Ceritasilat Novel Online

Harta Karun Kerajaan Sung 14


Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 14




   "Ceng-moi, sekarang bagaimana rencanamu? Ke manakah engkau akan membawa harta karun itu?" tanya Cun Giok kepada Ceng Ceng setelah bayangan pangeran itu lenyap di balik pohon-pohon.

   "Untuk sementara ini, harta karun itu akan kusimpan dulu, Giok-ko, sambil mencari keterangan dan menanti siapa pimpinan rakyat pejuang yang pantas menerimanya," kata Ceng Ceng.

   "Enci Ceng, akan berbahaya sekali kalau engkau sendiri yang menyimpan harta karun itu, karena tentu akan banyak orang jahat yang akan mencoba untuk merampasnya darimu. Sebaiknya, kaubawa harta itu ke Pulau Ular. Di sana harta karun itu akan aman dan tidak ada orang berani sembarangan naik ke Pulau Ular untuk merampas harta karun. Pula, kita dapat bertanya kepada ayah dan terutama kepada Ibu Ban-tok Niocu, pimpinan pejuang mana yang sekiranya pantas menerima harta karun itu. Pula, bukankah engkau kakak angkatku dan dengan sendirinya ayah ibuku juga menjadi ayah ibumu?"

   "Ucapan Hong-moi itu benar sekali, Ceng-moi. Memang tidak ada tempat yang lebih aman dan tepat untuk menyimpan harta karun itu daripada Pulau Ular."

   "Dan aku pun membutuhkan bantuanmu untuk ikut meyakinkan hati ayah ibuku akan perjodohanku dengan Pangeran Youtechin, bahwa aku tidak salah pilih, Enci Ceng," bujuk pula Li Hong.

   Ceng Ceng tersenyum dan mengangguk.

   "Baiklah, aku akan membawa harta karun itu ke Pulau Ular. Aku akan pergi bersamamu, Hong-moi. Dan engkau sendiri, Giok-ko, engkau hendak pergi ke manakah?"

   Pertanyaan Ceng Ceng itu membuat Cun Giok mengerutkan alisnya. Ke mana dia hendak pergi? Dia tidak mempunyai keluarga dan tidak ada sesuatu lagi yang harus dikerjakan, maka sejenak dia tidak dapat menjawab.

   "Aku...... aku...... akan melanjutkan perantauanku, Ceng-moi."

   "Tidak, Enci Ceng! Giok-ko juga pergi bersama kita ke Pulau Ular!" Tiba-tiba Li Hong berkata dengan nada suara tegas.

   "Eh, Hong-moi, mengapa kau berkata begitu?" Cun Giok bertanya.

   "Engkau harus menemani kita pergi ke Pulau Ular, Giok-ko!"

   "Harus?" Cun Giok mengerutkan alisnya. Biarpun hatinya ingin sekali pergi bersama mereka karena berat sekali rasanya kalau dia harus berpisah dari Ceng Ceng, akan tetapi dia merasa penasaran juga kalau dipaksa.

   "Ya, harus!" kata Li Hong.

   "Ada dua hal yang mengharuskan engkau ikut bersama kami ke Pulau Ular, Giok-ko. Pertama, kami membawa harta karun dan engkau tahu betapa para tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi mengincar harta karun itu. Engkau tentu tidak tega membiarkan kami berdua menghadapi rintangan dan terancam bahaya dalam perjalanan. Kedua, engkau adalah keponakan ayahku, ayah dan ibu amat mengharapkan bertemu denganmu dan apakah engkau tidak ingin bertemu dan memberi penghormatan kepada pek-hu (uwa) dan pek-bomu?"

   Di"todong" seperti ini, Cun Giok kehabisan kata untuk dapat menolak atau membantahnya. Alasan-alasan yang dikemukakan Li Hong amat kuat dan menolak dua alasan itu akan membuat dia menjadi seorang yang tega membiarkan dua orang gadis itu terancam bahaya dan membuat dia seorang muda yang tidak sopan dan tidak menghormati uwaknya sendiri, kakak mendiang ibunya!

   "Adik Li Hong, jangan terlalu memaksa Giok-ko. Kalau dia tidak mau......"

   "Baiklah, aku ikut kalian ke Pulau Ular!" kata Cun Giok dan ucapannya ini disambut senyum lebar dua orang gadis itu. Mereka lalu berangkat, meninggalkan Pegunungan Thai-san dan Cun Giok yang menggendong buntalan harta karun itu di punggungnya.

   Dua hari kemudian, pada suatu siang mereka bertiga baru meninggalkan daerah Pegunungan Thai-san dan tiba di kaki pegunungan. Dari lereng paling bawah yang mereka tinggalkan tadi mereka melihat genteng banyak rumah, menandakan bahwa di sana terdapat perumahan orang, mungkin sebuah dusun yang lumayan keadaannya karena rumah-rumahnya sudah memakai genteng. Mereka kini menuju ke perumahan itu untuk mencari makanan karena perut mereka sejak pagi tadi belum terisi.

   Tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar tahu-tahu sudah berdiri menghadang di tengah jalan. Laki-laki itu berusia sekitar limapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar, mukanya merah dan ditumbuhi jenggot dan kumis pendek yang terawat baik sehingga tampak gagah. Tiga orang muda itu segera mengenalnya karena dia adalah Bu-tek Sin-liong Cu Liong majikan Bukit Merak.

   "Dia Bu-tek Sin-liong," bisik Cun Giok kepada Ceng Ceng dan Li Hong.

   Dua orang gadis itu sudah mendengar akan nama besar datuk ini, maka mereka bersikap waspada. Setelah mereka bertiga tiba di depan datuk itu, Pouw Cun Giok yang sudah mengenalnya karena dia pernah hampir dua tahun yang lalu ditolong oleh Cu Ai Yin, puteri datuk itu di Bukit Merak, melangkah maju dan memberi hormat kepadanya.

   "Kiranya Lo-cianpwe Bu-tek Sin-liong yang berada di sini."

   Dengan sikap acuh tak acuh datuk itu memandang kepada dua orang gadis cantik di samping Cun Giok, kemudian dia berkata kepada pemuda itu.

   "Pouw Cun Giok, engkau masih ingat kepada kami?"

   "Tentu saja, Lo-cianpwe dan Adik Cu Ai Yin pernah menolong saya di Bukit Merak," kata Cun Giok, masih menduga-duga apa maksud datuk itu menghadang perjalanannya. Dua orang gadis itu memandang penuh curiga dan mereka menduga bahwa datuk itu tentu bermaksud merampas harta karun yang digendong Cun Giok di punggungnya.

   "Pouw Cun Giok, aku hendak bicara penting sekali denganmu dan engkau harus dapat memberi keputusan sekarang juga!"

   Cun Giok mengerutkan alisnya. Dia sekarang dapat menduga pula bahwa datuk ini, seperti para tokoh lain, tentu menginginkan harta karun itu, maka dia berkata dengan sikap tetap hormat.

   "Lo-cianpwe, hendaknya Lo-cianpwe maklum bahwa harta karun itu bukanlah hak milik kami, melainkan hak milik rakyat yang akan kami serahkan kepada yang berhak kelak."

   "Huh, siapa peduli akan harta karun!" bentak Bu-tek Sin-liong,

   "Harta karun itu tidak ada artinya bagiku. Yang terpenting bagiku adalah urusan puteriku, Cu Ai Yin."

   "Ada apakah dengan Adik Cu Ai Yin, Lo-cianpwe?" tanya Cun Giok heran dan dia memandang ke kanan kiri untuk melihat apakah gadis itu ikut datang bersama ayahnya.

   "Pouw Cun Giok, sekarang juga engkau harus ikut denganku ke Bukit Merak dan kita langsung saja rayakan pernikahan puteriku denganmu!"

   "Menikah......?" Ucapan ini keluar dari mulut tiga orang, yaitu Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong karena mereka sungguh terkejut mendengar ucapan datuk itu.

   "Maaf, Lo-cianpwe, saya sungguh tidak mengerti apa yang Lo-cianpwe maksudkan. Kenapa saya harus ikut ke Bukit Merak dan...... menikah dengan Adik Cu Ai Yin?"

   "Kenapa? Engkau masih bertanya kenapa?" bentak Bu-tek Sin-liong dengan mata melotot dan mukanya menjadi semakin merah.

   "Masih berpura-pura suci lagi. Pouw Cun Giok, engkau tinggal pilih, menikah dengan Ai Yin atau mati di tanganku!"

   Cun Giok menjadi semakin penasaran, juga Ceng Ceng dan Li Hong memandang heran. Li Hong sudah menjadi marah sekali, akan tetapi dua orang gadis itu diam saja, hanya mendengarkan karena mereka tidak tahu urusannya.

   "Lo-cianpwe, sebelum saya memilih, harap jelaskan dulu mengapa Lo-cianpwe hendak memaksa saya menikah dengan puterimu," kata Cun Giok dengan sikap masih sabar.

   "Bocah tak tahu diri, tidak mengenal budi dan kurang ajar! Ai Yin telah menyelamatkanmu ketika engkau pingsan di dekat sungai dan tentu akan mati dimakan binatang buas kalau tidak ditolong Ai Yin dan dibawa ke tempat tinggal kami. Kemudian untuk kedua kalinya Ai Yin menolongmu ketika engkau akan dibunuh oleh Kong Sek. Semua itu dilakukan puteriku karena ia jatuh cinta padamu. Akan tetapi apa yang telah kau lakukan? Dengan kurang ajar engkau menciumi mulutnya ketika Ai Yin dalam keadaan tidak sadar, dan membuka punggung bajunya! Karena itu, engkau harus menikah dengannya atau aku akan membunuhmu sekarang juga!"

   "Lo-cianpwe, dengarkan dulu penjelasanku......"

   "Tidak perlu penjelasan lagi! Pilih saja, mau menikah dengan Ai Yin atau mati?" Datuk itu sudah mencabut Kim-siang-to (Sepasang Golok Emas) dari pinggangnya dengan mata mengancam.

   "Lo-cianpwe, saya mengakui bahwa Nona Cu Ai Yin memang telah berkali-kali menolong saya. Saya kagum dan suka padanya bahkan kami berdua telah menjadi sahabat baik. Akan tetapi saya hanya menjadi sahabatnya, tidak ingin menjadi suaminya. Dalam hal perjodohan ini harap Lo-cianpwe tidak memaksa karena perjodohan yang dipaksakan hanya akan mendatangkan kesengsaraan kepada puterimu sendiri kelak."

   "Berarti engkau menolak mengawininya setelah engkau ciuminya dan......"

   "Hal itu dapat saya jelaskan, Lo-cianpwe!" kata Cun Giok yang dapat menduga bahwa Ai Yin tentu sudah bercerita kepada ayahnya tentang peristiwa itu.

   "Engkau menolak berarti mati!" Bu-tek Sin-liong sudah tak dapat menahan diri dan hendak menyerang.

   "Ayaaahhh......! Jangan......!" Tiba-tiba terdengar jeritan dan muncullah Cu Ai Yin, gadis pendekar yang cantik dan berjuluk Pek-hwa Sianli itu. Mukanya agak pucat dan basah, tampak jelas bahwa ia tadi menangis.

   Gadis itu sudah berdiri menghadang di antara Bu-tek Sin-liong dan Pouw Cun Giok, menghadapi ayahnya dan berkata.

   "Ayah, sudah kukatakan bahwa Cun Giok sama sekali tidak bersalah! Dia tidak bertindak kurang ajar kepadaku. Ketika dia...... mencium mulutku, hal itu dia lakukan untuk memberi pernapasan kepadaku karena napasku berhenti setelah aku tenggelam dalam air dan dia membuka punggung bajuku untuk mengobati luka di punggungku yang terkena anak panah. Dia tidak bersalah, Ayah dan hal ini sudah kuceritakan kepadamu, mengapa Ayah masih hendak memaksanya?"

   "Hemm, Ai Yin, bukankah engkau mengaku bahwa engkau cinta kepada pemuda tak tahu diri ini?" ayahnya menegur.

   "Ayah, hal itu bukan alasan untuk memaksa dia menikah denganku. Aku sekarang mengerti bahwa Cun Giok menyayangku sebagai seorang sahabat. Ayah, aku tidak suka dipaksa menikah dengan orang yang tidak mencintaiku. Kalau Ayah hendak memaksa, lebih baik aku mati di depan Ayah!" Gadis cantik itu pun mencabut sepasang pedangnya.

   Sejenak ayah dan anak ini saling tatap dengan pandang mata tajam. Kemudian Bu-tek Sin-liong membanting kakinya dengan jengkel.

   "Anak bodoh""!" Dia lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ dengan marah.

   Ai Yin membalikkan tubuh menghadapi Cun Giok. Kedua matanya basah. Lalu ia memandang kepada Li Hong dan Ceng Ceng, kemudian ia berkata lirih kepada Cun Giok.

   "Cun Giok, kau maafkan Ayahku......"

   "Tidak mengapa, Ai Yin. Justeru aku yang minta maaf kepadamu," kata Cun Giok dengan hati terharu karena dia telah membuat gadis itu kecewa. Kini dia tahu bahwa Ai Yin telah mengaku cinta padanya kepada ayahnya.

   Ai Yin tidak menjawab, hanya memutar tubuh dan berlari cepat mengejar ayahnya.

   Suasana hening setelah ayah dan anak itu pergi jauh. Ceng Ceng yang berwatak lembut dan peka itu merasa terharu dan kasihan kepada Cu Ai Yin. Ia dapat menduga bahwa Pek-hwa Sianli itu telah jatuh cinta kepada Pouw Cun Giok, akan tetapi pemuda itu tidak membalas cintanya. Ia pun merasa yakin karena sudah mengenal watak pemuda itu bahwa Cun Giok benar-benar hendak menyelamatkan nyawa Cu Ai Yin ketika "mencium" dan membuka punggung bajunya, tidak ada niat lain yang tidak senonoh. Ia lalu teringat kepada Siok Eng, tunangan Cun Giok yang telah tewas dalam keadaan menyedihkan itu dan dari pergaulannya dengan Cun Giok, Ceng Ceng juga dapat merasakan dan tahu bahwa kesetiaan Cun Giok terhadap Siok Eng bukan karena cinta, melainkan karena Cun Giok seorang laki-laki sejati yang menghargai dan memegang teguh janji perjodohan itu!

   Pemuda itu ditunangkan dengan Siok Eng dan tidak menolak karena hendak menyenangkan dan berbakti kepada guru dan ayah angkatnya, mendiang Suma Tiang Bun. Kemudian ia teringat kepada Li Hong yang kini berdiri di dekatnya. Juga gadis ini pernah tergila-gila kepada Cun Giok yang ternyata sekarang adalah kakak misannya sendiri. Li Hong demikian mencinta Cun Giok sampai hampir membunuhnya karena cemburu. Akan tetapi ia bersyukur bahwa Li Hong telah mendapatkan penggantinya, yaitu Pangeran Youtechin yang tampan dan gagah.

   Teringat akan itu semua, dan teringat kepada dirinya sendiri yang tak dapat ia sangkal juga amat mencinta Cun Giok, Ceng Ceng menarik napas panjang. Betapa banyak gadis yang jatuh hati kepada Pendekar Tanpa Bayangan ini.

   "Enci Ceng Ceng, kenapa engkau menghela napas panjang?" tanya Li Hong.

   Ceng Ceng mengerling kepada Cun Giok yang melangkah sambil menundukkan muka dan alisnya berkerut seperti orang sedang melamun.

   "Aku kasihan sekali kepada puteri Bu-tek Sin-liong itu, Hong-moi. Ia seorang gadis yang cantik jelita dan gagah perkasa, juga berwatak baik dan jujur."

   "Bagaimana engkau bisa tahu bahwa ia baik dan jujur, Enci Ceng?"

   "Ia telah menyelamatkan nyawa Giok-ko sampai dua kali, itu berarti ia berwatak baik. Dan kata-katanya ketika mencegah ayahnya menyerang Giok-ko tadi menunjukkan bahwa ia seorang yang jujur. Sungguh patut dikasihani. Aih, betapa cinta telah banyak memakan korban, menghancurkan kebahagiaan banyak orang......"

   "Ah, tidak semua cinta gagal dan menyengsarakan orang, Enci Ceng! Contohnya aku sendiri. Aku mencinta Pangeran Youtechin dan dia pun mencintaku, dan kami berdua bahagia dan akan menjadi suami isteri yang berbahagia!" Ia berhenti sebentar lalu menoleh kepada Cun Giok dan melanjutkan kata-katanya.

   "Dan lihat Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok ini, dan engkau sendiri, Enci Ceng. Bukankah kalian berdua saling mencinta dan berbahagia?"

   "Hong-moi......!" Cun Giok menegur.

   "Kenapa Giok-ko? Bukankah aku bicara jujur dan apa adanya? Engkau tidak dapat menyangkal bahwa engkau sejak dulu mencinta Enci Ceng Ceng dan sebaliknya Enci Ceng Ceng juga mencintamu. Ingat, Giok-ko, janjiku dulu masih berlaku sehingga sekarang, yaitu, bahwa apabila engkau menyia-nyiakan cinta Enci Ceng Ceng dan tidak mau menikahinya, aku akan melupakan bahwa engkau ini kakak misanku dan engkau akan kumusuhi!"

   "Hong-moi""!" Kini Ceng Ceng yang menegur dan wajah gadis ini menjadi merah sekali.

   Cun Giok menghela napas panjang. Menghadapi Li Hong yang jujur, dia tidak dapat merahasiakan atau menyembunyikan keadaan hatinya lagi. Dan memang sebaiknya dia berterus terang agar dapat didengar pula oleh Ceng Ceng, karena dia akan selalu merasa tidak tenang sebelum menyampaikan pikiran yang menekan dan selalu mengganggu perasaannya mengenai hubungan cintanya dengan Ceng Ceng.

   "Adik Li Hong, engkau sungguh keterlaluan!" Ceng Ceng menegur dengan suara halus.

   "Cinta dan pernikahan tidak dapat dipaksakan, mengapa engkau hendak memaksa Giok-ko?"

   "Enci Ceng Ceng, sejak dulu aku tahu benar bahwa engkau dan Giok-ko saling mencinta. Kemudian Giok-ko mengatakan tidak mungkin berjodoh denganmu karena dia sudah mempunyai seorang tunangan. Akan tetapi sekarang, tunangannya itu telah meninggal dunia, maka tidak ada halangan lagi bagi kalian berdua untuk berjodoh dan menikah! Kalau Giok-ko mengingkari cintanya kepadamu, terpaksa akan kutentang dia!"

   "Hong-moi dan Ceng-moi, biarlah aku menggunakan kesempatan ini untuk membuat pengakuan. Aku tidak mengingkari bahwa sejak pertemuan pertama dengan Ceng-moi, aku telah jatuh cinta kepadamu Ceng-moi. Kemudian aku teringat akan ikatan perjodohanku dengan tunanganku Siok Eng dan aku tidak bisa mengingkari atau mengkhianati perjodohan kami itu. Aku telah berterus terang kepadamu, Ceng-moi, bahwa di antara kita tidak mungkin terdapat ikatan perjodohan karena aku telah bertunangan. Kemudian, Eng-moi ternyata telah tewas. Aku merasa berdosa kepadanya karena tidak mampu melindunginya dan biarpun kami belum menikah, aku menganggap diriku telah menjadi seorang duda. Inilah sebabnya mengapa aku menjadi ragu, apakah aku pantas menjadi jodoh Ceng-moi. Pertama, aku adalah seorang duda yang hidup sebatang kara dan miskin. Kedua, aku merasa berdosa kepada Siok Eng yang telah menantiku dengan setia sampai tewas terbunuh......"

   "Akan tetapi engkau tidak bersalah, Giok-ko! Dan engkau sudah membalaskan kematiannya, bukan? Kukira sekarang tiada salah dan halangannya lagi bagi engkau dan Enci Ceng Ceng untuk mengikat perjodohan!"

   Mendengar ucapan Li Hong itu, Ceng Ceng lalu bicara dengan suara bernada serius untuk menghentikan adik angkatnya itu bicara lebih banyak tentang urusan perjodohan yang hanya membuat ia dan Cun Giok merasa tidak enak saja.

   "Sudahlah, Hong-moi, aku minta dengan sangat agar kita tidak membicarakan lagi urusan itu! Mari kita lanjutkan perjalanan kita ke Pulau Ular!"

   Mendengar ucapan yang bernada kering dan melihat wajah Ceng Ceng yang mengerutkan alis sehingga sikapnya berbeda dari biasanya yang ramah, Li Hong tidak berani membantah lagi dan mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat.

   Karena Cun Giok, Ceng Ceng, dan Li Hong merupakan orang-orang muda yang lihai sekali dan mereka melakukan perjalanan cepat, maka dalam perjalanan itu mereka tidak menemui rintangan dan tidak lama kemudian mereka telah menyeberang dengan perahu ke Pulau Ular.

   Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu menyambut kedatangan tiga orang muda itu dengan gembira dan lega melihat betapa Li Hong dan Ceng Ceng kembali ke Pulau Ular dengan selamat. Apalagi setelah mereka melihat betapa mereka berhasil mendapatkan harta karun Kerajaan Sung yang diperebutkan itu.

   Ketika Li Hong memperkenalkan Pouw Cun Giok dan pemuda itu memberi hormat kepada kakak ibunya, Tan Kun Tek memegang kedua pundak pemuda itu dengan terharu dan girang.

   "Aih, Cun Giok, sungguh bahagia sekali rasa hatiku dapat bertemu dengan putera Adikku Tan Bi Lian! Selama bertahun-tahun ini hatiku ikut merasa berduka mendengar akan nasib kedua orang tuamu. Aku tidak pernah bertemu dengan ibumu semenjak ia menikah dan pergi mengikuti ayahmu."

   "Saya yang mohon maaf kepada Paman dan Bibi karena baru saya ketahui dari Adik Li Hong bahwa mendiang ibu saya mempunyai seorang kakak."

   Ban-tok Niocu yang pernah bertemu dengan Cun Giok dan mengagumi pemuda itu juga menyambut dengan gembira. Perjamuan keluarga diadakan untuk menyambut mereka dan mereka sekeluarga lalu makan minum dengan gembira.

   Setelah makan mereka duduk di ruangan dalam dan di sini Ceng Ceng diminta untuk menceritakan keberhasilannya menemukan harta karun dari peta yang diwariskan ayahnya kepadanya. Dengan terkadang dibantu tambahan keterangan dari Li Hong dan Cun Giok, Ceng Ceng menceritakan semua pengalamannya di Thai-san sehingga ia akhirnya, dengan bantuan Cun Giok, mendapatkan setengah dari harta karun itu.

   Tan Kun Tek dan dua orang isterinya mendengarkan dengan penuh perhatian dan merasa kagum. Akan tetapi mendengar bahwa akhirnya Ceng Ceng hanya mendapatkan setengah harta karun itu, Ban-tok Niocu merasa penasaran dan dengan alis berkerut ia bertanya.

   "Ceng Ceng, mengapa engkau hanya mendapatkan setengahnya?"

   "Yang setengahnya lagi diambil oleh Pangeran Youtechin!" kata Li Hong dengan bersemangat dan wajahya berseri.

   "Eh, mengapa begitu? Bukankah harta karun Kerajaan Sung itu menjadi hak milikmu karena petanya diwariskan mendiang ayahmu kepadamu, Ceng Ceng?" tegur Ban-tok Niocu.

   "Siapa pula itu Pangeran Youtechin?" tanya Tan Kun Tek heran.

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memberitahu bahwa pangeran itu adalah pemuda yang dulu bernama atau dikenal sebagai Yauw Tek dan yang kini menjadi calon suami Li Hong. Mereka berdua memandang kepada Li Hong dengan pandang mata menuntut agar Li Hong yang memberi penjelasan dan pengakuan!

   Dengan gaya yang lincah Li Hong yang maklum akan isi hati kakak misan dan kakak angkatnya, segera berkata kepada ayah dan kedua ibunya.

   "Begini persoalannya, Ayah dan Ibu berdua! Sebetulnya, setelah mengetahui bahwa Enci Ceng Ceng berniat menyerahkan harta karun kepada wakil rakyat pejuang, para tokoh yang tadinya ikut memperebutkan harta karun lalu mendukung Enci Ceng Ceng. Semua orang mencari harta karun akan tetapi akhirnya, Piauw-ko (Kakak Misan) Pouw Cun Giok dan Enci Ceng Ceng yang berhasil menemukan peti berisi harta karun Kerajaan Sung itu. Kemudian muncul Pangeran Youtechin yang minta agar harta karun diserahkan kepadanya sebagai wakil Kerajaan Goan dan utusan istimewa dari Kaisar."

   "Huh, enak saja! Dasar Pangeran Mongol yang curang dan jahat!" kata Ban-tok Niocu marah.

   "Tidak, Ibu, tidak jahat!" Li Hong cepat membela pangeran itu.

   "Buktinya, dia tidak mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun, bahkan melarang dua orang pembantunya yang lihai, Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Moli yang hendak merampas harta karun. Dia minta harta karun itu secara baik-baik, mengajukan alasan yang masuk akal."

   "Hemm, alasan masuk akal bagaimana yang dia ajukan?" Kini Tan Kun Tek bertanya kepada Li Hong.

   "Begini, Ayah. Pangeran Youtechin mengatakan bahwa harta pusaka itu tadinya milik Kerajaan Sung, akan tetapi karena Kerajaan Sung telah kalah oleh pasukan Mongol maka semua harta miliknya menjadi barang rampasan Kerajaan Goan (Mongol). Pula, harta karun itu ditemukan di Thai-san yang juga menjadi wilayah kekuasaan Pemerintah Kerajaan Goan, maka sudah semestinya menjadi hak milik Kerajaan Goan yang diwakili Pangeran Youtechin. Maka, alasannya itu tak dapat dibantah kebenarannya dan cukup kuat," kata Li Hong.

   "Dan engkau lalu menyerahkan setengah bagian harta karun itu kepadanya, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.

   "Tidak, Ibu."

   Ceng Ceng juga menyebut ibu kepada Ban-tok Niocu karena ia menjadi saudara angkat Li Hong dan otomatis menjadi anak angkat tiga orang tua di Pulau Ular itu.

   "Pangeran Youtechin berdebat dengan saya, masing-masing mengajukan alasan. Saya sebagai pelaksana pesan terakhir Ayah dan dia sebagai utusan istimewa Kaisar. Masing-masing tidak mau mengalah dan akhirnya Pangeran Youtechin menantang untuk diadakan pi-bu satu lawan satu. Yang menang berhak memiliki harta karun itu."

   "Hemm, aneh sekali! Bagaimana seorang Pangeran Mongol bersikap segagah itu?" tanya Ban-tok Niocu heran.

   "Memang Pangeran Youtechin seorang pendekar, Ibu!" kata Li Hong.

   "Dia pantang bertindak curang, tidak mau mengerahkan pasukan untuk merampas harta karun melainkan mengajak pi-bu secara adil seperti seorang pendekar!"

   "Lalu bagaimana?" Tan Kun Tek ingin sekali mendengar kelanjutan cerita itu.

   "Kakak Pouw Cun Giok mewakili saya dalam pi-bu itu. Pangeran itu lalu bertanding melawan Giok-ko. Mula-mula adu tenaga sakti, setelah ternyata sin-kang mereka berimbang kekuatannya, mereka lalu bertanding silat tangan kosong. Juga dalam pertandingan ini mereka berimbang."

   "Wah, hebat juga Pangeran Mongol itu!" kata Ban-tok Niocu yang sudah tahu akan kelihaian Cun Giok.

   "Memang pangeran itu lihai sekali, Ibu!" kata Li Hong bangga.

   "Kemudian mereka bertanding ilmu pedang. Biarpun ilmu pedang mereka seimbang juga, namun Giok-ko memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang lebih tinggi sehingga akhirnya Pangeran Youtechin mengakui kekalahannya," Ceng Ceng melanjutkan.

   "Tentu saja! Giok-ko berjuluk Bu-eng-cu (Si Tanpa Bayangan), gin-kangnya tidak ada yang dapat menandinginya. Kalau tidak demikian, belum tentu pangeran itu kalah!" kembali Li Hong berkata dan jelas suaranya membela Sang Pangeran.

   "Nah, kalau Cun Giok menang, berarti harta karun itu menjadi milikmu semua, mengapa hanya setengah dan mengapa pula yang setengah diserahkan kepada pangeran itu?" Ban-tok Niocu bertanya penasaran.

   "Kalau tidak saya serahkan setengahnya, pangeran itu sebagai utusan istimewa Kaisar tentu akan menerima hukuman berat karena tugasnya mengalami kegagalan," kata Ceng Ceng.

   "Akan tetapi, peduli apa dia mau digantung atau dipenggal kepalanya? Kenapa kalian begitu melindungi seorang pangeran Mongol yang menjadi wakil Pemerintah Kerajaan Mongol?" tegur Ban-tok Niocu kepada gadis yang kini menjadi anak angkatnya itu.

   "Ibu, kami tidak berurusan dengan Pemerintah Goan, melainkan urusan pribadi. Kami tidak ingin Pangeran Youtechin dihukum karena selain dia bertindak adil dan tidak menggunakan kekerasan merampas harta karun dengan pengerahan pasukan yang tentu tidak akan mampu kami lawan, juga mengingat bahwa Pangeran Youtechin itu adalah...... calon ipar saya," kata Ceng Ceng.

   "Calon iparmu? Ceng Ceng, apa maksudmu dengan kata-kata itu?" tanya Tan Kun Tek dan semua orang memandang Ceng Ceng dengan mata terbelalak heran.

   "Ayah, dengan membagi harta karun, Enci Ceng Ceng telah bertindak bijaksana dan adil. Berarti Enci Ceng Ceng dapat melaksanakan kewajibannya terhadap mendiang ayah kandungnya, dan Pangeran Youtechin juga dapat melaksanakan tugasnya sebagai utusan Kaisar. Dan dengan demikian, tidak terjadi pertempuran besar karena kalau pemerintah mengerahkan pasukan, tentu kami semua tidak mampu melawan. Selain itu, hendaknya Ayah dan Ibu berdua mengetahui bahwa aku telah...... bertunangan dengan Pangeran Youtechin......"

   "Gila!!" bentak Ban-tok Niocu dengan marah.

   "Li Hong, gilakah engkau? Bagaimana engkau memilih seorang Pangeran Mongol menjadi calon jodohmu? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan pandai, keturunan terhormat, apakah kurang pendekar-pendekar sakti yang gagah perkasa untuk menjadi jodohmu? Mengapa seorang Pangeran Mongol?"

   "Li Hong," kata Tan Kun Tek yang juga terkejut namun suaranya lebih lembut karena dia merasa tidak berhak memutuskan mengingat bahwa dia baru saja bertemu dengan anak kandungnya yang tumbuh dewasa di bawah asuhan Ban-tok Niocu di Pulau Ular.

   "Coba kau jelaskan, bagaimana engkau sampai memilih pangeran itu sebagai calon suamimu?"

   Biarpun tiga orang tuanya tampak terkejut dan agaknya tidak suka mendengar ia akan berjodoh dengan pangeran itu, Li Hong tetap tenang dan tersenyum.

   "Ayah dan kedua Ibu, mantu seperti apakah yang kalian inginkan?"

   "Tentu saja seorang pendekar seperti kakak misanmu ini!" kata Ban-tok Niocu.

   "Ya, kami menginginkan mantu seorang pendekar budiman," kata Tan Kun Tek dan isterinya yang sejak tadi diam saja hanya mengangguk-angguk membenarkan suaminya.

   Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Hemm, seorang pendekar seperti Yauw Tek itu?" tanya Li Hong.

   "Yang sudah kalian kenal kehebatannya itu?"

   "Ya, seperti Yauw Tek itu! O ya, mengapa kalian tidak menceritakan tentang Yauw Tek yang dulu menemani kalian berdua pergi mencari harta karun? Ke mana dia dan bagaimana dengan dia?" kata Ban-tok Niocu.

   "Ayah dan Ibu berdua, ketahuilah bahwa Yauw Tek itu bukan lain adalah Pangeran Youtechin," kata Li Hong.

   "Apa......?" Tiga orang tua itu terkejut.

   "Kalau begitu, ketika dia ke sini itu, dia memang sengaja menyamar dan bermaksud buruk?" tanya Ban-tok Niocu.

   "Sama sekali tidak, Ibu," Li Hong membela kekasihnya.

   "Dia memang mendengar bahwa Enci Ceng Ceng, pemegang peta harta karun itu, berada di sini. Sebagai utusan Kaisar yang bertugas menemukan harta karun itu, tentu saja dia ingin mendekati Enci Ceng Ceng dan menyelidikinya. Akan tetapi ketika dia sudah dekat dengan pulau kita ini, dia bertemu dengan pasukan pemerintah. Pangeran Youtechin belum lama kembali dari perantauannya ke barat sejak remaja, maka pasukan itu tidak mengenalnya. Dan Pangeran Youtechin yang sedang menyamar juga tidak memperkenalkan diri, maka dia dikeroyok sehingga terluka dan kita menolongnya."

   "Akan tetapi, Li Hong, bagaimana ceritanya sampai engkau...... mengambil keputusan bertunangan dengan seorang Pangeran Mongol? Tidak kelirukah pilihanmu itu?" Tan Kun Tek bertanya sambil mengerutkan alisnya dan Nyonya Tan juga menggelengkan kepalanya tanda kurang setuju.

   Jantung dalam dada Li Hong berdebar kencang dan mukanya berubah merah ketika ia teringat akan pengalamannya dengan Yauw Tek atau Pangeran Youtechin. Tentu saja ia tidak mau menceritakan kepada siapapun juga bahwa ia telah berhubungan sebagai suami isteri dengan kekasihnya itu!

   Melihat Li Hong agaknya ragu dan malu, Ban-tok Niocu tidak sabar dan berkata kepada Ceng Ceng.

   "Ceng Ceng, engkau yang melakukan perjalanan bersama Li Hong dan Yauw Tek tentu tahu apa yang telah terjadi. Ceritakan kepada kami!"

   Ceng Ceng lalu bercerita dengan singkat.

   "Ketika itu kami bertiga, saya, Hong-moi dan Pangeran Youtechin yang kita kenal sebagai Yauw Tek membantu pihak Ang-tung Kai-pang menghadapi Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko beserta anak buah mereka. Kami berhasil mengusir Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko, dan sepasang iblis itu melarikan diri. Adik Li Hong mengejar mereka sedangkan saya lalu sibuk mengobati orang-orang Ang-tung Kai-pang yang terluka. Yauw Tek lalu pergi menyusul Hong-moi. Nah, demikianlah dan selanjutnya, saya kira Adik Li Hong sendiri yang akan dapat menceritakan dengan jelas."

   "Apa yang diceritakan Enci Ceng itu benar," kata Li Hong.

   "Aku amat benci kepada Hek Pek Mo-ko dan melakukan pengejaran untuk membunuh mereka. Akan tetapi setelah mengejar sampai hari menjadi gelap, aku kehilangan jejak mereka. Dalam sebuah hutan aku terjebak dalam perangkap lalu tahu-tahu aku tertotok pingsan. Ketika aku siuman, aku telah berada dalam sebuah gubuk, kaki tanganku terikat dan di situ terdapat dua orang laki-laki yang menyeramkan dan tampak jahat sekali. Mereka itu bersikap kurang ajar, memaksa aku minum sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan rasanya dan...... dan mereka melucuti pakaianku! Dalam keadaan yang amat gawat tanpa aku dapat melakukan sesuatu itu, tiba-tiba muncul Pangeran Youtechin dan dua orang itu dibunuhnya. Aku ditolong oleh pangeran itu. Nah, Ayah dan Ibu berdua tentu mengerti mengapa aku bertekad untuk berjodoh dengan Pangeran Youtechin. Pertama karena kami memang mencinta, dan kedua...... bagaimana aku dapat menikah dengan laki-laki lain kalau Pangeran Youtechin telah melihatku dalam keadaan seperti itu, bertelanjang bulat? Akan tetapi yang lebih penting, aku menilai dia seorang yang bertabiat baik sekali, dan kami berdua saling mencinta!"

   Tan Kun Tek dan kedua orang isterinya hanya dapat saling pandang. Walaupun di dalam hati mereka terdapat perasaan yang kurang puas memiliki seorang mantu Pangeran Mongol, akan tetapi merekapun maklum akan kekerasan hati Li Hong. Dilarang dan ditentang tentu akan percuma karena kalau sudah memiliki kemauan, gadis itu tidak mungkin dapat dilarang lagi. Apalagi Tan Kun Tek dan Nyonya Tan merasa tidak memelihara dan mendidik Li Hong sejak kecil sampai dewasa, mereka tentu saja merasa tidak enak kalau melarang. Mereka pun menyadari bahwa di bawah bimbingan Ban-tok Niocu yang sebelum menjadi Niocu (Nona) berjuluk Mo-li (Iblis Betina) yang ganas dan kejam, Li Hong menjadi seorang gadis yang amat keras hati. Hanya Ban-tok Niocu yang masih penasaran itu berani bicara, akan tetapi ia bertanya kepada Ceng Ceng dan Cun Giok, untuk memuaskan hatinya.

   "Cun Giok dan Ceng Ceng, aku percaya kepada kalian berdua. Maka sekarang katakanlah sejujurnya, benarkah, apa yang dikatakan Li Hong bahwa Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik?"

   Ceng Ceng dan Cun Giok saling berpandangan, lalu mereka menoleh dan memandang Li Hong.

   "Giok-ko dan Enci Ceng, katakanlah yang sebenarnya. Kalau memang kalian melihat Youtechin sebagai seorang pemuda yang brengsek dan jahat, jangan tutup-tutupi, katakan yang sebenarnya!" kata Li Hong menantang.

   Gadis ini memang sudah nekat karena andaikata orang tuanya dan seluruh manusia di dunia ini tidak setuju, tetap saja ia akan menikah dengan Pangeran Youtechin! Karena sesungguhnya, ia sekarang pun telah menjadi isteri Pangeran Mongol itu!

   Akhirnya Ceng Ceng bicara. Ia memang melihat bahwa Yauw Tek atau Pangeran Youtechin itu seorang pemuda yang baik dan pantas menjadi suami Li Hong. Memang ada sedikit hal yang mengecewakan hatinya, yaitu pangeran itu mudah mengobral dan menyatakan cinta. Dulu baru saja dia menyatakan cinta kepadanya dan ditolaknya, di lain saat dia telah mengalihkan dan menyatakan cintanya kepada Li Hong. Mungkin sudah demikianlah watak seorang pemuda bangsawan tinggi, pikirnya, sehingga akan terdengar amat aneh dan apabila seorang pangeran memiliki isteri kurang dari lima orang!

   "Ayah dan berdua Ibu, saya telah melakukan perjalanan bersama Adik Hong dan Pangeran Youtechin dan saya berani menyatakan bahwa Pangeran Youtechin adalah seorang yang baik budi, juga gagah perkasa dan sama sekali tidak membenci kita bangsa Han."

   Tan Kun Tek mengangguk-angguk, lalu memandang Cun Giok.

   "Bagaimana dengan pendapatmu, Cun Giok?"

   "Pek-hu (Uwa), saya belum pernah bergaul dengan dia, akan tetapi saya dapat menerangkan bahwa ketika saya bertanding melawannya, dia memiliki ilmu silat yang amat tangguh. Kalau saja saya tidak unggul dalam gin-kang, belum tentu saya dapat mengalahkannya. Juga dia gagah perkasa, tidak mau melakukan pengeroyokan dan dengan jujur mengakui kekalahannya."

   Mendengar keterangan Ceng Ceng dan Cun Giok, lega dan giranglah hati Tan Kun Tek, Nyonya Tan, dan Ban-tok Niocu. Tan Kun Tek lalu berkata,

   "Akan tetapi kalau dia seorang pangeran yang berkedudukan tinggi, bagaimanakah perjodohan itu akan diaturnya? Biarpun dia bangsawan tinggi, kita tidak ingin menikahkan puteri kita tanpa disertai peraturan umum. Kita tidak mau merendahkan diri dan harus menjaga kehormatan kita!"

   "Tentu saja!" kata Ban-tok Niocu menyambut ucapan suaminya.

   "Biarpun dia pangeran, dia harus mengajukan pinangan secara resmi untuk menghormati keluarga kita!"

   "Harap Ayah dan berdua Ibu tidak khawatir," kata Ceng Ceng membela adiknya.

   "Saya dan Giok-ko yang menjadi saksi ketika Pangeran Youtechin berjanji kepada Adik Li Hong untuk mengirim pinangan secara resmi."

   "Bagus! Kalau begitu tidak ada masalah dan kami bertiga pasti menyetujuinya perjodohan itu!" kata Tan Kun Tek dan wajah Li Hong berseri-seri dan kedua pipinya tampak kemerahan sehingga ia kelihatan cantik jelita sekali! Akan tetapi tiba-tiba ia berkata, mengeluarkan ucapan yang mengejutkan semua orang.

   "Ayah dan berdua Ibu, aku tidak mau melangsungkan pernikahan kalau tidak berbareng dengan pernikahan Enci Ceng Ceng!"

   "Hong-moi......!!" Ceng Ceng berseru setengah menjerit karena terkejut dan heran.

   "Ha-ha, engkau ini aneh sekali, Li Hong. Bagaimana kalau Ceng Ceng belum mempunyai tunangan atau pilihan hatinya? Sampai kapan engkau akan menunggu?" kata Tan Kun Tek.

   "Ayah, Enci Ceng Ceng sudah yatim piatu dan sebatang kara. Karena ia menjadi enci angkatku, dengan sendirinya ia menjadi anak angkat Ayah dan berdua Ibu. Maka sudah seharusnya kalau Ayah yang menjadi wali dan sebagai Ayah angkatnya bersedia menerima pinangan dari calon suaminya!" kata pula Li Hong tanpa mempedulikan gerakan tangan Ceng Ceng yang memprotesnya.

   "Aih, jadi ia sudah mempunyai pilihan? Tentu saja kami bertiga senang sekali menjadi walinya dan mewakili orang tuanya yang sudah tidak ada untuk menerima pinangan itu! Siapa yang akan datang meminang?"

   "Yang meminang adalah Ayah sendiri!" kata Li Hong sambil cekikikan menahan tawa.

   "Hei, gilakah engkau, Li Hong? Aku mengajukan pinangan kepada aku sendiri? Bagaimana ini? Apakah engkau sudah mabok?" tanya Tan Kun Tek heran dan kedua orang wanita itu pun memandang anak perempuan mereka dengan bingung.

   "Ayah menerima pinangan sebagai wali atau wakil Enci Ceng Ceng dan Ayah mengajukan pinangan sebagai wali atau wakil Kakak Pouw Cun Giok! Dia juga sudah yatim piatu dan sebatang kara, maka sudah semestinya kalau Ayah sebagai uwanya mewakilinya, bukan?"

   Tan Kun Tek menjadi bingung.

   "Wah"" ini"" ini bagaimana? Bagaimana dilaksanakannya? Masa aku mengajukan pinangan kepadaku sendiri?"

   "Hi-hik, mudah saja diatur urusan itu!" tiba-tiba Ban-tok Niocu berkata.

   "Koko, engkau mewakili Cun Giok mengajukan pinangan atas Ceng Ceng dan akulah yang menjadi wakil Ceng Ceng untuk menerima pinangan itu. Beres, bukan?"

   "Bagus! Bagus! Sekarang bereslah sudah!" Li Hong bersorak.

   Semua orang tertawa, kecuali Cun Giok dan Ceng Ceng yang hanya menundukkan muka mereka yang berubah kemerahan.

   "Nanti dulu!" Tan Kun Tek berkata sehingga mereka yang tertawa berhenti dan memandang kepadanya.

   "Jangan tertawa dan bergembira lebih dulu. Sebagai wakil-wakil dua orang yang akan berjodoh, sudah semestinya kita bertanya dulu kepada yang bersangkutan. Cun Giok, bagaimana kalau aku menjadi walimu dan mengajukan lamaran kepada Ceng Ceng?"

   Curi Giok semakin menunduk dan menahan senyum malu-malu.
(Lanjut ke Jilid 15 - Tamat)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 15 (Tamat)
"Hei, bagaimana ini? Giok-ko, mengapa engkau begini malu-malu seperti seorang gadis saja? Hayo jawablah pertanyaan Ayah!" kata Li Hong.

   "Benar, Cun Giok, jawablah, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Ceng Ceng?" desak Tan Kun Tek.

   Cun Giok melempar pandang ke arah Ceng Ceng yang masih menunduk. Dia khawatir kalau-kalau akan menyinggung hati gadis itu. Maka dengan hati tegang dia terpaksa mengangguk dan menjawab lirih sekali.

   "Saya...... bersedia, Pek-hu......"

   "Apa jawabmu? Kurang jelas, Cun Giok. Jawablah yang jelas, engkau bersedia atau tidak?" desak Tan Kun Tek yang pura-pura tidak mendengar.

   "Saya...... bersedia!" kata Cun Giok lebih lantang.

   "Bagus!" kata Tan Kun Tek yang kini dengan gaya lucu menghadap ke arah isterinya yang kedua.

   "Ban-tok Niocu, aku mewakili Pouw Cun Giok untuk melamar anak angkatmu Liu Ceng Ceng. Bagaimana, apakah lamaranku itu dapat kauterima?"

   "Nanti dulu, akan kutanyakan kepada yang bersangkutan. Liu Ceng Ceng, engkau sudah mendengar sendiri lamaran dari Pouw Cun Giok yang diwakili uwanya, sekarang jawablah dengan jelas, apakah engkau bersedia untuk dijodohkan dengan Pouw Cun Giok?"

   Tanpa mengangkat mukanya, Ceng Ceng semakin menundukkan muka dan menjawab dengan suara menggetar.

   "Saya...... bersedia......"

   "Bagus! Selamat, Enci Ceng......!" Li Hong bersorak dan merangkul Ceng Ceng.

   Akan tetapi pada saat itu, Ceng Ceng menangis tersedu-sedu! Gadis ini merasa terharu sekali karena teringat akan ayah ibunya yang tidak dapat menyaksikan kebahagiaannya itu. Li Hong maklum dan sambil merangkul Ceng Ceng ia ikut menangis. Nyonya Tan juga mendekati mereka dan merangkul sambil menangis terharu. Hanya Ban-tok Niocu yang memandang sambil tersenyum, akan tetapi tanpa ia sadari kedua matanya menjadi basah!

   Melihat kekasihnya menangis tersedu-sedu, Cun Giok juga teringat kepada orang tuanya dan dia merasa kasihan kepada Ceng Ceng dan juga terharu, maka dia menundukkan mukanya dan menahan suara tangisnya, akan tetapi air mata menetes-netes ke atas sepasang pipinya!

   Sejenak Tan Kun Tek membiarkan keharuan mereka larut melalui air mata, kemudian dia berseru.

   "Hei, apa-apaan ini? Kita mestinya bergembira ria, mengapa malah bertangis-tangisan? Hayo cepat hapus air matamu dan kita harus rayakan kebahagiaan ini dengan minum arak untuk mengucapkan selamat kepada tiga orang calon pengantin kita!"

   Mendengar teriakan ini, semua orang mengusap air mata mereka dan tak lama kemudian, dengan mulut tersenyum namun mata basah, keluarga itu minum arak merayakan kebahagiaan mereka.

   Tepat seperti yang telah dijanjikannya, tak lama kemudian utusan resmi dari Pangeran Banagan datang ke Pulau Ular. Rombongan ini diutus Pangeran Banagan di kota raja untuk mengajukan pinangan puteranya, Pangeran Youtechin, kepada Tan Li Hong. Rombongan yang membawa mas kawin amat mewah dan berharga itu disambut dengan kehormatan oleh keluarga Majikan Pulau Ular. Pinangan diterima dan keluarga itu minta disampaikan usul mereka agar upacara pertemuan pengantin diadakan dan akan dirayakan di Pulau Ular sebagai pasangan pengantin kembar, yaitu Tan Li Hong berpasangan dengan Pangeran Youtechin, dan Liu Ceng Ceng berpasangan dengan Pouw Cun Giok. Juga keluarga itu mengusulkan hari perkawinan agar disampaikan kepada keluarga Pangeran Youtechin.

   Usul dari keluarga Pulau Ular itu diterima baik dan demikianlah, beberapa bulan kemudian, pada waktu yang telah ditetapkan, Pulau Ular tampak meriah sekali. Semua tempat berbahaya yang dipasangi jebakan telah disingkirkan sehingga pulau itu menjadi tempat yang indah menyenangkan. Tamu-tamu dari kalangan persilatan datang mengalir, termasuk partai-partai persilatan besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Hoa-san-pai, Thai-san-pai dan lain-lain. Apalagi yang menikah adalah Liu Ceng Ceng dan Pouw Cun Giok yang banyak dikenal di dunia kang-ouw dan dihormati banyak golongan. Juga tamu-tamu para bangsawan untuk menghormati pernikahan Pangeran Youtechin hadir sehingga pulau itu menjadi tempat pesta yang amat meriah.

   Di antara mereka yang datang berkunjung, terdapat pula The Toanio, majikan Lembah Seribu Bunga dengan dua orang puterinya, The Kui Lan dan The Kui Lin yang kembar, bersama tunangan mereka yang sudah diresmikan Liong Kun dan Thio Kui, dua orang pemuda pendekar Bu-tong-pai itu. Bu-tek Sin-liong Cu Liong dan puterinya, Pek-hwa Sianli Cu Ai Yin, penghuni Bukit Merak, juga diundang, akan tetapi mereka tidak datang hanya mengirim utusan mengantarkan sumbangan karena datuk itu masih merasa penasaran bahwa Pouw Cun Giok tidak bersedia menjadi suami puterinya, dan Cu Ai Yin merasa malu untuk menghadiri hari pernikahan itu, di samping merasa kecewa karena cintanya hanya bertepuk sebelah tangan.

   Setelah berdiam di Pulau Ular selama sepekan, sepasang mempelai meninggalkan pulau itu. Li Hong diboyong suaminya ke kota raja di mana keluarga Pangeran Youtechin akan menyambut sepasang mempelai itu dengan pesta meriah yang dihadiri oleh keluarga istana dan para pembesar.

   Ada pun Pouw Cun Giok dan Ceng Ceng juga meninggalkan pulau. Tan Kun Tek dan dua orang isterinya sudah minta dengan sangat agar mereka berdua tinggal di Pulau Ular, akan tetapi sepasang mempelai baru itu menolak dengan halus. Ceng Ceng ingin bersama suaminya kembali ke Nan-king ke bekas rumah orang tuanya yang disita pemerintah daerah. Berkat surat perintah yang mereka terima dari Pangeran Youtechin, mereka akan dapat memiliki kembali rumah itu tanpa ada yang berani mengganggu mereka. Atas nasihat Tan Kun Tek dan dua orang isterinya, harta karun yang dibawa Ceng Ceng dan Cun Giok dari Thai-san itu disimpan di Pulau Ular, tempat yang aman dan kelak akan mereka serahkan kepada yang berhak, yaitu kalau muncul pimpinan sejati bagi rakyat jelata untuk berjuang mengusir penjajah Mongol dari tanah air!

   Demikianlah kisah ini diakhiri dengan catatan pengarang bahwa pikiran manusia terombang-ambing antara suka dan duka. Tidak ada suka yang berkelanjutan dan mulus, tidak ada pula duka yang berkelanjutan dan tiada perubahan. Ada kalanya orang merasa hidup ini sengsara, untuk kemudian berubah dengan perasaan bahwa hidup ini senang. Karena hidup ini tidak terlepas dari pengaruh Im-Yang (Positive Negative), maka suka dan duka saling bergantian muncul dalam kehidupan manusia seperti munculnya siang dan malam.

   Namun bagi manusia yang lahir batinnya menyerah kepada Kekuasaan Tuhan, maklum bahwa suka duka itu hanya ulah pikiran belaka, maka dia yang berserah diri sepenuhnya kepada Tuhan, akan menerima segala apa pun yang terjadi pada dirinya dengan sabar dan bersyukur karena baik pahit maupun manis ternilai oleh pikiran, semua yang terjadi itu sudah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan di balik semua itu dia yakin ada hikmahnya yang amat berharga baginya. Maka dia tidak akan tenggelam dan putus asa di kala datang duka dan tidak akan mabok dan lupa diri di kala datang suka.

   TAMAT
Alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1363
Waktu : 26 Juli 2013 jam 1:49am

   


Naga Beracun Eps 5 Naga Beracun Eps 34 Pendekar Tanpa Bayangan Eps 14

Cari Blog Ini