Ceritasilat Novel Online

Naga Beracun 15


Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo Bagian 15




   Mereka semua tewas keracunan karena berani menyerang dan menyentuh tubuh Thian Ki yang sudah penuh dengan hawa beracun yang amat kuat itu!

   Semula, karena melihat tok-tong inilah maka Cian Bu Ong tertarik. Dia ingin memiliki anak beracun itu untuk membantu gerakannya dan usahanya menegakkan kembali Kerajaan Sui.

   Akan tetapi setelah dia menikah dengan ibu anak itu, dan melihat bahwa cita-citanya itu tidak akan mungkin terlaksana karena Kerajaan Tang yang baru semakin kuat, dan untuk berjuang menumbangkan pemerintahan dia harus mempunyai pasukan yang besar sekali, hal yang tidak mungkin dimilikinya, maka diapun membuang cita-cita itu.

   Kini dia menggembleng Thian Ki dengan cita-cita lain. Dia ingin anak tirinya yang juga muridnya itu kelak menjadi orang penting, berkedudukan tinggi atau menjadi seorang jagoan nomor satu di dunia kangouw, pendeknya dia ingin agar Thian Ki kelak dapat menjadi terkenal dan karenanya akan mengangkat tinggi nama besar Pangeran Cian Bu Ong. Oleh karena itu, maka dia menggembleng Thian Ki dengan amat tekunnya.

   Anak itu sendiri sekarang juga rajin berlatih dan suka sekali mempelajari ilmu silat. Hal ini merupakan perubahan yang amat besar. Selain ibunya, Sim Lan Ci sekarang tidak lagi melarangnya belajar silat, bahkan ibu inipun mengajarkan ilmu-ilmunya sendiri, juga karena pengalaman- pengalaman yang sudah-sudah merupakan pelajaran bagi Thian Ki, bahwa memiliki kekuatan dan kepandaian silat amat perlu baginya, untuk dapat membela diri dalam hidup ini. Terlalu banyak orang jahat berkeliaran di bumi ini dan amat sukarlah mengharapkan perlindungan dari orang lain.

   Dalam usia duabelas tahun, Thian Ki sudah mampu berlatih silat di atas bambu-bambu runcing. Hal ini sungguh mengagumkan sekali. Tanpa memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, sungguh amat berbahaya latihan seperti itu. Namun, Thian Ki sudah dapat berloncatan dengan cekatan di atas bambu-bambu runcing itu.

   Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati Pangeran Cian Bu Ong. Dia sendiri mengakui bahwa dalam usia semuda itu, dia tidak dapat mencapai tingkat seperti yang dimiliki Thian Ki sekarang ini. Dia merasa bangga dan girang sekali melihat kemajuan Thian Ki. Puterinya sendiri, Kui Eng. juga tekun dan cerdas, akan tetapi dibandingkan Thian Ki, anak itu kalah jauh.

   Apalagi kalau diingat bahwa tubuh Thian Ki beracun, dan keadaan ini saja sudah amat berbahaya bagi lawannya. Lawan yang amat lihai sekalipun akan dapat tewas sendiri kalau berani menyentuh tubuh tok-tong, si anak beracun itu. Cian Bu Ong yang bercita-cita tinggi itu bahkan telah memilihkan sebuah nama julukan bagi anak tiri dan muridnya, yaitu Tok-liong ( Naga Beracun)!

   "Thian Ki." kata bekas pangeran itu berulang kali,"Namamu yang biasa adalah Thian Ki, Cian Thian Ki," dia memberi tekanan kepada nama keluarga Cian itu. Dia mengakui Thian Ki sebagai anak sendiri, maka dia menekankan kepada anak itu dan ibunya agar mengguna kan she (nama keluarga) Cian!"Akan tetapi, di dunia kangouw, tidak perlu engkau mem perkenalkan diri sebagai Cian Thian Ki, melainkan Tok-1iong-eng (Pendekar Naga Beracun), ha-ha ha.!"

   Karena ucapan itu berulang-ulang dikatakan gurunya yang juga ayahnya karena dia menyebut ayah kepada gurunya itu, maka sebutan Tok-liong (Naga Beracun) itu mendatangkan kesan di hati Thian Ki dan setelah beberapa tahun dia menganggap Tok-liong sebagai namanya yang ke dua. Apalagi ayah tiri dan ibunya sendiri sering menyebut Tok-liong kepadanya.

   Baru beberapa bulan Cian Bu Ong tinggal di dusun Ke-cung itu. Setelah mendengar bahwa Kaisar Tang Kao Cu diganti oleh Pangeran Li Si Bin yang kini menjadi Kaisar Tang Tai Cung, baru ia merasa aman dan tinggal di dusun lembah sungai yang indah itu. Penduduk dusun menyambut keluarga ini dengan gembira. Mereka tidak mengenal siapa keluarga ini dan Cian Bu Ong sudah mengubah namanya menjadi Cian Bu saja.

   Penduduk hanya menduga bahwa Cian Bu adalah seorang hartawan atau pejabat yang telah mengundurkan diri dan mencari tempat tinggal yang tenang di dusun itu. Karena keluarga baru ini selain kaya juga ringan tangan membantu penduduk, maka keluarga ini disambut dengan baik dan Cian Bu dikenal sebagai hartawan Cian, bahkan beberapa bulan kemudian, melihat dia seorang yang kaya dan pandai, luas pengetahuannya dan suka menolong penduduk, puluhan keluarga penghuni dusun Ke-cung segera mengangkatnya menjadi ketua dusun.

   Demi keamanan, Cian Bu menerima pengangkatan itu, walaupun dalam hatinya dia terse nyum pahit. Dia, pangeran adik kaisar terakhir Kerajaan Sui yang bercita-cita menegakkan kembali Kerajaan Sui dimana dia yang akan menjadi kaisar barunya, kini hanya diangkat menjadi ketua dusun.! Inipun dusun yang kecil sekali dan pengangkatan itupun tidak resmi dari pemerintahan. Karena rumah dan pekarangan berikut sebuah kebun dan taman yang luas milik keluarga Cian itu dikelilingi pagar dinding yang tinggi, maka tak seorangpun pernah melihat kalau keluarga itu berlatih silat.

   Tiga orang pelayan keluarga ini adalah bekas anak buah yang setia dari bekas pangeran itu, dan mereka maklum bahwa mereka tidak boleh membuka rahasia majikan mereka kepada siapapun juga.

   Selagi Thian Ki berlatih, kini tidak lagi di atas bambu-bambu runcing melainkan di atas tanah di mana dia bersilat dengan amat cepat dan kuatnya, tiba-tiba seorang anak perempuan berusia sebelas tahun datang berlari-lari. Melihat Thian Ki masih bersilat dengan tangan kosong, dengan baju dilepas sehingga tubuh atasnya telanjang dan berkilauan karena keringat, anak perempuan itu mengeluarkan bentakan nyaring dan iapun melompat dengan sigapnya mendekati Thian Ki dan langsung saja menyerangnya dengan jari tangan menotok ke arah tubuh Thian Ki, menyerang jalan-jalan darah secara cepat sekali.! Thian Ki cepat mengelak ke sana sini, lalu meloncat jauh ke belakang.

   Ketika anak itu yang bukan lain adalah Cian Kui Eng, hendak mengejar dan mendesak, ayahnya membentak.

   "Kui Eng, berhenti!" Anak perempuan itu berhenti menyerang, menoleh kepada ayahnya dan iapun membanting- banting kaki dan merajuk.

   "Aihhh, ayah, aku ingin berlatih dengan kakak Thian Ki, selalu tidak boleh.!"

   Anak berusia sebelas tahun itu berwajah manis dan bertubuh ramping. Matanya tajam dan galak, mulutnya yang cemberut itu menjadi pemanis yang utama dari wajahnya yang bulat telur. Rambutnya agak keriting, membuat rambut itu nampak tebal.

   "Kui Eng, sudah berulang kali kukatakan kepadamu. Engkau tidak boleh berlatih dengan kakakmu. Itu berbahaya sekali!" kata Cian Bu Ong, atau yang nama barunya Cian Bu saja itu.

   Pada saat itu, Sim Lan Ci muncul dan mendengar percakapan itu, iapun lari menghampiri dan merangkul Kui Eng yang bersungut-sungut.

   "Kui Eng, engkau sudah seringkali kuberi tahu agar jangan berlatih dengan kakakmu. Engkau tentu tahu bahwa kakakmu adalah seorang yang berbahaya, karena disebut Naga Beracun. Dia seorang tok-tong."

   Dalam usianya yang hampir empatpuluh tahun, Sim Lan Ci masih nampak cantik. Hal ini adalah karena selama menjadi isteri Cian Bu Ong, ia merasa hidupnya berbahagia walaupun ia ikut melarikan diri dan bersembunyi bersama suaminyi selama tujuh tahun ini. Cian Bu amat mencintanya juga ia mencinta Kui Eng seperti mencinta Thian Ki anak kandungnya.

   Suaminya seorang yang amat baik, bahkan jauh lebih sakti dari pada suaminya yang pertama, dan juga berwibawa dan jantan.

   "Ibu, kenapa sih toako disebut Tok-liong (Naga Beracun), dan apa sih artinya tok-tong?"

   "Dia disebut tok-tong karena tubuhnya mengandung hawa beracun yang amat kuat, Kui Eng. Beradu tangan dengan dia, bahkan menyentuh tubuhnya pun kalau kebetulan hawa beracun itu bekerja, orang akan mati seketika."

   "Tapi.....kenapa toako bisa seperti itu?"

   Suami isteri itu saling pandang. Sudah tiba saatnya mereka memberi tahu anak-anak mereka akan kejadian yang sebenarnya tentang diri Thian Ki.

   Bahkan anak itu sendiri belum tahu dengan jelas. Melihat pandang mata isterinya, Cian Bu menghela napas panjang dan mengangguk, lalu dia duduk di atas bangku di taman itu.

   "Ibu, akupun ingin sekali mengetahui mengapa tubuhku jadi beracun? Ibu dan ayah tidak pernah mau menceritakan," kata pula Thian Ki yang memakai kembali bajunya dan mendekati ibunya.

   Sejak berusia lima tahun, dia dipesan oleh ibunya agar berhati-hati kalau bermain-main dengan Kui Eng, agar dia tidak mengerahkan tenaga dan sekali-kali tidak boleh berlatih silat dengan adiknya itu. Biarpun perintah ibunya itu tentu saja membuat dia tidak dapat bergembira dan bermain-main sebebasnya dengan adiknya, namun dia selalu mentaati karena dia sendiri tahu bahwa dalam dirinya terdapat rahasia aneh. Sudah dia melihat sendiri beberapa orang yang amat lihai ilmu silatnya tewas ketika menyerangnya, tewas ketika digigitnya, bahkan tewas ketika mencengkeramnya.

   Sim Lan Ci menarik napas panjang, lalu menggandeng tangan kedua anaknya, diajaknya duduk di bangku dekat suaminya. Kemudia ia mulai bercerita.

   "Thian Ki dan Kui Eng, ingat baik-baik apa yang akan kuceritakan ini agar kelak tidak sampai terjadi sesuatu pada diri kalian. Thian Ki, engkau telah menjadi seorang tok-tong. Di dalam tubuhmu terdapat racun yang amat hebat, seluruh darahmu mengandung racun, juga tubuhmu penuh dengan hawa beracun yang dapat membunuh siapa saja, bahkan orang-orang seperti aku dan ayahmu dapat saja terbunuh oleh racun di tubuhmu itu."

   "Wah, hebat kalau begitu! Ibu, kalau kakak Thian Ki mempunyai tubuh sehebat itu, kenapa aku tidak? Ibu dan ayah, jadikanlah aku seperti dia, aku ingin mempunyai tubuh beracun seperti itu agar dapat kubasmi semua orang jahat di dunia ini!"

   "Ih, Kui Eng, enak saja kau bicara!" Thian Ki menegur adiknya."Apa sih senangnya punya tubuh beracun? Lihat saja aku. Aku ingin bermain-main denganmu, berlatih silat denganmu tidak bisa! Kalau racun di tubuhku ini dapat lenyap, aku akan berbahagia sekali!"

   "Ibu, kenapa kakak Thian Ki menjadi Tok-tong? Bagaimana terjadinya!" tanya pula Kui Eng, tidak perduli akan keluhan kakaknya.

   "Semua ini gara-gara nenekmu, Lo Nikouw...."

   "Aih, nenek Lo Nikouw. Ibu dari ibu yang jarang ibu ceritakan itu? Bagaimana nenek bisa menjadi gara-gara keadaan toako ibu?"

   "Ibuku, nenek kalian itu adalah seorang ahli racun yang tiada keduanya di empat penjuru sehingga ia dikenal sebagai Ban-tok Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).........."

   "Ihhhh! Julukannya mengerikan benar!" seru Kui Eng.

   "Julukannya itu adalah ketika ia belum menjadi seorang nikouw, Kui Eng. Sekarang ia dikenal sebagai Lo Nikouw yang pekerjaannya hanya berdoa. Nenek kalian itulah yang diluar tahuku telah membuat Thian Ki menjadi tok-tong, dengan cara merendam tubuh Thian Ki ketika masih kecil ke dalam ramuan obat beracun. Aku mengetahui hal itu setelah terlambat."

   "Aih, kenapa nenek begitu jahat terhadap Thian Ki, Ibu?" Kui Eng berseru dengan penasaran.

   "Hush, jangan berkata begitu, Kui Eng!" tiba-tiba Cian Bu yang sejak tadi hanya mendengar kan saja, berseru kepada puterinya."Nenekmu melakukan hal itu justeru karena ia menya yang Thian Ki. Ia ingin membuat Thian Ki menjadi orang yang tak terkalahkan, dan dalam hal ini, ia telah banyak membantu dan usahanya itu berhasil. Kalau bukan seorang ahli yang amat pandai, bagaimana mungkin ia dapat membuat cucunya menjadi tok-tong? Orang lain yang tubuhnya mengandung racun seperti Thian Ki, takkan mampu bertahan hidup lagi. Nenekmu itu memang hebat!"

   "Akan tetapi aku tidak suka menjadi tok-tong! Aku tidak ingin menjadi orang yang tak terkalahkan!" teriak Thian Ki.

   "Aih, toako. Kenapa engkau begitu bodoh. Sepantasnya engkau berterima kasih kepada nenek. Kalau aku yang menjadi seperti engkau, wah, aku akan merasa bangga dan senang sekali. Akan kukalahkan seluruh jagoan di dunia ini! Ibu, bawa aku kepada nenek biar aku juga dijadikan seorang anak beracun.!"

   "Hemm, kaukira mudah menjadikan seseorang beracun seperti itu? Hanya anak yang masih kecil dan berbakat saja yang akan mampu hidup menjadi anak beracun. Engkau sudah besar, Kui Eng, tidak mungkin menjadi anak beracun lagi. Baru Thian Ki saja menjadi tok-tong kami sudah bingung, masa engkau ingin menjadi anak beracun lagi!" kata Sim Lan Ci.

   Sementara itu, Cian Bu menghela napas panjang. Dia mencita-citakan Thian Ki kelak menjadi seorang jagoan nomor satu di dunia. Thian Ki telah menjadi tok-tong, berbakat baik dan telah digemblengnya dengan sungguh sungguh, akan tetapi ternyata anak itu tidak suka menjadi jagoan seperti yang dia idamkan. Kalau saja Thian Ki mempunyai semangat seperti yang diucapkan Kui Eng tadi! Thian Ki berwatak lemah, terlalu baik, tidak suka akan kekerasan, tidak ingin menjadi jagoan tak terkalahkan, padahal dia memiliki kemampuan untuk itu. Sebaliknya semangat Kui Eng berkobar-kobar.

   "Ibu, kenapa nenek memperlakukan aku seperti ini? Aku juga ingin bertemu dengan nenek, akan kuminta agar dia melenyapkan racun dari tubuhku!" kata Thian Ki.

   "Tidak semudah itu, Thian Ki. Racun itu te lah menjadi satu dengan darahmu, biar nenekmu sendiri tidak akan dapat melenyapkannya. Hanya satu cara saja......" Wanita cantik itu menghentikan kata-katanya, menyadari bahwa ia telah terlanjur bicara.

   Thian Ki segera menyambar kesempatan itu.

   "Ibu, katakan. Apa caranya akan kutempuh segala cara untuk membuat aku menjadi manusia biasa. Katakanlah, apa cara yang satu-satunya itu?"

   Karena sudah terlanjur bicara. Sim Lan Ci memandang suaminya, lalu berkata.

   "Caranya hanya menularkan racun itu kepada orang lain. Sedikitnya kepada sepuluh orang dan mereka itu akan tewas. Biarpun setiap orang hanya menerima sepersepuluh bagian saja, cukup untuk membuat ia tewas Nah, setelah menewaskan belasan orang, barulah ada kemungkinan racun itu akan lenyap dari tubuhmu." Mendengar ini, Thian Ki termenung dan wajahnya dibayangi kedukaan.

   "Kalau begitu..... selama hidupku sampai mati......... aku tidak akan dapat melenyapkan racun keparat ini dari tubuhku......." Ucapan ini saja menyatakan bahwa ia tidak suka membunuh orang, biar hal itu demi keselamatan diri sendiri.

   Melihat ini, Cian Bu lalu menghibur."Sebetulnya tidak perlu dilenyapkan, apa lagi kalau caranya demikian sulit. Asalkan Thian Ki dapat menguasai racun itu, dapat menekannya sehingga racun itu tidak bekerja, kecuali hanya kalau di perlukan saja, maka tentu dia akan hidup seperi orang biasa. Hanya pada saat tertentu saja dia dapat mengerahkan kekuatan racun itu. Sayang, sudah kucoba, namun aku belum menemukan caranya untuk mengajar dia dapat mengendalikan hawa beracun itu."

   Mendengar ini, Thian Ki memandang ibunya"Ibu, dapatkah nenek mengajariku agar aku dapat menguasai racun ini? Biarpun tidak dapat lenyap, kalau aku dapat menguasainya seperti dikatakan ayah, sudah lumayan........"

   Sim Lan Ci mengerutkan alisnya. Sudah tujuh tahun lebih ia meninggalkan ibunya yang berada di kuil Thian ho-tong di luar dusun Mo-kim-cung. Bahkan rumahnyapun ia tinggalkan. Sejak ia dan almarhum suaminya, Coa Siang Lee meninggalkan dusun Mo-kim cung berkunjung ke pusat Hek- houw-pang di dusun Ta-bun-cung, yaitu tempat tinggal keluarga almarhum suaminya, ia tidak pernah lagi kembali ke Mo-kim cung.

   Terlalu banyak peristiwa terjadi sejak ia dan suami pertamanya itu meninggalkan Mo - kim - cung. Di Hek-houw-pang itulah terjadinya malapetaka yang membuat suaminya tewas dan ia bersama Thian Ki ikut Cian Bu Ong dan kemudian bahkan menjadi isteri bekas pangeran itu yang kini bernama Cian Bu. Tujuh tahun lebih telah lewat dari kini percakapan tentang ibunya membuat ia teringat akan semua itu.

   "Bagaimana, ibu?" Thian Ki mendesak ketika melihat ibunya termenung."Aku masih ingat, nenek adalah seorang nikouw yang ramah dan baik budi, selalu bersikap baik kepadaku. Beliau tentu akan suka menolongku, ibu." Wanita itu menghela napas panjang.

   "Tidak tahulah, Thian Ki. Aku memang pernah mempelajari ilmu-ilmu dari ibuku tentang ilmu-ilmu pukulan beracun, akan tetapi aku tidak pernah diajari ilmu membuat seseorang menjadi tok-tong, juga tidak tahu menahu tentang cara menguasai hawa beracun dalam tubuh. Ilmu pukulan beracun memang hanya timbul hawa beracun itu kalau ilmu itu diperguna kan untuk berkelahi, kalau pengerahan tenaga sakti dilakukan dengan cara tertentu disam ping latihan yang menggunakan racun. Akan tetapi racun yang sudah menjadi satu dengan darah seperti yang kaualami, biasanya hanya membuat orang itu mati. Engkau sebaliknya hidup dengan sehat dan kuat, dan racun itu bekerja di luar kehendakmu. Aku tidak tahu.........."

   "Kalau begitu, kenapa tidak ke sana saja.? Kita semua pergi ke sana mencari ibumu, minta agar ia suka mengajari Thian Ki menguasai racun di dalam dirinya, dan kita sekalian berpesiar ke timur. Anak-anak ini perlu mendapatkan pengalaman, juga aku ingin sekali melihat keadaan di sana sekarang ini. Tentu ramai sekali."

   Sim Lan Ci terkejut, akan tetapi juga wajahnya berseri gembira sekali."Benarkah.......? Tidak......... tidak akan ada halangannyakah?"

   Ia memandang suaminya dengan khawatir. Suaminya pernah menjadi seorang buruan pemerintah, kalau sekarang mereka menuju ke timur, bukankah itu sama saja dengan ular mencari pemukul?

   Cian Bu menggeleng kepala dan meraba jenggotnya yang dipotong pendek. Dia mengerti apa yang dimaksudkan isterinya, dan diapun tersenyum yakin akan dirinya sendiri bahwa keadaannya sudah berubah sama sekali. Dahulu dia bertubuh tinggi besar dengan jenggot panjang dan pakaian bangsawan.

   Akan tetapi sekarang, biarpun dia masih tinggi besar, namun perutnya agak gendut, dan jenggotnya pendek. Juga dia mengenakan pakaian biasa, pakaian seorang petani kaya. Juga rambut di kepalanya dibiarkan tidak tertutup, digelung ke atas, tidak pernah memakai penutup kepala yang biasa dipakai para bangsawan. Pula, sejak lama tidak pernah ada pasukan yang mencarinya, dan setelah Pangeran Li Si Bin menjadi kaisar, dia merasa lebih aman.

   "Tidak akan ada halangan. Hari kita pergi mengunjungi ibumu dan mudah-mudahan saja ia akan dapat membimbing Thian Ki sehingga dia dapat menguasai hawa beracun di dalam tubuhnya."

   Mendengar bahwa ayah ibunya akan mengajak ia dan kakaknya pesiar ke timur, ke kota-kota besar yang ramai, Kui Eng bersorak gembira. Anak perempuan berusia sebelas tahun itu kadang-kadang masih amat kekanak-kanakan. Ia meloncat-loncat dan merangkul Thian Ki.

   "Kita pesiar......! Horee, kita pesiar. Toako, alangkah senangnya dan ini semua jasamu!" Ia merangkul leher Thian Ki sehingga mukanya hampir melekat ke muka pemuda remaja itu.

   Biarpun sejak kecil sudah biasa dia bermain main dengan Kui Eng, akan tetapi kini dia menyadari bahwa Kui Eng sudah mulai besar, bukan anak kecil lagi dan dia tahu benar bahwa Kui Eng bukan apa-apa dengan dia, berbeda ayah berbeda ibu. Maka rangkulan yang demikian akrab dan mesranya membuat Thian Ki menjadi tersipu dan mukanya kemerahan, akan tetapi dia tidak berani melarang adiknya.

   "Eh, Kui Eng, engkau seperti anak kecil saja. Bagaimana bisa menjadi jasaku?" tanyanya. Kui Eng melepaskan rangkulannya.

   "Tentu saja! Kalau engkau tidak menjadi tok-tong, kalau ayah dan ibu tidak menghendaki engkau dibimbing nenek, belum tentu kita pesiar ke timur."

   Thian Ki tertawa. Ayah dan ibu merekapun tertawa. Dan beberapa hari kemudian keluarga inipun meninggalkan dusun Ke-cung, menunggang empat ekor kuda menuju ke timur. Perjalanan pada masa itu amatlah sukar. Tidak mungkin menggunakan kereta yang besar karena harus melalui bukit-bukit, kadang harus menyeberangi sungai.

   Akan tetapi keluarga itu adalah orang-orang yang sudah terbiasa dengan kehidupan di alam terbuka, pandai pula menunggang kuda dan berkat latihan ilmu silat membuat tubuh mereka kuat dan kebal terhadap serangan angin, hawa dingin atau panas. Juga tidak mudah lelah. Perjalanan yang sukar itu bahkan membuat mereka bergembira sekali, terutama Kui Eng yang selalu bercanda dan gadis cilik yang lincah ini membuat kakaknya, ayah dan ibunya, selalu merasa gembira. Sebelum berangkat, dengan sungguh-sungguh Cian Bu memesan kepada isteri dan kedua orang anaknya agar tidak memperlihatkan bahwa mereka adalah keluarga yang pandai linu silat.

   "Kalau orang-orang tahu bahwa kita adalah keluarga ahli silat, hal itu hanya akan mendatangkan kecurigaan dan perhatian saja, membuat perjalanan kita mengalami banyak gangguan dan menjadi tidak leluasa lagi." demikian dia mengakhiri pesannya.

   "Tapi, bagaimana kalau kita diganggu orang, ayah? Apakah kita harus diam saja, membiarkan kita diganggu? Bagaimana kalau ada perampok?" Kui Eng yang selalu membantah kalau dianggapnya pesan siapa saja tidak tepat itu bertanya dan diam-diam Thian Ki menyetujui pertanyaan itu walaupun dia sendiri tidak akan berani menyangkal seperti itu.

   Cian Bu tersenyum. Dia mengenal baik watak puterinya itu, watak yang disukainya, cocok dengan dia. Tak pernah menyembunyikan sesuatu yang membuat hati penasaran.

   "Ha-ha-ha, kalau terjadi seperti yang kaukatakan itu, diamlah saja, bersabarlah, dan serahkan saja kepadaku untuk mengatasinya. Mengerti."

   "Mengerti, ayah," kata Kui Eng, akan tetapi alisnya berkerut."Eh, kenapa engkau masih saja cemberut, Kui Eng." tanya ibunya.

   "Habis, pesan ayah ini aneh sih! Bagaimana kita harus diam dan bersabar saja kalau ada orang jahat mengganggu. Kenapa sih kita harus berpura-pura tak berdaya, penakut dan lemah."

   Cian Bu menjadi bingung untuk menjawab, akan tetapi isterinya yang cerdik segera membantu suaminya.

   "Kui Eng, ketahuilah bahwa ayah dan ibumu dahulu adalah ahli-ahli silat yang suka bertualang dan karenanya, kami telah merobohkan banyak lawan dan karena itu tentu saja banyak yang merasa dendam dan akan memusuhi kita. Dari pada banyak halangan di perjalanan yang hanya akan menyulitkan dan melelahkan, lebih baik tidak ada yang mengenal kita sehingga kita dapat berpesiar dengan gembira dan dapat cepat tiba di tempa tinggal nenekmu. Nah, mengertikah engkau?"

   Kui Eng mengangguk-angguk dan alasan itu lebih dapat diterimanya. Ia hanya tidak suka kalau akan dianggap penakut menghadapi gangguan orang jahat. Akan tetapi kalau hanya untuk menjaga agar perjalanan mereka dapat lancar, maka ia pun dapat menerimanya.!

   Perjalanan dilakukan dengan gembira, tidak tergesa-gesa, bahkan kalau mereka melewati daerah yang indah, mereka berhenti untuk menikmat keindahan daerah itu. Juga kalau melewati kota yang ramai, mereka berhenti dan bermalam sampai dua tiga malam untuk memberi kesempatan kepada anak-anak mereka, terutama sekali Kui Eng, untuk bersenang senang.

   Kui Eng memang belum pernah melihat barang-barang yang dianggapnya amat indah menarik yang terdapat di kota-kota besar. Tidak demikian dengan Thian Ki. Ketika meninggalkan rumah bersama ayah ibunya, dia sudah berusia lima tahun lebih dan dia sudah melalui banyak kota.

   Juga mengenai alasan yang disembunyikan Cian Bu dari Kui Eng, dia lebih tahu. Dia sudah tahu bahwa ayah tirinya adalah seorang bekas pangeran yang pernah dicari-cari pasukan pemerintah. Ayahnya yang berilmu tinggi tentu saja tidak takut menghadapi gangguan penjahat, namun khawatir kalau sampai dikenal oleh pasukan pemerintah karena hal itu pasti akan mendatangkan kesukaran bear, bahkan bahaya besar.

   Sikap mereka yang bersahaja, sebagai keluarga biasa yang sedang melakukan perjalanan, memang tidak menarik perhatian orang. Pakaian mereka sederhana dan tidak nampak memakai perhiasan mahal, juga tidak membawa banyak barang kecuali buntalan pakaian.

   Juga Sim Lan Ci biarpun masih cantik, namun ia sudah setengah tua, hampir empatpuluh tahun usianya, sedangkan Kui Eng juga masih terlalu kecil untuk menarik perhatian laki-laki mata keranjang. Semua ini membuat perjalanan mereka menjadi aman, tidak pernah diganggu orang.

   Pada suatu sore, mereka memasuki kota Wu-han yang besar, kota terbesar yang pernah mereka lalui. Tempat yang mereka tuju adalah kuil Thian-ho-tang yang terletak di luar dusun Mo-kim-cung, di lereng Coa-san (Bukit Ular).

   Tempat itu tidak jauh lagi dari Wuhan, hanya perjalanan sehari lagi saja dengan kuda. Mereka memasuki kota Wuhan dan karena kuda mereka sudah lelah, mereka sendiripun perlu beristirahat dan hari sudah menjelang senja, Cian Bu lalu menyewa dua buah kamar untuk mereka. Sebuah kamar untuk dia dan Thian Ki, sebuah kamar lain untuk Kui Eng dan ibunya.

   Setelah mendapatkan kamar, mereka mandi dan berganti pakaian bersih. Kemudian Cian Bu mengajak keluarganya makan malam di sebuah rumah makan yang paling besar di kota itu. Rumah makan ini telah ada sejak dia masih menjadi pangeran, hanya sekarang yang mengelola adalan anak dari pemilik dahulu yang sudah meninggal dunia.

   Ada di antara pelayan tua yang masih diingat oleh Cian, Bu. akan tetapi tentu saja mereka itu tidak mengenalnya karena dahulu dia adalah seorang pangeran yang kalau datang berkereta, dengan pakaian mewah, diiringkan pengawal dan sekarang dia hanya seorang laki-laki yang membawa anak isterinya makan di situ.

   Cian Bu masin ingat masakan apa yang istimewa dari rumah makan ini. Dia memesan masakan- masakan itu dan merekapun makan dengan gembira. Apalagi Kui Eng, anak ini gembira bukan main karena merasakan masakan-masakan yang luar biasa, baru dan lezat baginya.

   Sejak tadi, Cian Bu dan isterinya sudah melihat adanya dua orang laki-laki yang duduk di ruangan rumah makan itu, di sudut terpisah dua meja dari tempat duduk mereka. Dua orang laki- laki ini tentu akan luput dari perhatian mereka kalau saja dua orang itu tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan.

   Sejak tadi dua orang itu memperhatikan mereka, terutama sekali memperhatikan Kui Eng yang makan minum dengan gembira. Mereka adalah dua orang laki-laki yang berusia kurang lebih tigapuluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi kurus dengan muka meruncing seperti muka kuda, sedangkan orang ke dua bertubuh tinggi besar dengan muka bopeng bekas cacar, mereka memperhatikan Kui Eng lalu berbisik-bisik sambil terus melirik ke arah Kui Eng yang kebetulan duduknya menghadap mereka.

   Sebagai suami isteri yang sudah berpengalaman, sikap kedua orang itu amat mencuriga kan. Mereka berdua tahu bahwa di dunia kangouw, di dalam dunia sesat terdapat orang-orang yang keji dan aneh, orang-orang yang mempunyai selera rendah yang amat mesum.

   Ada penjahat cabul yang suka menculik dan mempermainkan gadis-gadis cilik, adapula bahkan yang suka menculik pemuda-pemuda remaja! Memang jarang sekali manusia macam ini, akan tetapi kenyataannya memang ada dan suami isteri itu dalam petualangan nya dahulu pernah bertemu dengan manusia seperti itu. Maka kini melihat sikap mereka ketika memandang ke arah Kui Eng, cukup membuat mereka waspada.

   Setelah selesai makan dan membayar harga makanan dan minuman, Cian Bu mengajak isterinya untuk berpesiar ke sebuah taman rakyat yang berada di pinggir kota. Taman itu cukup indah dan terpelihara baik-baik.

   Di tengah taman itu terdapat pula sebuah danau kecil yang cukup untuk dipakai berperahu oleh anak-anak yang berkunjung ke tempat itu. Malam ini suasana di situ cukup ramai karena selain lampu-lampu penerangan berupa lentera beraneka warna yang menerangi tempat itu, terdapat pula bulan yang
(Lanjut ke Jilid 18)
Naga Beracun (Seri ke 02 - Serial Naga Sakti Sungai Kuning)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo

   Jilid 18
hampir purnama.

   Kui Eng berteriak-teriak gembira ketika memasuki taman dan ia mendahului kakak dan orang tuanya, masuk lebih dulu sambil setengah berlari. Ayah dan ibunya hanya tersenyum saja, membiarkan puteri mereka itu bergembira.

   Thian Ki mempercepat langkahnya untuk menemani adiknya, akan tetapi dia yang merasa sudah besar malu untuk berlari-lari seperti Kui Eng. Anak perempuan itu berteriak kegirangan menghampiri sebuah kolam ikan di mana terdapat bunga- bunga teratai dan ikan-ikan emas. Ditimpa sinar bulan dan sinar lentera yang dipasang di tepi kolam, memang bunga teratai dan ikan-ikan itu nampak indah sekali.

   "Wah, ikan-ikan beraneka warna. Lihat itu, ada yang putih, kuning, merah.......indah sekali!" Kui Eng berteriak-teriak, ia tidak tahu bahwa ada dua orang pria menghampirinya dan seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka seperti kuda menyentuh lengannya.

   "Memang indah dan cantik sekali, nona kecil. Seperti engkau........"

   Kui Eng menengok dan alisnya berkerut. Ia masih belum tahu bahwa ucapan itu mengandung kekurang-ajaran, akan tetapi ia tidak suka lengannya disentuh jari-jari tangan yang panjang itu.

   Kalau dalam keadaan biasa, tentu ia sudah mendamprat orang itu, akan tetapi ia teringat akan pesan ayahnya dan iapun menarik lengannya yang terpegang.

   "Aku tidak bicara denganmu," katanya ketus dan iapun menjauhkan diri beberapa langkah. Si muka kuda menyeringai.

   "Aih, galaknya, akan tetapi bertambah manis. Jangan marah, anak manis." Kini tangan itu bergerak mengusap ke arah dagu dan pipi Kui Eng. Tentu saja Kui Eng marah sekali, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia miringkan kepalanya sehingga hanya dagunya saja tersentuh dan ia melangkah mundur lagi.

   "Jangan sentuh aku.!" katanya, masih menahan sabar.

   Si muka kuda itu mengira bahwa Kui Eng ketakutan, maka iapun menjulurkan kedua tangannya lagi.

   "Jangan takut, sayang, aku tidak akan menyakitimu. Marilah ikut dengan kami."

   Dan tiba-tiba saja si muka kuda itu sudah menangkap lengan kiri Kui Eng. Anak yang tidak menyangka-nyangka ini, dan pula tidak ingin menggunakan kekerasan, tiba-tiba sudah ditarik dan berada dalam pondongan si muka kuda.!

   Kui Eng memiliki dasar watak yang keras, galak dan tak mengenal takut. Kalau sejak tadi ia hanya bersabar saja hal itu adalah karena ia mengingat pesan ayahnya. Akan tetapi, kesabarannya terbatas sekali. Begitu merasa dirinya dipondong dan pemondongnya menggerakkan kaki hendak lari, ia menjadi marah bukan main!

   "Heii, jangan larikan adikku!" Thian Ki berteriak, akan tetapi diapun ragu untuk turun tangan, mengingat pesan ayahnya.

   "Jahanam kau.! Anjing kau.!" Kui Eng memaki dan tangan kirinya menjambak rambut si muka kuda, tangan kanannya menampar.

   "Plakk! Aduuuhh........!" Si muka kuda merasa kepalanya seperti dihantam palu godam sehingga pondongannya terlepas. Kui Eng sudah meloncat turun.

   Si Muka kuda marah bukan main. Pipi kirinya bengkak oleh tamparan tadi dan dia kini menghampiri Kui Eng dengan mata berapi. Juga kawannya yang tinggi besar bermuka bopeng menghampiri dari lain jurusan.

   "Bocah setan binal!" si muka kuda menubruk. Akan tetapi sekarang Kui Eng sudah naik pitam.

   Dengan gesit ia mengelak, menggeser tubuh ke kiri dan begitu si muka kuda menerkam luput, kakinya menendang dua kali beruntun dengan cepat sekali dan tubuh si muka kuda terlempar ke dalam air kolam!

   "Byuuuuuurr....!"

   Si tinggi besar terbelalak, lalu menerkam dengan marah. Kui Eng mengelak lagi. Akan tetapi si tinggi besar ini rupanya menyadari bahwa anak perempuan remaja itu bukan anak biasa, melainkan memiliki gerakan silat yang cepat, iapun membalik dan kakinya yang besar dan panjang itu mencuat, melakukan tendangan.

   Sungguh keji sekali, seorang laki-laki tinggi besar seperti itu menendang seorang anak perempuan berusia sebelas tahun. Kalau tendangan itu mengenai sasaran, tentu tubuh Kui Eng akan terlempar jauh dan mungkin akan tewas seketika.

   Namun, sejak kecil Kui Eng telah menerima gemblengan seorang sakti seperti ayahnya sendiri, juga ia dilatih oleh ibunya yang lihai pula. Tendangan yang amat kuat dan cepat itu dengan mudah dapat ia elakkan, kemudian ia membalik dan kakinya menendang belakang lutut kanan lawan.

   "Plakk?" dan tanpa dapat dicegah lagi, si tinggi besar yang belakang lututnya ditendang itu terpaksa jatuh berlutut dengan kaki kanannya.

   Pada saat itu, kaki kanan Kui Eng menggantikan kaki kiri, menyambar dan tepat mengenai pelipis kiri si tinggi besar bermuka bopeng.

   Naga Beracun Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   "Plaak........!" si tinggi besar mengeluh dan tubuhnya terpelanting. Kui Eng tidak berhenti sampai di situ saja. Ia mengejar dan kembali kakinya menendang, dua kali tendangan dan tubuh si tinggi besar juga terlempar ke dalam kolam menyusul temannya!

   Pada saat itu, Cian Bu dan Sim Lan Ci sudah tiba pula di situ, demikian pula mereka yang sedang berada di dalam taman, datang berlari-larian ketika mendengar ada perkelahian di dekat kolam ikan.

   Cian Bu sudah menangkap tangan puterinya dan ditariknya dari situ, diajak pergi diikuti oleh Sim Lan Ci dan Thian Ki. Mereka berempat tidak berkata sesuatu, dan semua orang yang tiba di tepi kolam, memandang ke arah dua orang yang masih berada di dalam kolam itu.

   Kemudian orang jadi geger ketika dua orang itu tidak keluar dari dalam kolam dan ketika diperiksa, ternyata mereka telah tewas.! Ada luka sebesar kuku ibu jari tangan di dahi mereka dan darah mengucur dari luka itu. Agaknya mereka tewas seketika!

   Tidak ada seorangpun di antara mereka tahu apa yang telah terjadi. Yang tadi berada di dekat situ hanya melihat betapa dua orang yang tewas di kolam itu tadi menyerang seorang anak perempuan yang kini telah lenyap entah ke mana. Mereka yang tadi kebetulan dekat melihat betapa anak perempuan itu hanya mengelak ke sana sini kemudian menendang-nendang dan dua orang itu terlempar ke dalam kolam. Akan tetapi, mustahil kalau tendangan anak perempuan itu dapat menimbulkan luka di dahi yang menewaskan kedua orang yang nampaknya kuat dan jagoan itu.

   Cian Bu dan keluarganya tiba kembali di rumah penginapan dan mereka berempat berkumpul di kamar yang ditempati Sim Lan Ci dan Kui Eng. Setelah tiba di dalam kamar itu, barulah mereka saling pandang dan Thian Ki yang sejak tadi menahan-nahan perasaannya, segera berkata kepada ayahnya sambil menatap tajam wajah orang tua itu.

   "Ayah, kenapa ayah membunuh mereka?" Mendengar ini, Kui Eng terkejut dan anak perempuan itupun memutar tubuh memandang ayahnya.

   "Benarkah ayah telah membunuh mereka? Bagus! Mereka memang layak dibunuh. Mereka dua orang yang jahat sekali.!" Wajah anak perempuan itu kelihatan girang bukan main.

   "Kui Eng, jangan sekejam itu.! Thian Ki menegur adiknya."Mereka itu memang jahat karena hendak mengganggumu, akan tetapi kalau kita bunuh mereka bukankah itu lebih jahat lagi namanya?"

   "Thian Ki, engkau melihatnya?" Cian Bu bertanya dan pandang matanya kagum.

   Tak disangkanya sama sekali bahwa anak itu akan melihat perbuatannya tadi, padahal dia hampir yakin bahwa yang tahu hanyalah dia dan isterinya saja. Tempat itu gelap dan gerakannya amat cepat, juga benda yang dipergunakan untuk membunuh itu terlalu kecil untuk dapat dilihat orang ketika meluncur cepat ke arah dua orang di kolam itu.

   Akan tetapi Thian Ki mengetahuinya! Ini saja membuktikan bahwa anaknya yang juga muridnya ini memang berbakat sekali dan telah memiliki ketajaman pandang mata yang melebihi ahli silat biasa. Bahkan Kui Eng saja yang tingkat kepandaiannya tidak berbeda jauh dibandingkan Thian Ki, tidak dapat melihatnya.

   "Aku hanya melihat berkelebatnya dua sinar hitam kecil ke arah mereka, dan melihat mereka tewas, akan tetapi aku tidak tahu siapa yang membunuh mereka dengan sambitan itu, tidak tahu pula benda apa yang membunuh mereka. Akan tetapi setelah aku melihat baju ayah, tahulah aku bahwa ayah yang telah membunuh mereka. Ada dua buah kancing baju ayah yang hilang." Cian Bu menunduk dan melihat kancing bajunya, demikian pula isterinya dan Kui Eng.

   "Aih, kiranya ayah membunuh mereka dengan dua buah kancing baju ayah? Hemm, sayang kancingnya,ayah. Penjahat seperti mereka lebih pantas dibunuh memakai batu saja!" kata Kui Eng.

   "Akan tetapi, demikian besarkah dosa mereka sehingga mereka itu harus dibunuh?" Thian Ki bertanya lagi, penuh rasa penasaran. Selama tujuh tahun ini, dia tahu benar bahwa ayahnya adalah seorang gagah perkasa dan tidak pernah membunuh orang lain.

   Akan tetapi kenapa sekarang begitu ringan tangan membunuh dua orang yang walaupun bersalah, namun kesalahannya belum cukup hebat untuk dihukum mati?

   "Thian Ki, masihkah engkau belum mengerti. Ayahmu terpaksa membunuh mereka agar mereka tidak akan menyiarkan berita tentang keluarga kita," kata Sim Lan Ci.

   "Tapi......tapi mengapa....."

   "Thian Ki, engkau tadi melihat sendiri betapa adikmu telah mengalahkan dua orang itu melempar mereka ke kolam. Hal ini merupakan peristiwa luar biasa bagi mereka dan mereka tentu akan menyiarkan berita tentang Kui Eng kepada umum dan hal ini tentu akan menarik perhatian orang. Orang-orang akan tertarik dan ingin tahu siapa anak perempuan yang mampu mengalahkan dua orang jagoan itu dan siapa pula orang tuanya, gurunya. Dan kalau sudah begitu, perjalanan kita tidak akan menyenangkan lagi, bahkan penuh bahaya dan kehidupan kita tidak dapat tenang lagi."

   "Ah, lagi-lagi akulah yang bersalah!" Kui Eng berkata dengan alis berkerut."Kalau saja aku tidak melempar mereka ke dalam kolam! Ayah sudah memesan agar aku bersabar dan mengalah, akan tetapi bagaimana aku dapat mengalah kalau mereka hendak menculikku?"

   Sim Lan Ci merangkul puterinya

   "Engkau tidak bersalah, Kui Eng. Perlawananmu tadi memang sudah tepat. Kesabaran tentu ada batasnya. Memang agaknya sudah seharusnya begini. Thian Ki, ayahmu membunuh mereka bukan karena perbuatan mereka tadi, melainkan untuk menyelamatkan keluarga kita dari ancaman bahaya. Kuharap engkau dapat mengerti."

   Thian Ki menundukkan mukanya."Aku mengerti, ibu. Ayah, maafkan aku." Akan tetapi di dalam hatinya, tetap saja anak ini merasa penasaran dan tidak senang karena dianggapnya perbuatan ayahnya itu terlalu kejam, mudah saja membunuh orang walaupun dengan dalih demi keselamatan keluarga mereka. Bahaya itu kan belum datang mengancam? Ayahnya amat tidak menghargai nyawa ocang lain!

   Betapapun juga, tepat seperti dikatakan Cian Bu. Setelah dua orang itu tewas tanpa ada orang lain mengetahui sebabnya, perjalanan mereka tidak mendapat gangguan lagi.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Cian Bu dan keluarganya sudah meninggalkan kota Wuhan, melanjutkan perjalanan menuju ke dusun Mo-kim-cung yang merupakan sebuah dusun kecil di kaki Bukit Ular.

   Sim Lan Ci segera mengajak keluarganya menuju ke rumahnya yang tujuh tahun yang lalu ia tinggalkan dalam pengawasan seorang pembantu wanita yang sudah lama bekerja pada mereka.

   Tentu saja ia juga memesan kepada ibunya, yaitu Lo Nikouw di kuil Thian-ho-tang di luar dusun agar mengamat-amati rumahnya selama ia dan suaminya pergi.

   Ketika pada senja hari itu mereka tiba depan rumah Lan Ci, mereka melihat sebuah rumah yang kotor tidak terawat, jendela dan daun pintunya tertutup rapat-rapat, bahkan gelangan daun pintu dirantai dari luar, tanda bahwa rumah itu kosong.

   Lan Ci termangu-mangu melihat betapa pekarangan yang dahulu dirawatnya baik-baik dan penuh bunga itu kini menjadi kotor dan buruk. Juga rumah itu kotor dan banyak genteng yang pecah dan temboknya sudah penuh jamur kehijauan. Seperti rumah hantu!.

   Thian Ki juga berdiri termangu di depan rumah itu. Terbayanglah dalam ingatannya ketika tujuh tahun yang lalu dia hidup di tempat ini. Masih teringat semua keadaan di luar dan di dalam rumah. Betapa senangnya dia dahulu memanjat pohon di samping rumah itu atau berlari-larian dan bermain dengan teman-teman sedusun. Dia pernah jatuh di sebelah kanan rumah itu, di selokan kecil yang dibuat ayahnya untuk mengalirkan air ke taman bunga.

   Dan sekarang, keadaan di pekarangan dan taman itu amat menyedihkan. Juga rumah itu nampak demikian tua dan kotor. Semua ini membuat dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya demikian lembut dan baik dan tak terasa ke dua mata Thian Ki menjadi basah.

   Sim Lan Ci sudah menghampiri rumah tetangga terdekat. Suami isteri petani tua itu menyambutnya di depan pintu dan mereka segera mengenal Sim Lan Ci yang bersama suaminya memang amat dikenal di dusun itu sebagai orang-orang yang suka menolong.

   Dari tetangganya ini Lan Ci mendengar betapa pembantu yang diserahi tugas menjaga rumah telah pulang ke dusunnya sendiri karena terlalu lama majikannya tidak pulang. Rumah beserta isinya oleh pelayan itu diserahkan kepada Lo Nikouw yang menutup rumah itu.

   "Apakah Lo Nikouw masih tinggal di kuil Thian-ho-tang?" tanya Lan Ci dengan hati terharu.

   Suami isteri itu mengangguk. Sim Lan Ci lalu mengucapkan terima kasih dan bersama keluarganya ia lalu pergi ke luar dusun, ke kuil Thian-ho-tang itu.

   Senja telah lewat dan cuaca sudah remang ketika mereka tiba di luar kuil Thian-ho-tang. Kuil ini kecil saja, berdiri terpencil di tempat yang sunyi. Akan tetapi dari luar nampak bahwa kuil itu sudah dipasangi lampu-lampu dan bahkan meja sembahyang di ruangan depan juga dipasangi lilin.

   Namun suasana di kuil itu nampak sunyi sekali seolah tidak ada penghuninya. Agaknya ibu masih juga tinggal menyendiri di kuil ini, pikir Sim Lan Ci dan iapun berjalan paling depan ketika mereka memasuki kuil.

   "Berhenti!" Tiba-tiba terdengar suara lembut dari dalam kuil. Suara itu lembut namun berwibawa dan Lan Ci menahan langkahnya, diikuti oleh suaminya dan dua orang anak mereka. Mereka berhenti di ruangan depan, di depan meja sembahyang.

   "Siapakah tamu yang memasuki kuil ini? Beritahukan dulu nama kalian dan apa perlunya datang berkunjung." Suara itu kembali terdengar lembut berwibawa dan biarpun singkat, tidak terdengar galak.

   "Ibu, aku Lan Ci, anakmu datang berkunjung," kata Sim Lan Ci dan betapapun keras hati wanita ini, tetap saja ia terharu dan suaranya agak gemetar. Hening sejenak di dalam kuil.

   Kemudian suara itu terdengar lagi, masih lembut berwibawa.

   "Omitohud......semoga hamba dibebaskan daripada keterikatan! Pin-ni (aku) tidak mempunyai anak. Anak tunggal pin-ni sudah bertahun-tahun meninggalkan pin-ni tanpa kabar, pin-ni menganggap ia sudah mati......."

   "Nenek...........!" Thian Ki berseru."Omitohud......kau......kau........Thian Ki cucuku!?"

   Dari dalam muncullah seorang nenek. Ia sudah tua, sedikitnya tujuhpuluh lima tahun usianya, dan mukanya sudah terhias keriput, terutama di kanan kiri kedua matanya dan di sekitar mulutnya. Akan tetapi tubuhnya masih tegak dan gesit, sinar matanya masih tajam, pakaiannya bersih dan tangan kanannya memegang sebuah kebutan, tangan kiri memegang seuntai tasbeh. Sepasang mata itu ditujukan ke arah Thian Ki, lalu ia menyelipkan kebutan di pinggang, mengantungi tasbehnya dan mengembangkan kedua lengannya.

   "Thian Ki cucuku............!"

   "Nenek..........!" Thian Ki lari menghampiri dan nenek itu merangkulnya. Biarpun usianya baru duabelas tahun, tubuh Thian Ki sudah hampir sama dengan neneknya.

   Dan Nikouw yang kepalanya gundul licin itu menangis, lalu berulang-ulang menyebut nama Sang Buddha."Cucuku.......ah. Thian Ki, betapa rinduku kepadamu. Omitohud.......semoga diampuni kelemahanku ini....."

   Kemudian ia teringat dan mengangkat muka, memandang kepada Sim Lan Ci yang berdiri tak jauh di depannya. Sejenak pandang mata nenek itu mengamati Lan Ci, kemudian terdengar suaranya yang lembut namun kering dan tegas.

   "Betapa kejamnya engkau! Engkau memisahkan Thian Ki dari pin-ni., pergi tanpa memberi kabar lama sekali sampai bertahun-tahun. Engkau menyiksa hati pin-ni. Begitukah cara seorang anak membalas budi orang tua.!"

   "Ibu, ibu tidak tahu apa yang telah terjadi menimpa diri kami. Ibu sendiri amat tega, membuat Thian Ki menjadi seorang tok-tong. Ibu telah merusak hidupnya, dan ibu masih dapat mencela aku kejam.?"

   "Omitohud.....siapa bilang aku kejam? Pin-ni menggemblengnya menjadi tok-tong agar kelak tidak ada orang yang berani mengganggunya, agar dia dapat menjadi orang gagah yang tak terkalahkan kelak, agar dia merajai di dunia persilatan dan mengangkat nama besar orang-orang yang menurunkannya. Neneknya pernah menjadi Ban-tok Mo-li, sudah sepantasnya kalau dia menjadi tok-tong."

   "Tapi, ibu. Biarpun tidak disengaja, dalam usianya yang baru lima enam tahun dia sudah membunuh banyak orang dengan racun yang berada di tubuhnya!" teriak Lan Ci yang kini menjadi marah karena teringat akan keadaan puteranya."Lihat, dia sampai tidak berani sembarangan menyentuh orang lain, takut kalau sampai membunuhnya. Bukankah ini berarti ibu menyiksanya!?"

   "Omitohud, semua itu salahmu sendiri, Lan Ci. Kenapa engkau memisahkannya dari pin-ni. Pin- ni belum selesai dengan cucuku ini. Akan pin-ni bimbing dia dan latih dia sehingga racun di tubuhnya hanya akan menjadi senjata kalau diperlukan."

   "Bagus sekali kalau begitu. Sudah kukatakan bahwa hanya yang membuat dia menjadi tok-tong sajalah yang akan mampu membimbing dia menguasai dirinya." kata Cian Bu dengan girang mendengar ucapan nenek itu.

   Lo Nikouw menqangkat muka memandang kepada Cian Bu. Sepasang matanya mencorong ketika ia mengamati pria itu penuh selidik, lalu ia bertanya."Siapa orang ini?"

   Thian Ki yang menjawab cepat."Nenek, dia adalah guruku, juga ayahtu!."

   Kini pandang mata nenek itu terbelalak dan ketika ia menoleh ke arah puterinya yang tadi merasa canggung untuk menjawab."Ayahmu......? Apa artinya ini?"

   Kini Lan Ci sudah dapat menenangkan hatinya dan iapun menghampiri ibunya dan berkata dengan suara tenang.

   "Ibu, dengarlah baik-baik. Ketika kami pergi ke Ta-bun-cung tujuh tahun yang lalu dan berada di markas Hek-houw-pang, di sana terjadi penyerbuan......... musuh-musuh Hek-houw-pang. Tentu saja kami membela dan dalam pertempuran itu, Coa Siang Lee tewas, di samping ketua Hek houw-pang dan banyak tokohnya. Pihak musuh amat kuatnya. Aku sendiri bersama Thian Ki tertawan musuh dan tentu kami berdua akan celaka atau setidaknya akan menderita kesengsaraan kalau saja kami tidak ditolong oleh........... dia yang kemudian menjadi suamiku! Dia sendiri...... seluruh keluarganya, isterinya, semua juga tewas di tangan pasukan pemerintah, dia sendirian, dan aku........ kemudian kami menikah."

   Lo Nikouw mengerutkan alisnya. Yang membuat ia tidak suka bukan karena puterinya menikah dengan laki-laki tinggi besar bermuka merah ini. Baginya, tidak perduli ia siapa yang menjadi suami Lan Ci. Akan tetapi ia tidak senang mendengar bahwa Thian Ki menjadi murid pria ini!.

   "Tidak perduli dia menjadi suamimu, akan tetapi bagaimana dia berani lancang menjadi guru Thian Ki? Harus pin-ni lihat dulu apakah pantas dia menjadi guru cucuku!"

   Berkata demikian nenek itu melepaskan Thian Ki dan sekali kakinya bergerak, seperti memakai sepatu roda saja dengan ringan ia telah bergeser ke depan Cian Bu dan tangannya sudah mencabut kebutannya.

   "Sambutlah ini.!"

   Tangannya bergerak, terdengar suaara angin menyambar bersiut dan nampak sinar putih bergulung-gulung ketika kebutan berbulu putih itu menyambar ke arah tubuh Cian Bu dan ujungnya telah mematuk-matuk, merupakan totokan totokan yang amat cepat dan kuat sehingga berbahaya sekali bagi yang diserang.

   Sim Lan Ci terkejut bukan main, akan tetapi ia percaya sepenuhnya kepada suaminya. Dia tahu bahwa tingkat kepandaian suaminya tidak kalah dibandingkan ibunya, dan ia sudah menceritakan kepada suaminya tentang keadaan ibunya, tentang ilmu-ilmu yang mengandung racun berbahaya sehingga suaminya tentu akan berhati-hati dan mampu menjaga diri.

   Dan ia percaya pula bahwa suaminya tentu tidak akan mencelakai ibunya. Sementara itu, Thian Ki dan Kui Eng hanya menonton. Akan tetapi, kalau Thian Ki hanya bingung melihat ayahnya dan neneknya bertanding, Kui Eng berdiri dengan muka berubah pucat dan bukan dua orang yang bertanding itu yang dipandang, melainkan pandang matanya bergantian menatap wajah Sim Lan Ci dan Thian Ki.

   Ketika ibu kandungnya tewas di tangan pasukan yang mengeroyok, ia masih terlalu kecil untuk mengingatnya. Yang diingatnya adalah bahwa ibunya adalah Sim Lan Ci, ayahnya adalah Cian Bu dan Thian Ki adalah kakaknya. Itu saja. Akan tetapi percakapan tadi membuat ia pusing tujuh keliling!

   Agaknya ayahnya bertemu dengan ibunya setelah ibunya menjadi janda dan telah mempu nyai anak, yaitu Thian Ki. Dan seperti yang didengarnya tadi, ayahnya juga kematian isterinya. Lalu ia sendiri siapa? Anak siapa? Ia anak bawaan ibunya ataukah bawaan ayahnya? Membayangkan bahwa ia hanya anak tiri dari satu di antara kedua orang itu, ingin ia menjerit-jerit dan wajahnya menjadi pucat.

   Sambaran kebutan ke arah jalan darah di tubuh Cian Bu dapat dielakkan dengan loncatan belakang. Akan tetapi agaknya nenek itu masih belum puas, ia meloncat ke depan, menyerang lagi dan kini lebih hebat serangannya.

   Suara kebutannya sampai mencicit mengerikan ketika bulu-bulu kebutan itu meluncur dengan cepat sekali.

   Cian Bu maklum bahwa nenek itu hanya menguji. Akan tetapi ujian yang dilakukan seorang bekas datuk sesat seperti Ban-tok Mo-li ini bukan sembarangan ujian. Kalau dia tidak hati-hati, bisa saja ujian itu berakhir dengan kematiannya.

   Dia dapat menduga pula bahwa ujung bulu-bulu kebutan itu tentulah mengandung racun. Maka, untuk mengakhiri ujian itu, dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Diam diam dia mengerahkan sin-kang dan membuat telapak tangannya panas seperti api membara dan ketika kebutan menyambar lewat karena dia mengelak, dia cepat menangkap ujung kebutan itu dengan tangan.

   "Plakk!" Ujung kebutan dapat ditangkap. Lo Nikouw menarik kebutannya dan Cian Bu mempertahankan. Sejenak tarik-menarik. Lo Nikouw tersenyum karena mengira bahwa lawannya tentu akan keacunan ketika telapak tangannya mencengkeram dan menggenggam bulu-bulu kebutannya.

   Akan tetapi ia terbelalak karena ujung kebutan itu mengeluarkan asap dan iapun hampir terjengkang karena bulu kebutannya tiba-tiba putus dan ujungnya hangus seperti terbakar dalam genggaman tangan lawan. Cian bu membersihkan telapak tangannya yang penuh abu hitam, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada.

   "Ilmu kepandaian lo-cian-pwe Ban-tok Mo-li memang hebat sekali. Saya mengaku kalah."

   Kalau Cian Bu bersikap hormat dan mengalah, hal ini semata-mata karena cintanya kepada Lan Ci, karena dia berhadapan dengan ibu kandung isterinya tercinta itu. Andaikata tidak demikian, tentu dia akan bersikap bahkan bertindak lain. Dahulu dia merupakan seorang pangeran yang angkuh dan tinggi hati!

   Wajah Lo Nikouw berubah kemerahan, akan tapi hatinya mulai suka melihat pria yang lihai itu merendahkan diri dan bersikap hormat kepadanya. Ini merupakan seorang mantu yang hebat, pikirnya, dan sungguh tidak mengecewakan mempunyai seorang mantu yang tingkat kepandaiannya tidak kalah olehnya.! Jauh lebih hebat dari pada Coa Siang Lee yang dipandangnya rendah.

   "Omitohud.......siapakah engkau sebenarnya?"

   Sim Lan Ci yang merasa girang melihat suaminya mampu membuat ibunya tunduk, mendahului suaminya dengan suara bangga,

   "Ibu, namanya Cian Bu, dahulu dia bernama Pangeran Cian Bu Ong!"

   Nenek itu membelalakkan matanya.

   "Omitohud,.........kiranya Pangeran Cian Bu Ong yang terkenal itu! Ah, pin-ni sudah sejak dahulu mendengar nama besar pangeran!"

   Cian Bu membungkuk."Harap ibu jangan terlalu memuji. Sekarang saya bukan pangeran lagi, melainkan orang biasa yanq bernama Cian Bu." Mendengar bekas pangeran itu menyebutnya ibu tanpa ragu-ragu lagi, hati nenek ini menjadi semakin senang dan bangga. Seorang pangeran,biarpun hanya bekas, menyebutnya ibu!

   "Hemm, kiranya suamimu seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, Lan Ci," katanya dan suaranya terhadap puterinya kini lembut ramah.

   "Baik sekali kalau Thian Ki menjadi muridnya. Akan tetapi sudah ada dia sebagai gurunya kenapa kalian bawa lagi Thian Ki kepada pin-ni?"

   "Ibu, kami amat khawatir terhadap keadaan Thian Ki. Kalau dia mengerahkan sedikit saja tenaga, maka tubuhnya mengandung racun yang mematikan. Kalau hal ini dibiarkan, bisa suatu saat tanpa disengaja dia akan membunuh aku, adiknya atau siapa saja," kata Lan Ci.

   "Kami tidak tahu bagaimana harus mengajarnya agar dia dapat menguasai dan mengendali kan hawa beracun itu, apa lagi melenyapkannya. Saya sendiri tidak berani coba-coba, takut kalau-kalau keliru bahkan membahayakan nyawanya sendiri.! Oleh karena itu, tidak ada lain jalan bagi kami kecuali membawanya ke sini," kata Cian Bu.

   Nenek itu tersenyum lebar."Omitohud, akhirnya cucuku dikembalikan juga kepada pin-ni. Baik, pin-ni akan membimbingnya agar dia dapat menguasai dirinya, dapat mengendalikan hawa beracun itu, dengan syarat bahwa dia harus ditinggalkan sendiri di sini bersama pin-ni untuk waktu satu sampai dua tahun! Tinggalkan dia di sini, setelah selesai pelajarannya, kelak pin-ni akan mengantarkan dia pulang ke rumah kalian."

   Suami isteri itu saling pandang, kemudian Cian Bu bertanya kepada Thian Ki.

   "Thian Ki, bagimana pendapatmu? Maukah engkau kami tinggalkan di sini seperti yang dikehendaki nenekmu?"

   Thian Ki mengangguk."Tentu saja aku mau, ayah. Aku ingin terbebas dari siksaan ini."

   "Nenek, akupun ingin dijadikan tok-li (perempuan beracun)! Jadikan aku anak beracun seperti toako!" Tiba-tiba Kui Eng berlari mendekati nenek itu dan memegang tangannya.

   Lo Nikouw memandang anak perempuan itu.

   "Hemm, inikah anakmu dengan suamimu yang sekarang, Lan Ci?" Lalu ia mengerutkan alisnya."Tapi, kalian baru menikah tujuh tahun dan anak ini sedikitnya berusia sepuluh tahun."

   "Nek, usiaku sudah sebelas tahun. Aku pasti bukan anak mereka, entah anak siapa aku ini," kata Kui Eng dan tiba-tiba saja ia menangis seperti air yang membanjir karena tanggulnya bobol."Kui Eng. jangan bicara tidak karuan.!" bentak Cian Bu."Engkau masih kecil ketika ibu kandungmu terbunuh, dan sejak itu engkau menjadi anak ibumu yang sekarang. Apakah ibumu ini kurang menyayangmu?"

   Kui Eng menoleh ke arah ibunya dan melihat betapa Sim Lan Ci memandangnya dengan sinar mata sedih, iapun lari menghampiri dan merangkul ibunya. Ibu dan anak itu saling berangkulan karena terasa benar dalam hati mereka betapa mereka sejak dahulu saling mencinta.

   "Omitohud......, dua orang dengan anak masing masing telah menjadi satu keluarga yang rukun dan saling menyayang. Pin-ni ikut merasa girang. Dan seperti yang pin-ni katakan tadi tinggalkan Thian Ki di sini dan kalau sudah selesai pelajarannya, pin-ni akan antarkan dia pulang."

   "Aku ikut kakak Thian Ki!" Kui Eng merengek kepada ibunya.

   "Tidak, Kui Eng. Kalau engkau tinggal pula di sini, lalu bagaimana ayah dan ibumu.? Tentu akan amat kesepian di rumah."

   

Naga Sakti Sungai Kuning Eps 11 Naga Sakti Sungai Kuning Eps 2 Dendam Sembilan Iblis Tua Eps 8

Cari Blog Ini