh berkelojotan, tubuhnya kejang-kejang! Bukan main hebatnya bisa dari sengatan lebah putih ini. Yang belum menjadi korban sengatan lebah, segera melarikan diri kedalam gedung, termasuk Pek Lian dan dua orang wanita tokoh tusuk konde batu giok itu, dikejar oleh lebah-lebah yang marah. Sementara itu, melihat jatuhnya beberapa orang korban sengatan lebahnya, kakek dan nenek itu seperti kumat gilanya. Mereka tertawa-tawa, bertepuk-tepuk tangan dan bersorak, lalu berjongkok dan menonton orang-orang yang berkelojotan dan kejang-kejang sebagai akibat sengatan lebah, kelihatan gembira bukan main seperti anak-anak kecil menikmati cacing-cacing yang berkelojotan terkena abu panas.

   Mereka agaknya seperti telah melupakan keadaan sekeliling mereka, karena asyik dengan permainan baru ini. Memang nampaknya dua orang ini seperti iblis yang amat kejam. Akan tetapi, bukankah kesadisan, yaitu rasa gembira melihat orang atau mahluk lain tersiksa ini telah ada pada diri setiap orang manusia sejak kanak-kanak? Hanya agaknya pada suami-isteri ini kesadisan itu menonjol sekali sehingga kelihatannya luar biasa dan keterlaluan. Sementara itu, nenek Siang Houw Nio-nio yang berada didalam gedung, sedang bercakap-cakap dengan Wakil Perdana Menteri Kang. Mereka bicara dengan serius sekali dan wajah keduanya agak muram dan nampak bersemangat. Agaknya mereka saling berbantah dan kini terdengar suara nenek yang berwibawa itu, yang bicara sambil menatap tajam wajah wakil Perdana Menteri itu, suaranya terdengar lantang dan berpengaruh.

   "Menteri Kang! Aku pribadi dapat mengerti akan perasaan hatimu. Aku mengerti, apa yang menjadi sebab sesungguhnya dari permintaanmu untuk pensiun itu. Alasan yang kau ajukan bahwa engkau sudah merasa terlalu tua dan tidak sanggup bekerja lagi adalah alasan yang dicari-cari saja. Aku tahu bahwa sebab yang sesungguhnya adalah karena semua nasihatmu tidak pernah digubris oleh Kaisar, bukankah demikian? didalam batinmu, engkau selalu berselisih pendapat dengan Sribaginda dan hal itu amat mengesalkan hatimu. Bukankah demikian? Apa lagi setelah sahabat eratmu, yaitu Menteri Ho, ditangkap karena dianggap menentang kebijaksanaan pemerintah. Dan karena engkau setia, maka dari pada engkau harus mengalami tekanan batin, lebih baik engkau mengundurkan diri saja. Bukankah demikian, Wakil Perdana Menteri Kang!"

   Ucapan nenek itu begitu terus-terang dan ditujukan langsung tanpa pura-pura lagi sehingga bagi Menteri setia itu terasa seolah-olah ada todongan pedang langsung keulu hatinya. Mendengar ucapan itu, pembesar ini agak pucat mukanya dan sampai lama dia menundukkan mukanya. Dia maklum bahwa akan percuma saja untuk menyangkal terhadap puteri yang amat cerdas ini. Akhirnya, setelah menarik napas panjang, diapun berkata, suaranya terdengar berat membayangkan keadaan hatinya yang terhimpit,

   "Tuan puteri, hamba mengerti bahwa sebagai bibi dan pelindung Sribaginda Kaisar, paduka memiliki pandangan yang luas, waspada dan bijaksana. Oleh karena itu, tentu paduka juga maklum bahwa hamba sama sekali tidak mempunyai niat yang kurang baik terhadap Sribaginda. Didalam lubuk hati hamba, yang ada hanyalah kesetiaan, sifat yang dijunjung oleh nenek moyang hamba. Selama ini, selagi mendampingi Sribaginda, hamba selalu berbuat baik dan bijaksana agar dapat meraih rasa hormat dan cinta dari rakyat. Kekuatan negara terletak kepada kekuatan Kaisarnya dan kekuatan Kaisar timbul dari kesetiaan rakyat yang mencintanya. Akan tetapi... ah, bagaimana hamba harus mengatakannya?"

   "Lanjutkanlah, Menteri Kang. Jangan khawatir, engkau bicara dengan orang yang mempergunakan hati nuraninya, bukan hanya mempergunakan perasaannya."

   "Bagaimana hati hamba tidak akan berduka melihat betapa Sribaginda agaknya hanya selalu menuruti keinginan beberapa orang kepercayaan saja. Mengejar kesenangan dan kurang mempertimbangkan usul-usul mereka yang dipercaya sehingga sering kali muncul keputusan dan perintah yang amat berlawanan dengan kehendak rakyat jelata. Hal itu membuat negara kita menjadi tegang dan kacau seperti sekarang ini. Hamba adalah wakil Perdana Menteri, tentu ikut bertanggung jawab atas keadaan negara. Akan tetapi apa yang dapat hamba lakukan kalau semua usul hamba tidak diperhatikan? Kalau semua nasihat hamba dikalahkan oleh bujuk rayu para penjilat? Lebih baik hamba mengundurkan diri saja. Bukan karena ham-ba ingin melarikan diri atau karena kecewa, melainkan karena kehadiran hamba didekat Sribaginda sama sekali tidak ada artinya lagi."

   "Aku dapat mengerti perasaan hatimu, akan tetapi jalan pikiranmu yang demikian itu sesungguhnya keliru sama sekali, Menteri yang baik. Kalau engkau mundur, apakah keadaan akan menjadi lebih baik? Tentu akan semakin parah. Aku sendiri tidak berhak mencampuri urusan pemerintahan, akan tetapi aku tahu bahwa kalau engkau mundur, berarti makin berkurang pula Menteri yang berani memberi ingat dan menegur Sribaginda kalau beliau melakukan kesalahan dalam tindakannya. betapapun juga, usia Sribaginda masih terlalu muda sehingga beliau perlu dibimbing dan dinasihati oleh orang-orang yang bijaksana dan berpengalaman seperti engkau. Sayang bahwa aku hanya mahir dalam urusan ilmu silat, sedikitpun aku tidak tahu akan seluk-beluk pemerintahan, maka aku minta dengan sangat kepadamu, Menteri Kang, secara pribadi dan demi persahabatan kita, agar engkau suka mempertahankan kedudukanmu, mendampingi Sribaginda. Biarlah kita bekerja-sama. Aku yang mendampingi dan menjaga keselamatan Sribaginda, sedangkan engkau yang menjaga kebijaksanaannya." Setelah bicara dengan panjang lebar, nenek itu menghapus sedikit peluh dari dahi dan lehernya.

   "Akan tetapi, tuan puteri... paduka tentu mengenal kekerasan hati Sribaginda. Mungkin saja peringatan hamba akan membuat hamba dijebloskan pula kedalam penjara seperti Menteri Ho yang baik dan jujur itu"

   

Pendekar Tanpa Bayangan Eps 8 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 9 Naga Beracun Eps 24

Cari Blog Ini