Ceritasilat Novel Online

Pendekar Tanpa Bayangan 12


Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo Bagian 12




   "Banyakkah orang-orang di pulau itu?" tanya Cun Giok.

   "Banyak juga, ketika saya mengantar nona itu ke sana, pulau itu seperti sebuah perkampungan. Saya melihat puluhan orang di sana, laki-laki perempuan bahkan ada pula anak-anak. Akan tetapi keadaan di sana amat aneh. Begitu banyaknya orang hanya tampak sekejap saja dan tahu-tahu mereka telah menghilang di balik pohon dan semak belukar, juga saya melihat banyak ular berkeliaran sampai dekat pantai."

   "Engkau membawa begini banyak bangkai anjing dan ayam, untuk apakah?" tanya Ceng Ceng.

   "Nanti Nona akan melihatnya!" kata Acong yang agaknya tidak berani banyak bicara.

   Dua orang muda itu menatap ke arah pulau dengan jantung berdebar. Mereka tidak tahu akan menghadapi apa di pulau itu dan mereka hanya mengharapkan untuk dapat bertemu dengan pembunuh Im Yang Yok-sian dan dapat memperoleh obat penawar racun pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang untuk menyembuhkan Goat-liang Sanjin.

   Setelah tiba dekat pulau mereka melihat bahwa pulau itu memang dipenuhi pohon yang berjajar di sepanjang pantai, menutupi pemandangan sehingga orang tidak dapat melihat keadaan tengah pulau itu.

   "Duduklah dengan tegak dan hati-hati, kita tiba di bagian yang banyak batu karangnya," kata Acong berbisik.

   Cun Giok dan Ceng Ceng melihat betapa dengan mahirnya Acong mendayung dan mengemudikan perahunya, meluncur di antara batu-batu karang yang berada di bawah permukaan air. Batu-batu karang yang runcing dan tajam. Kalau perahu terdampar dan tertusuk dari bawah, tentu akan berlubang atau pecah! Acong yang sudah pernah membawa seorang gadis ke pulau itu dan diberi petunjuk oleh gadis itu, kini dapat melewati barisan batu karang berbahaya itu.

   Pulau sudah tampak dekat. Akan tetapi tukang perahu atau nelayan itu berbisik.

   "Harap kalian masing-masing menghadap ke kanan dan ke kiri. Kalau muncul sirip-sirip ikan hiu, cepat lempar-lemparkan bangkai itu agak jauh dari perahu. Akan tetapi jangan dihabiskan, disisakan untuk kupakai waktu meninggalkan pulau."

   Ceng Ceng dan Cun Giok siap dan memandang ke permukaan air laut. Tidak tampak batu-batu karang lagi dan tiba-tiba Ceng Ceng melihat tiga sirip meluncur ke dekat perahu! Ia segera mengambil seekor bangkai ayam dan melemparkannya agak jauh dari perahu. Tiga ekor ikan hiu itu segera membalik dan meluncur ke arah bangkai ayam. Demikianlah pula Cun Giok. Begitu melihat banyak sirip ikan meluncur datang, dia segera merobek bangkai anjing dengan menarik sebuah kakinya. Kaki itu putus membawa daging yang cukup banyak dan ketika dia lemparkan agak jauh dari perahu, sirip-sirip ikan itu meluncur mengejarnya!

   Acong cepat mendayung perahunya ke arah pantai pulau, ke arah sebatang pohon yang tumbuh di situ. Cun Giok dan Ceng Ceng sibuk melemparkan umpan agar ikan-ikan hiu yang ganas itu menjauhi perahu. Akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng girang karena sampai perahu menempel di pantai, tidak ada lagi aral melintang. Ceng Ceng segera membayar upah melayarkan ke pulau itu dan Acong cepat-cepat mendayung perahunya pergi dari situ. Dengan melempar-lemparkan umpan ke kanan kiri perahu, dia dapat lolos dari kepungan ikan hiu lalu membawa perahunya keluar dari barisan batu karang. Nelayan itu girang bukan main karena dia selamat dari perjalanan berbahaya itu dan dia sudah mengantongi uang yang kiranya cukup untuk biaya makan satu bulan bersama isteri dan dua orang anaknya!

   Kini Ceng Ceng dan Cun Giok yang berdiri di pantai mulai mencoba untuk melihat dan mempelajari keadaan di balik semak belukar itu. Mereka tidak dapat melihat bagian tengah pulau.

   "Biar kulihat dari atas pohon!" kata Cun Giok dan dia sudah melompat ke atas dahan pohon yang paling tinggi. Dari situ melayangkan pandang ke arah tengah pulau. Akan tetapi yang dilihat hanyalah hutan belantara, pohon dan semak belukar memenuhi pulau dan beberapa bagian yang merupakan ladang yang ditanami bermacam-macam sayur. Tak tampak seorang pun di pulau itu! Pulau
kosongkah ini? Mengapa para nelayan takut kalau pulau ini hanya kosong? Apa yang mereka takutkan?

   Ketika Cun Giok turun dari atas pohon, dia menceritakan kepada Ceng Ceng bahwa dia tidak melihat bangunan rumah di tengah pulau yang tertutup pohon-pohon dan semak-semak belukar. Juga tidak tampak seorang pun manusia, akan tetapi ada kebun-kebun sayur.

   "Melihat adanya ladang-ladang sayur yang cukup luas itu, dapat dipastikan bahwa pulau ini ada penghuninya. Akan tetapi ke mana mereka pergi? Tak seorang pun tampak," kata Cun Giok.

   "Justeru keadaan begini amat berbahaya, Giok-ko. Menurut keterangan ayahku dan Susiok Im Yang Yok-sian, yang berjuluk Ban-tok itu sesungguhnya belum tua benar, belum ada limapuluh tahun usianya. Akan tetapi karena ilmu kepandaiannya hebat dan ia amat kejam terhadap laki-laki, maka ia dianggap sebagai datuk yang ditakuti orang di wilayah Timur ini. Dan mendiang Susiok pernah bercerita bahwa Ban-tok Kui-bo selain lihai sekali ilmu silat dan ilmu penggunaan racun, juga ia amat cerdik dan dapat menyusun jebakan-jebakan yang mengerikan. Maka, biarpun tampaknya tidak ada orang, kita harus berhati-hati terhadap jebakan-jebakan, Giok-ko."

   "Baik, Ceng-moi. Mari kita selidiki ke tengah pulau. Biar aku yang berjalan di depan, engkau berjaga bagian belakang kalau-kalau ada serangan gelap yang datangnya dari belakang."

   Mereka lalu mulai melangkah menuju ke tengah pulau. Yang pertama mereka temukan adalah sebuah hutan dengan pohon-pohon yang letaknya aneh dan pohon-pohon itu pun mempunyai batang dan bentuk ranting dan daun yang sama. Jelas bahwa pohon-pohon itu tidak tumbuh liar, melainkan ditanam dan diatur!

   Cun Giok tadi mematahkan sebuah dahan yang panjangnya satu tombak, demikian pula Ceng Ceng membawa sebatang cabang pohon. Dengan kayu ini Cun Giok mengetuk atau menusuk ke tanah yang ditutupi rumput itu untuk melihat apakah tempat itu aman untuk diinjak. Di antara pohon-pohon itu terdapat jalan setapak yang seolah memang dibuat atau sering dilalui kaki orang karena di jalan setapak ini tanahnya gundul, tidak ditumbuhi rumput. Mereka lalu melalui jalan itu dengan hati-hati.

   Tiba-tiba Ceng Ceng berseru kaget dan ketika Cun Giok membalikkan tubuh untuk melihat, ternyata Ceng Ceng sudah tergantung di pohon dengan kaki terikat dan kepala di bawah. Agaknya tadi ia menginjak jebakan yang luput dari kaki Cun Giok dan ketika kakinya menginjak jebakan itu, ada tali yang menjerat kakinya dan tali itu seperti ditarik ke atas sehingga tubuh gadis itu tergantung dengan kaki terjerat di atas dan kepala di bawah!

   Melihat ini, Cun Giok melompat ke atas dan sinar emas berkelebat, dia telah membabat putus tali yang menggantung Ceng Ceng. Gadis itu ketika tubuhnya jatuh ke bawah, cepat membuat pok-sai (salto) sehingga dapat menginjak tanah dengan selamat.

   "Hemm, berbahaya sekali!" kata Ceng Ceng dengan sikap tenang saja. Gadis ini memang memiliki ketenangan yang mengagumkan.

   "Ah, kita harus lebih hati-hati, Ceng moi. Benar kata-katamu tadi, di sini terdapat banyak jebakan yang berbahaya. Dan aku mempunyai perasaan bahwa semua gerak gerik kita pasti diam-diam diamati orang."

   Mereka maju terus, lebih hati-hati sekarang. Beberapa kali ujung tongkat yang dipegang Cun Giok menyentuh jebakan dan ada tali jerat yang bergerak ke atas, seperti yang telah menggantung tubuh Ceng Ceng tadi. Akan tetapi mereka berdua dapat melewati jebakan-jebakan itu dan terus melangkah melalui jalan setapak yang berbelak-belok.

   "Berhenti dulu, Giok-ko!" Ceng Ceng berseru.

   "Mengapa, Ceng-moi?"

   Ceng Ceng memandang ke sekelilingnya yang dipenuhi pohon-pohon yang sama atau mirip satu sama lain.

   "Glok-ko, kita kembali ke tempat tadi! Aku ingat betul, tadi pun kita sudah melewati jalan ini!"

   "Aih, benarkah? Kalau begitu, kita disesatkan oleh jalan setapak ini dan hanya berputar-putaran di dalam hutan." Mereka merasa dongkol juga.

   "Kita lanjutkan perjalanan, Giok-ko dan sekarang aku akan memberi tanda kepada setiap pohon yang kita lewati!" Gadis yang cerdik itu berkata.

   Cun Giok mengangguk setuju dan mereka mulai maju lagi.

   Sekarang, setiap tiba di jalan yang bercabang, Ceng Ceng lalu mengambil sebuah kerikil dan melontarkan pada batang pohon terdekat sehingga tampak lubang pada batang pohon itu. Masih beberapa kali mereka tersesat, akan tetapi kini mereka dapat memilih jalan yang benar, melalui jalan setapak di mana pohon-pohonnya belum ditandai sambitan batu kerikil. Juga mereka selalu dapat terhindar dari beberapa jebakan. Bukan hanya jebakan berupa tali jerat, melainkan alat yang terinjak karena tertutup tanah dan tiba-tiba ada anak panah menyambar dari kanan kiri! Berkat kelincahan gerakan mereka, dua orang muda ini dapat mengelak.

   Akhirnya mereka dapat keluar dari hutan pohon yang ternyata tidak berapa luas itu. Hanya pohon-pohonnya diatur sedemikian rupa, dengan jalan setapak yang menyesatkan dan jebakan-jebakan yang berbahaya. Kini mereka menghadapi semak belukar yang berlapis-lapis. Sulitlah untuk menerjang semak belukar yang penuh duri itu.

   Mereka mencoba dengan mengambil jalan mengitari semak-semak, akan tetapi pada lapisan kedua, tidak ada jalan yang tak terhalang semak-semak. Mereka harus melompati semak-semak belukar kalau ingin terus maju. Cun Giok mengambil sepotong batu sebesar kepala orang dan melemparkan batu itu melewati semak-semak. Batu itu jatuh berdebuk dan tidak terjadi sesuatu.

   "Hemm, aku akan melompati semak-semak ini dan turun ke atas batu tadi yang telah terbukti aman. Engkau dapat menyusul di belakangku."

   Ceng Ceng mengangguk dan Cun Giok segera melompati semak-semak yang tingginya setombak dan tebalnya dua tombak itu. Ceng Ceng berkelebat menyusulnya. Ketika kaki Cun Giok hinggap menginjak batu yang tadi dia lontarkan, tiba-tiba tanah di tempat itu jebol dan terbentuklah sebuah sumur! Kiranya jebakan itu sudah diatur sedemikian rupa sehingga kalau tertimpa benda seberat manusia barulah penutup sumur itu jebol. Maka ketika dilempari batu sumur itu tetap tertutup dan baru setelah Cun Giok hinggap di atas batu penutup sumur itu jebol dan tubuh Cun Giok jatuh ke bawah!

   Akan tetapi pada saat itu, tubuh Ceng Ceng sudah berkelebat dan melihat pemuda itu terjerumus ke dalam sumur, ia cepat menangkap lengan Cun Giok dan menariknya dengan sentakan kuat. Cun Giok mengerahkan gin-kangnya sehingga dia dapat ditarik dan ikut melompat sehingga mereka berdua berhasil turun dan berdiri di tepi sumur itu! Ketika keduanya menjenguk ke dalam sumur, Ceng Ceng mengeluarkan seruan tertahan.

   Cun Giok menghela napas panjang.

   "Ah, sungguh berbahaya sekali!"

   Mereka melihat ratusan ekor ular berada di dasar sumur tak berair itu, tumpang tindih dan menggeliat-geliat. Kalau Cun Giok tadi terjatuh ke sana dan dikeroyok ratusan ekor ular berbisa itu, betapapun lihainya, akan sukarlah menghindarkan diri dari gigitan berbisa! "Untung engkau bertindak cepat, Ceng-moi. Terima kasih!"

   "Hemm, apa perlu berterima kasih, Giok-ko? Kita bersama berada di tempat berbahaya ini. Mari maju terus dan kita harus lebih hati-hati."

   Setapak demi setapak mereka melangkah ke depan, memeriksa setiap tanah berumput yang akan mereka injak selanjutnya. Cun Giok tetap berada di depan. Ketika mereka berhadapan lagi dengan serumpun semak belukar, mereka berhenti dan meragu karena tidak tahu jebakan apa yang menanti mereka di balik semak belukar itu.

   "Giok-ko, aku mempunyai gagasan, mungkin dapat menolong kita. Karena pemilik pulau ini tidak akan mengira ada orang menginjak semak belukar, pasti jebakan-jebakan itu berada di atas tanah berumput. Maka bagaimana kalau kita menggunakan semak-semak itu untuk melanjutkan perjalanan menuju tengah pulau ini?"

   "Menggunakan semak-semak? Apa maksudmu? Kalau kita melompat ke atas semak-semak, tentu kaki akan terjeblos ke bawah karena tidak ada tempat yang keras untuk berpijak."

   "Kita membawa ini, Giok-ko!" kata Ceng Ceng sambil berjongkok dan mengambil batu pipih sebesar kaki. Melihat ini, wajah Cun Giok berseri. Dia dapat menangkap maksud gadis itu.

   "Gagasan itu baik sekali, Ceng-moi!" katanya dan mereka mulai mengumpulkan batu-batu pipih.

   Setelah cukup, Cun Giok mendahului melompat ke atas semak, melemparkan sebuah batu pipih ke atas semak sehingga dia dapat menginjak batu pipih di atas semak itu. Kemudian dia melemparkan sebuah batu berikutnya ke atas semak-semak di depan dan dia menyusul dengan lompatan ringan ke atas semak-semak di depan yang sudah ditumpangi batu pipih. Ceng Ceng juga melakukan hal yang sama.

   Bagaikan dua ekor burung saja, dua orang muda itu berloncatan dari semak ke semak dan setelah semak terakhir terlewati, Cun Giok melompat ke atas tanah yang tidak berumput. Ceng Ceng menyusulnya dan mereka berdua girang sekali bahwa mereka telah dapat melampaui barisan semak belukar itu. Ketika mereka memandang ke depan, kini tampaklah perkampungan itu. Akan tetapi untuk memasuki perkampungan itu mereka masih harus melewati sebuah taman atau kebun yang penuh dengan tumbuh- pohon kecil dan pohon bunga.

   "Biarpun kita sudah sampai di sini, kita tidak boleh lengah dan harus tetap berhati-hati, Ceng-moi, karena perkampungan yang tampaknya sepi itu mungkin saja disengaja untuk memancing kita."

   Mereka kini memasuki taman yang luas itu melalui pintu pagar yang mengelilingi taman. Baru saja mendorong pintu pagar terbuka, terdengar bersiutnya enam batang anak panah beracun yang meluncur dari depan menyerang mereka! Akan tetapi dua orang pendekar muda yang memiliki gin-kang tingkat tinggi itu dengan mudah dapat menghindarkan diri dari serangan itu dengan loncatan ke atas sehingga enam batang anak panah itu meluncur di bawah kaki mereka.

   Dengan tabah mereka melangkah maju perlahan-lahan, menggunakan cabang pohon untuk menguji tanah tertutup rumput yang akan mereka injak. Cun Giok tetap berjalan di depan dan dia memegang sebatang cabang pohon di tangan kiri yang dia pergunakan untuk menguji tanah yang akan diinjaknya, sedangkan tangan kanan memegang Kim-kong-kiam, siap untuk dipergunakan apabila ada bahaya mengancam.

   Ceng Ceng melangkah di belakangnya, menginjak bekas telapak kaki pemuda yang melangkah di depannya. Gadis ini memang tidak pernah menggunakan senjata, akan tetapi sehelai ranting pohon biasa kalau berada di tangannya tidak kalah ampuh dibandingkan dengan senjata baja yang tajam.

   Beberapa kali ada senjata rahasia menyerang mereka. Biarpun mereka sudah berhati-hati dan tidak menginjak jebakan, namun dua kali ada golok-golok muncul dari tanah membabat ke arah kaki mereka. Keduanya kembali meloncat ke atas terhindar dari sabetan golok-golok itu.

   Ada pula secara tiba-tiba belasan batang anak panah menyambar dari atas pohon. Cun Giok memutar Kim-kong-kiam yang sinarnya membentuk payung merontokkan semua anak panah yang menyerang dari atas. Ketika mereka hampir berhasil keluar dari kebun yang penuh pohon itu, tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan dari jauh tampak ratusan ekor ular merayap dari semua jurusan menuju tempat mereka berdiri. Cun Giok sudah siap mengamuk dengan pedangnya. Akan tetapi Ceng Ceng segera berseru.

   "Giok-ko, cepat bantu mengumpulkan bahan bakar di sekeliling kita."

   Mereka segera dengan cepat mengumpulkan daun dan kayu kering, ditumpuk di sekeliling mereka. Lalu Ceng Ceng mengeluarkan alat pembuat api dan membakar kayu dan daun-daun kering itu sehingga sekeliling mereka terlindung oleh api. Begitu dekat dengan api, ular-ular itu lari ketakutan menjauhi api. Akan tetapi tiba-tiba dari atas pohon melayang belasan ekor ular hijau. Ceng Ceng menangkis dengan tongkatnya, demikian pula Cun Giok menggunakan pedangnya sehingga belasan ekor ular hijau itu terlempar ke dalam api dan mati terbakar.

   Kemudian mereka melanjutkan perjalanan, melewati api dan masing-masing memegang sebuah ranting kayu yang ujungnya dibakar sehingga tidak ada ular berani mendekati mereka. Mereka kini dapat melewati pekarangan dan begitu tiba di depan gedung pertama perkampungan itu, tiba-tiba bermunculan duapuluh orang anak buah Pulau Ular. Mereka segera mengepung Ceng Ceng dan Cun Giok.

   Dua orang muda itu memperhatikan. Keadaan duapuluh orang itu memang aneh karena mereka mengenakan pakaian seragam yang bergaris-garis seperti kulit ular! Dan mereka mengepung sambil berlari mengelilingi Cun Giok dan Ceng Ceng, sambil mengeluarkan bunyi mendesis-desis seperti ular! Mereka membawa sebuah tongkat pendek yang ujungnya diberi besi runcing seperti taring ular. Ketika mereka berlari mengelilingi dua orang muda itu, Cun Giok dan Ceng Ceng mencium bau amis dan maklum bahwa mereka itu adalah anak buah Pulau Ular yang biasa membawa dan menggunakan racun ular. Mungkin senjata mereka itu mengandung racun yang amat berbahayanya!

   Melihat Cun Giok sudah siap dengan pedangnya yang mengeluarkan sinar keemasan, Ceng Ceng merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu sampai membunuh atau melukai orang. Bisa gagal niat mereka mencari obat kalau sampai terlibat permusuhan dengan para penghuni Pulau Ular.

   "Giok-ko, jangan lukai atau bunuh mereka," katanya lirih dan ia pun mengambil sepotong ranting lagi sehingga kedua tangannya masing-masing memegang sebatang ranting. Mendengar ucapan gadis itu, Cun Giok mengerti dan dia pun mengambil sepotong ranting dengan tangan kirinya namun tetap memegang Kim-kong-kiam di tangan kanannya. Pedang itu dia perlukan untuk menangkis senjata para pengeroyok itu.

   "Kembalilah kalian sebelum terlambat!" Seorang di antara mereka yang masih mengelilingi, kini dengan berjalan, berkata dengan lantang.

   "Kami tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Tocu (Majikan Pulau) Ban-tok Kui-bo! Kami ingin menghadap Beliau untuk membicarakan urusan penting," kata Ceng Ceng dengan lembut.

   "Tidak bisa! Untuk menemui Beliau kalian harus lebih dulu melewati kami!" bentak pimpinan seregu pasukan ular itu.

   "Kalau begitu, kami akan berusaha melewati kalian!" kata Ceng Ceng dan ia memberikan sebutir pel kepada Cun Giok dan mereka berdua menelan sebutir pel merah.

   Mendengar jawaban Ceng Ceng, duapuluh orang itu mengeluarkan desis yang lebih nyaring, bahkan dari mulut mereka keluar uap dan bau amis semakin menyengat hidung dua orang muda itu. Kini mulailah mereka menyerang dari empat jurusan! Akan tetapi, ternyata gerakan ilmu silat mereka itu masih terlalu rendah bagi Cun Giok dan Ceng Ceng.

   Biarpun mereka mengeluarkan hawa beracun, akan tetapi setelah menelan pel merah, semua hawa beracun itu tidak mempengaruhi mereka. Serangan mereka itu dapat ditangkis oleh Ceng Ceng dan Cun Giok. Bahkan pedang Kim-kong-kiam dalam beberapa gebrakan saja telah mematahkan banyak senjata para pengeroyok. Kini Cun Giok dan Ceng Ceng menggerakkan ranting, menotok bertubi-tubi dan satu demi satu para pengeroyok itu roboh terkulai lemas!

   Akhirnya, duapuluh orang itu telah roboh semua, walaupun sama sekali tidak terluka, namun sebelum pengaruh totokan itu memudar, mereka sama sekali tidak mampu bangkit sehingga dengan mudahnya Cun Giok dan Ceng Ceng melanjutkan langkah mereka menghampiri gedung yang berada paling depan di kampung itu dan gedung ini merupakah gedung latihan ilmu silat dari para anak buah Pulau Ular. Cun Giok dan Ceng Ceng berniat untuk menanyakan di mana mereka dapat bertemu dengan Ban-tok Kui-bo.

   Tiba-tiba pintu depan gedung latihan itu terbuka lebar dan ada angin kuat menyambar dari dalam, lalu tampak tubuh seorang wanita yang langsing berwajah cantik melayang keluar dan berdiri di depan mereka. Cun Giok dan Ceng Ceng melihat bahwa wajah yang cantik itu terganggu oleh sebuah bekas luka (codet) memanjang di pipinya sebelah kiri. Usia wanita itu sukar diduga karena tubuhnya masih padat, wajahnya masih cantik walaupun terganggu codet. Tampak masih muda, paling banyak tigapuluh tahun usianya. Memang, wanita itu adalah Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun) yang biarpun usianya sudah sekitar empatpuluh lima tahun namun masih tampak muda.

   Ceng Ceng segera mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan, diikuti oleh Cun Giok. Ceng Ceng pernah mendapat gambaran dari susioknya tentang Ban-tok Kui-bo, maka ia dapat menduga dengan siapa ia berhadapan.

   "Mohon maaf atas kelancangan kami yang muda. Kalau kami tidak salah lihat, Lo-cianpwe adalah Ban-tok Kui-bo, benarkah?" kata Ceng Ceng dengan sikap sopan dan kata-katanya juga lembut.

   Ban-tok Kui-bo memandang mereka dengan penuh perhatian, lalu ia berkata.

   "Kalian orang-orang muda datang tanpa diundang dan merobohkan anak buah Pulau Ular. Hayo cepat pulihkan mereka!"

   Melihat wanita itu menudingkan telunjuknya yang berkuku panjang ke arah duapuluh orang yang masih menggeletak tak mampu bergerak itu, Ceng Ceng memberi isyarat kepada Cun Giok dan mereka berdua lalu menghampiri para anak buah Pulau Ular dan membuka totokan mereka. Duapuluh orang itu bangkit dan mereka segera menyingkir setelah mendapat isyarat dari Ban-tok Kui-bo. Setelah membebaskan totokan, Cun Giok dan Ceng Ceng lalu menghampiri lagi Ban-tok Kui-bo.

   "Siapakah kalian dan apa keperluan kalian datang ke pulau ini?"

   Cun Giok menyerahkan semua pembicaraan kepada Ceng Ceng yang dia percaya lebih mampu untuk bicara dengan wanita yang tampaknya berwatak keras dan aneh itu.

   "Lo-cianpwe, saya bernama Liu Ceng, murid keponakan Susiok Im Yang Yok-sian, di Hoa-san. Adapun sahabat ini adalah Pouw Cun Giok. Kami berdua berani memasuki pulau ini karena kami mohon menghadap Lo-cianpwe Ban-tok Kui-bo sehubungan dengan kematian Susiok Im Yang Yok-sian dan terlukanya Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai."

   Mulut yang bentuknya indah itu tersenyum sinis.

   "Hemm, kalian datang untuk membalas dendam? Bagus, kalian tidak salah datang ke sini. Akulah yang menyuruh melukai Goat-liang Sanjin dan membunuh Im Yang Yok-sian! Aku yang bertanggung jawab dan kalian boleh membalas dendam kepadaku!"

   "Lo-cianpwe, kami bukanlah orang-orang muda yang hanya menuruti emosi belaka. Segala akibat tentu ada sebabnya dan semua perbuatan tentu ada alasannya. Kami datang bukan sebagai musuh, melainkan sebagai tamu yang mohon kebijaksanaan Lo-cianpwe, yaitu, memberi penjelasan mengapa Susiok Im Yang Yok-sian dibunuh dan mengapa pula ketua Hoa-san-pai dilukai. Kami mohon penjelasan dan obat penawar bagi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin yang menderita luka parah karena pukulan Hek-tok Tong-sim-dang."

   Ban-tok Kui-bo mengerutkan alis dan memandang Ceng Ceng dengan penuh selidik.

   "Gadis muda, kalau engkau murid keponakan Im Yang Yok-sian, lalu siapakah gurumu?"

   "Guru saya adalah ayah saya sendiri, yaitu Liu Bok Eng yang tinggal di Nan-king."

   "Hemm, kalian dua orang muda sudah lancang melanggar larangan memasuki pulau kami tanpa ijin, maka kami tidak dapat menerima kalian sebagai tamu-tamu yang patut dipertimbangkan permintaannya. Sekarang begini saja. Melihat kalian ternyata tidak membunuh seorang pun dari anak buah kami, kami memberi kesempatan. Kalau kalian mampu bertahan melawan aku sampai tigapuluh jurus, maka kalian akan kuterima sebagai tamu dan kita boleh membicarakan keperluan kalian. Akan tetapi kalau kalian tidak mampu bertahan sampai tigapuluh jurus dan masih hidup, kalian boleh pergi dari sini. Kalau sampai kalian tewas, jangan salahkan aku. Kalau kalian tidak berani melawanku, cepat pergi dari sini sebelum pikiranku berubah."

   Ceng Ceng berkata dengan lembut.

   "Sebagai nyonya rumah, Lo-cianpwe berhak menentukan peraturan di sini dan sebagai seorang tamu, saya harus menaatinya. Saya akan berusaha untuk mampu bertahan selama tigapuluh jurus, Lo-cianpwe."

   Mendengar ini, Cun Giok juga berkata.

   "Saya juga siap bertahan melawan Lo-cianpwe sampai tigapuluh jurus!"

   Ban-tok Kui-bo tersenyum dan berkata.

   "Bagus, mari masuk ke gedung latihan ini!"

   Wanita yang menjadi majikan Pulau Ular itu memasuki pintu gedung, diikuti oleh Cun Giok dan Ceng Ceng. Dua orang muda itu kagum melihat betapa gedung itu merupakan tempat berlatih silat yang luas. Di sudut terdapat rak senjata dengan belasan macam senjata dan di dekat dinding terdapat bangku berderet. Ruangan latihan itu luas sekali, cukup luas untuk dipakai bertanding keroyokan puluhan orang!

   Ban-tok Kui-bo melangkah ke tengah ruangan yang lantainya kokoh dan berkata.

   "Siapa dari kalian yang hendak maju lebih dulu?"

   "Saya akan mencoba bertahan selama tigapuluh jurus, Lo-cianpwe!" kata Ceng Ceng yang segera menghampiri wanita cantik yang mempunyai codet di pipi sebelah kiri itu.

   "Hemm, engkau boleh menggunakan senjata," kata Ban-tok Kui-bo kepada Ceng Ceng yang berdiri di depannya tanpa memegang senjata karena ranting yang dipegangnya sudah ia lepaskan ketika memasuki ruangan itu.

   "Tugas saya mengobati, bukan menyakiti orang, Lo-cianpwe, maka saya tidak pernah menggunakan senjata."

   Ban-tok Kui-bo mengerutkan alisnya. Sebagai seorang datuk kang-ouw yang berilmu tinggi, tentu saja ia merasa diremehkan kalau lawannya, seorang gadis muda belia, menghadapinya dengan tangan kosong.

   "Hemm, aku pun bertangan kosong, akan tetapi engkau patut mengetahui bahwa setiap jari tanganku merupakan senjata yang ampuh dan dapat merenggut nyawa! Engkau masih berani melawan aku selama tigapuluh jurus?"

   "Lo-cianpwe, saya seorang bodoh dan saya sudah mendengar akan kelihaian Lo-cianpwe menggunakan segala macam racun. Saya tidak berani melawan Lo-cianpwe dan saya maju ini hanya untuk memenuhi permintaan Lo-cianpwe. Demi tugas yang saya bawa dari Hoa-san-pai, demi mengetahui sebab kematian Susiok Im Yang Yok-sian dan kesembuhan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin, saya rela andaikata sampai terpukul mati oleh Lo-cianpwe."

   Karena sikap dan ucapan Ceng Ceng amat lembut dan sopan, maka hati Ban-tok Kui-bo yang kaku agak mencair dan ia sudah mengambil keputusan untuk tidak berlaku kejam terhadap gadis itu.

   "Baiklah, nah, waspadalah dan sambut seranganku ini!" katanya dan cepat sekali tangan kirinya menyambar dari samping ke arah kepala Ceng Ceng. Serangan ini disusul dengan cepat sekali dengan cengkeraman tangan kanannya ke arah lambung gadis itu.

   Akan tetapi majikan Pu!au Ular ini terkejut bukan main ketika tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan serangan kedua tangannya itu hanya mengenai tempat kosong! Ia menjadi penasaran dan menyusulkan serangan kedua dengan lebih dahsyat.

   Akan tetapi kembali Ceng Ceng yang memiliki gin-kang istimewa itu sudah dapat menghindarkan diri dengan cepat seka!i sehingga yang tampak hanya bayangan berkelebat dan serangan itu pun luput!

   Sementara itu, sejak jurus pertama Cun Giok sudah menghitung dengan suara lantang.

   "Jurus satu! Jurus Dua! Jurus Tiga""!" Demikian selanjutnya.

   Ban-tok Kui-bo diam-diam merasa kaget bukan main. Kini ia tidak ragu lagi. Gadis itu memang memiliki ginkang yang amat hebat. Biarpun ia sudah menyerang dengan pengerahan tenaga dan secara bertubi-tubi, sambung menyambung, tetap saja tak pernah tangannya dapat menyentuh gadis itu. Makin dipercepat gerakannya menyerang, semakin cepat pula gadis itu mengelak sehingga kini hanya tampak bayangan putih berkelebatan ke sana sini, akan tetapi selalu serangan Ban-tok Kui-bo tidak mengenai sasaran! Memang tidak sia-sia saja Ceng Ceng mendapat julukan Pek-eng Sianli (Dewi Bayangan Putih) karena kecepatan gerakannya memang luar biasa.

   Cun Giok menghitung terus.

   "Jurus duapuluh sembilan! Jurus tigapuluh......!" Pada saat itu, melihat bahwa ia tidak mampu mengalahkan gadis itu dalam tigapuluh jurus, Ban-tok Kui-bo yang merasa penasaran mengirim pukulan yang dahsyat sekali menggunakan tenaga sin-kang yang mengandung racun!

   Ceng Ceng maklum akan datangnya bahaya dalam serangan jurus terakhir itu. Ia berkelebat, akan tetapi tetap saja masih terpengaruh oleh angin pukulan lawan sehingga ketika ia turun ke atas lantai, ia sempat terhuyung. Cepat ia menghirup napas panjang untuk melindungi dirinya, kemudian ia mengangkat kedua tangan depan dada sambil berkata lembut.

   "Kepandaian Lo-cianpwe sungguh amat hebat. Saya mengaku kalah!"

   Ban-tok Kui-bo mengangguk-angguk.

   "Bagus, masih begini muda engkau memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya. Engkau cukup pantas untuk kuterima sebagai tamu. Engkau tunggu dan duduklah di bangku itu!"

   "Terima kasih, Lo-cianpwe," kata Ceng Ceng dan ia segera mengambil tempat duduk di atas bangku yang berderet dekat dinding.

   "Sekarang tiba giliranmu, orang muda. Ingin kulihat apakah engkau juga mampu bertahan selama tigapuluh jurus. Karena engkau seorang laki-laki, aku akan bersikap lebih keras dan akan mengujimu dengan pedangku. Nah, engkau membawa pedang, cabutlah dan lawan aku selama tigapuluh jurus. Ingat, dalam pertandingan ini mungkin engkau akan tewas dan kalau terjadi demikian, jangan menyesal karena engkau masih kuberi waktu untuk menyerah dan meninggalkan tempat ini."

   Cun Giok bukan seorang bodoh. Tadi ketika wanita itu menyerang Ceng Ceng, dia sudah melihat kelemahan-kelemahannya dan dia yakin bahwa dengan mengandalkan gin-kangnya seperti yang tadi diperlihatkan Ceng Ceng, dia akan mampu mengatasi majikan Pulau Ular ini. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menghadapi pedang wanita itu dengan tangan kosong karena hal ini akan merupakan penghinaan bagi Ban-tok Kui-bo. Maka dia pun melangkah menghampiri Ban-tok Kui-bo dan setelah berhadapan dia memberi hormat dan berkata.

   "Baiklah, Lo-cianpwe. Saya akan mencoba bertahan sampai tigapuluh jurus menghadapi pedang Lo-cianpwe."

   "Bagus!" Ban-tok Kui-bo berseru girang.

   Bagaimanapun juga, ia adalah seorang datuk ilmu silat, maka tentu saja ia merasa gembira mendapatkan lawan tanding yang memadai. Ia mencabut pedangnya dan tampak sinar kehitaman berkelebat dan mendatangkan hawa mengerikan. Cun Giok maklum bahwa majikan Pulau Ular itu mempunyai sebatang pedang yang ampuh dan mengandung racun jahat.

   "Nah, cabut pedangmu, orang muda!"

   Cun Giok mencabut pedangnya dan ketika tampak sinar emas berkelebatan, Ban-tok Kui-bo membelalakkan matanya.

   "Aih! Bukankah itu Kim-kong-kiam? Dari mana engkau mendapatkan Kim-kong-kiam itu, orang muda?

   Cun Giok memandang penuh perhatian.

   "Lo-cianpwe mengenal pedang ini?"

   "Tentu saja! Pedang ini adalah milik Suma Tiang Bun! Bagaimana bisa berada di tanganmu?"

   "Maaf, Lo-cianpwe. Memang benar pedang ini milik mendiang guruku, Suma Tiang Bun."

   
Pendekar Tanpa Bayangan Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Ah, kiranya Suma Tiang Bun mempunyai murid dan menurunkan ilmu dan pedangnya kepadamu. Bagus sekali, aku semakin tertarik dan ingin sekali mengujimu. Orang muda, siap dan sambut serangan pedangku!"

   Ban-tok Kui-bo lalu menyerang dengan dahsyat. Pedangnya menyerang bertubi-tubi susul-menyusul sehingga pedang itu berubah menjadi sinar hitam yang mendesing-desing dan mengeluarkan bau manis bercampur amis yang membuat kepala menjadi pening. Baiknya Cun Giok sudah menelan pel merah pemberian Ceng Ceng sehingga dia tidak sampai mabok.

   Kini Cun Giok mulai membalas dan mereka berdua bertanding dengan serunya. Yang tampak hanya gulungan sinar hitam dan sinar emas yang saling melibat dan saling mendesak. Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar hitam semakin mengecil dan majikan Pulau Ular itu terdesak hebat. Akan tetapi biarpun dia lebih unggul, Cun Giok tidak mau terlalu mendesak sehingga pertandingan itu berjalan seimbang. Setelah lewat tigapuluh jurus, bahkan hampir empatpuluh jurus, tiba-tiba pedang hitam bertemu dengan pedang sinar emas.

   "Tranggg......!" Keduanya melangkah ke belakang dan Cun Giok lalu memberi hormat sambil menyimpan pedangrya.

   "Kiam-hoat (ilmu Pedang) Lo-cianpwe hebat, saya mengaku kalah."

   "Hemm, tidak percuma engkau menjadi murid Suma Tiang Bun dan mewarisi Kim-kong-kiam. Setelah kalian berdua mampu menandingi aku selama tigapuluh jurus, kalian memang pantas menjadi tamuku. Mari kita bicara di rumahku!"

   Wanita itu lalu melangkah keluar dari gedung latihan, diikuti oleh Cun Giok dan Ceng Ceng. Ban-tok Kui-bo mengajak mereka memasuki sebuah bangunan terbesar di pulau itu dan berada di tengah-tengah perkampungan.

   Ketika mereka memasuki gedung itu Ceng Ceng dan Cun Giok diam-diam merasa kagum. Sungguh tak pernah mereka duga bahwa di pulau yang tampaknya liar itu terdapat sebuah gedung yang selain besar juga amat indah dan mewah. Perabot-perabotnya serba halus dan mahal, seperti sebuah istana saja! Orang-orang yang bertugas di rumah itu mengenakan pakaian dari sutera serba hitam dan mereka semua memberi hormat dengan membungkukkan badan ketika Ban-tok Kui-bo lewat!

   Ban-tok Kui-bo mengajak mereka memasuki kamar tamu yang juga indah. Mereka duduk berhadapan terhalang meja yang bundar dan besar. Pelayan datang menghindangkan anggur manis dan makanan ringan.

   Setelah semua pelayan meninggalkan ruangan, Ban-tok Kui-bo lalu berkata.

   "Nah, sekarang bicaralah. Sebutkan lagi nama kalian dan apa keperluan kalian mencari aku."

   Cun Giok memandang kepada Ceng Ceng dan membiarkan gadis itu yang bicara.

   "Lo-cianpwe, saya bernama Liu Ceng dan dia ini bernama Pouw Cun Giok. Seperti sudah saya ceritakan tadi, mendiang Im Yang Yok-sian adalah Susiok (Paman Guru) saya dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin ketua Hoa-san-pai adalah sahabat baik kakek guru Pouw Cun Giok. Kami berdua menemukan Susiok Im Yang Yok-sian terbunuh dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin terluka parah. Karena melihat bahwa yang membunuh susiok dan melukai ketua Hoa-san-pai adalah ilmu pukulan Hek-tok Tong-sim-ciang, maka saya teringat akan cerita Susiok dahulu bahwa yang menguasai pukulan itu adalah Lo-cianpwe sendiri. Oleh karena itu, kami berdua mengambil keputusan untuk menemui Lo-cianpwe. Pertama, untuk bertanya mengapa Susiok Im Yang Yok-sian dibunuh dan Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin dilukai, dan kedua, kami mengharapkan budi kebaikan Lo-cianpwe untuk memberi obat penawar kepada Ketua Hoa-san-pai."

   "Tidak kusangkal, memang aku yang menyuruh seorang muridku untuk membunuh Goat-liang Sanjin. Muridku berhasil melukainya dan musuh besarku itu pasti akan mati. Akan tetapi muridku mendengar bahwa orang-orang Hoa-san-pai hendak minta bantuan Im Yang Yok-sian untuk menyembuhkannya. Maka, terpaksa untuk mencegah penyembuhan itu, muridku lalu membunuh Im Yang Yok-sian."

   Pouw Cun Giok yang sejak tadi diam saja kini bertanya dengan hati-hati dan sikap sopan.

   "Lo-cianpwe, saya yakin bahwa setiap perbuatan pasti ada alasan dan penyebabnya. Kalau boleh saya bertanya, mengapa Lo-cianpwe menyuruh orang untuk membunuh Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin? Apa kesalahan Ketua Hoa-san-pai itu? Setahu saya, beliau adalah seorang pendeta yang sudah berusia lanjut dan tidak pernah melakukan kejahatan."

   "Huh, menilai watak orang tidak dapat hanya melihat keadaan lahiriah saja. Semua orang memakai topeng dan selalu topeng yang baik. Mau tahu mengapa aku mendendam kepada Goat-liang Sanjin? Nih, lihat baik-baik wajahku! Bagaimana pendapatmu tentang wajahku?"

   Cun Giok menjawab dengan hati-hati.

   "Lo-cianpwe, maafkan, menurut saya wajah Lo-cianpwe baik dan cantik."

   "Hemm, semua laki-laki adalah perayu yang mengobral rayuan gombal kepada setiap wanita! Hei, engkau Liu Ceng, katakan, apa yang salah dengan wajahku?"

   Ceng Ceng menjawab.

   "Lo-cianpwe memang berwajah cantik sekali dan tampak masih muda. Akan tetapi sayang, ada codet bekas luka di pipi sebelah kiri."

   "Nah, cacat pada mukaku ini adalah perbuatan Goat-liang Sanjin duapuluh lima tahun yang lalu. Aku menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk melatih seorang murid dan akhirnya aku berhasil menyuruh muridku membalas dendam. Nah, pertanyaanmu tentang mengapa aku suruhan membunuh Goat-liang Sanjin sudah kujawab, juga mengapa muridku terpaksa membunuh Im Yang Yok-sian. Sekarang permintaanmu yang ke dua untuk mendapatkan obat penyembuh Goat-liang Sanjin. Huh, mana mungkin aku memberikannya? Kalau engkau hendak mengobatinya, carilah sendiri obatnya. Aku tidak sudi menolongnya!"

   Cun Giok mengerutkan alisnya. Wanita itu memang sesat, pikirnya. Kalau Goat-liang Sanjin sampai melukai pipinya, tentu wanita itu melakukan hal yang tidak baik! Sekarang, dengan kejinya ia membunuh Im Yang Yok-sian dan membunuh pula Goat-liang Sanjin kalau ia tidak mau memberikan obat penawarnya. Dia sudah siap untuk menggunakan kekerasan memaksa Ban-tok Kui-bo menyerahkan obat. Akan tetapi Ceng Ceng mendahuluinya.

   "Lo-cianpwe, melihat bekas luka di pipimu itu, jelas bahwa itu disebabkan goresan senjata tajam yang tidak mengandung racun. Saya pernah mempelajari cara mengobati luka seperti itu, dan saya merasa yakin bahwa codet bekas luka di pipi Lo-cianpwe itu akan dapat saya obati sampai sembuh."

   Wanita itu membelalakkan matanya memandang tajam kepada Ceng Ceng.

   "Benarkah? Benarkah engkau dapat mengobati codet di pipiku ini sampai pulih? Dapat hilang codetnya?"

   Ceng Ceng mengangguk.

   "Saya kira dapat, Lo-cianpwe. Dulu pernah saya mengobati luka yang meninggalkan bekas seperti itu dan codet itu dapat hilang dalam waktu beberapa hari."

   Wajah Ban-tok Kui-bo berseri gembira.

   "Liu Ceng, aku berjanji. Kalau engkau dapat mengobati pipiku sehingga cacat ini hilang, aku pasti akan memberimu obat penawar yang dibutuhkan Goat-liang Sanjin!"

   "Baik, Lo-cianpwe."

   Kini dengan amat ramah Ban-tok Kui-bo lalu memerintahkan pelayan untuk menyiapkan dua buah kamar untuk Cun Giok dan Ceng Ceng, dan ia lalu menjamu pesta makan untuk dua orang tamunya itu. Kini Ban-tok Kui-bo bersikap baik sekali, akan tetapi Cun Giok dan Ceng Ceng tetap saja bersikap waspada karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang menjadi datuk sesat ini sama sekali tidak boleh dipercaya.

   Mulai hari itu Ceng Ceng memeriksa dan mengobati codet di pipi kiri Ban-tok Kui-bo. Ia memang pernah beberapa kali mengobati bekas luka macam itu, maka ketika ia melihat codet di pipi Ban-tok Kui-bo, ia merasa yakin akan mampu menyembuhkannya sehingga cacat itu tidak tampak lagi atau hampir-hampir tidak tampak dan dengan sedikit bedak maka pipi itu akan tampak licin dan halus kembali. Kalau saja yang menggores pipi itu pedang yang mengandung racun sehingga kulit pipi rusak terkena racun, akan amat sukarlah mengobatinya sampai pulih.

   Untuk menyelesaikan pengobatan itu, Ceng Ceng harus menggunakan waktu hampir satu bulan. Selama itu, ia dan Cun Giok mendapat perlakuan yang amat baik, dihormati dan dicukupi semua kebutuhan mereka, bahkan hampir setiap hari mereka menghadapi hidangan yang serba mewah dan lezat.

   Akhirnya pengobatan itu selesai. Setelah Ban-tok Kui-bo yakin bahwa pipinya sudah normal kembali. Ia merasa sangat gembira dan tarikan keras pada garis wajahnya kini menghilang, terganti wajah yang cerah menghadapi masa depan yang gemilang. Dan ternyata apa yang dikhawatirkan Ceng Ceng dan Cun Giok tidak terjadi. Ban-tok Kui-bo sama sekali tidak mengganggu mereka dan ia pun memenuhi janjinya, menyerahkan obat penawar untuk Goat-liang Sanjin.

   Bukan hanya itu, ketika Cun Giok dan Ceng Ceng berpamit, Ban-tok Kui-bo menemani mereka keluar dari pulau dan menggunakan perahu menyeberang ke daratan Muara Po-hai. Wanita itu saking girangnya hendak menyusul muridnya dan ingin bertemu dengan bekas kekasihnya untuk minta maaf dan berbaik kembali!

   Setelah tiba di pantai daratan, mereka berpisah. Ketika Cun Giok dan Ceng Ceng sebelum berpisah mengucapkan terima kasih mereka, Ban-tok Kui-bo tersenyum manis sekali. Setelah codetnya tidak tampak lagi, kecantikannya masih menonjol.

   "Aih, akulah yang mengucapkan banyak terima kasih kepadamu, Ceng Ceng. Engkau telah membuat matahari bersinar kembali dalam hidupku. Mulai sekarang, harap kalian berdua menjadi saksi, aku memakai lagi namaku, yaitu Gak Li atau dahulu biasa dipanggil Lili dan aku tidak sudi lagi diberi julukan Ban-tok Kui-bo (Biang Hantu Selaksa Racun)! Karena aku memang ahli dalam pengetahuan tentang racun, aku masih menggunakan julukan Ban-tok (Selaksa Racun) akan tetapi bukan Kui-bo (Biang Hantu) lagi, melainkan Ban-tok Niocu (Nona Selaksa Racun)!"

   "Akan kami kabarkan kepada semua orang, karena engkau memang tidak pantas berjuluk Kui-bo, Ban-tok Niocu!" kata Ceng Ceng yang kini sudah akrab dengan wanita itu sehingga majikan Pulau Ular itu menyebut namanya dan nama Cun Giok begitu saja, sedangkan mereka berdua juga diminta menyebut julukannya yang mulai hari ini berubah dari Kui-bo menjadi Niocu!

   Setelah mereka berpisah dari Ban-tok Niocu, Cun Giok dan Ceng Ceng melakukan perjalanan cepat menuju Hoa-san untuk menyerahkan obat penawar racun yang diterima dari Ban-tok Niocu kepada ketua Hoa-san-pai. Di dalam perjalanan ini, Cun Giok yang merasa semakin kagum dan juga heran terhadap sikap Ceng Ceng, bertanya.

   "Ceng-moi, aku merasa heran sekali. Untuk mendapatkan obat bagi Goat Liang Sianjin, engkau bersusah payah, menandingi Ban-tok Niocu, bahkan lalu mengobati codetnya sampai sembuh. Akan tetapi, mengapa engkau tidak mendendam kepada Ban-tok Niocu yang telah menyuruh muridnya membunuh Im Yang Yok-sian, susiokmu yang tidak berdosa itu? Padahal, paman gurumu itu juga gurumu karena engkau mempelajari ilmu pengobatan darinya."

   Ceng Ceng menghela napas panjang sebelum menjawab.

   "Begini, Giok-ko, balas membalas merupakan mata rantai sebab akibat yang mengikat manusia sebagai karma. Mata rantai itu tidak akan berhenti mengikat diri kita selama kita tidak berani untuk memutuskannya sendiri. Karena itulah aku tidak membalas dendam kematian Susiok Im Yang Yok-sian. Aku tahu bahwa sikapku ini dimengerti dan disetujui oleh mendiang susiok karena pengertian ini pun kudapatkan dari dia."

   "Coba jelaskan, Ceng-moi."

   "Yang menjadi sebab pertama adalah perbuatan Goat-liang Sanjin, yaitu dia membuat wajah Gak Li atau Ban-tok Niocu menjadi cacat. Sebab ini mengakibatkan ia menjadi sakit hati, mendendam dan melalui muridnya ia membalas dendam untuk membunuh Goat-liang Sanjin. Susiok Im Yang Yok-sian terbunuh karena dia dikaitkan dengan karmanya, hendak dimintai tolong menyembuhkan Goat-liang Sanjin yang terluka. Kalau aku sebagai murid keponakan membalaskan kematiannya, andaikata aku membunuh Ban-tok Niocu, berarti aku menambah panjang rantai karma berupa balas membalas itu. Tentu akan ada orang yang akan mencariku dan membalaskan kematiannya. Kemudian, kalau aku terbunuh, mungkin akan ada orang lain yang membalaskan kematianku. Nah, rantai karma itu akan bersambung terus. Sebab menjadi akibat, dan akibat itu pun melahirkan sebab baru. Sebaliknya, kalau aku tidak membalaskan kematian susiok, berhentilah rantai itu dan tidak ada ikatan lagi bagiku. Mengertikah engkau, Giok-ko, mengapa aku tidak berniat membalaskan kematian Susiok? Tugasku adalah mengobati, menjaga kehidupan manusia, bukan membunuh."

   Cun Giok mengangguk kagum.

   "Karena itukah maka engkau tidak membalaskan kematian paman gurumu, akan tetapi bersusah payah mencarikan obat untuk Goat-liang Sanjin yang bukan apa-apamu?"

   "Tentu saja. Susiok Im Yang Yok-sian telah tewas, aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi untuk mengobati atau menyembuhkannya. Akan tetapi Lo-cianpwe Goat-liang Sanjin masih dapat disembuhkan kalau bisa mendapatkan obatnya. Maka aku lalu mencari obatnya yang aku tahu pasti dimiliki Ban-tok Niocu."

   "Dan untuk mendapatkan itu, engkau malah menyembuhkan Ban-tok Niocu yang telah membunuh susiokmu, walaupun meminjam tangan muridnya!"

   "Giok-ko, seandainya Ban-tok Niocu tidak mempunyai urusan dengan kematian susiok atas terlukanya ketua Hoa-san-pai, seandainya aku tidak membutuhkan obat darinya, kalau ia minta tolong kepadaku untuk mengobati codetnya, pasti akan kupenuhi permintaannya."

   Cun Giok merasa kagum bukan main.

   "Ah, Ceng-moi, mendengar ucapanmu itu, aku teringat akan ucapan kakek guruku bahwa dalam kehidupan ini, manusia harus selalu siap melakukan perbuatan yang baik dan selalu menolak keras untuk melakukan perbuatan jahat. Sukong (Kakek Guru) pernah berkata bahwa yang disebut perbuatan baik itu adalah perbuatan yang membahagiakan orang lain, sedangkan perbuatan jahat adalah perbuatan yang merusak kebahagiaan orang lain."

   "Benar, Giok-ko, namun ada sambungannya lagi. Perbuatan yang dianggap baik oleh pelakunya, bukanlah perbuatan baik lagi karena kalau si pelaku menganggap perbuatannya itu baik, pasti tersembunyi pamrih dalam batinnya. Pamrih itu dapat berupa duniawi seperti balas jasa, pujian agar diakui sebagai orang baik dan sebagainya, adapun pamrih rohani yang diharapkan adalah mendapatkan imbalan dari Thian, masuk sorga, dan sebagainya. Justeru pamrih ini yang mengotori setiap perbuatan, karena pamrih ini berarti kesenangan untuk diri pribadi. Orang merampok untuk mendapatkan uang, membunuh karena dendam untuk mendapatkan kepuasan. Sebaliknya kalau menolong dengan pamrih mendapatkan balas jasa, bukankah itu sama saja dengan pamrih perbuatan jahat?"

   "Wah, aku menjadi bingung, Ceng-moi. Bukankah ada pamrih yang baik dan pamrih yang tidak baik?"

   "Semua pamrih itu membuat perbuatannya menjadi palsu, Giok-ko. Segala macam pamrih itu tidak benar kalau ditujukan untuk menyenangkan diri sendiri dan baru benar kalau pamrih itu untuk membahagiakan orang lain."

   "Akan tetapi semua pamrih untuk mendapatkan keuntungan duniawi memang tidak benar, Ceng-moi, sebaliknya kalau pamrih itu untuk mendapatkan berkat Thian dan untuk Sorga, apakah itu tidak benar?"

   "Giok-ko, sudah kukatakan tadi bahwa semua pamrih untuk kesenangan diri sendiri itu tidak benar. Apa bedanya pamrih duniawi dan pamrih sorgawi? Pamrih harta dasarnya menyenangkan diri sendiri, dan pamrih berkat atau sorga itu bukankah dasarnya juga untuk menyenangkan diri sendiri? Ingat bahwa sorga digambarkan sebagai tempat yang amat menyenangkan, bukan? Jadi jelas, yang dikejar itu adaah kesenangan, walaupun kesenangan itu diperhalus dengan sebutan sorga!"

   "Wah, semakin dalam wawasanmu, Ceng-moi! Mendengar pendapatmu tadi, aku mengerti sekarang dan memang apa yang kaukatakan itu benar. Kalau Sorga itu digambarkan sebagai tempat yang tidak menyenangkan sebaliknya Neraka digambarkan sebagai tempat menyenangkan, maka orang yang berpamrih tentu berbuat baik untuk mendapatkan Neraka! Atau kalau Sorga itu tidak ada, maka belum tentu orang yang berpamrih itu mau berbuat kebaikan! Engkau benar sekali, Ceng-moi. Akan tetapi aku menjadi penasaran sekali. Kalau begitu, apa yang mendorongmu mengobati orang dan menolong orang kalau engkau tidak mempunyai pamrih?"

   "Yang mendasari perbuatanku adalah Cinta Kasih, Giok-ko. Cinta Kasih terhadap sesama manusia. Cinta Kasih ini yang menghapus semua kebencian nafsu, cinta kasih ini yang menumbuhkan perasaan tanggung jawab dan kewajiban untuk menolong sesama manusia yang membutuhkan pertolongan. Perbuatan yang didorong cinta kasih merupakan kewajiban dalam penghidupan ini, maka tanpa pamrih. Cinta kasih membuat setiap perbuatan tidak bermaksud untuk kesenangan diri pribadi."

   "Ceng-moi, engkau mempunyai kelebihan, pandai mengobati orang akan tetapi bagaimana dengan aku misalnya yang tidak pandai mengobati orang lain?"

   "Giok-ko, cinta kasih dalam batin merupakan pohon yang akan memberikan bunga dan buah. Bunga dan buahnya itulah yang akan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Bunga dan buah itu adalah segala macam sikap dan perbuatan yang baik kepada siapa saja. Setiap orang memiliki kemampuan masing-masing. Aku dapat menolong orang dengan pengobatan. Engkau dapat menolong dengan kepandaianmu, membela yang tertindas menentang kejahatan, itu pun membahagiakan orang. Yang berharta dapat menolong mereka yang hidupnya melarat dan serba kekurangan. Yang pandai dapat memberi penerangan kepada mereka yang tidak mengerti. Yang kuat dapat menolong mereka yang lemah, dan demikian seterusnya. Setiap orang pasti mempunyai sesuatu untuk membahagiakan orang lain dan semua perbuatan itu merupakan buah dari cinta kasih yang tumbuh subur dalam hati-sanubari."

   "Kalau ada orang yang tidak memiliki harta karena dia sendiri miskin, tidak mempunyai tenaga karena dia sendiri lemah, tidak memiliki kepandaian karena dia sendiri bodoh, lalu orang seperti dia itu dapat melakukan perbuatan baik apakah? Biarpun andaikata ada pohon cinta kasih dalam hatinya, buah apakah yang dihasilkan pohon itu kalau dia tidak memiliki apa-apa untuk dibagikan kepada orang lain?"

   "Engkau agaknya lupa, Giok-ko, bahwa setiap orang, biarpun serba tidak mampu seperti yang kausebutkan tadi, masih dapat melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang lain, yaitu sikap yang ramah dan manis budi! Senyum ramah, pandang mata yang tulus, ucapan yang lemah lembut, bukankah sikap ini dapat menyenangkan dan membahagiakan hati siapa saja? Jangan dikira bahwa sikap ini tidak ada harganya! Bahkan jauh lebih berharga daripada harta dan pertolongan apapun juga. Bayangkan, Twako, andaikata ada orang memberimu harta benda yang amat besar akan tetapi dia memberimu dengan sikap yang memandang rendah, menghina atau marah atau andaikata ada yang menolongmu dengan apa saja namun sikapnya menghina seperti itu, bagaimana tanggapanmu?"

   "Hemm, aku tidak sudi menerima pertolongannya!" jawab Cun Giok seketika.

   "Nah, berarti bahwa sikap yang manis budi itu amat berharga, Twako. Jadi, bagi siapa saja, kaya atau miskin, pintar atau bodoh, kuat atau lemah, dapat saja memberikan sesuatu yang amat berharga dan dapat membahagiakan orang lain, yaitu sikap yang manis budi, ramah dan sopan."

   Cun Giok mengangguk-angguk kagum.

   "Benar juga semua pendapatmu tadi. Bahkan sikap baik sekalipun, kalau berpamrih, tentu bukan kebaikan lagi melainkan penjilatan agar mendapatkan sesuatu untuk kesenangan diri sendiri."

   "Benar sekali, Giok-ko. Kalau ada cinta kasih dalam hati, maka semua perbuatan kita terhadap sesama kita tentu baik dan benar. Cinta kasih mendatangkan belas kasih dan menyadarkan kita bahwa apa yang kita lakukan itu merupakan kewajiban hidup. Bukan kita yang memiliki harta benda, kepandaian, kekuatan dan segala kelebihan lain. Semua itu milik Thian (Tuhan) yang diberikan kepada kita sebagai berkatNya. Maka, seyogianya kita bersyukur kepada Thian atas berkatNya dan rasa syukur itu kita buktikan dengan menyalurkan berkat itu kepada mereka yang membutuhkan: Berbahagialah orang yang dipilih oleh Tuhan untuk menyalurkan berkatNya."

   Cun Giok tercengang mendengarkan semua ucapan penuh kebijaksanaan yang bukan sekadar merupakan pelajaran itu. Bagaimana seorang gadis muda belia seperti Ceng Ceng memiliki pengertian mendalam seperti itu? Hatinya dipenuhi perasaan kagum dan dia semakin tertarik kepada kepribadian Ceng Ceng, bukan hanya tertarik oleh wajahnya yang cantik jelita dan bentuk tubuhnya yang indah, karena keindahan lahiriah itu hanya mengusik rasa cinta nafsu. Akan tetapi dia tergetar oleh kebijaksanaan yang keluar melalui mulut gadis itu. Dia merasa benar betapa amat mudahnya untuk jatuh cinta kepada Ceng Ceng!

   Dia teringat kepada mendiang Liu Siang Ni, adik misannya yang bernasib malang itu. Dia mencinta Lu Siang Ni sebagai adik. Kemudian dia bertemu dengan Cu Ai Yin dan dia pun kagum dan suka kepada puteri Datuk Besar Cu Liong majikan Bukit Merak itu. Akan tetapi, belum pernah hatinya tertarik seperti ketika dia bertemu Ceng Ceng!

   Namun, Cun Giok tidak dapat melupakan kenyataan bahwa dia telah bertunangan dengan Siok Eng. Teringat akan Siok Eng, dia menghela napas panjang. Dia telah terikat perjodohan dengan Siok Eng, sungguhpun ikatan itu atas kemauan mendiang gurunya, dia tidak boleh mengingkari dan harus tetap setia. Biarpun dia jatuh cinta kepada Ceng Ceng, hal itu harus dia rahasiakan dan dia tidak ingin melanggar tali perjodohan yang telah diikatkan kepadanya. Kembali dia menghela napas ketika tangannya meraba saku baju dan merasakan adanya tusuk konde perak sebagai tanda ikatan perjodohan dari Siok Eng!

   "Giok-ko? Mengapa engkau tiba-tiba melamun dan beberapa kali menghela napas panjang?" tanya Ceng Ceng sambil tersenyum.

   Cun Giok yang berjalan di sisinya sadar dari lamunannya. Dia menjadi salah tingkah dan gugup karena tiba-tiba saja dia mendapat teguran dan pertanyaan itu.

   "Ah, aku....... eh, apa yang kaukatakan tadi memang benar, Ceng-moi. Akan tetapi bagaimana mengetrapkannya dalam kehidupan ini? Bagaimana caranya agar cinta kasih dapat bersemayam dalam hati sanubari kita?"

   "Memang tidak mungkin kalau kita mengusahakannya sendiri, Twako. Kita dipenuhi pengaruh nafsu daya rendah yang melahirkan dan memelihara si-aku yang selalu mengejar kesenangan. Kalau si-aku disenangkan, timbul cinta, kalau disusahkan, timbul benci. Si-aku tidak mungkin dapat mengadakan cinta kasih yang sejati, bukan cinta nafsu. Hanya Thian yang dapat memberi karunia sehingga cinta kasih dapat bersemayam di hati. Karena itu, satu-satunya jalan hanyalah apabila kita saling mendekatkan diri seutuhnya kepadaNya. Kita ini manusia biasa, Giok-ko, lemah dan tidak berdaya, selalu menjadi permainan nafsu daya rendah. Akan tetapi kalau kita selalu mendekatkan diri dan berserah diri kepada Thian, maka dia akan memberi bimbingan kepada kita untuk dapat menguasai nafsu-nafsu kita sendiri."

   Mereka berdua tiba di Hoa-san. Segera mereka dihadapkan pada Goat-liang Sanjin yang biarpun dalam keadaan sadar, namun keadaan tubuhnya lemah sekali. Ceng Ceng memeriksanya, kemudian memberi minum obat pemberian Ban-tok Niocu. Dengan tekun dan penuh perhatian Ceng Ceng merawat dan mengobati ketua Hoa-san-pai itu dan tiga hari kemudian, kakek itu telah sembuh!

   Tentu saja para pimpinan Hoa-san-pai merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Ceng Ceng. Juga Goat-liang Sanjin sendiri mengucapkan terima kasihnya kepada Cun Giok.

   Pada keesokan harinya setelah Goat-liang Sanjin sembuh, Ceng Ceng dan Cun Giok lalu berpamit meninggalkan Hoa-san-pai. Setelah tiba di kaki gunung, Ceng Ceng berkata.

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 4 Naga Beracun Eps 28 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 3

Cari Blog Ini