Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 14


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 14




   "Hal itu lebih mendorongku untuk menentangnya, Ayah. Aku akan membantu partai persilatan besar yang dimusuhi Panglima Kim Bayan, dengan demikian aku akan mengangkat nama Ayah sebagai murid Bu-tong-pai dan Subo yang juga ibuku sebagai majikan Pulau Ular. Juga setelah mendengar bahwa Ibu Gak Li memberi obat penyembuh kepada ketua Hoa-san-pai, aku harus minta maaf kepada Hoa-san-pai bahwa aku pernah melukai ketuanya. Juga aku akan mencari murid keponakan mendiang Im Yang Yok-sian seperti yang diceritakan Ibu Gak Li, gadis bijaksana yang bernama Liu Ceng Ceng itu, untuk minta maaf pula bahwa aku terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian dahulu."

   "Li Hong, kami baru saja bertemu denganmu, waktu sebulan ini belum cukup untuk menebus kerinduan kami selama tujuhbelas tahun. Mengapa engkau mau meninggalkan kami? Dan biarpun aku tahu bahwa engkau telah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, namun engkau masih kurang pengalaman dan dunia di luar pulau ini amat kejam, banyak terdapat orang jahat."

   Tiba-tiba Ban-tok Niocu berkata lembut kepada suaminya sambil memandang kepada madunya dengan senyum menghibur.

   "Biarkan ia pergi. Justeru karena ia belum berpengalaman, maka ia dapat meluaskan pengetahuan dan pengalaman. Ia akan mampu menjaga diri, hal ini aku yakin karena seluruh ilmuku telah kuturunkan kepadanya. Li Hong, engkau boleh pergi, akan tetapi kami hanya memberi waktu paling lama satu setengah tahun, setelah lewat masa itu, engkau harus pulang, jangan membikin gelisah hati kami."

   "Baik, akan kuperhatikan semua pesan Subo...... eh, Ibu!" Gadis itu belum biasa mengganti sebutan guru dengan ibu sehingga ia sering keliru, membuat tiga orang tuanya tertawa.

   Setelah berkemas dan meninggalkan pulau, Gak Li menghibur madunya dan suaminya.

   "Harap kalian jangan gelisah. Anak kita itu cukup mampu menjaga diri dan selain itu, apakah kalian tidak menduga apa yang kuinginkan maka aku menyetujui ia merantau?"

   Suami isteri itu memandang dan menggelengkan kepala mereka.

   "Apakah kalian lupa berapa usia Li Hong sekarang?"

   "Kurang lebih sembilanbelas tahun," jawab ibu Li Hong.

   "Benar, sudah dewasa dan sudah cukup usianya bagi seorang gadis untuk menikah. Kalau ia dibiarkan di pulau ini terus, bagaimana mungkin ia akan dapat menemukan jodoh? Aku sengaja menyetujui ia merantau dengan harapan ia akan bertemu dengan jodohnya."

   Suami isteri itu mengangguk-angguk. Akan tetapi ibu kandung Li Hong berkata.

   "Enci Lili, apakah tidak lebih baik kalau engkau yang memilihkan jodoh untuk anak kita itu? Pilihanmu tentu lebih tepat karena engkau lebih mengenal watak anak kita."

   "Justeru karena mengenal baik watak Li Hong, aku tidak mau memilihkan jodoh untuknya. Anak kita itu berwatak keras dan bebas, maka kalau dijodohkan dengan pemuda yang tidak dicintanya, ia pasti akan menolak keras. Selain itu, aku sendiri percaya bahwa orang tidak akan dapat hidup bahagia kalau harus menikah dengan orang yang tidak dicintanya."

   Setelah berkata demikian, Ban-tok Niocu melirik ke arah Tan Kun Tek dan kedua pipinya berubah kemerahan. Tan Kun Tek dan isterinya maklum bahwa ucapan Lili itu timbul dari dasar hatinya karena hal itu ia sudah buktikan dengan tidak mau menikah dengan laki-laki lain setelah ditinggal Kun Tek yang menikah dengan gadis lain!

   Liu Bok Eng adalah seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun dan tinggal di kota Nan-king. Namanya amat terkenal di kota Nan-king, bahkan sampai jauh di sekitar kota Nan-king dan orang-orang biasa menyebutnya Liu-enghiong (Pendekar Liu). Tubuhnya tinggi besar dengan wajah kemerahan dan gagah seperti tokoh Kwan Kong di dalam cerita Sam Kok. Dia memang seorang yang tinggi ilmu silatnya. Sebagai seorang murid Siauw-lim-pai, nama Liu Bok Eng pernah terkenal puluhan tahun yang lalu. Apalagi dia pernah menjadi seorang panglima pada Kerajaan Sung.

   Setelah kerajaan itu jatuh dan pemerintahan dipegang Kerajaan Goan (Mongol). Liu Bok Eng mengundurkan diri dan tinggal di kota Nan-king. Dia cukup kaya karena memang sejak dulu dia keturunan orang-orang kaya, dan karena dia murah hati, suka menolong dan menyumbang rakyat, maka dia dihormati seluruh penduduk Nan-king. Bahkan para pembesar di Nan-king juga segan mengganggunya, bahkan pemerintah menawarkan kedudukan kepadanya, namun selalu ditolak dengan halus oleh Liu Bok Eng.

   Di Nan-king Liu Bok Eng tinggal dalam sebuah gedung kuno yang besar bersama isterinya yang berusia sekitar empatpuluh lima tahun, seorang wanita yang lembut dan cantik. Mereka hanya mempunyai seorang anak, yaitu Liu Ceng Ceng yang kita kenal dengan julukan Pek-eng Sianli. Gadis ini mewarisi ilmu silat Siauw-lim-pai dari ayahnya sendiri, kemudian memperdalam ilmu pengobatan dari paman gurunya, mendiang Im Yang Yok-sian. Suami isteri itu mempunyai beberapa orang pembantu yang rata-rata sudah berusia setengah tua dan sudah puluhan tahun menjadi pembantu keluarga Liu.

   Pada suatu pagi, Liu Bok Eng duduk di ruangan depan bersama isterinya. Mereka minum air teh dan makan hidangan ringan seperti biasa setiap pagi mereka lakukan.

   "Mengapa Ceng Ceng masih juga belum pulang?" kata Nyonya Liu setelah beberapa kali menghela napas panjang dan memandang ke arah jalan umum di luar pekarangan rumahnya dengan melamun.

   Liu Bok Eng tersenyum.

   "Mengapa khawatir, isteriku? Ceng Ceng cukup mampu untuk menjaga diri sendiri, selain itu ia pandai ilmu pengobatan yang didapat dari Sute Im Yang Yok-sian. Anak kita itu tentu sedang melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendekar wanita, menolong orang-orang tertindas dan mengobati orang-orang sakit. Biarlah ia meluaskan pengalamannya, itu baik sekali baginya."

   "Engkau benar, suamiku. Akan tetapi apakah engkau tidak ingat bahwa anak kita itu usianya sudah sembilanbelas tahun? Ia sudah pantas menikah dan aku sudah rindu menimang seorang cucu."

   "Tentu saja hal itu pun sudah kupikirkan dan aku sudah mempunyai pandangan beberapa orang calon yang kuanggap cukup pantas menjadi suami Ceng Ceng. Kita tunggu sampai ia pulang dan biar ia memilih sendiri di antara beberapa orang yang kutunjuk sebagai calon jodohnya itu."

   Tiba-tiba suami isteri itu dikejutkan oleh munculnya seorang yang berpakaian perajurit yang memasuki pekarangan mereka dengan langkah tegap. Liu Bok Eng mengerutkan alisnya. Dia memang mengenal semua pejabat di kota Nan-king, akan tetapi perkenalannya tidak akrab, bahkan ada perasaan yang seolah mengganjal dalam hati karena beberapa kali dia menolak tawaran para pembesar untuk bekerja membantu pemerintah.

   Liu Bok Eng dan isterinya tetap duduk sambil memandang perajurit yang menghampiri gedung mereka. Setelah perajurit itu tiba di beranda depan yang menyambung ruangan depan di mana suami isteri itu duduk, dia lalu memberi hormat secara militer. Ternyata perajurit ini pun tahu dengan siapa dia berhadapan, maka dia memberi hormat kepada Liu-enghiong yang amat dihormati seluruh penduduk Nan-king itu.

   Tanpa berdiri dari kursinya, Liu Bok Eng melambaikan tangan sebagai balasan penghormatan dan dia lalu bertanya dengan suara lantang.

   "Perajurit, keperluan apa yang membawamu datang ke sini?"

   "Saya melaksanakan perintah Ciang-thaijin (Pembesar Ciang) untuk menyerahkan surat ini kepada Liu-enghiong." Perajurit itu menyerahkan sebuah sampul surat kepada Liu Bok Eng.

   Liu Bok Eng bangkit dan menghampiri perajurit itu dan menerima surat yang disodorkan kepadanya.

   "Terima kasih. Apakah engkau harus menunggu jawaban atau balasan dariku?"

   "Tidak, setelah surat ini diterima, saya diharuskan segera kembali ke kantor."

   "Baiklah, kalau begitu, surat ini sudah kuterima dan engkau boleh pulang."

   Setelah perajurit itu pergi, barulah Liu Bok Eng membuka surat itu dan membacanya. Nyonya Liu diam-diam memandang suaminya penuh perhatian karena ia juga merasa heran sekali bagaimana suaminya yang tidak akrab dengan para pembesar itu mendapat surat dari Pembesar Ciang yang ia ketahui menjadi Jaksa kota Nan-king dan pembesar itu terkenal sebagai tukang memeras penduduk, terutama yang berharta. Ketika wanita itu melihat wajah suaminya tiba-tiba menjadi kemerahan dan alisnya berkerut seperti orang marah, ia bertanya.

   "Ada urusan apakah Jaksa itu sampai mengirim surat kepadamu?"

   Setelah membaca habis Liu Bok Eng menyerahkan surat itu kepada isterinya tanpa berkata sesuatu. Nyonya Liu Bok Eng membaca surat itu dan wajahnya yang berkulit halus dan cantik itu pun berubah merah karena marah. Ia menaruh kertas itu di atas meja.

   Dalam surat itu, Jaksa Ciang memerintahkan kepada Liu Bok Eng dan isterinya untuk menghadap ke kantor kejaksaan karena ada Panglima Besar Kim bersama gurunya datang dan ingin bicara dengan Liu Bok Eng untuk urusan yang amat penting. Yang membuat suami isteri itu marah adalah penutup surat itu yang mengatakan bahwa kalau Liu Bok Eng tidak datang, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditangkap!

   Nyonya Liu Bok Eng adalah seorang wanita yang biarpun wataknya lembut, namun ia bukan orang lemah. Ia telah mempelajari ilmu silat dari suaminya sehingga ia pun dapat dianggap seorang wanita gagah dan lihai.

   "Hemm, sombong benar Jaksa Ciang!" Nyonya Liu Bok Eng berkata.

   "Berani dia memerintahkan kita datang menghadap dengan ancaman segala! Kita tidak pernah ada urusan dengan dia, apa maksudnya dia mengundang seperti memanggil orang yang melakukan kejahatan saja?"

   Liu Bok Eng menghela napas panjang.

   "Sejak dulu aku sudah merasa tidak senang dengan orang she Ciang ini. Banyak sudah kita mendengar dia bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Sekarang dia memanggil kita. Amat mencurigakan karena ada beberapa hal yang aneh. Pertama, kalau dia mempunyai urusan denganku, mengapa dia memanggil engkau juga? Selain itu, dia mengatakan bahwa Panglima Besar Kim bersama gurunya ingin bicara dengan kita. Aku menjadi curiga sekali."

   "Apa yang kaucurigai? Kita datang saja kalau dia membikin ulah, kita hajar dia!" kata Nyonya Liu Bok Eng dengan gagah, walaupun ucapan itu dikeluarkan dengan suara yang lembut.

   "Ucapan terakhir yang menganggap kita pemberontak dan hendak ditangkap kalau tidak menaati perintah, menunjukkan bahwa mereka pasti mempunyai niat yang amat jahat dan hal yang akan mereka bicarakan tentu amat penting bagi mereka. Mereka pasti menghendaki sesuatu dari kita, sesuatu yang bagi mereka amat berharga."

   Nyonya Liu memandang suaminya dengan mata terbelalak.

   "Maksudmu...... peta itu.......?"

   Suaminya mengangguk.

   "Pasti itu, kalau tidak apa lagi yang menarik perhatian Panglima Kim Bayan? Aku sudah mendengar akan sepak terjang Kim Bayan itu, seorang panglima yang amat tangguh, lihai ilmu silatnya dan besar kekuasaannya. Dia pasti sudah mendengar akan peta itu dan sekarang hendak merampasnya dari tanganku. Apalagi kalau diingat akan desas-desus betapa pemerintah Mongol mulai bersikap tidak bersahabat dengan partai-partai persilatan, terutama Siauw-lim-pai. Aku sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai tentu saja sudah masuk daftar mereka sebagai seorang yang perlu mereka curigai dan awasi."

   "Aih, kalau begitu, bagaimana baiknya? Kalau mereka tidak bisa mendapatkan peta itu, mungkin sekali anak kita nanti terbawa-bawa. Suamiku, kita tidak membutuhkan harta karun itu. Bagaimana kalau kita serahkan saja peta itu?"

   Liu Bok Eng mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak bisa! Harta itu hak milik Kerajaan Sung! Baru boleh diserahkan kepada mereka yang kelak mendapat kesempatan untuk menggulingkan pemerintah Mongol! Apa engkau takut?"

   Sepasang mata wanita itu bersinar.

   "Takut? Aku tidak takut sama sekali, akan tetapi aku khawatir kalau Ceng Ceng terbawa-bawa!"

   "Jangan khawatir. Akan kuatur sebaiknya. Sekarang, aku harus tinggalkan peta dan surat kepada Ceng Ceng."

   "Titipkan saja kepada seorang pembantu rumah tangga kita."

   "Tidak, kalau benar mereka menghendaki peta itu, pasti mereka akan menggeledah rumah dan memaksa para pembantu kita untuk mengaku. Aku akan menitipkan kepada Liong Sinshe (Tabib Liong)."

   Isterinya mengangguk membenarkan. Tabib Liong adalah seorang sahabat baik dari suaminya dan diam-diam seorang yang anti pemerintah Mongol. Kalau peta itu berada di tangannya, dititipkan agar nantinya diserahkan kepada Ceng Ceng, pasti aman. Tidak akan ada yang mencurigai seorang lemah seperti Tabib Liong.

   Liu Bok Eng tidak membuang waktu lagi. Dia segera menulis surat untuk Ceng Ceng, lalu secara sembunyi agar jangan sampai diketahui orang, dia pergi ke rumah Tabib Liong. Dengan singkat dia menceritakan tentang panggilan Jaksa Ciang kepada dia dan isterinya dan menitipkan surat itu agar kalau terjadi sesuatu dengannya kelak diserahkan kepada Ceng Ceng. Dalam sampul surat tertutup itu tersimpan pula sebuah peta bersama suratnya. Setelah mendapat janji Tabib Liong untuk memenuhi pesan itu, Liu Bok Eng lalu pulang.

   Suami isteri itu meninggalkan pesan kepada para pembantu rumah tangga untuk menjaga rumah dan menanti pulangnya Ceng Ceng. Setelah itu, mereka berdua lalu berangkat ke kantor kejaksaan.

   Panglima Kim Bayan adalah panglima Mongol yang tinggal di Cin-yang dan mengepalai seluruh pasukan di Shan-tung ke selatan. Seperti kita ketahui, dialah yang bertekad membersihkan partai-partai persilatan yang dia anggap memusuhi Pemerintah Mongol. Dia pula yang dulu menangkap Tan Kun Tek dan isterinya.

   Pada suatu hari, gurunya yang berjuluk Cui-beng Kui-ong (Raja Iblis Pengejar Roh) datang berkunjung di markasnya. Cui-beng Kui-ong adalah seorang datuk besar dari utara yang terkenal sebagai ahli silat dan ahli sihir yang ditakuti. Dia peranakan Mancu/Mongol, akan tetapi karena sejak remaja merantau di Cina, dia hidup dengan gaya seorang pribumi Cina dan menyerap banyak ilmu silat dari Cina dan ilmu sihir dari Tibet dan Nepal.

   Dia amat berjasa ketika pasukan Mongol menyerbu Cina. Dialah yang mengalahkan banyak pendekar yang membela Kerajaan Sung. Karena itu, Kaisar Mongol menganugerahi dia sebagai seorang penasihat dan memberinya sebuah bukit yang indah. Bukit itu letaknya dekat Peking dan di puncaknya dibangun sebuah istana kecil. Pemandangan dari atas bukit itu amat indah.

   Cui-beng Kui-ong tinggal di situ bersama seorang adik perempuan seperguruan yang juga amat lihai dengan julukan Song-bun Mo-li (Iblis Betina Berkabung)! Mereka itu kakak beradik seperguruan akan tetapi ketika muda dahulu mereka sudah berhubungan seperti suami isteri!

   Kini Cui-beng Kui-ong telah berusia hampir tujuhpuluh tahun sedangkan sumoinya (adik perempuan seperguruannya) itu berusia enampuluh tahun. Mereka berdua tinggal di atas bukit yang oleh Cui-beng Kui-ong sebagai pemiliknya diberi nama Bukit Sorga!

   Tentu saja Kim Bayan terkejut dan heran melihat gurunya yang sudah tua itu datang berkunjung. Dia menyambutnya dengan penuh hormat, bahkan mengadakan pesta makan minum untuk menyambut gurunya. Seluruh pasukan Mongol sudah mengenal kakek itu dan mereka memandang dengan takut karena maklum bahwa kakek itu selain lihai ilmu silatnya dan pandai menggunakan sihir, juga kabarnya kejam sekali terhadap siapa saja yang membuatnya tidak senang.

   Setelah melayani dan menemani gurunya makan minum sampai puas dan agak mabok, Cui-beng Kui-ong mengajak muridnya bicara empat mata dalam kamar rahasia agar jangan sampai ada yang mendengar pembicaraan mereka. Panglima Kim membawa gurunya ke dalam kamar rahasia dan mereka duduk berhadapan.

   "Perkara penting apakah yang hendak Suhu sampaikan kepada saya? Agaknya merupakan rahasia besar."

   "Memang ada urusan yang amat penting," kata kakek kurus bongkok yang tampaknya seperti orang berpenyakitan dan lemah itu setelah minum lagi secawan arak.

   "Aku mencari seorang murid Siauw-lim-pai yang bernama Liu Bok Eng dan kabarnya tinggal di Nan-king. Tahukah engkau siapa orang itu?"

   "Liu Bok Eng di Nan-king? Ya, saya tahu siapa dia walaupun tidak mengenal dekat. Kabarnya dia murid Siauw-lim-pai yang lihai, ilmu silatnya tinggi. Akan tetapi ada urusan apa dengannya maka Suhu mencarinya?"

   "Aku mempunyai dugaan kuat bahwa Liu Bok Eng itulah yang menyimpan peta harta karun Kerajaan Sung yang dulu dikumpulkan oleh seorang Thaikam (Pembesar Kebiri). Harta karun yang tak ternilai harganya, berikut beberapa buah pusaka Kerajaan Sung."

   Panglima Kim Bayan menatap wajah gurunya dengan hati tegang dan ingin sekali dia mengetahui lebih banyak.

   "Suhu, bagaimana harta karun Kerajaan Sung disembunyikan dan petanya berada di tangan Liu Bok Eng?"

   "Dengarkan cerita yang kudapat dari orang yang bisa dipercaya, akan tetapi ingat, yang mengetahui hal ini hanya aku dan engkau harus merahasiakannya."

   Setelah Panglima Kim Baya mengangguk, kakek itu bercerita. Ketika terjadi perang antara pasukan Mongol yang menyerang pasukan Sung dan Kerajaan Sung sudah hampir jatuh, terdapat seorang Pembesar Kebiri kepercayaan Kaisar Sung, yaitu Thaikam Bong yang selain pandai menjilat kaisar, juga merupakan seorang koruptor besar. Dia berhasil mengumpulkan harta kekayaan Kerajaan Sung karena ketika kerajaan itu sudah di ambang kehancuran, Kaisar Sung mempercayakan Thaikam Bong untuk menyembunyikan harta karun istana berikut beberapa benda pusaka.

   Thaikam Bong mempergunakan kesempatan itu untuk mengangkut semua harta itu ke suatu tempat tersembunyi, menyembunyikannya kemudian dia membunuh semua orang yang membantu dia mengangkut dan menyembunyikan harta itu. Kemudian dia membuat gambar peta tempat penyimpanan harta karun yang dirahasiakan itu. Tiada orang lain kecuali Thaikam Bong yang tahu di mana tersimpannya harta karun itu walaupun banyak yang mengetahui bahwa Thaikam Bong diserahi tugas menyelamatkan harta Kerajaan Sung yang hampir jatuh.

   "Nah, demikianlah riwayat harta karun itu. Ketika pasukan kita sudah mendekati kota raja, seorang panglima yang membawa pasukannya menyerbu Thaikam Bong yang memang tidak disukai oleh kebanyakan pejabat karena ia dianggap seorang yang menjilat dan membuat Kaisar Sung menjadi lemah. Thaikam Bong terbunuh, rumahnya dibakar dan semua hartanya yang berada dalam gedung dirampas oleh pasukan. Sejak itu, peta tempat persembunyian harta karun itu lenyap. Kemudian aku mendapatkan keterangan bahwa yang memimpin pasukan yang menyerbu rumah Thaikam Bong dan yang membunuh orang kebiri itu bukan lain adalah Liu Bok Eng! Nah, mudah ditarik kesimpulannya, bukan? Pasti peta harta karun yang hilang itu berada di tangannya karena dia yang memimpin penyerbuan. Besar sekali kemungkinannya bahwa sebelum membunuh Thaikam Bong, dia merampas peta itu!" Cui-beng Kui-ong mengakhiri ceritanya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh Panglima Kim Bayan.

   "Wah, cerita yang menarik sekali, Suhu! Saya pun yakin bahwa peta harta karun itu pasti berada di tangan Liu Bok Eng. Kebetulan sekali. Saya memang sedang menyelidiki dan mengawasi para tokoh partai persilatan besar, terutama sekali Siauw-lim-pai. Karena Liu Bok Eng itu seorang tokoh Siauw-lim-pai, apalagi baru saja Suhu menceritakan bahwa dia bekas panglima Kerajaan Sung, maka kita dapat menggertak dan memaksanya untuk menyerahkan peta itu!"

   "Bagus! Kalau begitu, mari kita pergi ke rumah Liu Bok Eng di Nan-king dan kita minta agar dia mau menyerahkan peta itu. Kalau dia menolak, kita paksa dia!"

   "Nanti dulu, Suhu. Bukan saya tidak berani memaksanya, akan tetapi kalau kita menggunakan cara itu, tentu akan menimbulkan heboh dan rahasia peta harta karun itu akan diketahui orang banyak."

   "Hemm kalau begitu bagaimana kita harus bertindak?"

   "Sebaiknya kita menggunakan cara, yang lebih halus agar perkara ini tidak sampai terdengar orang luar. Kita pergi berkunjung ke rumah Jaksa Ciang. Dia adalah seorang sahabat yang akan mematuhi semua perintah saya. Melalui Jaksa Ciang kita panggil Liu Bok Eng dan isterinya. Nah, di rumah itu kita dapat memaksa suami isteri itu menyerahkan peta dan tidak akan ada orang mengetahui sehingga rahasia itu dapat terjaga rapat."

   Cui-beng Kui-ong mengangguk-angguk senang dan mereka berdua lalu berangkat ke Nan-king yang tidak berapa jauh letaknya dan langsung mengunjungi rumah Jaksa Ciang.

   Jaksa Ciang menyambut kunjungan Panglima Kim dengan hormat, apalagi ketika dia mendengar bahwa kakek kurus bongkok itu adalah guru Panglima Kim Bayan yang dia kagumi dan juga takuti. Dua orang tamu agung itu menginap semalam di situ dan Panglima Kim menyuruh Jaksa Ciang untuk memanggil Liu Bok Eng dan isterinya.

   Ketika Liu Bok Eng dan Nyonya Liu tiba di kantor kejaksaan, Jaksa Ciang sendiri yang menerima mereka. Kemudian Jaksa Ciang membawa mereka ke dalam rumahnya dan memasuki sebuah ruangan luas yang letaknya di bagian belakang rumahnya.

   "Panglima Besar Kim dan gurunya ingin bicara dengan kalian, maka kalian masuk dan bicara dengan mereka," kata Jaksa Ciang. Dia sendiri tidak berani masuk mengganggu pembicaraan antara Panglima Kim dan Liu Bok Eng karena dia sudah dipesan agar tidak ada orang lain mendengarkan pembicaraan mereka. Jaksa Ciang mengenal betul siapa Panglima Kim, maka tentu saja dia tidak berani melanggar larangan itu, karena melanggar berarti mati!

   Liu Bok Eng dan isterinya menanti Jaksa Ciang mengetuk daun pintu. Setelah daun pintu dibuka, yang muncul adalah Panglima Kim Bayan sendiri. Jaksa Ciang menjura dan berkata dengan hormat.

   "Kim Thai-ciangkun, Liu-enghiong (Pendekar Liu) dan Nyonya Liu telah datang memenuhi undangan Thai-ciangkun!"

   "Baik, Liu-enghiong dan Nyonya Liu, silakan masuk!" kata Kim Bayan yang memberi isyarat kepada Jaksa Ciang agar meninggalkan tempat itu.

   Setelah Jaksa Ciang pergi, Panglima Kim menutup rapat daun pintu dan mengajak suami isteri itu duduk menghadapi sebuah meja. Di seberang meja telah duduk kakek bongkok Cui-beng Kui-ong yang memegang sebatang tongkat hitam yang ujungnya runcing.

   "Silakan duduk!" kata Kim Thai-ciangkun sambil duduk di dekat gurunya, berhadapan dengan suami isteri yang duduk di depannya. Melihat Kim Bayan dan kakek kurus itu tidak menyambut dengan salam, maka Liu Bok Eng dan isterinya juga tidak memberi hormat, melainkan duduk saja dengan sikap tenang.

   Setelah mengamati wajah suami isteri itu beberapa saat lamanya, Panglima Kim lalu berkata dengan suaranya yang berat, namun dia yang biasanya bicara dengan suara nyaring itu kini menahan suaranya sehingga terdengar lirih.

   "Liu Bok Eng dan Nyonya Liu, perkenalkan, aku adalah Panglima Besar Kim Bayan, komandan semua pasukan di propinsi ini. Adapun ini adalah guruku, Suhu Cui-beng Kui-ong dari kota raja."

   Liu Bok Eng dan isterinya mengangguk sebagai tanda penghormatan karena mereka diperkenalkan, lalu dia bertanya dengan sikap tenang.

   "Melalui Jaksa Ciang, Kim-ciangkun memanggil kami suami isteri ke sini, sebetulnya ada urusan penting apakah yang akan Ciang-kun bicarakan?"

   Menghadapi sikap pendekar yang demikian tenang dan gagah, hati Kim Bayan merasa agak segan juga. Orang seperti ini pasti memiliki kegagahan dan merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi karena di situ terdapat gurunya, pula karena hatinya sudah amat tertarik dan bersemangat mendengar akan adanya harta karun tak ternilai harganya, dia menekan rasa segannya dan berkata dengan mata mencorong penuh wibawa.

   "Hemm, benarkah engkau tidak tahu mengapa kami panggil, ataukah hanya pura-pura tidak tahu?"

   "Kami benar tidak tahu, Ciang-kun. Seingat kami, belum pernah ada persoalan di antara Ciang-kun dan kami. Tentu saja kami merasa heran dan tidak mengerti."

   "Liu Bok Eng, engkau adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai, bukan?"

   "Benar, saya murid Siauw-lim-pai!" jawab pendekar itu tegas.

   "Dan engkau dulu adalah seorang panglima Kerajaan Sung?"

   "Benar!" Liu Bok Eng memang tidak pernah menyangkal bahwa dia bekas panglima Kerajaan Sung walaupun kini telah mengundurkan diri setelah kerajaan itu jatuh.

   "Nah, sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai dan bekas panglima Kerajaan Sung, tentu mengerti apa kesalahanmu terhadap pemerintah Kerajaan Goan!" Kini suara Kim Bayan terdengar mengancam.

   Liu Bok Eng mengerutkan alisnya dan berkata.

   "Ciang-kun, Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan dengan pemerintah, dan biarpun sebagai panglima Kerajaan Sung dahulu saya pernah berperang melawan pasukan Mongol, akan tetapi hal itu terjadi di waktu perang. Sekarang saya bukan panglima Kerajaan Sung lagi dan tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap pemerintah Kerajaan Goan."

   "Hemm, Liu Bok Eng, pandai engkau bicara! Apa kaukira aku tidak tahu akan keadaanmu? Biarpun mukamu manis, namun hatimu diam-diam membenci pemerintah kami! Buktinya, semua penawaran pemerintah padamu untuk memegang jabatan membantu pemerintah, kau tolak! Dan kami tahu bahwa Siauw-lim-pai bersikap tidak bersahabat dengan para pejabat pemerintah kami. Dua hal itu saja sudah cukup untuk menangkap dan menghukummu sebagai pemberontak!"

   Diam-diam Liu Bok Eng marah mendengar ucapan itu. Dia tahu bahwa Panglima Kim hanya mengada-ada agar dapat mencelakakannya. Biarpun dia tahu bahwa dia dan isterinya terancam bahaya, Liu Bok Eng masih bersikap tenang ketika dia menjawab.

   "Kalau ada tuduhan bahwa saya memberontak, hal itu hanya fitnah belaka. Akan tetapi Ciang-kun adalah seorang panglima yang berkuasa, tentu berhak mengambil keputusan untuk menyalahkan atau membenarkan orang tanpa melihat bukti. Silakan kalau Ciang-kun hendak menangkap saya, akan tetapi harap membiarkan isteri saya pulang karena ia bukan murid Siauw-lim-pai dan juga bukan seorang bekas perwira Kerajaan Sung!"

   "Hemm, tidak bisa! Bagaimanapun juga, ia adalah isterimu ia tentu mengetahui pula akan semua rahasiamu. Kalian berdua akan kami tahan dan periksa dengan teliti. Kalau dalam pemeriksaan itu tidak ada bukti bahwa engkau menentang pemerintah kami, barulah kalian berdua bebas dari tuduhan!"

   Liu Bok Eng maklum bahwa kalau dia dan isterinya ditangkap, tidak dapat diharapkan akan dibebaskan. Jelas bahwa Panglima Kim Bayan ini sengaja hendak menangkap dia dan isterinya karena dendam kepada bekas panglima Kerajaan Sung dan karena dia murid Siauw-lim-pai yang mungkin sedang dia curigai. Akan tetapi hati pendekar ini masih penasaran kalau isterinya ikut ditahan.

   "Silakan kalau Ciang-kun hendak menahan dan memeriksa saya. Akan tetapi demi keadilan, jangan menahan isteri saya!"

   Panglima Kim hendak membantah, akan tetapi pada saat itu, seperti yang sudah mereka atur dan rencanakan, Cui-beng Kui-ong mengangkat tangan ke atas dan berkata.

   "Ciang-kun, tidak perlu bersikap keras. Sekarang tidak ada lagi permusuhan antara pemerintah dan Kerajaan Sung yang sudah hancur. Maka, daripada bermusuhan lebih baik bersahabat. Kalau Liu Bok Eng mau menyerahkan peta harta milik Kerajaan Sung itu kepada kita, kita sudahi saja urusan ini dan biar suami isteri ini pulang dengan aman."

   Panglima Kim berkata kepada Liu Bok Eng.

   "Nah, engkau mendengar sendiri ucapan Suhu tadi. Kami dapat memaafkanmu dan tidak akan menuntut kalau engkau mau mengembalikan peta harta milik Kerajaan Goan kami."

   Kini tahulah Liu Bok Eng apa yang tersembunyi di balik penahanan dirinya dan isterinya. Hal yang sudah dia khawatirkan terjadi. Entah bagaimana, agaknya guru dan murid itu telah mengetahui tentang harta karun yang disembunyikan mendiang Thaikam Bong yang berada di tangannya!

   Liu Bok Eng menjawab.

   "Ciang-kun, bagaimana mungkin ada harta karun Kerajaan Goan yang datang dari luar Tiongkok? Saya tidak tahu tentang harta karun Kerajaan Goan!"

   Kini Cui-beng Kui-ong yang bicara.

   "Orang she Liu, tidak perlu engkau berbohong! Kami tahu bahwa engkau yang memimpin pasukan menyerbu rumah Thaikam Bong dan membunuhnya. Pasti engkau yang merampas peta harta karun itu dari tangannya. Lebih baik serahkan saja peta itu kepada kami karena engkau tidak mempunyai pilihan lain!"

   Liu Bok Eng masih berkeras membantah.

   "Mendiang Thaikam Bong adalah seorang pembesar Kerajaan Sung, bagaimana mungkin dia menyimpan peta harta karun Kerajaan Goan? Ini mustahil!"

   "Liu Bok Eng!" Panglima Kim membentak marah.

   "Harta karun itu dahulunya memang milik Kerajaan Sung yang dicuri dan disembunyikan mendiang Thaikam Bong. Akan tetapi sebagai seorang bekas panglima engkau tentu mengetahui peraturan perang, yaitu semua harta milik pihak yang kalah menjadi hak milik pihak yang menang. Maka, harta pusaka itu yang berasal dari Kerajaan Sung yang kalah, harus menjadi hak milik pemerintah Kerajaan Goan! Kalau engkau masih berkeras tidak mau menyerahkan peta itu kepada kami, berarti engkau hendak memberontak dan engkau dan isterimu, juga anakmu termasuk semua pembantumu akan dihukum mati!

   Nyonya Liu yang sejak tadi diam saja mendengarkan, tidak kuat menahan rasa penasaran di hatinya. Ia bangkit dari tempat duduknya dan berkata, suaranya tetap lembut namun mengandung serangan tajam.

   "Kim-ciangkun! Saya seringkali mendengar didengang-dengungkan bahwa pemerintah Kerajaan Goan adalah pemerintahan yang adil terhadap rakyat, tidak seperti pemerintah yang telah lalu. Akan tetapi Ciang-kun hendak bertindak sewenang-wenang terhadap kami yang tidak melakukan kesalahan apa pun. Saya bersumpah bahwa peta yang Ciang-kun cari itu tidak ada pada suami saya! Ciang-kun hendak memaksa dan mengancam membasmi seluruh keluarga kami. Di mana adanya keadilan yang didengang-dengungkan itu?"

   Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Wajah Kim Bayan menjadi merah mendengar ucapan dengan suara lembut yang terisi teguran keras itu. Dia membentak kepada Liu Bok Eng.

   "Orang she Liu! Apakah engkau tidak dapat mengajarkan kesopanan kepada isterimu? Hayo sekarang jawab, mau tidak engkau menyerahkan peta harta karun itu kepada kami?"

   Liu Bok Eng adalah seorang memiliki banyak pengalaman dan dia bukan orang bodoh. Dia tahu benar bahwa kalau dia menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, tidak urung dia dan isterinya tidak akan dibiarkan hidup karena sudah tahu akan rahasia peta harta karun. Pula, di lubuk hatinya dia tidak rela kalau harta karun itu terjatuh ke tangan orang Mongol. Maka dengan tegas dia menjawab.

   "Peta itu tidak berada pada saya, bagaimana dapat saya berikan?"

   "Hemm, engkau memilih ditangkap dan dijatuhi hukuman?"

   "Terserah!"

   Panglima Kim Bayan lalu berteriak ke arah pintu.

   "Perwira pengawal, kerahkan pasukan untuk menangkap suami isteri ini!"

   Daun pintu terbuka dan belasan orang perajurit yang dipimpin seorang perwira pendek gendut memasuki ruangan itu dan mengepung Liu Bok Eng dan isterinya yang masih duduk, sedangkan Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong sudah menjauhkan diri.

   Melihat diri mereka dikepung, suami isteri itu bangkit berdiri. Sikap Nyonya Liu mengagumkan karena ia berdiri dengan mata bersinar penuh keberanian. Setelah memandang kepada Panglima Kim dan menerima isyarat dengan anggukan kepala, perwira itu berseru.

   "Tangkap dua orang ini!" Dia menudingkan telunjuknya ke arah suami isteri itu.

   Seorang perajurit seolah segerombolan srigala kelaparan hendak memperebutkan domba mendengar perintah ini. Bagaikan berlumba mereka menubruk ke arah Nyonya Liu, ingin lebih dulu dapat meringkus dan merangkul wanita yang masih tampak cantik menarik itu! Akan tetapi, kejutan yang tidak enak didapatkan empat orang perajurit yang bergerak paling depan. Nyonya Liu menyambut mereka dengan tamparan dan tendangan. Mereka berteriak mengaduh dan terpelanting roboh dengan kepala pening tertampar atau dada sesak tertendang!

   Melihat ini, enam orang perajurit menerjang nyonya itu, sekarang lebih berhati-hati dan mereka bukan terdorong keinginan untuk merangkul dan meringkus wanita cantik itu, melainkan merobohkan dan menangkap! Nyonya Liu melawan dengan gerakan gesit.

   "Kalian pengecut-pengecut tak tahu malu!" Liu Bok Eng membentak marah melihat isterinya dikeroyok. Akan tetapi sebelum dia turun tangan, belasan orang perajurit, dipimpin perwira gendut pendek itu, telah menyerangnya!

   Liu Bok Eng dan isterinya mengamuk. Tentu saja delapanbelas orang perajurit dan seorang perwira itu bukan apa-apa bagi Liu Bok Eng yang lihai bukan main. Bahkan isterinya, yang tidak setinggi dia ilmu silatnya, juga bukan merupakan makanan lunak bagi para perajurit yang mengeroyoknya. Akan tetapi suami isteri itu masih membatasi tenaga mereka sehingga mereka hanya merobohkan para pengeroyoknya tanpa membunuhnya.

   Melihat betapa suami isteri itu melakukan perlawanan, Kim Bayan menjadi marah sekali. Dia memberi isyarat kepada Cui-beng Kui-ong dan mereka berdua maju. Panglima Kim Bayan menghampiri Nyonya Liu sedangkan Cui-beng Kui-ong menghampiri Liu Bok Eng.

   Nyonya Liu yang mengamuk telah terkena sabetan golok sehingga pangkal lengan kanannya terluka. Karena ini gerakannya agak melemah, namun ia masih mengamuk dengan hebat bagaikan seekor harimau betina! Tiba-tiba ada angin menyambar dahsyat dari samping. Ia berusaha mengelak akan tetapi serangan golok yang menyambar itu dahsyat sekali karena yang menyerangnya adalah Panglima Kim Bayan sendiri! Ujung golok Panglima Kim menyambar leher nyonya itu sehingga terluka parah. Darah menyembur dan tubuh Nyonya Liu roboh dan ia tewas seketika!

   Melihat isterinya roboh mandi darah, Liu Bok Eng mengeluarkan teriakan melengking seperti seekor singa marah. Tubuhnya menyambar ke kanan kiri dan setiap kali kaki atau tangannya menendang dan menampar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh dan tewas! Sekali ini dia tidak membatasi tenaganya. Kemarahan dan sakit hati melihat isterinya terkapar tewas membuat pendekar ini mengamuk. Dia berhasil merampas sebatang golok lalu menerjang dengan hebat. Dia merasa seolah bertempur dalam sebuah peperangan! Para pengeroyoknya adalah tentara Mongol dan dia masih menjadi seorang Panglima Kerajaan Sung!

   Dalam waktu singkat, belasan orang perajurit roboh tewas. Mayat mereka berserakan malang melintang dan ruangan itu banjir darah! Akan tetapi, dari luar masuk lagi belasan orang perajurit bantuan dan kembali Liu Bok Eng dikepung dan dikeroyok banyak orang.

   "Robohkan dia akan tetapi jangan dibunuh!" beberapa kali Panglima Kim Bayan berseru kepada para perajurit. Dia ingin menawan Liu Bok Eng dan keadaan hidup untuk dipaksa mengaku dan menyerahkan peta harta karun.

   Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan. Untuk menyerang nekat dengan niat membunuh saja sudah amat sukar, apalagi menyerang dengan syarat tidak boleh membunuh!

   Bekas Panglima Kerajaan Sung itu kini mengamuk hebat dan dia bahkan sudah merampas sebatang tombak dari seorang korbannya. Dia kini memainkan tombak itu sebagai sebatang toya (tongkat) yang menjadi senjata andalannya, Liu Bok Eng adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang ahli bersilat dengan toya. Begitu dia memegang tombak yang dimainkan sebagai toya, para perajurit yang baru masuk mengeroyok itu pun berpelantingan! Bahkan Liu Bok Eng yang melihat isterinya terbunuh oleh Kim Bayan, berusaha terus untuk menyerang Panglima Mongol itu.

   "Wuuuutt...... sing......!" Untuk sekian kalinya, Liu Bok Eng melompat bagaikan seekor burung garuda, menyambar dan tombaknya menyerang ke arah kepala Kim Bayan. Ketika Kim Bayan mengelak, Liu Bok Eng melanjutkan serangannya dengan tusukan tombaknya, menggunakan jurus Kim-seng-kan-goat (Bintang Emas Mengejar Bulan).

   "Haiiittt...... tranggg......!" Kim Bayan menangkis dengan goloknya sambil memutar badan karena serangan toya tadi datangnya dari belakang. Gerakannya itu adalah jurus Sin-liong-tiauw-si (Naga Sakti Sabetkan Ekornya). Akan tetapi Panglima Mongol itu terkejut bukan main karena telapak tangan kanannya yang memegang gagang golok terasa panas dan nyeri. Bukan main kuatnya tenaga dalam yang dimiliki Liu Bok Eng. Padahal, Panglima Kim Bayan adalah seorang panglima dan ahli silat yang terkenal memiliki tenaga besar.

   Pada saat itu, dua orang perwira perajurit menyerang dengan golok mereka dari belakang. Seorang ahli silat yang tingkatnya sudah setinggi tingkat Liu Bok Eng, memiliki perasaan yang amat peka dan telinga yang tajam. Seolah memiliki mata di belakang tubuhnya, Liu Bok Eng memutar tubuh didahului toyanya. Dua orang perajurit menjerit dan roboh dengan kepala pecah!

   Robohlah duapuluh orang lebih yang tewas oleh amukan Liu Bok Eng membuat para perajurit menjadi gentar. Mereka hanya berani mengepung dan mengancam tanpa berani menyerang terlalu dekat.

   Hal ini memudahkan Liu Bok Eng untuk terus mendesak Kim Bayan dengan serangan-serangannya. Dia kini memainkan Sin-pang-lo-hai (Toya Sakti Kacau Lautan) yang gerakannya amat hebat, bergelombang dan didahului angin pukulan yang menyambar-nyambar dahsyat. Kim Bayan memutar goloknya melindungi diri, akan tetapi dia terus didesak mundur.

   Pada saat itu, Cui-beng Kui-ong mendekati Kim Bayan. Dia mengerahkan kekuatan sihirnya, lalu membentak.

   "Liu Bok Eng, isterimu telah mati! Dunia ini gelap bagimu, gelap, gelap, gelap!" Kakek kurus bongkok itu menggerak-gerakkan tongkat hitamnya ke arah muka Liu Bok Eng.

   Pendekar ini terkejut bukan main karena tiba-tiba saja cuaca menjadi gelap dan dia tidak dapat melihat apa-apa seolah ada batu hitam yang menutupi pandang matanya! Dia menyadari bahwa ini adalah pengaruh sihir yang amat kuat, maka dia menahan napas dan mengerahkan tenaga saktinya untuk melawan dan menolak pengaruh sihir yang membuat pandangannya gelap itu.

   Pada saat itu, para perajurit yang mengepungnya, mendapat isyarat dari Kim Bayan lalu menyerang Liu Bok Eng yang hanya berdiri diam seperti orang kebingungan. Akan tetapi begitu senjata-senjata tajam itu menyerangnya, Liu Bok Eng biarpun tidak melihat, dapat mendengar dan merasakan. Tongkat tombak di tangannya digerakkan memutar, menangkis semua senjata dan sekaligus membagi pukulan. Empat orang perajurit roboh dan tewas seketika!

   Panglima Kim menjadi marah bukan main. Juga Cui-beng Kui-ong merasa penasaran. Jelas bahwa sihirnya mampu mempengaruhi Liu Bok Eng sehingga pendekar itu tidak mampu melihat karena pandang matanya gelap, akan tetapi masih saja Liu Bok Eng demikian lihai sehingga merobohkan empat orang lagi! Sedikitnya sudah ada dua losin perajurit tewas sehingga ruangan itu penuh dengan mayat dan darah berceceran ke mana-mana, keadaannya sama dengan akibat pertempuran dalam peperangan!

   Berulang-ulang Panglima Kim Bayan menyerang dengan pengerahan seluruh tenaganya, menyerang dari depan, kanan kiri atau belakang. Akan tetapi lawan yang keadaannya seperti orang buta itu selalu saja dapat menangkis sehingga senjatanya terpental!

   Sementara itu, Panglima Kerajaan Sung itu mengerahkan terus tenaga saktinya untuk membuyarkan pengaruh sihir. Kegelapan itu perlahan-lahan mulai berkurang. Akan tetapi dalam keadaan remang-remang itu, kembali dia mendengar sambaran senjata yang digunakan Kim Bayan untuk menyerangnya. Dia cepat menangkis dengan tombaknya.

   "Tranggg......!" Sekali ini, saking kuatnya Liu Bok Eng menangkis, golok itu terpental dan Panglima Kim Bayan terhuyung ke belakang! Akan tetapi pada saat itu, Cui-beng Kui-ong yang berdiri di sebelah kiri Liu Bok Eng, menudingkan tongkat hitamnya dan dari ujung tongkat yang runcing itu meluncur anak panah kecil dengan cepat dan tanpa dapat dielakkan Liu Bok Eng, anak panah yang ujungnya mengandung racun itu menancap di dada kirinya!

   Liu Bok Eng terhuyung dan ketika matanya kini dapat melihat, dia terhuyung ke arah mayat isterinya, lalu roboh di samping mayat isterinya dan tewas!

   Melihat bekas panglima Kerajaan Sung itu tewas, Kim Bayan mengeluh.

   "Ah, banyak perajurit tewas dan Liu Bok Eng suami isteri juga tewas sehingga kita tidak bisa mendapatkan peta itu! Celaka sekali!"

   Cui-beng Kui-ong memberi isyarat agar muridnya itu menutup mulut. Mereka lalu memerintahkan perajurit untuk membersihkan ruangan dan mengurus semua mayat, lalu mereka bicara di dalam.

   "Jangan putus asa," kata Cui-beng Kui-ong.

   "Sekarang kau periksa pakaian suami isteri itu, barangkali petanya mereka simpan dalam pakaian. Kalau tidak ada, cepat pergi ke rumahnya, geledah seluruh rumah, tangkapi semua pelayan dan paksa mereka untuk mengaku. Aku yakin peta itu akan dapat kau temukan!"

   Panglima Kim Bayan mengangguk setuju dan cepat dia pergi lagi ke ruangan tadi di mana jenazah Liu Bok Eng dan isterinya belum mendapat giliran diangkut. Dia sendiri menggeledah seluruh pakaian suami isteri itu, akan tetapi tidak menemukan benda yang dicarinya. Maka dia lalu pergi seorang diri ke rumah Liu Bok Eng. Dia tidak ingin ada perajurit yang tahu akan peta itu, maka dia pergi seorang diri.

   Setelah tiba di rumah itu, dia mengumpulkan lima orang pelayan rumah tangga, membentak mereka agar mengaku di mana majikan mereka menyimpan surat-surat penting termasuk sebuah peta. Ketika lima orang pembantu rumah tangga itu bersumpah bahwa mereka tidak tahu, Kim Bayan mengikat kaki tangan mereka agar mereka tidak mampu melepaskan diri. Kemudian dia sendiri menggeledah seluruh isi rumah.

   Penggeledahan seorang diri ini makan waktu sampai setengah hari. Dia memeriksa dengan teliti namun tidak menemukan peta harta karun yang dicarinya. Dia menjadi semakin penasaran dan marah sekali. Lima orang pembantu rumah tangga itu dia suruh bawa oleh perajurit ke dalam tahanan dan rumah itu pun disita dan ditutup, dijaga perajurit.

   Jaksa Ciang yang menerima perintah Kim Bayan, menyiarkan kabar bahwa Liu Bok Eng dan isterinya mengamuk sehingga terbunuh dan menyatakan bahwa suami isteri itu adalah pemberontak yang berbahaya! Jenazah suami isteri itu dimakamkan di tanah kuburan rakyat di Luar kota Nan-king.

   Para penduduk gempar mendengar berita ini. Sebagian besar dari mereka tidak percaya akan berita bahwa Liu Bok Eng dan isterinya menjadi pemberontak dan mengamuk di rumah kejaksaan sehingga mati terbunuh. Akan tetapi pada waktu itu, siapa orangnya berani menyangkal atau membantah? Bahkan mereka yang mengenal baik Liu Bok Eng, harus secara diam-diam kalau hendak berkunjung dan memberi hormat ke makam suami isteri itu.

   Berita tentang terbunuhnya Liu Bok Eng itu tersiar sampai ke Siauw-lim-pai dan para pimpinan Siauw-lim-pai menjadi terkejut dan juga khawatir sekali. Mereka bersiap-siap menjaga kemungkinan diserbu pasukan pemerintah Mongol.

   Gadis cantik jelita itu memasuki gapura Nan-king. Siang hari itu amat panasnya dan begitu memasuki kota, gadis itu merasa heran melihat betapa orang-orang memandangnya dengan sinar mata aneh seperti orang merasa iba. Bahkan ada beberapa orang wanita menahan tangis ketika melihat ia, akan tetapi tak seorang pun dari mereka bicara kepadanya.

   Gadis itu adalah Liu Ceng Ceng. Hatinya merasa tidak nyaman melihat ulah orang-orang itu. Biasanya, ia dan ayah bundanya amat dihormati dan disukai penduduk Nan-king. Akan tetapi mengapa sekarang tidak ada yang menyapanya, bahkan memandang iba dan seolah hendak menyingkir dan menghindari pembicaraan dengannya?

   Ketika ia melewati rumah Tabib Liong, Ceng Ceng teringat bahwa Liong Sinshe adalah sahabat karib ayahnya, maka ia ingin bertanya kepadanya mengapa semua orang bersikap aneh kepadanya. Kebetulan Tabib Liong berada di depan pintu toko obatnya.

   "Paman Liong......."

   Ketika Tabib Liong melihat Ceng Ceng, dia cepat memegang tangan gadis itu dan menariknya ke dalam rumah. Setelah tiba di dalam rumah, Tabib Liong yang merupakan sahabat baik keluarga Liu dan menganggap Ceng Ceng sebagai anaknya sendiri, berkata dengan suara tersendat.

   "Aduh, Ceng Ceng, ke mana sajakah engkau? Ah, atau aku harus mengatakan bahwa syukur engkau tidak berada di rumah ketika......."

   "Paman Liong, tenanglah dan ceritakan, apa yang kau maksudkan? Ketika apa? Apa yang telah terjadi?"

   "Ayah ibumu......" Tabib Liong yang menduda tak mempunyai anak dan hidup seorang diri itu menangis!

   Tentu saja Ceng Ceng kaget bukan main. Akan tetapi gadis yang tabah ini dapat mengendalikan diri, tidak hanyut dalam kekhawatiran dan berkata.

   "Paman Liong, harap engkau suka menenangkan hatimu. Ceritakanlah, apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibuku?"

   Setelah menghela napas berulang-ulang dan dia dapat menenangkan hatinya, Liong Sinshe berkata.

   "Tidak ada yang mengetahui kejadian yang sesungguhnya, aku sendiri pun tidak tahu. Kami semua hanya mendengar bahwa Ayah dan Ibumu berkunjung ke kantor kejaksaan......."

   "Jaksa Ciang?"

   "Benar, mereka pergi ke sana, entah ada urusan apa. Lalu kami hanya mendengar bahwa Ayah Ibumu di sana mengamuk, membunuh banyak sekali perajurit, akan tetapi mereka...... mereka...... juga tewas dalam pengeroyokan!"

   Wajah Ceng Ceng berubah pucat dan ia cepat menjatuhkan diri duduk atas kursi. Seluruh tubuhnya gemetar dan air mata menetes turun dari kedua matanya. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis. Akhirnya ia dapat bertanya dengan suara gemetar.

   "Kapan terjadinya dan mengapa?"

   "Baru tujuh hari terjadinya dan apa sebabnya mereka mengamuk sehingga terbunuh, tidak ada yang mengetahuinya."

   "Kalau begitu, aku akan segera ke rumah kami!" Ceng Ceng hendak keluar, akan tetapi tangannya dipegang Tabib Liong.

   "Jangan! Jangan ke sana, Ceng Ceng. Rumahmu telah ditutup dan dijaga perajurit. Berbahaya sekali kalau engkau ke sana, mungkin engkau akan terbawa-bawa karena kabarnya, Ayah Ibumu dianggap sebagai pemberontak terhadap pemerintah. Engkau dapat terlibat!"

   "Hemm, aku tidak takut, Paman!"

   "Aku tahu engkau tidak takut, akan tetapi apa perlunya menyia-nyiakan nyawa sendiri? Pula, di bekas rumahmu itu engkau tidak akan menemukan sesuatu. Daripada ke rumahmu yang telah disita pemerintah, lebih baik engkau mengunjungi makam kedua orang tuamu di tanah kuburan umum."

   Ceng Ceng memejamkan kedua matanya untuk menahan isak yang hendak mendesak keluar dari mulutnya. Hanya air matanya saja yang bercucuran keluar karena ia teringat kembali kepada ayah ibunya yang terbunuh. Akan tetapi, ia menyeka air matanya dan mengangguk.

   "Baik, Paman, aku hendak pergi ke sana......!" Ceng Ceng melangkah hendak keluar.

   "Ceng Ceng, nanti dulu!" Liong Sinshe menahannya.

   "Tunggu sebentar, ada surat yang dulu dititipkan ayahmu kepadaku untuk diserahkan kepadamu kalau engkau pulang." Tabib Liong memasuki kamarnya dan keluar lagi membawa sebuah amplop yang diberikannya kepada Ceng Ceng.

   Ceng Ceng menerima sampul surat itu dan bertanya heran.

   "Paman, bagaimana Ayah dapat memberikan surat ini kepada Paman?"

   "Begini, Ceng Ceng. Sebelum pergi ke kantor Jaksa Ciang, Ayahmu datang ke sini untuk menyerahkan surat ini kepadaku dan memesan agar kalau engkau pulang, aku menyerahkan surat ini kepadamu. Aku setelah mendengar akan malapetaka yang menimpa Ayah Ibumu, juga merasa heran, seolah Ayahmu sudah tahu akan ancaman bahaya itu sehingga meninggalkan surat ini kepadamu."

   Ceng Ceng merasa terharu sehingga tubuhnya lemas dan kembali ia menjatuhkan diri duduk di atas kursi, memegang surat itu dan menempelkan di dadanya seolah surat itu menjadi pengganti ayah ibunya. Setelah itu dengan kedua tangan gemetar ia membuka sampul surat dan menemukan sehelai surat dan sehelai peta di dalamnya. Peta ia biarkan dalam sampul dan surat itu diambil lalu dibacanya.

   Anak kami Ceng Ceng tersayang,

   Kalau engkau menerima dan membaca surat ini, besar kemungkinan ayah ibumu ditawan atau terbunuh oleh para pembesar pemerintah. Karena kami, kalau tewas, bagaikan perajurit gugur dalam perang melawan penjajah, maka jangan engkau membalas dendam secara pribadi.

   Yang penting sekarang, pergilah dan cari harta karun dalam peta ini. Jangan sampai terjatuh ke tangan penjajah dan sumbangkan untuk keperluan para pendekar yang setia dan berniat melawan penjajah.

   Jadilah orang yang benar seperti yang selalu kami dan Im Yang Yok-sian ajarkan, dan kami selalu mendoakan semoga engkau senantiasa dibimbing oleh Thian.

   Ayah Ibumu,
Liu Bok Eng.

   Membaca surat itu, kembali air mata bercucuran dari kedua mata Ceng Ceng. Ia menciumi surat itu lalu menyimpannya kembali dalam sampul dan memasukkan sampul ke balik bajunya. Ia termenung, teringat akan pesan ayahnya yang terakhir. Ayah ibunya, juga mendiang paman gurunya, selalu mengingatkan agar ia menjadi seorang manusia yang benar. Masih terngiang di telinganya nasihat ayahnya.

   "Hidup haruslah menjadi orang yang baik dan benar karena orang yang benar itu kekasih Thian (Tuhan), biarpun miskin dan bodoh, kalau benar akan merasakan kebahagiaan hidup. Sebaliknya, apa artinya kaya raya dan pandai berkedudukan tinggi kalau tidak benar? Dia akan menderita kesengsaraan batin dan menjadi kekasih setan!"

   Ia pernah bertanya.

   "Ayah, bagaimana sih orang yang hidupnya benar dan yang tidak benar itu?"

   "Orang yang hidupnya benar adalah orang yang memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama manusia, dan hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Miskin dan bodoh tidak menghalangi kebahagiaan hidup orang yang benar. Sebaliknya, pintar, kaya dan berkedudukan tinggi tidak menolong kesengsaraan hidup orang yang tidak benar."

   Semua peringatan dan nasihat yang pernah didengarnya dari ayah ibunya, juga dari paman gurunya Im Yang Yok-sian, terukir dalam hatinya dan menjadi pedoman hidup gadis ini.

   "Baiklah, Paman Liong, aku akan mengunjungi makam kedua orang tuaku. Terima kasih atas budi kebaikanmu menyampaikan surat ayah ini kepadaku," Ceng Ceng menjura dengan hormat lalu meninggalkan rumah Tabib Liong.

   Tidak sukar bagi Ceng Ceng untuk mencari makam Ayah Ibunya di tanah kuburan umum itu. Ia lahir di Nan-king dan mengenal kota itu dengan baik. Biarpun dalam tanah kuburan itu terdapat banyak makam, namun makam kedua orang tuanya masih baru. Ia merasa terharu sekali melihat makam itu hanya merupakan dua gundukan tanah dan ada papan bertuliskan

   MAKAM LIU BOK ENG DAN ISTERINYA.

   Mungkin orang-orang yang merasa iba kepada orang tuanya yang menuliskan dan menancapkan papan itu di depan dua gundukan tanah. Akan tetapi rupanya tidak ada yang berani membuat bong-pai (batu nisan) untuk kuburan suami isteri itu.

   Ceng Ceng yang sudah membeli hio-swa (dupa biting) dan lilin, segera melakukan upacara sembahyang di depan makam kedua orang tuanya. Ia tidak dapat menahan kesedihannya dan di tempat sunyi itu ia menangis terisak-isak.

   "Ayah dan lbu, mengingat nasihat Ayah Ibu, aku tidak akan menuntut balas dendam agar terputus karma buruk, akan tetapi api penasaran ini tidak pernah akan padam di hatiku kalau aku belum mendapat penjelasan mengapa Ayah Ibu dibunuh......" ratapnya sambil bersembahyang.

   Ia sedang menderita tekanan batin sehingga kurang waspada dan tidak tahu bahwa pada saat itu, belasan pasang mata sedang mengintainya. Termasuk sepasang mata bening yang mengintai dari tempat terpisah.

   Ceng Ceng duduk termenung depan makam, menunggu sampai api yang membara di ujung hio-swa membakar habis dupa lidi itu. Barulah ia berlutut lagi depan makam mohon diri pamit kepada ayah ibunya.

   Akan tetapi begitu ia bangkit berdiri, terdengar gerakan banyak orang. Ia cepat memutar tubuhnya dan melihat sedikitnya enambelas orang perajurit mengepungnya, dipimpin seorang berpakaian panglima gemerlapan, gagah perkasa dengan tubuhnya yang tinggi besar.

   Melihat para pengepung itu bersikap galak, Ceng Ceng tetap tenang saja dan ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Hatinya agak tegang menduga bahwa mereka itu tentu ada hubungannya dengan kematian kedua orang tuanya. Ia memandang panglima tinggi besar itu dengan sinar mata tajam menyelidik.

   "Nona, engkaukah puteri Liu Bok Eng yang bernama Liu Ceng Ceng?" tanya panglima itu yang bukan lain adalah Panglima Kim Bayan dengan suara keren.

   Memang dia yang memerintahkan agar selalu ada perajurit yang diam-diam mengawasi kuburan itu dan melaporkan kepadanya kalau puteri pendekar datang bersembahyang di situ. Tadi, begitu memasuki tanah kuburan, Ceng Ceng sudah tampak dan para pengamat itu segera memberitahu Kim Bayan yang cepat datang membawa enambelas orang perajurit. Dia merasa girang sekali karena dia yakin bahwa peta harta karun yang dicarinya itu pasti oleh mendiang Liu Bok Eng diberikan kepada puterinya ini.

   Mendengar pertanyaan itu, Ceng Ceng menjawab tenang.

   "Benar, aku adalah Liu Ceng Ceng, puteri mendiang ayah bundaku yang dibunuh tanpa alasan. Maka, kebetulan sekali aku bertemu dengan kalian karena aku yakin kalian pasti mengetahui siapa pembunuh ayah bundaku."

   "Ha-ha-ha," Panglima Kim Bayan tertawa dan memandang remeh gadis yang tampaknya lembut itu.

   "Benar, kami tidak menyangkal bahwa kami yang membunuh Liu Bok Eng dan isterinya."

   Kim Bayan sudah siap menghadapi kalau gadis itu menjadi marah dan hendak membalas dendam kematian orang tuanya. Dia tidak akan membunuh gadis ini, melainkan akan menangkapnya. Sayang gadis secantik dewi itu dibunuh, pula, dia yakin gadis ini yang membawa peta harta karun. Akan tetapi dia merasa heran melihat gadis itu sama sekali tidak tampak marah dan tidak ada tanda-tanda akan menyerangnya walaupun mendengar pengakuannya yang jujur.

   "Hemm, kalau engkau yang membunuh Ayah Ibuku, Ciang-kun, aku ingin tahu, siapakah engkau dan apa alasanmu membunuh Ayah Ibuku?"

   Kim Bayan tersenyum, senang melihat sikap yang demikian tenang dari gadis cantik itu, yang sama sekali tidak kelihatan marah.

   "Aku adalah Panglima Kim Bayan yang mengepalai seluruh pasukan di daerah selatan ini. Alasanku membunuh Liu Bok Eng dan isterinya adalah jelas dan harap engkau tidak merasa penasaran. Pertama, Liu Bok Eng adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai dan juga seorang bekas panglima perang Kerajaan Sung yang telah jatuh. Dua hal itu saja sudah cukup untuk menangkap Liu Bok Eng. Kami masih dapat memaafkannya kalau dia mau bekerja sama membantu pemerintah kami. Akan tetapi ketika dia dan isterinya kami panggil ke kantor kejaksaan, dia bukan saja menolak, bahkan bersama isterinya mengamuk dan membunuh duapuluh orang lebih perajurit kami. Terpaksa kami membunuh mereka. Nona, apakah engkau mendendam kepadaku dan hendak menuntut balas?"

   

Naga Beracun Eps 2 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 13 Naga Beracun Eps 24

Cari Blog Ini