Naga Sakti Sungai Kuning 24
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo Bagian 24
Di samping ambisinya yang besar sehingga dia seringkali memimpin pasukannya sendiri untuk memperluas kekuasaan dan wilayahnya, dan melanjutkan penggalian terusan, juga Kaisar Yang Ti terkenal sebagai seorang kaisar yang mata keranjang. Selir dan dayangnya tak terhitung banyaknya. Dan dia begitu mata keranjang sehingga dia memaksa dua orang selir ayahnya, ketika ayahnya masih hidup, untuk menjadi kekasihnya. Bahkan setelah ayahnya meninggal dunia, dia menarik dua orang selirnya yang masih muda itu menjadi selirnya sendiri. Hal ini tentu saja membuat beberapa orang menteri yang setia mengerutkan alisnya. Bagaimanapun juga, selir-selir itu adalah isteri mendiang ayahnya, jadi termasuk ibu tirinya! Menurut catatan yang kemudian ditinggalkan dan diketahui umum setelah Kerajaan Sui jatuh, Kaisar Yang Ti termasuk mempunyai permaisuri, dua orang wakil permaisuri, enam selir utama dan tujuh puluh dua selir muda. Di samping itu masih ada tiga ribu orang perawan-perawan istana yang menjadi dayang dan juga setiap orang dari para gadis ini dapat saja setiap waktu diharuskan melayani kaisar yang tidak pernah merasa puas itu!
Semua pembesar tinggi di istana tahu belaka bahwa Kaisar Yang Ti merupakan seorang laki-laki yang menjadi hamba nafsu berahinya dan selalu dia memenuhi dorongan nafsunya dengan cara yang menyolok dan kadang tidak tahu malu. Ketika dia mengadakan pembukaan dan pelayaran pertama merayakan selesainya penggalian terusan yang menghubungkan Sungai Huang-ho dan Yang-ce, atau menghubungkan daerah utara dan selatan, dia menggunakan perahu di terusan yang lebarnya sekitar tiga puluh kaki itu. Perahunya besar dan mewah, dan dia memerintahkan beberapa ratus orang perawan istana atau dayang-dayang muda yang cantik manis untuk menarik perahunya hilir mudik di tepi terusan itu. Ratusan orang gadis remaja yang cantik itu sambil bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa, menarik tali yang dihias kembang-kembang, diiringi suling dan yang-kim. Dari perahunya, Kaisar Yang Ti menikmati penglihatan yang amat indah menggairahkan itu. Pakaian para dayang yang beraneka warna, dari sutera yang halus, membayangkan bentuk-bentuk tubuh para gadis remaja yang bagaikan kembang sedang mulai mekar. Bayangan para dayang itu terpantul di dalam air dalam keadaan terbalik. Mendengarkan suara mereka bernyanyi dan tertawa merdu, melihat gerakan tubuh mereka yang lemah gemulai, goyangan pinggang dan pinggul, cukup mendorong gairah dalam hati kaisar itu dan nafsu berahinya berkobar. Untuk melayani hasratnya, di perahu yang besar itu telah siap para selirnya sehingga Sang Kaisar, di balik tirai perahu, dapat melampiaskan nafsunya sepuas hati sambil mendengarkan nyanyian dan tertawaan para dayang remaja.
Apalagi kalau sedang di dalam istana, bahkan di waktu melakukan perjalanan daratpun, Sang Kaisar yang menjadi budak nafsu-nafsunya itu tidak pernah lupa mengajak beberapa orang selir terkasih. Keretanya sengaja dibangun secara istimewa, besar dan panjang, bukan hanya cukup untuk dia duduk dilayani lima enam orang selir, bahkan tempat duduk itu dapat pula dijadikan tempat tidur! Tirai kereta itu dihiasi permata mutu manikam dan keleningan kecil-kecil yang mengeluarkan bunyi musik, suara ini dapat menyembunyikan suara-suara lain yang keluar dari kerongkongan sang Kaisar dan para selirnya.
Dalam keroyalannya yang luar biasa, yang jauh melampaui kemewahan para kaisar dahulu, Kaisar Yang Ti mengutus seorang ahli bangunan terbesar di aman itu, yaitu Siang Seng, untuk membangun sebuah istana yang amat indah di Lok-yang. Bangunan istana yang luar biasa besarnya dan megahnya dan dikerjakan siang malam selama satu setengah tahun oleh tidak kurang dari lima puluh ribu orang tukang yang pandai! Sungguh merupakan suatu pekerjaan berat juga suatu kemewahan dan keroyalan yang luar biasa. Istana induk yang amat megah dan mewah itu dikelilingi tiga puluh enam istana yang lebih kecil, dibangun di antara hutan bunga beraneka ragam dan warna!
Istana induk menjulang tinggi, berkilauan ditimpa sinar matahari, seperti sebuah menara raksasa dari emas. Di beranda yang mengelilingi setiap loteng setiap hari kalau kaisar berada di situ ratusan orang gadis dayang bermain musik, menari dan bernyanyi sambil berbisik-bisik, bersendau gurau dan hujan senyum manis dan kerling memikat, dan pakaian mereka yang tipis hampir tembus pandang itu membayangkan tubuh mereka yang mulai matang.
Kamar Sang Kaisar sendiri memang dibangun sebagai tempat untuk pelesir untuk bersenang-senang mengumbar nafsu bersama para selir dan dayang. Ruangan kamar itu amat luas, terlalu luas untuk sebuah kamar tidur, sebuah ruagan yang dapat menampung seratus meja. Tempat ini merupakan harem Sang Kaisar, di mana para selir yang terpilih untuk menghiburnya hari itu, sedikitnya tiga puluh orang, dengan pakaian minim hampir telanjang, berkeliaran, bermain-main, bersendau-gurau atau hanya rebahan di atas lantai yang ditilami kasur dengan bulu-bulu harimau dan permadani dari barat. Ruangan itu penuh dengan cermin yang dipasang di sekelilingnya, pada dinding. Dari lubang-lubang di dinding mengepul lembut asap dupa harum dari bermacam bunga, sehingga mereka yang berada di dalam ruangan itu merasa seolah-olah mereka berada di dalam sebuah taman yang penuh bunga mekar. Lampu-lampu gantung beraneka warna, dengan lilin di dalamnya, menambah semarak dan romantis ruangan itu.
Begitu Sang Kaisar memasuki ruangan itu, delapan orang pengawal thaikam (orang kebiri) menyambutnya sambil berlutut dan mereka dengan hormat membantunya menanggalkan pakaian kebesaran, menggantikannya dengan pakaian yang longgar dari sutera dan kulit harimau. Para thaikam itu lalu keluar dan berjaga di luar ruangan. Kaisar sendiri disambut oleh salam halus "Ban-swe" (Panjang Usia) oleh mulut para wanita muda yang cantik itu. Tangan-tangan kecil lembut dan halus putih mulus segera menyuguhkan anggur gin-seng, buah-buahan, manisan atau daging panggang, apa saja yang dikehendaki Sang Kaisar sudah tersedia di tempat itu.
Bahkan di dalam sejarah, kaisar terkenal pula sebagai seorang yang menyuruh para ahli di jaman itu menciptakan segala macam alat untuk memuaskan nafsunya yang tak kunjung padam, segala macam perabot atau alat yang ditujuk untuk mendatangkan kesenangan yang lebih. Barulah Sang Kaisar ini agak menjadi jinak dan tidak seliar sebelumnya setelah ia mendapatkan seorang selir baru Han Cun Ji. Selir inilah yang dapat merebut hatinya, dan semenjak ada selir ini, Kaisar Yang Ti tidak begitu haus lagi, seolah-olah segala rasa lapar dan hausnya telah terpuaskan oleh Sang Selir yang terkasih ini.
Dan timbul kembali nafsunya untuk bertualang, untuk menundukkan daerah-daerah yang belum dikuasainya. Dalam hal ini pun dia kadang-kadang melampaui batas kekuatan pasukannya. Ketika dia memimpin pasukannya dan mati-matian berusaha untuk menundukkan daerah Shansi Utara, pasukannya terpecah belan oleh siasat pihak musuh dan hanya dengan pasukan pengawal yang tidak begitu besar jumlahnya, Kaisar Yang Ti terkepung oleh suku bangsa Turki. Nyaris keselamatan kaisar itu terancam hebat kalau saja pada saat itu tidak muncul seorang perwira yang bersama pasukannya dengan gagah berani menerjang dan membobolkan kepungan, berhasil menyelamatkan Kaisar Yang Ti dari ancaman maut. Perwira yang gagah perkasa ini adalah Li Si Bin, yang kelak merupakan seorang tokoh yang amat penting dalam sejarah karena perwira ini pula yang kelak menjatuhkan Kerajaan Sui dan bahkan kelak dia akan menjadi seorang kaisar yang terkenal di dalam jaman dinasti berikutnya yaitu dinasti Tang (618-907)!
Demikianlah sedikit tentang keadaan kaisar yang berkuasa di jaman cerita ini terjadi. Ketika itu, istana megah dan mewah di Lok yang sedang dibangun dan hampir selesai karena pembangunan sudah berlangsung setahun.
Pada suatu pagi, dua orang muda memasuki kota Lok-yang. Mereka bukan lain adalah Han Beng dan Giok Cu. Mereka telah meninggalkan Kim-hong-san setelah tinggal di rumah Liu Bhok Ki dan murid barunya, Kwa Bi Lan selama belasan hari lamanya. Ketika mereka berpamit untuk pergi mengunjungi Ban-tok Mo-li di Ceng-touw, Liu Bhok Ki menyetujuinya. Pendekar tua ini ingin agar muridnya, Han Beng, segera menyelesaikan tugas yang dijanjikan kepada Giok Cu, lalu pulang dan memberikan! jawaban pasti tentang usul ikatan perjodohan dengan Bi Lan. Dan pandangan mata yang berpengalaman dari Liu Bhok Ki melihat betapa ada perubahan sikap dalam diri gadis yang menjadi muridnya! itu setelah Han Beng dan Giok Cu pergi.! Muridnya itu, yang tadinya biarpun pendiam selalu bergembira, kini setelah Han Beng pergi, gadis itu nampak seringkah termenung, bahkan murung! Hal ini bagi Liu Bhok Ki merupakan suatu pertanda baik!
Beberapa kali, secara halus dia memancing pendapat Bi Lan tentang Han Beng.
"Bagaimana pendapatmu tentang Si Han Beng, Suhengmu itu, Bi Lan?" tanyanya sambil lalu ketika mereka membicarakan dua orang muda yang baru saja meninggalkan tempat itu.
"Suheng Si Han Beng? Ah, dia seorang yang baik sekali, gagah perkasa dan ramah. Teecu mendapatkan petunjuk berharga ketika melatih Hui-tiauw Sin-kun di bagian yang paling sulit, Suhu."
Liu Bhok Ki mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Memang, dia kini telah menjadi seorang pendekar yang gagah perkasa. Naga Sakti Sungai Kuning! Ha-ha, sungguh aku bangga mempunyai murid seperti dia. Kau tahu, sekarang kepandaiannya jauh melampaui tingkatku, dia dua kali lebih lihai daripada aku, ha-ha-ha "
Bi Lan semakin kagum.
"Sungguh hebat. Teecu juga bangga mempunyai Suheng seperti dia, Suhu."
Liu Bhok Ki tidak mendesak terus atau memancing terus. Pertemuan antara dua orang muridnya itu baru satu kali terjadi, dan tidak enak kalau bertanya tentang perasaan hati gadis pendiam itu tentang Han Beng. Biarlah, dia akan menanti dengan sabar. Dia hampir yakin bahwa Bi Lan pasti menerima dengan hati terbuka kalau dijodohkan dengan Han Beng. Yang mengkhawatirkannya adalah kalau Han Beng yang menolak mengingat betapa akrabnya hubungan muridnya itu dengan Giok Cu.
Kita kembali kepada Han Beng dan Giok Cu. Mereka tiba di Lok-yang karena mereka tertarik mendengar bahwa di kota itu dibangun sebuah istana yang amat megah dan mewah, amat indah sehingga berita tentang pembangunan itu terdengar sampai jauh, menjadi bahan pergunjingan orang. Ada yang mengagumi ada pula yang mencela karena kaisar terlalu royal. Berita-berita yang mereka dengar di sepanjang perjalanan itu menarik perhatian mereka, terutama sekali Giok Cu.
"Kaisar macam apa yang kita miliki sekarang?" Gadis itu mengepal tinju.
"Rakyat diperas dan dipaksa untuk bekerja sampai mati menggali terusan. Suhu Hek Bin Hwesio pernah menjelaskan kepadaku bahwa bagaimanapun juga, niat menggali terusan itu masih dapat dibenarkan karena kalau hal itu sudah dilaksanakan, maka rakyat pula yang akan banyak menerima keuntungan. Terusan itu dapat dimanfaatkan oleh rakyat, bukan saja untuk mengairi sawah ladang di daerah yang dilalui terusan, akan tetapi juga m ereka dapat mengangkut hasil ladang ke kota lain dengan lebih mudah dan murah. Biarlah, walau pelaksanaannya mengorbankan banyak rakyat, terusan itu kelak akan berguna pula bagi rakyat. Akan tetapi istana yang besar dan indah? Apa gunanya untuk rakyat? Hanya untuk kesenangan kaisar dan keluarganya saja! Dan pembangunan itu menggunakan uang negara yang besar! Sungguh membikin hatiku penasaran dan aku harus melihat pembangunan itu dengan mata sendiri."
Han Beng dapat mengerti akan kemarahan di hati Giok Cu. Dia sendiri, kalau tidak digembleng oleh Pek I Tojin tentang kehidupan dan isinya, pasti akan merasa penasaran pula. Akibat pembangunan dan penggalian Terusan Besar gadis itu kehilangan ayah ibunya, seperti juga dia. Gadis itu masih bersabar dan menerima nasib. Nasihat Hek Bin Hwesio agaknya menyadarkannya bahwa kematian ayah ibunya sebagai akibat penggalian terusan itu dapat dianggap, sebagai pengorbanan karena kelak terusan itu akan dinikmati pula oleh rakyat banyak. Akan tetapi pembangunan istana yang megah dan mewah? Memang membuat orang merasa penasaran, setidaknya orang-orang yang masih menghargai keadilan di dunia ini. Betapa banyaknya rakyat jelata yang hidup di bawah garis kemiskinan, untuk makan esok hari pun masih belum ada ketentuan. Dan kaisar mereka membangun istana untuk pelesir. Padahal, biaya untuk membangun istana itu kalau dibagikan rakyat yang kelaparan, akan menolong puluhan ribu, bahkan mungkin ratusan ribu nyawa orang!
Pagi itu, Han Beng dan Giok Cu memasuki kota Lok-yang.
"Giok Cu, akui pesan kepadamu dengan sungguh, agar engkau suka menahan kesabaran hatimu. Jangan menurutkan hati yang panas kalau melihat bangunan istana itu. Ingat kalau engkau menimbulkan keributan, hal itu sama sekali tidak akan menolong rakyat, tidak akan menghentikan pembangunan itu. Sebaliknya, engkau hanya akan menimbulkan kekacauan yang membahayakan kita sendiri."
"Aku tidak takut!" jawab gadis itu lantang.
Han Beng tersenyum. Giok Cu sungguh merupakan seorang gadis yang tabah dan pemberani, terlalu pemberani malah. Teringatlah dia akan anak perempuan yang menjadi sahabatnya dahulu. Sejak kecil Giok Cu memang nakal, manja, lincah Jenaka dan pemberani. Betapa seorang anak perempuan berani melawan seekor ular anak naga! Untuk membantu dia yang telah digigit ular itu, Giok Cu juga menggigit ular dengan keberanian luar biasa! Dan kini, setelah menjadi seorang gadis yang dewasa, cantik jelita, dan memiliki ilmu silat tinggi, tentu saja keberaniannya semakin hebat!
"Aku percaya bahwa engkau tidak takut, Giok Cu. Aku pun tidak menghadapi ancaman bahaya. Akan tetapi untuk apa kita membiarkan diri dalambahaya kalau bukan untuk suatu tujuan yang memang perlu sekali kita lakukan. Dalam hal pembangunan istana ini kita tidak mempunyai kepentingan apa pun dan tidak akan dapat mencampuri sama sekali. Dan kita masih menghadapi tugas yang lebih penting, yaitu mencari Ban-tok Mo-li, maka tidak perlu terjun ke dalam bahaya untuk yang tidak ada sangkut pautnya dengan kita."
Biarpun ia berwatak keras dan berani namun Giok Cu setelah menjadi murid Hek Bin Hwesio, sudah dibiasakan menggunakan pikiran sehat. Ia dapat memahami ucapan Han Beng tadi dia pun mengangguk.
"Baiklah, Han Beng. Aku pun hanya ingin melihat seperti apa bangunan istana yang menjadi bahan percakapan semua orang itu. Setelah melihat kita akan melanjutkan perjalanan ke Ceng-touw."
Tentu saja Han Beng menjadi girang sekali. Makin lama dia merasa semakin kagum dan suka kepada gadis yang dulu menjadi sahabat baiknya di waktu kecil ini. Seorang gadis yang lincah Jenaka dan pandai bicara, akan tetapi juga bijaksana dan mau menerima pendapat orang lain! Biasanya, gadis yang lincah dan pandai seperti ini suka berwatak tinggi hati dan merasa pintar sendiri sehingga nampak kebodohannya. Akan tetapi Giok Cu tidak. Ia dapat menerima pendapat orang lain dan menyetujuinya kalau dianggapnya pendapat itu patut dituruti karena memang tepat dan benar.
"Kalau begitu, kita tidak perlu bermalam di sini, bukan? Hari ini masih pagi, kita dapat melihat-lihat sehari ini dan siang nanti kita melanjutkan perjalanan menuju ke Ceng-touw. Bagaimana pendapatmu?" kata Han Beng.
Giok Cu mengangguk.
"Kalau tidak terjadi sesuatu dan kalau tidak ada sesuatu yang menarik, memang tidak perlu kita bermalam di sini. Mari kita melihat bangunan istana itu!"
Dan keduanya tak lama kemudian sudah terpukau memandang bangunan istana itu dari luar pagar, dari tempat yang agak jauh karena selain para pekerja, mereka atau orang luar tidak diperkenankan memasuki pagar. Dari jauh pun sudah nampak bangunan yang hebat itu Istana induknya sudah jadi dan menjulang tinggi di atas pohon-pohon, sudah nampak megah walaupun belum dicat. Para pekerja yang seperti semut banyaknya, sepagi itu sudah bekerja, karena memang siang malam pembangunan itu dikerjakan tiada hentinya. Mereka kini sudah mulai dengan bangunan-bangunan lebih kecil yang mengelilingi bangunan induk, sudah jadi lebih dan dua puluh buah.
"Bukan main............!" kata Han Beng tertegun karena selama hidupnya belum pernah dia melihat bangunan sehebat itu.
"Alangkah besar dan luasnya!"
"Hemmm, entah berapa banyak emas dan perak dikeluarkan untuk membiayai bangunan itu. Akan tetapi lihat, Han Beng, para pekerja itu bekerja dengan giat dan gembira. Jelas bahwa mereka bukanlah pekerja-pekerja paksa, bahkan mungkin mereka mendapatkan perlakuan baik dan gaji yang cukup besar," kata Giok Cu.
Ternyata bukan hanya mereka saja yang berada di luar pagar dan melihat pembangunan istana itu. Ada pula belasan orang lain dan di antara mereka terdapat empat orang pemuda yang usianya antara dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Mereka itu berpakaian seperti para pemuda kota, dengan lagak yang tinggi hati dan nakal. Sudah lajim bahwa lebih mudah bagi syaitan atau nafsu untuk menggoda hati orang apabila orang itu berkumpul dengan orang-orang lain yang sepaham. Seorang pemuda mungkin tidak akan begitu berani berlagak atau berbuat sesuatu yang tidak layak, tidak begitu nampak kenakalannya. Akan tetapi kalau pemuda itu berkumpul dengan pemuda-pemuda lain yang menjadi kawannya, maka dia pun akan menjadi berbeda daripada kalau dia seorang diri saja. Kalau dia seorang diri, walaupun nafsu mendorong dan membujuknya untuk melakukan hal-hal yang tidak patut, masih ada rasa takut, rasa malu dan sebagainya yang menghalangi dia melakukan tindakan yang didorong nafsu dan setan. Akan tetapi, kalau sudah berkelompok, maka rasa takut, malu atau yang lain itu pun menipis atau bahkan lenyap sama sekali! Menghadapi segerombolan orang muda, setan menjadi lebih leluasa menggoda hati.
Demikian pula dengan empat orang pemuda itu. Tadinya, mereka bersikap biasa,melihat pembangunan istana, mengagumi keindahan bentuk istana yang megah itu seperti para penonton lainnya. Akan tetapi begitu muncul seorang gadis cantik seperti Giok Cu, sikap mereka berubah sama sekali. Kini mereka tidak lagi nonton bangunan, melainkan nonton gadis cantik dan mulailah mereka menyeringai, tersenyum atau tertawa, saling berbisik sambil melirik ke arah Giok Cu. Godaan nafsu atau godaan setan memang seperti berkobarnya api, dari sedikit lalu makin lama makin membesar kalau tidak segera dipadamkan. Kalau tadinya mereka itu menyeringai dan berbisik-bisik, akhirnya bisikan mereka menjadi semakin keras sehingga terdengar orang lain, dan suara ketawa mereka pun makin keras.
"Yang laki-laki memang banyak harapan diterima bekerja. Lihat bentuk badannya tinggi besar seperti kuli kasar. Tentu dia diterima sebagai kuli angkat-angkat batu dan kayu!" kata seorang di antara mereka sambil melirik ke arah Han Beng dan Giok Cu.
"Memang, potongan badannya seperti kuli kasar. Dia dibutuhkan untuk pembangunan ini. Akan tetapi perempuan itu, mana mungkin diterima walaupun ia ........... hemmm, cantik dan manis seperti malu?" orang ke dua berkata sambil terkekeh. Teman-temannya juga tertawa.
"Kenapa tidak? Di manapun kalau perempuan, apalagi yang jelita seperti ia, pasti diterima dengan tangan terbuka ..............."
"............. dan pakaian terbuka ........." Ha-ha-ha!" Mereka tertawa-tawa kembali.Han Beng dan Giok Cu mendengar percakapan itu, akan tetapi karena percakapan itu tidak jelas menyinggung mereka maka keduanya pun diam saja, walaupun sepasang alis Giok Cu sudah berkerut karena ialah satu-satunya wanita situ, maka siapa lagi yang dibicarakan kalau bukan dirinya? Akan tetapi masih ingat akan pesan Han Beng tadi, maka ia pun pura-pura tidak mendengar saja.
"Akan tetapi seorang gadis, disuruh bekerja apa?"
"Bekerja apa? Biar ia duduk atau berdiri saja di tempat pekerjaan, tanggung para pekerja semakin bersemangat dalam pekerjaan dan lupa untuk pulang, ha-ha-ha!"
"Dan malamnya tentu akan dijadi rebutan oleh para mandornya!"
"Ihhh, sayang sekali kalau hanya mendapatkan mandor. Lebih baik mendapatkan aku, setidaknya Ayahku mempunyai toko yang cukup besar!"
"Menjadi milikku lebih tepat! Ayahku pegawai pemerintah!"
Ramailah empat orang itu berebutan, merasa bahwa masing-masing lebih pantas memiliki wanita itu.
"Sudahlah, siapa tahu ia menginginkan menjadi seorang di antara dayang Kaisar? Kabarnya tempat ini kelak akan penuh dengan dayang dan selir Kaisar."
"Ssssst, lihat. Ia membawa pedang! jangan-jangan ia seorang wanita kang-ouw!"
"Ah, mana mungkin? Lihat, kulitnya begitu mulus, halus dan pinggangnya ramping. Ia wanita seratus prosen, lemah gemulai. Pedang itu tentu hanya untuk menakut-nakuti saja, ha-ha-ha!"
"Bunga yang indah biasanya tidak harum baunya!"
"Siapa bilang! Bunga mawar itu indah dan harum. Coba kudekati, baunya harum atau tidak!"
Wajah Giok Cu semakin merah dan ia tentu akan mengajak Han Beng pergi dari situ karena takut kalau tidak tahan lagi, akan tetapi pada saat itu, pemuda bermuka bopeng karena penyakit cacar yang bicara paling akhir tadi sudah melangkah dan mendekatinya, mendekatkan muka dan hidungnya kembang kempis mencium-cium. Jarak antara muka itu dengan pundaknya hanya dua jengkal saja. Begitu beraninya pemuda itu!
"Aduh, harum ........., harum ..........!" pemuda itu berseru dan tiga orang kawannya tertawa dan memuji "keberanian" kawam mereka yang muka bopeng dan agaknya menjadi pemimpin mereka itu.
"Wuuuttt .............. plakkk! Aduuuuuh.............!"
Tubuh pemuda muka bopeng itu terpelanting dan mulutnya bocor mengucurkah darah karena empat buah giginya copot ketika tangan Giok Cu menamparnya tadi. Gadis itu tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Masih untung bagi pemuda itu bahwa Giok Cu tidak menggunakan tenaga sakti. Kalau ia mempergunakan tenaga saktinya, bisa remuk tulang rahang pemuda itu, atau kalau ia menggunakan tenaga beracun, pemudi muka bopeng itu tentu tewas seketika! Kini, hanya giginya empat buah copol dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Dia melompat bangun dan menjadi marah bukan main.
"Perempuan rendah, berani engkau memukulku?" bentaknya dan dia pun menyerang dengan tubrukan seperti seekor biruang menubruk domba, dan tiga orang kawannya juga berebut maju untuk menangkap gadis yang sejak tadi telah membuat mereka tergila-gila. Mereka berempat masih lebih terpengaruh keinginan untuk merangkul gadis itu daripada untuk memukul.
Giok Cu menggerakkan kaki tangannya. Terdengar empat orang pemuda itu mengaduh. Pertama adalah Si Muka Bopeng yang menyerang lebih dulu, menerima tendangan pada perutnya.
"Ngekkk! Aughhhhh ...............!" Dia muntah-muntah dan memegangi perutnya, tidak
dapat bangkit kembali, hanya berjongkok sambil muntah dan mengaduh karena perutnya seketika mulas. Agaknya usus buntunya kena tertendang ujung sepatu Giok Cu, nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk jarum rasa perutnya.
Orang ke dua dari kiri disambut sambaran tangan kiri yang mengenai dadanya.
"Plakkk! Hukkk............!" Pemuda itu pun terpelanting, dan tidak mampu bangkit, hanya duduk terbatuk-batuk seperti mendadak sakit asmanya kambuh terengah-engah terasa sesak dan nyeri dalam dada.
Orang ke tiga dari kanan juga disambar tangan kanan mengenai lehernya dan dia pun terpelanting, lalu bergulingan dengan leher bengkok karena lehernya terasa nyeri seperti patah tulangnya. Bahkan suaranya mengaduh tidak jelas lagi!
Orang ke empat disambut tendangan pula sehingga terjengkang dan karen kepalanya dengan kerasnya membentur tanah, maka dia pun pingsan seketika mungkin gegar otak!
Gegerlah para penonton di situ. Da pada saat itu, terdengar bunyi roda kereta dan derap kaki kuda. Sebuah kereta berhenti di situ, dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Semua orang minggir dan seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang sikapnya agung dan berwibawa, turun dari kereta. Dia melihat kearah empat pemuda yang masih belum dapat bangkit bahkan seorang masih pingsan dan yang tiga lagi mengaduh-aduh, memijat perut, ada yang mengurut-urut dada, ada yang lehernya bengkok. Kemudian dia memandang kepada gadis cantik jelita yang, berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, muka merah karena marah.
"Apa yang terjadi disini?" Pria berpakaian pembesar itu bertanya dan dia pun maju menghampiri tempat keributan itu. Giok Cu yang sudah marah, membalik dan menghadapi laki-laki itu. Disangkanya laki-laki itu tentu hendak membela empat orang pemuda itu maka ia pun berkata dengan nada menantang, Siapa saja yang menibela empat ekor tikus busuk ini akan kuhajar!"
Akan tetapi pembesar itu sama sekali tidak nampak takut, melainkan menentang pandangan mata Giok Cu dengan tajam penuh selidik.
"Siapa yang membela siapa, Nona? Kami hanya bertanya apa yang telah terjadi disini? Mengapa terjadi perkelahian di sini?"
Sebelum gadis itu menjawab dengan ketus, tiba-tiba Han Beng berseru girang "Liu Tai-jin! Aih, Giok Cu, apakah engkau tidak mengenalnya? Dia adalah Liu Tai-jin, utusan dari kota raja yang kita jumpai di kota Siong-an itu!"
Giok Cu segera teringat dan ia pun seperti Han Beng memberi hormat.
"Liu Tai-jin, maafkan saya," katanya. Tentu saja ia teringat. Pernah bersama Can Hong San ia bahkan menghadang pembesar ini yang disangkanya jahat dan korup.
Pembesar itu memang Liu Tai-jin, pembesar kepercayaan kaisar dari kota raja yang suka diutus menjadi peneliti dan pemeriksa para petugas dan memberi hukuman kepada mereka yang korup dan nyeleweng. Dia pun segera ingat kepada Han Beng.
"Ah, kiranya Huang-ho Sin-liong yang berada di sini!" serunya dan dia pun cepat membalas penghormatan mereka.
"Dan Nona ini adalah Li-hiap (Pendekar Wanita) yang gagah perkasa itu!"
Seorang di antara pemuda yang tadi pingsan, kini sudah siuman dan mereka berempat menjadi pucat dan mendekam dengan tubuh menggigil ketika mendengar ucapan pembesar itu bahwa pemuda dan gadis yang mereka ganggu tadi adalah dua orang pendekar yang gagah perkasa! Bahkan pemuda itu adalah Naga Sakti Sungai Kuning yang namanya menggetarkan seluruh lembah Sungai Huang-ho! Mereka ingin melarikan diri, akan tetapi kedua kaki mereka tidak dapat digerakkan karena menggigil. Bahkan dua orang di antara mereka, saking takutnya, tak dapat menahan lagi bocor di tempat sehingga celana mereka basah kuyup!
"Tai-hiap, Li-hiap, apa yang terjadi di sini?" pembesar itu bertanya sambil memandang kepada empat orang pemuda itu.
"Maafkan saya, Liu Tai-jin," kata Giok Cu.
"Mereka itu bersikap kurang ajar karena saya seorang wanita, mulut mereka kotor sekali dan sikap mereka tidak sopan sehingga terpaksa saya menghajar mereka!"
Pejabat tinggi itu dengan mata mecorong dan alis berkerut memandar kepada empat orang pemuda itu. Melihat keadaan mereka, dia pun tersenyum.
"Li-hiap, kami kira hajaran itu suda cukup bagi mereka. Apakah perlu di tambah lagi?"
Mendengar ini, empat orang yang sudah ketakutan setengah mati, bukan hanya karena mendengar bahwa dua oran muda yang mereka ganggu adalah pendekar-pendekar sakti, juga mereka takut sekali kepada Liu Tai-jin yang terkenal sebagai seorang pejabat tinggi yang selain besar kekuasaannya, juga adil dan tegas, tidak mau disogok, segera menjatuhkan diri berlutut di depan Giok Cu.
"Li ........... hiap, ampunkan kami, ampunka kami...........
" kata Si Muka Bopeng, dan tiga orang kawannya juga ikut pula mohon ampun.
Giok Cu menggangguk kepada Liu Tai-jin. Memang mereka itu kurang ajar, akan tetapi hajaran yang diberikan tadi sudah lebih dari cukup.
"Asal kalian berjanji mulai sekarang Tidak ugal-ugalan dan tidak akan mengganggu wanita lagi, aku tidak akan mematahkan semua tulang kaki tanganmu!"
Mendengar ini, empat orang itu menjadi semakin ketakutan dan seperti empat ekor ayam mematuk gabah, mereka mengangguk-angguk membenturkan dahi di tanah sambil berkata berulang-ulang,
" ........... tidak berani lagi, tidak berani lagi......... tidak berani lagi ..............."
"Nah, cukuplah. Berterima kasihlah kalian kepada Liu Tai-jin yang bijaksana, kalau tidak ada beliau, tentu aku tidak mau memberi ampun kepada kalian!"
Empat orang pemuda itu lalu berlutut menghadap Liu Tai-jin dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang. Liu Tai-jin tersenyum, senang melihat sikap Giok Cu. Kalau ada beberapa orang pendekar seperti gadis ini di setiap kota, tentu akan aman keadaannya.
"Sudah, kalian pergilah!" katanya dan empat orang itu lalu bangkit, terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu. Orang-orang yang melihat peristiwa itu diam-diam merasa kagum kepada Giok Cu yang selain merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, juga ternyata menjadi kenalan Liu Tai-jin yang disegani semu orang.
"Tai-hiap dan Li-hiap, bagaimana kalian dapat berada di sini? Apakah hanya kebetulan saja, ataukah memang sengaja datang untuk melihat pembangunan istana ini?"
"Dalam perjalanan, kami mendengar semua orang membicarakan pembanguna istana di Lok-yang ini, maka kami sengaja lewat di sini untuk menontonnya, kata Han Beng.
"Kalau begitu, mari masuk saja. Ji-wi (Kalian Berdua) dapat melihat keadaan di sebelah dalam istana. Mari naiklah ke dalam kereta kami."
Han Beng dan Giok Cu naik ke dalam kereta bersama pembesar itu dan para penonton memandang dengan kagum dan juga iri melihat betapa dua orang muda itu mendapat kesempatan yang amat langka itu, yaitu melihat keadaan istana itu dari dalam!
Han Beng dan Giok Cu mengagumi istana yang luar biasa megahnya itu. Biarpun belum dicat, namun istana itu sudah nampak indah bukan main. Liu Tai-jin membawa mereka berkeliling dan menerangkan segalanya kepada mereka sehingga dua orang muda itu semakin kagum dan juga merasa senang sekali mereka telah mendapatkan kesempatan yang demikian baiknya. Setelah melihat-lihat, Liu Tai-jin mengajak mereka memasuki sebuah ruangan yang dia pergunakan untuk tempat duduk apabila dia datang ke tempat itu. Mereka duduk berhadapan dan pelayan menghidangkan minuman dan makanan kecil. Liu Tai-jin lalu menyuruh semua pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan dan membiarkan mereka bertiga bercakap-cakap.
"Ji-wi (Kalian) tentu heran melihat aku bertugas di sini," pejabat tinggi itu berkata.
Han Beng dan Giok Cu memandang kepadanya dan Han Beng berkata,
"Memang kami merasa agak heran. Bukankah Tai-jin biasanya bekerja sebagai pejabat yang mengontrol pekerjaan para petugas, dan memberantas penyelewengan yang dilakukan para pejabat di luar kota raja.
Liu Tai-jin menghela napas panjang, lalu mengangguk.
"Memang benar. Itulah pekerjaanku dan aku senang dengan pekerjaan itu. Aku paling membenci pembesar yang melakukan korup, menindas rakyat dan mencuri uang negara, menumpuk harta kekayaan untuk diri sendiri dan tidak melaksanakan tugas dengan sebaiknya. Demi mencari harta, banyak pula pembesar yang bertindak sewenang-wenang, bahkan curang, membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Aku senang sekali bekerja memberantas segala penyelewengan itu walaupun pekerjaan itu amat berbahaya dan membuat aku dibenci dan dimusuhi banyak pejabat. Akan tetapi Sri baginda terlalu percaya kepadaku sehingga untuk pembangunan istana ini pun beliau memerintahkan aku untuk melakukan pengamatan di sini agar pekerjaan dilaksanakan sebaik mungkin, agar bahan-bahan bangunannya tidak dicuri, dikurangi mutunya dan tidak terjadi korupsi. Nah, begitulah. Terpaksa aku harus bekerja menjadi pengawas di tempat ini."
"Kalau Tai-jin yang menangani, tentu pembangunan ini cepat selesai dengan baik," kata Giok Cu.
Liu Tai-jin tertawa, tahu bahwa pujian pendekar wanita itu bukan sekedar basa-basi belaka.
"Pembangunan negara baru akan berhasil kalau semua petugas dan karyawannya bekerja dengan jujur dan setia, kalau semua pekerja, dari yang tinggi sampai yang paling rendah, tidak menjadi hamba nafsu rendah untuk menyenangkan diri sendiri dan melakukan korupsi. Semua tenaga harus bersatu untuk pembangunan, barulah pembangunan itu akan berhasil dengan baik.Tidak mungkin hanya tergantung pada satu orang saja. Tugasku di sini hanya mengawasi dan menjamin lancarnya pekerjaan dan bersihnya para pekerja. Akan tetapi, para tukang itulah yang menangani. Tanpa para tukang, bahkan tanpa para kuli kasar, pembangunan tidak akan selesai. Semua harus bersatu dan bekerj sama. Aih, maaf. Aku lupa bahwa Ji-wi bukan petugas negara. Apakah Ji-wi akan lama tinggal di Lok-yang?"
Giok Cu menggeleng kepala.
"Tidak Tai-jin. Mungkin hari ini juga kami aka melanjutkan perjalanan."
"Ji-wi akan pergi ke manakah?"
"Kami bermaksud pergi ke Ceng touw "
Pembesar itu nampak terkejut mendengar ini, dan wajahnya berseri, pandang matanya penuh harap.
"Ke Ceng touw..........? Ah, kalau saja aku tidak terikat oleh tugasku mengawasi pembangunan istana Lok-yang ini, tentu aku sudah pergi ke Ceng-touw. Ada perkembangan yang amat gawat di sana!"
"Perkembangan yang amat gawat Apakah itu, Tai-jin? Apa yang telah terjadi di sana?" Giok Cu bertanya.
"Ji-wi dapat membantu kami dalam hal ini," kata pembesar itu.
"Kalau -Ji wi pergi ke Ceng-touw, tolonglah selidik kebenaran berita yang kami dengar tentang sebuah perkumpulan agama baru yang kabarnya makin besar pengaruh dan kekuasaannya sehingga tidak saja perkumpulan itu menundukkan perkumpulan lain dan menguasai dunia kang-ouw, bahkan mereka mulai menanamkan pengaruh mereka kepada para pejabat setempat. Gerakan mereka di luar bukan urusanku, melainkan tugas para petugas keamanan untuk mengawasi mereka. Akan tetapi kalau mereka sudah menanamkan kuku mereka mencengkeram para pejabat, ini berbahaya sekali, dapat menyeret para pejabat ke dalam kesesatan dan harus dicegah."
"Liu Tai-jin, perkumpulan agama apakah itu?" tanya Giok Cu, jantungnya berdebar karena ia sudah dapat menduga. Perkumpulan agama apalagi kalau bukan Thian-te-kauw yang menyembah Thian-te Kwi-ong, perkumpulan yang dipimpin oleh Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu dan Ban-tok Mo-li?
"Perkumpulan Thian-te-pang yang berdasarkan agama baru Thian-te-kauw dan berpusat di Ceng-touw."
Mendengar ini, Han Beng memandang tajam, akan tetapi dia pun diam saja, dan dia hanya menyerahkan kepada Giok Cu untuk membicarakan urusan itu. Dia tahu bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Ban-tok Mo-li guru pertama gadis itu, seperti yang pernah diceritakan Giok Cu kepadanya.
"Jangan khawatir, Tai-jin. Kami berdua akan menyelidiki dan kelak akan memberi laporan kepada Tai-jin." kata Giok Cu dengan sikap sungguh-sungguh.
Wajah pembesar itu makin berseri.
"Ah, terima kasih, Lihiap. Legalah hatiku mendengar kesanggupan Ji-wi. Akan tetapi, harap Ji-wi berhati-hati, karena menurut keterangan yang kuperoleh, perkumpulan itu dipimpin oleh orang-orang yang amat lihai. Akan tetapi, rakyat menganggap perkumpulan itu sebagai perkumpulan agama yang baik, mereka mempunyai sebuah kuil pula, dari banyak orang datang bersembahyang Dilihat dari luar, mereka itu seperti orang-orang beribadat dan hidup saleh akan tetapi di balik semua itu, mereka merupakan gerombolan orang sesat yang amat berbahaya. Kalau sampai mereka dapat mencengkeram dan mempengaruhi, para pejabat, maka mereka merupakan bahaya besar karena dapat menghasut agar para pejabat itu memberontak terhadap pemerintah."
Han Beng dan Giok Cu mengangguk-angguk. Mereka berjanji akan berhati-hati dan kelak akan memberi laporan. Kemudian, setelah menerima jamuan makan dari pembesar yang bijaksana itu, Han Beng dan Giok Cu melanjutkan perjalanan menuju Ceng-touw. Di tengah perjalanan, mereka membicarakan apa yang mereka dengar dari Liu Tai-jin tadi.
"Tak salah lagi, yang dimaksudkan Liu Taijin tentulah perkumpulan penyembah Thian-te Kwi-ong yang dipimpin oleh iblis busuk Lui Seng Cu dan dibantu oleh Ban-tok Mo-li," kata Giok Cu yang sejak meninggalkan guru pertama itu tidak pernah lagi menyebut su-bo (ibu guru) kepada Ban-tok Mo-li yang memang tidak dianggapnya sebagai guru lagi. Mana ada Guru hendak mencelakai bahkan hendak membunuh muridnya? Kalau dulu tidak ada Hek Bin Hwesio, tentu ia telah tewas di tangan Ban-Tok Mo-li dan Lui Seng Cu.
"Akan tetapi, maksud kita berkunjung kepadanya hanya untuk bertanya tentang kematian orang tuamu, Giok Cu. Kita tidak perlu mencampuri urusan perkumpulan mereka, hanya menyelidiki saja bagaimana sesungguhnya pengaruh mereka terhadap para pejabat untuk kelak kita laporkan kepada Liu Taijin," Kata Han Beng.
"Hemmm. engkau tidak tahu mereka itu orang-orang macam apa, Han Beng! Mereka itu jahat sekali. Untuk keperluan agama mereka yang sesat, mereka itu tidak segan-segan untuk membunuhi muda-mudi, dan melakukan segala macam bentuk percabulan. Mengeerikan sekali! Dan mungkin saja kini tokoh-tokoh sesat sudah mulai membantu mereka, maka kita harus berhati-hati. kalau perlu, bukan saja aku akan menyelidiki tentang kematian orang tuaku, akan tetapi juga aku siap untuk menghancurkan dan membasmi mereka!"
"Akan tetapi kita tidak boleh lengah dan memandang rendah kekuatan lawan, Giok Cu. Sebaiknya sebelum kita berkunjung ke sana, lebih dulu kita menyampaikan surat kepada Souw Ciangkun seperti yang dipesankan Liu Taijin."
Giok Cu mengangguk setuju. Sebelum berpisah dengan Liu Taijin, pembesar itu menitipkan surat untuk pasukan keamanan di luar kota Ceng-touw dan minta kepada mereka untuk membicarakan Thian-te-kauw dengan Souw Ciangkun.
Naga Sakti Sungai Kuning Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Souw Ciangkun adalah seorang panglima yang usianya sudah lima puluh tahun dan sikapnya berwibawa. Dia termasuk seorang panglima yang setia dan jujur, yang membenci penyelewengan dan dia amat kagum kepada Liu Taijin. Maka, ketika dia mendengar bahwa dua orang muda yang berkunjung ke bentengnya itu adalah utusan Liu Taijin, tergopoh-gopoh dia menyambut dan mempersilakan mereka duduk di ruangan dalam.
Dia merasa agak heran juga meliha betapa utusan pejabat tinggi yang dihormatinya itu adalah seorang pemudi dan seorang gadis muda, akan tetap setelah membaca surat Liu Taijin, dia memandang kagum kepada mereka.
"A ih kiranya Tai-hiap adalah Huang-ho Sin liong, dan Nona adalah seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi! Menurut surat dari Liu Taijin, Ji-wi akan membantu dalam penyelidikan terhadap Thian-te-kauw. Memang perkumpulan itu amat mencurigakan, dan makin lama semakin kuat saja. Akan tetapi karena mereka tidak melakukan sesuatu yang melanggar hukum, kami pun tidak dapat bertindak apa-apa. Kalau menurut Ji-wi, perkumpulan itu melakukan kejahatan apakah?"
Giok Cu diam-diam merasa heran. Panglima ini nampaknya gagah dan baik, akan tetapi mengapa begitu lengah? Bagaimana mungkin sebagai seorang panglima pasukan keamanan, sampai tidak dapat tahu apa yang dilakukan oleh perkumpulan seperti Thian-te-kauw itu?
"Maaf, Ciangkun. Tentu Ciangkun lebih mengetahui daripada kami dan kami bahkan memerlukan keterangan yang sejelasnya dari Ciangkun untuk bekal penyelidikan kami." katanya dengan lembut, dan Han Beng mendengarkan dengan perasaan heran. Akan tetapi dia dapat menduga bahwa tentu gadis yang cerdik itu berpura-pura saja dan ingin memancing keterangan dari perwira tinggi itu.! Dia tahu bahwa gadis itu tentu saja mengenal Thian-te-kauw lebih baik, karena pernah hidup di antara mereka bahkan sebagai murid Ban-tok Mo-li, seorang di antara para pimpinan mereka.
Perwira tinggi itu tersenyum dan dia menarik napas panjang, bersandar di kursinya dan memandang kepada dua orang muda itu.
"Kalau menurut penyelidikan kami, biarpun Thian-te-kauw makin kuat dan makin banyak anggautanya, namun perkumpulan itu belum pernah melakukan pelanggaran. Mereka rnemiliki sebuah kuil yang bahkan menolong banyak orang. Dan mereka mengajarkan persaudaraan antara sesama manusia, bahkan mengajarkan cinta kasih antara manusia. Mereka terbagi menjadi dua bagian. Bagian perkumpulan disebut Thian-te-pang dan diketuai seorang wanita bijaksana yang disebut Phang Toa-nio (Nyonya Phang), seorang yang amat pandai dan ramah."
Giok Cu mencatat di dalam hatinya". Kiranya bekas gurunya itu, Ban-tok Mo-li Phang Bi Cu, telah menjadi ketua Thian-te-pang dan kini dipuji-puji oleh panglima pasukan keamanan!
"Menarik sekali!" serunya untuk menutupi perasaan herannya.
Souw Ciangkun tersenyum.
"Memang para anggauta Thian-te-pang itu dilatih ilmu silat, akan tetapi apa anehnya itu? Ketuanya, Phang Toanio adalah seorang ahli silat yang amat pandai, dan kegiatan berlatih silat itu pun tidak melanggar hukum dan baik-baik saja. Kemudian, ada bagian lain yang hanya mengurus soal keagamaan saja, yaitu Thian-te-kauw dan Kauwcu nya (Kepala Agamanya) adalah Losuhu (Bapak Pendeta) Lui Seng Cu .........."
Giok Cu menahan ketawanya. Tahulah ia bahwa bekas subonya telah bersekutu dengan Hok-houw Toa-to Lui Seng Cu untuk bersama-sama memimpin perkumpulan agama sesat itu dengan membagi tugas sebagai pangcu (ketua perkumpulan) dan kauwcu (kepala agama).
"Ciangkun, kami mendengar bahwa perkumpulan itu mempunyai banyak pemimpin yang berilmu tinggi. Benarkah itu?" Han Beng bertanya untuk menambah umpan agar perwira itu bercerita lebih banyak lagi. Mendengar nada cerita perwira itu memuji-muji para pimpinan perkumpulan itu, dia pun berhati-hati dan tidak mengemukakan pendapatnya, apalagi dia memang tidak begitu mengenal perkumpulan itu, maka dia menyerahkan saja pembicaraan tadi sebagian besar kepada Giok Cu yang tentu saja lebil mengenalnya, bahkan mengenal dengan baik sekali.
"Memang benar, mereka memiliki banyak anggauta pimpinan yang lihai ilmu silatnya dan luas pandangannya! akan tetapi semua itu tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan bimbingan khusus yang diberikan oleh Kwi-ong."
"Kwi-ong (Raja Iblis) ............?" Giok dia bertanya, benar-benar heran karena sebelum pernah ia mendengar tentang pimpinan langsung dari Kwi-ong itu.
Perwira tinggi itu tertawa.
"Memang bagi orang lain tentu terdengar mengejutkan. Akan tetapi sesungguhnya, sebutan Kwi-ong itu hanya untuk merendahkan diri saja. Sebenarnya Thian-te Kwi-ong adalah seorang dewa yang ditugaskan turun ke dunia untuk mengajarkan persaudaraan dan cinta kasih!"
Ini merupakan hal yang baru bagi Giok Cu, apalagi Han Beng.
"Siapakah Itu Kwi Ong, Ciangkun, dan kalau dia bawa, bagaimana dia dapat membimbing langsung?" tanya pula Giok Cu.
"Mungkin kalian sudah mendengar bahwa Thian-te-kauw memuja Thian-te Kwi-ong yang dibuatkan patungnya. Dan sekarang, kadang-kadang patung itu hidup! Dan menurut pengakuan Thian-te Kwi-ong sendiri, agar tidak mengejutkan semua orang, kadang-kadang beliau menjelma sebagai seorang pemuda tampan yang menjadi penasehat. Dan tentu saja ilmu kepandaiannya tak dapat diukur, ia maklum dia bukan manusia." Perwira tinggi itu menerangkan dengan suara yang serius. Pada saat itu, cuping hidung Giok Cu bergerak-gerak. Ia menciumsuatu. Keharuman yang aneh bagi orang lain, akan tetapi yang pernah diciumnya dahulu ketika ia masih menjadi murid Ban-tok Mo-li dan sejak subonya itu menjadi sekutu Lui Seng Cu. Bau harum dupa yang khas dipergunakan untuk upacara sembahyang kepada Thian-te Kwi-ong. Bagaimana kini bau dupa itu dapat tercium di dalam benteng? Biarpun hanya lembut, namun cukup dapat ditangkap oleh penciuman Giok Cu yang tajam dan ia pun dapat menduga bahwa bau dupa itu datang dari balik sebuah pintu kamar yang tertutup. Bahkan penglihatannya yang tajam dapat melihat membocornya asap tipis keluar dari celah-celah daun pintu kamar itu.
Giok Cu menjadi curiga. Ada yang tidak beres dalam kamar itu, pikirnya. Dan mungkin perwira tinggi ini tidak mengetahuinya. Tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat jauhi ke depan daun pintu kamar yang tertutup, mengejutkan Han Beng dan Souw Ciangkun. Giok Cu mendorong pintu itu terbuka dan ia terbelalak. Han Beng juga melompat mendekatinya. Mereka berdua melihat keadaan dalam kamar itu yang aneh. Ada sebuah meja sembahyang yang besar di dalam kamar itu, dengan patung kecil yang dikenal oleh Giok Cu sebagai patung Thian-te Kwi-ong! Dan di atas meja itu, selain lilin bernyala dan dupa mengepul, sebagai pengganti hidangan sembahyang, nampak seorang gadis bertelanjang bulat rebah telentang! Rambutnya yang panjang hitam itu terurai, tubuhnya sama sekali telanjang bulat. Dan di kanan kiri meja itu berdiri masing-masing tiga orang gadis yang lain yang hanya mengenakan jubah sutera tipis yang tembus pandang dan di bawah jubah itu tidak terdapat pakaian lain! Enam orang gadis itu nampak terkejut bukan main.
"Heiiiii! Kalian tidak boleh mengganggu mereka!" Terdengar seruan Souw Ciangkun dan perwira tinggi ini sudah berada dekat Giok Cu dan Han Beng, wajahnya merah sekali, dan matanya nampak gelisah dan marah.
"Souw Ciangkun, apa artinya ini?' Giok Cu membentak dengan alis berkerut. Teringat ia akan pengorbanan perawan dalam sembahyangan patung Thian-te Kwi-ong. Apakah gadis yang telanjang bulat itu pun calon korban yang akan dibunuh di atas meja sembahyang sebagai korban terhadap Thian-te Kwi-ong? Kalau begitu ia memandang kepada perwira itu dengan mata terbelalak.
"Tutupkan daun pintunya dan jangan ganggu mereka, Li-hiap. Aku akan memberi penjelasan." kata perwira itu akar tetapi suaranya gemetar dan kini wajahnya berubah pucat walaupun sinar matanya masih mengandung kemarahan.
Akan tetapi tiba-tiba terjadi hal yang dianggap aneh oleh Giok Cu. Gadis remaja yang telanjang bulat dan tadi rebah telentang di atas meja sembahyang itu kini bangun dan cepat-cepat menyambar pakaian dan menutupi tubuhnya. Seolah-olah ia dalam keadaan sadar sama sekali, tidak terbius atau pingsan seperti biasa para korban upacara keji itu! Dan enam orang gadis lainnya juga kini dengan terburu-buru mengenakan pakaian mereka, pakaian sopan dan jubah mereka bergambar lingkaran Im-yang merah puji Ih. Seorang di antara mereka, yaitu gadis yang tadi bertelanjang bulat dan ini sudah mengenakan pakaian dan menyanggul rambutnya, memberi hormat kepada perwira tinggi itu.
"Agaknya ada gangguan, Souw Ciangkun. Sebaiknya kalau upacara kita ditunda sampai lain kali saja. Kami akan kembali lagi kalau saatnya yang baik tiba seperti dikehendaki oleh Kwi-ong. Mereka bertujuh lalu memberi hormat kepada Souw Ciangkun, tanpa melirik ke arah Giok Cu dan Han Beng, kemudian mereka membawa peralatan sembahyang mereka dan keluar beriringan dari ruangan itu seperti kelompok anggauta perkumpulan agama yang tertib dan sopan. Para penjaga di luar pun tidak berani bersikap kurang ajar kepada tujuh gadis ini yang dianggap orang-orang yang saleh dari
(Lanjut ke Jilid 26)
Naga Sakti Sungai Kuning/Huang Ho Sin-liong (Seri ke 01 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 26
perkumpulan agama yang terpandang di kota itu.
"Ciangkun, sekarang kami minta penjelasan!" Giok Cu berkata setelah tujuh orang gadis itu pergi.
"Kiranya Ciangkun juga seorang anggauta Thian te Kwi-ong? Dan tadi gadis itu hendak dijadikan korban, dibunuh di meja semba yang, bukan?"
"Ah, tidak! Tidak! Engkau tidak mengerti, Nona, Tidak kusangkal bahwa aku memang merupakan seorang anggauta baru yang akan dilantik hari ini sebagai anggauta yang sah. Apa salahnya kala aku menjadi anggauta sebuah perkumpulan agama yang mengajarkan persaudara dan cinta kasih? Aku tidak melangg tugas dan hukum!"
"Hemmm, dan pengesahan itu dengar mengorbankan seorang gadis perawan, membunuhnya di atas meja sembahyang tadi, bukan?" Giok Cu mengejek, dan dara perkasa ini teringat akan pesan Liu Taijin bahwa Thian-te-kauw kini mulai menanamkan pengaruhnya pada para pejabat. Perwira tinggi ini agaknya sudah mulai terpengaruh pula!
"Tidak, sama sekali tidak! DahuH menurut penjelasan para pimpinan Thiar> ii-kauw, memang ada kebiasaan kuno krperti itu, mengorbankan seorang perawan dalam upacara pengangkatan anggauta baru. Akan tetapi sekarang, setelah Kwi-ong berkenan memimpin sendiri, kebiasaan diubah. Yang dikorbankan hanya kegadisannya, bukan nyawanya!"
"Ihhhhh ..............!" Giok Cu mengerutkan alisnya dan memandang jijik.
"Jadi engkau akan memperkosa gadis tadi sebagai upacaranya?"
Wajah perwira tinggi itu berubah merah.
"Engkau salah mengerti, Lihiap.bukan memperkosa, melainkan ia dengan suka rela menyerahkan diri. Itulah inti persaudaraan dan cinta kasih! Kami melakukannya dengan dasar cinta kasih............"
"Omong kosong! Upacara cabul! Jahat, keji sekali! Ciangkun, kiranya apa yang dikatakan Liu Taijin benar. Thian-te-kauw sudah menanamkan cakarnya kepada para pejabat termasuk engkau! Kami harus melaporkan hal ini kepada Liu Taijin!" kata Giok Cu marah. Tiba-tiba terjadi perubahan sikap perwira tinggi itu. Dia menengadah lalu tertawa bergelak-gelak seperti orang gila! "Ha-ha-ha-ha-ha!" Siapa berani menentang Thian-te Kwi-ong berarti mampus! Yang mentaatinya akan hidup bahagia dan panjang usia, akan tetapi yang menentang akan mati! Ha-ha-ha! Thian-te Kwi-ong tak terkalahkan, ha-ha-ha-ha-ha!" Dia mengeluarkan peluit dan terdengar suara nyaring ketika dia meniupnya dan terdengar derap kaki banyak orang. Tempat itu telah terkepung oleh ratusan orang perajurit!
"Ha-ha-ha-ha, kalian takkan dapat lolos lagi. Hayo kalian semua maju, tangkap dan bunuh dua orang mata-mata musuh ini!"
Mendengar perintah atasan mereka, puluhan orang perajurit memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Melihat ini, tahulah Han Beng dan Giok Cu bahwa keselamatan mereka terancam. Mereka tentu saja mampu membela diri, akan tetapi bagaimana mungkin menang melawan ribuan perajurit yang berada di dalam benteng itu? Mereka tidak akan mampu lolos dan akhirnya mereka akan tewas tercincang!
Akan tetapi, Giok Cu adalah seorang gadis yang cerdik sekali. Melihat para perajurit itu siap mengeroyok, secepat kilat ia menotok tengkuk Souw Ciangkun, membuat perwira tinggi itu tak mampu menggerakkan kaki tangan yang mendadak menjadi lumpuh. Sambil menodongkan pedang yang sudah dicabutnya ke leher perwira tinggi itu, ia berteriak.
"Mundur semua! Kalau ada yang berani menyerang, kubunuh Souw Ciangkun!
Ancamannya ini berhasil. Para perajurit itu mundur dan bingung, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Souw Ciangkun yang sudah tidak mampu menggerakkan kaki tangannya itu masih tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Kalian maju, tangkap dan bunuh mereka berdua! Aku tidak bisa mati, ha-ha-ha, Thian-te Kwi-ong akan melindungiku, usiaku akan mencapai seratus tahun. Ha-ha-ha-ha, siapa menentang Thian-te Kwi-ong akan mati konyol!"
Ketika perajurit itu sedang ragu dan bingung, dan anjuran perwira yang tertawa-tawa itu membuat mereka bergerak lagi untuk mengeroyok, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
"Kalian semua mundur!"
Ketika para perajurit mengenal orang yang memberi aba-aba itu, mereka mur dur dan muncullah seorang perwira tinggi lain yang usianya sebaya dengan Sou Ciangkun, tubuhnya tinggi kurus dan sinar matanya tajam. Dia maju menghadap Han Beng dan Giok Cu yang memandang dengan waspada dan siap siag Giok Cu masih menodongkan pedangnya di leher Souw Ciangkun.
"Nona, harap lepaskan dia. Agaknya telah terjadi sesuatu dengan dia dan pikirannya tidak wajar lagi." kata perwira itu dengan tegas.
Giok Cu melepaskan Souw Ciangkun yang roboh dengan lemas karena kedua kakinya masih lumpuh oleh totokan Giok Cu. Akan tetapi, biarpun sudah terguling roboh, Souw Ciangkun masih tertawa-tawa dan berteriak-teriak memuji-muji Thian-te Kwi-ong!
Perwira itu mengangguk kepada Han Beng dan Giok Cu.
"Aku adalah Panglima Yap, komandan ke dua di benteng ini." Kemudian dia menghadapi para perajurit yang masih berkerumun di situ dan di luar pintu pun penuh perajurit yang ingin tahu apa yang telah terjadi.
"Komandan Souw sedang sakit, biar aku yang mengurus dia. Kalian semua tinggalkan tempat ini dan atur penjagaan yang ketat, jangan perbolehkan siapa juga memasuki benteng!" Perintahnya tegas dan semua perajurit mundur. Setelah Souw Ciangkun seperti orang gila Itu, tertawa-tawa dan berteriak-teriak memang Yap Ciangkun yang merupakan komandan yang paling tinggi kedudukannya.
"Sudah beberapa lamanya aku memperhatikan keadaan Souw Ciangkun. Aku sudah menaruh kecurigaan ketika para gadis dari Thian-te-kauw itu dibiarkan masuk benteng. Ketika Ji-wi memperkenalkan diri sebagai utusan Liu Taijin yang hendak menghadap Souw Ciangkun, diam-diam aku memperhatikan. Ternyata terjadi seperti apa yang kami khawatirkan. Souw Ciangkun agaknya sudah terjebak oleh perkumpulan agama yang penuh rahasia itu."
"Ha-ha-ha, kalian akan mampus semua kalau menentang Thian-te Kwi-ong........ ha-ha-ha!"
"Lihiap dan Tai-hiap, dapatkah dia dibiarkan pingsan tanpa menderita?"Yap Ciangkun bertanya.
"Karena dia atasanku, bagaimanapun aku tidak berani bertindak kasar terhadap dirinya."
Han Beng mengangguk dan sekali di menepuk tengkuk Souw Ciangkun, komandan yang seperti gila itu terkulai pingsan. Yap Ciangkun memanggil empat orang perajurit pengawal dan memerintahkan mereka untuk mengangkat tubuh Souw Ciangkun.
"Biarkan dia di dalam kamar dan jaga baik-baik. Dia menjadi tahanan sementara'" perintahnya.
Setelah Souw Ciangkun diangkut pergi, Yap Ciangkun lalu mempersilakan Han Beng dan Giok Cu duduk. Mereka duduk berhadapan, lalu dengan singkat Yap Ciangkun menceritakan tentang Thian-te-pang.
"Mereka memang tidak melakukan sesuatu yang mencurigakan. Hubungan mereka dengan para pejabat sangat baik sekali, bahkan ada kalanya mereka membantu petugas menenteramkan keadaan dan membasmi para penjahat yang berani mengganggu ketenteraman sekitar daerah Ceng-touw. Karena Souw Ciangkun juga berhubungan baik dengan para pimpinan mereka, maka aku sebagai wakilnya tidak dapat berbuat sesuatu. Sampai akhirnya aku mendengar dari para penyelidikku bahwa seringkali ada anggauta Thian-te-kauw wanita dibiarkan bermalam di kamar Souw Ciangkun! Mulailah aku curiga sampai terjadi peristiwa hari ini. Ji-wi adalah utusan Liu Taijin. Tugas apakah yang Ji- wi bawa?"
Si Bayangan Iblis Eps 1 Sepasang Naga Lembah Iblis Eps 7 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 3