Harta Karun Kerajaan Sung 3
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak lagi, khawatir penolakan itu akan membuat dua orang gadis yang ramah ini menjadi marah dan merasa terhina karena undangan mereka dia tolak.
Mereka bertiga lalu memasuki hutan itu yang ternyata setelah tiba di tengah, jalannya mulai mendaki sebuah bukit. Lembah Seribu Bunga terletak di lereng bukit kecil dan setelah berjalan sekitar empat lie (mil) jauhnya, tibalah mereka di luar sebuah taman yang penuh dengan pohon-pohon dan tanaman bunga-bunga yang beraneka warna dan indah sekali. Taman itu amat luas, ada rumpun bambu yang beraneka ragam, ada pula semak-semak yang teratur indah, padang rumput dan bunga-bunga yang amat banyak macamnya dan sebagian besar belum pernah ditemui Cun Giok. Sungguh bukan nama kosong kalau tempat itu dinamakan Lembah Seribu Bunga!
Cun Giok berdiri dan memandang kagum sekali. Taman yang luas itu dikelilingi pagar tembok yang tingginya hanya setengah badannya sehingga dia dapat melihat tetumbuhan yang berada di balik pagar. Amat luas dan terdapat jalan setapak yang terbuat dari batu-batu rata berwarna putih. Dari situ tampak agak jauh sebuah rumah berdiri megah di tengah taman, dan di sana-sini terdapat pula bangunan-bangunan kecil tanpa dinding yang merupakan tempat peristirahatan, berikut kolam-kolam ikan. Taman itu dibuat seperti daerah perbukitan, ada yang menonjol dan menurun di sana-sini sehingga amat sedap dipandang. Anak sungai yang kecil dan jernih airnya mengalir di tengah-tengah taman, berkelak-kelok dan agaknya sungai inilah yang menembus ke tepi hutan di mana dia mandi tadi.
"Giok-ko, sekarang engkau kami persilakan menuju ke rumah kami di sana itu. Akan tetapi ada peraturan dari ibu kami bahwa hanya tamu yang mampu menembus taman ini yang dapat diterima kunjungannya. Karena itu, silakan twako memasuki taman dan mencari jalan menuju rumah kami di sana itu," kata Kui Lan dengan suaranya yang tenang.
"Akan tetapi bukankah kalian yang mengundangku dan kalian dapat menjadi penunjuk jalan bagiku?"
"Maaf, tidak ada penunjuk jalan di sini, Giok-ko," kata pula Kui Lan.
"Akan tetapi kalau engkau mau mengikuti kami, silakan kalau engkau bisa, Twako!" kata Kui Lin sambil tertawa, sikapnya mengejek.
Cun Giok menahan tawanya. Gadis ini sungguh nakal dan sombong. Dengan gin-kangnya yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, bagaimana mungkin dia tidak akan mampu mengikuti mereka?
"Akan kucoba untuk mengikuti kalian," katanya.
Dua orang gadis itu tanpa bicara lagi lalu memasuki taman lewat pintu pagar yang bercat merah. Tanpa tergesa-gesa Cun Giok mengikuti mereka. Dia santai saja, tidak mau tampak bersicepat seperti orang yang takut tertinggal. Dengan santai pun dia akan dapat mengikuti mereka ke manapun juga mereka pergi! Bahkan, seandainya dia kehilangan mereka sekalipun, apa sih sukarnya menemukan rumah yang sudah tampak dari luar taman? Gadis-gadis itu terlalu memandang rendah padanya.
Makin diingat kata-kata Kui Lin tadi yang menantangnya seolah dia tidak akan mampu mengikuti mereka, Cun Giok semakin memperjauh jaraknya dari mereka. Biarlah mereka mengira dia tidak mampu mengikuti mereka! Biar mereka mentertawakannya, nanti dialah yang tertawa karena dia akan mendahului mereka tiba di rumah itu!
Melihat dua orang gadis itu sudah lari agak jauh, Cun Giok tersenyum dan segera mengerahkan gin-kang untuk mengejar. Tubuhnya berkelebat cepat sekali seperti terbang. Dia melihat dua orang gadis itu, yang berlari di atas jalan setapak, berbelok ke kiri dan tertutup rumpun bambu kuning. Ketika dia tiba di dekat rumpun bambu dan memandang ternyata dua orang gadis itu telah lenyap!
"Hemm, kalian boleh mengambil jalan pintas yang bagaimanapun, aku tetap akan dapat mendahului kalian!" katanya sambil menahan tawa.
Kini dia tidak mempedulikan lagi dua orang gadis kembar itu, tidak ingin mengikuti jejak mereka melainkan hendak mengambil jalan sendiri menuju rumah itu, mendahului mereka. Maka, di jalan simpang empat itu dia mengambil jalan yang langsung menuju ke arah rumah itu. Tumbuh-tumbuhan menghalanginya melihat gedung itu, akan tetapi dia yakin bahwa jalan setapak pasti menuju ke gedung di depan seperti yang dilihatnya tadi sebelum semak-semak yang tinggi menghalangi penglihatannya.
Setelah melewati deretan semak-semak yang cukup panjang dan tiba di tempat yang tidak terhalang, dia memandang ke depan dan...... gedung itu tidak tampak lagi berada di depannya! Dia merasa heran lalu menoleh ke kiri dan ternyata gedung itu kini berada di sebelah kirinya, hanya saja tidak sedekat tadi, melainkan semakin jauh.
Ah, jalan setapak yang diikutinya itu tentu telah membelok tanpa dia sadari sehingga dia malah menjauhi gedung, bukan mendekati! Kini gedung itu sudah tampak lagi dan dia pun cepat berlari mengikuti jalan setapak yang menuju ke arah gedung itu. Kembali ada pohon-pohon yang menghalangi penglihatannya dan setelah dia berlari cukup lama, dia merasa heran mengapa belum juga dia tiba di gedung yang tadi sudah kelihatan itu. Dia berlari lebih cepat dan melewati kelompok pohon yang menghalangi penglihatannya lalu memandang ke depan. Gedung itu hilang lagi dan setelah dia memandang ke sekeliling, gedung itu tampak di sebelah kanannya, semakin jauh!
Cun Giok merasa semakin penasaran. Bagaimana ini dapat terjadi? Apakah jalan setapak itu yang menipunya sehingga dia mengikuti arah yang membalik tanpa disadarinya? Dia terus berlari menuju ke arah gedung, akan tetapi sampai berjam-jam lamanya, dia tidak pernah tiba di dekat gedung. Terkadang agak dekat, terkadang malah semakin jauh!
Matahari mulai condong ke barat. Cun Giok yang tidak mau menyerah dan sejak tadi mengerahkan gin-kang berlari-lari, mulai berkeringat. Kegembiraannya untuk mentertawakan dua orang gadis kembar karena dia mendahului mereka, sudah lenyap sama sekali dan sekarang mulai timbul rasa gelisah di dalam hatinya. Dia tadi terlalu memandang rendah mereka! Kiranya Taman Seribu Bunga ini merupakan taman yang penuh rahasia dan tipuan! Dia mulai merasa ragu apakah akan mampu melewati taman itu dan tiba di gedung yang sudah tampak dari situ.
"Giok-ko, engkau berada di mana?" terdengar pertanyaan yang melengking dari arah gedung itu. Dia mengenal suara yang lembut serius itu. Pasti Kui Lan yang mengeluarkan pertanyaan itu.
"Aku di sini, Lan-moi!" katanya dengan girang dan dia pun lari lagi menuju ke arah suara yang datangnya dari gedung itu. Kembali dia harus melewati tumbuh-tumbuhan yang cukup tinggi sehingga penglihatannya terhalang. Setelah dapat melihat kembali ke depan, gedung itu lenyap dan berubah menjadi padang rumput yang menghadang di depannya. Setelah dia mencari-cari, gedung itu tampak berada di sebelah kanannya! Dia berhenti lagi, mulai bingung.
"Heii, Giok-ko? Kenapa engkau begitu lemah? Apakah engkau merangkak seperti siput maka begitu lama aku harus menunggu di sini?" Teriakan yang nadanya mengejek itu pasti suara Kui Lin! Gila, dia dipermainkan oleh gadis-gadis yang masih hijau!
"Tunggu, Lin-moi! Aku pasti akan sampai ke situ!" serunya sambil mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar menggema di seluruh penjuru. Yang membuat hatinya panas adalah ketika dia melihat Kui Lin, biarpun dari jauh, berdiri di atas atap gedung dan melambai-lambaikan tangan dengan tertawa-tawa mengejek!
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah berhenti berlari, ternyata dia hanya berputar-putar dan beberapa kali mengenal jalan setapak yang tadi pernah dilaluinya! Sampai sore dia berlari-lari tanpa henti, namun tak pernah berhasil. Akhirnya dia melompat ke atas cabang sebatang pohon, duduk di atas cabang sambil memandang ke sekeliling.
Dari situ tampak betapa indahnya taman itu. Beraneka bunga memenuhi taman, juga pohon-pohon semak-semak, rumpun-rumpun bambu, semua serba teratur rapi dan indah. Dari situ tampak pula gedung itu dan dia sungguh merasa heran bagaimana dia selalu gagal menuju ke sana! Kalau dia memakai jalan pintas dan membabati tanaman-tanaman di taman itu, mungkin dia akan sampai di gedung. Akan tetapi tidak mungkin dia mau merusak taman orang! Dari atas pohon dia melihat jalan setapak yang berliku-liku dan baru dia teringat bahwa jalan setapak itu berubah-ubah warnanya. Ada yang putih, lalu ada yang merah, biru, kuning, hijau dan bermacam-macam warna lagi.
Tiba-tiba terdengar suara wanita bernyanyi. Merdu dan lembut suara itu, terdengar dari arah gedung, sayup sampai terbawa angin, namun kata-katanya cukup jelas dapat ditangkap pendengaran Cun Giok.
"Bayangan wahai bayangan
Didekati, dicari, makin menjauh
Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini
Bersatu dengan diri.
Hanya orang bodoh yang tidak mengerti"""
Cun Giok mengenal syair itu, ditulis oleh seorang penyair di jaman Kerajaan Tang. Penyair itu seorang Tosu bernama Cu Tek. Yang dimaksudkan dengan bayangan itu adalah To atau Kekuasaan Tuhan. Dicari dengan akal pikiran tidak akan bisa didapatkan, tanpa dicari sudah ada karena Kekuasaan Tuhan itu tidak pernah terpisah dari diri manusia. Akan tetapi apa artinya syair itu dinyanyikan orang di sini? Apakah ada hubungannya dengan rahasia taman ini?
Tiba-tiba Cun Giok memejamkan mata dan mencoba untuk mengingat-ingat tentang pelajaran dalam Agama To. Didekati dan dicari, malah makin menjauh. Ah, ini cocok dengan keadaan di taman. Gedung itu, makin didekati semakin menjauh! Dia sudah berusaha mendekati sampai setengah hari, akan tetapi sama sekali tidak berhasil karena gedung itu makin menjauh saja! Andaikata yang dimaksudkan dengan "bayangan" itu adalah rumah gedung di Lembah Seribu Bunga, maka mendekati dan mencarinya tentu akan gagal seperti yang telah dialaminya.
Lalu bagaimana rahasianya untuk dapat menemukannya? "Tidak didekati, dijauhi, sudah di sini bersatu dengan diri". Hemm, tidak usah didekati, malah dijauhi? Apa artinya itu. Tiba-tiba Cun Giok teringat. Sejak tadi dia memang berusaha mendekati gedung dan selalu mengambil jalan yang menuju ke gedung dan hasilnya, jalan itu membawanya makin menjauhi gedung. Inikah rahasianya? Dia tidak yakin, akan tetapi apa salahnya dicoba?
Timbul harapan di hati Cun Giok. Kalau sekali ini tidak berhasil, sudah saja, dia akan meninggalkan taman ini. Akan tetapi dia lalu teringat, bagaimana dapat meninggalkannya? Dia pun tidak tahu jalan keluar, seperti juga tidak tahu jalan menuju ke gedung itu.
Cun Giok melompat turun dari atas pohon, lalu berjalan mengikuti jalan setapak yang berwarna biru. Jalan setapak itu mempunyai banyak simpangan, ada perempatan dari berbagai warna. Setelah tiba di tempat terbuka dia melihat bahwa gedung itu kini berada di sebelah kirinya, cukup jauh. Maka tanpa menggunakan akal pikiran lagi, langsung saja dia mengambil jalan setapak yang ke kanan, berarti menjauhi atau berlawanan dengan arah gedung itu. Kini jalan setapak itu berwarna merah. Setelah agak lama berjalan dengan pohon-pohon menghalangi di kanan kiri jalan sehingga dia tidak melihat jauh, jalan setapak itu membawanya ke tempat terbuka di mana terdapat perempatan jalan.
Dia berhenti dan memandang sekeliling. Gedung itu tiba-tiba saja sudah pindah di sebelah kanannya, tidak begitu jauh lagi. Tanpa berpikir lagi Cun Giok mengambil jalan ke kiri, berlawanan dengan letak gedung. Kembali dia melewati lorong panjang yang dipenuhi semak-semak di kanan kiri sehingga dia tidak dapat melihat di mana letak gedung itu. Jalan setapak itu berliku-liku sehingga Cun Giok tidak tahu lagi ke arah mana dia berjalan, ke utara, selatan, timur, atau barat!
Kembali dia berada di tempat terbuka dan kini gedung itu tahu-tahu tampak dekat sekali di sebelah kirinya! Agaknya dengan melompati beberapa semak belukar dan melewati beberapa batang pohon saja dia sudah akan sampai di sana! Akan tetapi Cun Giok tidak mau melakukan hal itu. Sebaliknya dia lalu mengambil jalan ke arah kanan dan kini dia menginjak jalan setapak berwarna putih. Demikianlah, setiap tiba di tempat terbuka dan melihat gedung itu semakin dekat saja, Cun Giok segera mengambil jalan ke arah yang berlawanan seolah meninggalkan gedung itu dan setelah berjalan membelak-belok beberapa lamanya, tiba-tiba saja dia dapat keluar dari taman dan sudah berdiri di halaman gedung itu!
"Selamat datang di rumah kami, Giok-ko." Tiba-tiba terdengar suara Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu sudah muncul di situ.
"Wah, engkau lambat sekali, Giok-ko. Kalau saja ibuku tidak memberi petunjuk kepadamu, aku berani bertaruh bahwa sampai kapan pun engkau tidak akan berhasil keluar dari taman Seribu Bunga," kata Kui Lin sambil tersenyum. Senyumnya memang manis sekali, akan tetapi menyakitkan karena senyum itu mengandung ejekan.
Akan tetapi mendengar ucapan Kui Lin, mengertilah dia bahwa yang menyanyikan syair tadi adalah ibu kedua orang gadis kembar itu, maka dia lalu cepat merangkap kedua tangan di depan dadanya dan berseru walaupun tidak melihat adanya ibu mereka di situ.
"Banyak terima kasih saya ucapkan kepada The Toanio yang telah memberi petunjuk kepada saya. Saya Pouw Cun Giok menghaturkan salam hormat kepada The Toanio."
Dari dalam rumah itu terdengar suara wanita yang lembut.
"Pouw Sicu (Orang Gagah Pouw), anak-anakku mempersilakan engkau sebagai tamu. Masuklah!"
"Terima kasih, Toanio," kata Cun Giok.
"Silakan, Giok-ko," kata Kui Lan dan dua orang gadis kembar itu lalu mengajak Cun Giok memasuki pintu depan yang besar dan kuat.
Setelah memasuki ruangan depan gedung itu, Cun Giok memandang ke sekelilingnya dan dia kagum sekali. Ternyata walaupun dari luar gedung itu tampak biasa saja, namun ternyata di dalamnya terdapat perabot rumah yang serba indah dan mahal. Selain perabot-perabotnya yang indah dan mahal, juga terdapat lukisan-lukisan indah dan tulisan-tulisan kuno yang amat indah, baik kata-katanya maupun bentuk tulisannya.
Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada seorang wanita yang telah duduk di dalam sebuah ruangan di samping ruangan depan yang agaknya dijadikan sebagai ruangan tamu gedung itu.
Wanita itu berusia sekitar limapuluh tahun, akan tetapi wajahnya masih tampak cantik dan tubuhnya juga masih ramping padat sehingga tampaknya jauh lebih muda dari usia sebenarnya. Melihat sekilas pandang saja, mudah diduga bahwa ia tentu ibu dari sepasang gadis kembar itu karena wajah sepasang gadis kembar itu jelas merupakan hasil cetakan wajah Sang Ibu. Wanita yang tadinya duduk dan menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka dan memandang kepada Cun Giok dengan sinar mata penuh selidik.
Cun Giok segera mengangkat kedua tangan di depan dadanya dan membungkuk untuk memberi hormat.
"Toanio, harap suka memaafkan saya yang lancang berani datang menghadap tanpa diundang. Terimalah hormat saya Pouw Cun Giok, Toanio."
Wanita itu tersenyum, dan senyumnya juga persis senyuman Kui Lin walaupun senyum itu lembut seperti sifat Kui Lan, tidak kasar dan lincah seperti Kui Lin.
"Pouw-sicu, aku sudah mendengar dari anak-anakku bahwa engkau adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga dapat mengalahkan ilmu silat tangan kosong Kui Lin, bahkan mengalahkan ilmu pedang dari Kui Lan. Sungguh membuat aku kagum karena sesungguhnya, pada waktu ini jarang ada orang muda yang akan mampu mengalahkan kedua orang puteriku ini."
"Aih, Ibu! Bikin malu saja memuji-muji kami padahal kami sama sekali tidak mampu menandingi Giok-ko," kata Kui Lin, sedangkan Kui Lan lalu berkata kepada pemuda itu yang masih berdiri.
"Giok-ko, silakan duduk," ia menunjuk sebuah kursi yang berhadapan dengan ibunya.
"Terima kasih," kata Cun Giok yang lalu duduk di atas kursi itu. Setelah Cun Giok duduk, dua orang gadis itu pun segera mengambil tempat duduk di atas kursi yang berada di kanan kiri ibu mereka.
Setelah mereka duduk, Nyonya The sambil memandang penuh selidik kepada Cun Giok, bertanya.
"Sicu, kedua orang puteriku hanya dapat memberitahu bahwa engkau bernama Pouw Cun Giok, akan tetapi mereka tidak tahu akan riwayatmu. Dapatkah engkau memberitahu, di mana orang tuamu, siapa mereka dan di mana mereka tinggal?"
"Ayah Ibu saya telah meninggal dunia, Toanio. Kami dulu tinggal di So-couw, akan tetapi keluarga saya habis terbunuh oleh pasukan Mongol sehingga saya sekarang hidup sebatang kara."
Wanita itu mengerutkan alisnya.
"Ah, apakah engkau ini masih keturunan keluarga Pouw yang merupakan orang-orang gagah perkasa dan pembela Kerajaan Sung? Aku pernah mendengar akan kebesaran nama keluarga Pouw, seperti Pouw Goan Keng dan Pouw Cong Keng."
"Mereka adalah nenek moyang saya, Toanio."
"Aih! Kalau begitu, siapakah Ayahmu? Apakah yang bernama Pouw Bun yang menjadi pejabat yang adil di kota raja pada jaman Kerajaan Sung?"
"Beliau adalah kakek buyut saya, Toanio."
"Ah, lalu Ayahmu? Siapa namanya?"
"Mendiang Ayah saya bernama Pouw Keng In."
Wanita itu mengangguk-angguk.
"Bagus, kiranya engkau keturunan keluarga Pouw yang namanya amat terkenal sebagai patriot-patriot gagah perkasa itu. Engkau pantas menjadi tamu kami, pantas menjadi sahabat anak-anakku, Pouw-sicu. Akan tetapi, Kui Lan memberi tahu kepadaku bahwa engkau memiliki sebatang pedang yang bersinar keemasan. Bolehkah sebentar saja aku melihatnya?"
"Tentu saja, Toanio!" Cun Giok tanpa ragu-ragu lalu mencabut pedangnya dan menyerahkan pedang itu kepada Nyonya The.
Lalu terjadi hal yang membuat Pouw Cun Giok terheran-heran, bahkan dua orang gadis itu pun terkejut dan heran. Ibu mereka, setelah menerima pedang itu, mengamatinya sebentar, lalu mendekap pedang itu di dadanya dan menangis!
Kui Lan dan Kui Lin mendekati ibunya.
"Ibu, ada apakah?" mereka bertanya, akan tetapi Nyonya The tidak menjawab dan masih menangis.
Cun Giok juga memandang dengan khawatir.
"The Toanio, maafkan kalau pedang saya itu membuat Toanio bersedih."
Dirangkul dua orang puterinya yang tampak khawatir itu, The Toanio dapat menguasai perasaannya. Ia mengusap air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas dan menyuruh dua orang puterinya duduk kembali. Kemudian ia memandang kepada Cun Giok dan bertanya, suaranya seperti menuntut.
"Pouw-sicu, katakan sejujurnya. Dari mana dan bagaimana engkau mendapatkan pedang Kim-kong-kiam ini?"
Cun Giok terkejut karena sinar mata wanita itu dan suaranya penuh tuntutan. Maka dia segera menjawab sejujurnya.
"Toanio, Kim-kong-kiam ini saya terima sebagai pemberian dari Guru saya."
"Gurumu......? Siapa namanya......?" Kini pandang mata dan sikap Nyonya The penuh keinginan tahu dan harapan.
"Nama Suhu adalah Suma Tiang Bun, Toanio."
Wajah wanita itu menjadi pucat dan bibirnya gemetar ketika ia bertanya.
"Suma Tiang Bun......? Di mana...... di mana dia sekarang?"
Cun Giok tertegun. Tentu ada hubungan erat antara gurunya dan wanita ini, pikirnya.
"Suhu sudah meninggal dunia sekitar tiga tahun yang lalu, Toanio."
Nyonya The yang tadinya mengangkat tubuhnya dalam kursinya, begitu mendengar ucapan Cun Giok ini, seketika lemas dan terkulai sambil memeluk Kim-kong-kiam di dadanya lalu mulai menangis lagi. Dua orang puterinya segera merangkul ibu mereka dan Kui Lin menoleh kepada Cun Giok lalu berkata ketus.
"Pouw Cun Giok! Manusia tak mengenal budi! Engkau kami terima sebagai tamu, tapi kedatanganmu hanya mendatangkan kekacauan dan membuat Ibuku bersedih. Pergilah kau dari sini dan bawa pedangmu!"
"Lin-moi, jangan begitu......!" Kui Lan mencela adiknya.
Kembali Nyonya The menghapus air matanya dan berkata,
"Kui Lin, Pouw-sicu tidak bersalah apa-apa, jangan engkau bersikap kasar kepadanya."
Setelah menyuruh dua orang puterinya duduk kembali dan ia sudah dapat menenangkan hatinya, The Toanio lalu menyerahkan Kim-kong-kiam kepada Cun Giok dan ia sudah menghapus semua air mata dari kedua pipinya. Wajahnya sudah pulih dan merah kembali.
Pada saat itu, seorang wanita setengah tua yang berpakaian sebagai pembantu rumah tangga, masuk membawa baki terisi empat buah cawan, sepoci besar air teh dan beberapa macam kue kering di atas piring. Setelah mengatur suguhan itu di atas meja, wanita pelayan itu mengundurkan diri dan The Toanio berpesan kepadanya.
"Akin, engkau dan para pelayan lain tidak boleh memasuki kamar ini sebelum kupanggil."
Pelayan wanita itu memberi hormat dengan membungkuk lalu keluar dari kamar atau ruangan tamu itu, tidak lupa menutupkan daun pintu ketika ia keluar.
Setelah mempersilakan Cun Giok minum air teh yang dituangkan dalam cawan oleh Kui Lan, The Toanio lalu berkata.
"Maafkan aku, Pouw-sicu, aku tidak dapat menahan kesedihan melihat Kim-kong-kiam, lebih-lebih mendengar gurumu itu telah meninggal dunia......"
"Apakah Ibu mengenal guru Giok-ko yang telah meninggal dunia itu?" tanya Kui Lan.
"Ibu, siapakah Suma Tiang Bun itu, dan mengapa Ibu bersedih mendengar dia meninggal dunia?" tanya Kui Lin.
Nyonya The menghela napas panjang.
"Kalau saja Pouw-sicu tidak muncul bersama Kim-kong-kiam ini, rahasia ini tentu akan kubawa sampai mati karena tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian. Akan tetapi sekarang aku tidak ingin membuat kalian bertiga menduga yang bukan-bukan, maka sebaiknya kuceritakan pengalamanku di waktu aku masih gadis dan belum menikah dengan Ayah kalian berdua. Akan tetapi sebelumnya, aku ingin tahu lebih dulu, Pouw-sicu. Bagaimana Suma Tiang Bun bisa mati? Dia belum tua benar, usianya sekarang baru sekitar enampuluh tahun dan dia memiliki tubuh yang amat kuat, ilmu silatnya juga lihai sekali."
"Suhu tewas dikeroyok seorang panglima besar Kerajaan Mongol bersama pasukannya, Toanio."
"Hem, siapakah panglima itu?"
"Namanya Panglima Kong Tek Kok, akan tetapi saya dan adik misan saya sudah berhasil membalas dendam dan membunuhnya."
"Ah, syukurlah kalau begitu. Kalau belum terbalas, akulah yang akan membunuh panglima yang mengeroyok dan menewaskan Suma Tiang Bun. Nah, sekarang dengarlah riwayatku. Dahulu, sebelum aku menikah dengan mendiang suamiku ayah kedua anakku ini, aku bersahabat baik dengan Suma Tiang Bun. Kami berdua melakukan perjalanan bersama dan menentang orang-orang Mongol yang mulai menyerang Kerajaan Sung. Bahkan kami berdua sudah saling berjanji akan menjadi jodoh masing-masing kelak."
"Wah, jadi dia itu dulu pacar Ibu?" tanya Kui Lin.
"Ih, Lin-moi, diam dan dengarkan cerita Ibu!" Kui Lan menegur adiknya.
Nyonya The tersenyum mendengar pertanyaan Kui Lin walaupun sinar matanya masih membayangkan kesedihan.
"Memang benar, ketika itu aku dan Suma Tiang Bun saling mencinta. Mencinta bukan hal yang buruk, bukan hal yang tidak pantas atau patut disembunyikan. Memang pada waktu itu, aku dan Suma Tiang Bun menganggap kita menjadi calon jodoh masing-masing. Akan tetapi, kemudian kota raja diserbu pasukan musuh dan Kaisar dilarikan mengungsi ke selatan. Di antara mereka yang membela dan menyelamatkan Kaisar adalah Suma Tiang Bun. Ketika Kaisar tewas terjun ke laut, dan banyak perwira dan pendekar yang ikut tewas ketika membela Kaisar, tersiar berita bahwa Suma Tiang Bun juga tewas. Selama setahun aku berkabung, sama sekali tidak mengira bahwa Suma Tiang Bun menghilang karena dia menjadi buruan kerajaan musuh sehingga terpaksa menyembunyikan diri ke gunung-gunung dan tempat sepi. Nah, ketika itulah aku bertemu dengan The Kim Kiong yang juga seorang pendekar. Kami menikah dan mempunyai dua orang anak, yaitu The Kui Lan dan The Kui Lin yang terlahir kembar ini. Baru kemudian aku mendengar bahwa Suma Tiang Bun belum mati dan menjadi orang buruan. Akan tetapi aku tidak menyesal karena aku sudah menjadi isteri orang lain, bahkan merasa bersyukur bahwa Suma Tiang Bun masih hidup. Mungkin dia juga mendengar bahwa aku telah menikah dengan The Kim Kiong dan dia sengaja tidak pernah datang menjengukku. Aku mengenal betul akan wataknya yang bijaksana. Nah, demikianlah, anak-anakku dan engkau juga, Pouw-sicu, riwayatku sehingga tentu saja aku terkejut sekali ketika melihat Kim-kong-kiam."
"Saya dapat mengerti mengapa Toanio menikah dengan orang lain karena mengira bahwa mendiang Suhu yang menjadi calon suami Toanio telah tewas. Kalau boleh saya bertanya, di mana adanya suami Toanio yang bernama The Kim Kiong itu?"
Nyonya The menghela napas panjang.
"Memang nasibku yang buruk. Ketika Kui Lan dan Kui Lin berusia sepuluh tahun, ayah mereka tewas ketika melawan pasukan Mongol. Dia memang menjadi seorang di antara para pendekar yang dianggap pemberontak dan dimusuhi Kerajaan Mongol. Dia berhasil menewaskan banyak perajurit, akan tetapi akhirnya tewas. Aku sempat menyelamatkan anak-anak kami melarikan diri."
"Ibu tidak pernah mau menceritakan siapa panglima yang memimpin pasukan yang telah menewaskan Ayah!" Kui Lin berkata dengan nada penasaran.
"Kuceritakan juga, apa yang dapat kalian lakukan? Panglima itu membunuh Ayah kalian bukan karena urusan permusuhan pribadi. Dia mewakili Kerajaan Mongol maka yang membunuh Ayah kalian adalah Kerajaan Mongol."
"Ibu berkata benar," kata Kui Lan.
"Akan tetapi ada baiknya kalau kami mengetahui namanya."
"Panglima itu adalah seorang yang berkepandaian tinggi, juga dia seorang panglima besar yang memimpin ratusan ribu perajurit. Namanya Panglima Kim Bayan."
"Ahhh......!!" Cun Giok demikian kaget sehingga tanpa disadarinya dia mengeluarkan seruan itu. Ibu dan kedua orang puterinya itu kini memandang kepadanya dengan tajam.
"Sicu, apakah engkau mengenal Kim Bayan?" tanya Nyonya The.
"Mengenalnya, Toanio? Lebih dari mengenalnya, bahkan sudah beberapa kali saya bermusuhan dan bentrok dengan dia dan kaki tangannya. Bagi saya, Kim Bayan adalah seorang yang keji dan licik jahat akan tetapi juga berbahaya. Kalau diberi kesempatan, saya ingin sekali membunuhnya. Belum lama ini saya pernah menjadi tawanannya. Masih untung saya dapat menyelamatkan diri dari Kim Bayan yang dibantu oleh orang-orang sakti seperti Cui-beng Kui-ong dan Song-bun Mo-li."
"Wah, menarik sekali!" teriak Kui Lin.
"Giok-ko, ceritakanlah apa yang kau alami ketika bermusuhan dengan Kim Bayan, pembunuh Ayahku itu!"
Cun Giok lalu menceritakan pengalamannya ketika dia bersama Ceng Ceng dan Li Hong berhadapan dengan Kim Bayan dan kaki tangannya dalam memperebutkan harta karun Kerajaan Sung.
"Peta harta karun itu adalah peninggalan Locianpwe Liu Bok Eng yang juga terbunuh oleh Kim Bayan dan Cui-beng Kui-ong. Peta itu ditinggalkan kepada puterinya yang bernama Liu Ceng Ceng."
"Ah, aku pernah mendengar nama besar Liu Bok Eng yang dulu menjadi panglima Kerajaan Sung. Aku masih ingat bahwa ilmu toyanya jarang menemui tandingan," kata Nyonya The.
"Lagi-lagi Kim Bayan yang membunuhnya. Panglima yang satu ini agaknya memang ingin membasmi semua pendekar yang berjiwa patriot."
"Giok-ko, lalu bagaimana dengan peta itu?" tanya Kui Lan.
Cun Giok lalu menceritakan betapa dia dan Tan Li Hong membantu Liu Ceng Ceng untuk menyelidiki tentang harta karun itu menurut petunjuk peta yang ditinggalkan mendiang Liu Bok Eng.
"Giok-ko, apakah engkau dan Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong ingin mendapatkan harta karun itu dan kalian bagi bertiga?" tanya Kui Lin.
"Lin-moi, jangan lancang!" tegur Kui Lan dan adiknya cemberut.
Cun Giok tersenyum.
"Sama sekali tidak, Lin-moi. Kami bertiga mencari harta itu dengan niat kalau sudah ditemukan akan kami serahkan kepada yang berhak seperti dikehendaki mendiang Locianpwe Liu Bok Eng."
Harta Karun Kerajaan Sung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Siapa yang berhak menerima harta karun itu?" tanya pula Kui Lin.
"Menurut Liu Ceng Ceng, Ayahnya menghendaki agar harta karun itu kelak dipergunakan untuk biaya pasukan pejuang yang berusaha menumbangkan pemerintah penjajah Mongol."
"Bagus sekali! Sampai matinya Liu Bok Eng tetap seorang pendekar patriot, bahkan jiwa kependekarannya diturunkan kepada puterinya!" Nyonya The memuji.
"Lalu bagaimana, Sicu? Apakah kalian bertiga berhasil menemukan harta karun itu?"
"Sebelum kami menemukan tempat harta karun itu menurut petunjuk peta, kami telah terjatuh ke tangan Kim Bayan dan anak buahnya dan kami tertawan."
"Ah, keparat Kim Bayan!" Kui Lin berseru sambil mengepal tinjunya dengan marah.
"Lin-moi, biarlah Giok-ko melanjutkan ceritanya," Kui Lan mencela adik kembarnya.
"Karena Kim Bayan mengancam akan membunuh Adik Tan Li Hong, maka Liu Ceng Ceng terpaksa menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan untuk menyelamatkan Li Hong."
"Aih, sungguh pantas menjadi puteri Pendekar Liu Bok Eng!" kata Nyonya The, gembira mendengar orang-orang gagah yang memang ia kagumi sejak dulu.
"Akan tetapi, gadis yang seorang lagi, yang membantu Nona Liu Ceng Ceng dan bernama Tan Li Hong itu, siapakah ia, Sicu? Agaknya ia juga seorang pendekar wanita."
"Benar, Toanio. Tan Li Hong adalah seorang pendekar wanita yang lihai juga. Ia adalah murid dari Ban-tok Niocu, majikan Pulau Ular."
"Majikan Pulau Ular? Seingatku, Coa-tocu (Majikan Pulau Ular) berjuluk Ban-tok Kui-bo!" seru Nyonya The.
"Memang benar, Toanio. Semula ia berjuluk Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun), akan tetapi sekarang ia telah sadar dan mengubah julukannya menjadi Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun) dan tetap menjadi majikan Pulau Ular."
"Ah, tentu Tan Li Hong itu lihai sekali karena dulu pun gurunya itu disegani para tokoh kang-ouw. Ceritamu semakin menarik, Sicu, lanjutkanlah."
Cun Giok melanjutkan ceritanya tentang tindakan Kim Bayan yang menyerang Li Hong'dan memaksa dia dan Ceng Ceng untuk membantu mereka menemukan letak penyimpanan harta karun menurut petunjuk peta. Karena keselamatan Li Hong terancam, terpaksa dia dan Ceng Ceng memenuhi permintaan ini dan mereka berdua membantu Kim Bayan mencari harta karun itu. Akhirnya kami menemukan tempat penyimpanan harta karun itu dan dapat mengeluarkan peti harta karun......"
"Ah, celaka!" seru Kui Lin.
"Sayang sekali harta karun Kerajaan Sung itu terjatuh ke tangan jahanam Kim Bayan!"
"Benarkah harta karun itu terjatuh ke tangan Kim Bayan, Sicu?" tanya Nyonya The dengan nada kecewa.
"Tidak, Toanio. Ketika peta harta karun itu dibuka, tidak ada sepotong pun harta benda, yang ada hanya dua buah huruf di dasar peti itu yang berbunyi THAI SAN."
"Heh-he-heh-hi-hik!" Kui Lin terkekeh senang dan geli.
"Rasakan engkau, jahanam Kim Bayan!"
"Ah, mengapa peti itu kosong? Dan bagaimana engkau dan dua orang gadis itu dapat meloloskan diri, Pouw-sicu?"
"Selagi Kim Bayan dan kawan-kawannya merasa kebingungan, kecewa dan marah-marah, saya dan Ceng Ceng larikan diri dan membebaskan Li Hong dari penjara, kemudian kami bertiga melarikan diri, kata Cun Giok. Dia tidak menceritakan persoalan antara Li Hong, Ceng Ceng dan dia.
"Hemm, ceritamu menarik sekali, Sicu. Kiranya engkau seorang pendekar yang selalu menentang para pembesar Mongol yang bertindak sewenang-wenang dan yang jahat. Engkau tidak mengecewakan menjadi putera keturunan keluarga Pouw! Juga Tan Li Hong murid Ban-tok Niocu dan Liu Ceng Ceng puteri pendekar Liu Bok Eng itu amat mengagumkan! Beruntunglah tanah air kita yang kini dikuasai penjajah Mongol memiliki pendekar-pendekar muda seperti kalian bertiga. Selama masih ada pendekar-pendekar pejuang seperti kalian, aku yakin, cepat atau lambat, tanah air dan bangsa pasti akan dapat dibebaskan dari cengkeraman pemberontak Mongol!"
"Ah, Ibu selalu melarang kami untuk keluar dari Lembah Seribu Bunga sehingga kami tidak dapat membantu para pendekar pejuang menentang orang-orang jahat macam Kim Bayan!" kata Kui Lin merajuk.
"Giok-ko, lalu bagaimana dengan harta karun itu? Kukira kalau harta itu dapat diberikan kepada para pejuang, akan besar sekali manfaatnya bagi perjuangan menentang penjajah Mongol," kata Kui Lan.
"Benar apa yang dikatakan Kui Lan, Pouw-sicu, lalu bagaimana dengan harta karun itu?" tanya Nyonya The.
"Tidak ada yang tahu di mana adanya harta karun itu, Toanio. Semua orang hanya menduga bahwa harta karun itu tentu sudah ada yang mengambilnya dan melihat huruf THAI SAN yang dituliskan di dasar peti, saya hanya menduga bahwa yang mengambilnya tentu seorang lihai yang tinggal di Thai-san."
Nyonya The mengangguk-angguk.
"Memang itu merupakan satu-satunya kemungkinan. Lalu apa yang hendak kau lakukan, Sicu?"
"Saya bermaksud pergi ke Thai-san dan menyelidikinya."
"Ibu, menurut Ibu, siapa kiranya tokoh Thai-san yang dapat mengambil harta karun itu?" tanya Kui Lan.
"Hemm, setahuku yang berada di sana hanyalah aliran Perguruan Silat Thai-san-pai yang diketuai Thai-san Sianjin Thio Kong. Dia memang lihai sekali, juga dibantu lima orang sute (adik seperguruan) yang terkenal dengan sebutan Thai-san Ngo-sin-kiam (Lima Pedang Sakti dari Thai-san). Akan tetapi, aku sangsi apakah tosu-tosu di Thai-san itu mau melakukan pencurian. Thai-san adalah sebuah pegunungan yang besar dan luas, memiliki ratusan buah bukit dengan puncak masing-masing. Di sana tentu terdapat banyak pertapa berilmu tinggi yang mengasingkan diri atau bertapa."
"Ibu, aku ingin mencari harta karun itu di Thai-san!" tiba-tiba Kui Lin berseru kepada ibunya.
"Aku akan menemani Lin-moi, Ibu," kata pula Kui Lan.
"Kami berdua telah belajar silat dari Ibu selama bertahun-tahun. Sekaranglah saatnya memanfaatkan ilmu itu. Kami juga ingin membantu para pejuang."
Nyonya The menghela napas panjang.
"Kalau kalian berdua pergi, laIu bagaimana aku dapat hidup tenang seorang diri di sini? Kui Lan dan Kui Lin, bukannya aku melarang kalian pergi membantu para pendekar menentang penjajah Mongol, akan tetapi walaupun kalian pernah belajar silat dan sudah menguasai ilmu bela diri yang cukup kuat, kalian sama sekali belum berpengalaman. Di luar sana terdapat banyak orang jahat yang bukan saja memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan tetapi terutama sekali yang berwatak curang dan penuh muslihat licik dan jahat. Bagaimana hatiku dapat tenang melepas kalian pergi mengembara?"
"Ibu, di sini ada Kakak Pouw Cun Giok yang sudah berpengalaman dan memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia tentu tidak keberatan kalau kami berdua membantunya mencari harta karun ltu. Giok-ko, apakah engkau berkeberatan kalau kami Enci dan Adik melakukan perjalanan bersama dan membantumu mencari harta Kerajaan Sung itu?" kata Kui Lin dengan lincahnya.
Tentu saja Cun Giok tidak dapat menolak dan tidak berani mengatakan tidak mau atau keberatan. Jawaban demikian akan tampak sama sekali tidak sopan. Maka, walaupun dalam hatinya dia merasa ragu untuk melakukan perjalanan bersama dua orang gadis kembar itu, terpaksa dia menjawab.
"Tentu saja aku tidak merasa keberatan, Lin-moi."
"Nah, benar kan, Ibu? Kalau kami pergi bersama Glok-ko, tentu Ibu tidak akan merasa khawatir lagi, bukan?" Kui Lin mendesak ibunya.
"Lin-moi, jangan mendesak Ibu. Kalau Ibu tidak setuju, kita tidak akan pergi," kata Kui Lan yang seolah bersikap sebagai pengendali adiknya yang liar.
"Tentu saja, Lan-ci! Kalau Ibu percaya bahwa Giok-ko pasti akan melindungi kita, dan kita sendiri pun mampu membela diri, tentu Ibu menyetujui keinginan kita untuk berbakti kepada tanah air dan bangsa!" kata Kui Lin dengan gembira, lalu disambungnya dan sekali ini tiba-tiba suaranya terdengar sedih, bahkan seperti hendak menangis.
"Akan tetapi kalau Ibu tidak percaya kepada kita dan kepada Giok-ko, dan melarang kami pergi, biarlah kami akan menaati kehendak Ibu, tidak akan meninggalkan Lembah Seribu Bunga ini sampai tua......"
Nyonya The menahan tawanya dan tersenyum sambil memandang Kui Lin.
"Anak nakal! Macam-macam saja akalmu! Tidak perlu engkau merayu seperti itu, aku tentu akan mempertimbangkan semua keinginan kalian berdua......"
"Terima kasih, Ibu! Ibu setuju, bukan?" Kui Lin sudah menghampiri dan merangkul ibunya.
Nyonya The mengangguk.
"Baiklah, setelah mempertimbangkannya, kurasa memang sudah waktunya kalian menyumbangkan tenaga untuk membantu para pejuang. Aku yakin Sicu Pouw Cun Giok akan membimbing kalian dan mudah-mudahan saja kalian akan berhasil membantu Pouw-sicu menemukan harta karun Kerajaan Sung itu. Akan tetapi, Kui Lin, engkau harus berjanji akan menaati semua nasehat encimu."
"Tentu saja, Ibu. Aku akan taat sekali kepada Enci Lan!"
"Dan kalian berdua harus menurut semua petunjuk yang diberikan Pouw-sicu. Selain dari itu, aku memberi waktu kepada kalian selama satu tahun. Setelah satu tahun kalian mengembara, kalian harus pulang ke sini!"
"Baik, Ibu, kami berjanji," kata Kui Lan.
Dua orang gadis kembar itu lalu berkemas dan malam itu Cun Giok bermalam di gedung Lembah Seribu Bunga. Dalam kesempatan selagi Nyonya The berdua saja dengan Cun Giok karena kedua orang puterinya sedang sibuk berkemas, Nyonya The bertanya kepada Cun Giok.
"Pouw-sicu, setelah kedua orang tuamu tidak ada lagi, siapakah yang menjadi anggauta keluarga terdekat? Tentu engkau mempunyai sanak keluarga, Paman, Bibi, atau Saudara misan. Di mana mereka dan siapakah mereka?"
Cun Giok menggelengkan kepalanya dan hatinya merasa sedih.
"Saya tidak mempunyai sanak keluarga lagi, Toanio. Semua Paman dan Bibi saya, juga Saudara misan, semua telah tewas oleh bangsa Mongol. Mendiang Ibu saya bermarga Tan, akan tetapi saya tidak pernah mendengar apakah Ibu saya mempunyai keluarga ataukah tidak! Bahkan saya tidak pernah mengenal Ayah Ibu kandung saya, karena Ayah terbunuh ketika saya masih dalam kandungan dan Ibu meninggal ketika melahirkan saya." Dengan singkat Cun Giok menceritakan riwayat keluarganya yang terbasmi oleh mendiang Panglima Kong Tek Kok.
"Demikianlah, Toanio, saya tidak tahu apakah mendiang Ibu mempunyai sanak keluarga. Sejak lahir saya hanya mengenal Suhu Suma Tiang Bun sebagai satu-satunya orang yang hidup dengan saya, kemudian setelah Suhu tewas, saya melanjutkan latihan silat kepada Sukong (Kakek Guru) Pak-kong Lojin yang sekarang masih bertapa di Ta-pie-san. Beliau itulah kini satu-satunya keluarga saya."
"Aduh, riwayatmu sungguh menyedihkan, Sicu. Memang jahat sekali bangsa Mongol. Mereka menjajah tanah air kita dan entah berapa banyak bangsa kita menjadi korban dan keluarga-keluarga berantakan karena kekejaman mereka." Kemudian Nyonya The melanjutkan kata-katanya dan bertanya,
"Sicu, apakah engkau juga tidak mempunyai tunangan yang menjadi calon jodohmu?"
Cun Giok menghela napas panjang. Hatinya menjadi pedih ketika dia teringat kepada Siok Eng. Sampai lama dia tidak menjawab pertanyaan itu. Sebetulnya, dia sama sekali tidak berniat untuk menceritakan tentang Siok Eng kepada siapa pun juga. Akan tetapi kalau sekarang dia tidak menjawab pertanyaan Nyonya The, hal itu akan membuat dia merasa tidak enak dan bahkan menimbulkan kecurigaan karena dia merahasiakan sesuatu. Setelah dapat menekan kesedihannya, dia berkata lirih.
"Saya pernah mempunyai seorang tunangan yang menjadi calon jodoh saya, Toanio. Akan tetapi tunangan saya itu pun tewas di tangan seorang putera Panglima Kim Bayan yang bernama Kim Magu."
"Keparat! Mendengar akan kejahatan Kim Bayan dan puteranya itu, mengingat pula bahwa suamiku juga terbunuh oleh pasukan yang dipimpin Kim Bayan, rasanya ingin sekali aku terjun ke dunia kang-ouw untuk mencari dan membunuhnya! Akan tetapi karena sudah puluhan tahun aku terbiasa tinggal di tempat sunyi yang tenang tenteram ini, aku merasa enggan pergi ke dunia ramai. Biarlah kedua orang puteriku yang akan membantumu menghadapi orang-orang Mongol jahat seperti Kim Bayan itu."
Setelah mendengar bahwa tunangan Cun Giok telah tewas, berarti pemuda itu bebas tidak ada ikatan, timbul dalam hati Nyonya The untuk menjodohkan seorang puterinya dengan Pouw Cun Giok! Pemuda itu adalah putera keluarga Pouw yang terkenal gagah perkasa, juga murid Suma Tiang Bun dan dia melihat betapa pemuda ini memiliki ilmu silat yang tinggi, juga baik budi. Akan tetapi karena ia dan puterinya baru hari itu bertemu dan berkenalan dengan Cun Giok, tentu saja amat tidak enak untuk membicarakan urusan perjodohan.
Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi dua orang puterinya yang menggendong buntalan pakaian dan membawa pedang, berangkat bersama Pouw Cun Giok, Nyonya The hanya memesan kepada dua orang anak kembarnya agar mereka berhati-hati, menaati petunjuk Cun Giok setelah dalam setahun mengembara harus segera pulang ke Lembah Seribu Bunga. Hanya di dalam hatinya ia mengharapkan agar dalam waktu satu tahun itu seorang di antara dua orang puterinya akan saling jatuh cinta dengan Cun Giok.
Perahu kecil itu melaju pesat, padahal hanya didayung oleh dua orang gadis yang tampak lemah-lembut dan cantik jelita. Mereka tadi meninggalkan pantai daratan dan mendayung perahu meluncur pesat menuju Pulau Ular yang tampak kecil dari jauh.
Dua orang gadis itu masih muda, sekitar sembilanbelas tahun usia mereka. Yang seorang bertubuh denok sedang, kulitnya putih mulus, wajahnya berbentuk bulat telur, matanya tajam namun lembut, anak rambut yang berjuntai di dahi dan pelipis membuat wajah itu tampak semakin manis, apalagi ditambah lesung pipi kanan dan bibir indah yang selalu mengembangkan senyum ramah. Gadis jelita itu berpakaian sutera serba putih sehingga tampak seperti sekuntum bunga mawar putih yang indah bentuknya dan semerbak harum.
Gadis kedua juga amat cantik jelita walaupun sifat kecantikannya berbeda, bahkan agak berlawanan dengan gadis pertama. Gadis kedua berpakaian indah dan wajahnya yang cantik itu tampak lincah karena sepasang matanya seperti bintang. Bibirnya merah dan bentuk mulutnya menggairahkan dan ia tidak tampak lemah gemulai seperti gadis pertama, melainkan tampak mengandung kegagahan dan keberanian. Bagaikan setangkai bunga, ia adalah setangkai bunga hutan yang liar dan tumbuh bebas.
Kalau gadis pertama berpakaian putih tidak tampak membawa senjata, hanya buntalan pakaian yang tergantung di punggung, gadis kedua ini membawa pula sebatang pedang yang tergantung di punggung dengan buntalan pakaiannya. Rambutnya pun tidak seperti gadis pertama yang disanggul sederhana. Gadis kedua ini menyanggul rambutnya ke atas seperti model rambut para puteri bangsawan di kota!
Mereka adalah Liu Ceng Ceng dan Tan Li Hong. Setelah keduanya berpisah dengan Pouw Cun Giok, Ceng Ceng dan Li Hong mengambil keputusan untuk melanjutkan tugas Ceng Ceng mencari harta karun Kerajaan Sung seperti dipesan mendiang ayahnya. Harta karun itu telah hilang dari tempat persembunyiannya, diambil orang yang meninggalkan huruf THAI SAN di peti yang telah kosong.
Setelah mendayung perahu beberapa lamanya, mereka melihat gugusan pulau-pulau di depan. Ceng Ceng yang berbaju putih itu bertanya kepada Li Hong, gadis lincah yang telah mengangkat saudara dan kini menjadi adik angkatnya.
"Hong-moi (Adik Hong), yang manakah pulau tempat tinggalmu? Aku melihat begitu banyak pulau di depan itu," kata Ceng Ceng sambil memandang ke arah gugusan pulau-pulau itu.
"Aih, Enci Ceng, apakah engkau tidak dapat menduga? Hayo, aku uji kecerdikanmu. Coba terka yang mana yang Coa-to (Pulau Ular) tempat tinggal Ibuku. Masa engkau tidak dapat menebak? Bukankah engkau pernah bersama Giok-ko berkunjung ke pulau kami?"
"Benar, akan tetapi ketika itu kami diantar seorang nelayan dan tidak memperhatikan keadaan seperti sekarang. Akan tetapi, kalau tidak keliru tebakanku, agaknya Pulau Ular itu yang terletak paling kanan itu, bukan?"
"Wah, tebakanmu tepat, Enci Ceng! Bagaimana engkau dapat menebak begitu tepat?"
"Mudah saja. Pulau itu berbeda bentuknya dengan pulau-pulau lainnya. Bentuknya memanjang dan berlekuk-lekuk seperti ular."
"Benar sekali perkiraanmu, Enci Ceng. Pulau itu dinamai Pulau Ular oleh para nelayan karena bentuknya."
"Akan tetapi di sana memang terdapat banyak ular. Bukankah kekayaannya akan ular itu yang membuatnya disebut Pulau Ular?"
"Bukan. Sebelum Ibuku tinggal di sana, pulau itu sama dengan pulau kecil lainnya, tidak ada ularnya. Setelah Ibu mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, untuk menyesuaikan nama pulau itu dan juga untuk keperluan mengambil racunnya, Ibuku yang juga guruku itu membawa ribuan ular, di antaranya banyak yang berbisa, dan dilepas di pulau itu."
Karena kini datang ke Coa-to bersama Li Hong, maka tentu saja dengan mudahnya mereka mendarat di Pulau Ular dan dapat mengambil jalan yang aman dari jebakan menuju ke perkampungan yang berada di tengah pulau.
Setelah tiba di gedung tempat tinggal ayah dan kedua ibunya, Li Hong dan Ceng Ceng disambut dengan gembira sekali. Tan Kun Tek dan isterinya gembira melihat Li Hong pulang. Juga Ban-tok Niocu gembira karena Li Hong yang diberi waktu satu setengah tahun untuk merantau kini baru kurang dari setahun telah pulang. Lebih-lebih lagi karena murid atau anak angkatnya itu ditemani oleh Liu Ceng Ceng, gadis berpakaian putih yang ia kagumi.
Li Hong memperkenalkan Ceng Ceng kepada ayah dan ibunya. Tan Kui Tek merasa girang mendengar bahwa gadis berpakaian putih yang diakui oleh Li Hong sebagai kakak angkatnya itu adalah puteri mendiang Liu Bok Eng yang diketahuinya sebagai seorang pendekar patriot. Ayah dan kedua ibu Li Hong menjadi kagum dan senang sekali ketika melihat Ceng Ceng yang diperkenalkan kepada mereka, segera memberi hormat sebagai seorang anak kepada orang tuanya! Ini menunjukkan bahwa Ceng Ceng yang sudah mengangkat persaudaraan dengan Li Hong, juga menganggap mereka sebagai orang tuanya sendiri!
"Ceng Ceng, kami girang sekali bahwa engkau telah menjadi kakak dari Li Hong. Kami harapkan engkau akan dapat memberi bimbingan kepada anak kami, Adikmu itu," kata Tan Kun Tek.
Ibu kandung Li Hong merangkul Ceng Ceng.
"Aku sungguh beruntung, bukan hanya dapat menemukan anakku kembali, bahkan kini bertambah mempunyai anak lain lagi."
Ban-tok Niocu juga berkata,
"Ceng Ceng, bangga sekali hatiku mendapatkan seorang anak seperti engkau!"
Ceng Ceng merasa amat terharu. Ia sendiri sudah yatim piatu dan kini ia mendapatkan bukan hanya seorang adik, akan tetapi juga seorang ayah dan dua orang ibu yang menerima dan mengakuinya sebagai seorang anak!
Dua orang gadis itu disambut dengan sebuah pesta keluarga dan mereka berlima makan minum dengan gembira. Setelah selesai makan minum, mereka duduk di ruangan dalam dan di situ Li Hong diminta untuk menceritakan semua pengalamannya ketika meninggalkan pulau selama hampir satu tahun lamanya.
Dengan gayanya yang lincah Li Hong lalu menceritakan semua pengalamannya ketika ia bertemu dengan Ceng Ceng dan Cun Giok, lalu mereka bertiga sama-sama menentang Kim Bayan dan rekan-rekannya. Ia bercerita tentang peta harta karun peninggalan mendiang Liu Bok Eng yang diwariskan kepada Ceng Ceng, kemudian betapa mereka tertawan oleh Kim Bayan yang memaksa mereka untuk menyerahkan peta dan membantu Kim Bayan mencari harta karun itu menurut petunjuk peta yang dirampasnya.
"Akan tetapi mengapa engkau menyerahkan peta itu kepada Kim Bayan, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu kepada Ceng Ceng yang tidak dapat menjawab, melainkan hanya memandang kepada Li Hong dengan ragu. Tentu saja ia tidak mau menceritakan betapa Li Hong pernah memusuhinya dan bahkan bergabung dengan Kim Bayan! Li Hong cepat menjawab pertanyaan ibu tiri yang juga gurunya itu.
"Ibu, karena kurang hati-hati aku terjebak dan menjadi tawanan Kim Bayan. Aku dijadikan sandera dan mengancam akan membunuhku kalau Enci Ceng Ceng tidak mau menyerahkan peta. Untuk menolongku, maka Enci Ceng Ceng lalu menyerahkan peta dan bersama Giok-ko ia lalu menyerah dan terpaksa mau membantu mencari harta karun karena aku tetap dijadikan sandera."
"Ah, betapa mulia hatimu, Ceng, Ceng!" Ibu Li Hong berseru terharu.
"Engkau telah menyelamatkan Adikmu, Ceng Ceng. Kami berterima kasih sekali," kata Tan Kun Tek.
"Lalu bagaimana dengan pencarian harta karun Kerajaan Sung itu?" tanya Ban-tok Niocu kepada Li Hong.
"Tempat di mana harta karun itu tersimpan, dengan bantuan peta dapat ditemukan. Akan tetapi ketika peti harta karun dibuka, ternyata telah kosong dan di dasar peti terdapat tulisan huruf THAI SAN. Giok-ko dan Enci Ceng Ceng dapat meloloskan diri dan membebaskan aku. Kami bertiga lalu dapat melarikan diri dari sarang mereka." Li Hong menceritakan semua pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia tidak berani menceritakan tentang urusan cinta dan kesalahan-pahamannya dengan Ceng Ceng dan Cun Giok.
"Hemm, setelah itu, bagaimana engkau akan bertindak untuk memenuhi pesan mendiang Ayahmu, Ceng Ceng?" tanya Ban-tok Niocu.
"Saya bertekad untuk mencari harta karun itu, ...... Ibu, dan Hong-moi hendak membantu saya. Karena itulah maka kami pulang ke Coa-to, selain untuk menjenguk Ayah dan Ibu berdua, juga untuk minta petunjuk Ibu yang mungkin dapat menduga siapa kiranya tokoh Thai-san yang mengambil harta karun itu." Ban-tok Niocu mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat.
"Hemm, setahuku, aliran persilatan terbesar yang berada di sana adalah Thai-san-pai yang diketuai oleh Thai-san Sianjin Thio Kong. Thai-san-pai terkenal sebagai sebuah di antara partai-partai
(Lanjut ke Jilid 04)
Harta Karun Kerajaan Sung (Seri ke 02 - Pendekar Tanpa Bayangan)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 04
persilatan besar yang gagah perkasa, murid-muridnya menjadi pendekar-pendekar. Tidak mungkin mereka itu mencuri harta karun untuk kepentingan mereka sendiri. Andaikata mereka mengambilnya, tentu harta karun itu akan mereka sumbangkan untuk kebaikan!"
"Kalau begitu, kita kunjungi Thai-san-pai dan bertanya kepada mereka. Kalau betul mereka yang ambil, kita minta agar harta karun itu diserahkan kepada yang berhak, yaitu para pejuang," kata Li Hong.
"Aku masih sangsi, Hong-moi. Menurut keterangan Ibu tadi, mereka adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa. Kiranya kalau mereka yang mengambilnya, mereka tidak akan meninggalkan tulisan THAI SAN itu di dalam peti karena perbuatan itu menunjukkan bahwa yang mengambilnya adalah seorang yang sombong. Tulisan itu seolah merupakan tantangan."
"Pendapat Ceng Ceng itu ada benarnya. Aku pun sangsi kalau Thai-san-pai yang mengambilnya," kata Tan Kun Tek.
"Aku pun berpendapat begitu," kata Ban-tok Niocu.
"Selain Thai-san-pai ada lagi beberapa tokoh sesat yang bermukim di sekitar pegunungan Thai-san-pai yang luas itu. Yang sudah kuketahui ada beberapa orang. Pertama adalah Huo Lo-sian (Dewa Api Tua) yang berwatak ganas dan dia memiliki banyak pengikut yang mudah dikenal karena pakaian mereka serba merah. Huo Lo-sian itu selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga dia pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi dia tidak pernah berani mengganggu Thai-san-pai yang memiliki banyak murid pandai."
"Huh, patut dicurigai orang itu!" kata Li Hong.
"Apakah masih ada tokoh lain di Thai-san, Ibu?" tanya Ceng Ceng.
"Masih ada beberapa orang lagi. Orang kedua yang patut dicurigai adalah Hek Pek Mo-ko (Iblis Hitam Putih), sepasang saudara kembar yang dlsebut Hek Mo-ko (Iblis Hitam) dan Pek Mo-ko (Iblis Putih). Mereka berdua ini biarpun tidak mempunyai pengikut, namun mereka berdua juga terkenal sebagai datuk kang-ouw yang sesat, yang menghalalkan segala cara untuk mencapai keinginan mereka.
Adapun pihak keempat adalah Ang-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Merah). Ang-tung Kai-pang terdapat di mana-mana sebagai cabangnya, terutama di kota-kota besar. Ciri-ciri mereka adalah setiap orang anggautanya memegang sebatang tongkat merah. Yang berada di Thai-san adalah pusatnya di mana terdapat ketuanya yang berjuluk Kui-tung Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Setan)! Nah, yang empat inilah setahuku yang bermukim di Thai-san dan masing-masing memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi hanya Thai-san-pai tergolong pendekar, sedangkan tiga yang lain adalah tokoh-tokoh sesat. Kalau ada penghuni baru lagi, aku belum mengenalnya."
"Wah, kiranya Thai-san dihuni banyak tokoh sesat!" kata Li Hong.
"Menghadapi orang-orang seperti mereka engkau harus sangat hati-hati, Li Hong. Mereka itu berbahaya dan terutama sekali ilmu sihir dan kelicikan mereka yang harus diwaspadai," kata Tan Kun Tek.
"Bukan saja mereka lihai, akan tetapi juga di antara mereka memiliki banyak anak buah," kata Ban-tok Niocu.
"Pekerjaan kalian itu dapat berbahaya sekali. Kalian masih muda dan belum mempunyai banyak pengalaman, bertemu dengan tokoh-tokoh sesat seperti itu, dapat berbahaya sekali."
"Ah, aku tidak takut, Ibu. Enci Ceng memiliki kepandaian yang tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu pengobatan! Apalagi kalau dibantu Giok-ko, eh...... tentu kami tidak khawatir lagi. Sayang...... dia telah pergi......"
"Maksudmu pemuda yang dulu datang bersama Ceng Ceng dahulu itu? Hemm, memang, dia itu lihai sekali, terutama ilmu pedangnya. Dan aku sudah tahu akan kelihaian Ceng Ceng dan Cun Giok. Ceng Ceng berjuluk Pek Eng Sianli, sedangkan Cun Giok berjuluk Bu-eng-cu, keduanya memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, aku sendiri pun tidak mampu menandinginya."
Naga Sakti Sungai Kuning Eps 22 Naga Beracun Eps 6 Naga Beracun Eps 34